Anda di halaman 1dari 23

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Telaah Pustaka

1. Gagal Ginjal Kronik (GGK)


a. Epidemiologi
Menurut Zhang dan Rothenbacher cit. Kandarini (2013) Gagal Ginjal
Kronik (GGK) atau Chronic Kidney Disease (CKD) menjadi masalah
kesehatan yang tergolong besar di banyak negara di dunia. Perubahan yang
besar ini mungkin karena berubahnya penyakit yang mengakar pada
patogenesis GGK. Beberapa dekade yang lalu penyakit glomerulonefritis
merupakan penyebab utama terjadinya GGK. Saat ini, berbagai penelitian
menduga bahwa hipertensi dan diabetes merupakan dua pencetus utama
dari gagal ginjal kronik.
Gagal ginjal kronik prevalensinya semakin meningkat setiap tahunnya.
Penderita gagal ginjal kronik yang mendapat pengobatan terapi pengganti
ginjal diperkirakan mencapai angka 1,8 juta orang. Terapi pengganti renal
mencakup dialisis dan transpantasi ginjal dan lebih dari 80% diantaranya
terdapat di negara berkembang dan negara maju (Suhardjono cit. Kandarini
2013).
b. Definisi Gagal Ginjal Kronik (GGK)
Menurut Tjokronegoro dan Hendra (2004) menyebutkan bahwa
penyakit gagal ginjal kronik merupakan suatu proses patofisiologi klinis
dengan etiologi beragam, proses ini mengakibatkan penurunan fungsi
ginjal yang progesif (bersifat menahun), dan pada umumnya berakhir
dengan gagal ginjal. Gagal ginjal adalah gambaran keadaan klinis yang

ditandai dengan penurunan fungsi renal yang tidak dapat kembali menjadi
baik dalam fungsi (irreversible), pada keadaan ini penderita memerlukan
terapi sebagai pengganti ginjal tetap berupa dialisis atau transplantasi
ginjal.
Keadaan gagal ginjal terjadi bilamana ginjal tidak mampu membawa
sampah metabolik dan zat zat toksik atau melakukan fungsi regulernya.
Berbagai bahan yang biasanya dikeluarkan melalui urine menumpuk dalam
cairan tubuh akibat gangguan ekskresi renal dan menyebabkan malfungsi
pada endokrin, elektrolit serta asam basa. Gagal ginjal kronik merupakan
penyakit sistemik dan jalur akhir yang umum dari berbagai penyakit traktus
urinarius dan renal (Smeltzer & Bare, 2002: 1443).
c. Kriteria Gagal Ginjal Kronik
Menurut Cahyaningsih (2011) mengemukakan bahwa kriteria gagal
ginjal kronik sekurang kurangnya selama 3 bulan atau lebih, yang
diartikan sebagai abnormalitas struktural atau fungsional pada ginjal. Gagal
ginjal kronik dikriteriakan menurut derajat penyakit yang mengacu pada
Laju Filtrasi Glomelurus (LFG). Hal ini sangat penting diperhatikan
sebagai terapi pendukung untuk mengetahui abnormalitas dengan implikasi
pada kasus di lapangan yang ditandai dengan adanya kerusakan
kerusakan pada ginjal dan saat kapan dimulai terapi penggantian ginjal
seperti yang terdapat pada Tabel 2.1 di bawah ini (Kidney Disease
Improving Global Outcomes (KDIGO, 2013).

Tabel 2.1 Kriteria GGK (Abnormalitas struktural dan fungsi ginjal yang
berlangsung 3 bulan (KDIGO, 2013)
Petanda
kerusakan Albuminuria (AER 30 mg/24 jam:
ginjal
ACR 30 mg/g [ 3 mg/mmol])
(Satu atau lebih)
Abnormalitas pada sedimen urine
Gangguan elektrolit dan abnormalitas yang
berhubungan dengan kerusakan tubulus
Abnormalitas pada pemeriksaan histologi
Abnormalitas struktural pada pemeriksaan imaging
Riwayat transpantasi ginjal
Penurunan LFG
LFG < 60 ml/min/1,73 m (kategori LFG G3a G5)
d. Stadium Gagal Ginjal Kronik
Gagal ginjal kronik dibagi menjadi 6 stadium didefinisikan berdasarkan
derajat penurunan LFG dimana stadium yang lebih tinggi memiliki nilai
LFG yang lebih rendah seperti Tabel 2.2 dibawah ini (KDIGO, 2013).
Tabel 2.2 Kategori LFG pada GGK (KDIGO, 2013)
Kategori LFG
G1
G2
G3a
G3b
G4
G5

LFG (ml/min/1,73 m)
90
60 89
45 59
30 44
15 29
< 15

Batasan
Normal atau tinggi
Penurunan ringan
Penurunan ringan sampai sedang
Penurunan sedang sampai berat
Penurunan berat
Gagal ginjal (dialisis)

e. Tipe dan Faktor Resiko Gagal Ginjal Kronik


Tabel 2.3 Tipe dan Faktor Resiko GGK

Faktor faktor
Kelemahan

Faktor faktor
inisiasi

Definisi
Contoh
Meningkatkan
kerentanan untuk terjadi Usia tua, riwayat keluarga
kerusakan pada ginjal
Diabetes
Hipertensi
Penyakit autoimmun
Infeksi sistemik
Secara langsung
Infeksi saluran kencing
mengawali kerusakan
Urolitiasis
ginjal
Obstruksi saluran kencing
bagian bawah
Keracunan obat

Faktor faktor
yang memperburuk

Penyebab
memburuknya penyakit
ginjal dan mempercepat
penurunan fungsi ginjal
setelah inisiasi dari
kerusakan ginjal

Tingginya kadar proteinuria


Tingginya tekanan darah
Buruknya kontrol gula pada
diabetes
Merokok

(KDOQI cit. Cahyaningsih, 2011)


f. Penatalaksanaan
Menurut

Smeltzer

&

Bare

(2002:

1449)

tujuan

daripada

penatalaksanaan gagal ginjal kronik adalah untuk mempertahankan fungsi


ginjal dan homeostasis selama mungkin. Seluruh faktor yang berperan pada
gagal ginjal terminal dan faktor yang dapat dipulihkan (hipertensi)
diidentifikasi dan kemudian ditangani. Selain dilakukannya terapi diet dan
medikamentosa, penderita GGK juga memerlukan terapi pengganti fungsi
renal yang terdiri atas dialisis dan transplantasi ginjal. Diantara kedua jenis
terapi pengganti fungsi ginjal tersebut, terapi dialisis merupakan pilihan
terapi yang umum digunakan karena keterbatasan jumlah donor ginjal di
Indonesia. Menurut jenisnya, dialisis dibagi mejadi dua, yaitu hemodialisa
dan peritoneal dialisis. Sampai saat ini, hemodialisa masih menjadi terapi
alternatif utama pengganti ginjal bagi penderita GGK karena melihat dari
biaya yang lebih efisien dan resiko terjadinya pendarahan lebih rendah
dibandingkan dengan dialisis peritoneal (Markum, 2006: 588).

2. Hemodialisis (HD)
a. Definisi Hemodialisis (HD)
Hemodialisis adalah suatu upaya untuk memperbaiki kelainan
biokimiawi darah yang terjadi akibat abnormalitas fungsional pada ginjal
dan dilakukan dengan menggunakan mesin hemodialisa. HD merupakan
salah satu bentuk terapi pengganti renal dan bertujuan hanya menggantikan
sebagian fungsi ekskresi ginjal. Terapi dialisis diberikan pada pasien GGK
stadium 5 dimana LFG penderita GGK <15 dalam ml/min/1,73 m, itu
artinya terapi ini bertujuan untuk mengetahui faktor faktor yang relevan
sebagai pertimbangan untuk memulai dan menjaga pasien agar tetap pada
terapi dialisis (Cahyaningsih, 2011: 77). Menurut Mutoharoh (2011) terapi
hemodialisis merupakan suatu teknologi sebagai terapi pengganti untuk
mengeluarkan sisa sisa metabolisme atau toksik tertentu dari peredaran
darah manusia seperti, air, elektrolit, natrium, kalium, hidrogen, ureum,
kreatinin, asam urat dan zat zat lain melalui membran semipermeable
sebagai pemisah darah dan cairan dialisat pada ginjal buatan dimana terjadi
proses osmosis, difusi dan ultrafiltrasi.
b. Indikasi Hemodialisis
Indikasi hemodialisis dibagi menjadi 2 yakni hemodialisis emergency
atau HD segera dan Hemodialisis kronik. Hemodialisis emergency adalah
HD yang harus segera mendapatkan tindakan.
1) Indikasi hemodialisis emergency menurut Daurgirdas et al., cit.
Kandarini (2013) antara lain:
a) Kegawatan ginjal

(1) Klinis: keadaan dimana penderita mengalami uremik berat


disertai dengan overhidrasi
(2) Oliguria: produksi urin penderita 200 ml/12 jam
(3) Anuria: produksi urin penderita 50 ml/12 jam
(4) Hiperkalemia (terutama bila terjadi perubahan pada ECG
dengan tetapan K > 6,5 mmol/l)
(5) Asidosis berat (pH < 7,1 atau bikarbonat < 12 meq/l)
(6) Uremia ditandai dengan (Blood Urea Nitrogen) BUN > 150
mg/dL)
(7) Enselopati uremikum
(8) Neuropati uremikum/ miopati uremikum
(9) Perikarditis uremikum
(10)Disnatremia berat ditandai dengan Na > 160 atau < 115 mmol/L
(11)Hipertermia
b) Keracunan akut karena alkohol dan obat obatan yang dapat
melewati membran dialisis.
2) Indikasi Hemodialisis Kronik
Hemodialisis kronik merupakan hemodialisis yang dilakukan secara
kontinyu seumur hidup penderita dengan bergantung pada mesin
hemodialisis. Biasanya dalam keadaan ini terjadi tanda tanda dan
gejala uremia yang dihubungkan dengan seluruh sistem tubuh seperti
mual dan muntah, anoreksia berat, peningkatan letargi, kadar kalium
dalam serum meningkat, muatan elektrolit berlebih yang tidak responsif
terhadap terapi diuretik dan pembetasan cairan serta penurunan derajat
kesehatan secara umum (Smeltzer & Bare, 2002: 1397).

Menurut K/DOQI tindakan dialisis dimulai jika GFR < 15 ml/mnt.


Keadaan penderita yang memiliki GFR < 15 ml/mnt tidak selalu sama
secara umum, sehingga tindakan dialisis dianggap baru perlu dimulai
jika dijumpai salah satu dari hal tersebut dibawah ini (Daurgirdas et al.,
cit. Kandarini, 2013):
a) GFR < 15 ml/mnt, tergantung pada hasil pemeriksaan lab dan
gejala
b) Malnutrisi yang berarti atau hilangnya massa otot
c) Hipertensi yang sukar dikontrol
d) Kelebihan cairan
e) Komplikasi metabolik
c. Prinsip Prinsip dan Cara Kerja Hemodialisis
Menurut Daurgirdas et al., cit. Kandarini (2013) Hemodialisis terdiri
dari 3 kompartemen penting: 1) Kompartemen darah, 2) Kompartemen
dialisat, 3) Dialiser. Tahap awal darah dikeluarkan dari pembuluh darah
vena dengan kecepatan aliran tertentu, kemudian darah masuk ke dalam
mesin HD dengan proses pemompaan. Setelah darah tersaring, terpidah
dari sampah nitrogen dan toksik, darah yang bersih masuk kembali ke
pembuluh balik, selanjutnya darah beredar ke seluruh tubuh.
Ada tiga prinsip yang mendasari kerja HD, yaitu: difusi, osmosis dan
ultrafiltrasi (Smeltzer & Bare, 2002: 1398). Prinsip kerjanya adalah
komposisi solute (bahan yang terlarut) suatu larutan (kompartemen darah)
akan berubah dengan cara menyatukan larutan ini tersebut dengan larutan
lain (kompartemen dialisat) melalui membran semipermeable (dialisat).
Aliran darah akan melewati tubulus tersebut sementara cairan dialisat

mengalami sirkulasi di sekeliling tubulus. Berpindahnya solute melewati


membran disebut dengan proses osmosis. Perpindahan cairan tersebut
terjadi melalui mekanisme difusi dan UF. Toksin dan zat limbah dalam
darah akan dikeluarkan melalui proses difusi dengan cara bergerak dari
darah, yang memiliki konsentrasi tinggi, ke cairan dialisat dengan
konsentrasi rendah. Ultrafiltrasi adalah perpindahan molekul yang terjadi
secara konveksi, dengan kata lain pengeluaran air dapat dikendalikan
dengan menciptakan gradien tekanan, jadi air bergerak dari daerah yang
memiliki tekakan tinggi (tubuh pasien) ke daerah yang memiliki tekanan
lebih rendah. Perpindahan ini disebabkan oleh mekanisme hidrostatis yang
terjadi akibat perbedaan tekanan air atau mekanisme osmotik akibat
perbedaan konsentrasi larutan (Daurgirdas et al., cit. Kandarini, 2013).
d. Komplikasi Hemodialisis
Hemodialisis merupakan tindakan untuk menggantikan sebagian tugas
dari fungsi ginjal karena kerusakan irreversible. Pasien dengan GGK harus
menjalani terapi dialisis sepanjang hidupnya (biasanya dua kali dalam
seminggu selama minimal 3 atau 4 jam sekali terapi) atau sampai pasien
mendapatkan ginjal baru dari pendonor melalui operasi transplantasi.
Tindakan ini rutin dilakukan pada penderita GGK stadium 5. Pasien GGK
yang menjalani terapi HD memang mengalami perkembangan yang cukup
baik, namun daripada itu masih banyak penderita yang mengalami masalah
atau komlikasi medis saat menjalani HD. Komplikasi HD dapat dibedakan
menjadi komplikasi akut dan komplikasi kronik (Daurgirdas et al., cit.
Kandarini, 2013).

1) Komplikasi Akut
Tabel 2.4 Komplikasi Akut Hemodialisis (Bieber dan Himmelfarb cit. Kandarini, 2013)
Komplikasi

Penyebab

Hipotensi

Penarikan cairan yang berlebihan, terapi antihipertensi,


infark jantung, temponade, reaksi anafilaksis
Kelebihan natrium dan air, ultrafiltrasi yang tidak adekuat
Reaksi alergi, dialiser, tabung, heparin, besi, lateks
Gangguan elektrolit, perpindahan cairan yang terlalu cepat,
obat antiaritmia yang terdialisis
Ultrafiltrasi terlalu cepat, gangguan elektrolit
Udara memasuki sirkuit darah
Perpindahan osmosis antara intrasel dan ekstra sel
menyebabkan sel menjadi bengkak, edema serebral

Hipertensi
Reaksi alergi
Aritmia
Kram otot
Emboli udara
Dialysis disequilibirium
Masalah pada dialisat/
kualitas air
Chlorine
Kontaminasi Flouride
Kontaminasi bakteri/
endotoksin

Hemolisis disebabkan karena menurunnya kolom charcoal


Gatal, gangguan gastrointestinal, sinkop, tetanus, gejala
neurologi, aritmia
Demam, menggigil, hipotensi yang disebabkan karena
kontaminasi dari dialisat maupun sirkulasi air

2) Komplikasi Kronik
Komplikasi kronik merupakan komplikasi yang terjadi pada pasien
dengan hemodialisis kronik. Komplikasi kronik yang sering terjadi
diantaranya penyakit jantung, malnutrisi, hipertensi (volume excess),
anemia, renal osteodystrophy, neurophaty, disfungsi reproduksi,
komplikasi pada akses, pendarahan, infeksi, amiloidosis, acquired
cystic kidney disease (Bieber dan Himmelfarb cit. Kandarini, 2013).

3. Zat Gizi pada Penderita Gagal Ginjal Kronik


Sistem ginjal, bersama dengan sistem kemih, memiliki peran ibarat
pabrik yang memelihara air dalam tubuh. Sistem ini bekerja sama
mengumpulkan produk zat sisa metabolisme tubuh dan dikeluarkan dalam
bentuk urine. Membahas tentang penilaian gizi, dalam rencana terapi nutrisi
bagi penderita gagal ginjal, penilaian harus meliputi riwayat kesehatan,
pemeriksaan fisik dan uji diagnostik (Williams & Wilkins, 2012: 259). Unsur
unsur gizi atau nutrient yang memiliki makna khusus dalam pengobatan lazim
yang digunakan sebagai terapi pendamping yang harus dilaksanakan dan
memerlukan pemantauan ketat (Situmorang, 2009).
a. Cairan dan Natrium
Menurut Situmorang (2009) gejala yang muncul pada kasus gagal
ginjal kronik adalah kegagalan nefron yang masih berfungsi untuk dapat
meningkatkan filtrasi glomelurus secara optimal dan mengatur ekskresi
natrium pada urine, dengan bertambah parahnya kegagalan ginjal dan
menurunnya glomelurus (GFR) sampai dengan 10% atau kurang dari batas
normal, maka secara otomatis produksi urine akan menjadi sedikit
sehingga air dan natrium yang diterima tubuh dalam jumlah yang lazim
tidak dapat ditoleransi. Kebutuhan penderita akan air dapat ditentukan
melalui pengukuran jumlah urine yang dikeluarkan selama 24 jam dengan
menggunakan alat takar berupa gelas silinder dan ditambah air 500 ml.
(volume urine + 500 ml). Jika keluaran urine pasien mencapai 600 ml
selama 24 jam, pasien dapat dengan aman mengonsumsi 1100 ml cairan.

Hal ini bertujuan untuk membatasi penambahan berat badan sampai 2 lb


(0,9 kg) diantara terapi (Williams & Wilkins, 2012: 270).
b. Natrium
Restriksi natrium dan cairan ditentukan oleh tekanan darah, kadar
elektrolit, haluaran urine, serum, laju filtrasi glomerulus dan berat badan
pasien. Sebagian besar pasien dianjurkan untuk mengonsumsi 3 4 g
natrium per hari (Williams & Wilkins, 2012: 273). Situmorang (2009)
menegaskan bahwa penting dilakukan pembatasan masukan natrium pada
tubuh karena natrium diperlukan di dalam tubuh walaupun secara fisiologis
faal ginjal menurun, terutama pasien yang mengalami hipertensi, edema
dan bendungan paru paru. Pemberian natrium harus diberikan dalam
jumlah

maksimal

yang

dapat

ditoleransi

dengan

tujuan

untuk

mempertahankan volume cairan ekstraseluler, dan mencegah terjadinya


oedema atau komplikasi berlanjut.
c. Protein
Asupan protein disesuaikan dengan stadium gangguan fungsi ginjal
atau LFG 25%, dan berdasarkan penelitian penelian terkait didapatkan
bahwa pasien dengan GGK diperlukan batasan asupan protein sampai
dengan 0,5 0,6 gr/kg BB/hari, dianjurkan untuk mengomsumsi natrium
rata rata 0,5 0,6 gr/kg BB/hari agar tercapai keseimbangan metabolisme
protein yang maksimal. Protein 0,5 gr/kg BB/hari ini seyogyanya
diusahakan minimal 60% atau 0,35 gr/kg BB/hari berupa makanan yang
mengandung protein dengan nilai biologik tinggi. Protein dengan nilai
biologik tinggi ialah protein dengan susunan asam amino yang menyerupai
pengaturan amino essensial dan umumnya didapatkan dari protein hewani

seperti telur, susu, ikan, ayam, daging tidak berlemak) (Situmorang, 2009).
Asupan protein harus disesuaikan dengan kebutuhan pasien. Jumlah protein
mungkin dapat diberikan lebih banyak dari porsi yang ditetapkan untuk
melampaui efek katabolik terapi kortikosteroid. Jumlah yang lebih rendah
mungkin dibutuhkan jika gejala uremia diduga kembali muncul (Williams
& Wilkins, 2012: 273).
d. Kalium
Menurut (Williams & Wilkins, 2012: 270) penderita insufisiensi renal
dan pasien yang menjalani dialisis peritoneal tidak perlu membatasi kalium
mereka, sedangkan pasien yang mengalami hiperkalemia atau menjalani
hemodialisis harus membatasi intake kalium menjadi 2 3 g/hari. Hal ini
diperhitungkan untuk mencegah timbulnya kagawatan jantung yang
disebabkan oleh hiperkalemia (defisit volume urine, keadaan metabolik dan
obat obatan yang mengandung kalium). Jadi, untuk menghindari hal
tersebut, kadar kalium dalam serum hendaknya dijaga dalam suatu kisaran
sempit yakni 3,5 hingga 5 Eq/l.
e. Kalori/ Energi
1) Kalori
Asupan kalori yang seimbang, diperlukan untuk mencegah
penurunan berat badan dan proses katabolisme protein. Gagal dalam
mengonsumsi kalori yang cukup menyebabkan meningkatnya kadar
BUN, karena protein tubuh dipecah menjadi energi. Penderita GGK
yang tidak memerlukan dialisis wajib mengonsumsi 35 kal/kg/hari.
Penderita yang menjalani dislisis peritoneal harus mengurangi asupan

kalori mereka sebanyak 680 kal/hari untuk mengkonpensasi kalori yang


diserap melalui terapi dialisis (Williams & Wilkins, 2012: 269).
2) Asupan Energi
Situmorang (2009) menegaskan bahwa kebanyakan penderita gagal
ginjal kronik menunjukkan kurang gizi, terutama mereka yang
mempunyai pendapatan kecil dan kurangnya pengetahuan. Secara
umum, kurang gizi dicetuskan oleh berbagai faktor metabolik dan
defisit asupan kalori. Kalori yang tinggi dihasilkan dari sumber
karbohidrat dan lemak. Hal ini menjadi penting diperhatikan penderita
GGK untuk membatasi masukan protein yang diperlukan untuk
memperbaiki keseimbangan nitrogen untuk mencegah terjadinya
oksidasi protein.
f. Lemak
Konsumsi lemak juga harus ada pembatasan, terutama pengguna lemak
tak jenuh ganda. Lemak normal untuk pasien dialisis berkisar antara 15
30% dari kebutuhan energi total (Situmorang, 2009).
g. Vitamin
Penderita GGK biasanya mengalami defisiensi vitamin yang larut
dalam air. Kurangnya asupan yang masuk dalam tubuh disebabkan oleh
anoreksia, restriksi makanan, perubahan metabolisme akibat uremia,
medikasi atau peningkatan kehilangan vitamin yang dipengaruhi terapi
dialisis. Baik penderita yang menjalani hemodialisa maupun tidak harus
mendapatkan suplementasi berdasarkan Recommended Dietary Allowances
(RDAs). Pasien yang mengalami defisiensi vitamin tersebut harus
mendapatkan vitamin B6 dan asam folat melebihi RDA untuk

meningkatkan produksi sel darah merah. Asupan vitamin C harus dibatasi


sampai 100 mg untuk mencegah terjadinya batu ginjal (Williams &
Wilkins, 2012: 271).
4. Diet Penyakit Ginjal Kronik
a. Tujuan Diet Penyakit Ginjal Kronik
Tujuan diet penyakit gagal ginjal kronik adalah:
1) Mencapai

dan

mempertahankan

status

gizi

optimal

dengan

memperhitungkan sisa fungsi ginjal, supaya tidak memberatkan beban


kerja ginjal.
2) Mencegah

atau

mengurangi

progesifitas

gagal

ginjal

dengan

memperlambat turunnya LFG.


3) Mencegah dan menurunkan kadar ureum yang tinggi pada darah.
4) Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit (Situmorang, 2009).
b. Syarat Pemberian Diet pada Gagal Ginjal Kronik
Syarat pemberian diet gagal ginjal kronik menurut Situmorang (2009):
1) Asupan kalori atau energi cukup, yaitu 35 kkal/kg BB.
2) Protein rendah, yaitu 0,6 0,75 gr/kg BB. Sebagian harus memiliki
nilai biologik tinggi.
3) Lemak cukup, yaitu 20 30% dari kebutuhan total energi, diutamakan
lemak tak jenuh ganda.
4) Karbohidrat cukup, yaitu kebutuhan energi total dikurangi dari
makanan yang mengandung protein dan lemak.
5) Pembatasan natrium bila terjadi hipertensi, oedema, acites, oliguria,
anuria. Natrium dibatasi 3 4 g/hari untuk membantu mencegah retensi
cairan dan tekanan darah tinggi (Williams & Wilkins, 2012: 273).

6) Pembatasan kalium berdasarkan dengan kadar kalium serum dan terapi


diuretik yaitu: 60 70 mEq.
7) Pembatasan cairan yaitu sebanyak jumlah urine per hari ditambah
dengan pengeluaran cairan melalui keringat dan pernafasan 500 ml.
8) Vitamin cukup, yaitu vitamin B6, vitamin C, asam folat dan suplemen
perodoksin
Ada tiga macam jenis diet yang diberikan menurut BB pasien, yaitu:
1) Diet Protein Rendah I: 30 gr protein diberikan kepada pasien dengan
BB 50 kg.
2) Diet Protein Rendah II: 35 gr protein diberikan kepada pasien dengan
BB 60 kg.
3) Diet Protein Rendah III: 40 gr protein diberikan kepada pasien dengan
BB 65 kg.
Nutrisi yang diperlukan oleh pasien dengan gagal ginjal kronik stadium
pra akhir bergantung pada uji diagnostik. Kebutuhan protein harian
berkisar 0,8 1 g/kg. Karena kebutuhan gizi pasien bergantung pada status
kesehatan dan BB perorangan, maka jumlah protein yang diberikan dapat
lebih tinggi atau lebih rendah dari standar yang sudah menjadi tetapan
(Williams & Wilkins, 2012: 269).
5. Pola Konsumsi Makanan Penderita Gagal Ginjal yang Menjalani
Hemodialisa
Pola makan adalah cara individu atau kelompok dalam memilih makanan
sebagai tanggapan terhadap pengaruh fisiologis, psikologis, kebudayaan dan
sosial. Situmorang (2009) menambahkan bahwa pola konsumsi merupakan
gambaran mengenai jumlah, jenis dan frekuensi bahan makanan yang

dikonsumsi perorangan dalam keseharian dan merupakan suatu ciri khas pada
suatu komunitas tertentu. Konsumsi pangan merupakan faktor utama untuk
memenuhi keseimbangan kebutuhan gizi seseorang. Pengaturan diet atau pola
makan pada pasien gagal ginjal sangat berpengaruh bagi status kesehatan
secara umum.
Tabel 2.5 Daftar Kadar Natrium dan Kalium Bahan Makanan
(mg/100 g Bahan Makanan) menurut Almatsier (2006)
a. Sumber Karbohidrat
Bahan Makanan
Beras giling
Beras giling
Beras ketan
Beras merah
Bihun
Biskuit
Havermout
Jagung kuning
Kentang
Krekers (soda)
Krekers graham
Kue kue
Makaroni
Misoa

Natrium
5
5
5
2
13
500
5
5
7
110
710
250
3
1

Kalium
100
303
282
282
195
195
200
400
260
396
120
330
132
96

Bahan Makanan
Roti bakar
Roti coklat
Roti coklat tak
bergaram
Roti kismis
Roti putih
Roti putih tak
bergaram
Roti susu
Singkong
Tepung kedelai
Tepung tapioka
Tepung terigu
Ubi kuning
Ubi putih
Vermiseli

Natrium Kalium
700
150
500
200

Kalium
350
100
250
210
300
350
350
498
159
300
350
350
213
300
335

Bahan Makanan
Ikan tongkol
Babat
Keju
Lidah
Merah elur ayam
Merah telur
bebek
Paru paru sapi
Putih telur ayam
Putih telur bebek
Sosis
Telur ayam
Telur bebek
Udang
Usus besar

Natrium Kalium
180
470
57
158
1250
100
100
250
128
169

10
300
530

200
91
94

3
500
3
11
5
2
36
30
3

150
394
926
400
400
150
304
210
130

b. Sumber Protein Hewani


Bahan Makanan
Ayam
Corned beef
Daging anak sapi
Daging babi
Daging bebek
Daging domba
Daging kelinci
Daging sapi
Ekor sapi
Ginjal
Ham
Hati babi
Hati sapi
Ikan
Ikan mas

Natrium
100
1250
100
30
200
100
50
93
73
200
1250
150
110
100
-

125
190
215
2281
1000
158
191
185
84

106
136
172
158
250
176
258
333
177

Ikan sarden

131

501

Usus halus

123

213

c. Sumber Protein Nabati


Bahan Makanan
Kacang hijau
Kacang kedelai
Kacang kedelai
kuning
Kacang kedelai
hitam
Kacang mete
Kacang merah

Natrium
6
-

Kalium
1132
1504

Bahan Makanan
Kacang tanah
Kecap
Keju kacang
tanah
Tahu
Tempe

Natrium Kalium
4
421
4000
500

1504

26
19

410
420
1151

Natrium
14
4
9
18
36
16
18

Kalium
294
416
166
373
330
652
295

Bahan Makanan
Mentimun
Kol
Peterseli
Petsay
Prei
Selada
Seledri batang
Seledri daun
Tomat
Sortel

Natrium Kalium
5,3
122
10
238
28
900
22
279
5
316
15
203
75
350
96
326
4
235
70
245

11
1
20

295
370
349

Natrium
2
6
2
3,8
1
4
1

Kalium
278
111
130
203
193
130
232

Bahan Makanan
Jeruk manis
Jeruk
Nanas
Pepaya
Pisang
Sari apel
Sawo

Natrium Kalium
4
137
2
162
2
125
4
221
18
435
1
95
3
181

Natrium
100
100
50
600
50
150

Kalium
500
90
150
1800
200
320

Bahan Makanan
Susu kental tak
bergula
Susu penuh cair
Susu penuh
bubuk
Susu krim cair
Susu krim bubuk
Youghurt

Natrium Kalium
140
303

607
12
-

670
151
-

d. Sayuran
Bahan Makanan
Andewi
Bayam
Bawang merah
Bawang putih
Bit
Daun pepaya
Kacang buncis
Kacang kapri
(biji)
Kapri
Kembang kol
e. Buah buahan
Bahan Makanan
Alpokat
Anggur
Apel hijau
Apel merah
Arbei
Belimbing
Duku
f. Susu
Bahan Makanan
Cokelat susu
Es krim
Susu
Susu asam bubuk
Susu kambing
Susu kental manis

36

150

380
38
470
175

1200
149
1500
200

g. Lemak
Bahan Makanan
Kelapa
Lemak babi
Margarin

Natrium
7
1500
987

Kalium
555
250
23

Bahan Makanan
Margarin tak
bergaram
Mentega
Santan

Natrium Kalium

Natrium
8
5000
500
4
38758
24
0,3

Kalium
46
100
1000
830
4
230
0,5

Bahan Makanan
Hagelslag
Jam
Kopi
Madu
Teh
Tomato ketchup

Natrium Kalium
25
300
15
75
0,03
16
60
210
10
1800
2100
800

15
987
4

10
15
324

h. Lain lain
Bahan Makanan
Bit (4% alkohol)
Boulin blok
Bubuk coklat
Cokelat pahit
Garam
Gula merah
Gula putih

6. Kepatuhan
a. Pengertian
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) (2007: 849), kepatuhan
berasal dari kata patuh yang berarti suka menurut; taat; berdisiplin. Kepatuhan
adalah suatu pengukuran pelaksanaan kegiatan sesuai dengan langkah
langkah yang telah ditetapkan. Penilaian ini dapat digunakan sebagai kontrol
bahwa program telah terlaksana sesuai standar dan sejauh mana perilaku
pasien dengan ketentuan yang diberikan oleh tenaga kesehatan (Sudarwati
2003 cit. Hirowati, 2010).
b. Faktor faktor yang mempengaruhi kepatuhan
Menurut Diana (2012) faktor faktor yang dapat mendukung sikap
patuh pasien, diantaranya:

1) Kemampuan
Kemampuan stimulus otak dalam menerima dan mengekspresikan
stimuli visual. Secara garis besar otak memproses sesuatu yang dilihat,
seperti sensitifitas terhadap warna, bentuk, garis dan ruang.
2) Motivasi
Motivasi

merupakan

karakteristik

psikis

manusia

dalam

memberikan kontribusi pada tingkat komitmen seseorang. Hal ini


adalah faktor yang menyebabkan, menyalurkan dan mempertahankan
perilaku manusia dalam memilih tujuan tertentu. Motivasi juga dapat
didefinisikan sebagai gagasan yang mendorong seseorang untuk
melakukan pekerjaan atau menjalankan perintah baik dari individu
maupun orang lain dalam berperilaku.
3) Fasilitas
Fasilitas kelengkapan di Rumah Sakit turut menentukan penilaian
kepuasan pasien, sebagai contoh: fasilitas yang ditunjau dari sarana pra
sarana (ruang tunggu, bangsal, resepsionis, masjid, tempat parkir, food
mart) yang nyaman. Walaupun hasil ini tidak vital dalam penentuan
penilaian kepuasan pasien, namun daripada itu management Rumah
Sakit perlu memberikan pengaturan dan peraturan pada fasilitas yang
ada di Rumah Sakit dalam penyusunan strategi menarik konsumen.
4) Pengetahuan
Pengetahuan diperlukan sebagai motivasi diri dalam membubuhkan
kepercayaan diri maupun dorongan sikap dan perilaku, sehingga
mendapat kesimpulan bahwa pengetahuan merupakan stimulus
terhadap tindakan yang akan dilakukan seseorang.

5) Pendidikan
Pendidikan pasien dapat meningkatkan kepatuhan sepanjang
pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif, seperti
bersekolah sampai jenjang sarjana ataupun mencari serangkaian ilmu
pengetahuan secara otodidak (dari buku, majalah, koran, internet).
6) Modifikasi Faktor Lingkungan dan Sosial
Membangun dukungan sosial baik dari keluarga, saudara atau
kerabat. Dukungan dapat dibentuk untuk membantu pasien dalam
memahami

kepatuhan

terhadap

program

pengobatan,

seperti

pengaturan diet dan pola makan.


7) Perubahan Model Terapi
Program terapi dibuat sederhana dan sekompleks mungkin agar
pasien diharapkan dapat mengikuti dan terlibat aktif dalan menjalankan
terapi yang diberikan.
8) Meningkatkan Komunikasi Terapeutik
Merupakan proses untuk menciptakan hubungan antara perawat pasien dan tenaga kesehatan lain untuk mengenal kebutuhan pasien dan
menentukan rencana tindakan serta kerjasama dalam memenuhi
kebutuhan. Komunikasi terapeutik memiliki peranan yang penting
untuk membantu pasien dalam memecahkan masalah. Komunikasi
dengan model ini tidak dapat dipisahkan dari tingkah laku pasien yang
memiliki keterlibatan aktifitas fisik, mental, latar belakang sosial,
pengalaman, pendidikan dan tujuan hidup (Musliha dan Fatmawati,
2010: 24-25)

c. Faktor Faktor yang Mempengaruhi Ketidakpatuhan


Faktor faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan pasien, antara
lain:
1) Pemahaman Tentang Instruksi
Pasien tidak dapat mematuhi perintah atau anjuran bila pasien
mendapat kesalahpahaman dalam komunikasi (miscomunication)
tentang instruksi yang diberikan.
2) Kualitas Interaksi
Kualitas interaksi akan menjadi bagian penting dalam menentukan
derajat kepatuhan. Bilamana terjadi kegagalan dalam memberikan
kenyamanan dalam interaksi, perawat akan mengalami kesulitan dalam
mengidentifikasi

dan

mengkaji

masalah

serta

mengevaluasi

implementasi asuhan keperawatan yang diberikan.


3) Isolasi Sosial dan Keluarga
Merupakan keadaan dimana pasien mengalami ketidakmampuan
untuk mengadakan hubungan dengan keluarga, orang lain atau dengan
lingkungan sekitar secara wajar. Pada pasien dengan perilaku menarik
diri sering melakukan kegiatan yang ditujukan untuk mencapai
pemuasan diri, dimana pasien melakukan usaha untuk melindungi diri
sehingga ia menjadi pasif dan berkepribadian kaku. Jadi semakin sering
pasien menarik diri, semakin banyak kesulitan yang dialami dalam
mengembangkan hubungan sosial dan emosional dengan orang lain.
Hal ini berpengaruh dalam menentukan keyakinan dan nilai kesehatan
pasien serta dapat menentukan tentang program pengobatan yang dapat
pasien terima (Diana, 2012).

B. Kerangka Teori

Faktor faktor yang


mempengaruhi ketidakpatuhan :
Diet penyakit ginjal kronik :
Tujuan diet
Syarat pemberian diet

Pemahaman tentang instruksi


Kualitas interaksi
Isolasi sosial dan keluarga

Pola konsumsi
makan :
Jenis
Jumlah
Frekuensi

Tingkat kepatuhan :
Pasien GGK yang menjalani
terapi hemodialisa

Zat gizi penderita GGK :

Cairan dan Natrium


Natrium
Protein
Kalium
Kalori/ energi
Lemak
Vitamin

Patuh
Tidak patuh

Faktor faktor yang mempengaruhi


kepatuhan :

Kemampuan
Motivasi
Fasilitas
Pengetahuan
Pendidikan
Modifikasi faktor lingkungan &
sosial
Perubahan model terapi
Komunikasi terapeutik

Gambar 2.1 Skema Kerangka Teori


Keterangan :
Diteliti
Tidak diteliti

C. Kerangka Konsep

Pola konsumsi
makan :
Jenis
Jumlah
Frekuensi

Patuh
Kepatuhan pasien GGK yang
menjalani terapi hemodialisa
Tidak Patuh

Gambar 2.2 Skema Kerangka Konsep

D. Hipotesis

Hipotesis penelitian disusun berdasarkan kajian pustaka secara deduktif dan


konsep dasar penelitian yang diwujudkan dalam suatu kerangka konsep penelitian.
Jawaban sementara dari masalah penelitian diatas dapat dirumuskan sebagai
berikut: Ada hubungan antara pola makan dengan kepatuhan pasien Gagal Ginjal
Kronik (GGK) dalam menjalani hemodialisa di RSUD Panembahan Senopati
Bantul Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai