Anda di halaman 1dari 5

Konsep Break Even Point (BEP) dan Etika Bisnis Corporate Social Responsibility (CSR)

A. Konsep Break Even Point (BEP)


Pengertian break even point atau yang disebut juga titik impas menurut Matz, Usry, dan
Hammer (1991), merupakan suatu analisa yang digunakan untuk menentukan jumlah penjualan
dan bauran produk yang diperlukan agar semua biaya yang terjadi dalam periode tersebut
dapat tertutupi, sehingga dapat menunjukkan suatu titik dimana perusahaan tidak memperoleh
laba ataupun menderita rugi.

Berikut ini empat elemen yang membentuk break even point (BEP) :
1. Biaya Tetap (Fixed Cost)
Fixed cost adalah biaya pokok yang tetap dikeluarkan perusahaan, dan tidak terpengaruh
dengan aktivas dan volume produksi (Alwi, 1994). Sebagai contoh: biaya sewa tempat,
upah pegawai, biaya penyusutan mesin dan sebagainya.
2. Biaya Variabel (Variabel Cost)
Menurut Alwi (1994), variable cost merupakan sejumlah biaya yang dikeluarkan yang
besarnya tergantung volume produksi, semakin besar volume produksi akan diikuti dengan
melonjaknya biaya tersebut dan demikian juga sebaliknya. Contoh variable cost antara
lain, biaya bahan baku, biaya upah lembur pegawai, biaya listrik dan sebagainya.
3. Harga Jual (Selling Price)
Secara umum, harga jual dihitung per unit barang atau jasa yang telah diproduksi.
4. Margin Kontribusi (Contribution Margin)
Margin kontribusi adalah selisih antara harga jual produk atau jasa dengan biaya variabel
per unitnya.

Formula perhitungan Break Even Point (BEP)


𝐵𝑖𝑎𝑦𝑎 𝑡𝑒𝑡𝑎𝑝 + 𝑇𝑎𝑟𝑔𝑒𝑡 𝑙𝑎𝑏𝑎 𝑜𝑝𝑒𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑅𝑝 0
𝐵𝐸𝑃 (𝑢𝑛𝑖𝑡) = 𝑀𝑎𝑟𝑗𝑖𝑛 𝑘𝑜𝑛𝑡𝑟𝑖𝑏𝑢𝑠𝑖 𝑝𝑒𝑟 𝑢𝑛𝑖𝑡

𝐵𝑖𝑎𝑦𝑎 𝑡𝑒𝑡𝑎𝑝 + 𝑇𝑎𝑟𝑔𝑒𝑡 𝑙𝑎𝑏𝑎 𝑜𝑝𝑒𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑅𝑝 0


𝐵𝐸𝑃 (𝑅𝑝) = 𝑅𝑎𝑠𝑖𝑜 𝑘𝑜𝑛𝑡𝑟𝑖𝑏𝑢𝑠𝑖 𝑝𝑒𝑟 𝑢𝑛𝑖𝑡

Menurut Sigit (1993), analisa break even point (BEP) memiliki beberapa manfaat untuk
perusahaan, antara lain :

1
● Untuk mengetahui jumlah minimal produksi dan penjualan yang harus dipertahankan agar
perusahaan tidak mengalami kerugian.
● Memaksimalkan jumlah produksi dan penjualan yang harus dicapai untuk memperoleh laba
operasi yang diinginkan oleh perusahaan.
● Perusahaan dapat mengetahui bagaimana efek perubahan harga jual, biaya dan
volume penjualan terhadap keuntungan yang diperoleh.

B. Etika Bisnis Corporate Social Responsibility (CSR)


Etika bisnis adalah tata cara ideal pengaturan dan pengelolaan bisnis yang memperhatikan
norma dan moralitas yang berlaku secara universal dan secara ekonomi dan sosial, yang
berkaitan dengan tujuan kegiatan bisnis. Setiap perusahaan memiliki tanggung jawab sosial
yang merupakan bagian dari dari etika bisnis, yaitu adanya kesadaran perusahaan bahwa
keputusan bisnisnya dapat mempengaruhi stakeholder, shareholder, masyarakat dan
lingkungan. Tanggung jawab sosial perusahaan telah lama menjadi bagian dari praktik bisnis
yang etis dan bertanggung jawab. (Warni, January 19, 2016)
The World Business Council for Sustainable Development mendefinisikan Corporate Social
Responsibility (CSR) sebagai komitmen perusahaan untuk bertindak secara etis, beroperasi
secara legal dan berkontribusi untuk peningkatan ekonomi, bersamaan dengan peningkatan
kualitas hidup dari karyawan dan keluarganya, komunitas lokal, dan masyarakat secara lebih
luas.

Berikut ini bentuk-bentuk penerapan corporate social responsibility, meliputi:


1. Konsumen, dalam bentuk memberikan produk yang berkualitas dengan penggunaan
material yang ramah lingkungan dan tidak berbahaya.
2. Karyawan, dalam bentuk pemberian rasa aman dan persamaan hak serta kewajiban atas
seluruh karyawan tanpa membedakan ras, suku, agama, dan golongan.
3. Komunitas dan lingkungan, dalam bentuk kegiatan kemanusiaan seperti diberikannya
pelatihan untuk meningkatkan keterampilan.
4. Lingkungan, dalam bentuk upaya menjaga kelestarian lingkungan hidup, sebagai contoh
melakukan daur ulang limbah.

C. Analisa Penerapan Etika Bisnis Corporate Social Responsibility (CSR) dalam Konsep
Break Even Point (BEP)
Laporan Laba Rugi CV. XAV Tekstil pada Januari 2022

2
Unit Total
Penjualan 5.000 unit baju Rp 60.000 Rp 300.000.000
Total biaya variabel : Rp 200.000.000
● Bahan baku kain katun combed Rp 20.000
● Biaya kerja langsung Rp 15.000
● Biaya aksesoris baju Rp 5.000

Marjin kontribusi Rp 20.000 Rp 100.000.000


Biaya tetap :
● Biaya upah pegawai Rp 43.750.000
● Biaya penyusutan mesin Rp 1.250.000
● Biaya sewa gedung kantor Rp 15.000.000
● Biaya sewa pabrik Rp 20.000.000

Laba operasional Rp 20.000.000


Catatan : Jumlah pegawai sebanyak 10 orang dengan upah per bulan Rp 4.375.000, yang
sudah disesuaikan dengan UMR kota Surabaya tahun 2022

Dari laporan laba rugi CV. XAV Tekstil pada Januari 2022, perusahaan mendapat laba
operasional sebesar Rp 20.000.000 dengan memproduksi dan menjual baju sebanyak 5.000
unit. Dikarenakan adanya peningkatan kasus Omicron, yang diperkirakan akan memuncak
pada akhir Februari hingga Maret 2022. Maka perusahaan ingin mengetahui berapa titik impas
(BEP) yang harus dipenuhi dalam rangka untuk menghindari kerugian perusahaan di bulan
yang mendatang.
BEP baju (unit) = Biaya tetap / Marjin kontribusi per unit
BEP baju (unit) = Rp 80.000.000 / Rp 20.000
BEP baju (unit) = Rp 80.000.000 / Rp 20.000
BEP baju (unit) = 4.000 unit baju

Berdasarkan perhitungan BEP unit di atas, perusahaan setidaknya harus berhasil


memproduksi dan menjual 4.000 unit baju agar memperoleh titik impas atau balik modal selama
meningkatnya kasus Omicron. CV. XAV Tekstil berharap setelah menurunnya kasus Omicron,
penjualan dapat ditingkatkan dengan tujuan memperoleh laba pengganti dari bulan-bulan
sebelumnya. Berikut ini perhitungan BEP, apabila perusahaan menargetkan laba operasi
sebesar Rp 40.000.000

3
BEP = (Biaya tetap + Target laba operasi) / Marjin kontribusi per unit
BEP = (Rp 80.000.000 + Rp 40.000.000) / Rp 20.000
BEP = Rp 120.000.000 / Rp 20.000
BEP = 6.000 unit baju

Untuk memperoleh laba operasi sebesar Rp 40.000.000, diperlukan produksi dan


penjualan baju sebanyak 6.000 unit dalam sebulan, yang dibebankan pada 10 orang pegawai.
Dimana perhitungannya, setiap pegawai perlu menyelesaikan 600 unit baju per bulannya.
Dalam sehari pegawai harus bisa menghasilkan 23 unit baju, yang diperoleh dari perhitungan
600 unit / 26 hari (maksimal jumlah hari kerja pegawai per bulannya). Dengan adanya
peningkatan jumlah unit produksi baju yang perlu diselesaikan oleh para pegawai, maka jam
kerja pun perlu disesuaikan kembali, yaitu bisa dengan cara lembur untuk dapat mencapai
target tersebut. Sesuai dengan peraturan ketenagakerjaan, waktu kerja lembur hanya dapat
dilakukan paling lama 4 jam dalam 1 hari dan 18 jam dalam 1 minggu, yang tertera pada Pasal
26 ayat (1) PP 35/2021.
Peningkatan beban kerja pegawai harus juga diimbangi dengan perolehan haknya, yaitu
berupa pemberian upah lembur sesuai dengan total jam lembur yang dialokasikan. Namun
perlu diperhatikan, jangan sampai karena perusahaan berusaha mengejar profit, maka
menetapkan target terlampu tinggi pada pegawai. Dimana pekerjaan yang diberikan melebihi
kapasitas dan akhirnya membuat para pegawai harus bekerja secara eksploitatif, serta
mengarah pada pelanggaran peraturan hukum yang ada. Perusahaan harus memikirkan
kesejahteraan pegawainya baik secara finansial, fisik dan mental, yang merupakan salah satu
penerapan dalam corporate social responsibility (CSR).
Selain memerhatikan etika mengenai ketenagakerjaan, perusahaan juga perlu menerapkan
etika berbisnis terhadap konsumen. Perusahaan harus menghasilkan produk yang aman dan
berkualitas untuk setiap konsumennya. Hal ini dilakukan dengan pemilihan bahan baku yang
sesuai standar kualitas yang ditetapkan. Sebagai contoh, CV. XAV Tekstil menggunakan bahan
baku dengan kualitas terbaik, yaitu kain katun combed untuk produksi setiap unit bajunya.
Dikarenakan kondisi pandemi membuat penjualan menurun, maka pimpinan perusahaan
mencari cara untuk meningkatkan profitnya, yaitu dengan cara menekan variable cost.
Perusahaan mengganti bahan baku menjadi katun carded (bahan baku termasuk dalam
perhitungan biaya variabel) yang memiliki harga lebih murah, namun kualitas kehalusan kain
yang dipakai juga menurun. Perubahan penggunaan bahan baku yang tidak sesuai standar,
memang berpengaruh pada penurunan biaya variabel. Namun apabila penurunan biaya

4
variabel tidak disertai dengan penurunan harga jual dan penyesuaian volume produk (tetap
mengacu pada perhitungan BEP sebelumnya), maka dapat dikatakan perusahaan mengambil
keputusan bisnis yang tidak etis dan lebih mementingkan untuk memeroleh profit yang tinggi.
Dengan kata lain, perusahaan melakukan kecurangan dengan menjual produk dengan harga
tinggi, namun kualitas yang diberikan tidak sebanding, yang mana sangat merugikan pembeli.
Seharusnya perubahan terhadap biaya variabel yang terjadi pada kasus diatas, wajib diikuti
dengan perubahan pada elemen lainnya dalam perhitungan BEP. Dengan adanya penyesuaian
kembali pokok-pokok biaya tetap dan biaya variabel terhadap keputusan yang telah ditetapkan
oleh pimpinan perusahaan dalam proses perencanaan produksi, diharapkan dapat
menghasilkan analisis BEP yang lebih terukur dan adil.
Sebagai penutup, setiap kegiatan produksi suatu perusahaan, biasanya akan
menghasilkan limbah. Demikian juga dengan CV. XAV Tekstil yang menghasilkan limbah kain
perca dari proses produksinya. Limbah kain merupakan material anorganik yang sulit terurai
oleh lingkungan, sehingga limbah kain perlu diproses lebih lanjut. Untuk mengatasi
permasalahan ini, perusahaan memanfaatkan kembali kain perca dan menggunakannya
sebagai bahan pembuatan aksesoris pada pakaian. Selain mengurangi limbah, hal ini juga
merupakan salah satu cara yang tepat dan efektif dalam mengurangi biaya variabel untuk
pembuatan aksesoris baju. Perusahaan juga dapat mengajarkan dan memberdayakan warga
sekitar pabrik untuk mengolah limbah kain menjadi produk yang memiliki nilai estetika dan
berdaya jual. Sehingga para warga mendapat keterampilan baru dan dapat memperoleh
tambahan penghasilan. Langkah tersebut merupakan salah satu contoh penerapan CSR,
dimana perusahaan membawa dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan sekitar.

D. Daftar Pustaka
Alwi, S. (1994). Alat-alat Analisis dalam Penjualan, Yogyakarta: Andi Offset.
Matz, A., Usry, M.F. & Hammer L.H. (1991). Akuntansi Biaya : Perencanaan dan
Pengendalian, Jakarta: Erlangga.
Sigit, S. (1993). Analisa Break Even (Edisi Ketiga). Yogyakarta: BPFE.
Warni, S. (2016, January 18). Etika Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan.
Retrieved from
https://zahiraccounting.com/id/blog/etika-bisnis-dan-tanggung-jawab-sosial-perusahaan

Anda mungkin juga menyukai