Anda di halaman 1dari 6

Semilir Angin dari Masa Lalu

By : Winda Ayundini

Semilir angin bertiup, melenggang di antara semak-semak yang menjulang tinggi,


menyapa dedaunan yang berlomba-lomba untuk sampai di daratan dan menghembuskan
udara dingin yang menyapu kulit orang-orang di sekitar. Ya! Tahun ini, musim gugur datang
lebih awal. Musim yang selalu Alona hindari. Musim yang membawanya pada masa-masa
suram dalam hidupnya. Musim yang mengambil sebagian kehidupannya.

“Alona. Tolong kamu sapu halaman belakang ya.” pinta Bunda Linda. Alona yang
sedari tadi hanya menatap langit-langit ruangan dan merasakan aroma khas dari musim gugur
yang menyeruak di dalam rumah, kini beranjak dan keluar menuju halaman belakang.
Didengarnya Alex, sang kakak, yang tengah memetik senar-senar gitarnya, menyampaikan
melodi-melodi indah yang bermakna dan meresapi setiap aroma musim gugur yang
mengitarinya di sebuah rumah pohon yang di desain hanya untuk dirinya dan kakaknya,
Alex.

“Alex, bisakah kau membantuku dengan pekerjaan ini?” tanya Alona dengan nada
yang sedikit ditinggikan. Alex yang menyadari itu, melihat ke bawah sambil menaikkan salah
satu alisnya ke atas dan tanpa berkata sepatah kata pun ia langsung masuk ke dalam rumah
pohon. Tak sampai satu menit, suara petikan gitar itu kembali menggelitik pendengaran
Alona yang masih terdiam sambil memegang sapu, tepat di bawah rumah pohon tersebut.
Jelas, Alona kesal mendapati perilaku kakak satu-satunya itu.

“Alona! Alona!” samar-samar terdengar suara. Suara seseorang yang meneriakkan


namanya akrab, lagi dan lagi. “Alona! Alona!” Sang pemilik nama pun menyerah untuk tidak
menyahutnya. “Aku mendengarnya, Ben.” Jawab Alona pada akhirnya. Ia mencari pemilik
suara berat itu, menyisir pagar-pagar kayu yang membatasinya dengan sang pemilik suara
berat. Pagar-pagar yang menjulang tinggi, yang membatasi halaman belakang rumah dengan
dunia luar. “Aku disini.” Suara ketukan keras terdengar, tak sabar dan menuntut untuk cepat
ditemukan.

“Ada apa?” tanya Alona yang kini telah berdiri tepat di lokasi sang pemilik suara
berat tadi mengetuk-ngetukan pagar kayunya. “Ayo keluar.” Ajaknya. Alona yang
mendengar ajakan Ben, sahabat kecilnya, menghela nafas panjang dan mengetuk-ngetuk
pagar kayu itu sebanyak 2 kali. “Hanya sebentar?” ajaknya lagi. Namun, Alona tetap
memberikan reaksi yang sama. “Apa perlu aku mengajak Alex juga untuk menjagamu?”
pintanya. Negosiasi terus berjalan, antara Ben yang tetap bersikeras untuk mengajak Alona
keluar dan Alona yang memang enggan untuk keluar sementara waktu.

Lama terdiam, Ben pun kembali membuka suaranya. “Ini menyangkut Daniel,” kini
suara Ben melemah. Deg.. Kaki Alona seketika melemas. “Aku mengajakmu keluar untuk
bertemu dengannya. Apa kamu lupa? Hari ini dia berulang tahun Alona.” Jelasnya. Suara Ben
mulai bergetar. Sungguh! Nama itu seharusnya tidak meluncur keluar dari mulut Ben.

---
ALEX POV
“Ini menyangkut Daniel,” aku mendengar percakapan dua orang sahabat ini dari atas
pohon. Secara tak sadar, aku menghentikan kegiatan memetik senar-senar gitar dan
menyimak percakapan mereka. Dengan tatapan nanar aku melihat adikku, Alona yang sudah
bergetar bahunya, menyandarkan telapak tangannya lemah pada pagar kayu, menunduk,
menatap rerumputan. “Aku mengajakmu keluar untuk bertemu dengannya. Apa kamu lupa?
Hari ini dia berulang tahun Alona.” Jelas Ben. Suara berat itu masih terdengar olehku,
walaupun kini suaranya melemah. Namun kali ini, suara Ben terdengar bergetar. Tanpa pikir
panjang, aku segera menuruni anak tangga dan menghampiri Alona yang semakin bergetar
dan menunduk dalam.

“Kau tak apa?” tanyaku khawatir, kemudian menarik adikku kedalam pelukan. Tubuh
adikku sudah bergetar hebat. Aku dapat merasakan bahwa kini bajuku mulai basah dengan air
mata. Air mata tangisan adik kecilku. Air mata yang seharusnya tidak keluar setelah sekian
lama.

“Ben, sebaiknya kau tidak perlu menyebut nama itu lagi.” Aku angkat bicara. ‘Dia
sudah gila? Atau sakit? Aku tidak mengerti dengan isi kepalanya yang jelas-jelas sudah
melampaui batas.’ Ben tertegun mendengar suara Alex. “Aku tidak bermaksud-“ , “Pergilah.”
Ujarku tegas. “Pergilah. Jangan membuatnya menangis, atau kau akan berurusan denganku.”
Dengan rasa berat hati dan bersalah, Ben berbalik dan melangkah menjauhi pagar kayu.

“Duduklah, aku akan mengambil air.” Pintaku yang langsung membantu Alona,
mendudukannya pada sebuah bangku kayu yang berada di bawah rumah pohon. Sedikit
merunduk dan menatap lekat dirinya, berusaha menguatkan adik kecilku ini agar tidak
mengingat kembali hal-hal buruk yang pernah terjadi.
“Alex..” suara Alona akhirnya keluar. Ia menatapku dengan kedua manik mata yang
masih berkaca-kaca. Manik mata yang jernih dan selalu teduh. “Apa yang sedang
dilakukannya?” Sebuah senyuman tipis terukir di wajah Alona, senyuman yang lebih
menyiratkan kesedihan, senyuman yang membawanya kembali mengingat masa-masa itu.

---

FLASHBACK

“DANIEL! Apa yang telah kau perbuat huh?” Alex, dengan geramnya mencengkram
kuat baju seseorang yang kini tengah menatap matanya sayu. Seseorang yang telah membuat
adiknya, Alona, menjadi lebih pendiam dan enggan untuk keluar dari kamarnya. “Aku
melakukan apa yang seharusnya aku lakukan, Alex.” Suaranya terdengar lemah. “APA? Apa
yang kau lakukan? Jelaskan padaku!” pintanya kasar. Alex menjatuhkan cengkramannya
dan menatap orang itu lekat-lekat. Meminta penjelasan atas semua yang telah terjadi tanpa
sepengatahuannya. “Alona tidak mengizinkanku untuk memberitahukan ini pada siapa pun.
Terlebih kau, Alex.” Ujarnya. Seringaian itu mengembang di sudut bibir Daniel, sahabat
kecil Alona dan Alex sekaligus tunangan Alona. Laki-laki itu tertawa pelan dan menatap
mata Alex dengan tatapan ‘kau tidak seharusnya ikut campur dalam hal ini’. Alex naik
pitam, ia mengepalkan kedua tangannya kuat dan melayangkan sebuah pukulan,
menghantam sudut bibir Daniel yang kini mengeluarkan darah segar. Satu kali. Dua kali.
Daniel tetap tersenyum dan menatap mata Alex.Tatapan mata yang memintanya untuk terus
melayangkan sebanyak-banyaknya pukulan di wajahnya. Tatapan mata pasrah.

“ALEX! Cukup!” teriakkan itu menghentikan kegiatan brutal Alex. Seseorang, yang
berbalut dress coklat susu menghampiri mereka. Wajahnya yang penuh dengan peluh,
menatap Daniel dengan penuh khawatir. “Aku mohon cukup!” Suaranya bergetar.

---

“Daniel maaf. Aku tidak dapat membawanya kesini.” Ben tertunduk lemah. Sang
empunya nama hanya diam tak membalas. “Sepertinya dia masih mengingatnya. Mungkin,
dia tidak akan pernah bisa melupakannya.” Tambahnya. Suara kicauan burung mulai
terdengar memanggil, saling sahut-menyahut. Ranting pohon yang mulai mengetuk-ngetukan
dirinya di jendela yang tertutup, serta suara gemerisik daun yang saling bergesekan satu sama
lainnya menambah kesunyian yang sudah menyelimuti tempat itu. Orang bernama Daniel itu
tetap terdiam, tak bersuara. “Sudah berapa lama ya?” Ben menatap Daniel dan
menyunggingkan sebuah senyuman getir. Senyuman yang mengingatkannya akan masa-masa
menyenangkan, masa-masa ketika mereka bertiga masih bersama.

---

“Daniel, hentikan. Itu sungguh menggelikan.” Tawanya. Seorang malaikat tak


bersayap, yang turun ke bumi hanya untuk dua insan buruk rupa. “Ben, target mulai
menjauh. Laksanakan misi ke dua.” Perintahnya. “Ayay kapten. Ben segera meluncur untuk
melaksanakan misi kedua.” Ben yang tadinya berlari dengan tangan kosong, kini
mengeluarkan sebuah pistol mainan dari saku belakangnya. Pistol yang sudah diisinya
dengan cairan berwarna. Tak kalah saing, Daniel sudah menyiapkan senjata andalan,
senjata yang dapat melumpuhkan malaikat tak bersayapnya itu. “Alex! Alex! Mereka berdua
mengejarku.” Teriaknya frustasi. Alona hanya dapat menghindari serangan Ben dan Daniel
dengan berlari mengitari rumah pohon. Bersembunyi di balik batang pohon yang cukup
besar untuk menutupi tubuhnya yang terbilang mungil itu. Terdengar suara gemerisik
dedauan dari atas rumah pohon. Suara yang semakin membesar dan suara pertengkaran
hewan yang berada di atas sana. Ketiga sahabat itu menghentikan kegiatan mereka, lalu
menatap ke arah sumber suara. Alona hanya mengangkat bahu dan menggelengkan
kepalanya saat Ben menatapnya penuh tanda tanya.

“Kenapa sepi sekali?” Alex keluar dari dalam rumah karena heran. Ia menatap
ketiga orang yang sedang terdiam di tempatnya masing-masing dengan tatapan penuh tanya.
‘Ada apa?’ Mungkin itu isi dari kepalanya. Suara itu terdengar, suara patahan sebuah
batang kayu yang cukup besar datang dari atas kepala Alona. Daniel segera berlari ke arah
Alona yang masih diam, mematung heran. “Daniel!” , “Alona!” Ben dan Alex teriak
bersamaan. Mereka segera berlari ke arah rumah pohon dengan sekuat tenaga. Bruuk..
Suara dentuman keras terdengar. Batang kayu tersebut jatuh menimpa keduanya, Daniel dan
Alona. Mereka berdua terjatuh. Ben melihat darah segar di rerumputan. “Daniel!”.

---

ALEX POV

“Apa yang sedang dilakukannya?” senyuman tipis terpatri di wajahnya, wajah adik
kecilku, Alona. Senyuman yang sangat menggambarkan kesedihannya, kekhawatirannya, dan
penyesalannya. Senyuman yang membuat hatiku sesak, seperti ada yang menekannya di
dalam sana. Bahunya kembali bergetar dan aku mendengar suara isakan yang sangat samar.
“Hei..” aku merendahkan tubuhku dan berlutut di depannya, untuk melihat jelas wajah adik
kesayanganku ini. “A-aku takut.. Alex.. Aku takut.” Suaranya bergetar. Butiran-butiran air
mata itu mengalir pelan membasahi pipinya, sunyi tanpa kata, tanpa ada peringatan.
“Udaranya mulai dingin, kita masuk ke dalam ya?” aku memegang bahunya dan
membantunya berdiri. Tanpa sepatah kata pun, ia menurut dan berjalan masuk bersamaku.
Aku melihat sekeliling dan syukurlah bunda sedang berada di dapur, jadi dia tidak akan
khawatir melihat keadaan Alona yang sedang berantakan seperti ini. “Kamu masuklah, basuh
wajahmu. Aku akan turun duluan.” Wajahnya yang masih tertunduk lemah, mengangguk
pelan sebelum akhirnya aku menutup pintu kamarnya.

“Ada apa sayang?” aku kaget mendapati bunda yang baru saja datang, “Adikmu
Alona kenapa? Kok tadi kamu yang bawa ke kamar?” tanya bunda dengan penuh tanda tanya.
“Oh.. Eung.. Agak pusing katanya. Taulah bun, kalo dia pusing kan suka jadi linglung,
daripada jatuh dan malah ngerepotin aku, lebih baik aku antar sampai kamarnya ‘kan?”
jelasku berbohong. “Yaudah, biarin dia istirahat aja. Kamu turun sana, mandi, habis itu kita
makan malam.” ujar bunda yang sudah berdiri di depan pintu kamar utama, yang berada tak
jauh dari kamarnya Alona. “Oke bunda. Aku duluan ya.”

---

Matahari sudah tenggelam, digantikan oleh rembulan yang bersembunyi malu dibalik awan
hitam yang menyelimuti langit malam. Di ruang makan, Alona, Alex dan bunda Linda sedang
menghabiskan makanan mereka, sambil sesekali bertukar canda.

“Alona sayang, minggu depan kamu ada meeting dengan klien dari Indonesia ya?” tanya
bunda.

“Iya bun, katanya mau menawarkan kerja sama dan pertukaran pegawai untuk training
profesi..”

“Oh ya? Kenapa kamu tidak coba mengusulkan namamu sebagai peserta pertukaran itu
sayang? Sekalian ketemu papamu nanti disana.”

Alona menghentikan makannya dan berfikir sejenak, kemudian melirik ke arah Alex yang
masih sibuk menghabiskan makanannya.
“Kak Alex, gimana?” Alona menatap kakaknya, meminta pendapat mengenai hal ini. Alex
yang mendengar namanya dipanggil langsung menatap Alona dan bundanya secara
bergantian.

“Kalau Alex sih terserah Alonanya bun.. Tapi, papa belum menghubungi Alex lagi bulan ini
sih. Mungkin kamu bisa hubungi papa dulu, Na.”

“Ya sudah, nanti Alona coba hubungi papa.”

---

“Pa, Alona mau boneka beruang itu.. Pokoknya yang besar itu..” rengek seorang gadis kecil
pada seorang pria yang menatapnya sayu.

“Iya Alona sayang, papa belikan setelah kita makan ya..” pria itu merendahkan tubuhnya
untuk mengelus pucuk kepala gadis kecil itu.

“Alona, ayo kita makan dulu, kakak sudah lapar ini..” kesal seorang anak laki-laki yang
umurnya terpaut 5 tahun dari si gadis kecil. Anak laki-laki itu kemudian meraih tangan gadis
kecil yang tak lain adalah adiknya, Alona, mengajaknya untuk masuk ke dalam sebuah
restoran. Pria yang adalah ayah kedua anak tersebut hanya tersenyum dan menyusul kedua
anak itu masuk ke dalam restoran.

Alona sedari tadi hanya memandangi makanan yang sudah tersaji di meja makan tanpa
menyentuhnya.

Anda mungkin juga menyukai