Anda di halaman 1dari 227

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Obesitas merupakan masalah kesehatan dunia yang telah

menjadi masalah epidemi kesehatan masyarakat yang serius dan

bahkan diperkirakan menjadi penyebab kematian kelima di tingkat

global (Al‐Hazzaa et al., 2014). Secara global, prevalensi kelebihan

berat badan dan obesitas pada anak usia 5 -17 tahun adalah 10% dan

ini rata-rata mencakup berbagai tingkat prevalensi di berbagai daerah

dan negara di dunia dengan diatas 30% di Amerika dan di bawah 2%

di Sub Sahara Afrika (González, Villanueva, Alcantar, & Quintero,

2015). Prevalensi obesitas pada anak usia sekolah di Malaysia

meningkat dari 6,6% menjadi 13,8%. Hal ini diperkirakan akan terus

meningkat untuk mencapai estimasi prevalensi 9,1% pada tahun 2020

(Aceves-Martins, Llaurado, Tarro, Sola, & Giralt, 2016).

Peningkatan prevalensi obesitas juga terjadi di Indonesia.

Berdasarkan Riskesdas (2018) dalam angka, prevalensi status

(IMT/U) anak umur 5-12 tahun sebesar 19,7% yang terdiri dari 11,8%

overweight dan 9% obesitas, serta prevalensi kelebihan berat badan di

provinsi Sulawesi Selatan menurut IMT/U usia 13-15 tahun sebanyak

13,6% gemuk dan 21,8% obesitas (K. K. R. Indonesia, 2018). Dari

hasil laporan beberapa tahun kebelakang dapat disimpulkan bahwa


2

kejadian obesitas anak usia sekolah khususnya untuk rentang usia 5-

12 tahun mengalami kenaikan dari tahun ke tahun.

Prevalensi masalah obesitas di Provinsi Sulawesi Selatan tahun

2013 pada anak usia sekolah sebesar 6,5% berat badan lebih dan

4,2% obesitas yang lebih rendah dari angka nasional yaitu 10,8% berat

badan lebih dan 8,0% obesitas (Kesehatan, 2013). Dilihat dari fakta

tersebut, masalah kelebihan gizi ini harus ditatalaksanakan dengan

baik. Untuk di kota Makassar sendiri berdasarkan IMT/U pada tahun

2013 prevalensi kejadian berat badan lebih pada anak mencapai

angka 7,0% dan obesitas 5,8% (Kesehatan, 2013; Makassar, 2014).

Tingginya prevalensi obesitas baik pada anak usia sekolah

maupun penduduk dewasa di Indonesia serta dampaknya yang serius

tidak hanya menjadi ancaman bagi kesehatan individu tapi juga

berdampak secara luas pada derajat kesehatan masyarakat Indonesia.

Obesitas meningkat karena perubahan pola makan dan aktivitas fisik

merupakan faktor utama pencetus obesitas. Obesitas pada anak-anak

prasekolah, sekolah dan usia remaja di Mediterania disebabkan oleh

beberapa faktor, seperti perubahan dalam kebiasaan makan, faktor

sosial ekonomi, dan kurang aktivitas fisik (Flego, Dowsey, Choong, &

Moodie, 2016; González et al., 2015).

Anak yang obesitas dengan makanan yang sering dikonsumsi

biasanya berupa sejenis snack, biskuit, ayam goreng (makanan siap

saji), cokelat, soft drink, dan sebagainya. Makanan dan minuman


3

tersebut tinggi kalori, rendah kandungan vitamin dan mineral sehingga

dapat menyebabkan terjadinya obesitas apabila dikonsumsi berlebih

(Sahoo et al., 2015). Hasil penelitian Lotta Moraeus et. al. (2015)

menunjukkan bahwa anak sekolah yang mengonsumsi minuman

manis ≥4 hari/minggu meningkat dari 7% menjadi 16%. Secara

keseluruhan, akibat gaya hidup kurang sehat dapat memicu prevalensi

overweight dan obesitas pada anak sekolah usia 7 – 9 tahun

(Moraeus, Lissner, Olsson, & Sjöberg, 2015).

Beberapa model yang dikembangkan di beberapa negara dan

masing-masing memberikan rekomendasi terhadap pencegahan

obesitas pada anak bervariasi antara lain model family focus pada

anak perempuan Afrika dan Amerika, merupakan kajian yang

efektifitas keterlibatan anak dan anggota keluarga pada pencegahan

obesitas, namun tidak melibatkan faktor budaya sehingga studi ini

tidak dapat menyimpulkan efektifitas keterlibatan anggota keluarga

dalam pencegahan obesitas (Barr‐Anderson, Adams‐Wynn, DiSantis,

& Kumanyika, 2013). Sebaliknya model intervention mapping yang

dilakukan di Sekolah di Inggris menggunakan 4 langkah pemetaan

yang fokus pada perilaku kesehatan dan melibatkan anak sekolah,

guru dan orang tua yang menunjukkan bahwa hasil pemetaan

merupakan suatu metode yang bermanfaat dalam mengembangkan

teori berdasarkan tujuan untuk memotivasi anak-anak dan model ini

memberikan kerangka kerja yang jelas untuk analisis proses, namun


4

proses ini membutuhkan waktu yang cukup lama (Lloyd, Logan,

Greaves, & Wyatt, 2011). It’s Your Move merupakan model yang

digunakan untuk mereduksi obesitas berbasis komunitas yang

dilakukan selama 3 tahun, perlakuan ini dilaksanakan di sekolah

melalui duta siswa yang bertindak sebagai duta dalam mereduksi

perilaku makan yang tidak sehat, hal ini cukup memberikan hasil yang

signifikan bahwa 3 dari 5 sekolah yang dilakukan intervensi

menunjukkan penurunan obesitas dan proporsi siswa yang berjalan ke

sekolah meningkat, siswa mengurangi aktivitas menonton televisi dan

penggunaan internet namun membutuhkan waktu penelitian yang

cukup lama (Millar et al., 2011).

Anak sekolah dasar merupakan kelompok usia yang rentan

terhadap masalah gizi dan kesehatan. Salah satu masalah yang sering

dihadapi anak usia sekolah dasar yaitu pergeseran pola makan yang

cenderung mengonsumsi makanan tinggi energi dan rendah serat.

Penyebab overweight dan obesitas yang multifaktorial menyulitkan

penatalaksanaannya. Sulitnya mengatasi obesitas menyebabkan

prioritas tatalaksananya diutamakan pada upaya pencegahan, yang

berarti diawali dari pencegahan obesitas pada usia anak sekolah.

Tindakan pencegahan merupakan cara terbaik dan aman bagi anak

usia sekolah yang masih berada dalam masa pertumbuhan. Prinsip

dasar pencegahan overweight dan obesitas adalah mengurangi

asupan energi dan meningkatkan keluaran energi (Organization,


5

2000). Asupan energi yang tinggi dapat dikurangi melalui pengendalian

konsumsi makanan sumber energi, sedangkan keluaran energi yang

rendah dapat ditingkatkan dan pengendalian berat badan melalui

peningkatan aktivitas fisik dan modifikasi perilaku melalui peer

edukator gizi (Boutelle, Neumark-Sztainer, Story, & Resnick, 2002).

Pengaruh teman sebaya adalah sangat kuat dan diharapkan

anak usia sekolah akan lebih termotivasi dan terlibat dalam perilaku

berubah ketika mereka didampingi oleh teman-teman mereka (Merhi,

Hammoud, Ziade, Kamel, & Rajab, 2014). Perilaku gizi anak usia

sekolah dapat diperbaiki dan ditingkatkan dengan adanya promosi gizi

di sekolah dengan keterlibatan teman sebaya. Metode pendidikan

kesehatan terutama pendidikan gizi yang digunakan pada anak usia

sekolah hendaknya melibatkan partisipasi anak, sehingga anak

merasa bertanggungjawab dalam menentukan perilaku sehat yang

harus mereka lakukan. Hal ini dapat dilakukan dengan pemberdayaan

kelompok sebaya atau peer group education (Stanhope & Lancaster,

2010). Pemberdayaan teman sebaya dalam memberikan edukasi

sebaya di sekolah lebih praktis bagi anak usia sekolah, dikarenakan

kelompok sebaya memberikan pengaruh adopsi yang lebih kuat

terhadap perilaku sehat anak. Edukasi sebaya lebih memberikan rasa

aman dan nyaman pada anak dibandingkan edukasi yang diberikan

oleh orang dewasa (Hidayati & Ibnu, 2015; Stanhope & Lancaster,

2010).
6

Meskipun beberapa model pencegahan tersebut dan telah

dilaksanakan namun masing-masing memiliki kelemahan yaitu tidak

melibatkan semua subyek dalam sebuah komunitas sehingga hampir

semua model yang diuraikan diatas kurang efektif dan membutuhkan

waktu yang cukup lama dalam perubahan perilaku masing-masing

subyek, sehingga atas pertimbangan tersebut dalam desain penelitian

ini mencoba memodifikasi dan mengembangkan model intervensi yang

efektif terhadap pencegahan obesitas melalui peer edukator gizi

dengan melibatkan anak usia sekolah untuk ikut berpartisipasi dalam

pencegahan obesitas.

Hasil penelitian Hidayati (2015) di Madrasah Ibtidaiyah Nurul

Huda Mojokerto menunjukkan bahwa efektifitas atau tingkat

keberhasilan peer group education tentang gizi seimbang dapat dilihat

dari proporsi keberhasilan dengan semakin baiknya perilaku gizi

sesudah mengikuti peer group education tentang gizi seimbang.

Besarnya tingkat efektifitas peer group education tentang gizi

seimbang jika dibandingkan dengan belajar mandiri dengan

menggunakan buku panduan gizi yakni 50%. Hal ini berarti peer group

education tentang gizi seimbang dapat meningkatkan perilaku gizi

siswa sebanyak 64% (Hidayati & Ibnu, 2015). Hal ini didukung juga

penelitian yang dilakukan oleh Garcia (2003) melaporkan bahwa

edukasi sebaya tentang jenis makanan sehat yang diberikan pada

anak usia sekolah sangat bermanfaat, hal ini dapat dibuktikan dari
7

keberhasilan program yang dapat dilihat dari banyaknya permintaan

anak usia sekolah yang ingin ikut serta dalam kegiatan edukasi sebaya

serta terjadi peningkatan keterampilan dalam menentukan makanan

sehat (Garcia & Zok, 2003). Penelitian lain juga membuktikan bahwa

anak lebih aman menceritakan masalahnya ke teman sebayanya

dibandingkan ke orang dewasa, dikarenakan orang dewasa sering

tidak menghargai kerahasiaan masalah yang diceritakan anak

(McDonald, Roche, Durbridge, & Skinner, 2003).

Pola makan yang cenderung tinggi kalori, tinggi lemak, dan

tinggi kolesterol (fast food) serta sedentary lifestyles behavior mulai

terjadi di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, seperti di

kota-kota besar (Duncan et al., 2011; Kwon et al, 2015). Hal tersebut

sebagian masyarakat di kota Makassar mengalami pergeseran pola

makan yang dialami oleh semua kelompok umur, termasuk anak usia

sekolah, remaja dan orang dewasa akibat kemajuan teknologi dan

kemudahan hidup. Selain itu, merambahnya makanan cepat saji gaya

barat merubah pola makanan lokal. Makanan tinggi lemak dan kalori

menjadi populer di kalangan anak-anak. Gaya hidup dan lingkungan

dalam hal ini sukar diubah disebabkan kebiasaan tersebut telah

berlangsung sejak masa kanak-kanak. Makanan yang sering

dikonsumsi anak dengan obesitas biasanya berupa potato chip dan

snack sejenis, biskuit, cokelat, soft drink, makanan siap saji (somai,

bakso, ayam goreng) dan lain sebagainya. Makanan dan minuman


8

tersebut padat kalori, rendah kandungan vitamin dan mineral sehingga

dapat menyebabkan terjadinya obesitas apabila dikonsumsi berlebih

(Noviardhi, 2014).

Studi pendahuluan yang peneliti lakukan di 16 Sekolah Dasar

Islam Terpadu (SDIT) Kota Makassar dengan melakukan pengukuran

antropometri dan menghitung IMT/Umur anak kemudian memasukkan

kedalam nilai standar deviasi berdasarkan jenis kelamin dan usia anak,

dari keseluruhan siswa yang berjumlah 2.177 siswa, yang memiliki

status gizi terdiri dari sangat kurus sebanyak 2,53% (55 siswa), kurus

4,92% (107 siswa), normal/baik 62,15% (1.353 siswa), overweight

13,92% (303 siswa), dan obesitas 16,49% (359 siswa). Dari hasil

survei yang peneliti lakukan menunjukkan bahwa anak usia sekolah

lebih menyukai jajan dan ngemil serta cenderung mengonsumsi

makanan dan minuman dengan rasa manis yang selalu disajikan serta

asupan makanan yang berlebih dipicu oleh gaya hidup diperkotaan.

Hal ini merupakan salah satu pemicu tingginya kejadian anak

overweight dan obesitas.

Data dari daerah lain menunjukkan prevalensi obesitas pada

salah satu sekolah dasar favorit di Semarang dilaporkan sebesar

27,4%, disebabkan rendahnya aktivitas fisik sebesar 64,2% dan

kurang konsumsi sayur dan buah sebesar 35,3% (Noviardhi, 2014).

Demikian pula yang terjadi di Makassar, berdasarkan hasil penelitian

Kadek AE. (2014) pada Sekolah Dasar Rajawali Makassar yaitu,


9

jumlah distribusi anak yang mengalami overweight 37% usia 6-8 tahun,

33% anak usia 9-10 tahun dan 29% anak kelas empat berusia antara

10-12 tahun, disebabkan asupan makanan yang berlebih dan

rendahnya aktivitas fisik anak serta senang jajan pada waktu istirahat

dan pulang sekolah (Erika & Nurachmah, 2014).

Setting penelitian ini ditempatkan pada Sekolah Dasar Islam

Terpadu (SDIT) di kota Makassar dengan pertimbangan dari beberapa

literatur bahwa sekolah merupakan lokasi unik yang diposisikan untuk

mendukung perilaku hidup sehat dan aktivitas fisik, serta berdasarkan

pada rekomendasi Depkes (2012) bahwa lingkungan sekolah

merupakan tempat yang baik untuk edukasi kesehatan yang dapat

memberikan pengetahuan karena itu dapat berfungsi sebagai media

untuk pencegahan obesitas pada anak usia sekolah (Kementerian

Kesehatan, 2012).

Sekolah dapat menjadi sarana dalam upaya pencegahan

obesitas pada anak usia sekolah karena difokuskan pada upaya

promotif dan preventif dalam meningkatkan perilaku makan yang sehat

dan mengurangi aktivitas santai melalui pendekatan sekolah. Dua

pertiga anak usia sekolah adalah anak sekolah yang separuh waktu

berada di sekolah sehingga promosi kesehatan baik dilaksanakan di

sekolah (Kementerian Kesehatan, 2012). CDC (2012) menyatakan

bahwa sekolah berperan penting dalam memperbaiki perilaku makan

dan aktivitas fisik anak usia sekolah dalam mencegah atau


10

menurunkan prevalensi overweight atau obesitas (Huang et al., 2013).

Dalam era modern, sekolah memberikan kesempatan terbaik dalam

pendekatan berbasis populasi dan kelompok berisiko sebagai upaya

promotif dan preventif untuk meningkatkan perilaku makan dan

aktivitas fisik dalam menurunkan prevalensi obesitas. Bahkan anak-

anak mengonsumsi hingga sepertiga atau bahkan setengah dari kalori

mereka sehari-hari di sekolah, sehingga sekolah merupakan tempat

unik untuk memengaruhi kualitas makanan mereka (Huang et al.,

2013; Moon, Roh, Lee, & Goins, 2016).

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi gizi

lebih dan obesitas meningkat secara signifikan yang terjadi di seluruh

dunia, baik pada negara-negara maju maupun juga pada negara-

negara berkembang termasuk Indonesia. Belum banyak penelitian

atau publikasi ilmiah yang melaporkan tentang upaya pencegahan gizi

lebih dan obesitas di Indonesia terutama pada anak usia sekolah.

Padahal beberapa masalah gizi dan kesehatan pada saat dewasa bisa

diperbaiki dan dicegah pada saat anak-anak termasuk gizi lebih dan

obesitas, sehingga pencegahan obesitas pada kelompok usia sekolah

akan mencegah terjadinya obesitas pada dewasa, maka peneliti akan

melakukan penelitian mengenai tata laksana pencegahan obesitas

pada anak usia sekolah melalui model intervensi peer edukator gizi di

sekolah dasar.

B. Rumusan Masalah
11

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka rumusan masalah

dalam bentuk pertanyaan dapat dikemukakan sebagai berikut:

1. Bagaimana perbedaan pengetahuan gizi anak overweight sebelum

dan setelah penerapan model intervensi peer edukator gizi pada

kelompok perlakuan dan kelompok kontrol ?

2. Bagaimana perbedaan sikap terhadap gizi anak overweight

sebelum dan setelah penerapan model intervensi peer edukator

gizi pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol ?

3. Bagaimana perbedaan aktivitas fisik anak overweight sebelum dan

setelah penerapan model intervensi peer edukator gizi pada

kelompok perlakuan dan kelompok kontrol ?

4. Bagaimana perbedaan kebiasaan makan cemilan anak overweight

sebelum dan setelah penerapan model intervensi peer edukator

gizi pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol ?

5. Bagaimana perbedaan kebiasaan jajan anak overweight sebelum

dan setelah penerapan model intervensi peer edukator gizi pada

kelompok perlakuan dan kelompok kontrol ?

6. Bagaimana perbedaan kebiasaan minum soft drink anak

overweight sebelum dan setelah penerapan model intervensi peer

edukator gizi pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol ?

7. Bagaimana perbedaan asupan gizi (asupan energi, karbohidrat,

lemak, protein dan serat) anak overweight sebelum dan setelah


12

penerapan model intervensi peer edukator gizi pada kelompok

perlakuan dan kelompok kontrol ?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Melahirkan Model Pendampingan Intervensi Peer Edukator Gizi

Dalam Upaya Perubahan Perilaku Penurunan Kejadian Overweight

Di SDIT Kota Makassar

2. Tujuan Khusus

a. Menilai besar perbedaan perubahan pengetahuan gizi anak

overweight sebelum dan setelah penerapan model intervensi

peer edukator gizi pada kelompok perlakuan dan kelompok

kontrol.

b. Menilai besar perbedaan perubahan sikap terhadap gizi anak

overweight sebelum dan setelah penerapan model intervensi

peer edukator gizi pada kelompok perlakuan dan kelompok

kontrol.

c. Menilai besar perbedaan perubahan aktivitas fisik anak

overweight sebelum dan setelah penerapan model intervensi

peer edukator gizi pada kelompok perlakuan dan kelompok

kontrol.

d. Menilai besar perbedaan perubahan kebiasaan makan cemilan

anak overweight sebelum dan setelah penerapan model


13

intervensi peer edukator gizi pada kelompok perlakuan dan

kelompok kontrol.

e. Menilai besar perbedaan perubahan kebiasaan jajan anak

overweight sebelum dan setelah penerapan model intervensi

peer edukator gizi pada kelompok perlakuan dan kelompok

kontrol.

f. Menilai besar perbedaan perubahan kebiasaan minum soft drink

anak overweight sebelum dan setelah penerapan model

intervensi peer edukator gizi pada kelompok perlakuan dan

kelompok kontrol.

g. Menilai besar perbedaan perubahan asupan gizi (asupan energi,

karbohidrat, lemak, protein dan serat) anak overweight sebelum

dan setelah penerapan model intervensi peer edukator gizi pada

kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.

D. Manfaat Penelitian

1. Aspek Ilmiah

Dengan adanya model pencegahan berbasis peer edukator

gizi, hal ini dapat menjadi model efektif dalam tata laksana

pencegahan obesitas pada anak usia sekolah dasar.

2. Aspek Pelayanan

Penerapan model ini dapat meningkatkan pelayanan

kesehatan dan menghidupkan kembali usaha kesehatan sekolah


14

dalam rangka pencegahan dan penanganan masalah obesitas

pada anak usia sekolah dasar di sekolah yang bersangkutan.

3. Aspek Penelitian

Penelitian ini dapat memberikan masukan kepada tenaga gizi

kesehatan masyarakat untuk dapat mengembangkan strategi

preventif dan promosi kesehatan melalui peer edukator gizi pada

anak usia sekolah melalui program tata laksana pencegahan

obesitas di sekolah yang belum banyak dikembangkan pada anak

usia sekolah dasar.


15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menguraikan tentang konsep obesitas, konsep anak usia

sekolah, konsep peer nutrition education, strategi intervensi anak usia

sekolah dalam pencegahan overweight dan obesitas, teori dan model

intervensi anak usia sekolah dalam pencegahan obesitas.

A. Konsep Obesitas

1. Definisi Obesitas

Obesitas pada anak adalah kelebihan berat badan sebagai

akibat dari penimbunan lemak berlebihan dengan ambang batas

indeks massa tubuh per umur (IMT/U) > 2 Standar Deviasi (WHO,

2005)(Kementerian Kesehatan, 2012; RI, 2011). Overweight dan

obesitas terjadi akibat asupan energi lebih tinggi daripada energi

yang dikeluarkan. Asupan energi tinggi disebabkan oleh konsumsi

makanan sumber energi dan lemak tinggi, sedangkan pengeluaran


16

energi yang rendah disebabkan karena kurangnya aktivitas fisik

dan sedentary life style (Kementerian Kesehatan, 2012).

Overweight atau kegemukan adalah kelebihan berat badan dengan

ambang batas indeks massa tubuh per umur (IMT/U) > 1 Standar

Deviasi sampai dengan 2 Standar Deviasi pada kelompok usia 5-18

tahun (WHO, 2005) (RI, 2011).

2. Faktor Penyebab Obesitas

Kegemukan dan obesitas terutama disebabkan oleh faktor

lingkungan. Faktor genetik meskipun diduga juga berperan tetapi

tidak dapat menjelaskan terjadinya peningkatan prevalensi

kegemukan dan obesitas. Pengaruh faktor lingkungan terutama

terjadi melalui ketidakseimbangan antara pola makan, perilaku

makan dan aktivitas fisik. Hal ini terutama berkaitan dengan

perubahan gaya hidup yang mengarah pada sedentary life style

(Kementerian Kesehatan, 2012; Wahl-Alexander, 2017). Faktor

risiko obesitas merupakan multifaktorial, artinya tidak hanya

disebabkan dari faktor makanan saja tetapi dapat disebabkan dari

faktor lain, seperti kurangnya aktivitas fisik, dampak iklan TV dan

lain-lain.

Anak yang overweigth dan obesitas bukan hanya

disebabkan oleh faktor penyebab tunggal, namun berinteraksi

dengan faktor penyebab lainnya, sebagai berikut :


17

a. Faktor Genetik

Parental fatness merupakan faktor genetik yang memiliki

peranan besar dalam kejadian obesitas pada anak usia sekolah.

Bila kedua orang tua obesitas, 80% anaknya menjadi obesitas.

Bila salah satu orang tua obesitas, kejadian obesitas menjadi

40% dan bila kedua orang tua tidak obesitas. Penelitian terbaru

menunjukkan bahwa rata-rata faktor genetik memberikan

pengaruh sebesar 33% terhadap berat badan seseorang.

Genetik merupakan faktor yang penting dalam berbagai kasus

obesitas, tetapi lingkungan seseorang juga memegang peranan

yang cukup berarti. Lingkungan ini termasuk perilaku/pola gaya

hidup (misalnya apa yang dimakan dan berapa kali seseorang

makan serta bagaimana aktivitasnya). Seseorang tentu saja

tidak dapat mengubah pola genetiknya, tetapi dia dapat

mengubah pola makan dan aktivitasnya (Gurevich-Panigrahi,

Panigrahi, Wiechec, & Los, 2009).

b. Faktor Lingkungan

1) Aktifitas fisik

Aktifitas fisik sangat berpengaruh pada timbulnya

obesitas pada manusia. Aktifitas fisik sangat berhubungan

dengan pembakaran lemak yang terjadi pada tubuh

manusia, semakin sedikit beraktifitas maka semakin banyak


18

lemak yang ditimbulkan (Sullivan et al., 2016; Zhang et al.,

2014).

Penelitian Resaland et. al. (2015) di Norwegia

menyatakan bahwa anak sekolah yang melakukan aktivitas

fisik setiap hari secara teratur, terencana dan terprogram

dilingkungan sekolah dapat menurunkan berat badan lebih,

meningkatkan prestasi akademik serta mencegah terjadinya

risiko penyakit tidak menular (non-communicable diseases)

dan perilaku menetap (Sullivan et al., 2016). Anak-anak

overweight dan obesitas yang bermain diluar rumah dapat

diprediksi mengurangi perilaku menetap dan meningkatkan

aktivitas fisik serta dapat menurunkan berat badan (Corder

et al., 2016; Kwon et al., 2015).

2) Gaya Hidup

Perkembangan teknologi di era yang serba modern

seperti saat ini gaya hidup mengikuti yang serba instan

terutama pola konsumsi dan kemudahan mengakses serta

memperoleh makanan (Skinner, 2018), karena dari segi

waktu dirasa lebih efisien (Benestad et al., 2017). Perubahan

gaya hidup cenderung mengonsumsi makanan cepat saji

tinggi lemak, soft drink tinggi glukosa berhubungan dengan

peningkatan berat badan yang berakibat obesitas (Collins et

al., 2015). Memilih makanan juga instan akhirnya fast food


19

menjadi salah satu pilihan alternatif seperti hamburger,

pizza, ayam goreng dengan kentang goreng, es krim, aneka

macam mie, soft drink tinggi glukosa dan lain-lain

berhubungan dengan peningkatan berat badan yang

berakibat obesitas (Moraeus et al., 2015; Rosiek,

Maciejewska, Leksowski, Rosiek-Kryszewska, & Leksowski,

2015). Anak-anak sebagian besar menyukai makanan cepat

saji padahal makanan seperti itu umumnya mempunyai

kadar lemak dan gula tinggi yang dapat menyebabkan

obesitas.

Studi terbaru mengungkapkan bahwa anak-anak

obesitas menonton iklan makan dua kali lebih banyak produk

bernilai rendah (seperti permen, keripik, makanan cepat saji,

dan produk dengan nilai gizi yang rendah dan sedikit

vitamin) dan yang paling gemuk memilih produk paling

sehat. Dengan kata lain, menonton TV dan waktu yang

dihabiskan di depan layar jelas terkait dengan perilaku

makan yang tidak sehat pada anak-anak, remaja, dan orang

dewasa (Castro et al., 2014; Watanabe, Lee, Mori, &

Kawakubo, 2016). Gaya hidup aktif dimulai sejak masa kecil

dan remaja dapat mencegah perkembangan obesitas di usia

dewasa (Kwon et al., 2015).

3) Sosial Ekonomi
20

Perubahan pengetahuan, sikap, perilaku dan gaya

hidup, pola makan, serta peningkatan pendapatan

mempengaruhi pemilihan jenis dan jumlah makanan yang

dikonsumsi terkait dengan kelebihan berat badan (Aitsi-

Selmi, Bell, Shipley, & Marmot, 2015; Moraeus et al., 2015).

Hasil penelitian Andrew E Springer et. al. di Amerika Serikat

menunjukkan bahwa anak-anak sekolah dari keluarga status

sosial ekonomi rendah dapat membentuk aktivitas fisik dan

perilaku makan berisiko lebih besar untuk menderita

obesitas (p<0,003) (Resaland et al., 2015). Goodman (2008

juga menyebutkan bahwa sosioekonomi orang tua

berpengaruh pada kejadian obesitas anak. Peningkatan

kemampuan ekonomi keluarga akan meningkatkan

kemampuan membeli makanan, minuman dan perubahan

gaya hidup anak yang lebih suka mengonsumsi makanan

padat lemak (Biehl et al., 2014).

3. Faktor yang berhubungan dengan perilaku pencegahan

obesitas

Pengendalian konsumsi makanan sumber energi sebagai

upaya tatalaksana pencegahan obesitas pada anak usia sekolah

dasar berhubungan dengan perilaku makan dan pemilihan

makanan pada anak usia sekolah dasar. Perilaku makan dan


21

pemilihan makanan pada anak usia sekolah dasar sangat kompleks

dan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berinteraksi.

a. Pengetahuan Gizi

Salah satu penyebab timbulnya masalah gizi dan

perubahan kebiasaan makan anak usia sekolah adalah

pengetahuan gizi yang rendah. Notoatmodjo (2003)

mengemukakan bahwa pengetahuan gizi sebagai kemampuan

memilih makanan yang menjadi sumber zat-zat gizi dan memilih

makanan jajanan yang sehat. Pengetahuan gizi dapat diperoleh

melalui pengalaman diri sendiri maupun orang lain.

Pengetahuan gizi anak sangat berpengaruh terhadap pemilihan

makanan. Seorang anak akan mempunyai gizi yang cukup jika

makanan yang mereka makan mampu menyediakan zat gizi

yang cukup diperlukan tubuh (Notoatmodjo, 2003).

Konsumsi makanan dipengaruhi oleh kebiasaan makan

yang didukung oleh pengetahuan gizi. Anak yang memiliki

pengetahuan gizi yang baik akan lebih mampu memilih

makanan sesuai kebutuhannya. Tingkat pengetahuan gizi

seorang akan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku dalam

memilih makanan dapat menentukan mudah tidaknya

seseorang memahami manfaat kandungan gizi dari makanan

yang dikonsumsi. Perilaku didasari pengetahuan akan lebih

langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh


22

pengetahuan sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru.

Pengukuran pengetahuan gizi bisa dilakukan dengan

menggunakan instrument berbentuk pertanyaan pilihan dan

berganda (multiple choice test), instrument ini merupakan

bentuk tes obyektif yang paling sering digunakan. Di dalam

menyusun instrument ini diperlukan jawaban-jawaban yang

sudah tertera serta responden hanya memilih jawaban yang

menurutnya benar (Notoatmodjo, 2003).

Pengetahuan gizi diyakini sebagai salah satu variabel yang

dapat berhubungan dengan konsumsi dan kebiasaan makan

dengan obesitas. Kategori pengetahuan gizi bisa dibagi dalam 3

kelompok yaitu baik, sedang, dan kurang. Cara pengkategorian

dilakukan dengan menetapkan cut of point dari skor yang telah

dijadikan persen (Khomsan, 2000).

Tabel 1. Kategori Pengetahuan Gizi

Kategori pengetahuan gizi Skor


Baik > 80%
Sedang 60 – 80%
Kurang < 60%
Sumber : Khomsan, 2000

Pengetahuan gizi anak usia sekolah sangat penting karena

setiap orang akan cukup gizi jika makanan yang dimakannya

mampu meyediakan zat gizi yang diperlukan untuk

pertumbuhan tubuh yang optimal, karena pengetahuan gizi


23

memberikan informasi yang berhubungan dengan gizi, makanan

dan hubungannya dengan kesehatan. Kedalaman dan keluasan

pengetahuan tentang gizi akan menuntun seseorang dalam

pemilihan jenis makanan yang akan dikonsumsi baik dari segi

kualitas, variasi, maupun cara penyajian pangan yang

diselaraskan dengan konsep pangan misalnya, konsep pangan

yang berkaitan dengan kebutuhan fisik, apakah makan asal

kenyang atau untuk memenuhi kebutuhan tubuh.

Pengetahuan gizi merupakan salah satu faktor penting

yang menentukan tingkat kesehatan dan keserasian antara

perkembangan fisik dan perkembangan mental. Tingkat

keadaan gizi normal tercapai bila kebutuhan zat gizi optimal

terpenuhi. Tingkat gizi seseorang dalam suatu masa bukan saja

ditentukan oleh konsumsi zat gizi pada masa lampau, bahkan

jauh sebelum masa itu. Pengetahuan sesorang, anak usia

sekolah utamanya dipengaruhi oleh pendidikan. Kurangnya

pengetahuan gizi dapat mengakibatkan, ketidakteraturan

perilaku dan kebiasaan makan dapat menjadi penyebab

terjadinya masalah gizi (Notoadmojo, 2005). Peningkatan

pengetahuan tentang gizi dapat dilakukan dengan program

pendidikan gizi yang dilakukan oleh pemerintah. Program

pendidikan gizi dapat memberikan pengaruh terhadap


24

pengetahuan, sikap, dan perilaku anak terhadap kebiasaan

makannya (Tabor & Soekirman, 2000).

Hal lain yang penting dari masalah gizi selain kurangnya

pengetahuan gizi adalah ketidakmampuan untuk menerapkan

informasi yang didapatkan dalam kehidupan sehari-hari yang

disebabkan oleh beberapa faktor dan salah satu diantaranya

adalah faktor kebiasaan makan. Pengetahuan gizi memberikan

bekal pada anak usia sekolah bagaimana memilih makanan

yang sehat dan mengerti bahwa makanan berhubungan erat

dengan gizi dan kesehatan. Sukma dkk. (2014) mengemukakan

bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi overweight dan

obesitas adalah pengetahuan terhadap nilai gizi yang kurang

(Sukma & Margawati, 2014).

Anak cenderung mempunyai pengetahuan yang sedikit

tentang zat gizi yang terkandung pada jenis makanan yang

berbeda serta bagaimana metabolismenya di dalam tubuh

(Williams, 1987). Pengetahuan gizi seperti yang dikatakan oleh

Rickert (1996) bahwa anak kurang memahami seperti apa tubuh

yang gemuk, normal maupun kurus yang sebenarnya akibat

pengetahuan gizi yang kurang akan menimbulkan persepsi

yang salah tentang kebutuhan pangan dan nilai pangan yang

seharusnya dikonsumsi dan akan mempengaruhi dalam

kemampuan untuk menerapkan informasi gizi tersebut dalam


25

kehidupan sehari-hari sehingga perilaku diet yang mereka

terapkan salah atau tidak sesuai dengan menu seimbang

(Rickert, 1996).

Adanya gangguan gizi yang dialami seseorang

dikarenakan kurangnya pengetahuan tentang gizi atau

kurangnya kemampuan untuk menerapkan informasi tersebut

dalam pola kehidupan sehari-hari (Dewi, 2013). Beberapa

masalah gizi dan kesehatan pada saat dewasa sebenarnya bisa

diperbaiki pada saat anak usia sekolah melalui pemberian

pengetahuan gizi dan kesadaran tentang kebiasaan makan dan

gaya hidup sehat. Namun tidak semua mereka tingkat

pengetahuan gizinya baik dan kecukupan gizinya juga baik.

Levin (2006) menyatakan bahwa pengetahuan gizi yang

tidak mendukung tingkat kecukupan zat gizi dapat disebabkan

kurang mampunya responden dalam menerjemahkan

pengetahuan gizi yang dimilikinya dalam bentuk makanan

sehari-hari (Levin & Dunn-Meynell, 2006). Menurut Haristia

(2012) pada overweight dan obesitas, sumber data dan

informasi adalah cukup bahkan sampai berlebihan. Namun yang

bersangkutan salah pilih dalam memilih makanan yang sehat

dan seimbang, termasuk dalam membentuk gaya hidup

sedentary serta salah menilai makanan enak sebagai makanan

baik (Haristia, 2012).


26

Uraian di atas menunjukkan bahwa jika anak usia sekolah

memiliki pengetahuan gizi dan sikap terhadap gizi yang baik,

maka akan mampu memilih makanan sesuai dengan kebutuhan

gizinya. Oleh sebab itu anak perlu mempunyai bekal

pengetahuan gizi yang cukup agar pola konsumsi anak menjadi

lebih baik. Pola konsumsi akan memengaruhi intake zat-zat gizi

dan gizi yang masuk ke dalam tubuh untuk membantu proses

pertumbuhan dan perkembangan yang akan berpengaruh

terhadap kondisi status gizi serta proses pembentukan sumber

daya manusia yang berkualitas serta dapat mencegah

terjadinya overweight dan obesitas sejak dini.

Semakin tinggi pengetahuan gizi seseorang maka akan

semakin memperhitungkan jenis dan jumlah makanan yang

dipilih untuk dikonsumsi. Orang dengan pengetahuan gizi

rendah memilih makanan berdasarkan panca indera, tidak

berdasarkan nilai gizi makanan. Sedangkan pada orang

berpengetahuan gizi tinggi lebih banyak menggunakan

pertimbangan rasional dan pengetahuan tentang nilai gizi

makanan tersebut (Al‐Hazzaa et al., 2014).

Berdasarkan hasil penelitian Haristia W. (2012)

menunjukkan bahwa perilaku pencegahan obesitas lebih

banyak dilakukan oleh responden dengan pengetahuan kurang

baik sebanyak 74,6% dibandingkan responden dengan


27

pengetahuan baik sebanyak 64,1%. Berdasarkan hasil

penelitian tersebut tidak berhasil membuktikan hubungan

pengetahuan gizi dengan perilaku pencegahan obesitas

(p=0,287) (Haristia, 2012).

b. Sikap Terhadap Gizi

Selain pengetahuan, komponen penting mempengaruhi

perilaku anak usia sekolah pada pilihan makanan adalah sikap

seorang anak. Sikap adalah reaksi atau respon seseorang yang

masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap akan

sangat berguna bagi seseorang, sebab sikap akan

mengarahkan perilaku secara langsung. Sikap terdiri dari sikap

postif dan sikap negatif. Sikap positif akan menumbuhkan

perilaku yang positif dan sebaliknya sikap negatif akan

menumbuhkan perilaku yang negatif saja, seperti menolak,

menjauhi, meninggalkan, bahkan sampai hal-hal merusak.

Sikap positif anak usia sekolah terhadap kesehatan

kemungkinan tidak berdampak langsung pada perilaku anak

menjadi positif, tetapi sikap yang negatif terhadap kesehatan

hampir pasti berdampak pada perilakunya (Dewi, 2013; Haristia,

2012).

Pendapat lain Notoatmodjo (2003) menyatakan bahwa

sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktifitas, akan

tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap itu


28

masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi

terbuka atau tingkah laku yang terbuka. Sikap merupakan

kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu

sebagai suatu penghayatan terhadap objek. Sikap bersifat relatif

tetap, stabil, dan terus menerus. Suatu sikap yang sudah

tumbuh dalam psikis seseorang tidak mudah akan berubah.

Sikap terhadap gizi merupakan kecenderungan seseorang

untuk menyetujui atau tidak menyetujui terhadap suatu

pernyataan (statement) yang diajukan. Sikap terhadap gizi

sering kali terkait erat dengan pengetahuan gizi. Pengukuran

sikap dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung.

Pengukuran yang dilakukan secara langsung yaitu dengan

mewawancarai atau memberi pertanyaan kepada responden

mengenai pendapatnya terhadap suatu objek (Dewi, 2013;

Notoatmodjo, 2003).

Mereka yang berpengetahuan gizi baik, cenderung akan

memiliki sikap gizi yang baik pula. Sikap terhadap gizi

dikategorikan ke dalam klasifikasi kurang (<60), sedang (60-79),

dan baik (≥80). Sikap terhadap gizi akan sangat berperan untuk

mengubah praktik atau perilaku gizi. Hanya saja perilaku

konsumsi pangan seseorang sering kali dipengaruhi oleh faktor

yang lebih kompleks (Khomsan, 2000).


29

Pembentukan sikap dipengaruhi oleh pengalaman diri,

kebudayaan, media massa, lembaga pendidikan, orang lain

yang dianggap penting, dan faktor emosi dalam diri individu

yang dapat diketahui dari pengetahuan, pengalaman, perasaan,

emosi, cara berpikir, kebutuhan dan tujuan yang ingin dicapai.

Menurut Wong et. al. (1999) mengemukakan bahwa

pengetahuan mempunyai korelasi positif dengan sikap, yang

berarti semakin tinggi pengetahuan gizi, maka semakin baik

sikap terhadap gizi (C. Y. Wong, Cheng, Lataief, & Murch,

1999).

Pendapat Sanjur (1982) menyatakan bahwa sikap

terhadap pemilihan makanan merupakan penggabungan antara

sesuatu yang dipelajari dan dilihat, contoh melalui berbagai

iklan dan media massa serta sikap terhadap makanan juga

dipengaruhi oleh pengalaman dan respon yang diperlihatkan

oleh orang lain terhadap makanan sejak ia masa anak-anak.

Pengalaman yang diperoleh ada yang dirasakan

menyenangkan atau tidak menyenangkan. Hal ini menyebabkan

setiap individu dapat mempunyai sikap suka dan tidak suka

terhadap suatu makanan.

Dalam hal ini pendidikan gizi sangat diperlukan karena

dapat membentuk sikap mental dan perilaku positif terhadap

gizi. Sikap bisa dipelajari, baik dari lingkungan keluarga maupun


30

masyarakat. Anak-anak belajar tentang sikap terhadap gizi

terutama dari keluarga mereka. Namun lingkungan juga

mempengaruhi sikap seseorang. Melalui proses belajar, sikap

seseorang dapat berubah walaupun dalam waktu yang cukup

lama (Haristia, 2012; Sanjur, 1982).

Penelitian Haristia W. (2012) menemukan bahwa perilaku

pencegahan obesitas lebih banyak dilakukan oleh responden

dengan sikap kurang baik sebanyak 72,9% dibandingkan

responden dengan sikap baik sebanyak 65,6%. Hasil statistik

diperoleh bahwa tidak ada hubungan bermakna secara statistik

sikap gizi dengan perilaku pencegahan obesitas (p=0,5)

(Haristia, 2012).

c. Aktivitas Fisik

Anak kurang atau enggan melakukan aktivitas fisik

menyebabkan tubuh kurang menggunakan energi yang

tersimpan pada tubuh. Oleh sebab itu, jika asupan energi

berlebihan tidak diimbangi dengan aktivitas fisik yang cocok

maka secara kontinyu bisa mengakibatkan obesitas. Padahal

cara yang paling mudah dan umum dipakai untuk meningkatkan

pengeluaran energi adalah dengan melakukan latihan fisik atau

gerak badan (August et al., 2008; Sawka, McCormack, Nettel-

Aguirre, Hawe, & Doyle-Baker, 2013).


31

Ketidakaktifan merupakan salah satu penyebab obesitas.

Anak-anak obesitas kurang bergerak atau beraktifitas

dibandingkan pada anak berat badan normal. Kegiatan aktivitas

fisik sangat diperlukan oleh anak-anak. Selain itu, kemajuan

teknologi berupa alat elektronik seperti video games,

playstation, televisi dan komputer menyebabkan anak malas

untuk melakukan aktivitas fisik (Kementerian Kesehatan, 2012).

Status berat badan, tingkat aktivitas fisik atau kualitas diet,

usia, jenis kelamin dan sekolah yang didatangi, mungkin penting

bagi orang tua untuk mendorong makan sehat dan aktivitas

fisik. Dengan demikian, orang tua dapat membantu

meningkatkan fungsi psikososial dan fisik anak usia sekolah.

Dorongan orang tua perilaku sehat telah diidentifikasi sebagai

faktor terutama berdampak pada fungsi fisik (Nicholls et al.,

2014).

Oleh karena itu dorongan orang tua dapat membentuk

target tambahan untuk intervensi obesitas, terutama yang

melibatkan latihan fisik. Anak usia sekolah yang sosio

demografis beragam, kebiasaan aktivitas fisik orang tua sendiri

mungkin lebih berpengaruh daripada metode yang digunakan

orang tua untuk mendorong anak mereka untuk menjadi aktif

(Bauer, Neumark-Sztainer, Fulkerson, Hannan, & Story, 2011;

Dupuy, Godeau, Vignes, & Ahluwalia, 2011). Partisipasi dalam


32

aktivitas fisik dan olahraga, baik di dalam maupun di luar

sekolah, menurun selama masa anak usia sekolah (Bay et al.,

2012; Todd, Street, Ziviani, Byrne, & Hills, 2015).

Berdasarkan hasil penelitian Hayati (2009) tidak berhasil

membuktikan hubungan kebiasaan berolahraga dengan

kejadian obesitas (p=0,569). Penelitian ini menunjukkan bahwa

persentase kejadian obesitas pada anak yang sering melakukan

olah raga sebanyak 36,8%, lebih besar dibandingkan dengan

anak yang tidak sering melakukan olah raga sebanyak 27,2%

(N. Hayati, 2009).

d. Kebiasaan Makan

1) Kebiasaan Makan Cemilan

Hui (2006) mengatakan cemilan dikatakan buruk jika

mengandung gula, garam dan lemak yang berlebihan namun

rendah protein, vitamin, dan mineral (Hui & Nelson, 2006).

Kebiasaan lain adalah mengonsumsi makanan camilan yang

banyak mengandung gula sambil menonton televisi. Pilihan

jenis makanan camilan bisa dipengaruhi oleh iklan di televisi

(Purnamawati, 2009). Ngemil adalah perilaku terkait dengan

jumlah energi yang berkaitan dengan asupan energi berlebih

dan obesitas pada anak-anak dan remaja; Selain itu,

prevalensi ngemil pada anak-anak dan remaja telah

meningkat selama dekade terakhir.


33

Perubahan signifikan yang diamati antara anak-anak

AS dalam jumlah ngemil tapi tidak dalam kesempatan

ukuran rata-rata makanan ringan dan makanan ringan energi

yang mengakibatkan peningkatan proporsi energi dan lemak

dari makanan ringan terhadap obesitas (Van Lippevelde et

al., 2011). Anak-anak di Amerika Serikat, terutama anak-

anak usia sekolah, yang memakan hampir tiga snack per

hari dan ngemil menyumbang hingga 27% dari asupan kalori

harian anak-anak (Harika, Cosgrove, Osendarp, Verhoef, &

Zock, 2011).

Penelitian lain juga menyatakan ada hubungan antara

ngemil dengan status obesitas, meskipun ngemil dikenal

periode makan yang penting untuk asupan energi dan

asupan gizi terutama pada anak-anak (Charvet, Hartlieb,

Yeh, & Jen, 2016). Sebuah studi cross-sectional di Bogota,

anak-anak usia sekolah yang ngemil telah terkait dengan

peningkatan prevalensi overweight, dan ngemil berpengaruh

terhadap perkembangan adipositas dari waktu ke waktu

(Shroff et al., 2014).

Hasil penelitian Hayati (2009) berhasil membuktikan

ada hubungan kebiasaan makan cemilan dengan kejadian

obesitas (p=0,008). Hasil penelitian ini didapatkan anak


34

obesitas sebanyak 25,3% makan cemilan dan anak obesitas

tidak makan cemilan sebanyak 46,2% (N. Hayati, 2009).

2) Kebiasaan Jajan

Makanan jajanan yang umumnya disukai anak-anak

adalah berupa kue-kue yang sebagian besar terbuat dari

tepung dan gula. Oleh karena itu, makanan jajanan tersebut

hanya memberikan sumbangan energi saja, sedangkan

tambahan zat pembangun dan pengatur sangat sedikit.

Sesudah jajan, sering anak terlalu kenyang sehingga selera

makannya berkurang dan tidak dapat menghabiskan

makanannya. Jika anak sudah dibiasakan jajan, maka anak

ini akan menangis dan tidak mau makan kalau keinginannya

tidak dipenuhi. Jajan boleh dilakukan sekali-kali supaya anak

mendapat selingan makanan dari luar, asal jangan ia sendiri

yang membeli. Orang tua harus mengontrol dan

memperhatikan makanan jajanan anak (Dupuy et al., 2011).

Hasil penelitian Hayati (2009) dengan uji chi-square

tidak ditemukan hubungan kebiasaan jajan dengan kejadian

obesitas (p=0,886). Dari penelitian ini didapatkan persentase

obesitas lebih besar terjadi pada anak yang tidak sering

jajan sebanyak 30,2% dibandingkan persentase obesitas

pada anak yang sering jajan sebanyak 27,1%.

3) Kebiasaan Minum Soft Drink


35

Prevalensi dan masalah kelebihan berat badan dan

obesitas anak di Taiwan telah meningkat. Ada banyak

laporan bahwa asupan gula berlebihan meningkatkan risiko

penyakit terkait gaya hidup, ini disebabkan asupan gula dari

minuman manis, makanan ringan dan makanan penutup di

antara anak-anak usia sekolah di Kaohsiung, Taiwan (Lin et

al., 2016). Pada kelompok anak usia 5-12 tahun di Kolombia

menunjukkan bahwa asupan soda terkait dengan

perkembangan adipositas pada anak-anak obesitas (Shroff

et al., 2014). Minuman ringan (soft drink) dan minuman

manis lainnya ≥ 2 kali perminggu dapat berkontribusi untuk

risiko obesitas dan diabetes tipe dua (Hur et al., 2016).

Minuman ringan (soft drink) terbukti memiliki

kandungan gula yang tinggi sehingga berat badan akan

cepat bertambah bila mengonsumsi minuman ini. Di sisi lain,

konsumsi minuman manis adalah kebanyakan dari anak-

anak. Hasil dari Penelitian ini menunjukkan bahwa konsumsi

minuman ringan harian terdapat 12,8% dari anak laki-laki

dan 10,8% perempuan. Hasil ini sama dengan yang

dilaporkan Health Behaviour in School Aged-Children

Survey 2013/2014 menunjukkan bahwa dari 43 negara

terutama negara-negara Eropa terdapat konsumsi harian

minuman ringan sebanyak 17% anak laki-laki berusia 11


36

tahun dan dari anak perempuan sebanyak 13% (Katzmarzyk

et al., 2016).

Hasil penelitian Saputri R. (2013) menunjukkan bahwa

ada hubungan konsumsi soft drink dengan kejadian obesitas

(p=0,024). Dari penelitian ini diketahui bahwa anak yang

mengonsumsi soft drink jarang dengan kategori obesitas

sebesar 22,5% dibandingkan yang mengonsumsi soft drink

jarang dengan kategori tidak obesitas lebih besar sebanyak

77,5% (Saputri, 2013).

e. Asupan Gizi

1) Asupan Energi

Overweight dan obesitas merupakan penyebab

multifaktorial, salah satunya adalah makanan yang

memengaruhi keseimbangan antara asupan energi dan

pengeluaran energi. Kelebihan energi terjadi bila konsumsi

energi melalui makanan melebihi energi yang dikeluarkan.

Kelebihan energi ini akan diubah menjadi lemak tubuh

sehingga mengakibatkan terjadinya berat badan lebih dan

obesitas.

Anak usia sekolah yang overweight dan obesitas

cenderung memiliki asupan energi berlebih. Sebuah studi

eksperimental pada anak usia 9-12 tahun menunjukkan

hubungan positif indeks massa tubuh, latihan fisik atau


37

olahraga, asupan energi dengan obesitas. Hasil studi ini

menyarankan redistribusi asupan energi harian sehingga

lebih banyak energi yang dikonsumsi saat sarapan pagi,

makan siang dan makan malam, dapat membantu

mengurangi berat badan pada anak obesitas melalui latihan

fisik secara teratur (Fearnbach et al., 2016). Studi Purslow

et. al. (2008) di Inggris menyatakan bahwa ada hubungan

asupan energi yang diperoleh dari makanan saat sarapan

dengan peningkatan berat badan (Fentiana, 2012; Purslow

et al., 2007).

Hasil penelitian Haryanto (2012) tidak berhasil

membuktikan hubungan asupan energi dengan kejadian

obesitas (p=0,090). Dari penelitian ini diketahui bahwa rata-

rata asupan energi pada anak obesitas sebanyak 1306 Kkal

dibandingkan anak yang tidak obesitas sebanyak 1278 Kkal

(Haryanto, 2012). Demikian juga penelitian Wijayanti (2007)

berhasil membuktikan bahwa ada hubungan yang bermakna

konsumsi energi dengan kejadian obesitas pada anak

(Wijayanti, 2007).

2) Asupan Karbohidrat
38

Konsumsi karbohidrat yang melebihi kebutuhan juga

tidak menguntungkan bagi tubuh. Kelebihan karbohidrat

akan disimpan dalam bentuk glikogen dan lemak. Glikogen

akan disimpan di hati dan otot. Lemak akan disimpan

disekitar perut, ginjal dan bawah kulit. Oleh karena itu

kelebihan asupan karbohidrat dapat menyebabkan obesitas

(Whitney, DeBruyne, Pinna, & Rolfes, 2010). Sebagian

karbohidrat di dalam tubuh berada dalam sirkulasi darah

sebagai glukosa untuk keperluan energi segera, sebagian

disimpan sebagai glikogen hati dan jaringan otot dan

sebagian diubah menjadi lemak. Seseorang yang

mengonsumsi karbohidrat dalam jumlah berlebih akan

menjadi gemuk karena kelebihan karbohidrat di dalam tubuh

diubah menjadi lemak (Almatsier, 2010).

Secara keseluruhan, asupan karbohidrat tidak terkait

dengan risiko diabetes. Namun, peserta obesitas dengan

asupan karbohidrat > 65% harus mengurangi asupan energi

ke tingkat proporsi energi karbohidrat yang

direkomendasikan untuk Jepang (50-65% energi) untuk

mencegah diabetes tipe dua (Sakurai et al., 2016). Selain

itu, hasil studi observasional menunjukkan 60% peningkatan

risiko kelebihan berat badan pada anak usia sekolah yang

mengonsumsi makanan yang mengandung karbohidrat


39

tinggi setiap harinya (Murakami, Miyake, Sasaki, Tanaka, &

Arakawa, 2011).

Hasil penelitian Haryanto (2012) menunjukkan bahwa

tidak ada hubungan asupan karbohidrat dengan kejadian

obesitas (p=0,913). Sejalan dengan penelitian Indayati

(2008) di Semarang menunjukkan bahwa tidak ada

hubungan asupan karbohidrat dengan kejadian obesitas

(Haryanto, 2012; Indayati, 2008).

3) Asupan Lemak

Lemak dianggap sebagai komponen diet yang harus

dikurangi sebanyak mungkin. Akan tetapi, hal ini tidak

menguntungkan bagi kesehatan, karena lemak dalam jumlah

tertentu, biasanya sekitar 30% dari energi total, diperlukan

untuk menjalankan fungsinya dalam tubuh dengan baik. Jika

mengurangi konsumsi energinya, maka penurunan asupan

lemak dapat bermanfaat, tetapi dalam kondisi ini, harus

dipastikan bahwa asam lemak esensial dan vitamin larut

lemak tetap tersedia untuk memenuhi kebutuhan gizinya.

Lebih dari zat gizi lainnya, lemak diketahui sangat berperan

menimbulkan beberapa penyakit kronik. Semakin banyak

bukti yang menunjukkan bahwa makanan tinggi lemak

meningkatkan risiko obesitas dan penyakit kardiovaskular.


40

Lemak memberi lebih banyak kalori pada makanan

dibandingkan dengan karbohidrat dan protein yang dapat

lebih mudah dibakar tubuh. Berat badan bertambah ketika

kelebihan lemak disimpan. Lemak merupakan penyumbang

energi terbesar dibandingkan zat gizi lainnya yaitu satu gram

lemak akan menyumbangkan sembilan kilokalori energi

(Almatsier, 2010). Makanan berlemak juga mempunyai rasa

yang lezat sehingga akan meningkatkan selera makan yang

akhirnya terjadi konsumsi yang berlebihan. Sebuah studi

pada anak usia sekolah di Swiss yang mengalami obesitas

menunjukkan bahwa total asupan lemak dan persentase

energy yang diperoleh dari asupan lemak berkorelasi lurus

dengan peningkatan berat badan dan peningkatan

adipositas (Aeberli et al., 2006).

Hasil penelitian Haryanto (2012) berhasil membuktikan

hubungan asupan lemak dengan kejadian obesitas

(p=0,050). Dari penelitian ini diketahui bahwa rata-rata

asupan lemak pada anak obesitas sebanyak 43,7 gram lebih

tinggi dibandingkan anak yang tidak obesitas sebanyak 41,9

gram.

4) Asupan Protein

Protein dibutuhkan untuk pertumbuhan dan

perkembangan yang normal. Protein dipecah dalam tubuh


41

sebagai sumber energi ketika pasokan karbohidrat dan

lemak tidak mencukupi. Makanan yang tinggi protein

biasanya tinggi lemak sehingga dapat menyebabkan

obesitas (Almatsier, 2010).

Kelebihan asupan protein juga dapat diubah menjadi

lemak tubuh. Jika asupan protein melebihi kebutuhan tubuh,

asam amino akan melepaskan ikatan nitrogennya dan

diubah melalui serangkaian reaksi menjadi trigliserida

(Whitney et al., 2010). Penelitian di Belanda pada anak usia

sekolah (8-19 tahun) yang diikuti selama 12 bulan

menunjukkan konsumsi protein berasosiasi signifikan

dengan obesitas, meskipun total energi berhubungan negatif

dengan obesitas (OR=1,50) (Makkes et al., 2016). Terbukti

hubungan positif antara asupan protein dengan obesitas

pada anak-anak (Syrad et al., 2016).

Hal ini didukung oleh penelitian longitudinal oleh

Gunther et. al. (2007) yang menunjukkan bahwa tinggi

asupan protein selama periode pemberian makanan

pendamping ASI dikaitkan dengan BMI tinggi dan

persentase lemak tubuh pada usia 7 tahun. Tingginya

asupan protein anak-anak di Inggris berpotensi dapat

meningkatkan risiko kelebihan berat badan di kemudian hari

(Syrad et al., 2016).


42

Hasil penelitian Haryanto (2012) berhasil membuktikan

hubungan asupan protein dengan kejadian obesitas

(p=0,000). Dari penelitian ini diketahui bahwa rata-rata

asupan protein pada anak obesitas sebanyak 44,8 gram

lebih tinggi dibandingkan anak yang tidak obesitas sebanyak

41,5 gram. Demikian juga dengan penelitian Indayati (2008)

di Semarang menunjukkan bahwa ada hubungan asupan

protein dengan kejadian obesitas (Haryanto, 2012; Indayati,

2008).

5) Asupan Serat

Konsumsi serat yang cukup dapat menurunkan risiko

obesitas. Makanan tinggi serat umumnya memerlukan waktu

lebih banyak untuk mengunyah dan mencerna. Makanan

yang mengandung serta tidak larut tidak dicerna dan

menambah volume makanan, sehingga mengurangi risiko

konsumsi yang berlebihan. Sedangkan serat larut air akan

berubah menjadi substansi menyerupai gel selama proses

pencernaan dan memperlambat makanan melewati usus

sehingga membuat tubuh kenyang lebih lama.

Berdasarkan Penelitian Aprianthi (2009) menunjukkan

bahwa konsumsi serat siswa masih kurang sehingga

menyebabkan overweight (Aprianthi, 2009). Hal tersebut

dapat dilihat dari tingkat kecukupan serat hanya 19,3 g/hari


43

sedangkan kebutuhan yang dianjurkan adalah 20-35 g/hari.

Kehadiran serat dalam pola konsumsi makanan memang

sangat penting. Makanan tinggi serat sangat baik

dikonsumsi dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan.

Serat makanan sebenarnya memiliki fungsi penting yang

tidak bisa digantikan oleh zat lainnya yaitu dapat membantu

mencegah terjadinya sembelit, mencegah wasir,

menurunkan berat badan serta mencegah terjadinya

penyakit degeneratif seperti jantung koroner, hipertensi,

diabetes mellitus, hiperkolesterol, kanker usus dan stroke.

Asupan serat dibutuhkan oleh tubuh sebesar 25 gram/hari.

Apabila asupan serat rendah, maka dapat menyebabkan

obesitas yang berdampak terhadap peningkatan tekanan

darah dan penyakit degeneratif (Whitney et al., 2010).

Peran konsumsi serat yang cukup dapat menurunkan

risiko obesitas dengan memberikan energi yang lebih

rendah, membuat rasa kenyang lebih lama, dan menunda

rasa lapar. Kecukupan asupan serat kini dianjurkan semakin

tinggi, mengingat banyak manfaat yang menguntungkan

untuk kesehatan tubuh, adequate intake (AI) untuk serat

makanan sebagai acuan untuk menjaga kesehatan seluruh

pencernaan dan kesehatan bagi orang remaja adalah 20-30

g/hari (Whitney et al., 2010).


44

Penelitian lain bertujuan untuk menyelidiki efek dari

serat sereal makanan pada lipotoxicity hati terkait obesitas,

dan hasilnya diet suplemen serat sereal dapat mencegah

lipotoxicity hati berhubungan dengan obesitas dan

dislipidemia (Han et al., 2015). Penelitian di Padang

menunjukkan hasil rata-rata asupan serat pada siswa adalah

12,81 gram. Kejadian obesitas pada siswa yaitu sebesar

15,4% dan asupan serat sangat kurang pada siswa yang

tidak obesitas 84,5% (Nilna, 2015). Demikian dengan

penelitian Indayati (2008) di Semarang menunjukkan bahwa

ada hubungan asupan serat dengan kejadian obesitas

(Haryanto, 2012; Indayati, 2008; Nilna, 2015).

4. Dampak Obesitas

a. Dampak Klinis

Dampak risiko overweight dan obesitas adalah penyebab

kematian lebih banyak dan peringkat kelima risiko tertinggi

kematian secara global. Dampak klinis obesitas meliputi faktor

risiko kardiovaskuler, gangguan pernafasan,

metabolik/endokrin, musculoskeletal,neurologi, dermatologi,

imunologi dan gangguan pertumbuhan. WHO menyatakan

sekitar 44% penyakit diabetes, 23% penyakit jantung iskemik,

dan antara 7 dan 41% jenis kanker tertentu (prostat, usus,


45

payudara dan rahim) diakibatkan oleh overweight dan obesitas

(Xu & Xue, 2016).

Anak dan remaja kelebihan berat badan atau obesitas di

Emirat Arab dengan riwayat keluarga terdekat berisiko

pradiabetes dan diabetes tipe dua dengan nilai (OR 2,28: 95%

CI: 1,11-4,68; p < 0,024 (Al Amiri et al., 2015). Anak obesitas

mengalami obstructive sleep apnea, gejalanya mulai dari

mengorok sampai mengompol (Kang, Chou, Weng, Lee, & Hsu,

2013; Villa et al., 2016). Anak obesitas pada penduduk Māori di

Selandia Baru berisiko lebih besar menderita komplikasi

kardiometabolik, termasuk disfungsi lipidemia, hipertensi,

diabetes mellitus tipe 2 dan penyakit kardiovaskuler serta

aterosklerosis dan dapat diderita pada masa anak-anak (Castro

et al., 2014).

b. Dampak Psikososial

Anak overweigth dan obesitas berdampak negatif

terhadap tumbuh kembang anak terutama aspek perkembangan

psikososial dan kesehatan mental (Sikorski, Luppa, Luck, &

Riedel‐Heller, 2015). Anak yang gemuk cenderung diolok-olok

dan dipermalukan di sekolah, serta sulit berteman (Al-Agha,

Nizar, & Nahhas, 2016). Ditemukan kurangnya rasa ingin

bermain dengan teman sepermainan, memisahkan diri dari

tempat bermain atau menarik diri kontak sosial karena merasa


46

kurang percaya diri, stress (Costa, Adams, Phillips, & Neelon,

2016), persepsi diri yang negatif dan menjadi bahan ejekan

teman-temannya, serta berpengaruh terhadap prestasi

akademik di sekolah. Selain hubungannya dengan diabetes

mellitus tipe 2, hipertensi, dislipidemia, dan stroke, obesitas juga

muncul sebagai konsekuensi psikologis dan sosial, berdampak

pada harga diri individu anak obesitas di Brasil (Ho et al., 2013).

c. Dampak Ekonomi

Badan Kesehatan Dunia (WHO, 2002) mengemukakan

bahwa ada tiga jenis biaya yang disebabkan oleh obesitas.

Pertama, biaya langsung (direct cost), termasuk didalamnya

biaya untuk pengobatan atau terapi obesitas. Kedua, biaya yang

tidak dapat diraba (intangible cost), yaitu biaya yang ada karena

dampak obesitas pada hidup secara umum dan khususnya

pada aspek kesehatan. Ketiga, biaya tidak langsung (indirect

cost), termasuk didalamnya ialah absentisme anak masuk ke

sekolah atau kegiatan lainnya . Dampak pasien yang obesitas

berat dapat diprediksi meningkatkan biaya beban perawatan

rumah sakit (Flego et al., 2016).

Hui (2006) mengatakan bahwa orang dengan obesitas

harus mengeluarkan biaya yang besar untuk kehidupannya

seperti pakaian, makanan dan bahkan furniture serta biaya

transportasi yang berbeda dengan orang yang tidak


47

obesitas.Tingginya biaya perawatan yang ditimbulkan oleh

obesitas dari biaya total perawatan diperkirakan menghabiskan

sekitar 7% di Amerika Serikat dan di Eropa sekitar 1-5% (Hui &

Nelson, 2006).

5. Penilaian Antropometri

Pengukuran status gizi pada anak usia sekolah (5-18 tahun)

sudah tidak menggunakan indeks antropometri BB/TB akan tetapi

menggunakan indeks antropometri IMT/U sesuai rekomendasi

WHO tahun 2007 (RI, 2011). Menggunakan Indeks Massa Tubuh

per Umur (IMT/U), merupakan cara yang paling banyak digunakan

untuk menentukan seorang anak mengalami gizi lebih (overweight

dan obesitas). Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia, 2010 (Kemenkes RI, 2011) Nomor : 1995 /

MENKES / SK/XII/2010 tentang Standar Antropometri Penilaian

Status Gizi dan mengacu pada standar WHO, 2007 yaitu dengan

menghitung IMT menurut umur (IMT/U) pada anak umur 5 – 18

tahun pada tabel 1 dibawah ini.

Tabel 2. Kategori Status Gizi Anak berdasarkan Indikator IMT/U

Indikator Batasan Z-Score Kategori


IMT/U < -3 SD Sangat Kurus
-3 SD - < -2 SD Kurus
-2 SD - < 1 SD Normal
1 SD - ≤ 2 SD Overweight
> 2 SD Obesitas
Sumber : Depkes, 2010
48

Pengukuran indeks massa tubuh atau Body Mass Index

(BMI) merupakan pengukuran yang dapat mengidentifikasikan

kelebihan berat badan berdasarkan Indeks Quatelet (BB dalam

kg/TB dalam m²), merupakan metode yang mudah dan yang paling

banyak digunakan diseluruh dunia untuk menilai timbunan lemak

yang berlebihan di dalam tubuh. Penyajian Z-score merupakan

metode untuk mengukur deviasi hasil pengukuran antropometri

terhadap nilai median baku rujukan. Dengan Z-score ternyata dapat

mengidentifikasi lebih jauh batas-batas dari data rujukan yang

sesungguhnya. Metode ini dapat mengklasifikasikan status gizi

secara lebih akurat dibandingkan persen median dan per sentil.

Selain itu, walaupun menggunakan indeks antropometri yang

berbeda, limit yang digunakan untuk klasifikasi status gizi tetap

konsisten. Indeks Massa Tubuh menurut umur (IMT/U) dengan

nilai Z-score adalah indikator yang terutama bermanfaat untuk

penapisan gemuk dan sangat gemuk pada anak-anak. Nilai IMT/U

dengan Z-score > 2 sebagai indikator obesitas.


49

Socio economic
Activity level Status (Education)
Age

Race
Nutrition
OBESITY
Socioeconomic
Gender
status (Education)

Genetic factors Metabolic and


endocrine factors Pregnancy

B. Konsep Anak Usia Sekolah

Anak usia sekolah adalah anak yang berusia 6 – 12 tahun dan

merupakan masa peralihan antara masa kanak – kanak dengan masa

remaja, rentang kehidupan anak usia sekolah adalah dari usia 6 – 12

tahun yang dimulai ketika anak masuk sekolah dasar (Organization,

2010). Pada periode sekolah ini anak mulai diarahkan untuk keluar dari

kelompok keluarga dan mulai berinteraksi dengan lingkungan sosial

yang akan berdampak pada hubungan interaksi anak dengan

masyarakat dan teman sebaya. Lingkungan mempunyai pengaruh


Gambar 1. Kerangka Teori Etiologi Obesitas (Nurhaedar J.,2009)
yang besar terhadap perkembangan anak pada periode ini

(Kementerian Kesehatan, 2012; D. L. Wong, 2009). Berbagai


50

kebiasaan makanan, suka dan tidak suka terhadap suatu makanan

dibentuk saat usia sekolah dan periode sebelumnya dan membentuk

dasar seumur hidup untuk kebiasaan makanan dan asupan gizi.

Pilihan makanan secara signifikan terutama dipengaruhi oleh teman

sebaya selain pengaruh dari keluarga (Wellman, Kondracki, Johnson,

& Himburg, 2004).

Anak usia sekolah merupakan kelompok penduduk yang berada

pada masa pertumbuhan yang cepat dan aktif. Dalam kondisi ini, anak

harus mendapatkan asupan gizi dalam kuantitas dan kualitas yang

cukup. Status gizi anak sebagai cerminan kecukupan gizi, merupakan

salah satu tolak ukur yang penting untuk menilai keadaan

pertumbuhan dan status kesehatannya. Pada masa usia sekolah

dasar, anak mulai masuk kedalam dunia baru, anak mulai banyak

berhubungan dengan orang-orang diluar keluarganya dan berkenalan

dengan suasana dan lingkungan baru dalam kehidupannya. Pada

umur ini anak melakukan lebih banyak aktivitas, baik di sekolah

maupun di luar sekolah, sehingga anak membutuhkan energi lebih

banyak (Hidayati & Ibnu, 2015).

Karena anak-anak menghabiskan hari-hari mereka di

lingkungan sekolah, mereka menyesuaikan diri dengan kegiatan yang

lebih teratur. Mereka lebih banyak mengeksplorasi lingkungan sekolah

dan teman sebaya, sehingga anak-anak dipengaruhi oleh lingkungan

sekolah dan teman sebayanya. Suatu masa dimana perhatian utama


51

anak tertuju pada keinginan diterima oleh teman-teman sebaya

sebagai angota kelompok, terutama kelompok yang bergengsi dalam

pandangan teman-temannya. Oleh karena itu, anak ingin

menyesuaikan dengan standar yang disetujui kelompok dalam

penampilan, berbicara, dan perilaku. Pertumbuhan fisik anak usia

sekolah dasar cenderung stabil, tetapi perkembangan kognitif,

emosional, dan sosial berkembang sangat pesat. Anak usia 6 sampai

12 tahun mulai berhubungan tidak hanya dengan keluarga, tetapi juga

dengan teman sebaya, guru dan lain sebagainya. Orang diluar

keluarga tersebut turut mempengaruhi konsumsi makan anak (Brown,

2016; Waters et al., 2011).

Transfer pengetahuan dari teman sebaya memberikan adopsi

yang kuat dalam perilaku gizi anak usia sekolah. Asupan makanan

yang sehat dan sesuai kebutuhan anak akan berdampak pada status

gizi anak. Hal ini didukung hasil penelitian Hayati (2009) di

Lhokseumawe menunjukkan bahwa terdapat peningkatan perilaku

anak usia sekolah yang signifikan dalam menentukan jajan sehat pada

kelompok intervensi sesudah diberikan edukasi sebaya.

Pada usia sekolah, kebanyakan anak telah membentuk pola

makanan dan asupan gizi tertentu, meskipun terdapat kisaran yang

luas dari asupan makanan (asupan gizi dan zat gizi), mereka yang

mengonsumsi lebih banyak makanan konsisten melakukannya,

sedangkan yang mengonsumsi makanan lebih sedikit


52

mempertahankan asupan makanan yang relatif kurang dibandingkan

rekan-rekan mereka. Perbedaan asupan antara anak laki-laki dan

wanita meningkat secara bertahap dan terlihat pada usia dua belas.

Anak laki-laki mengonsumsi makanan yang lebih besar sehingga

asupan energi dan zat gizi lebih tinggi dibandingkan anak perempuan

(N. Hayati, 2009).

Anak membutuhkan makanan yang bervariasi yang dapat

mencukupi kebutuhan zat gizi untuk tumbuh kembang yang optimal,

berikut tabel angka kecukupan gizi (AKG) tahun 2013 untuk anak usia

sekolah berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 75 tahun 2013 Tentang angka kecukupan gizi yang dianjurkan

bagi bangsa Indonesia (M. K. R. Indonesia, 2013):

Tabel 3. Tabel Angka Kecukupan Gizi (AKG) Tahun 2013


Untuk Anak Usia Sekolah
Sumber: Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG, 2013)
53

C. Konsep Peer Nutrition Education (Pendidikan Gizi Sebaya)

1. Definisi Peer Edukator Gizi

Pencegahan overweight dan obesitas yang diberikan kepada

anak usia sekolah dalam mengendalikan pola makan dan pemilihan

makanan yang sehat serta dapat menurunkan berat badan, sangat

efektif dan efisien menggunakan metode promosi kesehatan

melalui peer edukator gizi (peer nutrition education). Edukasi gizi

sebaya (peer edukator gizi) merupakan pendidikan yang diberikan

pada teman sebaya dengan tujuan meningkatkan pengetahuan,

keterampilan bagi anggota kelompok di bidang gizi dan kesehatan

termasuk didalamnya kebutuhan gizi bagi tubuh meliputi gizi

seimbang, pola makan sehat, pencegahan pemilihan dan

penyimpangan makanan, pengaturan menu seimbang serta gizi

yang tepat saat melakukan aktivitas fisik.

Peer edukasi gizi terhadap anak usia sekolah meliputi:

kebutuhan gizi, cara menentukan makanan jajanan sehat dan

bergizi, waktu makan untuk mencegah timbulnya penyakit akibat

kesalahan dalam mengkonsumsi jenis makanan termasuk

pencegahan overweigth dan obesitas (Lezin, 2008).

Peer edukator gizi adalah seseorang yang berasal dari

kelompok sebaya, memiliki karakteristik yang sama dengan

kelompoknya, terpercaya dan memiliki pengaruh, dan telah

mengikuti pelatihan peer edukator gizi. Tujuan pelaksanaan


54

edukasi gizi sebaya pada umumnya adalah untuk mempengaruhi

pengetahuan, sikap, dan keterampilan dan atau norma-norma

budaya kelompok target atau untuk memberdayakan kelompok

target agar mampu membuat keputusan secara mandiri (McDonald

et al., 2003).

2. Tahapan Peer Edukator Gizi

Tahapan kegiatan edukasi gizi sebaya menurut Ford dan Collier

(2006) sebagai berikut (Fitriani, 2011) :

a. Perencanaan (Planning)

Perencanaan peer edukasi adalah komponen penting yang

harus dilakukan untuk kesuksesan pelaksanaan edukasi

sebaya. Perencanaan peer edukasi meliputi beberapa tahapan

aktivitas, berupa: tahap pertama yaitu, mengidentifikasi isu yang

berkenaan dengan masalah, menentukan kelompok target dan

menentukan tujuan yang jelas; tahap kedua yaitu, menentukan

edukator sebaya; tahap ketiga yaitu, merancang kegiatan

edukator sebaya dalam kelompok sebaya; dan tahap keempat

yaitu, merencanakan strategi untuk monitoring dan evaluasi.

Dengan demikian pada tahap perencanaan edukasi

sebaya, seorang tenaga profesional hendaknya membuat

rencana edukasi sebaya yang dituangkan dalam pedoman

pelatihan, pelaksanaan dan strategi evaluasi, serta perlu

melakukan identifikasi kelompok sebaya termasuk untuk


55

memilih edukator sebaya, yang secara alami memiliki pengaruh

besar di kelompok sebayanya, sering memimpin, membantu

teman-teman sebayanya, serta memiliki pengalaman/wawasan

yang luas dan kemampuan berkomunikasi dalam memberikan

informasi yang baik (McDonald et al., 2003).

b. Pelatihan (Training)

Pelatihan edukator sebaya adalah tahap awal yang harus

dilakukan sebelum kegiatan edukasi sebaya berjalan. Fokus

dari pelatihan ini adalah memberikan tekanan terhadap metode

partisipasi dalam kegiatan kelompok kecil dan bermain peran.

Menurut Cripps (1997) mengemukakan bahwa pelatihan

edukator sebaya dirancang untuk memberikan pengetahuan

yang dibutuhkan oleh edukator sebaya, termasuk keterampilan

dalam melaksanakan dan memfasilitasi diskusi, menyajikan

informasi dan mengatasi teman kelompok yang sulit diatur.

Pelatihan merupakan hal utama bagi pemberi pendidikan

dalam kelompok sebaya untuk berkontribusi terhadap tugas

yang akan dijalankan, meliputi memberikan tekanan terhadap

metode partisipasi dalam kegiatan diskusi kelompok kecil dan

bermain peran. Pelatihan lebih khusus diberikan selama 30

sampai 40 menit secara terus menerus dan menentukan tehnik

yang tepat untuk memotivasi anggota kelompok dalam setiap

sesi yang diberikan (Cripps, 1997).


56

Menurut Edelstein (1993) menyatakan bahwa pelatihan

yang diberikan pada peer edukator harus sesuai dengan topik

atau isu yang sedang berkembang serta menarik. Lebih lanjut

mereka mengemukakan peer edukator harus mampu

mempengaruhi anggotanya untuk berperilaku sehat dan sesuai

dengan tujuan yang telah ditetapkan. Pelatihan yang diberikan

untuk edukator sebaya adalah seputar informasi atau issue

permasalahan yang akan ditangani dan keterampilan dalam

memfasilitasi pemberian edukasi, penyediaan informasi, dan

atau mempengaruhi norma-norma sosial yang ada (Edelstein &

Gonyer, 1993).

Beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam melakukan

pelatihan edukator sebaya adalah; tempat pelaksanaan

pelatihan, lama waktu pelatihan, pelatih (trainer) edukator

sebaya, persiapan pretraining, isi materi, dan pemberian/

pelaksanaan pelatihan. Tempat pelatihan edukator sebaya

dapat dilakukan di sekolah atau di masyarakat, namun akan

lebih baik jika dilakukan di tempat pelaksanaan edukasi sebaya.

Hal ini didukung oleh konsep pelatihan selama 3 hari digunakan

oleh Bintarti (2000) dalam melatih edukator tentang HIV/AIDS.

Penelitian lain juga, Hayati (2009) dalam Fitriani (2011)

menyatakan bahwa pelatihan edukasi sebaya dilaksanakan

selama 30 – 40 menit secara berkala dengan menggunakan


57

metode yang tepat/sesuai untuk memotivasi kelompok dalam

setiap sesi yang diberikan (Fitriani, 2011).

c. Pelaksanaan (Implementation)

Pelaksanaan dari peer edukasi meliputi beberapa aktivitas

yang dilakukan oleh edukator sebaya dan kelompok sebaya.

Pelaksanaan peer edukasi meliputi beberapa aktivitas kelompok

yang dilakukan dalam bentuk kegiatan sesi kelompok, dengan

berbagai macam metode, seperti: diseminasi informasi

kesehatan, bermain peran (role play), diskusi interaktif, praktik

(demonstrasi/simulasi), modelling, musik popular, dan interaksi

spontan dalam keseharian dalam kelompok sebaya.

Aktivitas peer edukasi sering digambarkan dalam bentuk

kegiatan formal atau informal. Aktivitas peer edukasi formal

harus terencana dan terstruktur, biasanya dapat dilakukan

berupa peer edukasi di ruang kelas (sekolah) berupa pemberian

informasi kepada kelompok sebaya oleh edukator sebaya yang

diposisikan sebagai “ahli”.

Edukasi informal meliputi aktivitas: grup diskusi yang tidak

terstruktur; diseminasi sumber-sumber dan saran (anjuran);

aktivitas melalui budaya popular, seperti, musik, drama.

kesenian; serta percakapan atau interaksi yang terjadi secara

spontan dalam kehidupan sehari-hari (Fitriani, 2011; McDonald

et al., 2003).
58

d. Evaluasi (Evaluation)

Tahapan pelaksanaan kegiatan dari edukasi sebaya yang

terakhir adalah evaluasi atau sering disebut oleh para ahli

edukasi sebaya sebagai supervisi. Tahapan evaluasi dilakukan

selain untuk mengetahui atau mengukur tingkat keberhasilan,

juga memberikan dukungan yang berkelanjutan bagi edukator

sebaya dalam menjalankan perannya. Menurut McDonald et al.,

(2003) menyatakan bahwa terdapat 3 (tiga) elemen kunci dari

tahapan evaluasi edukasi sebaya, antara lain :

1) Evaluasi proses (Strategies)

Evaluasi proses dilakukan untuk menilai dan menganalisis

strategi edukasi sebaya yang telah dilakukan.

2) Evaluasi dampak (Objective)

evaluasi dampak untuk menilai dan menganalisis

pencapaian dari tujuan jangka pendek edukasi sebaya.

3) Evaluasi hasil

Evaluasi hasil untuk menilai dan menganalisis tujuan jangka

panjang dari edukasi sebaya yang telah dilakukan.

Green (1997), dalam McDonald et al., (2003) menyatakan

bahwa pengaruh intervensi edukasi sebaya yang diamati dari

beberapa hasil implementasi edukasi sebaya, secara nyata

menunjukkan dampak terhadap perilaku yang dapat menempati

salah satu kategori (Fitriani, 2011; McDonald et al., 2003), yaitu:


59

1) Sleeper Effect

Pengaruh intervensi edukasi sebaya mulai tampak dalam

beberapa waktu setelah edukasi sebaya dilakukan.

2) Bacsliding Effect

Pengaruh intervensi edukasi sebaya terjadi dengan cepat

tetapi dalam jangka waktu yang pendek.

3) Trigger Effect

Pengaruh edukasi sebaya terhadap perilaku berlangsung

secara progresif .

Penjelasan–penjelasan yang diungkapkan sebelumnya

menunjukkan sebuah kesimpulan bahwa edukasi sebaya adalah

sebuah pendekatan dalam pemberian informasi termasuk informasi

kesehatan yang efektif dalam mempengaruhi peningkatan

pengetahuan, sikap, dan perilaku pada tingkatan individu atau

kelompok sebaya secara efektif, dan salah satu cara untuk

merubah perilaku sehat anak usia sekolah dapat dilakukan dengan

promosi kesehatan melalui tehnik peer edukasi gizi anak usia

sekolah.

Keberadaan peer education anak usia sekolah dengan

kegiatannya, diharapkan dapat merubah perilaku anak dalam

menentukan pola konsumsi sehat, rajin melakukan aktivitas fisik,

tidak membiasakan memilih makanan rendah asupan gizi, tanpa

memikirkan pola hidup sehat tersebut.


60

3. Metode dalam Peer Edukator Gizi

Mc Donald et al. (2003) menyatakan bahwa ada beberapa

metode yang sering digunakan dalam edukasi gizi sebaya. Metode-

metode tersebut disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik

partisipan (kelompok sebaya) yaitu, meliputi:

a. Planned Group Sessions

Planned group sesions lebih dikenal dengan forum diskusi

atau sesi tanya jawab dalam kelompok yang terencana. Sesi

kelompok ini dipimpin oleh edukator sebaya dan bersifat lebih

interaktif, partisipatif dan praktis dibandingkan dengan sesi

kelompok yang dipimpin oleh guru atau tenaga profesional. Sesi

kelompok pada umumnya digunakan untuk menggali nilai atau

pendapat serta penyampaian informasi oleh edukator sebaya.

Penelitian ini akan menggunakan metode sesi kelompok dalam

menggali nilai, pendapat dan mengembangkan keterampilan

dalam tatalaksana pencegahan overweight dan obesitas melalui

diskusi dan demonstrasi.

b. Dissemination of Resources and Information

Metode ini dilakukan dalam bentuk pemberian informasi

melalui berbagai sumber seperti: leaflet, poster, booklet, balon

berisikan pesan kesehatan, dan sebagainya. Edukator sebaya

juga memiliki peluang untuk melakukan komunikasi,

memberikan penjelasan, serta anjuran kepada anggota


61

kelompok sebaya secara interaktif dengan menggunakan

sumber yang ada. Selain itu penggunaan model atau objek

tambahan yang relevan dalam memberikan penjelasan akan

meningkatkan interaksi spontan dan partisipasi yang lebih besar

dari anggota kelompok sebaya. Penelitian ini akan

menggunakan modul sebagai sumber tambahan edukator

sebaya dalam memandu anggota kelompok sebayanya.

c. Opportunistic Interactions

Metode ini bersifat informal, berupa pemberian edukasi

oleh edukator sebaya secara spontan yang terjadi dalam

interaksi sehari-hari. Edukator sebaya akan memberikan

inforrmasi yang diperoleh dari pelatihan kepada kelompok

sebayanya. Proses dari metode ini diidentifikasi sebagai difusi

budaya berupa penyebaran pengetahuan, sikap dan

keterampilan melalui jaringan sosial. Metode ini sering

digunakan untuk menjangkau kelompok berisiko yang sulit

dijangkau dalam suatu komunitas.

Metode ini diperkirakan akan terjadi secara spontan dalam

penelitian ini, namun tidak akan diperhitungkan dikarenakan

setting edukasi sebaya akan dilaksanakan di ruang kelas

sekolah dan dibutuhkan evaluasi terhadap proses edukasi yang

dilaksanakan. Pemilihan sekolah sebagai tempat pelaksanaan

edukasi sebaya dinilai efektif untuk anak usia sekolah


62

dikarenakan secara legal anak akan hadir di sekolah serta

mudah dalam mengevaluasi proses dan dampak pelaksanaan

edukasi sebaya. Namun metode ini akan digunakan pada

lingkungan sekolah dari kelompok sebaya, dimana peneliti akan

terus mendukung dan memotivasi edukator sebaya untuk

menjalankan perannya secara spontan untuk mengajarkan,

memotivasi dan mengingatkan teman-temannya tentang pola

makan sehat dalam mencegah overweight dan obesitas di luar

sesi formil di dalam kelas.

4. Keuntungan Penggunaan Intervensi Peer Edukator Gizi

Turner dan Shepherd (1999), dalam Fitriani 2011) menyatakan

bahwa terdapat enam keuntungan penggunaan intervensi edukasi

gizi sebaya (Fitriani, 2011; Turner & Shepherd, 1999), sebagai

berikut :

a. Pendidikan gizi dan kesehatan yang dipresentasikan oleh

anggota sebaya mungkin dapat diterima oleh anggota ketika

metode lainnya tidak mungkin untuk dilakukan, terutama untuk

hal-hal yang sensitif.

b. Edukator gizi sebaya merupakan role model yang baik untuk

kelompok gizi sebayanya yang dapat berpengaruh kuat

terhadap perilaku anggota kelompoknya.

c. Edukator gizi sebaya memiliki kesempatan untuk kontak dengan

kelompok sebayanya secara berkelanjutan dalam interaksi


63

sosial sehari-hari sehingga dapat menguatkan proses

pembelajaran gizi, meningkatkan peluang tambahan untuk

berbagi informasi gizi, serta menjadi model peran dari perilaku

gizi yang diharapkan.

d. Edukasi gizi sebaya sebagai proses pemberdayaan anggota

sebaya yang terlibat di dalamnya. Edukasi yang diberikan

menggunakan bahasa dan gaya dalam kelompok sebayanya.

e. Edukasi yang diberikan oleh anak-anak atau remaja untuk

kelompok sebayanya memberikan rasa aman dan nyaman

dibandingkan edukasi yang diberikan oleh orang dewasa.

f. Edukasi gizi sebaya secara pembiayaan lebih murah (efektif).

Hal ini dikarenakan edukasi gizi dalam kelompok sebaya dapat

terjadi secara spontan, tidak membutuhkan biaya yang besar

dibandingkan dengan tenaga profesional.

D. Strategi Intervensi Anak Usia Sekolah dalam Pencegahan

Overweight dan Obesitas

Beratnya mengatasi obesitas menyebabkan perhatian

tatalaksana obesitas diutamakan pada usaha pencegahan, yang

berarti diawali dari pencegahan obesitas pada masa anak. WHO

membagi tahapan pencegahan menjadi tiga yaitu : pencegahan

primer yang bertujuan mencegah terjadinya obesitas; pencegahan

sekunder yang bertujuan menurunkan prevalensi obesitas; dan

terakhir pencegahan tertier yang bertujuan mengurangi dampak


64

obesitas, Pencegahan sekunder dan tersier lebih dikenal sebagai

tatalaksana obesitas serta dampaknya. Untuk melaksanakan ketiga

tahapan pencegahan secara optimal, perlu dikenali kriteria

obesitas, faktor-faktor penyebab serta dampak dari obesitas itu

sendiri (De Onis & Habicht, 1996).

Adapun peran tenaga kesehatan masyarakat berfokus pada

tiga level pencegahan yaitu pencegahan primer, sekunder, dan

tertier.

1. Pencegahan Primer

Upaya pencegahan primer dalam bentuk promosi

kesehatan untuk meningkatkan kesadaran individu, keluarga,

kelompok ataupun masyarakat terutama anak usia sekolah

berupa overweight dan obesitas dapat mengakibatkan berbagai

ancaman kesehatan. Selanjutnya mereka mengemukakan

intervensi promosi kesehatan berupa pendidikan gizi kesehatan

masyarakat pada anak usia sekolah dan keluarganya sangat

penting diberikan, supaya mereka mempunyai pengetahuan

tentang makanan sehat bergizi serta dampak yang ditimbulkan

akibat kesalahan memilih makanan, mengonsumsi makanan

padat energi dan rendahnya aktivitas melalui pendidikan

kelompok sebaya (Mainbolagh et al., 2012).

2. Pencegahan Sekunder
65

Upaya pencegahan sekunder dengan melakukan diagnosis

dini untuk mengidentifikasi adanya gangguan pertumbuhan dan

perkembangan seperti menimbang berat badan dan mengukur

tinggi badan, jenis penyakit infeksi yang diderita tiga bulan

terakhir, yang terintegrasi dalam kegiatan Usaha Kesehatan

Sekolah (UKS) serta merujuk anak usia sekolah yang menderita

sakit (D. K. R. Indonesia, 2003).

3. Pencegahan Tertier

Upaya pencegahan tertier berupa rehabilitasi terhadap

anak usia sekolah yang mengalami gangguan pertumbuhan

dengan pemberian makanan tambahan oleh pihak sekolah serta

penyediaan makanan sehat di lingkungan sekolah, penyediaan

sarana cuci tangan dengan harapan mengembalikan kesehatan

anak usia sekolah sebagai generasi penerus bangsa yang

cerdas (K. K. R. Indonesia, 2012). Intervensi yang diberikan

oleh tenaga kesehatan masyarakat lebih difokuskan pada upaya

pencegahan primer tanpa mengesampingkan pencegahan

sekunder dan tersier. Promosi kesehatan merupakan bentuk

intervensi primer yang diberikan sebagai upaya untuk

meningkatkan derajat kesehatan baik kesehatan individu,

kelompok maupun masyarakat (Masyarakat, 2005). Adapun

upaya pencegahan primer yang dapat dilakukan adalah dengan

melakukan peer edukasi pada anak usia sekolah.


66

Studi lain mengidentifikasi bahwa untuk menjadi sukses,

program pencegahan obesitas cenderung perlu untuk mengatasi

faktor-faktor lingkungan dan sosial ekonomi yang melampaui

pengaturan sekolah (Shroff et al., 2014). Tata laksana menyeluruh

obesitas mencakup penanganan obesitas dan dampak yang terjadi.

Prinsip dari tatalaksana obesitas adalah mengurangi asupan energi

serta meningkatkan keluaran energi. Caranya dengan pengaturan

diet, peningkatan aktifitas fisik, merubah pola hidup (modifikasi

perilaku), dan yang terpenting adalah keterlibatan guru, keluarga

dan teman sebaya dalam proses terapi.

Pencegahan dilakukan dengan menggunakan dua strategi

pendekatan, yaitu strategi pendekatan populasi untuk

mempromosikan cara hidup sehat pada semua anak dan remaja

beserta orangtuanya, serta strategi pendekatan pada kelompok

yang berisiko tinggi pada obesitas. Anak-anak yang berisiko

menjadi obesitas adalah seorang anak yang salah satu atau kedua

orangtuanya obesitas dan anak yang memiliki kelebihan berat

badan semenjak masa kanak-kanak. Menurut Leavel dan Clark

yang disebut pencegahan adalah segala kegiatan yang dilakukan

baik langsung maupun tidak langsung untuk mencegah suatu

masalah kesehatan atau penyakit. Pencegahan berhubungan

dengan masalah kesehatan atau penyakit yang spesifik dan

meliputi perilaku menghindar (Mainbolagh et al., 2012).


67

Tingkatan pencegahan menurut Leavel dan Clark, ada lima

tingkatan yaitu:

a. Peningkatan kesehatan (health promotion)

1) Mengedukasi gizi pada anak usia sekolah

2) Penyediaan makanan sehat dan bergizi

3) Perbaikan hygiene dan sanitasi lingkungan

4) Peningkatan pelayanan kesehatan kepada masyarakat

b. Perlindungan khusus terhadap penyakit tertentu (specific

protection)

1) Memberikan imunisasi pada kelompok rentan untuk

mencegah penyakit-penyakit tertentu.

2) Isolasi terhadap penyakit menular

c. Diagnosa dini dan pengobatan segera (early diagnosis and

promp treatment)

1) Mencari kasus sedini mungkin

2) Melakukan pemeriksaan umum secara rutin

3) Pengawasan selektif terhadap penyakit tertentu

4) Pemberian pengobatan yang tepat pada setiap permulaan

kasus.

d. Pembatasan kecacatan (disability limitation)

1) Pencegahan terhadap komplikasi dan kecacatan

2) Perbaikan fasilitas kesehatan bagi pengunjung untuk

dimungkinkan pengobatan dan perawatan yang lebih intensif


68

e. Pemulihan kesehatan (rehabilitation)

Tahap ini diusahakan agar cacat yang diderita tidak

menjadi hambatan sehingga individu yang menderita dapat

berfungsi optimal secara fisik, mental dan sosial.

Pemberdayaan teman sebaya terkait pencegahan overweight

dan obesitas diharapkan dapat menolong teman sebaya atau

peserta didik lainnya. Pemberdayaan teman sebaya dalam

memberikan edukasi gizi sebaya di sekolah lebih praktis bagi anak

usia sekolah, dikarenakan kelompok sebaya memberikan pengaruh

adopsi yang lebih kuat terhadap perilaku sehat anak. Edukasi

sebaya lebih memberikan rasa aman dan nyaman pada anak

dibandingkan edukasi yang diberikan oleh orang dewasa

(McDonald et al., 2003).

Perilaku gizi anak sekolah dapat diperbaiki dan ditingkatkan

dengan adanya promosi gizi di sekolah. Metode pendidikan

kesehatan yang digunakan pada anak usia sekolah hendaknya

melibatkan partisipasi anak, sehingga anak merasa bertanggung

jawab dalam menentukan perilaku sehat yang harus mereka

lakukan. Hal ini dapat dilakukan dengan pemberdayaan kelompok

sebaya atau peer group education.

Pemberdayaan teman sebaya diharapkan dapat mengedukasi

gizi anak usia sekolah dalam memperbaiki perilaku makan sesuai

piramida gizi dan aktivitas fisik. Pemberdayaan teman sebaya


69

bertujuan untuk membantu anak usia sekolah overweight dan

obesitas dapat belajar menghitung sendiri kebutuhan gizi,

merencanakan makanan, perilaku makan yang sehat dan

memantau berat badan serta membantu memahami peran media

dan budaya memilih makanan. Salah satu metode pendidikan gizi

untuk anak usia sekolah di sekolah adalah peer education (Gilbert,

Sawyer, & McNeill, 2014).

Edukasi sebaya adalah konsep populer yang berimplikasi

pada sebuah pendekatan komunikasi, metodologi, philosofi dan

strategi antara satu dengan yang lain mempunyai group sosial

sama khusus umur dan status termasuk pendididkan gizi. Edukasi

sebaya dilaporkan sebagai strategi yang signifikan untuk

pembelajaran aktif promosi gizi dan kesehatan (Gilbert et al., 2014;

McLachlan, White, Donnelly, & Patten, 2010).

Teman sebaya adalah sangat tepat untuk membina dan

meningkatkan gizi dan kesehatan kelompok ini. Disamping anak

sekolah adalah kelompok yang sudah terorganisasi sehingga

mudah untuk dijangkau oleh program, juga karena kelompok ini

merupakan kelompok yang mudah menerima upaya pendidikan.

Ahli pendidikan berpendapat bahwa kelompok umur ini sangat

sensitif untuk menerima pendidikan, termasuk peer edukator gizi.

Peer group education adalah suatu proses komunikasi, informasi

dan edukasi (Petrauskiene, Zaltauske, & Albaviviute, 2015) yang


70

dilakukan untuk kalangan sebaya atau kalangan satu kelompok,

dapat berarti kelompok sebaya pelajar, sesama rekan profesi atau

jenis kelamin (McDonald et al., 2003).

Peer group education dipandang sangat efektif dalam rangka

KIE gizi, karena penjelasan yang diberikan pada kelompok sebaya

lebih mudah dipahami dan meningkatkan kenyamanan anak

(Pérez-Escamilla, Hromi-Fiedler, Vega-López, Bermúdez-Millán, &

Segura-Pérez, 2008). Transfer pengetahuan dari teman sebaya

memberikan adopsi yang kuat dalam perilaku gizi anak. Asupan

makanan yang sehat dan sesuai kebutuhan anak akan berdampak

langsung pada status gizi anak. Hal ini didukung hasil penelitian

Hayati (2009) di Lhokseumawe menunjukkan bahwa terdapat

peningkatan perilaku anak usia sekolah yang signifikan dalam

menentukan jajan sehat pada kelompok intervensi sesudah

diberikan edukasi sebaya (M. Hayati, 2009).

Penelitian yang terkait dengan peer edukator seperti:

a. Penelitian Hayati (2009) dapat membuktikan bahwa teman

sebaya sebagai peer edukator dapat meningkatkan

pengetahuan, sikap dan keterampilan tentang jajanan sehat

pada anak usia sekolah kelas 4 dan 5 di SD Lhokseumawe,

Aceh dengan p=0,000 < 0,05).


71

b. Penelitian Saifah (2012) dapat menunjukkan bahwa peran

pendidik sebaya paling bermakna dalam menurunkan status gizi

lebih (p=0,000 < 0,05) (Saifah, 2011).

c. Hidayati RN. (2014) dapat menunjukkan bahwa efektifitas peer

group education tentang gizi seimbang terhadap perilaku gizi

anak usia sekolah lebih efektif dibandingkan dengan belajar

mandiri sebesar 50% (Hidayati & Ibnu, 2015).

d. Penelitian Fitriani (2011) dapat membuktikan bahwa ada

perbedaan bermakna pengetahuan, sikap dan keterampilan

anak usia sekolah sebelum dan sesudah diberikan edukasi

sebaya. Insidensi kecacingan menurun sesudah diberikan

edukasi sebaya (Fitriani, 2011).

E. Teori dan Model Intervensi pada Anak Usia Sekolah dalam

Pencegahan Obesitas

1. Teori Model PRECEDE-PROCEED

Upaya yang dilakukan individu untuk meningkatkan derajat

kesehatan masyarakat mencakup berbagai upaya baik itu dalam

bentuk mencegah terjadinya penyakit (health Prevention) maupun

melindungi diri dari berbagai masalah kesehatan (Health

Protection) (Sakraida, 2010). Menurut Green dan Kreuter, 2000)

dalam model PRECEDE-PROCEED mengemukakan bahwa ada


72

tiga faktor yang mempengaruhi individu maupun kelompok dalam

berperilaku yang berkontribusi terhadap status kesehatan yaitu :

a. Faktor Predisposisi (Predisposing Factor)

Faktor internal yang ada pada diri individu, keluarga,

kelompok, dan masyarakat yang mampu mempermudah untuk

berperilaku sehat atau faktor yang mendukung atau

mempermudah terjadi perilaku seseorang, antara lain

pengetahuan, sikap, kepercayaan dan keyakinan (upaya

promosi, pencegahan, pengobatan, rehabilitasi), nilai-nilai atau

persepsi terhadap sesuatu yang dapat memfasilitasi atau

menghalangi perubahan tentang masalah status kesehatan

masyarakat. Hal ini didukung oleh penelitian Ausra et. al. (2015)

pada anak-anak berusia 7-8 tahun di Lithuania menyatakan

bahwa semakin tinggi pengetahuan dan sikap anak terhadap

gizi maka semakin baik perilaku gizi terutama kebiasaan

sarapan bersama keluarga secara rutin (Petrauskiene et al.,

2015).

b. Faktor Pemungkin (Enabling Factor)

Faktor pemungkin merupakan individu berperilaku sehat

harus didukung oleh ketersediaan dan keterjangkauan dari

sumber-sumber kesehatan seperti posyandu, puskesmas serta

ketersediaan tenaga kesehatan dan finansial yang cukup, atau

dengan kata lain faktor yang memungkinkan atau memfasilitasi


73

perilaku. Untuk mewujudkan perilaku atau kebiasaan sehat

anak usia sekolah, tidak cukup dengan hanya memiliki

pengetahuan dan sikap saja, namun dibutuhkan fasilitas

kesehatan untuk mendukung terbentuknya perilaku sehat. Hal

ini di dukung oleh Pender et. al. (2010) untuk merubah perilaku

sehat individu harus didukung oleh sarana dan tenaga

kesehatan sebagai pemberi layanan (Pender, Murdaugh, &

Parsons, 2010).

c. Faktor Penguat (Reinforcing Factor)

Faktor penguat merupakan faktor yang menguatkan

perilaku. Pengetahuan, sikap, dan fasilitas yang tersedia belum

menjamin terbentuknya perilaku seseorang atau kelompok,

sehingga faktor penguat dibutuhkan. Faktor penguat antara lain

teman sebaya, keluarga, tenaga pendidik, tokoh masyarakat,

pengambil kebijakan, umpan balik dan penghargaan dari

berbagai pihak. Faktor penguat mempunyai konsekuensi positif

dan negatif terhadap tindakan, melanjutkan atau menghentikan

perilaku tersebut, tergantung sumber pemberi motivasi.

Penelitian Ausra et. al. (2015) pada anak-anak berusia 7-8

tahun di Lithuania menyatakan bahwa semakin tinggi status

sosial ekonomi orang tua semakin baik sikap dan perilaku gizi

terutama kebiasaan sarapan bersama keluarga secara rutin,

dan hal ini didukung oleh penelitian Choi et.al. dalam Saifah
74

(2011) di Seoul menunjukkan bahwa semakin tinggi pengaruh

keluarga (tingkat pendidikan ayah dan ibu) semakin baik sikap

dan perilaku makan anak sekolah dasar (Saifah, 2011).

Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat disimpulkan

bahwa ketiga faktor : predisposing factors, enabling factors dan

reinforcing factors saling terkait dan saling mendukung untuk

terbentuknya perilaku sehat. Pengetahuan, sikap keyakinan dan

keterjangkauan fasilitas dan pelayanan kesehatan belum bisa

mewujudkan perilaku sehat jika tidak didukung oleh faktor

penguat seperti keterlibatan keluarga, teman sebaya, guru,

lingkungan lingkungan sekolah serta adanya dukungan tokoh

masyarakat dan pejabat pemerintah. Perilaku yang diharapkan

tidak terbatas pada peningkatan pengetahuan tentang

kesehatan, namun menciptakan sikap positif tentang kesehatan

dan akhirnya dipraktikkan menjadi masyarakat yang berperilaku

hidup sehat (healthy life style). Perilaku hidup sehat akan

memberi dampak positif terhadap pertumbuhan dan

perkembangan anak usia sekolah terutama dalam tatalaksana

pencegahan obesitas.
75

2. Teori Transtheoritical Model

Teori Transtheoretical Model (Prochaska dan Diclemente,

1982) menggambarkan 5 (lima) tahapan perubahan. Seseorang

yang mengalami perubahan akan memasuki setiap tahapan

perubahan secara progresif, meskipun pada setiap tahapnya

Gambar
terdapat 2. Model
peluang PRECEDE-PROCEED
berupa (Green & Kreuter,
kembalinya seseorang ke tahap2000)

perubahan sebelumnya (relapse). Adapun tahap perubahan secara

singkat dijelaskan, sebagai berikut:

a. Precontemplation
76

Seseorang tidak ingin merubah perilaku dan berpikir untuk

mengadopsi perilaku tertentu. Seseorang tidak menganggap

bahwa perilakunya sebagai masalah.

b. Contemplation

Seseorang mulai sadar dan peduli dengan masalah dan mulai

berpikir untuk merubah dan mengadopsi perilaku tertentu.

c. Preparation

Seseorang mulai membuat rencana dan mengambil langkah

untuk mengadopsi perilaku positif dalam melakukan perubahan

perilaku.

d. Action

Seseorang melaksanakan rencana perubahan perilaku.

e. Maintenance

Seseorang berupaya untuk mempertahankan/menjaga

keberlanjutan perubahan perilaku dan melawan adanya

kemungkinan kembali ke perilaku awal.

Model transtheoretical ini memiliki kelebihan dan kekurangan,

yaitu mempunyai metode atau strategi yang tepat dan jelas dalam

merubah perilaku partisipan sebagai tahapan berubah dan proses

berubah dalam mencapai perubahan yang diinginkan. Sedangkan

kekurangan model ini adalah membutuhkan waktu yang cukup

lama untuk proses berubah dan kesabaran dan ketekunan dalam

mencapai perubahan perilaku. Teori model ini juga menjelaskan


77

bagaimana pengetahuan dan sikap berdampak pada perubahan

perilaku di setiap tahap perubahan. Perubahan pengetahuan

berlangsung ketika berpindahnya seseorang dari tahap

precontemplation ke tahap contemplation, perubahan pengetahuan

akan berdampak pada perubahan sikap di tahap preparation.

Dukungan dan penguatan yang dilakukan secara terus

menerus akan memfasilitasi terjadinya tindakan perubahan perilaku

pada tahap action dan maintenance (perubahan perilaku menetap).

Berdasarkan perspektif teori ini, pemberian pengetahuan oleh

edukator sebaya dapat mempengaruhi terjadinya perubahan sikap

dan perilaku anggota kelompoknya.

3. Model Comprehensive School Health

Delapan komponen teori Comprehensive School Health Models

menurut Allensworth dan Kolbe (1987) dalam Saifah (2011) yang

saling berhubungan (Saifah, 2011; Story, Kaphingst, Robinson-

O’Brien, & Glanz, 2008), sebagai berikut :

a. Pendidikan Kesehatan

Strategi pembelajaran dan fokus pada perubahan perilaku

untuk meningkatkan derajat kesehatan merupakan bagian dari

strategi pendidikan kesehatan. Tujuan utama pendidikan

kesehatan dalam hal ini pendidikan gizi terhadap pencegahan

obesitas adalah membantu anak menurunkan berat badannya,

mengatur pola makan serta berolahraga atau aktivitas fisik


78

secara teratur. Pendidikan gizi menekankan pada anak usia

sekolah untuk meningkatkan pengetahuan dan sikap yang

dibutuhkan dalam menjaga pola makan dan aktivitas fisik yang

sehat.

b. Pendidikan Jasmani

Pendidikan jasmani dapat memotivasi anak usia sekolah

untuk mengurangi aktivitas santai dan meningkatkan aktivitas

fisik secara rutin dan teratur seperti berjalan kaki, berlari,

bersepeda, berenang, fitness dan jogging. Lama aktivitas fisik

yang dianjurkan dan baik berkisar 3-5 kali per minggu selama

satu jam atau 30 menit setiap hari.

c. Pelayanan Kesehatan

Pelayanan kesehatan sekolah terhadap pencegahan

obesitas antara lain promosi dan pendidikan kesehatan,

pengukuran berat badan lebih (skrining), Konseling gizi untuk

pencegahan obesitas, pengelolaan dan pemantauan berat

badan secara teratur.


79

School
Age
Children

4. Teori Diffusion Innovation

Diffusion Innovation Theory menurut Rogers (1999-2002)

menyatakan bahwa pengaruh lingkungan sosial mempunyai

peranan penting dalam perubahan perilaku seseorang. Komponen

kunci dari teori ini adalah pandangan atau pendapat dari tokoh-

tokoh penting di kelompok atau komunitas. Pandangan tersebut

bertindak sebagai
Gambar penyebab atau School
3. Comprehensive agen perubah perilaku, yang
Health Models
(Allensworth
akan mempengaruhi nilai atau & Kolbe, 1987)
kebiasaan kelompok melalui hasil

pertukaran pendapat dari satu orang ke orang lainnya melalui

diskusi.
80

Berdasarkan tinjauan teori ini, pemilihan edukator gizi sebaya

dari kelompok sebayanya, dapat meningkatkan kredibilitas dari

pandangan yang akan diberikan dalam mempengaruhi pendapat

serta perilaku anggota kelompok sebayanya. Anggota kelompok

sebaya sering membandingkan dirinya dengan kelompok

sebayanya, sehingga pandangan teori ini digunakan untuk

membangun konsep edukasi gizi sebaya dalam menarik motivasi

seseorang untuk berubah sesuai dengan kemampuan perilaku

kelompok.

Hasil penelitian Rogers (1978) dalam Notoatmodjo, (2003)

melaporkan bahwa sebelum terjadi perubahan perilaku seseorang

akan melewati lima tahapan proses adopsi perilaku sebagai berikut:

a. Awareness (Kesadaran)

Terjadi ketika seseorang mengetahui tentang rangsangan atau

stimulus (objek) yang menimbulkan kesadaran.

b. Interest (Mulai tertarik)

Terjadi ketika seseorang mulai menaruh perhatian (merasa

tertarik) terhadap rangsangan atau stimulus tertentu.

c. Evaluation (menimbang-nimbang)

Terjadi ketika seseorang berproses untuk mempertimbangkan

atau membandingkan baik buruknya tindakan akibat

rangsangan atau stimulus tertentu terhadap dirinya.


81

d. Trial

Terjadi ketika seseorang mencoba perilaku baru sesuai dengan

yang dikehendaki rangsangan atau stimulus.

e. Adoption

Terjadi ketika seseorang telah berperilaku baru sesuai dengan

pengetahuan, kesadaran, dan sikap terhadap rangsangan atau

stimulus.

Proses adopsi perilaku yang dikemukan oleh Rogers tersebut

memperlihatkan bahwa pengetahuan merupakan unsur hal yang

mendasar akan meningkatkan kesadaran dan sikap yang positif

dari seseorang untuk menunjukkan perilaku baru yang bersifat

langgeng (long lasting), demikian juga sebaliknya perubahan

perilaku tanpa didasari oleh pengetahuan dan kesadaran

perubahan perilaku yang terjadi bersifat sementara.

5. Model Intervention Mapping School dikembangkan di Inggris

Berbagai model intervensi terpusat pada sekolah untuk

mencegah dan menurunkan obesitas pada anak-anak. Metode ini

menjelaskan perkembangan program gaya hidup sehat di sekolah

untuk mencegah obesitas melalui empat langkah: pemetaan,

intervensi berfokus pada perilaku kesehatan, yaitu pengurangan

konsumsi susu kental manis dan minuman manis, meningkatkan


82

proporsi penganan sehat, pengurangan nonton TV dan kegiatan

berbasis layar lainnya, diet dalam konteks yang lebih luas,

berusaha meningkatkan aktivitas fisik. Digunakan dua fase yang

layak dan dapat diterima untuk sekolah, anak-anak dan keluarga

mereka. Umpan balik dari tahap percontohan pertama

menyarankan bahwa usia 9-10 tahun dan usia 13-15 tahun

keduanya terbuka terhadap pesan-pesan kesehatan, anak-anak

bersedia dan dapat menerima perubahan perilaku lebih cepat

dibandingkan dengan melibatkan keluarga besar mereka. Tujuan

dipetakan ke tiga kelompok adalah perubahan sikap, memberikan

motivasi, mengambil tindakan dan tetap termotivasi, serta untuk

membuat suatu intervensi yang mendukung dan memungkinkan

perubahan sikap.

Kegiatan yang dilakukan meliputi organisasi sekolah, orang

tua, klub olahraga dan senam, berbasis pendidikan dan pelajaran,

lokakarya dan drama interaktif yang sesuai dengan tujuan dan

ketentuan sekolah yang telah ditetapkan. Hasilnya adalah

keterlibatan intervensi pemetaan merupakan sebuah alat yang

bermanfaat dalam mengembangkan teori berdasarkan tujuan untuk

memotivasi anak-anak dengan turut serta melibatkan keluarga

mereka untuk membuat perubahan berkelanjutan pada pola makan

dan perilaku aktivitas mereka. Meskipun proses ini memakan waktu

lama, pendekatan sistematis ini memastikan bahwa perubahan


83

sikap dan faktor-faktor penentu lainnya menjadi tujuan program.

Model ini menyediakan kerangka kerja yang jelas untuk analisis

proses dan meningkatkan faktor yang terkait untuk mewujudkan

hasil yang diinginkan untuk mencegah dan menurunkan obesitas

pada anak-anak (Lloyd et al., 2011).

6. Model yang dikembangkan di Indonesia

a. Model prediksi prevalensi obesitas pada penduduk umur >

15 tahun di Indonesia

Model penelitian dengan pendekatan studi ekologi desain

cross sectional study. Populasi penelitian ini adalah 33 provinsi

di Indonesia dan sampel 33 provinsi dengan unit analisis adalah

data rata-rata prevalensi wilayah provinsi. Penelitian ini

merupakan analisis lanjut dari data riskesdas tahun 2007. Data

yang digunakan adalah data sekunder hasil riskesdas. Analisa

data dilakukan dengan menggunakan komputer sampai tingkat

analisis multivariate yaitu menggunakan uji regresi linier ganda.

Definisi operasional variabel mengacu pada definisi operasional

riskesdas.

Hasil analisis univariat seluruh variabel independen yang

akan digunakan dalam pemodelan selanjutnya dilakukan uji

regresi linier ganda dengan metode enter maka variabel yang

mempunyai nilai p terbesar dikeluarkan dari model satu persatu

sampai didapatkan model yang fit. Akhirnya hanya ada satu


84

variabel yang dapat digunakan sebagai prediksi prevalensi

obesitas (Retnaningsih, 2010).

b. Transtheoritical Model

Transtheoritical model (TTM) merupakan teori yang menilai

kesiapan individu untuk bertindak/berperilaku sehat, dan

membuat strategi-strategi atau proses-proses perubahan untuk

membantu individu melalui tahapan perubahan ke tahap aksi

dan pemeliharaan. Tahapan dalam TTM meliputi

precontemplation (tidak siap), contemplation (persiapan),

preparation, action, maintenance dan relaps (kekambuhan).

TTM sudah terbukti efektif dalam perilaku diet dan manajemen

berat badan.

Menurut teori ini, individu yang paling mungkin untuk

mengalami kesuksesan dalam mengubah perilaku bila

dilakukan dalam strategi yang sesuai dengan tahap kesiapan

untuk berubah. Penelitian Frenn & Malin dalam Leaslie Spencer

tahun 2007 membuktikan bahwa persentase lemak dalam

makanan berkurang secara bermakna pada seluruh tahapan,

sementara akses terhadap keinginan untuk diet rendah lemak

meningkat pada setiap tahapan. Akses terhadap olah raga juga

meningkat secara bermakna pada seluruh tahapan (Rosita,

Marhaeni, & Mutyara, 2007).


85

Tingginya angka obesitas pada usia sekolah akan

meningkatkan risiko penyakit degeneratif pada usia dewasa.

Faktor penyebab terjadinya obesitas pada anak sebagian besar

disebabkan perilaku makan yang salah (tinggi energi, tinggi

lemak, rendah serat makanan) dan perilaku hidup (aktivitas fisik

yang rendah). Konseling gizi merupakan salah satu upaya untuk

mengintervensi penderita overweight dan obesitas. Pelayanan

konseling gizi yang dilaksanakan baik di rumah sakit maupun

ditempat-tempat pelayanan kesehatan lainnya belum

memperhatikan kesiapan klien dalam menerima informasi untuk

mengubah perilaku lama ke perilaku baru. Hal ini menyebabkan

kurangnya motivasi klien untuk mengubah perilakunya.

Transtheoritical model (TTM) adalah salah satu teori yang

sering digunakan dalam intervensi untuk mengubah perilaku

dalam bidang kesehatan dan diet. Konseling gizi yang dilakukan

dengan pendekatan TTM yang terdiri dari 6 tahapan

(precontemplation, contemplation, preparation, action,

maintenance, relaps), diharapkan dapat lebih efektif dalam

mengintervensi penderita overweight dan obesitas. Penulisan

artikel ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh konseling gizi

dengan pendekatan transtheoritical model terhadap perilaku

makan dan aktivitas fisik pada anak overweight dan obesitas.


86

Penulisan artikel ini merupakan sebuah kajian literature.

Hasil kajian ini menunjukan bahwa konseling gizi yang intensif

berpengaruh terhadap perilaku makan dan aktivitas fisik pada

anak overweight dan obesitas. Kajian ini juga menunjukan

afektifitas transtheoritical model dalam mengubah perilaku

makan/diet dan aktivitas fisik pada obesitas. Berdasarkan kajian

tersebut diharapkan para konselor gizi dalam memberikan

konseling hendaknya memperhatikan kesiapan klien dalam

mengubah perilaku makan maupun perilaku hidupnya (aktivitas

fisik), sesuai dengan tahap-tahapan yang ada dalam

transtheoritical model (Erika & Nurachmah, 2014).

Perilaku makan kurang sehat dan rendahnya aktivitas fisik

merupakan penyebab umum obesitas pada anak usia sekolah. Model

peer edukator gizi merupakan model inovasi pencegahan obesitas

pada anak usia sekolah. Integrasi model PRECEEDE PROCEED,

Transtheoretical, Comprehensive School Health, dan Diffusion

Innovation menjadi pedoman pencegahan obesitas pada agregat anak

usia sekolah. Integrasi keempat model tersebut juga mendasari

penerapan model Peer Edukator Gizi.


87

Tabel 4. Tabel Sintesa Penelitian-Penelitian dengan Pendekatan Peer Edukator Gizi

Peneliti, Tahun Negara Judul Sampel Variabel Metode/ Temuan/Hasil


Desain Studi
Fonseca H., et.al, Portugal Managing Teman Gaya hidup Eksperimen, Ada perubahan
2014 paediatric sebaya (aktivitas fisik, kohor, self perilaku
obesity obesitas IMT/BMI, Perilaku determination anak/modifikasi
model : a menetap), theory perilaku kesehatan :
multidisciplinar pengaruh teman membatasi waktu
y intervention sebaya, asupan menonton tv, self
including kalori, dukungan regulation, self
peers in the sosial eficassy, Masih
therapeutic kurangnya
process penelitian dengan
(Fonseca, permodelan peer
Palmeira, educator yang
Martins, menggunakan
Falcato, & strategi berbasis
Quaresma, bukti
2014)
Neelon SEB., et.al, Preventing Anak- Promosi Intervensi, Terdapat perubahan
2016 childhood anak, kesehatan, perilaku Behavior perilaku kesehatan,
obesity in keluarg kesehatan, change theory, aktivitas fisik,
early care and a,teman aktivitas fisik, Healthy Family perilaku makan
education sebaya perilaku makan, Child Care secara signifikan
settings: peer group Homes, Cluster Rekomendasi ini
Lessons from size, intra-class berlaku untuk
two correlations intervensi
88

intervention (ICC) perubahan perilaku


studies secara umum dan
(Benjamin terutama berlaku
Neelon, untuk intervensi
Qstbye, Hales, yang menargetkan
Vaughn, & anak-anak dan
Ward, 2016) teman sebaya.
Intervensi yang
relatif mudah
diterapkan dan telah
dikembangkan
untuk diseminasi
lebih cenderung
menarik berbagai
provider, kalangan
profesional
kesehatan
masyarakat yang
tertarik untuk
mengembangkan,
menerapkan, dan
mengevaluasi
intervensi untuk
mencegah obesitas
pada anak-anak di
awal pendidikan dan
pengaturan
pelayanan.
89

Lloyd JJ., et.al, 2011 Inggris Evidence, Anak Perilaku makan, Intervention Intervensi ini cocok
theory and usia konsumsi gula-gula Mapping, untuk dilakukan
context - using sekolah dan minuman, Social cognitive disekolah, terjadi
intervention konsumsi snak, theory, perubahan perilaku
mapping to kebiasaan nonton determinants of dari sampel yang
develop a tv, aktivitas fisik behaviours, memiliki umur yang
school-based Information lebih tua,
intervention Motivation disarankan
to prevent Behavioural dilakukan pada
obesity in Skills Mode umur 9-15 tahun
children (Lloyd karena lebih terbuka
et al., 2011) terhadap pesan-
pesan kesehatan
daripada umur 4-6
tahun,
kekurangannya
cukup memakan
waktu
Sawka KJ, Kanada Friendship Anak Pergaulan, Studi Pergaulan (teman
McCormack GR, networks and berusia aktivitas fisik, longitudinal,Sis sebaya), aktivitas
Nettel-Aguirre A, physical 6-18 perilaku menetap tematis review fisik, perilaku
Hawe P, Doyle- activity and tahun menetap ada
Baker PK, 2013 sedentary (teman hubungan signifikan
behavior sebaya) penurunan berat
among youth badan
Van Lippevelde W, Belgia Mediating Siswa Dukungan teman Randomised Kedua kelompok
van Stralen M, effects of berusia sebaya, orang tua, Controlled Trial intervensi
Verloigne M, et al, home-related 11-15 asupan lemak, menunjukkan hasil
90

2012 factors on fat tahun perilaku ngemil, signifikan


intake from diet, obesitas
snacks in a
school-based
nutrition
intervention
among
adolescents
Abu-Kishk I, Alumot- Kanada Lifestyle Remaja Kekakuan arteri, Studi BMI pada dua
Yehoshua M, Reisler modifications usia 12- pola diet, gaya Eksperimental kelompok intervensi
G, et al,2014 in an 18 hidup, obesitas prospektif secara signifikan
adolescent tahun longitudinal, menurun
dormitory Clinical trial
91

F. Kerangka Teori
92

G. Kerangka Konsep

Kelompok Intervensi Kelompok Kontrol

Peer Edukator Gizi Peer Edukator Gizi

Pendidikan Orang Tua


Asupan Gizi:
Pekerjaan Orang Tua Perilaku Pencegahan Obesitas:
Asupan Energi
Pendapatan Orang Tua Pengetahuan Gizi dan Obesitas
Asupan Karbohidrat
Riwayat Gizi Orang Tua Sikap Terhadap Gizi dan Obesitas
Asupan Lemak
Suku Aktivitas Fisik
Asupan Protein
Pengaruh Keluarga Pola Makan
Asupan Serat

ANAK USIA SEKOLAH DASAR


Keterangan :

= Variabel bebas = Hubungan variabel bebas Perilaku Pencegahan meningkat


Pola Makan Sehat Berat Badan
= Variabel antara = Hubungan variabel tergantung Asupan Gizi Baik

= Variabel moderat = Hubungan variabel moderat

= Variabel tergantung Gambar 5. Kerangka Konsep


93

H. Kerangka Operasional Model Intervensi

KELOMPOK INTERVENSI
(n=40) : Peningkatan
Materi Perilaku
(Penyuluhan/pendampingan+ Pencegahan,
modul, leaflet) pola makan
Diskusi melalui sharing peer sehat, aktivitas
group fisik baik, asupan
Pengukuran BB dan TB gizi baik
Pre-test dan post-test

SISWA SDIT :
Jenis Kelamin,
Umur
Kelas
Perilaku Model
Pencegahan Peer Edukator Gizi Pencegahan
(Pengetahuan, Obesitas Yang
sikap)
Pola makan
Lebih Efektif
Aktivitas fisik
Asupan gizi

KELOMPOK KONTROL
(n=40): Peningkatan
Materi (Modul, leaflet) Perilaku
Pengukuran BB dan TB Pencegahan,
Pre-test dan post-test pola makan
sehat, aktivitas
fisik baik, asupan
gizi baik

Gambar 6. Kerangka Intervensi

I. Hipotesis Penelitian

1. Ada perbedaan perubahan pengetahuan gizi anak overweight sebelum

dan setelah penerapan model intervensi peer edukator gizi pada

kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.


94

2. Ada perbedaan perubahan sikap terhadap gizi anak overweight

sebelum dan setelah penerapan model intervensi peer edukator gizi

pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.

3. Ada perbedaan perubahan aktivitas fisik anak overweight sebelum dan

setelah penerapan model intervensi peer edukator gizi pada kelompok

perlakuan dan kelompok kontrol.

4. Ada perbedaan perubahan kebiasaan makan cemilan anak overweight

sebelum dan setelah penerapan model intervensi peer edukator gizi

pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.

5. Ada perbedaan perubahan kebiasaan jajan anak overweight sebelum

dan setelah penerapan model intervensi peer edukator gizi pada

kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.

6. Ada perbedaan perubahan kebiasaan minum soft drink anak

overweight sebelum dan setelah penerapan model intervensi peer

edukator gizi pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.

7. Ada perbedaan perubahan asupan gizi (asupan energi, karbohidrat,

lemak, protein dan serat) anak overweight sebelum dan setelah

penerapan model intervensi peer edukator gizi pada kelompok

perlakuan dan kelompok kontrol.


95

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif

menggunakan rancangan quasi eksperimen dengan non equivalent

control group design, yaitu untuk menilai efek (pengaruh) dari suatu

intervensi yang dilakukan terhadap subyek penelitian, tanpa adanya

randomisasi penentuan kelompok intervensi dan kelompok Kontrol

(Sugiyono, 2009).

Rancangan penelitian ini dengan tujuan untuk mengembangkan

model intervensi peer edukator gizi terhadap perilaku pencegahan

obesitas di Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Kota Makassar.

Penelitian ini menggunakan Cluster Randomized Controlled Trial

(CRCT) berdasarkan pedoman CONSORT (Consolidated Standards of

Reporting Trials). CRCT adalah salah satu rancangan studi

eksperimental dimana responden penelitian tidak diacak secara

individu namun berdasarkan pada cluster atau kelompok. Jadi, alokasi

peserta berdasarkan pengacakan kelompok untuk mengalokasikannya

di kelompok intervensi atau kelompok kontrol. Selanjutnya dilakukan

pengukuran sebelum dan sesudah intervensi (pre-post test) pada

kedua kelompok. Pengaruh perlakuan diperoleh dengan cara

mengukur perbedaan hasil pre-post test antara kelompok perlakuan

dan kelompok kontrol. Adapun gambaran mengenai rancangan pre


96

test dan post test, non equivalent control group design sebagai berikut

(Campbell M et al, 2000) :

01 X 02 (Kelompok Intervensi)

03 04 (Kelompok Kontrol)

Keterangan:

01 : Pengukuran kemampuan awal kelompok eksperimen

02 : Pengukuran kemampuan akhir kelompok eksperimen

X : Pemberian perlakuan (Intervensi)

03 : Pengukuran kemampuan awal kelompok kontrol

04 : Pengukuran kemampuan akhir kelompok control

Gambar 7. Skema Desain Penelitian Quasi Eksperiment Non


Equivalent dengan Pre-Post Test

Untuk itu, perlu dilakukan tahapan-tahapan edukasi sebaya

sebagai berikut:

1. Tahapan Edukasi Sebaya Pertama

a. Perencanaan

1) Studi Literatur (Literatur Review)

Pada tahap ini dilakukan kajian literature terhadap artikel

ilmiah, model-model Intervensi pada anak usia sekolah dan

modul serta leaflet yang ada di database online seperti

Pubmed, Hindawi dan Google Scholar yang berhubungan

dengan model pencegahan obesitas.


97

2) Survei Pendahuluan

Survei pendahuluan dilakukan untuk mendapatkan data

tentang status gizi siswa sekolah dasar islam terpadu

sebagai salah satu sumber bukti terkini untuk memilih isu

yang menjadi perhatian program pencegahan obesitas.

Selain itu, informasi dari penelitian ini digunakan sebagai

dasar untuk memilih peserta studi untuk penelitian kuantitatif,

validasi dan evaluasi. Ini dikumpulkan melalui kegiatan

survei yang melibatkan 2.177 siswa dari beberapa SDIT di

Kota Makassar.

3) Penilaian Antropometri dan Pembagian Instrumen Penelitian

Data antropometri (berat dan tinggi badan) diperoleh setelah

melakukan pengukuran dengan menggunakan timbangan

dan microtoise dan data karakteristik siswa, pola makan

serta aktifitas fisik dikumpulkan menggunakan kuesioner

penelitian, food recall dan FFQ yang dilaporkan sendiri dan

dikumpulkan setelah mendapat izin dari kepala sekolah.

4) Skrining

Skrining untuk menentukan kelompok siswa yang

overweight sebagai subjek dan masing-masing

didistribusikan kedalam kelompok perlakuan dan kelompok

kontrol. Penentuan kelompok intervensi dan kelompok

kontrol dilakukan setelah pengukuran berat badan dan tinggi


98

badan siswa, kemudian dilakukan perhitungan berat badan

dan tinggi badan (IMT/Umur) untuk menentukan siswa

overweigth. Penentuan sampel berdasarka kriteria sehingga

didapatkan sampel yang akan diikutsertakan dalam

penelitian. Setelah didapatkan sampel terpilih, dilakukan

koordinasi dengan sampel sebagai upaya membangun

komitmen selama mengikuti penelitian.

Data yang dikumpulkan selanjutnya dianalisis dan

diinterpretasikan hasilnya, kemudian didiskusikan dengan

pembimbing serta stakeholder terkait (Puskesmas). Diskusi

yang dilakukan bertujuan bukan hanya memberikan

informasi tentang hasil penelitian yang ditemukan tetapi juga

mendengarkan masukan untuk tindaklanjut penelitian pada

tahap 2. Hasil penelitian yang telah dianalisis, juga dipakai

untuk menentukan Model Pendampingan Intervensi peer

Edukator Gizi terpilih yang akan menjadi acuan dalam

intervensi penelitian tahap ke 2. Langkah berikutnya adalah

penyusunan modul dan leaflet penelitian sebagai produk dari

model terpilih. Alur operasional penelitian tahap 1, dapat

dilihat pada gambar 8.

5) Penyusunan Modul dan Leaflet

Hasil analisis instrument penelitian pada saat pre test awal

dan kajian literarur digunakan sebagai bahan penyusunan


99

modul dan leaflet pada pencegahan obesitas pada anak usia

sekolah di tahap edukasi sebaya kedua.

6) Uji Coba Modul dan Leaflet

a) Mengirim surat kesekolah tempat pelaksanaan uji coba

modul dan leaflet

b) Menemui kepala sekolah untuk menyampaikan maksud

dan tujuan pelaksanaan uji coba modul serta penjelasan

teknis kegiatan tersebut.

c) Uji coba modul dan leaflet di laksanakan di ruang kelas

Sekolah Dasar Islam Terpadu Wahdatul Ummah II

Antang Kota Makassar selama 2 hari.

d) Uji coba modul dan leaflet dilaksanakan dalam bentuk

pelatihan dan pesertanya adalah kelas 4 dan 5

e) Sebelum pelatihan, peserta di beri soal 10 nomor dan

setelah selesai kegiatan pelatihan maka diberikan soal

yang sama.

f) Materi dalam pelatihan peer group sama dengan materi

yang dimuat dalam modul dan leaflet yang telah disusun.

g) Modul dan leaflet diberikan kepada seluruh peserta

pelatihan
100

7) Penilaian Modul dan leaflet

a) Penilaian Modul

Tabel 5. Penilaian Modul

No. Aspek yang dinilai Nilai


1. Desain Modul :
a. Jenis dan Ukuran Huruf 88,7
b. Gambar yang digunakan 100,0
c. Proporsi warna 99,3
d. Ukuran Modul 100,0
2. Informasi yang disampaikan
a. Menarik 100,0
b. Bermanfaat 100,0
c. Mudah dimengerti 100,0
3. Kesesuaian dengan kelompok 100,0
umur
4. Motivasi dan dukungan 100,0
5. Lembar Evaluasi 100,0
Rata – rata 98,8
Sumber: Data Primer, 2017

Tabel 5 memperlihatkan bahwa penilaian modul rata-

rata adalah 98,8. Penilaian dilihat dari aspek desain

leaflet, informasi yang disampaikan, kesesuaian dengan

kelompok umur, serta motivasi dan dukungan. Namun

semua aspek secara keseluruhan dengan nilai 98,8

menunjukkan bahwa modul dinilai sudah baik dan dapat

dipergunakan.

b) Penilaian Leaflet

Tabel 6 dibawah ini menunjukkan bahwa penilaian

leaflet rata-rata adalah 100,0. Penilaian dilihat dari aspek

desain leaflet, informasi yang disampaikan, kesesuaian


101

dengan kelompok umur, serta motivasi dan dukungan.

Semua aspek dinilai sudah baik oleh semua subjek

Tabel 6. Penilaian Leaflet

No. Aspek yang dinilai Nilai


1. Desain Leaflet :
a. Jenis dan Ukuran Huruf 100,0
b. Gambar yang digunakan 100,0
c. Proporsi warna 100,0
d. Ukuran Leaflet 100,0
2. Informasi yang disampaikan
a. Menarik 100,0
b. Bermanfaat 100,0
c. Mudah dimengerti 100,0
3. Kesesuaian dengan kelompok 100,0
umur
4. Motivasi dan dukungan 100,0
5. Lembar Evaluasi 100,0
Rata – rata 100,0
Sumber: Data Primer, 2017

b. Rekruitmen dan Pelatihan

1) Syarat-Syarat Rekruitmen Peer Edukator Gizi

a) Anak usia sekolah dasar

b) Anak yang memiliki berat badan dengan IMT/U yang

dikonversi kedalam nilai Z-skor + 1 SD - ≤ - 2 SD.

c) Anak aktif dan cakap berkomunikasi serta tahu menulis

dan membaca.

d) Mendapatkan persetujuan baik dari kepala sekolah

maupun dari orang tua jika terpilih sebagai peer edukator

gizi untuk kelasnya di penelitian ini.

e) Peserta peer edukator gizi adalah kelas 4 dan kelas 5

serta mewakili kelasnya masing-masing (pre-adolescent).


102

f) Jumlah peer edukator gizi secara keseluruhan sebanyak

43 siswa terdiri dari:

Tabel 7. Distribusi Peer Edukator Gizi (PEG) Berdasarkan

Sekolah

No. Nama Sekolah Jumlah Peer Edukator Kelompok


Subyek Gizi Sebaya
1. SDIT Rama 6 3 2
2. SDIT W. Ummah 24 12 6
3. SDIT Ikhtiar 8 4 2
4. SDIT InsanTama 9 6 3
5. SDIT Al-Akhyar 16 8 4
6. SDIT Al-Azhar 9 6 3
7. SDIT Al-Fikri 8 4 2
Jumlah 80 43 22

g) Satu peer edukator gizi akan membawahi dan

bertanggung jawab terhadap 1 kelompok sebaya terdiri

dari 3-4 siswa overweight

2) Pelaksanaan Pelatihan Peer Edukator Gizi

a) Peneliti melakukan berupa persiapan tujuan, bahan dan

materi berupa materi pelatihan peer edukator gizi dan

modul pencegahan obesitas.

b) Peneliti dan tim yang sudah dilatih beserta guru kelas

melakukan seleksi dari sampel terpilih untuk menjadi

peer edukator gizi sebanyak 43 anak terpilih untuk

menjadi calon edukator sebaya dengan kriteria:


103

menduduki 5 peringkat tertinggi di kelasnya, penampilan

yang rapih dan bersih, mudah dalam bergaul, disukai

kelompok sebayanya, memiliki kepekaan dalam

membantu teman sebayanya dan komunikatif.

c) Sebelum pelatihan dimulai, semua peer edukator gizi

mendapat informasi tentang tujuan penelitian dan

kemudian mereka diminta untuk mengisi informed

consent. Untuk menstandarisasi program intervensi,

semua peer edukator gizi yang memenuhi syarat diminta

menandatangani komitmen tertulis untuk mematuhi

program ini dalam waktu tujuh bulan.

d) Peneliti dan tim yang sudah dilatih beserta guru kelas

melakukan pengukuran pengetahuan dan sikap calon

peer edukator gizi dengan menggunakan kuesioner

sebelum pelatihan dimulai.

e) Peneliti dan tim yang sudah dilatih beserta guru kelas

menyelenggarakan pelatihan peer edukator gizi.

Pelatihan peer edukator gizi dilakukan dalam waktu 1

bulan. Pelatihan yang dilakukan memberikan gambaran

yang jelas kepada peneliti tentang karakteristik kelompok

target edukasi gizi sebaya. Siswa yang terpilih mengikuti

pelatihan peer edukator gizi selama satu bulan dengan

frekuensi pertemuan 3 kali dalam seminggu selama 20


104

menit pertemuan diruangan kelas setiap sekolah yang

terpilih sebagai kelompok intervensi (jadwal kegiatan

Peer Edukator Gizi terlampir).

f) Dalam penerapan model didahului dengan pemilihan dan

pelatihan peer edukator gizi, materi modul kepada tim

peer edukator gizi di masing-masing kelompok sebaya.

Tim peer edukator gizi terdiri dari 1 penanggung jawab

dan didampingi oleh tim peneliti pada kelompok sebaya

yang terpilih selama satu bulan.

3) Standarisasi Peer Edukator Gizi

a) Telah mengikuti pelatihan peer edukator gizi selama satu

bulan dengan frekuensi pertemuan 3 kali dalam

seminggu selama 20 menit pertemuan.

b) Peer edukator gizi yang belum terampil dalam

menyampaikan edukasi gizi sebaya, melakukan

redemonstrasi yang salah, dilatih ulang oleh peneliti pada

waktu yang sama sampai seluruhnya mencapai indikator

evaluasi yang ditetapkan dalam pedoman pelatihan

edukasi sebaya di setiap sesinya.

c) Standar penilaian peer edukator gizi dilakukan oleh

peneliti, fasilitator peer educator dari BKKBN, Guru kelas

serta ahli media dan komunikasi yang mengacu pada

format penilaian Penyuluhan Peer Edukator Gizi (PEG),


105

Penilaian Instruktur PEG, Penilaian Cara Monitoring

Perilaku Makan (Food Recall) dan Aktivitas Fisik,

Penilaian cara menimbang berat badan, Penilaian cara

menimbang tinggi badan, Format rekapitulasi nilai tugas

peer edukator gizi.

d) Semua peer edukator gizi yang telah mengikuti pelatihan

dari awal sampai akhir dan dinyatakan lulus dengan nilai

tugas akhir ≥ 21 (sangat baik) dari total rekapitulasi nilai

tugas peer edukator gizi.

2. Tahapan Edukasi Sebaya Kedua

a. Implementasi

Pelaksanaan tahap ini dilakukan enam bulan setelah tim peer

edukator gizi dilatih oleh tim peneliti. Tenggang waktu ini

diberikan dengan tujuan agar tim peer edukator gizi dapat

mendalami materi modul yang telah diberikan, serta kesiapan

tim peer edukator gizi untuk memberikan edukasi (penyuluhan)

kepada kelompok sebaya masing-masing sebagai berikut:

1) Kelompok Intervensi

a) Kelompok intervensi sebagai subyek penelitian diberikan

pre test dengan tujuan melakukan pengukuran

pengetahuan dan sikap dengan menggunakan kuesioner

sebelum intervensi dimulai.


106

b) Peer edukator gizi di kelompok intervensi mendapat

program edukasi sebaya dan materi peer edukator gizi

yang dikembangkan pada tahap pertama penelitian ini.

Penerapan program di kalangan peer edukator gizi

dilakukan melalui sesi mingguan edukasi gizi sebaya.

c) Intervensi berupa pemberian materi oleh peer edukator

gizi yang telah mendapatkan pelatihan kepada kelompok

sebaya dalam bentuk penyuluhan dengan power point,

games dan diskusi. Peer edukator gizi kelas 5 laki-laki

mengajarkan kelompok sebaya kelas 5 dan peer

edukator gizi kelas 4 mengajarkan kelompok sebaya

kelas 4, juga membagi kelompok berdasarkan jenis

kelamin sehingga gaya pemberian informasi menjadi

lebih sesuai. Diskusi merupakan sharing peer group yang

dilakukan dengan menentukan tema sebagai topik

diskusi. Diskusi difasilitasi oleh peer edukator gizi,

peneliti dan tenaga pendamping. Setiap peer group

mendapat modul dan leaflet berisi materi obesitas, pola

makan sehat, aktivitas fisik untuk dipelajari.

d) Lokasi kegiatan intervensi : Semua kegiatan intervensi

dilakukan di sekolah setelah jam pelajaran diruangan

kelas. Pada kelompok intervensi, subyek diminta hadir

dalam setiap sesi edukasi gizi sebaya berdasarkan waktu


107

yang telah disetujui bersama antara peneliti dengan peer

edukator gizi.

e) Waktu kegiatan intervensi : penerapan program di

kalangan peer edukator gizi dan subyek dilakukan

melalui sesi mingguan edukasi gizi sebaya. Selama

enam bulan dengan frekuensi pertemuan 1 kali dalam

seminggu selama 25 menit pertemuan.

2) Kelompok Kontrol

a) Kelompok kontrol sebagai subyek penelitian diberikan

pre test dengan tujuan melakukan pengukuran

pengetahuan dan sikap dengan menggunakan kuesioner

sebelum intervensi dimulai.

b) Pada kelompok kontrol, subjek mendapat informasi gizi

dari peer edukator gizi melalui modul dan leaflet yang

dibagikan langsung ke subyek setiap minggu. Modul dan

leaflet pada kelompok ini dikembangkan berdasarkan

pedoman umum gizi seimbang sebagai sumber informasi

utama.

c) Lokasi kegiatan intervensi : peer edukator gizi dan

subyek dalam kelompok kontrol menerima modul di

sekolah diruangan kelas setelah jam pelajaran untuk

dipelajari.
108

d) Waktu kegiatan kelompok kontrol : penerapan program di

kalangan kelompok kontrol dilakukan melalui sesi

mingguan edukasi gizi sebaya. Selama enam bulan

dengan frekuensi pertemuan 1 kali dalam seminggu

selama 25 menit pertemuan.

b. Monitoring dan Evaluasi

1) Pada saat pelaksanaan kegiatan edukasi (penyuluhan) di

sekolah, tim peneliti selalu melakukan observasi di masing-

masing sekolah. Observasi pertama adalah observasi

pemberian materi edukasi oleh peer edukator gizi.

Sedangkan observasi kedua adalah observasi proses

pelaksanaan sharing peer group (diskusi kelompok sebaya).

2) Peneliti melakukan pengukuran kembali pengetahuan, sikap,

dan perilaku gizi subjek dengan menggunakan kuesioner

sesudah 2 minggu edukasi sebaya dilakukan pada kelompok

intervensi dan kelompok kontrol dengan tujuan untuk

mengetahui perkembangan perubahan pengetahuan subjek.

3) Melakukan penilaian secara keseluruhan terhadap perilaku

pencegahan (pengetahuan dan sikap), pola makan, aktivitas

fisik, asupan gizi terkait obesitas kepada peer group yang

mendapat perlakuan baik sebelum dan setelah penerapan

model peer edukator gizi (pre-test, post-test, pengukuran

berat badan dan tinggi badan) menggunakan kuesioner


109

sesudah 12 minggu bulan ke III dan minggu 24 bulan ke VI

edukasi sebaya dilakukan pada kelompok intervensi dan

kelompok kontrol.

4) Supervisi dilakukan untuk memantau aktivitas peer edukator

gizi setiap jadwal kegiatan edukasi gizi sebaya.


110

Kerangka Tahapan Edukasi Sebaya

Tahap I
Edukasi Sebaya Pertama

Perencanaan Rekruitmen dan Pelatihan

1. Literatur Review
1. Syarat-syarat Rekruitmen
2. Survei Awal (Baseline Data)
Peer Edukator Gizi (PEG)
3. Penilaian Antropometri dan
Pembagian Instrumen 2. Pelaksanaan Pelatihan Peer
Penelitian Edukator Gizi
4. Skrining 3. Standarisasi Peer Edukator
5. Penyusunan Modul dan Gizi
leaflet
6. Uji coba Modul dan Leaflet
7. Penilaian dan
Penyempurnaan Modul dan
leaflet Tahap II Monitoring dan Evaluasi
Edukasi Sebaya Kedua

Pendampingan Intervensi Implementasi


PEG selama 6 bulan  Observasi I :
Pemberian materi
edukasi gizi sebaya
oleh PEG
 Observasi II :
Kelompok Intervensi Kelompok Kontrol Proses pelaksanaan
(n=40) : (n=40): sharing peer group
 PEG sebagai Edukator  PEG sebagai Fasilitator  Supervisi dilakukan
 Materi  Materi (Modul, leaflet) setiap minggu
(Penyuluhan/pendampi  Sesi Mingguan  Evaluasi I: Evaluasi
ngan+modul, leaflet) (Frekuensi pertemuan sesudah 2 minggu
 Sesi Mingguan 1 kali dalam seminggu edukasi sebaya
(Frekuensi pertemuan selama 25 menit  Evaluasi II: Evaluasi
1 kali dalam seminggu pertemuan) keseluruhan sesudah
selama 25 menit  Pengukuran BB dan TB 12 minggu bulan ke 3
pertemuan)  Pre-test dan post-test dan 24 minggu bulan
 Dilakukan disekolah ke 6
diruangan kelas setelah
jam pelajaran
 Diskusi melalui sharing
Analisis Data
peer group
 Pengukuran BB dan TB
111

Tabel 8. Uraian Materi Intervensi Pendampingan Peer Edukator Gizi

Kelompok Materi Nara Sumber Metode Waktu Frekuensi Tempat


Kelompok 1 (Kelompok Minggu I: obesitas Peneliti Ceramah, Role 25 menit/ Satu Sekolah
Intervensi) Minggu II: gizi aus Anto (Unhas) Play, Modul, edukasi kali/minggu
dan cara perhitungan Tenaga Gizi & Leaflet selama satu
indeks massa tubuh Promkes (Dinkes Pendampingan bulan
(IMT) Minggu III: Makassar) Peer Edukator
prinsip gizi seimbang Peer Edukator (Sharing peer
Minggu IV: aktivitas Gizi group
fisik discussion)
Kelompok 2 (Kelompok Untuk kelompok kontrol hanya menyesuaikan materi pada kelompok intervensi dan berpedoman
Kontrol) pada isi modul dan leaflet.
112

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Sekolah Dasar Islam Terpadu

(SDIT) Kota Makassar dengan pertimbangan penentuan tempat ini

dikarenakan memiliki prevalensi overweight dan obesitas yang tertinggi

dibandingkan Sekolah Dasar lainnya serta belum pernah dilakukan

skrining anak overweight dan obesitas. Selain itu, sekolah ini memiliki

jumlah siswa minimal lebih dari 100 siswa. Penelitian dilakukan selama

6 bulan dengan 2 kali melakukan pengukuran berat badan dan tinggi

badan pada anak usia sekolah yang menjadi sampel yaitu satu kali

sebelum intervensi dan setelah intervensi.

C. Populasi dan Sampel Penelitian

a. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anak overweight

di Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Kota Makassar sebanyak

303 anak.

b. Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian anak overweight

di Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Kota Makassar, sampel

ditentukan berdasarkan penentuan rumus besar sampel dalam

penelitian ini dihitung dengan menggunakan rumus sampel untuk

dua mean satu populasi sebagai berikut:


2
σ 2 [ Z 1−α + Z1−β ]
n= 2
[ μ0 −μ1 ]
113

Keterangan:

n = Besar sampel

σ = Standar deviasi

Z1- = Level of signifikan

Z1- = Power / kekuatan uji

μ1 = Rata-rata keadaan sebelum intervensi

μ2 = Rata-rata keadaan setelah intervensi

Berdasarkan perhitungan rumus diatas didapatkan jumlah

sampel sebanyak 32 untuk kelompok perlakuan dan 32 kelompok

kontrol. Angka 32 yang diperoleh pada hasil perhitungan besar

sampel diatas didapatkan dengan memasukan data jumlah

populasi,tingkat kesalahan yang diharapkan, range dari tingkat

ketelitian/ketepatan

kedalam Sample Size

Determination in Health

Studies :

Jumlah sampel untuk

kedua kelompok sebanyak

64 siswa overweight dari

303 populasi siswa

overweight di Kota

Makassar. Perhitungan

besar sampel dari rumus di


114

atas didapatkan hasil besar sampel minimal sebanyak 32 siswa

overweight. Untuk mengantisipasi adanya responden yang drop out

maka dilakukan koreksi terhadap besar sampel yang dihitung

dengan menambah sejumlah responden agar sampel tetap

terpenuhi dengan rumus (Ariawan, 1998; Sastroasmoro, 1995) :

n
n* =
(1-f )

Keterangan :

n* : Koreksi besar sampel yang dihitung

n : Besar sampel yang dihitung

f : Perkiraan proporsi drop out, kira-kira 20% (f = 0,2)

Jumlah sampel yang didapatkan : (n’) = 32 / (1-0,2) = 40

Maka jumlah sampel secara keseluruhan pada penelitian ini adalah

80 anak usia sekolah dasar overweight berdasarkan rumus koreksi

sampel terdiri dari 40 subyek pada kelompok intervensi dan 40

subyek pada kelompok kontrol, termasuk didalamnya jumlah

subyek drop out. Karena tiap Sekolah memiliki jumlah siswa

overweight yang berbeda, maka dilakukan penarikan sampel

secara proportionale random sampling masing-masing siswa di

sekolah terpilih dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Ni
×n
ni = N

Keterangan :
115

Ni : Jumlah sampel yang diinginkan pada setiap strata

N : Jumlah populasi pada setiap Sekolah

N : Jumlah seluruh populasi siswa overweight di Kota

Makassar

n : Besarnya sampel

18
SDIT Rama = x 80=5,950=6
242

73
SDIT Widhatul Ummah = x 80 = 24,132 = 24
242

23
SDIT Ikhtiar = x 80 = 7, 603 = 8
242

28
SDIT Insantama = x 80 = 9,256 = 9
242

48
SDIT Al-Akhyar = x 80 = 15,867 = 16
242

27
SDIT Al-Azhar = x 80 = 8,925 = 9
242

25
SDIT Al-Fikri = x 80 = 8,264 = 8
242

Selanjutnya dilakukan pembagian menjadi 2 kelompok

berdasarkan sekolah, dari 7 sekolah terpilih menjadi 3 sekolah

pada kelompok intervensi dan 4 sekolah pada kelompok kontrol.

c. Prosedur dalam memilih Sekolah dan Subyek Edukasi Sebaya

a. Kriteria Sekolah

1) Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) yang dibawah

naungan Dinas Pendidikan Kota Makassar.


116

2) Sekolah setuju untuk berpartisipasi dalam penelitian ini

melalui persetujuan Kepala Sekolah.

3) Jumlah siswa di sekolah itu lebih dari 100 siswa

4) Proporsi siswa yang kelebihan berat badan di sekolah lebih

dari 3% berdasarkan hasil skrining.

Berdasarkan kriteria tersebut diatas, dari total 16 Sekolah Dasar

Islam Terpadu (SDIT) di Kota Makassar yang telah mengikuti

seleksi, tujuh sekolah berhak menjadi sampel sekolah.

Kemudian, sekolah terpilih dikunjungi oleh peneliti untuk

meminta persetujuan kepala sekolah untuk melakukan penilaian

dalam penyaringan kriteria kelayakan sampel dan peer edukator

gizi.

b. Kriteria Subyek Edukasi Sebaya

1) Anak yang tidak memiliki riwayat keluarga obesitas

2) Anak usia sekolah dasar yang memiliki kelebihan berat

badan dengan IMT/U yang dikonversi kedalam nilai Z-skor >

1 SD - + 2 SD.

3) Siswa kelas 4 dan kelas 5 sebagai subyek penelitian

4) Mengikuti kegiatan edukasi gizi sebaya dari tahap awal

hingga tahap akhir

5) Anak atau peserta yang tidak mengonsumsi obat pelangsing

atau obat penurun berat badan atau sejenisnya serta tidak

terdaftar dalam program penurunan berat badan lainnya.


117

D. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Timbangan digital merek camry sebagai alat pengukur berat badan

anak dengan ketelitian 0,1 kg dan kapasitas 150 kg.

b. Microtoise sebagai alat pengukur tinggi badan dengan ketelitian 0,1

cm dan kapasitas 200 cm

c. Formulir pengukuran antropometri yang digunakan dan perhitungan

indeks massa tubuh per umur (IMT/U) standar rujukan WHO

Antrhoplus software 2007 untuk anak usia sekolah 5 – 18 tahun.

d. Perilaku pencegahan obesitas dinilai dengan kuesioner penelitian.

Tujuannya untuk memberikan deskripsi mengenai perilaku siswa

sehari-hari yang telah diuji validitas dan reliabilitas instrumen).

e. Pola atau kebiasaan makan dinilai dengan kuesioner penelitian.

Tujuannya untuk memberikan gambaran mengenai kebiasaan

makan siswa sehari-hari yang telah diuji validitas dan reliabilitas

instrumen.

f. Formulir Food Frequency Questionare (FFQ) dan Formulir Food

Recall 24 jam beserta Food Model dan dianalisis menggunakan

software nutrisurvey 2007 versi Indonesia untuk mengukur asupan

gizi siswa.

E. Prosedur Pengumpulan Data Penelitian

Peneliti sebelum melakukan pengumpulan data penelitian, terlebih

dahulu mengikuti langkah-langkah pengumpulan data sebagai berikut :


118

1. Peneliti mengajukan surat permohonan ijin pengambilan data awal

dari Ketua Program Studi S3 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Universitas Hasanuddin yang ditujukan ke Dinas Pendidikan Kota

Makassar dan dilanjutkan dengan koordinasi ke pihak Sekolah

Dasar Islam Terpadu yang menjadi tempat pengambilan data.

2. Peneliti melakukan identifikasi Sekolah Dasar Islam Terpadu

(SDIT) yang ada di Kota Makassar, setelah data terkumpul maka

dilakukan pemilihan sekolah sebagai lokasi pengambilan data.

3. Peneliti didampingi oleh guru kelas yang ditugaskan oleh kepala

sekolah memperkenalkan diri dan menjelaskan tujuan dan prosedur

yang akan dilakukan selama pengambilan data untuk penelitian.

4. Peneliti melakukan pengukuran berat badan dan tinggi badan pada

anak sekolah dasar yang masuk kriteria overweight dan obesitas

pada data awal yang peneliti dapatkan. Penilaian antropometri ini

berlangsung selama 6 bulan. Pengukuran dilakukan pada saat jam

istirahat atau jam pulang sekolah.

5. Peneliti menghitung IMT yang disesuaikan dengan umur dari

semua siswa yang masuk kriteria overweight dan obesitas tersebut.

6. Peneliti melakukan skrining untuk menetapkan sampel yang sesuai

kriteria inklusi, sampel yang terpilih dibagi menjadi dua kelompok

terdiri dari kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.

7. Peneliti dan dibantu oleh guru kelas melakukan seleksi dan

pemilihan peer edukator gizi yang sesuai kriteria yang telah


119

ditentukan, dan berperan sebagai pendidik gizi sebaya untuk

menyampaikan informasi kesehatan pada kelompok masing-

masing.

8. Peneliti dan tim yang telah dilatih memberikan pelatihan edukasi

sebaya bagi peer edukator gizi yang telah terpilih selama satu

bulan.

9. Peneliti, tim yang telah dilatih dan guru kelas akan mendampingi

peer edukator gizi yang telah dilatih, untuk mengajarkan teman-

temannya di kelas selama enam bulan. Kegiatan ini akan dilakukan

sebanyak 1 kali per minggunya selama 25 menit pertemuan.

10. Sampel dalam kelompok intervensi dan kelompok kontrol mengisi

kuesioner (pretest) yang dibagikan. Kuesioner yang telah diisi oleh

sampel dicek kelengkapannya oleh peneliti dan tim yang kemudian

akan dianalisis.

11. Sampel kelompok intervensi diberikan edukasi gizi sebaya tentang

obesitas oleh peer edukator gizi dan modul dan leaflet pencegahan

obesitas sesuai tahapan yang sebelumnya telah disusun.

Sedangkan kelompok kontrol hanya diberikan modul dan leaflet.

Selanjutnya sampel diminta kembali untuk mengisi kuesioner

(postest) terhadap kelompok intervensi dan kelompok kontrol.

12. Peneliti dibantu oleh tim yang telah dilatih melakukan pengukuran

berat badan sesudah intervensi edukasi gizi sebaya selesai

dilaksanakan pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol.


120

Pengajuan Ethical Clearance

Ijin Penelitian dan Persiapan Lapangan

Populasi (16 SDIT N= 2.177)

Pemilihan Sekolah (n = 242;7 SDIT) Skrining Overweigth (n=303) & Obesitas (n=359)

Alur Penelitian
Pemilihan Sampel – Random

Persetujuan & Partisipasi

Kelompok Intervensi Kelompok Kontrol


N = 3 SDIT N = 4 SDIT
n = 40 n = 40

Pengukuran Variabel

Pengumpulan Data

Pengolahan dan Analisis Data

Kesimpulan dan Saran

Publikasi

Gambar 9. Alur Penelitian


121

F. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif

Tabel 9. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif Variabel Penelitian

No. Variabel Definisi Alat Ukur Skala


1. Obesitas Kelebihan berat badan sebagai akibat dari Timbangan Numerik
penimbunan lemak berlebihan dengan ambang digital dan
batas IMT/U > 2 Standar Deviasi (WHO, 2005) microtoise
2. Overweight Kelebihan Berat Badan dengan ambang batas Timbangan Numerik
IMT/U > 1 Standar Deviasi sampai dengan 2 digital dan
Standar Deviasi (WHO, 2005) microtoise
4. Model pendampingan Model pemberian perlakuan pendidikan gizi
intervensi peer edukator gizi dengan melibatkan teman sebaya untuk merubah
perilaku anak dalam mencegah atau
mengendalikan pola makan anak overweight atau
obesitas melalui peer edukator gizi dengan
memberikan modul dan leaflet tata laksana
pencegahan obesitas
Jenis Kelamin Identitas yang mencirikan diri murid laki-laki atau Kuesioner Kategori
perempuan
Umur Rentang waktu yang dilalui murid sejak lahir Kuesioner Numerik
sampai penelitian berlangsung terhitung dalam
tahun
Pengetahuan Gizi AUS Segala sesuatu yang diketahui anak usia sekolah Kuesioner Numerik
dasar terhadap gizi tentang pengertian,
penyebab, klasifikasi, dampak serta cara
122

pencegahan dan penanggulangan obesitas


Sikap Terhadap Gizi AUS Tanggapan anak usia sekolah dasar terhadap Kuesioner Numerik
peer edukator gizi dalam menerima atau menolak
untuk mencegah obesitas dan dampaknya
terhadap kesehatan
Aktivitas Fisik Setiap gerakan tubuh yang meningkatkan Kuesioner Numerik
pengeluaran tenaga/ energi dan pembakaran
energi. Aktivitas fisik dikategorikan cukup apabila
seseorang melakukan latihan fisik atau olah raga
selama 30 menit setiap hari atau minimal 3-5 hari
dalam seminggu
Kebiasaan Makan Cemilan Pernyataan anak sekolah dasar tentang Kuesioner Numerik
frekuensi mengkonsumsi cemilan setiap hari
Kebiasaan Jajan Pernyataan anak sekolah dasar tentang Kuesioner Numerik
frekuensi membeli dan mengkonsumsi makanan
jajanan di sekolah setiap hari
Kebiasaan Minum Soft Drink Pernyataan anak sekolah dasar tentang Kuesioner Numerik
frekuensi meminum minuman soft drink dengan
berbagai jenis minuman berkarbonasi yang
mengandung air (90%), gula, pewarna,
karbondioksida, zat pengatur asam yang dijual
dalam kemasan botol maupun kaleng setiap hari.
Asupan Energi Banyaknya energi yang dikonsumsi dalam Formulir Numerik
makanan dan minuman yang dikonsumsi anak food recall
sekolah dasar dalam satu hari dinyatakan dalam 24 jam dan
Kkal yang diukur menggunakan software food model
Nutrisurvey. serta
nutrisurvey
123

Asupan Karbohidrat Banyaknya bahan makanan dan minuman yang Formulir Numerik
mengandung karbohidrat yang dikonsumsi anak food recall
sekolah dasar dalam satu hari dinyatakan dalam 24 jam dan
gram yang diukur menggunakan software food model
Nutrisurvey. serta
nutrisurvey
Asupan Lemak Banyaknya bahan makanan yang mengandung Formulir Numerik
lemak yang dikonsumsi anak sekolah dasar food recall
dalam satu hari dinyatakan dalam gram yang 24 jam dan
diukur menggunakan software Nutrisurvey. food model
serta
nutrisurvey
Asupan Protein Banyaknya bahan makanan yang mengandung Formulir Numerik
protein yang dikonsumsi anak sekolah dasar food recall
dalam satu hari dinyatakan dalam gram yang 24 jam dan
diukur menggunakan software Nutrisurvey. food model
serta
nutrisurvey
Asupan Serat Banyaknya bahan makanan yang mengandung Formulir Numerik
serat yang dikonsumsi anak sekolah dasar dalam food recall
satu hari dinyatakan dalam gram yang diukur 24 jam dan
menggunakan software Nutrisurvey. food model
serta
nutrisurvey
124

G. Analisis Data

Analisis data univariat, bivariat, dan multivariat merupakan

analisis data kuantitatif yang disajikan dalam bentuk tabel yang disertai

dengan penjelasan serta tingkat kemaknaan (signifikan) yang

digunakan nilai p < (0,05), sebagai berikut (Dahlan, 2011) :

1. Analisis Univariat

Analisis univariat digunakan untuk melihat gambaran distribusi

frekuensi tiap variabel, baik variabel dependen maupun variabel

independen. Hasil analisis berupa tabel distribusi dan persentase

masing-masing variabel.

2. Analisis Bivariat

a) Kesetaraan karakteristik, variabel antar kelompok menggunakan

Uji Chi-square dan uji t independent.

b) Untuk menilai perbedaan perilaku gizi, kebiasaan makan,

aktifitas fisik dan asupan gizi sebelum dan setelah intervensi

pada masing-masing kelompok digunakan uji Wilcoxon dan

Mann Whitney.

3. Analisis Multivariat

Analisis multivariat dengan menggunakan uji T² Hotelling

untuk melihat perbedaan antara dua kelompok uji (kelompok

intervensi dan kelompok kontrol) yang masing-masing kelompok itu

mengandung setidaknya dua variabel atau lebih dan akan

dilakukan analisa statistik bersama-sama secara simultan.


125

Rumus Uji statistik Uji T2  Hotelling :

T2 Hotelling = n = ( x−μ) S1 ( x−μ0 )

Keterangan :

n = Banyaknya Data

x = Vektor rata-rata sampel

μ0 = Vektor rata-rata dari populasi

S = Maktrik Kovarian

Untuk melihat pengaruh perilaku gizi, kebiasaan makan, aktifitas

fisik dan asupan gizi secara bersamaan digunakan Uji Hotelling’s T2.

Berdasarkan konsep Dillon, W. R., & Goldstein, M. (1984)

menyatakan bahwa untuk melihat perbedaan antar dua kelompok

percobaan, yang masing-masing kelompok terdiri dari dua variate atau

lebih, dan akan dilakukan analisis statistik pada variate tersebut

secara serentak. Uji ini dipilih karena memiliki keunggulan yaitu

mampu digunakan untuk menganalisis pengaruh variabel independen

secara bersamaan terhadap variabel dependen.

H. Kontrol Kualitas

Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan standarisasi

petugas lapangan dan standarisasi instrumen. Kegiatan sebagai berikut:

1. Standarisasi Kuesioner Penelitian

a. Pengetahuan Gizi

Tabel 10 dibawah ini berdasarkan hasil uji korelasi pearson

menunjukkan bahwa semua pertanyaan pengetahuan mempunyai


126

nilai p<0,05 yang berarti semua pertanyaan valid. Nilai validitas

pertanyaan pengetahuan antara 0,573 - 0,846. Nilai reliabilitas

=0,758 yang berarti reliabilitas kuesioner baik.

Tabel 10. Hasi Uji Validitas Dan Reliabilitas Pengetahuan Gizi

Pertanyaan Keterangan Reliabilitas


Pengetahuan r r
p1 0,757 0,001 Valid
p2 0,846 0,000 Valid
p3 0,679 0,005 Valid
p4 0,601 0,018 Valid
p5 0,757 0,001 Valid
p6 0,619 0,014 Valid
p7 0,644 0,010 Valid
p8 0,573 0,026 Valid
p9 0,623 0,013 Valid
p10 0,687 0,005 Valid 0,758
p11 0,757 0,001 Valid
p12 0,580 0,024 Valid
p13 0,645 0,009 Valid
p14 0,573 0,026 Valid
p15 0,611 0,015 Valid
P16 0,573 0,026 Valid
P17 0,743 0,002 Valid
P18 0,659 0,008 Valid
P19 0,757 0,001 Valid
P20 0,665 0,007 Valid

Sumber: Data Primer

b. Sikap Gizi

Tabel 11 dibawah ini berdasarkan hasil uji korelasi pearson

menunjukkan bahwa semua pertanyaan variable sikap mempunyai

nilai p<0,05 yang berarti semua pertanyaan valid. Nilai validitas

kuesioner sikap antara 0,581 - 0,919. Nilai reliabilitas =0,761 yang

berarti reliabilitas kuesioner baik.


127

Tabel 11. Hasi Uji Validitas Dan Reliabilitas Sikap Gizi


Pertanyaan Sikap r r Keterangan Reliabilitas
S1 0,794 0,000 Valid
S2 0,673 0,006 Valid
S3 0,660 0,007 Valid
S4 0,662 0,007 Valid
S5 0,845 0,000 Valid
S6 0,673 0,006 Valid
S7 0,774 0,001 Valid
S8 0,647 0,009 Valid
S9 0,698 0,004 Valid
S10 0,628 0,012 Valid 0,761
S11 0,702 0,004 Valid
S12 0,673 0,006 Valid
S13 0,675 0,006 Valid
S14 0,807 0,000 Valid
S15 0,698 0,004 Valid
S16 0,757 0,001 Valid
S17 0,745 0,001 Valid
S18 0,919 0,000 Valid
S19 0,635 0,011 Valid
S20 0,581 0,023 Valid
S21 0,738 0,002 Valid

Sumber : Data Primer

c. Aktifitas Fisik

Tabel 12 dibawah ini berdasarkan hasil uji korelasi pearson

menunjukkan bahwa semua pertanyaan aktifitas fisik mempunyai

nilai p<0,05 yang berarti semua pertanyaan valid. Nilai validitas

kuesioner aktifitas fisik antara 0,492 – 0,881. Nilai reliabilitas

=0,758 yang berarti reliabilitas kuesioner baik.


128

Tabel 12. Hasi Uji Validitas Dan Reliabilitas Aktifitas Fisik

Pertanyaan Keterangan Reliabilitas


Aktifitas fisik r r
Af1 0,881 0,000 Valid
Af2 0,816 0,000 Valid
Af3 0,780 0,001 Valid
Af4 0,790 0,000 Valid
Af5 0,713 0,003 Valid
Af6 0,799 0,000 Valid
Af7 0,851 0,000 Valid
Af8 0,560 0,030 Valid
Af9 0,492 0,063 Valid
Af10 0,881 0,000 Valid 0,758
Af11 0,765 0,001 Valid
Af12 0,742 0,002 Valid
Af13 0,609 0,016 Valid
Af14 0,614 0,015 Valid
Af15 0,657 0,008 Valid
AF16 0,619 0,014 Valid
AF17 0,729 0,002 Valid
AF18 0,584 0,022 Valid

Sumber: Data Primer

d. Kebiasaan Makan

Tabel 13 dibawah ini berdasarkan hasil uji korelasi pearson

menunjukkan bahwa semua pertanyaan kebiasaan makan

mempunyai nilai p<0,05 yang berarti semua pertanyaan valid. Nilai

validitas kuesioner kebiasaan makan antara 0,741 – 0,973. Nilai

reliabilitas =0,773 yang berarti reliabilitas kuesioner baik.


129

Tabel 13. Hasi Uji Validitas Dan Reliabilitas Kebiasaan Makan


Pertanyaan Keterangan Reliabilitas
Kebiasaan makan r r
KM1 0,741 0,002 Valid
KM2 0,973 0,000 Valid
KM3 0,973 0,000 Valid
KM4 0,801 0,000 Valid
KM5 0,973 0,000 Valid
KM6 0,973 0,000 Valid
KM7 0,962 0,000 Valid
KM8 0,962 0,000 Valid 0,777
KM9 0,962 0,000 Valid
KM10 0,801 0,000 Valid
KM11 0,973 0,000 Valid
KM12 0,973 0,000 Valid
KM13 0,973 0,000 Valid
KM14 0,973 0,000 Valid
KM15 0,973 0,000 Valid
KM16 0,940 0,000 Valid

Sumber: Data Primer

e. Kebiasaan Makan Cemilan

Tabel 14. Hasi Uji Validitas Dan Reliabilitas Kebiasaan Makan


Cemilan

Pertanyaan kebiasaan Keterangan Reliabilitas


makan cemilan r r
p1 0,963 0,000 Valid
p3 0,804 0,000 Valid
p4 0,896 0,000 Valid 0,804
p5 0,927 0,000 Valid
p6 0,946 0,000 Valid
p7 0,908 0,000 Valid
p8 0,946 0,000 Valid

Sumber: Data Primer

Tabel 14 berdasarkan hasil uji korelasi pearson menunjukkan

bahwa semua pertanyaan kebiasaan makan cemilan mempunyai


130

nilai p<0,05 yang berarti semua pertanyaan valid. Nilai validitas

kuesioner kebiasaan makan cemilan antara 0,804 – 0,963 Nilai

reliabilitas =0,804 yang berarti reliabilitas kuesioner sangat baik.

f. Kebiasaan Jajan

Tabel 15. Hasi Uji Validitas Dan Reliabilitas Kebiasaan Jajan


Pertanyaan kebiasaan Keterangan Reliabilitas
jajan r r
kj1 0,978 0,000 Valid
kj2 0,954 0,000 Valid
kj3 0,948 0,000 Valid
kj4 0,993 0,000 Valid
kj5 0,978 0,000 Valid
kj6 0,972 0,000 Valid
kj7 0,952 0,000 Valid 0,784
kj8 0,978 0,000 Valid
kj9 0,978 0,000 Valid
kj10 0,941 0,000 Valid
kj11 0,972 0,000 Valid
kj12 0,972 0,000 Valid

Sumber: Data Primer

Tabel 15 berdasarkan hasil uji korelasi pearson

menunjukkan bahwa semua pertanyaan kebiasaan jajan

mempunyai nilai p<0,05 yang berarti semua pertanyaan valid. Nilai

validitas kuesioner kebiasaan jajan antara 0,941 – 0,993. Nilai

reliabilitas =0,784 yang berarti reliabilitas kuesioner baik.

g. Kebiasaan Minum Soft Drink

Tabel 16 dibawah ini berdasarkan hasil uji korelasi pearson

menunjukkan bahwa semua pertanyaan minum soft drink

mempunyai nilai p<0,05 yang berarti semua pertanyaan valid. Nilai


131

validitas kuesioner kebiasaan minum soft drink antara 0,646–0,921

Nilai reliabilitas =0,775 yang berarti reliabilitas kuesioner baik.

Tabel 16. Hasi Uji Validitas Dan Reliabilitas Kebiasaan Minum


Soft Drink

Pertanyaan Kebiasaan Keterangan Reliabilitas


Minum Soft Drink r r
MSD1 0,862 0,000 Valid
MSD2 0,667 0,007 Valid
MSD3 0,836 0,000 Valid
MSD4 0,667 0,007 Valid
MSD5 0,646 0,009 Valid
MSD6 0,838 0,000 Valid 0,775
MSD7 0,857 0,000 Valid
MSD8 0,744 0,001 Valid
MSD9 0,780 0,001 Valid
MSD10 0,921 0,000 Valid
MSD11 0,807 0,000 Valid
MSD12 0,871 0,000 Valid
Sumber: Data Primer

2. Standarisasi Petugas Lapangan

Petugas lapangan diberikan pelatihan tentang pengambilan

data penelitian pada anak overweight serta cara pengisian kuesioner

pada subyek. Petugas lapangan yang digunakan telah memiliki

pengalaman dalam penelitian dasar. Tugas utamanya adalah

mengumpulkan data kuantitatif pada baseline dan fase akhir serta

membantu peserta dalam sesi kelompok dalam program edukasi gizi

sebaya.

3. Standarisasi Alat Pengukuran


132

Alat ukur timbangan berat badan sebelum digunakan, harus

berada dalam posisi “ON”dan menunjukkan angka 0,00, mengecek

baterai agar pengukuran akurat. Microtoise merupakan alat pengukur

tinggi badan juga distandarisasi sebelum digunakan. Alat ukur

diperiksa dan dikalibrasi secara teratur. Semua penilaian antropometri

diukur dua kali untuk mengurangi kesalahan pengukuran dengan

prosedur standar.

I. Etika Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan setelah mendapat rekomendasi

persetujuan etik dari Komite Etik Penelitian Kesehatan Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin dengan nomor :

UH910183001. Setelah mendapatkan persetujuan, kemudian peneliti

akan berupaya memperhatikan aspek dan prinsip etika penelitian yang

meliputi:

1. Informed consent

Lembar persetujuan menjadi responden: sebelum lembar

persetujuan diberikan kepada subjek penelitian, peneliti

memberikan penjelasan terlebih dahulu maksud dan tujuan

penelitian yang dilakukan.

2. Beneficence (prinsip berbuat baik)

Kewajiban peneliti untuk mengupayakan manfaat maksimal

dengan meminimalkan kerugian yang ditimbulkan. Ini berarti bahwa


133

risiko peneliti dapat diterima karena manfaat penelitian yang akan

diterima lebih besar.

3. Justice (berbuat adil)

Semua tindakan yang dilakukan, akan diberikan dan diterima

secara sama oleh semua responden.

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Kota Makassar beralamat di

Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan. Jumlah siswa sebanyak

2.177 siswa, terdiri dari 1.077 orang laki-laki dan 1.100 orang

perempuan. Siswa kelas IV berjumlah 944 orang dan kelas V 861

orang. Tenaga pengajar sebanyak 937 orang, terdiri dari 418 orang

guru laki-laki dan 450 guru perempuan termasuk diantaranya 10 orang

guru olahraga. Sarana dan prasarana yang tersedia di Sekolah antara

lain lapangan sepak bola, basket, bola volley dan kantin serta sarana

usaha kesehatan sekolah (UKS), mushollah, perpustakaan, ruangan

mengaji dan ruang bermain.


134

B. Hasil Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Sekolah Dasar Islam Terpadu

(SDIT) Kota Makassar sejak 07 September 2018 sampai dengan 27

Februari 2019. Besar sampel dalam penelitian ini sebanyak 80 siswa

yang terdiri dari 40 siswa yang mendapat intervensi berupa

pendampingan, modul + leaflet dan diskusi melalui sharing peer group

dan 40 siswa yang hanya mendapat modul dan leaflet. Data diolah

dan dianalisis disesuaikan dengan tujuan penelitian. Hasil analisis

data disajikan dalam bentuk tabel dan grafik yang dilengkapi dengan

penjelasan sebagai berikut:

1. Analisis Univariat

Analisis univariat yang dilakukan untuk mendapatkan gambaran

secara deskriptif dari tiap-tiap variabel penelitian.

Deskripsi Karakteristik Responden

Karakteristik responden meliputi ciri khas responden meliputi umur,

pendidikan, pekerjaan, suku, dan pendapatan orang tua. Distribusi

karakteristik responden dapat dilihat pada tabel 17 berikut :

Tabel 17. Distribusi Karakteristik Responden di Kota


Makassar Tahun 2019
Kelompok
Karakteristik Intervensi Kontrol p
n(40) % n(40) %
Kelompok Umur Ayah (Thn)
30 - 34 5 12,5 2 5,0
35 - 39 6 15,0 13 32,5
40 - 44 9 22,5 10 25,0 0,123
45 - 49 6 15,0 7 17,5
50 - 54 2 5,0 4 10,0
55 - 59 12 30,0 4 10,0
135

Kelompok
Karakteristik Intervensi Kontrol p
n(40) % n(40) %
Pendidikan ayah
Tinggi 36 90,0 32 80,0 0,210
Rendah 4 10,0 8 20,0
Pekerjaan ayah
Formal 23 57,5 27 67,5 0,356-
Informal 17 42,5 13 32,5
Suku Ayah
Bugis 12 30,0 16 40,0
Makassar 10 25,0 6 15,0 0,043
Minahasa 4 10,0 4 10,0
Jawa 5 12,5 12 30,0
Mandar 7 17,5 0 0,0
Tolaki 2 5,0 2 5,0
Kelompok Umur Ibu (Thn)
30 - 34 8 20,0 3 7,5
35 - 39 7 17,5 16 40,0
40 - 44 10 25,0 8 20,0 0,093
45 - 49 4 10,0 7 17,5
50 - 54 9 22,5 6 15,0
55 - 59 2 5,0
Pendidikan ibu
Tinggi 37 92,5 34 85,0 0,288
Rendah 3 7,5 6 15,0

Pekerjaan ibu
Bekerja 27 67,5 23 57,5 0,356
Tidak bekerja 13 32,5 17 42,5
Suku ibu
Bugis 25 62,5 20 50,0
Makassar 4 10,0 3 7,5 0,436
Minahasa 2 5,0 4 10,0
Jawa 8 20,0 11 27,5
Mandar 1 2,5
Tolaki 2 5,0
Pendapatan keluarga
> Rp 2,600,000 27 67,5 23 57,5
Rp 2,600,000 2 5,0 2 5,0 0,626
< Rp 2,600,000 11 27,5 15 37,5
Sumber: Data Primer, 2019
136

Tabel 17 menunjukkan bahwa responden pada kelompok

intervensi lebih banyak mempunyai ayah dengan umur 55-59 tahun

(30,0%), pendidikan tinggi (90,0%), semuanya bekerja yang lebih

banyak di sektor formal (57,5%), dan suku Bugis (30,0%), sedangkan

kelompok kontrol lebih banyak mempunyai ayah dengan umur

35-59 tahun (32,5%), pendidikan tinggi (80,0%), semuanya bekerja

yang lebih banyak di sektor formal (67,5%), dan suku Bugis (40,0%),

Responden pada kelompok intervensi lebih banyak mempunyai ibu

dengan umur 40-44 tahun (25,0%), pendidikan tinggi (92,5%), bekerja

(67,5%), dan suku Bugis (62,5%), dan penghasilan keluarga lebih dari

Rp.2,600,000 (67,5%), sedangkan kelompok kontrol lebih banyak

mempunyai ibu dengan umur 35-59 tahun (40,0%), pendidikan tinggi

(85,0%), bekerja (57,5%), dan suku Bugis (50,0%), dan penghasilan

keluarga lebih dari Rp 2,600,000 (57,6%). Hasil uji chi-square

diperoleh nilai p > 0,05 yang berarti kondisi kelompok umur,

pendidikan, pekerjaan dan pendapatan keluarga sama antara

kelompok intervensi dengan kontrol (homogen). Karakteristik yang

berbeda adalah suku ayah, sedangkan suku ibu homogen.

Karakteristik siswa meliputi umur, jenis kelamin, kelas dan berat badan

dan tinggi badan.

Distribusi karakteristik siswa dapat dilihat pada tabel 18 berikut

menunjukkan proporsi kelompok umur sebelum intervensi terbanyak

yaitu usia 9 tahun pada kelompok intervensi sebesar 52.5%, mayoritas


137

berjenis kelamin perempuan yaitu sebesar 52.5%, dan berada pada

kelas IV yaitu sebesar 70.0%. sementara pada kelompok kontrol, usia

terbanyak yaitu 9 tahun yaitu sebesar 45%, mayoritas berjenis kelamin

laki-laki yaitu 60.0%, dan berada pada kelas IV dan V masing-masing

50%, tidak terdapat perbedaan proporsi umur, jenis kelamin dan kelas

sebelum intervensi (p>0.05). Berdasarkan rata-rata IMT/U sebelum

intervensi tertinggi pada kelompok intervensi yaitu sebesar 20.60±2.21

dan terdapat perbedaan rata-rata sebelum intervensi pada kedua

kelompok (p<0.05). Berdasarkan rata-rata berat badan, tertinggi pada

kelompok intervensi yaitu 39.27 kg dan tidak terdapat perbedaan rata-

rata berat badan anak sebelum intervensi pada kedua kelompok,

sedangkan rata-rata tinggi badan anak, kelompok intervensi

merupakan yang tertinggi yaitu 137,78 cm dan tidak terdapat

perbedaan rata-rata tinggi badan antar kedua kelompok.

Tabel 18. Distribusi Karakteristik Siswa Berdasarkan Kelompok di


Sekolah Dasar Islam Terpadu Kota Makassar Tahun 2019
Intervensi Kontrol
Variabel (n=40) (n=40) p
Rerata±SD/% Rerata±SD/%
Kelompok Umur (Tahun)
9 21 (52.5) 18 (45.0)
0.151*
10 14 (35.0) 10 (25.0)
11 5 (12.5) 12 (30.0)
Jenis Kelamin
Laki-laki 19 (47.5) 24 (60.0) 0.262*
Perempuan 21 (52.5) 16 (40.0)
Kelas
IV 28 (70.0) 20 (50.0) 0.068*
V 12 (30.0) 20 (50.0)
IMT/U 20.60±2.21 19.14±4.15 0.030***
Berat Badan (kg) 39.27±5.91 35.98±9.39 0.065**
138

Tinggi Badan (cm) 137.78±5.62 136.73±8.12 0.504**


Pengetahuan 14.13±1.77 9.15±1.00 0.000***
Sikap 41.40±0.87 33.10±2.02 0.000***
Aktivitas Fisik 22.93±1.40 13.35±1.76 0.000***
Kebiasaan Makan 15.78±0.57 15.65±1.02 0.944***
Kebiasaan Cemilan 15.53±0.78 15.93±0.35 0.003***
Kebiasaan Jajan 51.73±0.59 51.83±0.50 0.372***
Kebiasaan Minum Soft Drink 70.95±1.66 71.78±0.57 0.004***
Asupan Energi 2843.68±127.0 2887.40±121.8 0.198***
Asupan Karbohidrat 575.13±2.62 576.00±2.48 0.100***
Asupan Lemak 95.45±2.58 95.00±2.48 0.581***
Asupan Protein 83.00±4.08 82.20±3.96 0.667***
Asupan Serat 28.83±1.19 29.18±1.03 0.198***
Sumber: Data Primer, 2019;
*Chi Square; **Independen T-Test; ***Mann Whitney

Berdasarkan rata-rata skor pengetahuan, sikap dan aktivitas fisik

yang terbanyak pada kelompok intrevensi, berturut-turut yaitu 14.13,

41.40 dan 22.93 dan terdapat perbedaan rata-rata skor sebelum

intervensi antar kedua kelompok (p<0.05). Berdasarkan rata-rata skor

kebiasaan makan, terbanyak pada kelompok Intervensi 15,78 dan

tidak terdapat perbedaan antar kedua kelompok sebelum intervensi.

Berdasarkan rata-rata kebiasaan cemilan, tertinggi pada kelompok

kontrol dan terdapat perbedaan rata-rata sebelum intervensi antar

kedua kelompok (p<0.05).

Berdasarkan rata-rata skor kebiasaan jajan, kelompok tertinggi

pada kelompok control yaitu 51.83 dan tidak terdapat perbedaan antar

kedua kelompok, sementara untuk rata-rata skor kebiasaan minum

softdrink, tertinggi pada kelompok kontrol yaitu 71.78 dan terdapat

perbedaan rata-rata skor antar kedua kelompok sebelum intervensi.

Berdasarkan rata-rata asupan energi, karbohidrat dan asupan serat,


139

tertinggi pada kelompok kontrol, berturut-turut yaitu 2887kkal, 576gr,

29.18gr dan tidak terdapat perbedaan rata-rata asupan anak sebelum

intervensi pada kedua kelompok. Berdasarkan rata-rata asupan lemak

dan protein, tertinggi pada kelompok intervensi, berturut-turut 95.45gr,

83gr dan tidak terdapat perbedaan rata-rata asupan anak sebelum

intervensi pada kedua kelompok.

2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui perbedaan tiap-tiap

variabel penelitian pada kedua kelompok sebelum dan setelah

intervensi pada kelompok intervensi.

a. Pengaruh Pendampingan Peer Edukator Gizi Terhadap

Perilaku Pencegahan Obesitas

Upaya pendampingan peer edukator gizi merupakan

pemberian informasi yang diberikan oleh usia sebaya yang

bertujuan meningkatkan pengetahuan, sikap tentang gizi dan

aktifitas fisik anak sekolah.

1) Pengetahuan Gizi

Perubahan pengetahuan siswa tentang gizi sebelum dan

sesudah intervensi dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 19. Perubahan Pengetahuan Gizi Siswa Sebelum dan


Sesudah Intervensi di SDIT Kota Makassar
Tahun 2019
Pengetahuan Pre Post 1 p* Δ1 Post 2 p* Δ2
Intervensi 14.13±1.77 17.55±1.15 (0.000) ↑3.43±1.35 19.40±0.70 (0.000) ↑5.28±1.67
140

Kontrol 9.15±1.00 10.73±1.41 (0.000) ↑1.58±1.10 12.18±1.64 (0.000) ↑3.03±1.38


p** 0.000 0.000

Sumber: Data Primer, 2019;


Δ1 = Selisih Pre-Post 1; Δ2 = Selisih Pre–Post 2; *uji Wilcoxon; **uji Mann
Whitney

Tabel 19 menunjukkan nilai rata-rata skor pengetahuan

tertinggi pada kelompok pre terdapat pada kelompok intervensi

yaitu sebesar 14.13. Begitu juga saat post 1, nilai rata-rata

tertinggi terdapat pada kelompok intervensi yaitu sebesar 17.55.

Berdasarkan hasil uji Wilcoxon, menunjukkan bahwa baik

kelompok intervensi maupun kontrol terdapat perbedaan yang

signifikan antara skor pengetahuan gizi pada saat pre dan post 1

(p<0.05). Selain itu, terdapat peningkatan skor pengetahuan dari

pre ke post 1 untuk setiap kelompok, dimana peningkatan

tertinggi pada kelompok intervensi yaitu sebesar 3.43.

Berdasarkan uji Mann Whitney, terdapat perbedaan yang

siginifikan (p<0.05) dari selisih peningkatan skor untuk kedua

kelompok.

Sedangkan nilai rata-rata skor pengetahuan gizi pada saat

Post 2, tertinggi pada kelompok intervensi yaitu sebesar 19.40.

Berdasarkan hasil uji Wilcoxon, terdapat perbedaan yang

signifikan antara skor pengetahuan gizi pada saat pre dan post 2

(p<0.05). Selain itu, terdapat peningkatan skor untuk setiap

kelompok dari pre ke post 2, dimana peningkatan skor tertinggi


141

pada kelompok intervensi yaitu sebesar 5.28. Berdasarkan uji

Mann Whitney, terdapat perbedaan yang siginifikan (p<0.05) dari

selisih peningkatan skor untuk kedua kelompok.

Distribusi perubahan pengetahuan gizi siswa sebelum dan

sesudah intervensi dapat dilihat pada grafik berikut:

19.4
19
17.55
17
rata-rata skor

15 14.13

13 intervensi
12.18 kontrol
10.73
11
9.15
9
Pre test Post Test I Post Tes 2
Waktu Pengukuran

Gambar 10. Perubahan Pengetahuan Gizi

Gambar 10 menunjukkan rata-rata pengetahuan tentang

gizi lebih tinggi pada kelompok intervensi dibandingkan

kelompok kontrol mulai saat pre, post 1 hingga post 2.

2) Sikap Gizi

Perubahan sikap gizi siswa sebelum dan sesudah intervensi di

Sekolah Dasar Islam Terpadu Kota Makassar dapat dilihat pada

tabel berikut:

Tabel 20. Perubahan Sikap Gizi Siswa Sebelum Dan


Sesudah Intervensi di Sekolah Dasar Islam Terpadu
Kota Makassar Tahun 2019
Sikap Pre Post 1 p* Δ1 Post 2 p* Δ2
Intervensi 41.40±0.87 62.42±0.90 (0.000) ↑21.03±0.66 83.43±0.90 (0.000) ↑42.03±0.97
142

Kontrol 33.10±2.02 39.28±0.96 (0.000) ↑6.18±2.20 51.35±0.83 (0.000) ↑18.25±2.08


p** 0.000 0.000
Sumber: Data Primer, 2019;
Δ1 = Selisih Pre–Post 1; Δ2 = Selisih Pre–Post 2; *uji Wilcoxon; **uji Mann
Whitney

Tabel 20 menunjukkan nilai rata-rata skor sikap gizi

tertinggi pada kelompok pre terdapat pada kelompok intervensi

yaitu sebesar 41.40. Begitu juga saat post 1, nilai rata-rata

tertinggi terdapat pada kelompok intervensi yaitu sebesar 62.42.

Berdasarkan hasil uji Wilcoxon, menunjukkan bahwa baik

kelompok intervensi maupun kontrol terdapat perbedaan yang

signifikan antara skor sikap pada saat pre dan post 1 (p<0.05).

Selain itu, terdapat peningkatan skor sikap dari pre ke post 1

untuk setiap kelompok, dimana peningkatan tertinggi pada

kelompok intervensi yaitu sebesar 21.03. Berdasarkan uji Mann

Whitney, terdapat perbedaan yang siginifikan (p<0.05) dari

selisih peningkatan skor untuk kedua kelompok.

Sedangkan nilai rata-rata skor sikap pada saat Post 2,

tertinggi pada kelompok intervensi yaitu sebesar 83.43.

Berdasarkan hasil uji Wilcoxon, terdapat perbedaan yang

signifikan antara skor sikap pada saat pre dan post 2 (p<0.05).

Selain itu, terdapat peningkatan skor untuk setiap kelompok dari

pre ke post 2, dimana peningkatan skor tertinggi pada kelompok

intervensi yaitu sebesar 42.03. Berdasarkan uji Mann Whitney,


143

terdapat perbedaan yang siginifikan (p<0.05) dari selisih

peningkatan skor untuk kedua kelompok.

Distribusi perubahan sikap gizi siswa sebelum dan sesudah

intervensi dapat dilihat pada grafik berikut:

90
83.43
80

70
rata-rata skor

62.42
60
51.35 intervensi
50 kontrol
41.4 39.28
40 33.1
30
Pre test Post Test I Post Tes 2
Waktu Pengukuran

Gambar 11. Perubahan Sikap Gizi Siswa

Gambar 11 menunjukkan rata-rata sikap siswa tentang

obesitas dan gizi lebih tinggi pada kelompok intervensi

dibandingkan kelompok kontrol mulai saat pre, post 1 hingga

post 2.

3) Aktifitas fisik

Perubahan aktifitas fisik siswa sebelum dan sesudah

intervensi di Sekolah Dasar Islam Terpadu Kota Makassar dapat

dilihat pada tabel berikut:

Tabel 21. Perubahan Aktifitas fisik Siswa Sebelum Dan


Sesudah Intervensi di Sekolah Dasar Islam Terpadu
Kota Makassar Tahun 2019

Aktivitas Pre Post 1 p* Δ1 Post 2 p* Δ2


Fisik
144

Intervensi 22.93±1.40 34.05±1.53 (0.000) ↑10.13±1.84 43.78±1.18 (0.000) ↑19.85±1.62


Kontrol 13.35±1.76 19.33±1.18 (0.000) ↑5.98±1.77 24.40±0.87 (0.000) ↑11.05±1.63
p** 0.000 0.000
Sumber: Data Primer, 2019;
Δ1 = Selisih Pre–Post 1; Δ2 = Selisih Pre–Post 2; *uji Wilcoxon; **uji Mann
Whitney

Tabel 21 menunjukkan nilai rata-rata skor aktivitas fisik

tertinggi pada kelompok pre terdapat pada kelompok intervensi

yaitu sebesar 22.93. Begitu juga saat post 1, nilai rata-rata

tertinggi terdapat pada kelompok intervensi yaitu sebesar 34.05.

Berdasarkan hasil uji Wilcoxon, menunjukkan bahwa baik

kelompok intervensi maupun kontrol terdapat perbedaan yang

signifikan antara skor aktivitas fisik pada saat pre dan post 1

(p<0.05). Selain itu, terdapat peningkatan skor aktivitas fisik dari

pre ke post 1 untuk setiap kelompok, dimana peningkatan

tertinggi pada kelompok intervensi yaitu sebesar 10.13.

Berdasarkan uji Mann Whitney, terdapat perbedaan yang

siginifikan (p<0.05) dari selisih peningkatan skor untuk kedua

kelompok.

Sedangkan nilai rata-rata skor aktivitas fisik pada saat Post

2, tertinggi pada kelompok intervensi yaitu sebesar 43.78.

Berdasarkan hasil uji Wilcoxon, terdapat perbedaan yang

signifikan antara skor aktivitas fisik pada saat pre dan post 2

(p<0.05). Selain itu, terdapat peningkatan skor untuk setiap

kelompok dari pre ke post 2, dimana peningkatan skor tertinggi


145

pada kelompok intervensi yaitu sebesar 19.85. Berdasarkan uji

Mann Whitney, terdapat perbedaan yang siginifikan (p<0.05) dari

selisih peningkatan skor untuk kedua kelompok.

Distribusi perubahan aktifitas fisik siswa sebelum dan

sesudah intervensi dapat dilihat pada grafik berikut:

50 47.78
45
40
rata-rata skor

35 34.05
30
23.93 intervensi
25 24.4
19.33 kontrol
20
15 13.35
10
Pre test Post Test I Post Tes 2
Waktu Pengukuran

Gambar 12. Perubahan Aktifitas Fisik Siswa

Gambar 12 menunjukkan rata-rata skor aktivitas fisik tinggi

pada kelompok intervensi dibandingkan kelompok kontrol mulai

saat pre, post 1 hingga post 2.

b. Pengaruh Pendampingan Peer Edukator Gizi Terhadap Pola

Makan

1) Kebiasaan makan

Perubahan perilaku gizi siswa sebelum dan sesudah

intervensi di Sekolah Dasar Islam Terpadu Kota Makassar dapat

dilihat pada tabel berikut:

Tabel 22. Perubahan Kebiasaan Makan Siswa Sebelum Dan


Sesudah Intervensi di Sekolah Dasar Islam Terpadu
Kota Makassar Tahun 2019
146

Kebiasaan Pre Post 1 p* Δ1 Post 2 p* Δ2


Makan
Intervensi 15.78±0.57 12.45±1.03 (0.000) ↓3.33±1.09 8.40±1.10 (0.000) ↓7.38±1.23
Kontrol 15.65±1.02 14.83±0.54 (0.000) ↓0.83±0.71 13.78±0.66 (0.000) ↓1.88±0.82
p** 0.000 0.000
Sumber: Data Primer, 2019;
Δ1 = Selisih Pre–Post 1; Δ2 = Selisih Pre–Post 2; *uji Wilcoxon; **uji Mann
Whitney

Tabel 22 menunjukkan nilai rata-rata skor kebiasaan makan

tertinggi pada kelompok pre terdapat pada kelompok intervensi

yaitu sebesar 51.78. Sedangkan saat post 1, nilai rata-rata

terendah terdapat pada kelompok intervensi yaitu sebesar 12.45.

Berdasarkan hasil uji Wilcoxon, menunjukkan bahwa baik

kelompok intervensi maupun kontrol terdapat perbedaan yang

signifikan antara skor kebiasaan makan pada saat pre dan post

1 (p<0.05). Selain itu, terdapat penurunan skor kebiasaan makan

dari pre ke post 1 untuk setiap kelompok, dimana penurunan

tertinggi pada kelompok intervensi yaitu sebesar 3.33.

Berdasarkan uji Mann Whitney, terdapat perbedaan yang

siginifikan (p<0.05) dari selisih penurunan skor untuk kedua

kelompok.

Sedangkan nilai rata-rata skor kebiasaan makan pada saat

Post 2, terendah pada kelompok intervensi yaitu sebesar 8.40.

Berdasarkan hasil uji Wilcoxon, terdapat perbedaan yang

signifikan antara skor kebiasaan makan pada saat pre dan post 2

(p<0.05). Selain itu, terdapat penurunan untuk setiap kelompok


147

dari pre ke post 2, dimana penurunan tertinggi pada kelompok

intervensi yaitu sebesar 7.38. Berdasarkan uji Mann Whitney,

terdapat perbedaan yang siginifikan (p<0.05) dari selisih

penurunanskor untuk kedua kelompok.

Distribusi perubahan kebiasaan makan siswa sebelum dan

sesudah intervensi dapat dilihat pada grafik berikut:

19
17 15.78 15.65
14.83
15
rata-rata skor

13.78
13 12.45
11 intervensi
kontrol
9 8.4
7
5
Pre test Post Test I Post Tes 2
Waktu Pengukuran

Gambar 13. Perubahan Kebiasaan Makan

Gambar 13 menunjukkan bahwa pada awal pengukuran,

rata-rata kebiasaan makan siswa lebih tinggi pada kelompok

intervensi dibandingkan kelompok kontrol, saat post test 2 rata-

rata kebiasaan makan siswa lebih rendah pada kelompok

intervensi dibandingkan kelompok kontrol.

2) Kebiasaan Makan Cemilan


148

Perubahan kebiasaan makan cemilan siswa sebelum dan

sesudah intervensi di Sekolah Dasar Islam Terpadu Kota

Makassar dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 23. Perubahan Kebiasaan Makan Cemilan Siswa


Sebelum Dan Sesudah Intervensi di Sekolah Dasar
Islam Terpadu Kota Makassar Tahun 2019
Kebiasaan Pre Post 1 p* Δ1 Post 2 p* Δ2
Cemilan
Intervensi 15.53±0.78 12.10±1.00 (0.000) ↓3.43±1.08 8.95±0.84 (0.000) ↓6.58±1.01
Kontrol 15.93±0.35 14.83±0.25 (0.000) ↓1.10±0.37 12.80±0.46 (0.000) ↓3.13±0.46
p** 0.000 0.000
Sumber: Data Primer, 2019;
Δ1 = Selisih Pre–Post 1; Δ2 = Selisih Pre–Post 2; *uji Wilcoxon; **uji Mann
Whitney
Tabel 23 menunjukkan nilai rata-rata skor kebiasaan makan

cemilan tertinggi pada kelompok pre terdapat pada kelompok

kontrol yaitu sebesar 15.93. Sedangkan saat post 1, nilai rata-

rata terendah terdapat pada kelompok intervensi yaitu sebesar

12.10. Berdasarkan hasil uji Wilcoxon, menunjukkan bahwa baik

kelompok intervensi maupun kontrol terdapat perbedaan yang

signifikan antara skor kebiasaan makan cemilan pada saat pre

dan post 1 (p<0.05). Selain itu, terdapat penurunan skor

kebiasaan makan cemilan dari pre ke post 1 untuk setiap

kelompok, dimana penurunan tertinggi pada kelompok intervensi

yaitu sebesar 3.43. Berdasarkan uji Mann Whitney, terdapat

perbedaan yang siginifikan (p<0.05) dari selisih penurunan skor

untuk kedua kelompok.


149

Sedangkan nilai rata-rata skor kebiasaan makan cemilan

pada saat Post 2, terendah pada kelompok intervensi yaitu

sebesar 8.95. Berdasarkan hasil uji Wilcoxon, terdapat

perbedaan yang signifikan antara skor kebiasaan makan cemilan

pada saat pre dan post 2 (p<0.05). Selain itu, terdapat

penurunan untuk setiap kelompok dari pre ke post 2, dimana

penurunan tertinggi pada kelompok intervensi yaitu sebesar

6.58. Berdasarkan uji Mann Whitney, terdapat perbedaan yang

siginifikan (p<0.05) dari selisih penurunan skor untuk kedua

kelompok.

Distribusi perubahan kebiasaan makan cemilan siswa

sebelum dan sesudah intervensi dapat dilihat pada grafik

berikut :

19.00

17.00
15.53 15.93
14.83
15.00
rata-rata skor

13.00 12.10 12.80

11.00 perlakuan
8.95 kontrol
9.00

7.00

5.00
Pre test Post Test I Post Tes 2
Waktu Pengukuran

Gambar 14. Perubahan Kebiasaan Makan Cemilan


150

Gambar 14 menunjukkan bahwa pada awal pengukuran,

rata-rata skor kebiasaan makan cemilan siswa lebih tinggi pada

kelompok kontrol dibandingkan kelompok intervensi, saat post

test 1 dan post test 2 rata-rata skor kebiasaan makan cemilan

siswa lebih rendah pada kelompok intervensi dibandingkan

kelompok kontrol.

3) Kebiasaan Jajan

Perubahan kebiasaan jajan sebelum dan sesudah

intervensi di Sekolah Dasar Islam Terpadu Kota Makassar dapat

dilihat pada tabel berikut:

Tabel 24. Perubahan Kebiasaan Jajan Siswa Sebelum Dan


Sesudah Intervensi di Sekolah Dasar Islam Terpadu
Kota Makassar Tahun 2019

Pre Post 1 p* Δ1 Post 2 p* Δ2


Kebiasaan
Jajan
Intervensi 51.73±0.59 45.40±1.27 (0.000) ↓6.33±1.22 37.50±2.37 (0.000) ↓14.23±2.15
Kontrol 51.83±0.50 49.83±0.59 (0.000) ↓2.00±0.45 47.73±0.78 (0.000) ↓4.10±0.49
p** 0.000 0.000
Sumber: Data Primer, 2019;
Δ1 = Selisih Pre–Post 1; Δ2 = Selisih Pre–Post 2; *uji Wilcoxon; **uji Mann
Whitney

Tabel 24 menunjukkan nilai rata-rata skor kebiasaan jajan

tertinggi pada kelompok pre terdapat pada kelompok kontrol

yaitu sebesar 51.83. Sedangkan saat post 1, nilai rata-rata

terendah terdapat pada kelompok intervensi yaitu sebesar 45.40.


151

Berdasarkan hasil uji Wilcoxon, menunjukkan bahwa baik

kelompok intervensi maupun kontrol terdapat perbedaan yang

signifikan antara skor kebiasaan jajan pada saat pre dan post 1

(p<0.05). Selain itu, terdapat penurunan skor kebiasaan jajan

dari pre ke post 1 untuk setiap kelompok, dimana penurunan

tertinggi pada kelompok intervensi yaitu sebesar 6.33.

Berdasarkan uji Mann Whitney, terdapat perbedaan yang

siginifikan (p<0.05) dari selisih penurunan skor untuk kedua

kelompok.

Sedangkan nilai rata-rata skor kebiasaan jajan pada saat

Post 2, terendah pada kelompok intervensi yaitu sebesar 37.50.

Berdasarkan hasil uji Wilcoxon, terdapat perbedaan yang

signifikan antara skor kebiasaan jajan pada saat pre dan post 2

(p<0.05). Selain itu, terdapat penurunan untuk setiap kelompok

dari pre ke post 2, dimana penurunan tertinggi pada kelompok

intervensi yaitu sebesar 14.23. Berdasarkan uji Mann Whitney,

terdapat perbedaan yang siginifikan (p<0.05) dari selisih

penurunan skor untuk kedua kelompok.

Distribusi perubahan kebiasaan jajan siswa sebelum dan

sesudah intervensi dapat dilihat pada grafik berikut:


152

55.00
53.00 51.73 51.83
51.00 49.83
49.00
rata-rata skor 47.73
47.00
45.40
45.00
perlakuan
43.00
kontrol
41.00
39.00
37.50
37.00
35.00
Pre test Post Test I Post Tes 2
Waktu Pengukuran

Gambar 15. Perubahan Kebiasaan Jajan Siswa

Gambar 15 menunjukkan bahwa pada awal pengukuran,

rata-rata skor kebiasaan jajan siswa lebih tinggi pada kelompok

kontrol dibandingkan kelompok intervensi, saat post test 1 dan

post test 2 rata-rata skor kebiasaan jajan siswa lebih rendah

pada kelompok intervensi dibandingkan kelompok kontrol.

4) Kebiasaan Minum Soft Drink

Perubahan kebiasaan minum soft drink siswa sebelum dan

sesudah intervensi di Sekolah Dasar Islam Terpadu Kota

Makassar dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 25. Perubahan Kebiasaan Minum Soft Drink


Siswa Sebelum Dan Sesudah Intervensi di SDIT
Kota Makassar Tahun 2019

Kebiasaan Pre Post 1 p* Δ1 Post 2 p* Δ2


153

Minum
Soft Drink
Intervensi 70.95±1.66 58.75±1.99 (0.000) ↓12.20±1.47 45.83±2.76 (0.000) ↓25.13±2.46
Kontrol 71.78±0.57 68.85±0.66 (0.000) ↓2.93±0.76 61.83±0.67 (0.000) ↓9.95±0.81
p** 0.000 0.000
Sumber: Data Primer, 2019;
Δ1 = Selisih Pre–Post 1; Δ2 = Selisih Pre–Post 2; *uji Wilcoxon; **uji Mann
Whitney
Tabel 25 menunjukkan nilai rata-rata skor kebiasaan minum

soft drink tertinggi pada kelompok pre terdapat pada kelompok

kontrol yaitu sebesar 71.78. Sedangkan saat post 1, nilai rata-

rata terendah terdapat pada kelompok intervensi yaitu sebesar

58.75. Berdasarkan hasil uji Wilcoxon, menunjukkan bahwa baik

kelompok intervensi maupun kontrol terdapat perbedaan yang

signifikan antara skor kebiasaan minum soft drink pada saat pre

dan post 1 (p<0.05). Selain itu, terdapat penurunan skor

kebiasaan minum soft drink dari pre ke post 1 untuk setiap

kelompok, dimana penurunan tertinggi pada kelompok intervensi

yaitu sebesar 12.20. Berdasarkan uji Mann Whitney, terdapat

perbedaan yang siginifikan (p<0.05) dari selisih penurunan skor

untuk kedua kelompok.

Sedangkan nilai rata-rata skor kebiasaan minum soft drink

pada saat Post 2, terendah pada kelompok intervensi yaitu

sebesar 45.83. Berdasarkan hasil uji Wilcoxon, terdapat

perbedaan yang signifikan antara skor kebiasaan minum soft

drink pada saat pre dan post 2 (p<0.05). Selain itu, terdapat

penurunan untuk setiap kelompok dari pre ke post 2, dimana


154

penurunan tertinggi pada kelompok intervensi yaitu sebesar

25.13. Berdasarkan uji Mann Whitney, terdapat perbedaan yang

siginifikan (p<0.05) dari selisih penurunan skor untuk kedua

kelompok.

Distribusi perubahan kebiasaan minum soft drink siswa

sebelum dan sesudah intervensi dapat dilihat pada grafik berikut:

75.00
70.95 71.78
68.85
70.00

65.00
rata-rata skor

61.83
60.00 58.75
perlakuan
55.00 kontrol

50.00
45.83
45.00
Pre test Post Test I Post Tes 2
Waktu Pengukuran

Gambar 16. Perubahan Kebiasaan Minum Soft Drink Siswa

Gambar 16 menunjukkan bahwa pada awal pengukuran,

rata-rata skor kebiasaan minum soft drink siswa lebih tinggi pada

kelompok kontrol dibandingkan kelompok intervensi, saat post

test 1 dan post test 2 rata-rata skor kebiasaan minum soft drink

siswa lebih rendah pada kelompok intervensi dibandingkan

kelompok kontrol.

c. Pengaruh Pendampingan Peer Edukator Gizi Terhadap Asupan

Gizi

1) Asupan Energi
155

Perubahan asupan energi sebelum dan sesudah intervensi

di Sekolah Dasar Islam Terpadu Kota Makassar dapat dilihat

pada tabel berikut:

Tabel 26. Perubahan Asupan Energi (kkal) Sebelum Dan


Sesudah Intervensi di Sekolah Dasar Islam Terpadu
Kota Makassar Tahun 2019

Asupan Pre Post 1 p* Δ1 Post 2 p* Δ2


Energi
Intervensi 2843.68±127.0 2555.95±88.6 (0.000) ↓287.73±38.44 2166.55±100.9 (0.000) ↓677.13±82.5
Kontrol 2887.40±121.8 2577.98±86.8 (0.000) ↓309.43±58.08 2146.45±111.7 (0.000) ↓740.95±102.4

p** 0.198 0.216 0.169 0.186 0.006


Sumber: Data Primer, 2019;
Δ1 = Selisih Pre–Post 1; Δ2 = Selisih Pre – Post 2; *uji Wilcoxon; **uji Mann
Whitney

Tabel 26 menunjukkan nilai rata-rata asupan energi

tertinggi pada kelompok pre terdapat pada kelompok kontrol

yaitu sebesar 2887 kkal. Begitu juga saat post 1, nilai rata-rata

tertinggi terdapat pada kelompok kontrol yaitu sebesar 2577 kkal.

Berdasarkan hasil uji Wilcoxon, menunjukkan bahwa baik

kelompok intervensi maupun kontrol terdapat perbedaan yang

signifikan antara asupan energi pada saat pre dan post 1

(p<0.05). Selain itu, terdapat penurunan asupan energi dari pre

ke post 1 untuk setiap kelompok, dimana penurunan tertinggi

pada kelompok kontrol yaitu sebesar 309 kkal. Berdasarkan uji

Mann Whitney, terdapat perbedaan yang siginifikan (p<0.05) dari

selisih penurunan asupan energi untuk kedua kelompok.


156

Sedangkan nilai rata-rata asupan energi pada saat Post 2,

tertinggi pada kelompok intervensi yaitu sebesar 2166 kkal.

Berdasarkan hasil uji Wilcoxon, terdapat perbedaan yang

signifikan antara asupan energi pada saat pre dan post 2

(p<0.05). Selain itu, terdapat penurunan asupan untuk setiap

kelompok dari pre ke post 2, dimana penurunan asupan energi

tertinggi pada kelompok kontrol yaitu sebesar 740 kkal.

Berdasarkan uji Mann Whitney, terdapat perbedaan yang

siginifikan (p<0.05) dari selisih penurunan asupan energi untuk

kedua kelompok.

Distribusi perubahan asupan energi siswa sebelum dan

sesudah intervensi dapat dilihat pada grafik berikut:

2900.00 2843.682887.40
2800.00
2700.00
2577.98
rata-rata skor

2600.00 2555.95
2500.00
perlakuan
2400.00
kontrol
2300.00
2200.00 2166.55
2146.45
2100.00
Pre test Post Test I Post Tes 2
Waktu Pengukuran

Gambar 17. Perubahan Asupan Energi Siswa

Gambar 17 menunjukkan rata-rata asupan energi siswa

lebih tinggi pada kelompok kontrol saat pre test dan mengalami
157

penurunan lebih banyak saat post 1 dan 2 dibandingkan dengan

kelompok intervensi.

2) Asupan Karbohidrat

Perubahan asupan karbohidrat sebelum dan sesudah

intervensi di Sekolah Dasar Islam Terpadu Kota Makassar dapat

dilihat pada tabel berikut:

Tabel 27. Perubahan Asupan Karbohidrat (gram) Sebelum


Dan Sesudah Intervensi di Sekolah Dasar Islam Terpadu
Kota Makassar Tahun 2019

Asupan Pre Post 1 p* Δ1 Post 2 p* Δ2


Karbohidrat
Intervensi 575.13±2.62 352.93±28.97 (0.000) ↓222.20±26.47 308.68±26.94 (0.000) ↓266.45±25.03
Kontrol 576.00±2.48 360.20±28.28 (0.000) ↓215.80±25.79 305.28±28.04 (0.000) ↓270.73±26.50

p** 0.100 0.157 0.429 0.224 0.175


Sumber: Data Primer, 2019;
Δ1 = Selisih Pre–Post 1; Δ2 = Selisih Pre–Post 2; *uji Wilcoxon; **uji Mann
Whitney

Tabel 27 menunjukkan nilai rata-rata asupan karbohidrat

tertinggi pada kelompok pre terdapat pada kelompok kontrol

yaitu sebesar 576 gr. Begitu juga saat post 1, nilai rata-rata

tertinggi terdapat pada kelompok kontrol yaitu sebesar 360 gr.

Berdasarkan hasil uji Wilcoxon, menunjukkan bahwa baik

kelompok intervensi maupun kontrol terdapat perbedaan yang

signifikan antara asupan karbohidrat pada saat pre dan post 1

(p<0.05). Selain itu, terdapat penurunan asupan karbohidrat dari

pre ke post 1 untuk setiap kelompok, dimana penurunan tertinggi

pada kelompok intervensi yaitu sebesar 222 gr. Berdasarkan uji


158

Mann Whitney, terdapat perbedaan yang siginifikan (p<0.05) dari

selisih penurunan asupan energi untuk kedua kelompok.

Sedangkan nilai rata-rata asupan karbohidrat pada saat Post

2, tertinggi pada kelompok intervensi yaitu sebesar 308 gr.

Berdasarkan hasil uji Wilcoxon, terdapat perbedaan yang

signifikan antara asupan karbohidrat pada saat pre dan post 2

(p<0.05). Selain itu, terdapat penurunan asupan untuk setiap

kelompok dari pre ke post 2, dimana penurunan asupan

karbohidrat tertinggi pada kelompok kontrol yaitu sebesar 270

gr. Berdasarkan uji Mann Whitney, terdapat perbedaan yang

siginifikan (p<0.05) dari selisih penurunan asupan karbohidrat

untuk kedua kelompok.

Distribusi perubahan asupan karbohidrat siswa sebelum

dan sesudah intervensi dapat dilihat pada grafik berikut:

600.00 575.13 576.00

550.00

500.00
rata-rata skor

450.00
perlakuan
400.00 kontrol
360.20
352.92
350.00
308.68305.28
300.00
Pre test Post Test I Post Tes 2
Waktu Pengukuran

Gambar 18. Perubahan Asupan Karbohidrat Siswa


159

Gambar 18 menunjukkan rata-rata asupan karbohidrat

siswa lebih tinggi pada kelompok kontrol dibandingkan kelompok

intervensi saat pre test dan post test 1. Sedangkan saat post 2,

asupan karbohidrat mengalami penurunan lebih banyak pada

kelompok kontrol dibandingkan kelompok intervensi.

3) Asupan Lemak

Perubahan asupan Lemak sebelum dan sesudah intervensi

di Sekolah Dasar Islam Terpadu Kota Makassar dapat dilihat

pada tabel berikut:

Tabel 28. Perubahan Asupan Lemak (gram) Sebelum Dan


Sesudah Intervensi di Sekolah Dasar Islam Terpadu
Kota Makassar Tahun 2019

Asupan Pre Post 1 p* Δ1 Post 2 p* Δ2


Lemak
Intervensi 95.45±2.58 78.88±3.21 (0.000) ↓16.58±5.75 68.50±1.73 (0.000) ↓26.95±4.23
Kontrol 95.00±2.48 79.60±2.97 (0.000) ↓15.40±5.45 68.80±1.48 (0.000) ↓26.20±3.96
p** 0.710 0.869
Sumber: Data Primer, 2019;
Δ1 = Selisih Pre–Post 1; Δ2 = Selisih Pre–Post 2; *uji Wilcoxon; **uji Mann
Whitney

Tabel 28 menunjukkan nilai rata-rata asupan lemak tertinggi

pada kelompok pre terdapat pada kelompok intervensi yaitu

sebesar 95.45 gr. Sedangkan saat post 1, nilai rata-rata tertinggi

terdapat pada kelompok kontrol yaitu sebesar 79.60 gr.


160

Berdasarkan hasil uji Wilcoxon, menunjukkan bahwa baik

kelompok intervensi maupun kontrol terdapat perbedaan yang

signifikan antara asupan lemak pada saat pre dan post 1

(p<0.05). Selain itu, terdapat penurunan asupan lemak dari pre

ke post 1 untuk setiap kelompok, dimana penurunan tertinggi

pada kelompok intervensi yaitu sebesar 16.58 gr. Berdasarkan

uji Mann Whitney, terdapat perbedaan yang siginifikan (p<0.05)

dari selisih penurunan asupan lemak untuk kedua kelompok.

Sedangkan nilai rata-rata asupan karbohidrat pada saat Post

2, tertinggi pada kelompok kontrol yaitu sebesar 68.80 gr.

Berdasarkan hasil uji Wilcoxon, terdapat perbedaan yang

signifikan antara asupan lemak pada saat pre dan post 2

(p<0.05). Selain itu, terdapat penurunan asupan untuk setiap

kelompok dari pre ke post 2, dimana penurunan asupan lemak

tertinggi pada kelompok intervensi yaitu sebesar 26.95 gr.

Berdasarkan uji Mann Whitney, terdapat perbedaan yang

siginifikan (p<0.05) dari selisih penurunan asupan lemak untuk

kedua kelompok.

Distribusi perubahan asupan lemak siswa sebelum dan

sesudah intervensi dapat dilihat pada grafik berikut:


161

100.00
95.45 95.00
95.00
90.00
85.00
rata-rata skor 79.60
80.00 78.88
perlakuan
75.00
kontrol
70.00 68.5068.80
65.00
60.00
Pre test Post Test I Post Tes 2
Waktu Pengukuran

Gambar 19. Perubahan Asupan Lemak Siswa

Gambar 19 menunjukkan rata-rata asupan lemak siswa lebih

tinggi pada kelompok intervensi dibandingkan kelompok kontrol

saat pre test, sedangkan pada saat post test 2, rata-rata asupan

lemak kelompok intervensi mengalami penurunan lebih banyak

dibandingkan kontrol.

4) Asupan Protein

Perubahan asupan protein sebelum dan sesudah intervensi

di Sekolah Dasar Islam Terpadu Kota Makassar dapat dilihat

pada tabel berikut:

Tabel 29. Perubahan Asupan Protein (gram) Sebelum Dan


Sesudah Intervensi di Sekolah Dasar Islam Terpadu
Kota Makassar Tahun 2019

Asupan Pre Post 1 p* Δ1 Post 2 p* Δ2


Protein
162

Intervensi 83.00±4.08 67.60±4.45 (0.000) ↓15.40±0.87 57.73±2.06 (0.000) ↓25.28±-2.31


Kontrol 82.20±3.96 66.60±4.46 (0.000) ↓15.60±0.49 57.60±1.98 (0.000) ↓24.60±1.98
p** 0.341 0.169
Sumber: Data Primer, 2019;
Δ1 = Selisih Pre–Post 1; Δ2 = Selisih Pre–Post 2; *uji Wilcoxon; **uji Mann
Whitney
Tabel 29 menunjukkan nilai rata-rata asupan protein tertinggi

pada kelompok pre terdapat pada kelompok intervensi yaitu

sebesar 83 gr. Begitu juga saat post 1, nilai rata-rata tertinggi

terdapat pada kelompok intervensi yaitu sebesar 67.60 gr.

Berdasarkan hasil uji Wilcoxon, menunjukkan bahwa baik

kelompok intervensi maupun kontrol terdapat perbedaan yang

signifikan antara asupan protein pada saat pre dan post 1

(p<0.05). Selain itu, terdapat penurunan asupan protein dari pre

ke post 1 untuk setiap kelompok, dimana penurunan tertinggi

pada kelompok kontrol yaitu sebesar 15.60 gr. Berdasarkan uji

Mann Whitney, terdapat perbedaan yang siginifikan (p<0.05) dari

selisih penurunan asupan protein untuk kedua kelompok.

Sedangkan nilai rata-rata asupan protein pada saat Post 2,

tertinggi pada kelompok intervensi yaitu sebesar 57.73 gr.

Berdasarkan hasil uji Wilcoxon, terdapat perbedaan yang

signifikan antara asupan protein pada saat pre dan post 2

(p<0.05). Selain itu, terdapat penurunan asupan untuk setiap

kelompok dari pre ke post 2, dimana penurunan asupan protein

tertinggi pada kelompok intervensi yaitu sebesar 25.28 gr.

Berdasarkan uji Mann Whitney, terdapat perbedaan yang


163

siginifikan (p<0.05) dari selisih penurunan asupan protein untuk

kedua kelompok.

Distribusi perubahan asupan protein siswa sebelum dan

sesudah intervensi dapat dilihat pada grafik berikut:

90.00
85.00 83.00
82.20
80.00
75.00
rata-rata skor

70.00 67.6066.60
perlakuan
65.00
kontrol
60.00 57.7357.60
55.00
50.00
Pre test Post Test I Post Tes 2
Waktu Pengukuran

Gambar 20. Perubahan Asupan Protein Siswa

Gambar 20 menunjukkan rata-rata asupan protein siswa

lebih tinggi pada kelompok kelompok intervensi dibandingkan

kontrol saat pre test dan post test 2.

5) Asupan Serat

Perubahan asupan serat sebelum dan sesudah intervensi di

Sekolah Dasar Islam Terpadu Kota Makassar dapat dilihat pada

tabel berikut:

Tabel 30. Perubahan Asupan Serat (gram) Sebelum Dan


Sesudah Intervensi di Sekolah Dasar Islam Terpadu
Kota Makassar Tahun 2019

Asupan Pre Post 1 p* Δ1 Post 2 p* Δ2


Serat
Intervensi 28.83±1.19 29.43±1.05 (0.000) ↑ 0.60±1.17 29.98±1.95 (0.000) ↑ 1.15±2.37
Kontrol 29.18±1.03 29.23±0.97 (0.000) ↑ 0.05±0.31 29.30±1.06 (0.000) ↑ 0.13±0.79
164

p** 0.004 0.007


Sumber: Data Primer, 2019;
Δ1 = Selisih Pre–Post 1; Δ2 = Selisih Pre–Post 2; *uji Wilcoxon; **uji Mann
Whitney

Tabel 30 menunjukkan nilai rata-rata asupan serat tertinggi

pada kelompok pre terdapat pada kelompok kontrol yaitu

sebesar 29.18 gr. Sedangkan saat post 1, nilai rata-rata tertinggi

terdapat pada kelompok intervensi yaitu sebesar 29.43 gr.

Berdasarkan hasil uji Wilcoxon, menunjukkan bahwa baik

kelompok intervensi maupun kontrol terdapat perbedaan yang

signifikan antara asupan serat pada saat pre dan post 1

(p<0.05). Selain itu, terdapat penurunan asupan serat dari pre ke

post 1 untuk setiap kelompok, dimana peningkatan tertinggi pada

kelompok intervensi yaitu sebesar 0.60 gr. Berdasarkan uji Mann

Whitney, terdapat perbedaan yang siginifikan (p<0.05) dari

selisih peningkatan asupan serat untuk kedua kelompok.

Sedangkan nilai rata-rata asupan serat pada saat Post 2,

tertinggi pada kelompok intervensi yaitu sebesar 29.98 gr.

Berdasarkan hasil uji Wilcoxon, terdapat perbedaan yang

signifikan antara asupan serat pada saat pre dan post 2

(p<0.05). Selain itu, terdapat peningkatan asupan untuk setiap

kelompok ari pre ke post 2, dimana peningkatan asupan serat

tertinggi pada kelompok intervensi yaitu sebesar 1.15 gr.

Berdasarkan uji Mann Whitney, terdapat perbedaan yang


165

siginifikan (p<0.05) dari selisih peningkatan asupan serat untuk

kedua kelompok.

Distribusi perubahan asupan serat siswa sebelum dan

sesudah intervensi dapat dilihat pada grafik berikut:

30.00 29.98
29.80
29.60
29.43
29.40 29.23 29.30
29.18
rata-rata skor

29.20
29.00 28.83
28.80 perlakuan
28.60 kontrol
28.40
28.20
28.00
Pre test Post Test I Post Tes 2
Waktu Pengukuran

Gambar 21. Perubahan Asupan Serat Siswa

Gambar 21 menunjukkan rata-rata asupan serat siswa lebih

tinggi pada kelompok kontrol dibandingkan kelompok intervensi

saat pre test, sedangkan pada saat post test 1 dan 2, kelompok

intervensi lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol.

d. Pengaruh Pendampingan Peer Edukator Gizi Terhadap Status

Gizi Siswa

1) Status Gizi Berdasarkan Berat Badan

Perubahan berat badan sebelum dan sesudah intervensi

di Sekolah Dasar Islam Terpadu Kota Makassar dapat dilihat

pada tabel berikut:


166

Tabel 31. Perubahan Status Gizi Berdasarka Berat Badan


Siswa Sebelum dan Sesudah Intervensi di Sekolah Dasar
Islam Terpadu Kota Makassar Tahun 2019

Berat Pre Post p* Δ p**


Badan
Intervensi 39.27±5.91 37.96±5.72 (0.000) ↓1.31±0.60
0.279
Kontrol 35.98±9.39 34.60±9.20 (0.000) ↓1.38±1.23

Sumber: Data Primer, 2019;


Δ = Selisih Pre – Post; *Paired T-Test; ** uji Mann Whitney

Tabel 31 menunjukkan nilai rata-rata berat badan tertinggi

pada kelompok pre terdapat pada kelompok intervensi yaitu

sebesar 39.27 kg. Begitu juga saat post, nilai rata-rata tertinggi

terdapat pada kelompok intervensi yaitu sebesar 37.96 kg.

Berdasarkan hasil uji Paired t-test, menunjukkan bahwa baik

kelompok intervensi maupun kontrol terdapat perbedaan yang

signifikan antara berat badan pada saat pre dan post (p<0.05).

Selain itu, terdapat penurunan rata-rata berat badan dari

pre ke post untuk setiap kelompok, dimana penurunan tertinggi

pada kelompok kontrol yaitu sebesar 1.38 kg. Berdasarkan uji

Mann Whitney, tidak terdapat perbedaan yang siginifikan

(p>0.05) dari selisih peningkatan rata-rata berat badan untuk

kedua kelompok. Distribusi perubahan berat badan siswa

sebelum dan sesudah intervensi dapat dilihat pada grafik

berikut:
167

43

41
39.27

rata-rata skor
39
37.96
37 intervensi
35.98 kontrol
34.6
35

33
Pre test Post Test
Waktu Pengukuran

Gambar 22. Perubahan Berat Badan

Gambar 22 menunjukkan rata-rata berat badan siswa

mengalami penurunan saat post test bila dibandingkan saat

pre test.

2) Status Gizi Berdasarkan Indeks Massa Tubuh menurut Umur

(IMT/U)

Perubahan status gizi (indeks massa tubuh menurut

umur) sebelum dan sesudah intervensi di Sekolah Dasar Islam

Terpadu Kota Makassar dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 32. Perubahan Status Gizi Berdasarkan Indeks


Massa Tubuh Menurut Umur (IMT/U) Siswa Sebelum dan
Sesudah Intervensi di SDTI Kota Makassar Tahun 2019
IMT/U Pre Post p Δ p
Sumber:
Intervensi 20.60±2.21 19.92±2.17 (0.000)** ↓0.68±0.30
Data 0.532***
Primer, Kontrol 19.14±4.15 18.38±4.04 (0.000)* ↓0.75±0.66
2019;
Δ = Selisih Pre–Post; * Paired T-Test; **uji Wilcoxon;
***uji Mann Whitney
Tabel 32 menunjukkan nilai rata-rata Indeks Massa Tubuh

menurut Umur (IMT/U) tertinggi pada kelompok pre terdapat


168

pada kelompok intervensi yaitu sebesar 20.60. Begitu juga saat

post, nilai rata-rata tertinggi terdapat pada kelompok intervensi

yaitu sebesar 19.92. Berdasarkan hasil uji Wilcoxon,

menunjukkan bahwa baik kelompok intervensi maupun kontrol

terdapat perbedaan yang signifikan antara IMT/U pada saat pre

dan post (p<0.05). Selain itu, terdapat penurunan rata-rata

berat badan dari pre ke post untuk setiap kelompok, dimana

penurunan tertinggi pada kelompok kontrol yaitu sebesar 0,75.

Berdasarkan uji Mann Whitney, tidak terdapat perbedaan yang

siginifikan (p>0.05) dari selisih penurunan rata-rata berat badan

untuk kedua kelompok. Distribusi perubahan indeks massa

tubuh per umur (IMT/U) siswa sebelum dan sesudah intervensi

dapat dilihat pada grafik berikut:

22
21.5
21 20.6
rata-rata skor

20.5
20 19.92
19.5 intervensi
19.14 kontrol
19
18.38
18.5
18
Pre test Post Test I
Waktu Pengukuran

Gambar 23. Perubahan Indeks Massa Tubuh Per Umur (IMT/U)


169

Gambar 23 menunjukkan rata-rata indeks massa tubuh

per umur (IMT/U) siswa mengalami penurunan saat post test

bila dibandingkan saat pre test.

3. Analisis Multivariat

Analisis multivariat digunakan untuk menilai secara

bersamaan pada kedua kelompok sebelum dan setelah pemberian

intervensi pada kelompok perlakuan. Perbedaan pengaruh peer

edukator gizi terhadap perubahan perilaku gizi, aktifitas fisik dan

asupan gizi terhadap pencegahan obesitas dapat dilihat pada tabel

berikut:

Tabel 33. Hasil Multivariat Perbedaan Pengetahuan Gizi, Sikap,


Aktivitas Fisik Siswa, Kebiasaan Makan Cemilan, Kebiasaan
Jajan, Kebiasaan Minum Soft Drink, Asupan Gizi (Asupan
Energi, Karbohidrat, Lemak, Protein dan Serat) di SDIT
Makassar Tahun 2019

Peer Edukator Gizi Value F p


Hotelling's Trace 733,67 2888,82 0,000
Pengetahuan 1044,01 649,52 0,000
Sikap 20576,11 27260,07 0,000
Aktifitas Fisik 7507,81 6924,14 0,000
Kebiasaan makan 577,81 697,94 0,000
Kebiasaan makan cemilan 296,45 637,00 0,000
Kebiasaan jajan 2091,01 668,51 0,000
Kebiasaan soft drink 5120,00 1265,60 0,000
Asupan Energi 8080,20 ,71 0,401
Asupan Karbohidrat 231,20 ,31 0,582
Asupan Lemak 1,80 ,69 0,410
Asupan protein ,31 ,08 0,783
Asupan serat 9,11 3,68 0,059
Sumber: Data Primer, 2019
170

Tabel 33 menunjukkan bahwa hasil uji statistik dengan uji

Hotelling’s T diperoleh nilai F = 2888,82 dan p=0,000 (p<0,05). Hal

ini berarti ada perbedaan perilaku gizi dan aktifitas fisik siswa yang

mendapat peer edukator gizi dengan tidak ada peer edukator gizi.

Peer edukator gizi berpengaruh terhadap pengetahuan gizi, sikap

gizi, aktifitas fisik, kebiasaan makan, makan cemilan dan kebiasaan

jajan, serta minuman dingin (soft drink) (p<0,05) sedangkan peer

edukator gizi tidak berpengaruh terhadap asupan gizi siswa (asupan

energi, karbohidrat, lemak, protein dan serat) karena tidak terdapat

perbedaan asupan energi, karbohidrat, lemak, protein dan serat,

antara yang mendapat peer edukator gizi dengan tidak (p>0,05).

Berdasarkan hasil analisis didapatkan bahwa variabel sikap yang

paling berpengaruh diantara variabel yang lain dikarenakan faktor

penguat dari peer edukator gizi sehingga terjadi peningkatan

pemahaman gizi setelah intervensi dan sangat mempengaruhi

terbentuknya pola makan bagi teman sebaya berdampak pada

perubahan perilaku gizi penurunan kejadian overweight.

C. Pembahasan

1. Karakteristik Responden

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ayah siswa kelompok

perlakuan lebih banyak berumur 55-59 tahun dibandingkan

kelompok kontrol yaitu 35-39 tahun, pendidikan sama-sama lebih

banyak tinggi, ayah semuanya bekerja, suku ayah lebih banyak


171

Bugis, Ibu siswa kelompok perlakuan lebih banyak berumur 40-45

tahun dibandingkan kelompok kontrol yaitu 35-39 tahun,

pendidikan sama-sama lebih banyak tinggi, ibu lebih banyak

bekerja, suku ibu lebih banyak Bugis, pendapatan keluarga lebih

banyak lebih dari upah minimum propinsi (UMP) Sulawesi Selatan

sebesar Rp. 2.860.382,- pada kelompok perlakuan maupun

kontrol.

Hasil uji chi-square diperoleh nilai p > 0,05 yang berarti

kondisi kelompok umur, pendidikan, pekerjaan dan pendapatan

keluarga orang tua sama antara kelompok perlakuan dengan

kontrol (homogen). Karakteristik yang tidak homogen hanya suku

Ayah.

Hasil penelitian menunjukkan latar belakang pendidikan

orangtua siswa lebih banyak pendidikan tinggi yaitu diploma dan

sarjana pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Menurut

Leininger (2002) bahwa pendidikan sangat berkaitan dengan

perubahan perilaku. Semakin tinggi tingkat pendidikan orang tua

maka akan lebih mudah merubah perilaku mengenal masalah

kesehatan seperti membawa anak ke pelayanan kesehatan dan

berusaha mengendalikan gaya hidup sehat pada anak. Dengan

demikian homogenitas tingkat pendidikan pada kelompok

perlakuan dan kelompok kontrol penting untuk mengurangi faktor


172

perancu meningkatkan kemampuan keluarga dalam

mengendalikan gaya hidup anak overweigth (Leininger, 2002).

Menurut Warschburger and Kroller (2009) bahwa ibu dengan

yang mempunyai pendidikan lebih rendah tidak dapat

mengklasifikasi anak overweight dan tidak bisa memperkirakan

hubungannya dengan masalah kesehatan (Warschburger and

Kröller, 2009).

Berdasarkan analisis pendapatan keluarga didapatkan

homogenitas pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol yaitu

pendapatan tinggi diatas upah minimum provinsi (UMP) Sulawesi

Selatan yaitu kelompok perlakuan 67,5% sedangkan kelompok

kontrol 57,5%. Pendapatan merupakan faktor yang menentukan

yang dikonsumsi. Semakin tinggi pendapatan makan semakin

besar peluang untuk memilih pangan yang baik. Meningkatnya

pendapatan perorangan maka terjadi perubahan dalam susunan

menu. Keluarga berpenghasilan rendah menganggap rendah

pentingnya penurunan berat badan pada anak-anak overweight

(Cobb, 2006). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan

keluarga tinggi sehingga keluarga menyadari pentingnya

penurunan berat badan pada anaknya yang overweight dan

keluarga memiliki kemampuan untuk mengendalikan gaya hidup

sehat pada anaknya.


173

Karakteristik siswa menunjukkan bahwa pada kelompok

perlakuan lebih banyak mempunyai umur 9 tahun (50,0%),

perempuan (52,5%), kelas IV (70,0%), rata-rata berat badan

39,3 kg dengan tinggi badan 137,8 cm. Siswa pada kelompok

kontrol lebih banyak mempunyai umur 9 tahun (30,0%), laki-laki

(60,0%), rata-rata berat badan 36,0 kg dengan tinggi badan

136,7 cm. Hasil uji chi-square dan uji t independen diperoleh nilai

p> 0,05 yang berarti kondisi kelompok umur, jenis kelamin, kelas,

berat badan dan tinggi badan siswa kelompok perlakuan dengan

kontrol sama (homogen).

2. Pengaruh Peer Edukator Gizi Terhadap Perilaku Pencegahan

Obesitas

a. Pengetahuan Gizi

Salah satu penyebab timbulnya masalah gizi dan

perubahan kebiasaan makan anak usia sekolah adalah

pengetahuan gizi yang rendah. Pengetahuan sebagai salah

satu dari tiga komponen yang mempengaruhi perilaku manusia

karena pengetahuan adalah hasil dari obyek tertentu dan

sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui indera

mata dan telinga. Pendidikan kesehatan merupakan salah satu

proses untuk meningkatkan pengetahuan seseorang,

pengetahuan dapat meningkat karena informasi dari orang lain,

media massa elektronik seperti koran,leaflet, majalah, televisi


174

dan radio (Notoatmodko, 2010). Pengetahuan gizi dapat

diperoleh melalui pengalaman diri sendiri maupun orang lain

(Notoatmodjo, 2007). Pengetahuan gizi anak sangat

berpengaruh terhadap pemilihan makanan. Seorang anak akan

mempunyai gizi yang cukup jika makanan yang mereka makan

mampu menyediakan zat gizi sesuai yang diperlukan tubuh

(Skouteris et al., 2011).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua siswa

mempunyai pengetahuan tentang gizi yang meningkat saat

post 1 dan post test 2 dibandingkan saat pre test. Hal ini

menunjukkan bahwa ada perbedaan pengetahuan siswa pada

saat pre test dengan post test 1 dan post test 2 baik pada

kelompok perlakuan maupun kontrol. Peningkatan

pengetahuan gizi lebih tinggi pada kelompok kontrol

dibandingkan kelompok perlakuan. Hal ini terlihat dari hasil uji

Wilcoxon yang menunjukkan bahwa ada perbedaan

pengetahuan siswa tentang gizi antara pretest dengan pos test

1 dan post test 2.

Berdasarkan hasil uji Mann Whitney pada kelompok

perlakuan dan kontrol terdapat perbedaan pengetahuan

sebelum dan setelah intervesi. Hal ini membuktikan pada

kelompok perlakuan bahwa dengan intervensi enam bulan


175

menggunakan peer edukator gizi dapat meningkatkan

pengetahuan siswa.

Masalah gizi timbul karena ketidaktahuan atau kurang

informasi tentang gizi yang memadai (Syafiq,2007).

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu. Hal ini terjadi setelah

orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu,

yang terjadi melalui panca indera manusia, yakni penglihatan,

pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar

pengetahuan diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan

gizi dan kesehatan ialah pengetahuan tentang peran makanan

dan zat gizi, sumber-sumber zat gizi pada makanan, makanan

yang aman dimakan sehingga tidak menimbulkan penyakit dan

cara mengolah makanan yang baik agar zat gizi dalam

makanan tidak hilang, serta bagaimana cara hidup sehat

(Notoatmodjo, 1997).

Upaya pendidikan gizi di sekolah berpeluang besar untuk

berhasil meningkatkan pengetahuan tentang gizi di kalangan

masyarakat karena siswa sekolah diharapkan dapat menjadi

jembatan bagi guru dalam menjangkau orang tuanya. Guru

sebagai tenaga pendidik dalam proses belajar-mengajar

mempunyai pengaruh terhadap anak-anak didiknya yang

kadang-kadang lebih dituruti daripada orang tua. Materi

pelajaran tentang gizi yang diberikan harus menyajikan


176

kenyataan atau masalah yang dibutuhkan murid. Informasi gizi

perlu dinyatakan dalam istilah-istilah yang sederhana dan

mudah dikenal pula sehingga murid mudah menerimanya dan

mampu menggunakan pengetahuan tersebut secara efektif

(Didik Acmadi, 2015).

Penanaman pengetahuan merupakan salah satu tujuan

utama pendidikan kesehatan. Melalui penanaman pengetahuan

diharapkan pengetahuan tersebut dapat membentuk sikap yang

pada gilirannya akan memengaruhi perilaku. Upaya pendidikan

kesehatan yang didesain dengan baik dapat meningkatkan

status gizi dan memperbaiki perilaku sehat seseorang (Pickett

& Hanlon, 2009). (Gibney, Vorster, & Kok, 2002)(Gibney,

Vorster, & Kok, 2002)(Gibney, Vorster, & Kok, 2002)

Hasil uji uji Wilcoxon menunjukkan ada perbedaan

pengetahuan gizi siswa sebelum dan sesudah intervensi pada

kelompok perlakuan dengan nilai rerata perubahan yang lebih

tinggi daripada kelompok kontrol. Hal ini menunjukkan

pengetahuan gizi meningkat setelah intervensi melalui modul,

dan peer edukator gizi. Sesuai Notoatmodjo (2007b) yang

menyatakan bahwa pengetahuan merupakan kemampuan

seseorang untuk mengingat fakta, simbol, prosedur teknik dan

teori.
177

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Sulisnadewi

et al. (2012) bahwa pendidikan kesehatan keluarga efektif

terhadap kemampuan pengetahuan keluarga menjaga anak

diare pada kelompok perlakuan. Penelitian Mahdali (2013)

menyatakan ada peningkatan pengetahuan akibat edukasi gizi

pada remaja kelebihan berat badan/obesitas di Kota Gorontalo.

Penelitian Suryaputra & Nadhiroh (2012), menyatakan remaja

yang memiliki ilmu pengetahuan yang cukup tentang

memelihara gizi dan mengatur makan sebagian besar akan

terhindar dari kejadian masalah gizi berlebih. Penelitian

Podojoyo dkk (2012) di Kota Palembang melaporkan bahwa

terdapat perbedaan rata-rata konsumsi dan berat badan

sebelum dan setelah dilakukan konseling gizi selama 8 minggu.

Hasil penelitian Nurmasyita dkk (2015) menyatakan bahwa

peningkatan pengetahuan tentang gizi pada remaja kelebihan

berat badan dapat menurunkan IMT remaja.

Hal ini menunjukkan bahwa setelah edukasi kesehatan

dengan penerapan peer edukator gizi terhadap pencegahan

overweight sangat efektif. Setelah edukasi kesehatan dengan

penerapan peer edukator gizi. Pengetahuan gizi siswa yang

baik ini sangat didukung dengan self-efficacy memiliki

keyakinan tinggi untuk berubah menjadi lebih baik dalam

mengendalikan gaya hidup sehat pada anak. Pengetahuan gizi


178

siswa baik ini juga seiring dengan pengetahuan dan budaya

keluarga yang mengalami peningkatan dari bulan pertama

sampai keenam. Pengetahuan gizi keluarga sangat penting

dalam memelihara dan mengendalikan gaya hidup siswa,

sehingga akan berdampak pada penurunan berat badan

ataupun indeks massa tubuh (IMT) siswa.

Pengetahuan gizi terkait obesitas sangat penting dan

dibutuhkan dalam merubah perilaku anak. Perubahan

pengetahuan gizi pada kelompok perlakuan meningkat dari

bulan ke bulan. Hal ini disebabkan karena diawal kunjungan,

siswa telah diberikan modul kemudian diberikan intervensi

penyuluhan gizi kesehatan setiap kunjungan meliputi edukasi

kesehatan tentang makanan sehat dan bergizi, aktivitas fisik,

perilaku hidup sehat dan dampak kesehatan sehingga semua

memiliki pengetahuan yang baik dalam mencegah dan

mengendalikan pola hidup pada siswa overweight. Modul

sebagai panduan pola hidup sehat ini menjamin bahwa

keluarga dan siswa menerima informasi yang diperlukan untuk

mempertahankan kesehatan optimal siswa. Pola hidup sehat

menurut Notoatmodjo (2007b) adalah segala upaya untuk

menerapkan kebiasaan yang baik dalam kehidupan sehari-hari.

Semakin tinggi pengetahuan gizi seseorang maka akan

semakin memperhitungkan jenis dan jumlah makanan yang


179

dipilih untuk dikonsumsi. seseorang dengan pengetahuan gizi

rendah memilih makanan berdasarkan panca indera, tidak

berdasarkan nilai gizi makanan. Sedangkan pada orang

berpengetahuan gizi tinggi lebih banyak menggunakan

pertimbangan rasional dan pengetahuan tentang nilai gizi

makanan tersebut. Tingkat pengetahuan gizi seorang siswa

akan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku dalam memilih

makanan, perilaku yang didasari pengetahuan akan lebih

langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh

pengetahuan sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru.

Pemberian pendidikan kesehatan tentang pola hidup anak

sehat di sekolah merupakan tindakan promosi dan pencegahan

kesehatan dengan screening anak overweight dalam upaya

pelayanan kesehatan keluarga. Ruang lingkup pelayanan

kesehatan keluarga adalah melaksanakan tindakan sesuai

kebutuhan perkembangan keluarga, melakukan pemeliharaan

kesehatan di rumah (Home Health) dan melakukan

pendokumentasian sangat relevan dengan pemberian

pendidikan kesehatan dengan penerapan model peer edukator

gizi dan juga peran dan fungsi keluarga sebagai pendidik

dengan memberikan informasi kesehatan kepada keluarga cara

mengendalikan gaya hidup sehat pada anak overweight

sehingga keluarga mampu dan mandiri dalam memelihara anak


180

dalam upaya meningkatkan kesehatan dan kualitas hidup

siswa.

b. Sikap Gizi

Sikap gizi juga berperan dalam memenuhi gizi itu sendiri,

dimana sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk

bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu.

Sikap akan sangat berguna bagi seseorang, sebab sikap akan

mengarahkan perilaku secara langsung. Sikap terdiri dari sikap

postif dan sikap negatif. Sikap positif akan menumbuhkan

perilaku yang positif dan sebaliknya sikap negatif akan

menumbuhkan perilaku yang negatif saja seperti menolak,

menjauhi, meninggalkan, bahkan sampai hal-hal merusak.

Sikap positif anak usia sekolah terhadap kesehatan

kemungkinan tidak berdampak langsung pada perilaku anak

menjadi positif, tetapi sikap yang negatif terhadap kesehatan

hampir pasti berdampak pada perilakunya (McDonald et al.,

2003).

Berdasarkan uji Wilcoxon diperoleh nilai p<0,05 yang

berarti ada perbedaan sikap siswa tentang gizi antara

kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol saat post 1

dan post 2. Hal ini membuktikan pada kelompok perlakuan

bahwa dengan intervensi enam bulan menggunakan model

peer edukator gizi dapat meningkatkan sikap gizi siswa


181

overweigth. Dengan demikian sikap gizi siswa yang baik juga

akan memiliki kemampuan baik untuk mengendalikan gaya

hidup siswa.

Hal ini sesuai dengan penelitian Guptaet al. (2012) bahwa

melalui pendidikan kesehatan dalam mengedukasi anak

menggunakan modul, keluarga percaya dan sangat berguna

untuk menerima informasi kesehatan sehingga dapat

meningkatkan sikap gizi anak dalam pemilihan makanan yang

sehat. Penelitian yang dilakukan oleh Straker et al (2012)

terhadap remaja overweight di Australia selama 12 bulan

dengan pemberian edukasi dapat meningkatkan skor sikap

terhadap makanan. Penelitian Mahdali (2013) di Kota Gorontalo

menyatakan ada perubahan sikap kearah positif akibat edukasi

gizi pada remaja kelebihan berat badan/obesitas.

Hal ini disebabkan kelompok perlakuan berupa adanya

peer edukator gizi, sedangkan kelompok kontrol hanya

memperoleh modul saja tanpa peer edukator gizi. Pernyataan

ini didukung dengan penelitian yang menyebutkan bahwa peer

edukasi gizi berperan penting terhadap sikap anak terhadap

kepatuhan terhadap pola makan. Pada peer edukator gizi,

terjadi pendekatan personal teman sebaya yang berguna untuk

membantu individu memperoleh pengertian yang lebih baik

mengenai permasalahan gizi yang dihadapi dan membantu


182

untuk mengambil keputusan dalam mengatasi masalah gizi

tersebut. Dalam hal ini, subjek dimotivasi untuk melakukan

perubahan perilaku, termasuk dalam perubahan pola makan

dan kualitas diet status overweight.

Sikap terhadap pemilihan makanan merupakan

penggabungan antara sesuatu yang dipelajari dan dilihat,

contoh melalui berbagai iklan dan media massa serta sikap

terhadap makanan juga dipengaruhi oleh pengalaman dan

respon yang diperlihatkan oleh orang lain terhadap makanan

sejak ia masa anak-anak. Pengalaman yang diperoleh ada

yang dirasakan menyenangkan atau tidak menyenangkan. Hal

ini menyebabkan setiap individu dapat mempunyai sikap suka

dan tidak suka terhadap suatu makanan. Dalam hal ini

pendidikan gizi sangat diperlukan karena dapat membentuk

sikap mental dan perilaku positif terhadap gizi siswa yang

overweigth. Sikap bisa dipelajari, baik dari lingkungan keluarga

maupun masyarakat. Anak-anak belajar tentang sikap terhadap

gizi terutama dari keluarga mereka. Namun lingkungan juga

memengaruhi sikap seseorang. Melalui proses belajar, sikap

seseorang dapat berubah walaupun dalam waktu yang cukup

lama.

Edukasi melalui peer group lebih efektif jika anak

dikumpulkan dengan teman sebayanya atau sekelasnya agar


183

anak lebih merasa nyaman dan bebas dalam berdiskusi

sehingga dapat secara maksimal meningkatkan pemahaman

tentang jajanan sehat. Ayaz, dkk (2014) mendapatkan hasil

melalui penelitiannya bahwa nilai pre post test pada siswa

menunjukkan nilai yang signifikan (p<0,05) lebih tinggi pada

siswa yang bersekolah pada sekolah yang menerapkan

pembelajaran peer group dibanding sekolah yang menerapkan

latihan pembelajaran biasa (Ayaz, 2014).

Penelitian Rizona (2018) menyatakan ada pengaruh

edukasi dengan metode peer group terhadap peningkatan

sikap tentang jajanan sehat pada anak obesitas usia sekolah di

wilayah kerja Puskesmas Aur Duri tahun 2017.

c. Aktivitas Fisik

Anak-anak dan siswa obes sedikit bergerak/beraktifitas

daripada anak dengan berat badan normal. Kegiatan aktivitas

fisik sangat diperlukan oleh anak-anak. Dari situ anak belajar

menikmati beraktivitas fisik. Oleh karena itu peran orang tua

sangat besar dalam mencegah overweight pada anak. Orang

tua yang sering melakukan olah raga sering mengajarkan

anak-anak mereka untuk menyukai dan menikmati aktivitas

fisik. Sebaliknya, orang tua yang hanya menghabiskan

waktunya di rumah biasanya menyarankan anak-anaknya


184

untuk tetap di rumah juga, sehingga mereka memiliki waktu

lebih banyak untuk menonton TV dan melakukan aktivitas lain

yang kurang gerak.

Berdasarkan uji Wilcoxon diperoleh nilai p<0,05 yang

berarti ada perbedaan aktifitas fisik antara kelompok

perlakuan dengan kelompok kontrol saat post 1 dan post 2.

Berdasarkan hasil analisis terdapat perbedaan aktivitas fisik

siswa setelah intervensi pada kelompok perlakuan dan kontrol,

perubahan aktivitas menunjukkan bahwa terjadi peningkatan

menjadi 100% pada bulan keenam sedangkan aktivitas fisik

siswa kelompok kontrol mengalami penurunan. Hal ini

membuktikan bahwa ada pengaruh intervensi peer edukator

gizi terhadap aktivitas fisik siswa.

Aktivitas fisik merupakan salah satu bentuk penggunaan

energi dalam tubuh sehingga berkurangnya aktivitas akibat dari

kehidupan yang semakin modern dengan kemajuan teknologi

mutakhir akan menimbulkan kegemukan. Aktivitas fisik secara

teratur bermanfaat untuk mengatur berat badan dan

menguatkan sistem jantung serta pembuluh darah.

Aktivitas fisik khususnya olahraga dapat meningkatkan

kegiatan metabolisme zat-zat gizi dalam tubuh yang diikuti

dengan meningkatnya kebutuhan zat-zat gizi oleh tubuh

termasuk vitamin. Bila susunan makanan seimbang dalam jenis


185

dan jumlah, kebutuhan ini akan terpenuhi. Bila aktivitas fisik

dikurangi dibawah aktivitas fisik yang sudah biasa dilakukan,

maka produktifitas juga akan menurun. Kegiatan fisik akan

memacu berbagai sistem tubuh untuk bekerja sama dalam

suatu kesatuan. Oleh karena itu, melakukan kegiatan fisik

dapat menyelaraskan fungsi tubuh menjadi lebih optimal,

sehingga dapat menurunkan risiko kegemukan.

Peningkatan aktifitas pada anak gemuk bisa menurunkan

nafsu makan dan meningkatkan laju metabolisme. Latihan

aerobik teratur yang dikombinasikan dengan pengurangan

energi akan menghasilkan penurunan berat badan yang lebih

besar dibandingkan hanya dengan diet saja (Whitlock,

O’Connor, Williams, Beil, & Lutz, 2010).

Penelitian Mushtaq et al. (2011) menunjukkan gaya hidup

termasuk menonton televisi, bekerja pada komputer dan

bermain video game menunjukkan hubungan yang signifikan

dengan anak overweight. Overweight terjadi karena adanya

ketidakseimbangan energi yang masuk dengan yang keluar.

Banyaknya asupan energi dari konsumsi makanan yang dicerna

melebihi energi yang digunakan untuk metabolisme dan

aktivitas fisik sehari-hari. Kelebihan energi ini akan disimpan

dalam bentuk lemak pada jaringan lemak(Rosenbaum, King,

Law, King, & Evans, 1998)(Rosenbaum, King, Law, King, &


186

Evans, 1998)(Rosenbaum, King, Law, King, & Evans, 1998).

Seiring dengan meningkatnya taraf kesejahteraan masyarakat

jumlah penderita kegemukan (overweight) cenderung

meningkat.

Peningkatan pendapatan masyarakat pada kelompok

sosial ekonomi tertentu terutama di perkotaan, menyebabkan

adaya perubahan pola makan dan pola aktifitas yang

mendukung terjadinya peningkatan jumlah penderita

kegemukan. Namun apabila dibandingkan dengan income

perkapita di Indonesia, khususnya di daerah Sulawesi yang

rendah menunjukan ketidaksesuaian antara kejadian

overweight yang cenderung terjadi pada golongan dengan

sosial ekonomi dengan tahapan awal yakni proporsi orang

dengan BMI yang tinggi meningkat pada masyarakat kaya,

sementara didaerah miskin kejadian kurang gizi masih menjadi

perhatian.

Hal ini menyebabkan perubahan pada pola makan

terpaparnya stress, dan menurunnya aktivitas fisik,

meningkatnya kegiatan merokok dan konsumsi alkohol, dimana

gaya hidup tersebut menjadi faktor risiko terjadinya obesitas.

Bagaimanapun juga, dinegara-negara berkembang, kelangkaan

dan kekurangan pangan masih menjadi masalah, namun

kecenderungan akan kejadian penyakit tidak menular pada


187

masyarakat miskin perlu menjadi perhatian. Pada penelitian

Sawaya di Brazil melaporkan kejadian obesitas sebesar 6,4%

pada anak laki-laki dan 8,7% pada anak perempuan dari 2.411

subyek yang bermukim di kota-kota pondok. Terdapat 30%

pravalensi kurang gizi dan 78-90% anak stunting, namun

secara bersamaan diketahui bahwa pravelensi overweight

cukup tinggi yakni masing-masing 16,7% dan 14,1%(Foster et

al., 2008).

Penyebab pravelensi overweight tinggi pada populasi

sosial ekonomi rendah adalah perubahan gaya hidup dan pola

makan desa menjadi lebih modern yang tinggi akan lemak dan

rendah serat. Mereka yang biasanya bekerja menjadi pedagang

kaki lima dengan aktivitas yang tinggi telah berubah menjadi

pedagang kaki lima dengan aktivitas tinggi, faktor psikososial,

dan reaksi fisiologi tubuh, secara faktor genetik (Crawford &

Jeffery, 2005).

Prevalensi overweight cenderung lebih tinggi pada

masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah baik di

Amerika Serikat dan di negara lainnya. Hubungan terbalik

antara sosial ekonomi status (SES) dan kejadiannya overwight

pada orang dewasa dan anak-anak, dicontohkan pada studi

Minesota heart. Orang-orang dengan sosial ekonomi tinggi

lebih perduli dengan kontrol berat badan mereka, termasuk


188

dengan exercise dan cenderung makan makanan rendah lemak

pada studi National Heart, lung and blood institute growth and

health menunjukan bahwa SES dan overwight diasosiasikan

dengan suku kaukasian anak usia 9 dan 10 tahun serta ibunya,

tetapi tidak pada anak Amerika dan Afrika Wanita Afrika dari

segala usia lebih banyak mengalami obesitas dibandingkan

wanita suku kaukasian(Crawford & Jeffery, 2005).

Kejadian overweight pada siswa yang tingkat aktivitasnya

ringan lebih besar dari pada siswa yang aktivitasnya berat. Hal

ini sejalan dengan penelitian Amaliah and Pojunarti (2013)

menunjukkan bahwa proporsi persen lemak tubuh tinggi lebih

banyak pada responden dengan tingkat aktivitas sedang.

Namun tidak ada hubungan yang bermakna antara aktivitas fisik

dengan persen lemak tubuh.

Penelitian Dwi Oktaviani (2012) yang menunjukkan bahwa

ada hubungan yang bermakna antara aktivitas fisik dengan

status gizi. Sebagian besar energi yang masuk melalui

makanan pada anak dan orang dewasa seharusnya digunakan

untuk aktivitas fisik. Kurangnya aktivitas fisik menyebabkan

banyak energi yang tersimpan sebagai lemak, sehingga orang-

orang yang kurang melakukan aktivitas cenderung menjadi

gemuk. Ini berarti, jika seseorang dapat mengatur pola makan

dan keseimbangan energi yang masuk dengan yang


189

dikeluarkan maka kejadian overweight dapat dihindarkan. Hal ini

sangat tergantung pada kemampuan pengaturan diri untuk

mengendalikan diri sendiri yang sering disebut dengan self

regulated behavior.

Peningkatan aktifitas pada anak gemuk bisa menurunkan

nafsu makan dan meningkatkan laju metabolisme. Latihan

aerobik teratur yang dikombinasikan dengan pengurangan

energi akan menghasilkan penurunan berat badan yang lebih

besar dibandingkan hanya dengan diet saja (Rutledge, 2011).

Pada penelitian ini aktivitas yang biasa dilakukan di lingkungan

rumah adalah bersepeda dan bermain sepak bola; sedangkan

di rumah terkadang anak bermain video game, komputer dan

menonton TV. Pada aktivitas fisik dapat dilihat terjadi

penurunan aktivitas fisik pada bulan ketiga intervensi karena

pengaruh musim hujan, sehingga aktivitas anak lebih banyak di

rumah dengan kegiatan bermain game atau menonton TV yang

juga dapat memengaruhi perubahan IMT siswa.

Penelitian Mushtaq et al. (2011) menunjukkan gaya hidup

termasuk menonton televisi, bekerja pada komputer dan

bermain video game menunjukkan hubungan yang signifikan

dengan anak overweight. Penelitian Saffari,dkk (2013),

melaporkan remaja Iran yang diberi penyuluhan terpadu

selama 3 bulan dapat meningkatkan skor gaya hidup dari 123.7


190

menjadi 131.8 (nilai p < 0,005) dibandingkan sebelum

penyuluhan. Penelitian Straker et al (2012) terhadap remaja

overweight di Australia selama 12 bulan dengan pemberian

edukasi dapat meningkatkan aktifitas sedentary (Behavioural

Regulations and Exercise Scale (BREQ).

3. Pengaruh Peer Edukator Gizi Terhadap Pola Makan

a. Kebiasaan Makan

Menurut Bobak (2005) kebiasaan makan sehat merupakan

perilaku konsumsi makan sehari – hari yang sesuai dengan

kebutuhan gizi setiap individu untuk hidup sehat dan produktif.

Kebiasaan makan tidak sehat adalah kebiasaan mengonsumsi

makanan yang tidak memberikan semua zat-zat gizi esensial

seperti karbohidrat, lemak, dan protein yang dibutuhkan dalam

metabolisme tubuh (Sarintohe dan Prawitasari, 2006).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua siswa

mempunyai kebiasaan makan saat post test 1 dan post test 2

yang menurun dibandingkan saat pre test. Hal ini menunjukkan

bahwa ada perbedaan kebiasaan makan pada pre test dengan

post test 1 dan post test 2 baik pada kelompok intervensi

maupun kontrol. Hasil uji Wilcoxon diperoleh nilai p<0,05 yang

berarti ada perbedaan kebiasaan makan siswa antara

kelompok intervensi dengan kelompok kontrol saat post 1 dan

post 2.
191

Faktor internal yang memengaruhi kebiasaan makan

adalah faktor fisik dan faktor psikologis. Sedangkan faktor –

faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku makan adalah

budaya, ekonomi, norma sosial, pengetahuan, dan media atau

periklanan (Barasi, 2007). Faktor internal yang memengaruhi

perilaku makan adalah faktor fisik. Perubahan fisik yang terjadi

khususnya berat badan dan bentuk tubuh meningkatkan risiko

seseorang mencemaskan berat badannya. Perilaku makan

yang sehat dapat diwujudkan dengan memilih makanan yang

sehat dan seimbang nilai gizinya. Perilaku makan yang sehat

juga berhubungan dengan diet yang direkomendasikan atau diet

yang sehat yaitu dengan makan makanan rendah lemak, tinggi

kadar serat, dan memperbanyak konsumsi sayur dan buah-

buahan.

Kebiasaan makan tidak sehat seperti diet, binge eating,

kebiasaan makan pada malam hari dapat merusak kesehatan

dan kesejahteraan psikologis individu. Perilaku makan tidak

sehat juga didefinisikan sebagai kebiasaan makan seseorang

yang dapat merugikan dalam metabolisme tubuh.

Kebiasaan makan yang buruk dapat menjadi penyebab

obesitas. Keadaan ini terjadi jika makanan sehari-harinya

mengandung energi yang melebihi kebutuhan seseorang yang

bersangkutan. Mengonsumsi makanan berkalori tinggi seperti


192

makanan cepat saji, makanan yang dibakar, dan kudapan

memiliki andil dalam peningkatan berat badan. Makanan tinggi

lemak biasanya tinggi kalori. Minuman bersoda, kudapan,

permen, dan makanan penutup dapat juga menyebabkan

terjadinya peningkatan berat badan. Makanan dan minuman

seperti ini biasanya memiliki kandungan kalori dan gula atau

garam yang tinggi.

Pengaruh teman sebaya pada masa anak juga sangat

besar dalam terjadinya perilaku makan yang tidak baik. Anak

lebih sering berada di luar rumah dan bersama dengan teman

sebaya sehingga memungkinkan anak untuk mengonsumsi

makanan cepat saji. Karena anak cenderung untuk mengikuti

tren dan budaya yang sama dengan teman sebayanya.

Banyak anak khususnya anak putri menginginkan bentuk

tubuh yang sempurna sehingga anak putri sering tidak percaya

diri dengan bentuk tubuh karena dianggap kurang atau tidak

ideal baik oleh orang lain maupun oleh dirinya sendiri. Hal itu

yang membuat anak jadi tidak mau memperhatikan asupan

makanan yang bergizi karena yang bergizi tersebut mereka

anggap membuat tubuh menjadi gemuk atau melar.

Kehidupan modern menawarkan makanan siap saji antara

lain konsumsi makanan tinggi kalori, tinggi lemak, tinggi

kolesterol, tinggi garam, rendah serat, atau mengonsumsi


193

makanan cepat saji yang saat sekarang ini banyak sekali

ditawarkan kepada masyarakat. Pola makan tradisional yang

tadinya tinggi karbohidrat, tinggi serat kasar dan rendah lemak

tidak lagi diminati oleh masyarakat kita saat ini, apalagi

kalangan anak yang lebih mengikuti budaya ala barat.

Perubahan pola kebiasaan hidup sebagai dampak perbaikan

tingkat hidup dan kemajuan teknologi juga mendorong

terjadinya perubahan pola makan dan kebiasaan makan.

Seperti kenaikan penghasilan keluarga secara bertahap dapat

memengaruhi pola makan dan kebiasaan makan. Kemampuan

daya beli yang lebih mendorong untuk dapat mengonsumsi

berbagai jenis makanan yang diinginkan.

Kebiasaan makan karena gaya hidup dan kehidupan sosial

anak yang cenderung sering bersama dengan teman sebaya ini

dapat terjadi dengan adanya tren makanan cepat saji, yang

sangat memengaruhi keinginan untuk mengonsumsinya. Faktor

psikologis memengaruhi seseorang dalam pemilihan makanan

dan akan memengaruhi perilaku makan seseorang apakah

perilaku makan yang sehat atau yang tidak sehat. Semakin

baik gambaran psikologis seseorang maka akan baik juga

perilaku seseorang terhadap makanan, dan sebaliknya. Faktor

psikologis yang memengaruhi perilaku makan seseorang adalah

ketidakpuasan citra tubuh yang negatif menunjukkan harga diri


194

yang rendah dan menjadi salah satu penyebab timbulnya

konsep diri yang kurang baik.

Orangtua harus membantu anak mempertahankan berat

badan agar tetap ideal, dengan cara: (1) Memberikan dukungan

dan perhatian pada anak yang kegemukan atau obesitas, (2)

Mengatur jadwal penggunaan waktu anak untuk menonton

televisi dan main game, (3) Mencari pekerjaan fisik yang disukai

anak, (4) Makan bersama keluarga di meja makan, (5) Tidak

memberi makanan sebagai hadiah atau hukuman, (6)

Melibatkan anak sewaktu memilih makanan di mall atau toko

grosir makanan, (7) Mengajari anak untuk memilih makanan

kecil yang sehat dan memberikan alasan-alasannya.

b. Kebiasaan Makan Cemilan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua siswa

mempunyai kebiasaan makan cemilan saat post test 1 dan post

test 2 yang menurun dibandingkan saat pre test. Hal ini

menunjukkan bahwa ada perbedaan kebiasaan makan cemilan

pada pre test dengan post test 1 dan post test 2 baik pada

kelompok intervensi maupun kontrol. Penurunan kebiasaan

makan cemilan lebih tinggi pada kelompok intervensi

dibandingkan kontrol.

Hasil uji Wilcoxon diperoleh nilai p<0,05 yang berarti ada

perbedaan kebiasaan makan cemilan antara kelompok


195

intervensi dengan kelompok kontrol saat post 1 dan post 2.

Anak-anak suka jajan jenis makanan ringan (cemilan) seperti

kue-kue, permen dan lain-lain, sedangkan sayur-sayuran dan

buah-buahan jarang dikonsumsi sehingga dalam diet mereka

rendah serat, zat besi dan vitamin C. Makanan cemilan dapat

menurunkan selera makan sehingga anak yang terlalu banyak

mengonsumsi makanan ringan biasanya akan makan dengan

porsi yang lebih sedikit, bahkan sering tidak makan. Beberapa

studi mengungkapkan bahwa cemilan yang dikonsumsi anak

pada umumnya rendah serat, kosong kalori, rendah vitamin A,

kalsium dan besi. Kebiasaan anak mengonsumsi makanan

ringan diikuti dengan gaya hidup sedentary (aktivitas kurang).

Mengonsumsi makanan ringan sambil menonton televisi dapat

memicu terjadinya kelebihan berat badan.

c. Kebiasaan Jajan

Makanan jajanan merupakan makanan atau minuman yang

terlebih dahulu telah disiapkan atau dimasak di tempat

produksi/dirumah atau di tempat berjualan, sehingga siap

dikonsumsi yang dijual di tempat umum, Jenis makanan jajanan

yang sering dan banyak dikonsumsi, diantaranya bakso, mie

ayam, siomay, batagor, tahu bakso dan berbagai jenis gorengan,


196

soto, bakmi goreng dan rebus, coklat, minuman ringan dengan

berbagai merek dan susu instan (Imtihani, 2013).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua siswa

mempunyai kebiasaan jajan yang menurun saat post 1 dan post

test 2 dibandingkan saat pre test. Hal ini menunjukkan bahwa

ada perbedaan kebiasaan jajan pada saat pre test dengan post

test 1 dan post test 2 baik pada kelompok intervensi maupun

kontrol. Penurunan kebiasaan jajan lebih tinggi pada kelompok

intervensi dibandingkan kelompok kontrol. Hasil uji Wilcoxon

diperoleh nilai p<0,05 yang berarti ada perbedaan kebiasaan

jajan antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol

saat post 1 dan post 2.

Makanan jajanan mudah didapatkan dikantin sekolah dan

pedagang didepan gerbang sekolah dan harga makanan jajanan

yang relatif terjangkau dengan besar uang saku yang

dikeluarkan untuk membeli makanan jajanan. Pada umumnya

baik western fast food maupun makanan jajanan local

mengandung lemak, garam, dan energi yang tinggi, tetapi

kandungan seratnya rendah (Imtihani, 2013).

Besarnya uang saku yang diberikan kepada siswa dan

kurangnya kontrol dari orang tua mengakibatkan siswa sering

mengonsumsi makanan jajanan dan makanan cepat saji yang


197

dapat berdampak tidak baik pada kesehatan anak dimasa

depan.

Teman sebaya di sekolah dapat membentuk pola makan

anak keikutsertaan teman sebaya dalam memberikan saran

tentang makanan yang dimakan oleh siswa. Intervensi yang

diberikan berupa pendidikan kesehatan dengan pendekatan peer

educator gizi ini diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif

untuk meningkatkan sikap anak overweight tentang jajanan

sehat, sehingga anak mampu menetapkan makanan dan

minuman yang tepat sebagai jajanan di sekolah.

d. Kebiasaan Minum Soft Drink

Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua siswa

mempunyai kebiasaan kebiasaan minum soft drink saat post test

1 dan post test 2 yang menurun dibandingkan saat pre test. Hal

ini menunjukkan bahwa ada perbedaan kebiasaan minum soft

drink pada pre test dengan post test 1 dan post test 2 baik pada

kelompok intervensi maupun kontrol. Penurunan kebiasaan

kebiasaan minum soft drink lebih tinggi pada kelompok intervensi

dibandingkan kelompok kontrol. Hasil uji Wilcoxon diperoleh nilai

p<0,05 yang berarti ada perbedaan kebiasaan minum soft drink

antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol saat post

1 dan post 2.
198

Berbagai faktor diduga turut menyumbang pada

peningkatan angka obesitas di dunia. Selain faktor genetik, pola

makan yang kaya kalori dan jarang berolahraga diduga berperan

penting dalam peningkatan kasus kegemukan di dunia. Salah

satu bentuk minuman yang digemari saat ini adalah soft drink

atau minuman ringan. Soft drink merupakan minuman dengan

pemanis yang umum ditemui dimana-mana. Salah satu bentuk

soft drink yang biasa ditemui adalah minuman bersoda.

Sayangnya soft drink memiliki nilai gizi yang rendah.

Soft drink merupakan minuman berkarbonasi yang diberi

tambahan berupa bahan perasa dan pemanis seperti gula.

Konsumsi soft drink memiliki dampak buruk terhadap kesehatan

dan kalangan siswa cenderung mengonsumsi minuman ini.

Konsumsi soft drink dapat dipengaruhi oleh faktor pengetahuan

dimana pengetahuan memiliki pengaruh pada perkembangan

perilaku siswa. Selain itu, soft drink identik dengan minuman

cepat saji berkalori tinggi. Keduanya merupakan bentuk

minuman yang dapat menambah risiko kegemukan jika

dikonsumsi terus menerus.

Sebuah penelitian menyimpulkan bahwa terdapat interaksi

kuat antara faktor pola makan dan genetik seseorang.

Seseorang dengan gen kegemukan lebih rentan untuk menjadi

gemuk, akibat dari minuman berpemanis atau soft drink.


199

Kegemukan bukanlah sebuah 'nasib' yang tidak dapat diubah.

Peningkatan risiko pada seorang dengan gen kegemukan bisa

ditekan dengan pemilihan makanan dan minuman yang lebih

sehat. 

Perlu ditekankan bahwa untuk memecahkan masalah

kegemukan diperlukan pendekatan multifaktor. Perubahan pola

makan dan peningkatan aktivitas merupakan langkah awal yang

baik. Pola makan yang rendah lemak, kaya buah dan sayuran,

ditambah pengurangan konsumsi soft drink merupakan

kombinasi yang tepat bagi siswa yang ingin mempertahankan

berat badan ideal dan mencegah terjadinya kegemukan.

4. Pengaruh Peer Edukator Gizi Terhadap Asupan Gizi

Asupan zat gizi dalam penelitian ini digambarkan dengan besarnya

asupan energi, protein, karbohidrat, lemak, dan serat.

a. Asupan Energi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua siswa

mempunyai asupan energi saat post test 1 dan post test 2 yang

menurun dibandingkan saat pre test. Hal ini menunjukkan bahwa

ada perbedaan asupan energi pada pre test dengan post test 1

dan post test 2 baik pada kelompok intervensi maupun kontrol.

Tingginya asupan energi disebabkan oleh kebiasaan

makan. Kebiasaan makan merupakan faktor penting yang

mempengaruhi status gizi dan kesehatan. Variasi makanan


200

diperkirakan dapat mengurangi risiko terhadap penyakit dan

pada beberapa kasus dapat mencegah penyakit. Kebiasaan

makan mencerminkan terjadinya kelebihan asupan dan penyakit

akibat gizi (Atmarita 2005).

Asupan energi dan lemak dari fast food juga menyumbang

terhadap tingginya asupan energi dan lemak pada kelompok

perlakuan. Dijumpai sebagian besar kasus memiliki kebiasaan

jajan fast food > 3 kali/minggu. Kebiasaan mengonsumsi

makanan jajanan yang yang mengandung tinggi kalori dan lemak

ditambah dengan aktivitas fisik yang kurang selama

menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan energi.

Menurut Barasi (2007), ketidakseimbangan antara asupan

dan keluaran energi akan mengakibatkan pertambahan berat

badan sehingga terjadi perubahan bentuk tubuh yang awalnya

kurus menjadi gemuk atau sebaliknya. Terjadinya overweight

pada anak disebabkan asupan energi yang melebihi kebutuhan

energi anak. Hal ini bisa disebabkan oleh ketidakseimbangan

antara jumlah energi yang masuk ke dalam tubuh melalui

makanan dengan energi yang digunakan untuk melakukan

kegiatan dan aktivitas fisik (Imam, 2013).

Pada usia anak dan remaja terjadi proses pertumbuhan

jasmani yang pesat serta perubahan bentuk dan susunan

jaringan tubuh, disamping aktivitas fisik yang tinggi. Besar


201

kecilnya angka kecukupan energi sangat dipengaruhi oleh lama

serta intensitas kegiatan jasmani tersebut.

Penelitian ini sesuai dengan penelitian Malonda (2013) di

Kecamatan Langowan Barat, Manado yang menyatakan bahwa

ada hubungan asupan energi dengan status gizi. Asupan energi

merupakan faktor yang memengaruhi terjadinya gizi lebih. Gizi

lebih merupakan dampak dari konsumsi energi yang berlebihan.

Konsumsi pangan yang berlebihan akan menyebabkan

penumpukan energi yang kemudian disimpan dalam tubuh

sebagai lemak, sehingga dari waktu ke waktu tubuh akan

mengalami peningkatan berat badan.

Beberapa teori menjelaskan mekanisme asupan energi

dalam hubungannya dengan gizi lebih. Kelebihan energi dari

konsumsi makanan sumber energi akan disimpan sebagai

lemak. Penambahan lemak tubuh akibat kelebihan asupan

energi ini dapat mengakibatkan terjadinya berat badan berlebih.

Hasil penelitian di Cina pada anak 7-17 tahun menyatakan

terdapat hubungan positif antara asupan energi dan gizi lebih

dimana risiko gizi lebih akan meningkat pada anak yang

mengonsumsi energi lebih tinggi. Dalam penelitian tersebut

diungkapkan bahwa anak gizi lebih mengonsumsi lebih tinggi

energi terutama dari protein dan lemak dibandingkan anak gizi

normal (Li et al, 2007).


202

b. Asupan Karbohidrat

Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua siswa

mempunyai asupan karbohidrat saat post test 1 dan post test 2

yang menurun dibandingkan saat pre test. Hal ini menunjukkan

bahwa ada perbedaan asupan karbohidrat pada pre test dengan

post test 1 dan post test 2 baik pada kelompok intervensi

maupun kontrol. Asupan karbohidrat lebih tinggi pada kelompok

kontrol dibandingkan kelompok intervensi. Tingginya asupan

karbohidrat pada kelompok kasus kemungkinan disebabkan oleh

kebiasaan makan. Kebiasaan makan merupakan faktor penting

yang memengaruhi status gizi dan kesehatan. Variasi makanan

diperkirakan dapat mengurangi risiko terhadap penyakit dan

pada beberapa kasus dapat mencegah penyakit. Kebiasaan

makan mencerminkan terjadinya kelebihan asupan gizi.

Asupan karbohidrat juga menjadi salah satu penyebab

terjadinya overweight pada siswa, ini dapat terjadi akibat dari

mengonsumsi makanan tinggi kalori dan tinggi karbohidrat.

Asupan karbohidrat yang berlebihan dan berlangsung lama akan

mengakibatkan terjadinya gizi lebih yang berkaitan dengan

peningkatan kadar lemak. Pemasukan kalori yang berlebih akan

disimpan dalam bentuk trigliserida. Sedangkan asupan protein

yang tinggi bila melebihi kebutuhan maka protein tidak disimpan

dalam tubuh tetapi akan dipecah menjadi asam amino yang


203

dapat digunakan untuk sintesis glukosa glukogenik dan juga

digunakan untuk sintesis asam lemak yaitu asam amino

ketogenik. Sehingga asupan karbohidrat yang tinggi dapat

mengakibatkan obesitas.

c. Asupan Lemak

Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua siswa

mempunyai asupan lemak saat post test 1 dan post test 2 yang

menurun dibandingkan saat pre test. Hal ini menunjukkan bahwa

ada perbedaan asupan lemak pada pre test dengan post test 1

dan post test 2 baik pada kelompok intervensi maupun kontrol.

Asupan lemak lebih tinggi pada kelompok kontrol dibandingkan

kelompok intervensi. Makanan berlemak memiliki energy density

yang tinggi namun tidak mengenyangkan. Selain itu makanan

berlemak memiliki rasa lezat (umami flavor) sehingga dapat

meningkatkan selera makan dan akan terjadi konsumsi

berlebihan.

Hal ini kemungkinan disebabkan karena makanan yang

dikonsumsi mengandung kalori dan lemak yang tinggi tetapi

rendah serat. Hasil diet quality score method menunjukkan

bahwa sebagian besar siswa jarang mengonsumsi sayur dan

buah tetapi memiliki kebiasaan mengonsumsi jajanan. Makanan

pokok yang paling sering dikonsumsi adalah nasi. Jenis lauk

pauk yang paling sering dikonsumsi adalah ikan basah dan


204

daging. Jenis buah yang paling sering dikonsumsi adalah jeruk

dan pisang, sedangkan sayuran yang paling sering dikonsumsi

adalah bayam dan kangkung. Jajanan yang paling sering

dikonsumsi adalah roti dan bakso.

Orang dengan asupan tinggi lemak mempunyai risiko

peningkatan berat badan lebih besar dibanding kelompok

dengan asupan rendah lemak. Keadaan ini disebabkan karena

makanan berlemak mempunyai energi densiti lebih besar dan

lebih tidak mengenyangkan serta mempunyai efek termogenesis

yang lebih kecil dibandingkan makanan yang banyak

mengandung protein dan karbohidrat. Makanan berlemak juga

mempunyai rasa yang lezat sehingga akan meningkatkan selera

makan yang akhirnya terjadi konsumsi yang berlebihan. Lemak

mempunyai kapasitas penyimpanan yang tidak terbatas.

Kelebihan asupan lemak tidak diiringi peningkatan oksidasi

lemak sehingga sekitar 96% lemak akan disimpan dalam

jaringan lemak. Kecenderungan kegemukan meningkat seiring

dengan meningkatnya konsumsi makanan berlemak. Makanan

berlemak mengandung dua kali lebih banyak dibandingkan

protein dan akan memberikan sumbangan energi yang lebih

besar. Konsumsi makanan yang digoreng (berminyak)

berhubungan positif terhadap kegemukan.


205

d. Asupan Protein

Protein merupakan zat gizi penghasil energi yang tidak

berperan sebagai sumber energi, tetapi berfungsi untuk

mengganti jaringan dan sel tubuh yang rusak. Protein adalah

suatu zat makanan yang sangat penting bagi tubuh karena

berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh, zat pembangun dan

pengatur. Protein dapat digunakan sebagai bahan bakar apabila

keperluan energi tubuh tidak terpenuhi oleh karbohidrat dan

lemak. Protein adalah sumber asam amino yang tidak dimiliki

oleh lemak atau karbohidrat. Kecukupan protein akan dapat

terpenuhi apabila kecukupan energi telah terpenuhi (Soekirman,

2005).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua siswa

mempunyai asupan protein saat post test 1 dan post test 2 yang

menurun dibandingkan saat pre test. Hal ini menunjukkan bahwa

ada perbedaan asupan protein pada pre test dengan post test 1

dan post test 2 baik pada kelompok intervensi maupun kontrol.

Asupan protein lebih tinggi pada kelompok intervensi

dibandingkan kelompok kontrol.

e. Asupan Serat

Konsumsi serat makanan merupakan jumlah asupan dan

jenis bahan dari sumber serat yang dikonsumsi perhari. Jumlah

serat makanan yang dikonsumsi tidak boleh berlebihan,


206

meskipun mengonsumsinya sangat dianjurkan. Dietary

Guidelines for American menganjuran untuk mengonsumsi

makanan yang mengandung serat dan pati dalam jumlah yang

tepat (25-35 gram/hari).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua siswa

mempunyai asupan serat saat post test 1 dan post test 2 yang

meningkat dibandingkan saat pre test. Hal ini menunjukkan

bahwa ada perbedaan asupan serat pada pre test dengan post

test 1 dan post test 2 baik pada kelompok intervensi maupun

kontrol.

Sayuran dan buah merupakan sumber serat tinggi yang

dapat mengurangi absorpsi lemak dan kolesterol darah.

Konsumsi makanan berserat tinggi berefek rasa kenyang

sehingga dapat menurunkan nafsu makan dan menurunkan

berat badan. Serat larut air pada sayuran dan buah dapat

mengikat substansi lemak dan mencegah penyerapannya dalam

usus, sehingga secara efektif dapat menurunkan kandungan

kolesterol darah.
207

D. Keterbatasan Penelitian

Beberapa keterbatasan pada model pendampingan intervensi peer

edukator gizi sebagai model intervensi dalam upaya perubahan

perilaku penurunan kejadian overweight sebagai berikut:

1. Adanya perbedaan jadwal pelaksanaan edukasi sebaya yang telah

disepakati dengan pihak sekolah sehingga peneliti kesulitan dalam

mengkondisikan jadwal sekolah yang selalu berubah-ubah.

2. Adanya potensi recall bias pada instrumen food recall 24 jam dan

food frecuency questionare saat pengisian formulir dapat juga

berkontribusi terhadap asupan makan anak. Peneliti memberikan

contoh menu makanan (food model) pada saat merecall asupan

makan anak.

3. Alokasi randomisasi antar kelompok tidak dilakukan di awal dan

tidak di blinded karena kelompok intervensi dan kelompok kontrol

sudah ketahui sejak awal.

E. Keunggulan dan Keberlanjutan Penelitian

1. Penelitian ini menggunakan teman sebaya sebagai mediator atau

fasilitator serta role model dalam pemberian edukasi gizi kesehatan

disertai penerapan transtheoritical model (teori perubahan). Media

yang digunakan adalah media cetak dalam bentuk modul dan

leaflet.

2. Keberhasilan peer edukator gizi dalam meningkatkan pengetahuan

dan sikap gizi anak usia sekolah dengan gizi lebih


208

dapat menjadi paket layanan kesehatan sekolah selain masalah gizi

lebih. Hal ini merupakan strategi intrevensi yang bervariasi

sehingga mendorong untuk mengembangkan peer edukator gizi

tentang masalah lain misalnya peer edukator gizi seimbang dan

lain-lain. Tugas kader kesehatan sekolah akan lebih spesifik

sehingga penguasaan materi akan lebih mudah dipahami. Sebagai

contoh pelatihan dokter kecil dengan waktu yang singkat tertapi

materi sangat banyak sehingga anak juga tidak dapat mengadopsi

ilmu yang diberikan. Tugas peer edukator gizi yang lain dalam

meningkatkan layanan kesehatan adalah penimbangan berat badan

setiap bulan (sebelumnya enam bulan sekali) sehingga akan lebih

cepat mendeteksi masalah gizi yang terjadi.

3. Hasil penelitian peer edukator gizi ini berdampak positif terhadap

perilaku gizi anak usia sekolah, jika metode yang digunakan sesuai

dengan karakteristik dan kebutuhan anak usia sekolah. Edukasi gizi

sebaya dalam meningkatkan perilaku gizi perlu diintegrasikan ke

dalam kegiatan Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) yang menjadi

bagian dari kebijakan pelayanan kesehatan pada anak usia

sekolah, sehingga kegiatan edukasi gizi sebaya dapat berlangsung

berkesinambungan dan mampu mempertahankan perubahan

perilaku makan sehat pada anak usia sekolah. Selain itu perlu

dilakukan optimalisasi pelayanan masyarakat dalam meningkatkan

pemberdayaan keluarga dan kelompok berisiko.


209

4. Implementasi edukasi sebaya saat ini banyak dilakukan pada

remaja, sehingga dengan adanya hasil penelitian ini dapat

mendukung untuk mengembangkan aplikasi edukasi gizi sebaya

pada tatanan anak usia sekolah dasar. Tenaga kesehatan perlu

melakukan eksplorasi secara berkelanjutan dalam

mengembangkan metode dan media yang sesuai dalam

pelaksanaan edukasi gizi sebaya bagi anak usia sekolah dasar.

Selain itu diperlukan pengembangan rancangan pelaksanaan

edukasi gizi sebaya bagi anak usia sekolah dalam setting sekolah

atau masyarakat, dikarenakan dibutuhkan persiapan dan teknis

yang berbeda.

5. Gizi lebih merupakan hal yang baru dan model pendampingan

intervensi peer edukator gizi merupakan ilmu untuk mengendalikan

gizi lebih. Hasil penelitian menjadi langkah awal untuk memusatkan

perhatian pada intervensi kelompok risiko atau kelompok gizi lebih

sehingga diharapkan untuk menerapkan bentuk-bentuk intervensi

gizi lebih. Strategi pemberdayaan merupakan salah satu solusi bagi

pencegahan gizi lebih.

6. Model pendampingan intervensi peer edukator gizi dapat menjadi

inspirasi atau rujukan bagi peneliti selanjutnya atau acuan membuat

modul-modul, buku panduan dan media-media pembelajaran

yang lebih menarik untuk pendidikan gizi di sekolah, keluarga atau 

di masyarakat.
210

7. Penelitian selanjutnya ini dapat menjadi dasar bagi peneliti yang

berminat untuk melakukan penelitian lanjutan dari penelitian ini

dalam melakukan penelitian yang serupa pada setting atau dengan

desain penelitian yang berbeda, penelitian dengan jangka waktu

yang lebih lama, penelitian dalam meningkatkan dukungan

keluarga terhadap pencegahan obesitas dengan metode edukasi

gizi dan tahapan yang sama atau penelitian serupa dengan analisis

yang lebih kompleks.


211

Model Pendampingan Intervensi Peer Edukator Gizi (PEG) Upaya Pencegahan Obesitas Pada Anak Usia
Sekolah Dasar (AUS)

Pelayanan Kesehatan
Komunitas, Keluarga, Sekolah :
Identifikasi Peer Group baik
Kelompok Berisiko - Kemampuan peer
Kelompok Intervensi dan
Pengembangan Model Kelompok Kontrol edukator gizi
Pendampingan Intervensi menjalankan perannya
TAHAP IMPLEMENTASI MODEL - Pendidikan gizi
Peer Edukator Gizi
terintegrasi kurikulum
- Keaktifan UKS
- Supervisi berkala
ANAK USIA terlaksana
Strategi Intervensi : SEKOLAH Modul, Leaflet dan
- Edukasi DASAR (9- Pendampingan
- Pemberdayaan 11 TAHUN)
- Proses Kelompok

Edukasi Gizi Sebaya Upaya Evaluasi : Identifikasi


Perubahan Perilaku Gizi,
Pencegahan Obesitas AUS Overweight :
Pola Makan, Aktifitas
-Perilaku Giz tentang
Fisik dan Asupan Gizi
Prinsip Gizi Seimbang
Faktor Penguat : -Pola Makan Sehat
Guru, Keluarga -Aktifitas Fisik
-Indeks Massa Tubuh
Menurun/Normal

Gambar 24. Model Pendampingan Intervensi Peer Edukator Gizi Upaya Pencegahan Obesitas AUS
212

Berdasarkan skema hasil temuan dari penelitian ini, dapat dikemukakan beberapa keunggulan sebagai berikut:

1. Ditemukannya model pencegahan obesitas berbasis pendampingan peer edukator gizi pada ranah preventif dan

promotif

2. Peer edukator gizi mampu mengidentifikasi anak yang kegemukan dan melakukan pengukuran berat badan

3. Penelitian ini menggunakan subyek usia pra remaja (pre-adolescent) atau anak usia sekolah dasar (9-11 tahun)

untuk anak overweight.

4. Edukator gizi sebaya memiliki kesempatan untuk kontak dengan kelompok sebayanya secara berkelanjutan

dalam interaksi sosial sehari-hari sehingga dapat menguatkan proses pembelajaran gizi, meningkatkan peluang

tambahan untuk berbagi informasi gizi, serta menjadi model peran dari perilaku gizi yang diharapkan.

Tabel 34. Matriks Keunggulan/Hasil Temuan Model Pendampingan Intervensi Peer Edukator Gizi

No. Model Author, Kesamaan/Keterkaitan Kebaruan yang membedakan


Tahun dengan Model Sebelumnya dengan model lainnya
213

1. Model Managing Paediatric Fonseca H., 1. Menggunakan desain kuasi 1. Pada model ini yang menjadi
Obesity et.al, 2014 eksperimen subjek adalah remaja sebaya
2. Menggunakan metode mengalami obesitas
intervensi terhadap kelompok 2. Waktu penelitian selama 12
kasus dan kelompok kontrol bulan
3. Lokasi penelitian di Sekolah 3. Pendekatan Model
4. Variabel yang diteliti terkait Manajemen Pediaktrik
dengan gaya hidup, Obesitas berbasis peers
pengukuran IMT terapiutik.
4. Analisis menggunakan
structural equation models
(SEM)
5. Fokus pada upaya kuratif dan
klinik

2. Healthy Family Child Care Neelon 1. Variabel yang diteliti terkait 1. Menggunakan Behavior
Homes SEB.et.al. dengan gaya hidup, change theory
2016 pengukuran IMT 2. Penanggulangan anak-anak
2. Menggunakan desain kuasi obesitas
eksperimen 3. Pendekatan keluarga dan
teman sebaya
4. Lokasi penelitian di Rumah
3. Information Motivation Lloyd 1. Lokasi penelitian di Sekolah 1. Pendeketan Intervention
Behavioural Skills Model JJ.,et.al, 2. Variabel yang diteliti terkait Mapping
2011 (Inggris) dengan gaya hidup, 2. Menggunakan Social
pengukuran IMT cognitive theory
3. Subjek adalah anak usia
sekolah (Umur 9-15 tahun)
214

obesitas
4. Model Pendampingan Anto J. Hadi., 1. Menggunakan metode 1. Model fokus pada
Intervensi Peer Edukator Gizi et. al., 2018 intervensi terhadap kelompok pencegahan obesitas
kasus dan kelompok kontrol 2. Pada model ini yang menjadi
2. Lokasi penelitian di Sekolah subjek adalah anak usia
3. Variabel yang diteliti terkait sekolah dasar mengalami
dengan gaya hidup, overweigth ((pre adolescent))
pengukuran IMT 3. Pendekatan Model
4. Menggunakan Desain kuasi pendampingan intervensi peer
eksperimen educator gizi.
4. Waktu penelitian selama 6
bulan
5. analisis menggunakan uji
Hotelling
6. Menggunakan Teori model
PRECEDE-PROCEED, Teori
Transtheoritical Model, Teori
Comprehensive School
Health, Teori Diffusion
Innovation
7. Fokus pada upaya promotif
dan preventif
215

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data dan uraian hasil penelitian pada

pengaruh peer edukator gizi terhadap pencegahan obesitas siswa

Sekolah Dasar Islam Terpadu di Kota Makassar, maka dapat

disimpulkan bahwa:

1. Penerapan model pendampingan intervensi peer edukator gizi

berpengaruh terhadap perubahan pengetahuan gizi, sikap, aktivitas

fisik, kebiasaan makan (cemilan, jajan, dan minum soft drink) serta

asupan energy dan konsumsi serat, energy. Namun tidak

berpengaruh terhadap asupan karbohidrat, lemak, protein)

2. Tidak terlihat perbedaan penurunan berat badan pada kedua

kelompok

3. Variabel yang paling berpengaruh terhadap perubahan perilaku

penurunan kejadian Overweight di SDIT kota makassar yaitu sikap

terhadap gizi

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas dapat dikemukakan beberapa

saran sebagai berikut:


216

1. Peer edukator gizi pada anak Sekolah Dasar Islam Terpadu ini

memungkinkan dan perlu diteliti lebih lanjut sebelum diterapkan di

sekolah-sekolah.

2. Penelitian yang akan datang perlu melihat aspek waktu atau

lainnya sehingga bisa terjadi penurunan berat badan bagi mereka

yang gemuk serta diupayakan harus ada juga intervensi ditingkat

keluarga atau yang lain.

3. Penelitian ini belum maksimal menurunkan kelebihan berat badan

anak maka perlu pengembangan peer edukator gizi dengan

pendekatan budaya untuk merubah perilaku kurang sehat dalam

jangka waktu lebih lama dengan strategi intervensi yang lebih

efektif.
217

DAFTAR PUSTAKA

Aceves-Martins, M., Llaurado, E., Tarro, L., Sola, R., & Giralt, M. (2016).
Obesity-promoting factors in Mexican children and adolescents:
challenges and opportunities. Global health action, 9(1), 29625.
Aeberli, I., Molinari, L., Spinas, G., Lehmann, R., l’Allemand, D., &
Zimmermann, M. B. (2006). Dietary intakes of fat and antioxidant
vitamins are predictors of subclinical inflammation in overweight
Swiss children. The American journal of clinical nutrition, 84(4), 748–
755.
Aitsi-Selmi, A., Bell, R., Shipley, M. J., & Marmot, M. G. (2015). Education
Modifies the Association of Wealth with Obesity in Women in Middle-
Income but not Low-Income Countries: an Interaction Study using
Seven National Datasets, 2005-10. In International Journal Of
Epidemiology (Vol. 44, hal. 161–162). Oxford Univ Press.
Al-Agha, A. E., Nizar, F. S., & Nahhas, A. M. (2016). The association
between body mass index and duration spent on electronic devices in
children and adolescents in Western Saudi Arabia. Saudi medical
journal, 37(4), 436.
Al‐Hazzaa, H. M., Al‐Sobayel, H. I., Abahussain, N. A., Qahwaji, D. M.,
Alahmadi, M. A., & Musaiger, A. O. (2014). Association of dietary
habits with levels of physical activity and screen time among
adolescents living in S audi A rabia. Journal of human nutrition and
dietetics, 27, 204–213.
Al Amiri, E., Abdullatif, M., Abdulle, A., Al Bitar, N., Afandi, E. Z., Parish,
M., & Darwiche, G. (2015). The prevalence, risk factors, and
screening measure for prediabetes and diabetes among Emirati
overweight/obese children and adolescents. BMC Public Health,
15(1), 1298.
Almatsier, S. (2010). Prinsip dasar ilmu gizi, PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
Aprianthi, W. (2009). Kajian Konsumsi Serat Pada Remaja di SMA Negeri
1.[Skripsi]. Kupang: Universitas Nusa Cendanat. Kupang.
Ariawan, I. (1998). Besar dan Metode Sampel Pada Penelitian Kesehatan
Jurusan Biostatistik dan Kependudukan. Fakultas Ilmu Kesehatan
Masyarakat: Universitas Indonesia.
August, G. P., Caprio, S., Fennoy, I., Freemark, M., Kaufman, R. H. L.,
Silverstein, J. H., … Victor, M. (2008). Prevention and Treatment of
Pediatric Obesity: An Endocrine Society Clinical Practice Guideline
Based on Expert Opinion Short Title: Guidelines for the Prevention &
Treatment of Pediatric Obesity.
Barr‐Anderson, D. J., Adams‐Wynn, A. W., DiSantis, K. I., & Kumanyika,
S. (2013). Family‐focused physical activity, diet and obesity
interventions in A frican–A merican girls: a systematic review. Obesity
Reviews, 14(1), 29–51.
Bauer, K. W., Neumark-Sztainer, D., Fulkerson, J. A., Hannan, P. J., &
218

Story, M. (2011). Familial correlates of adolescent girls’ physical


activity, television use, dietary intake, weight, and body composition.
International Journal of Behavioral Nutrition and Physical Activity,
8(1), 25.
Bay, J. L., Mora, H. A., Sloboda, D. M., Morton, S. M., Vickers, M. H., &
Gluckman, P. D. (2012). Adolescent understanding of DOHaD
concepts: a school-based intervention to support knowledge
translation and behaviour change. Journal of developmental origins of
health and disease, 3(6), 469–482.
Benestad, B., Lekhal, S., Småstuen, M. C., Hertel, J. K., Halsteinli, V.,
Ødegård, R. A., & Hjelmesæth, J. (2017). Camp-based family
treatment of childhood obesity: randomised controlled trial. Archives
of disease in childhood, 102(4), 303–310.
Benjamin Neelon, S. E., Qstbye, T., Hales, D., Vaughn, A., & Ward, D. S.
(2016). Preventing childhood obesity in early care and education
settings: Lessons from two intervention studies. Child: care, health
and development, 42(3), 351–358.
Biehl, A., Hovengen, R., Grøholt, E.-K., Hjelmesæth, J., Strand, B. H., &
Meyer, H. E. (2014). Parental marital status and childhood overweight
and obesity in Norway: a nationally representative cross-sectional
study. BMJ open, 4(6), e004502.
Boutelle, K., Neumark-Sztainer, D., Story, M., & Resnick, M. (2002).
Weight control behaviors among obese, overweight, and
nonoverweight adolescents. Journal of pediatric psychology, 27(6),
531–540.
Brown, J. E. (2016). Nutrition through the life cycle. Cengage Learning.
Castro, N., Faulkner, J., Skidmore, P., Williams, M., Lambrick, D. M.,
Signal, L., … Hamlin, M. (2014). Pre-adolescent cardio-metabolic
associations and correlates: PACMAC methodology and study
protocol. BMJ open, 4(9), e005815.
Charvet, A., Hartlieb, K. B., Yeh, Y., & Jen, K.-L. C. (2016). A comparison
of snack serving sizes to USDA guidelines in healthy weight and
overweight minority preschool children enrolled in Head Start. BMC
obesity, 3(1), 36.
Cobb, A. T. (2006). Leading project teams. Sage Publications.
Collins, B., Capewell, S., O’Flaherty, M., Timpson, H., Razzaq, A.,
Cheater, S., … Bromley, H. (2015). Modelling the health impact of an
english sugary drinks duty at national and local levels. PLoS One,
10(6), e0130770.
Corder, K., Sharp, S. J., Atkin, A. J., Andersen, L. B., Cardon, G., Page,
A., … Janz, K. F. (2016). Age-related patterns of vigorous-intensity
physical activity in youth: The International Children’s Accelerometry
Database. Preventive medicine reports, 4, 17–22.
Costa, S., Adams, J., Phillips, V., & Neelon, S. E. B. (2016). The
relationship between childcare and adiposity, body mass and obesity-
related risk factors: protocol for a systematic review of longitudinal
219

studies. Systematic reviews, 5(1), 141.


Crawford, D., & Jeffery, R. (2005). Obesity prevention and public health.
Oxford University Press.
Cripps, C. (1997). Workers with attitude: peer education, drug workers and
the whole’yoof’scene by the scruff of their necks. Druglink, 12, 15–18.
Dahlan, M. S. (2011). Statistik untuk kedokteran dan kesehatan. BOOK,
Penerbit Salemba.
De Onis, M., & Habicht, J.-P. (1996). Anthropometric reference data for
international use: recommendations from a World Health Organization
Expert Committee. The American journal of clinical nutrition, 64(4),
650–658.
Dewi, S. R. (2013). Hubungan Antara Pengetahuan Gizi, Sikap Terhadap
Gizi dan Pola Konsumsi Siswa Kelas XII Program Keahlian Jasa
Boga di SMK Negeri 6 Yogyakarta. Program Studi Pendidikan Teknik
Boga. Fakultas Teknik. Universitas Negeri Yogyakarta.
Didik Acmadi, A. (2015). Pengaruh Pendidikan Gizi Dengan Media Buku
Saku Terhadap Peningkatan Pengetahuan Dalam Pemilihan Jajan
Anak SD Muhammadiyah 16 Surakarta. UMS.
Duncan, S., Duncan, E. K., Fernandes, R. A., Buonani, C., Bastos, K. D.
N., Segatto, A. F. M., … Freitas, I. F. (2011). Modifiable risk factors
for overweight and obesity in children and adolescents from São
Paulo, Brazil. BMC Public Health, 11(1), 585.
Dupuy, M., Godeau, E., Vignes, C., & Ahluwalia, N. (2011). Socio-
demographic and lifestyle factors associated with overweight in a
representative sample of 11-15 year olds in France: results from the
WHO-Collaborative Health Behaviour in School-aged Children
(HBSC) cross-sectional study. BMC public health, 11(1), 442.
Edelstein, M. E., & Gonyer, P. (1993). Planning for the future of peer
education. Journal of American College Health, 41(6), 255–257.
Erika, K. A., & Nurachmah, E. (2014). Pengaruh Pendekatan Child
Healthcare Modeldan Transtheoretical Model terhadap Asupan
Makan Anak Overweight dan Obesitas. Kesmas: National Public
Health Journal, 9(1), 14–18.
Fearnbach, S. N., Masterson, T. D., Schlechter, H. A., Ross, A. J.,
Rykaczewski, M. J., Loken, E., … Keller, K. L. (2016). Impact of
imposed exercise on energy intake in children at risk for overweight.
Nutrition journal, 15(1), 92.
Fentiana, N. (2012). Asupan Lemak Sebagai Faktor Dominan Terjadinya
Obesitas Pada Remaja (16-18 Tahun) Di Indonesia Tahun 2010
(Data Riskesdas 2010)(Tesis yang tidak dipublikasikan). Universitas
Indonesia, Depok, Indonesia.
Fitriani, D. (2011). Pengaruh edukasi sebaya terhadap perilaku hidup
bersih dan sehat (PHBS) pada agregat anak usia sekolah yang
beresiko kecacingan di Desa Baru Kecamatan Manggar Belitung
Timur. Jurnal Universitas Indonesia.
Flego, A., Dowsey, M. M., Choong, P. F. M., & Moodie, M. (2016).
220

Addressing obesity in the management of knee and hip osteoarthritis–


weighing in from an economic perspective. BMC musculoskeletal
disorders, 17(1), 233.
Fonseca, H., Palmeira, A. L., Martins, S. C., Falcato, L., & Quaresma, A.
(2014). Managing paediatric obesity: a multidisciplinary intervention
including peers in the therapeutic process. BMC pediatrics, 14(1), 89.
Foster, G. D., Sherman, S., Borradaile, K. E., Grundy, K. M., Vander Veur,
S. S., Nachmani, J., … Shults, J. (2008). A policy-based school
intervention to prevent overweight and obesity. Pediatrics, 121(4),
e794–e802.
Garcia, A. C., & Zok, A. (2003). Peer education in nutrition for students.
Canadian Journal of Dietetic Practice and Research, 64(2), S103.
Gibney, M. J., Vorster, H. H., & Kok, F. J. (2002). Introduction to human
nutrition. Blackwell Science Oxford.
Gilbert, G. G., Sawyer, R. G., & McNeill, E. B. (2014). Health education:
Creating strategies for school & community health. Jones & Bartlett
Publishers.
González, G. R., Villanueva, J. S., Alcantar, V. E. R., & Quintero, A. G. G.
(2015). Overweight and obesity in children and adolescents in full
time schools Morelos, Mexico. Nutricion hospitalaria, 32(6), 2588–
2593.
Gurevich-Panigrahi, T., Panigrahi, S., Wiechec, E., & Los, M. (2009).
Obesity: pathophysiology and clinical management. Current medicinal
chemistry, 16(4), 506–521.
Han, S., Jiao, J., Zhang, W., Xu, J., Wan, Z., Zhang, W., … Qin, L. (2015).
Dietary fiber prevents obesity-related liver lipotoxicity by modulating
sterol-regulatory element binding protein pathway in C57BL/6J mice
fed a high-fat/cholesterol diet. Scientific reports, 5, 15256.
Harika, R. K., Cosgrove, M. C., Osendarp, S. J. M., Verhoef, P., & Zock,
P. L. (2011). Fatty acid intakes of children and adolescents are not in
line with the dietary intake recommendations for future cardiovascular
health: a systematic review of dietary intake data from thirty countries.
British journal of nutrition, 106(3), 307–316.
Haristia, W. (2012). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku
Pencegahan Obesitas Pada Siswa SMP Di Kota Depok. Skripsi.
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Haryanto, I. (2012). Faktor faktor yang berhubungan dengan obesitas (Z-
Score> 2 IMT menurut umur) pada anak usia sekolah dasar (7-12
tahun) di Jawa tahun 2010 (Analisis data RISKESDAS 2010)(tesis).
Jakarta: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Hayati, M. (2009). Pengaruh peer edukasi tentang jajanan sehat terhadap
perilaku anak usia sekolah di Kota Lhokseumawe Provinsi Naggroe
Aceh Darussalam. Tesis. Depok: Pascasarjana Universitas Indonesia.
Hayati, N. (2009). Faktor-faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian
Obesitas di Kelas 4 dan 5 SD Pembangunan Jaya Bintaro,
Tangerang Selatan. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas
221

Indonesia.
Hidayati, R. N., & Ibnu, F. (2015). Efektifitas Peer Group Education
tentang Gizi Seimbang Terhadap Perilaku Gizi pada Anak Usia
Sekolah. Jurnal Keperawatan Bina Sehat, 10(2).
Ho, D. S. Y., Lai, Y. K., Lam, T. H., Chan, V., Mak, K. K., & Lo, W. S.
(2013). Risk factors and outcomes of childhood obesity in Hong Kong:
a retrospective cohort study. Hong Kong Medical Journal.
Huang, J. S., Barlow, S. E., Quiros-Tejeira, R. E., Scheimann, A., Skelton,
J., Suskind, D., … Xanthakos, S. A. (2013). Childhood obesity for
pediatric gastroenterologists. Journal of pediatric gastroenterology
and nutrition, 56(1), 99.
Hui, L. L., & Nelson, E. A. S. (2006). Other Articles Dietary Characteristics
of Hong Kong Young Children: Implications for Nutrition Education.
HK J Paediatr (new series), 11(3), 255–262.
Hur, Y.-I., Park, H., Kang, J.-H., Lee, H.-A., Song, H., Lee, H.-J., & Kim,
O.-H. (2016). Associations between sugar intake from different food
sources and adiposity or cardio-metabolic risk in childhood and
adolescence: The Korean child–adolescent cohort study. Nutrients,
8(1), 20.
Indayati, S. (2008). Faktor Risiko Kejadian Obesitas Pada Anak Umur 10-
12 Tahun (Studi pada anak di SD Yayasan Sekolah Kristen Indonesia
3 Semarang). Diponegoro University.
Indonesia, D. K. R. (2003). Pedoman Untuk Tenaga Kesehatan UKS di
Tinglcar Sekalah Dasar. Jakarta.
Indonesia, K. K. R. (2012). Pedoman Pelaksanaan Stimulasi, Deteksi Dini
dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang Anak Ditingkat Pelayanan
Kesehatan Dasar. Jakarta: Departemen Kesehatan, Direktorat
Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat, hal, 20–23.
Indonesia, K. K. R. (2018). Hasil utama Riskesdas 2018. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia.
Indonesia, M. K. R. (2013). Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 75 Tahun 2013 tentang angka kecukupan gizi yang
dianjurkan bagi bangsa Indonesia. Jakarta: Kemenkes RI.
Kang, K.-T., Chou, C.-H., Weng, W.-C., Lee, P.-L., & Hsu, W.-C. (2013).
Associations between adenotonsillar hypertrophy, age, and obesity in
children with obstructive sleep apnea. PLoS One, 8(10), e78666.
Katzmarzyk, P., Broyles, S., Champagne, C., Chaput, J.-P., Fogelholm,
M., Hu, G., … Maia, J. (2016). Relationship between soft drink
consumption and obesity in 9–11 years old children in a multi-national
study. Nutrients, 8(12), 770.
Kementerian Kesehatan, R. I. (2012). Pedoman pencegahan dan
penanggulangan kegemukan dan obesitas pada anak sekolah.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Kesehatan, K. (2013). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Dalam Angka
Provinsi Sulawesi Selatan. Kemenkes RI.
222

Khomsan, A. (2000). Teknik pengukuran pengetahuan gizi. Bogor: Institut


Pertanian Bogor, 30–34.
Kwon, S., Janz, K. F., Letuchy, E. M., Burns, T. L., & Levy, S. M. (2015).
Active lifestyle in childhood and adolescence prevents obesity
development in young adulthood. Obesity, 23(12), 2462–2469.
Leininger, M. (2002). Transcultural nursing and globalization of health
care: Importance, focus, and historical aspects. MM Leininger & MR
McFarland, Transcultural nursing: Concepts, theories, research, and
practice, 3–43.
Levin, B. E., & Dunn-Meynell, A. A. (2006). Differential effects of exercise
on body weight gain and adiposity in obesity-prone and-resistant rats.
International journal of obesity, 30(4), 722.
Lezin, N. (2008). Youth development and adolescent pregnancy
prevention. Retrieved January.
Lin, P.-Y., Lin, F.-Y., Chen, T.-C., Chen, W.-L., Doong, J.-Y., Shikanai, S.,
… Yamamoto, S. (2016). Relationship between sugar intake and
obesity among school-age children in Kaohsiung, Taiwan. Journal of
nutritional science and vitaminology, 62(5), 310–316.
Lloyd, J. J., Logan, S., Greaves, C. J., & Wyatt, K. M. (2011). Evidence,
theory and context-using intervention mapping to develop a school-
based intervention to prevent obesity in children. International Journal
of Behavioral Nutrition and Physical Activity, 8(1), 73.
Mainbolagh, B. L., Rakhshani, F., Zareban, I., Montazerifar, F., Sivaki, H.
A., & Parvizi, Z. (2012). The effect of peer education based on health
belief model on nutrition behaviors in primary school boys. Journal of
Research & Health Social Development & Health Promotion
Research Center, 2(2), 214–225.
Makassar, D. K. (2014). Profil kesehatan kota Makassar 2013.
Pemerintah Kota Makassar. Makassar.
Makkes, S., Renders, C. M., Bosmans, J. E., van der Baan-Slootweg, O.
H., Hoekstra, T., & Seidell, J. C. (2016). One-year effects of two
intensive inpatient treatments for severely obese children and
adolescents. BMC pediatrics, 16(1), 120.
Masyarakat, D. R. I. D. B. K. (2005). Direktorat Gizi Masyarakat. Pedoman
Perbaikan Gizi Anak Sekolah Dasar Dan Madrasah Ibtidaiyah.
Jakarta.
McDonald, J., Roche, A., Durbridge, M., & Skinner, N. (2003). Peer
Education: from evidence to practice. Flinders University of South
Australia.
McLachlan, J. C., White, P., Donnelly, L., & Patten, D. (2010). Student
attitudes to peer physical examination: a qualitative study of changes
in expressed willingness to participate. Medical teacher, 32(2), e101–
e105.
Merhi, B. A., Hammoud, A., Ziade, F., Kamel, R., & Rajab, M. (2014).
Mono-symptomatic nocturnal enuresis in lebanese children:
prevalence, relation with obesity, and psychological effect. Clinical
223

Medicine Insights: Pediatrics, 8, CMPed-S13068.


Millar, L., Kremer, P., de Silva‐Sanigorski, A., McCabe, M. P., Mavoa, H.,
Moodie, M., … Mathews, L. (2011). Reduction in overweight and
obesity from a 3‐year community‐based intervention in Australia: the
‘It’s Your Move!’project. obesity reviews, 12, 20–28.
Moon, H., Roh, S., Lee, Y.-S., & Goins, R. T. (2016). Disparities in health,
health care access, and life experience between American Indian and
White adults in South Dakota. Journal of racial and ethnic health
disparities, 3(2), 301–308.
Moraeus, L., Lissner, L., Olsson, L., & Sjöberg, A. (2015). Age and time
effects on children’s lifestyle and overweight in Sweden. BMC public
health, 15(1), 355.
Murakami, K., Miyake, Y., Sasaki, S., Tanaka, K., & Arakawa, M. (2011).
Dietary glycemic index and glycemic load in relation to risk of
overweight in Japanese children and adolescents: the Ryukyus Child
Health Study. International journal of obesity, 35(7), 925.
Nicholls, L., Lewis, A. J., Petersen, S., Swinburn, B., Moodie, M., & Millar,
L. (2014). Parental encouragement of healthy behaviors: adolescent
weight status and health-related quality of life. BMC public health,
14(1), 369.
Nilna, F. (2015). Hubungan Asupan Serat Dengan Kejadian Obesitas
Pada Siswa Smp N 31 Kota Padang Tahun 2015. Upt Perpustakaan.
Notoadmojo, S. (2005). Pendidikan dan perilaku kesehatan. Jakarta:
rineka cipta.(2005a). Promosi kesehatan teori dan aplikasi.
Notoatmodjo, S. (1997). Prinsip–Prinsip Dasar Kesehatan Masyarakat.
Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Notoatmodjo, S. (2003). Pendidikan dan perilaku kesehatan. Jakarta:
Rineka Cipta.
Notoatmodjo, S. (2007). Perilaku kesehatan dan ilmu perilaku. Jakarta: PT
Rineke Cipta.
Noviardhi, A. (2014). Faktor Risiko Obesitas Pada Anak Usia Sekolah
(Studi Kasus di SD/MI di Kecamatan Tembalang Kota Semarang).
Program Pascasarjana UNDIP.
Organization, W. H. (2000). Report Obesity: Preventing and managing the
global epidemic 894. Geneva. WHO Technical Report Series, 894.
Organization, W. H. (2010). World health statistics 2010. World Health
Organization.
Pender, N. J., Murdaugh, C. L., & Parsons, M. A. (2010). Health promotion
in nursing practice. 6th. USA: Upper Saddle River.
Pérez-Escamilla, R., Hromi-Fiedler, A., Vega-López, S., Bermúdez-Millán,
A., & Segura-Pérez, S. (2008). Impact of peer nutrition education on
dietary behaviors and health outcomes among Latinos: a systematic
literature review. Journal of nutrition education and behavior, 40(4),
208–225.
Petrauskiene, A., Zaltauske, V., & Albaviviute, E. (2015). Family
socioeconomic status and nutrition habits of 7–8 year old children:
224

cross-sectional Lithuanian COSI study. Italian journal of pediatrics,


41(1), 34.
Pickett, G., & Hanlon, J. J. (2009). LEADERSHIP AND ASSESSMENT.
Public Health Leadership: Putting Principles Into Practice, 173.
Purnamawati, I. (2009). Prevalens Obesitas. Jakarta: Universitas
Indonesia.
Purslow, L. R., Sandhu, M. S., Forouhi, N., Young, E. H., Luben, R. N.,
Welch, A. A., … Wareham, N. J. (2007). Energy intake at breakfast
and weight change: prospective study of 6,764 middle-aged men and
women. American journal of epidemiology, 167(2), 188–192.
Resaland, G. K., Moe, V. F., Aadland, E., Steene-Johannessen, J.,
Glosvik, Ø., Andersen, J. R., … Anderssen, S. A. (2015). Active
Smarter Kids (ASK): Rationale and design of a cluster-randomized
controlled trial investigating the effects of daily physical activity on
children’s academic performance and risk factors for non-
communicable diseases. BMC public health, 15(1), 709.
Retnaningsih, E. (2010). Model prediksi prevalensi obesitas pada
penduduk umur diatas 15 Tahun di Indonesia. Jurnal Pembangunan
Manusia Vol, 10(1).
RI, K. K. (2011). Keputusan menteri kesehatan republik Indonesia nomor:
1995/Menkes. SK/XII/2010 Tentang Standar Antropometri Penilaian
Status Gizi Anak. Jakarta ….
Rickert, V. I. (1996). Adolescent nutrition: Assessment and management.
Jones & Bartlett Learning.
Rosenbaum, P., King, S., Law, M., King, G., & Evans, J. (1998). Family-
centred service: A conceptual framework and research review.
Physical & Occupational Therapy in Pediatrics, 18(1), 1–20.
Rosiek, A., Maciejewska, N., Leksowski, K., Rosiek-Kryszewska, A., &
Leksowski, Ł. (2015). Effect of television on obesity and excess of
weight and consequences of health. International journal of
environmental research and public health, 12(8), 9408–9426.
Rosita, I., Marhaeni, D., & Mutyara, K. (2007). Konseling gizi
Transtheoritical model dalam mengubah perilaku makan dan aktivitas
fisik pada remaja overweight dan obesitas. Bandung: Universitas
Padjajaran.
Rutledge, T. F. (2011). School Health Guidelines to Promote Healthy
Eating and Physical Activity. Morbidity and Mortality Weekly Report.
Recommendations and Reports. Volume 60, Number 5. Centers for
Disease Control and Prevention.
Sahoo, K., Sahoo, B., Choudhury, A. K., Sofi, N. Y., Kumar, R., &
Bhadoria, A. S. (2015). Childhood obesity: causes and
consequences. Journal of family medicine and primary care, 4(2),
187.
Saifah, A. (2011). Hubungan Peran Keluarga, Guru, Teman Sebaya dan
Media Massa dengan Perilaku Gizi Anak Usia Sekolah Dasar di
Wilayah Kerja Puskesmas Mabelopura Kota Palu. Universitas
225

Indonesia.
Sakraida, T. J. (2010). Health promotion model. Nursing theorists and
their work, 7, 434–453.
Sakurai, M., Nakamura, K., Miura, K., Takamura, T., Yoshita, K.,
Nagasawa, S., … Naruse, Y. (2016). Dietary carbohydrate intake,
presence of obesity and the incident risk of type 2 diabetes in
Japanese men. Journal of diabetes investigation, 7(3), 343–351.
Sanjur, D. (1982). Social and cultural perspectives in nutrition. Prentice-
Hall.
Saputri, R. (2013). Hubungan Antara Pengetahuan Soft Drink Dan
Konsumsi Soft Drink Dengan Kejadian Obesitas Pada Anak Usia
Remaja Di SMP Budi Mulia Dua Yogyakarta. Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Sastroasmoro, S. (1995). Ismael S. dasar-dasar Metodologi penelitian
Klinis. Edisi, 3, 93–111.
Sawka, K. J., McCormack, G. R., Nettel-Aguirre, A., Hawe, P., & Doyle-
Baker, P. K. (2013). Friendship networks and physical activity and
sedentary behavior among youth: a systematized review.
International Journal of Behavioral Nutrition and Physical Activity,
10(1), 130.
Shroff, M. R., Perng, W., Baylin, A., Mora-Plazas, M., Marin, C., &
Villamor, E. (2014). Adherence to a snacking dietary pattern and soda
intake are related to the development of adiposity: a prospective study
in school-age children. Public health nutrition, 17(7), 1507–1513.
Sikorski, C., Luppa, M., Luck, T., & Riedel‐Heller, S. G. (2015). Weight
stigma “gets under the skin”—evidence for an adapted psychological
mediation framework—a systematic review. Obesity, 23(2), 266–276.
Skinner, C. (2018). Manusia Digital: Revolusi 4.0 Melibatkan Semua
Orang. (Kezia Alaia, Ed.). Jakarta, Indonesia: PT. Elex Media
Komputindo.
Skouteris, H., McCabe, M., Swinburn, B., Newgreen, V., Sacher, P., &
Chadwick, P. (2011). Parental influence and obesity prevention in pre‐
schoolers: a systematic review of interventions. Obesity reviews,
12(5), 315–328.
Stanhope, M., & Lancaster, J. (2010). Community Health Nursing 3,
Translated by Hoseini V, Jafarivrjoshani N. Tehran, Iran. salemi.
Story, M., Kaphingst, K. M., Robinson-O’Brien, R., & Glanz, K. (2008).
Creating healthy food and eating environments: policy and
environmental approaches. Annu. Rev. Public Health, 29, 253–272.
Sugiyono, P. D. (2009). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R &D,
Alfabeta. Bandung.
Sukma, D. C., & Margawati, A. (2014). Hubungan Pengetahuan dan Sikap
dalam memilih Makanan Jajanan dengan Obesitas Pada Remaja Di
SMP Negeri 2 Brebes. Diponegoro University.
Sullivan, S. M., Peters, E. S., Trapido, E. J., Oral, E., Scribner, R. A., &
Rung, A. L. (2016). Assessing mediation of behavioral and stress
226

pathways in the association between neighborhood environments and


obesity outcomes. Preventive medicine reports, 4, 248–255.
Syafiq, A. (2007). Tinjauan atas kesehatan dan gizi anak usia dini.
Makalah pada Diskusi Peningkatan Kesehatan dan Gizi Anak Usia
Dini, Bappenas. Jakarta: Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat,
FKMUI.
Syrad, H., Llewellyn, C. H., Van Jaarsveld, C. H. M., Johnson, L., Jebb, S.
A., & Wardle, J. (2016). Energy and nutrient intakes of young children
in the UK: findings from the Gemini twin cohort. British Journal of
Nutrition, 115(10), 1843–1850.
Tabor, S., & Soekirman, M. D. (2000). Keterkaitan antara Krisis ekonomi,
Ketahanan Pangan dan Perbaikan Gizi. Prosiding Widyakarya
Nasional Pangan dan Gizi VII. Jakarta, 29.
Todd, A. S., Street, S. J., Ziviani, J., Byrne, N. M., & Hills, A. P. (2015).
Overweight and obese adolescent girls: the importance of promoting
sensible eating and activity behaviors from the start of the adolescent
period. International journal of environmental research and public
health, 12(2), 2306–2329.
Turner, G., & Shepherd, J. (1999). A method in search of a theory: peer
education and health promotion. Health education research, 14(2),
235–247.
Van Lippevelde, W., van Stralen, M., Verloigne, M., De Bourdeaudhuij, I.,
Deforche, B., Brug, J., … Haerens, L. (2011). Mediating effects of
home-related factors on fat intake from snacks in a school-based
nutrition intervention among adolescents. Health education research,
27(1), 36–45.
Villa, M. P., Shafiek, H., Evangelisti, M., Rabasco, J., Cecili, M.,
Montesano, M., & Barreto, M. (2016). Sleep clinical record: what
differences in school and preschool children? ERJ open research,
2(1), 49–2015.
Wahl-Alexander, Z. (2017). Promoting Emotional Recovery following
Natural Disasters through Integrative Art and Physical Activity
Programs.
Warschburger, P., & Kröller, K. (2009). Maternal perception of weight
status and health risks associated with obesity in children. Pediatrics,
124(1), e60–e68.
Watanabe, E., Lee, J. S., Mori, K., & Kawakubo, K. (2016). Clustering
patterns of obesity-related multiple lifestyle behaviours and their
associations with overweight and family environments: a cross-
sectional study in Japanese preschool children. BMJ open, 6(11),
e012773.
Waters, E., de Silva‐Sanigorski, A., Burford, B. J., Brown, T., Campbell, K.
J., Gao, Y., … Summerbell, C. D. (2011). Interventions for preventing
obesity in children. Cochrane database of systematic reviews, (12).
Wellman, N. S., Kondracki, N. L., Johnson, P., & Himburg, S. P. (2004).
Aging in introductory and life cycle nutrition textbooks. Gerontology &
227

geriatrics education, 24(3), 67–86.


Whitlock, E. P., O’Connor, E. A., Williams, S. B., Beil, T. L., & Lutz, K. W.
(2010). Effectiveness of weight management interventions in children:
a targeted systematic review for the USPSTF. Pediatrics, peds-2009.
Whitney, E., DeBruyne, L. K., Pinna, K., & Rolfes, S. R. (2010). Nutrition
for health and health care. Cengage Learning.
Wijayanti, S. P. (2007). Hubungan antara Tingkat Pendapatan Keluarga
dan Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu dengan Kejadian Obesitas Anak
pada Siswa SD Islam Terpadu Ihsanul Fikri Magelang Tahun Ajaran
2006/2007. Universitas Negeri Semarang.
Williams, J. (1987). Futures markets: A consequence of risk aversion or
transactions costs? Journal of Political Economy, 95(5), 1000–1023.
Wong, C. Y., Cheng, R. S., Lataief, K. Ben, & Murch, R. D. (1999).
Multiuser OFDM with adaptive subcarrier, bit, and power allocation.
IEEE Journal on selected areas in communications, 17(10), 1747–
1758.
Wong, D. L. (2009). Buku ajar keperawatan pediatrik vol 1 wong. EGC.
Xu, S., & Xue, Y. (2016). Pediatric obesity: Causes, symptoms, prevention
and treatment. Experimental and therapeutic medicine, 11(1), 15–20.
Zhang, Y., Meng, X., Chen, L., Li, D., Zhao, L., Zhao, Y., … Shi, H. (2014).
Age and sex-specific relationships between phthalate exposures and
obesity in Chinese children at puberty. PloS one, 9(8), e104852.

Anda mungkin juga menyukai