Anda di halaman 1dari 17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Epidemiologi
Penyakit ginjal kronik (PGK) atau Chronic Kidney disease (CKD) menjadi

problem kesehatan yang utama di seluruh dunia. Hal ini mungkin disebabkan

karena berubahnya penyakit yang mendasari patogenesis dari PGK. Beberapa

dekade yang lalu penyakit glomerulonefritis merupakan penyebab utama dari

PGK. Saat iniglomerulonefritis bukan merupakan penyebab yang paling utama

dari PGK. Dari berbagai penelitian terbukti bahwa hipertensi dan diabetes

merupakan dua penyebab utama dari PGK (Zhang dan Rothenbacher, 2008).

Seiring peningkatan prevalensi hipertensi dan diabetes, maka didapatkan

prevalensi PGK tahap5 (terminal) juga semakin meningkat di seluruh dunia.

Penderita PGK yang mendapat pengobatan terapi pengganti ginjal diperkirakan

1,8 juta orang. Terapi pengganti ginjal mencakup dialisis dan transplantasi ginjal

dan lebih dari 90% di antaranya berada di negara maju (Suhardjono, 2006).

2.1.2 Batasan

Penyakit Ginjal Kronik menurut Kidney Disease Improving Global

Outcomes (KDIGO) adalah abnormalitas fungsi atau struktur ginjal yang

berlangsung lebihdari 3 bulan dengan implikasi pada kesehatan yang ditandai

dengan adanya satuatau lebih tanda kerusakan ginjal seperti yang terdapat pada

Tabel 2.1 (KDIGO, 2013).

Tabel 2.1 Kriteria PGK (kerusakan fungsi atau struktur ginjal yang berlangsung
lebih dari 3 bulan) (KDIGO, 2013)

7
Dari tabel diatas dapat diketahui kriteria gagal ginjal kronik adalah :

1. Kerusakan ginjal yang berlangsung lebih dari 3 bulan, terlihat dari

abnormalitas struktur ataupun fungsi ginjal dengan atau tanpa penurunan Laju

Filtrasi Glomerulus (LFG), yang bermanifestasi :

• abnormalitas secara patologik

• terdapat tanda-tanda kerusakan ginjal, termasuk abnormalitas pada komposisi

darah dan urin atau abnormalitas dalam pemeriksaan pencitraan ginjal

2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m2 selama 3 bulan, dengan atau

tanpa kerusakan ginjal.

2.1.3 Stadium PGK

Penyakit ginjal kronik dibagi menjadi 6 stadium seperti tercantum pada

Tabel 2.2 (KDIGO, 2013).

Klasifikasi atas derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG yang dihitung

berdasarkan serum kreatinin, usia, jenis kelamin dan berat badan dengan

menggunakan rumus Cockcroft-Gault sebagai berikut:

Tabel 2.2 Kategori LFG pada PGK (KDIGO, 2013)

8
2.2 Hemodialisis

Prevalensi penderita PGK yang mendapat terapi pengganti ginjal di

Negara berkembang saat ini meningkat dengan cepat, seiring dengan kemajuan

ekonominya. Prevalensi penderita penyakit ginjal tahap akhir (PGTA) yang

menjalani HD rutin meningkat dari tahun ke tahun. Di seluruh dunia saat ini

hampir setengah juta penderita GGK menjalani tindakan HD untuk

memperpanjang hidupnya (Nissenson and Fine, 2008).

Hemodialisis adalah suatu usaha untuk memperbaiki kelainan biokimiawi

darah yang terjadi akibat terganggunya fungsi ginjal, dilakukan dengan

menggunakan mesin hemodialisis. Hemodialisis merupakan salah satu bentuk

terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy/RRT) dan hanya menggantikan

sebagian dari fungsi ekskresi ginjal. Hemodialisis dilakukan pada penderita PGK

stadium V dan pada pasien dengan AKI (Acute Kidney Injury) yang memerlukan

terapi pengganti ginjal. Menurut prosedur yang dilakukan HD dapat dibedakan

menjadi 3 yaitu: HD darurat/emergency, HD persiapan/preparative, dan HD

kronik/reguler (Daurgirdas et al., 2007).

2.2.1 Indikasi hemodialisis

Menurut Daurgirdas, et al., (2007), indikasi HD dibedakan menjadi HD

emergency atau HD segera dan HD kronik. Hemodialis segera adalah HD yang

harus segera dilakukan.

9
A. Indikasi hemodialisis segera antara lain:

1. Kegawatan ginjal

a. Klinis: keadaan uremik berat, overhidrasi

b. Oligouria (produksi urine <200 ml/12 jam)

c. Anuria (produksi urine <50 ml/12 jam)

d. Hiperkalemia (terutama jika terjadi perubahan ECG, biasanya K >6,5 mmol/l )

e. Asidosis berat ( pH<7,1 atau bikarbonat <12 meq/l)

f. Uremia ( BUN>150 mg/dL)

g. Ensefalopati uremikum

h. Neuropati/miopati uremikum

i. Perikarditis uremikum

j. Disnatremia berat (Na >160 atau <115 mmol/L)

k. Hipertermia

2. Keracunan akut (alkohol, obat-obatan) yang bisa melewati membrane dialisis.

B. Indikasi Hemodialisis Kronik

Hemodialisis kronik adalah hemodialisis yang dikerjakan berkelanjutanseumur

hidup penderita dengan menggunakan mesin hemodialisis.

Menurut K/DOQI dialisis dimulai jika GFR <15 ml/mnt. Keadaan pasien

yang mempunyai GFR <15ml/menit tidak selalu sama, sehingga menurut

Daurgirdas et al. (2007) dialisis dianggapbaru perlu dimulai jika dijumpai salah

satu dari hal tersebut di bawah ini:

a. GFR <15 ml/menit, tergantung gejala klinis

b. Gejala uremia meliputi; lethargy, anoreksia, nausea, mual dan muntah.

c. Adanya malnutrisi atau hilangnya massa otot.

d. Hipertensi yang sulit dikontrol dan adanya kelebihan cairan.

e. Komplikasi metabolik yang refrakter.

10
2.2.2 Prinsip dan cara kerja hemodialisis

Hemodialisis terdiri dari 3 kompartemen: 1) kompartemen darah, 2)

kompartemen cairan pencuci (dialisat), dan 3) ginjal buatan (dialiser). Darah

dikeluarkan dari pembuluh darah vena dengan kecepatan aliran tertentu, kemudian

masuk ke dalam mesin dengan proses pemompaan. Setelah terjadi proses dialisis,

darah yang telah bersih ini masuk ke pembuluh balik, selanjutnya beredar di

dalam tubuh. Proses dialisis (pemurnian) darah terjadi dalam dialiser

(Daurgirdaset al., 2007).

Prinsip kerja hemodialisis adalah komposisi solute (bahan terlarut) suatu

larutan (kompartemen darah) akan berubah dengan cara memaparkan larutan ini

dengan larutan lain (kompartemen dialisat) melalui membran

semipermeabel(dialiser). Perpindahan solute melewati membran disebut sebagai

osmosis.

Perpindahan ini terjadi melalui mekanisme difusi dan UF. Difusi adalah

perpindahan solute terjadi akibat gerakan molekulnya secara acak, utrafiltrasi

adalah perpindahan molekul terjadi secara konveksi, artinya solute berukuran

kecil yang larut dalam air ikut berpindah secara bebas bersama molekul air

melewati porus membran. Perpindahan ini disebabkan oleh mekanisme

hidrostatik, akibat perbedaan tekanan air (transmembrane pressure) atau

mekanisme osmotik akibat perbedaan konsentrasi larutan (Daurgirdas et al.,

2007).

Pada mekanisme UF konveksi merupakan proses yang memerlukan

gerakan cairan disebabkan oleh gradient tekanan transmembran (Daurgirdas et al.,

2007).

11
Gambar 2.1 Mekanisme Hemodialisa.

2.2.3 Komplikasi hemodialisis

Hemodialisis merupakan tindakan untuk menggantikan sebagian dari

fungsi ginjal. Tindakan ini rutin dilakukan pada penderita penyakit ginjal kronik

(PGK) stadium V atau gagal ginjal kronik (GGK). Walaupun tindakan HD saat ini

mengalami perkembangan yang cukup pesat, namun masih banyak penderita yang

mengalami masalah medis saat menjalani HD. Komplikasi yang sering terjadi

pada penderita yang menjalani HD adalah gangguan hemodinamik. Tekanan darah

umumnya menurun dengan dilakukannya UF atau penarikan cairan saat HD.

Hipotensi intradialitik terjadi pada 5-40% penderita yang menjalani HD reguler.

Namun sekitar 5-15% dari pasien HD tekanan darahnya justru meningkat. Kondisi

ini disebut hipertensi intradialitik atau intradialytic hypertension (HID) (Agarwal

dan Light, 2010).

12
Komplikasi HD dapat dibedakan menjadi komplikasi akut dan komplikasi

kronik (Daurgirdas,et al., 2007).

2.2.3.1 Komplikasi akut

Komplikasi akut adalah komplikasi yang terjadi selama hemodialisis

berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi adalah: hipotensi, kram otot, mual

muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung, gatal, demam, dan menggigil

(Daurgirdas et al., 2007; Bieber dan Himmelfarb, 2013). Komplikasi yang cukup

sering terjadi adalah gangguan hemodinamik, baik hipotensi maupun hipertensi

saat HD atau HID. Komplikasi yang jarang terjadi adalah sindrom disekuilibrium,

reaksi dialiser, aritmia, tamponade jantung, perdarahan intrakranial, kejang,

hemolisis, emboli udara, neutropenia, aktivasi komplemen, hipoksemia

(Daurgirdas,et al., 2007).

Tabel 2.3 Komplikasi Akut Hemodialisis (Bieber dan Himmelfarb, 2013)

2.2.3.2 Komplikasi kronik

13
Adalah komplikasi yang terjadi pada pasien dengan hemodialisis kronik.

Komplikasi kronik yang sering terjadi dapat dilihat pada Tabel 2.4 di bawah ini.

(Bieber dan Himmelfarb, 2013).

Tabel 2.4 Komplikasi kronik Hemodialisis

2.3 Hipertensi Intradialitik

2.3.1 Batasan

Hipertensi dialitik sering ditemukan pada pasien-pasien yang menjalani

HD rutin, walaupun komplikasi HD ini sudah dikenal sejak beberapa tahun lalu

namun sampai saat ini belum ada batasan yang jelas mengenai HID. Berbagai

penelitian mengemukakan definisi yang berbeda-beda. Beberapa penelitian

mendefinisikan HID adalah peningkatan mean arterial blood pressure (MABP) 15

mmHg atau lebih selama atau sesaat setelah HD selesai (Amerling,et al., 1995;

Mees, 1996). Hipertensi intradialitik juga didefinisikan sebagai adanya hipertensi

yang mulai sejak jam kedua atau ketiga saat sesi HD, setelah dilakukan UF atau

peningkatan tekanan darah saat HD yang resisten terhadap UF (Cirit et al., 1995).

14
Sementara peneliti lain mengemukakan HID adalah suatu kondisi berupa

terjadinya peningkatan tekanan darah yang menetap pada saat HD dan tekanan

darah selama dan pada saat akhir dari HD lebih tinggi dari tekanan darah saat

memulai HD (Chazot dan Jean, 2010). Berikut definisi HID pada beberapa

penelitian:

a. Suatu peningkatan mean arterial blood pressure (MAP) _15 mmHg selama

atau segera setelah HD (Amerling,et al., 1995).

b. Suatu peningkatan tekanan darah sistolik (TDS) >10 mmHg dari pre ke post

HD (Inrig,et al., 2007; Inrig,et al., 2009).

c. Suatu peningkatan tekanan darah yang resisten terhadap UF (Cirit,et al.,

1995).

d. Perburukan dari hipertensi sebelumnya atau terjadinya hipertensi setelah terapi

ESA (Sarkar,et al., 2005).

2.3.2 Prevalensi

Hipertensi intradialitik merupakan komplikasi yang cukup sering dijumpai

pada pasien yang menjalani HD rutin, dengan prevalensi 5-15% (Locatelli,et al.,

2010). Pada penelitian kohort pasien HD selama 2 minggu ditemukan HID

sebesar 8% (Amerling,et al., 1995). Penelitian kohort yang terbaru mendapatkan

prevalensi HID sebesar 12,2% (Inrig,et al., 2009). Penelitian yang dilakukan di

Denpasar mendapatkan hasil yang berbeda yaitu 48,1% dari 54 penyandang HD

mengalami Paradoxical post dialytic blood pressure reaction (PDBP) (Raka

Widiana dan Suwitra, 2011).

2.3.3 Etiologi dan patofisiologi

15
Mekanisme terjadinya HID pada penderita dengan HD reguler sampai saat

ini belum sepenuhnya diketahui. Banyak faktor yang diduga sebagai penyebab

HID seperti volume overload, aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron system

(RAAS) karena diinduksi oleh hipovolemia saat dilakukan UF, overaktif dari

simpatis, variasi dari ion K+ dan Ca2+ saat HD, viskositas darah yang meningkat

karena diinduksi oleh terapi eritropoeitin (EPO), UF yang berlebih saat HD, obat

antihipertensi terekskresikan saat HD dan adanya disfungsi endotel

(Locatelli,etal., 2010).

2.4 Nyeri Kepala

The International Headache Society ICHD tahun 2004 memasukkan nyeri

kepala hemodialisis dalam klasifikasi sakit kepala. Untuk dapat disebut sebagai

sakit kepala hemodialisis, sakit kepala harus muncul setidaknya setengah dari sesi

hemodialisis, terdapat 3 serangan sakit kepala akut saat sesi hemodialisa dan sakit

kepala harus lega dalam waktu 72 jam setelah hemodialysis (Goksel, B.K., 2006).

Meskipun data prevalensi tidak pasti, namun ditemukan 30% oleh

Goksel35 dan Jesus AC et al (2009), menemukan prevalensi lebih rendah dari

6,7%. Patofisiologi sepenuhnya tidak jelas dan faktor pemicu sakit kepala

mungkin disebabkan hipertensi, hipotensi, tingkat rendah natrium, penurunan

osmolaritas serum, tingkat rendah rennin plasma, sebelum dan sesudah dialisis

kadar Bun dan rendahnya tingkat magnesium.

Setelah memastikan bahwa tidak ada migrain, serebrovaskular event atau

massa intrakranial, langkah pertama dalam pengobatan adalah menyelidiki apakah

ada sakit kepala hemodialisis atau tidak. Jika diduga hemodialisis sakit kepala,

16
faktor-faktor yang diduga memicu sakit kepala harus dicari dan penggantian

elektrolit diperlukan (Goksel, B.K., 2006).

2.5 Mual dan Muntah

Mual dan muntah ditemui pada pasien hemodialisis sekitar 10%. Mual dan

muntah dapat menjadi komplikasi terkait dengan dialisis seperti sindrom

disequilibrium, hipotensi, reaksi alergi dan ketidakseimbangan elektrolit, mereka

juga dapat menyertai sindrom koroner akut, cerebrovascular event dan infeksi.

Pasien dengan mual dan muntah harus dicari penyebabnya. Salah satu hal yang

perlu diingat adalah bahwa selain faktor disebutkan di atas, prevalensi keluhan

dispepsia dan gastritis, duodenitis, ulkus peptikum dan colelithiasis juga

meningkat pada kelompok pasien dialisis (Narita, I., 2008).

Oleh karena itu, komplikasi mual muntah terkait hemodialisis harus

disisihkan pada pasien hemodialisis. Jika penyebab ini tidak hadir, gejala

gastrointestinal harus dinilai dan gastroskopi harus dilakukan. Mual dan muntah

tidak terkait dengan hemodinamik dapat membaik dengan pemberian 5 sampai 10

mg metoclopramide sebelum dialisis (Ozkan G., 2011).

2.6 Gatal

Gatal adalah salah satu gejala yang sering dijumpai pada penyakit ginjal

kronis. Keluhan gatal ditemukan di 50 sampai 60% dari pasien dengan gagal

ginjal stadium akhir yang sedang menjalani terapi dialysis (Narita, I., 2008).

Meskipun etiologi uremik gatal tidak sepenuhnya diklarifikasi, faktor bertanggung

jawab adalah xerosis, neuropati perifer, peningkatan ion divalen seperti

kalsium,magnesium dan fosfor, peningkatan kadarhormon paratiroid, dan

17
histamine (Ozkan, G., 2011). Dalam mendiagnosis uremik gatal, pertama

penyebab lain gatal harus dikesampingkan. Berbagai terapi topikal dan sistemik

telah dicoba dalam mengobati itu selama bertahun-tahun, tapi ada pasien yang

tidak mendapatkan keuntungan dari setiap terapi tersebut. Untuk alasan ini,

baikpatogenesis dan pengobatan gatal terus diteliti hari ini.

Direkomendasikan terapi topical saat ini berupa krim pelembab dan krim

yang mengandung capsaicin. Metode pengobatan lainnya termasuk fototerapi,

akupunktur, diet low protein, lidocaine, arang aktif, cholestramine, efisien dialisis,

heparin, antagonis opioid, erythropoietin, paratiroidektomi, serotonin antagonis,

thalidomide, anthistamin dan nicergoline (Ozkan, G., 2011).

2.7 Kram

Kejadian kram otot dijumpai sekitar 24-86 % terutama pada tahun pertama

dilakukan hemodialisis. Saat ini angka kejadian kram otot menurun sampai 2%

karena perbaikan dalam teknologi dialisis. Meskipun kram sebagian besar terlihat

di ekstremitas bawah, juga dapat terjadi di bagian perut, lengan dan tangan.

Patogenesis kram otot tidak sepenuhnya dimengerti, tetapi penelitian

elektromiografi menunjukkan bahwa penyebab berasal dari neuron pada otot itu

sendiri. Metabolisme otot subnormal dianggap sebagai faktor yang paling penting

dalam etiologi keram.

Untuk alasan ini, hipotensi, perubahan plasma osmolaritas, hiponatremia,

defisiensi karnitin, hipomagnesemia dan hipoksia jaringan juga diduga

menyebabkan pengembangan kram. Dalam situasi di atas, metabolisme otot akan

terganggu dan menimbulkan kram. Kram otot dapat terjadi saat mendekati akhir

sesi dialisis. Glukosa hipertonik, garam dan manitol dapat diberikan dalam

18
pengobatan akut kram. Tindakan-tindakan non-medis yang dapat diambil untuk

mencegah kram termasuk menghindari intradialytic hipotensi dan perubahan

osmolaritas, dan olahraga teratur.Ada penelitian menunjukkan bahwa kram otot

dapat dikurangi dengan pemberian 320mg kina sulfat 1-2 jam sebelum memulai

hemodialisis. Namun pemberian kina sulfat memiliki banyak efek samping seperti

atrofi oprikus, trombositopenia, aritmia, interaksi obat dengan warfarin dan

digoxin(Khajehdehi, P., 2001).

Pemberian 400 mg / hari vitamin E, 250 mg / hari vitamin C 12 mg dari

monohydrate kreatinin sebelum dialisis, prozosin (0,25-1 mg) dan L-carnitine

dapat membantu menurunkan resiko kram. Namun, tingkat keamanan

menggunakan vitamin C di atas 200 mg untuk waktu yang lama belum terbukti

(Kobrin, S.M., 2007).

2.8 Asuhan Kefarmasian/Pharmaceutical care

Asuhan kefarmaian didefinisikan sebagai praktek yang berpusat pada

pasien karena apoteker/farmasis bertanggung jawab langsung terhadap kebutuhan

obat pasien. Dalam hal ini, apoteker sebagai praktisi yang bertanggung jawab

terhadap keseluruhan terapi obat pasien, baik dengan resep, bukan resep,

alternative atau pengobatan tradisional, dengan tujuan untuk mencapai hasil yang

optimal dan meningkatkan kualitas hidup pasien. Seorang apoteker mempunyai

kewajiban mengidentifikasi, mencegah dan menyelesaikan masalah yang

berkaitan dengan obat dan kesehatan pasien (Cipolle, et al., 2007).

Pharmaceautical care/pharmaceautical public health didefinisikan bahwa

apoteker dapat menerapkan keterampilan farmasi, pengetahuan dan sumber daya

19
untuk mendukung data-data objectif dengan tujuan menetapkan, menangani dan

memantau kebutuhan kesehatan yang nyata dari pasien (Amstrong, 2005).

Menurut Mahanani (2008), peran apoteker dalam asuhan kefarmasian

dibagi menjadi tiga bagian. Pada awal terapi apoteker harus dapat menilai

kebutuhan pasien, pada tengah proses terapi, apoteker memeriksa kembali semua

informasi dan memilih solusi terbaik bagi masalah yang terkait terapi pasien. Pada

akhir terapi, apoteker menilai hasil intervensinya sehingga didapatkan hasil yang

optimal dan akhirnya meningkatkan kualitas hidup pasien.

Menurut Seto dkk (2004) dibawah asuhan kefarmasian, apoteker

mempunyai tiga sasaran utama yaitu:

a. Mengidentifikasi actual dan potential problem yang berkaitan dengan obat

(actual and potential DRPs).


b. Penyelesaian actual problem yang berkaitan dengan obat (Actual DRPs)
c. Pencegahan potential problem yang berkaitan dengan obat (Potential

DRPs)

Sedangkan fungsi utama dari seorang farmasi klinis menurut Seto dkk

(2004) adalah sebagai berikut:

a. Pengumpulan data Pasien (collection of patient data)


b. Identifikasi masalah (identification of problem)
c. Menyusun Outcome yang diinginkan (establishing outcome goals)
d. Mengevaluasi terapi obat (evaluating therapeutics option)
e. Individualisasi terapi obat (individualizing drug regiment)
f. Pemantauan outcome (monitoring outcome)

Berdasarkan buku yang ditulis oleh cipolle, et al. (2007), Selama

pertemuan asuhan kefarmasian, kondisi pasien dan seluruh terapi obat dinilai

20
untuk menentukan apakah kebutuhan obat pasien telah seesuai dengan yang

tertera dibawah ini, yaitu:

a. Pengobatan tepat
i. Setiap pengobatan yang diberikan sesuai dengan kondisi klinis
ii. Keuntungan terapi obat setiap kondisi medis pasien dapat terlihat
b. Pengobatan efektif
i. Menggunakan produk obat yang paling efektif
ii. Dosis pengobatan cukup untuk mencapai tujuan terapi
c. Pengobatan aman
i. Tidak ada riwayat reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD)
ii. Tidak ada tanda-tanda toksisitas
d. Pasien sanggup dan bersedia mengikuti pengobatan yang disarankan

2.8.1 Konseling

Kepatuhan dan upaya dari pasien sendiri sangat berpengaruh terhadap

keberhasilan suatu pengobatan. Hasil terapi yang optimal tidak akan tercapai

tanpa adanya kesadaran dari pasien itu sendiri. Sehingga dapat menyebabkan

kegagalan terapi, serta dapat dapat menimbulkan komplikasi yang sangat

merugikan dan pada akhirnya akan berakibat fatal. Terapi obat yang aman dan

efektif akan terjadi apabila pasien diberi informasi obat yang cukup tentang obat-

obat dan penggunaannya. Pada pemberian informasi obat, terjadi komunikasi

antara apoteker dengan pasien dan merupakan salah satu bentuk implementasi dari

pharmaceautical care yang dinamakan dengan konseling (Cipolle, et al., 2007;

Rantucci, 2007).

Konseling diartikan sebagai layanan informasi pengobatan kepada pasien,

secara lisan atau tertulis, member arahan pengobatan yang tepat, informasi

terhadap efek samping obat, pengaturan diet, dan modifikasi gaya hidup.

Konseling ditunjukkan untuk meningkatkan hasil terapi dengan memaksimalkan

penggunaan obat-obatan yang tepat. Salah satu manfaat dari konseling adalah

21
meningkatkan kepatuhan pasien dalam penggunaan obat, sehingga angka

kematian dan kerugian (baik biaya maupun hilangnya produktivitas) dapat

ditekan. Selain itu pasien memperoleh informasi tambahan mengenai penyakitnya

yang tidak diperolehnya dari dokter karena tidak sempat bertanya, malu bertanya,

atau tidak dapat mengungkapkan apa yang ingin ditanyakan (Rantucci, 2007).

Pasien yang perlu untuk diberi konseling adalah pasien-pasien yang

berkemungkinan untuk tidak patuh terhadap pengobatan seperti pasien yang

ditunjuk dokter, pasien dengan penyakit tertentu seperti hipertensi, gagal jantung,

pasien yang menerima golongan obat tertentu, pasien geriatric, pediatric, pasien

yang keluar dari rumah sakit, dan lain-lain (Hussar, 1995).

Penderita hipertensi merupakan salah satu pasien dengan criteria pasien

yang harus diberi konseling, karena hipertensi merupakan penyakit yang sangat

perlahan apabila hipertensi tidak diketahui dan dirawat mengakibatkan kematian

karena gagal jantung, infark miokardium, stroke, atau gagal ginjal dengan

demikian pemeriksaan tekanan darah secara teratur memiliki arti penting dalam

perawatan hipertensi. Kurangnya kepatuhan pasien hipertensi juga merupakan

masalah dalam terapi hipertensi. Penderita sering menganggap hipertensi dapat

sembuh secara permanen, sehingga penderita akan menghentikan penggunaan

obat antihipertensi ketika tekanan darahnya kembali normal. Nyatanya, hipertensi

tidak dapat disembuhkan secara permanen, namun, hal yang dapat dilakukan

yaitu mengontrol tekanan darah dengan mengkonsusmsi oabat antihipertensi dan

menjalankan pola hidup sehat (Onzenort, 2010; Price dan Lorraine, 1994)

Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kepatuhan

terjadi pada 27 pasien (77,15) dari 35 pasien hipertensi. Pasien yang mengalami

22
penurunan tekanan darah terjadi pada 26 pasien (74,28%). R hitung yang didapat

0,68 ini berarti 68% kepatuhan mempengaruhi nilai tekanan darah. Pada beberapa

jurnal juga menyebutkan bahwa konseling akan meningkatkan kepatuhan pasien,

yang dinilai dari pengetahuan pasien, sikap, dan tingkah laku pasien (Utami,

2009; Sushmita, et al., 2010).

23

Anda mungkin juga menyukai