1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Saat ini pelayanan kesehatan di tempat kerja sebagian besar belum menerapkan
strategi DOTS. Oleh karena itu diperlukan “Panduan Pengendalian TB di
Tempat Kerja dengan Strategi DOTS” sebagai acuan agar pelaksanaan
Program TB di tempat kerja sesuai standar.
B. Dasar Hukum
2
1. Undang-undang Nomor 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja(Lembaran
Negara RI Tahun 1970 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor
2918);
2. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular
(Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor 20, tambahan Lembar Negara Nomor
3273);
3. Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan(Lembaran
Negara RI Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor
4279);
4. Undang-undang nomor 29/2004 tentang Praktik Kedokteran (lembaran
Negara RI Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Nomor
4431)
5. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran
Negara Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5063);
6. Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional;
7. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (Lembaran Negara RI Tahun 2011, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5256);
8. Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1993 tentang Penyakit yang Timbul
Akibat Hubungan Kerja;
9. Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan
Nasional (Lembaran Negara RI Tahun 2012 Nomor 193);
10. Peraturan Presiden RI Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan
Nasional (Lembaran Negara RI Tahun 2013 Nomor 29);
11. Permenakertrans No. 02 Tahun 1980 tentang Pemeriksaan Kesehatan
Tenaga Kerja;
12. Permenakertrans No. 03 tahun 1982 tentang Pelayanan Kesehatan Kerja;
13. Peraturan Menteri Kesehatan RI. Nomor 71 tahun 2013 tentang pelayanan
kesehatan pada jaminan kesehatan nasional;
14. PeraturanMenteri Kesehatan RI Nomor 13/2013/tentang Pedoman
Manajemen Terpadu Pengendalian TB Resisten Obat;
3
15. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 364/Menkes/SK/V/2009 tentang
Pedoman Pengendalian Tuberkulosis (TB);
16. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 9 Tahun 2014 tentang Klinik;
17. Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor1278/Menkes/SK/2009tentang
Kolaborasi TB-HIV;
18. Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor 270/Menke/SK/III/2007 tentang
Pedoman Manajerial Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di RS dan
Fasyankes lainnya;
19. Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor 382/Menke/SK/III/2007 tentang
Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di RS dan Fasyankes
lainnya;
20. Keputusan Dirjen Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan No 22 Tahun
2008 tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Kerja.
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Panduan inimerupakan acuan dalam pengendalian TB di tempat kerja dengan
strategi DOTS.
2. Tujuan Khusus
a. Panduan bagi Manajemen Perusahaan dalam Pengendalian TB di tempat
kerja.
b. Panduan petugas dalam pelaksanaan Program TB di tempat kerja.
c. Panduan petugas TB di tempat kerja dalam penatalaksanaan kasus TB.
D. Sasaran
Sasaran panduan ini ditujukan kepada:
1. Pengelola klinik tempat kerja/pelayanan kesehatan kerja;
2. Manajemen perusahaan/instansi pemerintah;
3. Serikat Pekerja;
4. Asosiasi Pengusaha;
5. Puskesmas;
6. Dinas Tenaga Kerja;
7. Dinas Kesehatan;
8. Sektor/ pihak terkait.
4
E. Ruang Lingkup
Ruang lingkup panduan ini meliputi aspek yang terkait dalam pengendalian TB di
tempat kerja dengan strategi DOTS sesuai tata urut sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan
BAB II : Program Pengendalian TB di Indonesia
BAB III : Penerapan Pengendalian TB di Tempat Kerja
BAB IV : Tatalaksana dan Pengendalian Tuberkulosis di Tempat Kerja
BAB V : Pemantauan dan Evaluasi
BAB VI : Penutup
BAB VII: Daftar Pustaka
Lampiran 1 : Tatalaksana Pasien Tuberkulosis
F. Pengertian
1. Tuberkulosis yang selanjutnya disingkat TB adalah penyakit menular
langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis);
2. Basil Tahan Asam yang selanjutnya disingkat BTA adalah kuman
Mikobakterium tuberkulosis, berbentuk batang dan tahan dalam suasana
asam pada pengecatan metode Ziehl Neelsen (ZN);
3. Program Pengendalian TB Nasional adalah pengendalian tuberkulosis
dengan strategi DOTS yang mengikutsertakan seluruh faskes untuk berperan
aktif;
4. Directly Observed Treatment Shotcourse yang selanjutnya disingkat DOTS
adalah strategi pengendalian tuberkulosisyang diawasi langsung oleh
pengawas menelan obat yang sudah mendapat pengarahan oleh petugas TB;
5. Obat Anti TB yang selanjutnya disingkat OAT adalah obat yang dipergunakan
untuk pengobatan TB;
6. TB Resistan Obat adalahkeadaan di mana kuman M. tuberculosis sudah tidak
dapat lagi dibunuh dengan obat anti TB (OAT);
7. Multi Drug Resistant yang selanjutnya disingkat MDR adalah resistan
terhadap isoniazid dan rifampisin, dengan atau tanpa OAT lini pertama yang
lain, misalnya resistan HR, HRE, HRES;
5
8. Rifampicin Resistant (RR) adalah resisten terhadap Rifampisindengan atau
tanpa resistensi terhadap OAT lain yan terdeteksi menggunakan metode
genotif (tes cepat) atau metode fenotif (konvensional);
9. Pengawas Menelan Obat yang selanjutnya disingkat PMO adalah orang yang
bertugas memastikan pasien TB menelan obat anti tuberkulosis sesuai
instruksi petugas kesehatan sampai selesai pengobatan;
10. Tempat Kerja adalah tiap ruangan atau lapangan, tertutup atau terbuka,
bergerak atau tetap, dimana tenaga kerja bekerja, atau sering dimasuki kerja
untuk keperluan suatu usaha dan dimana terdapat sumber-sumber bahaya
termasuk didalamnya semua ruangan, lapangan, halaman dan sekelilingnya
yang merupakan bagian-bagian atau yang berhubungan dengan tempat kerja
tersebut.
11. Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang selanjutnya disingkat K3
adalahsegala kegiatan untuk menjamin dan melindungi keselamatan dan
kesehatan tenaga kerja melalui upaya pencegahan kecelakaan kerja dan
penyakit akibat kerja.
12. Pengusaha/ pemberi kerja adalah
a. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan
suatu perusahaan milik sendiri;
b. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri
sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di
Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana yang dimaksud dalam huruf
a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
13. Pelayanan Kesehatan Kerja unit kesehatan di tempat kerja yang menjalankan
program peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit termasuk
pengendalian faktor risiko, penanganan/pengobatan penyakit dan pemulihan
(rehabilitasi)pada pekerja.
14. Pencegahan dan Pengendalian InfeksiTB(PPI TB) adalah upaya mencegah
terjadinya infeksi TB terhadap petugas pelayan kesehatan, pasien,
keluarganya dan pengunjung lainnya.
15. International Standards for Tuberkulosis Care yang selanjutnya disingkat
ISTC adalah standar internasional sebagai acuan dalam penanganan
Tuberkulosis.
6
16. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) Tatalaksana TB adalah
standar nasional sebagai acuan bagi dokter yang menangani TB, pembuat
keputusan klinis, institusi pendidikan dan kelompok profesi terkait untuk
menyusun panduan praktis klinis/standar prosedur operasional berdasarkan
bukti ilmiah dalam penanganan TB di Fasilitas Kesehatan.
17. Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama yang selanjutnya disingkat FKTP adalah
pelayanan kesehatan perorangan yang bersifat non spesialistik (primer)
meliputi pelayanan rawat jalan dan rawat inap;
18. Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan yang selanjutnya disingkat
FKRTL adalah upaya pelayanan kesehatan perorangan yang bersifat
spesialistik atau sub spesialistik yang meliputi rawat jalan tingkat lanjutan,
rawat inap tingkat lanjutan, dan rawat inap di ruang perawatan khusus.
7
BAB II
PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS DI INDONESIA
A. Kebijakan Nasional
Untuk mencapai tujuan program pengendalian TB di Indonesia ditetapkan
kebijakan operasional sebagai berikut:
1. Pengendalian TB di Indonesia dilaksanakan sesuai dengan azas
desentralisasi dalam kerangka otonomi dengan propinsi dan kabupaten/kota
sebagai titik berat manajemen program, yang meliputi: perencanaan,
pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta menjamin ketersediaan sumber
daya (dana, tenaga, sarana dan prasarana);
2. Program Pengendalian TB dilaksanakan sesuai dengan Strategi TB DOTS
(Directly Observed Treatment Short-Course Chemotheraphies) yang meliputi
komponen sebagai berikut:
2.1. Komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan
dana.
2.2. Diagnosis TB dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopik.
2.3. Pengobatan dengan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek dengan
pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO).
2.4. Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin.
2.5. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan
dan evaluasi program pengendalian TB.
3. Penguatan kebijakan ditujukan untuk meningkatkan komitmen daerah
terhadap program pengendalian TB;
4. Penguatan pengendalian TB dan pengembangannya ditujukan terhadap
peningkatan mutu pelayanan, kemudahan akses untuk penemuan dan
pengobatan sehingga mampu memutuskan rantai penularan dan mencegah
terjadinya TB resistan obat;
5. Penemuan dan pengobatan dalam rangka pengendalian TB dilaksanakan
oleh seluruh Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan Fasilitas
Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL), meliputi: Puskesmas, Rumah
Sakit Pemerintah dan Swasta, Rumah Sakit Paru (RSP), Balai Besar/Balai
Kesehatan Paru Masyarakat (B/BKPM), Klinik Pengobatan serta Dokter
Praktik Mandiri (DPM);
8
6. Pengobatan untuk TB tanpa penyulit dilaksanakan di FKTP. Pengobatan TB
dengan tingkat kesulitan yang tidak dapat ditatalaksana di FKTP akan
dilakukan di FKRTL dengan mekanisme rujuk balik apabila faktor penyulit
telah dapat ditangani;
7. Pengendalian TB dilaksanakan melalui penggalangan kerja sama dan
kemitraan diantara sektor pemerintah, non pemerintah, swasta dan
masyarakat dalam wujud Gerakan Terpadu Nasional Pengendalian TB
(Gerdunas TB);
8. Peningkatan kemampuan laboratorium diberbagai tingkat pelayanan ditujukan
untuk peningkatan mutu dan akses layanan;
9. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) untuk pengendalian TB diberikan secara cuma-
cuma dan dikelola dengan manajemen logistk yang efektif demi menjamin
ketersediaannya;
10. Ketersediaan tenaga yang kompeten dalam jumlah yang memadai untuk
meningkatkan dan mempertahankan kinerja program;
11. Pengendalian TB lebih diprioritaskan kepada kelompok miskin dan kelompok
rentan lainnya terhadap TB;
12. Pasien TB tidak dijauhkan dari keluarga, masyarakat dan pekerjaannya;
13. Memperhatikan komitmen terhadap pencapaian target strategi global
pengendalian TB.
C. Tujuan
9
Menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat TB dalam rangka pencapaian
tujuan pembangunan kesehatan untuk meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat.
D. Kegiatan
1. Tatalaksana TB
a. Promosi Tuberkulosis
b. Pencegahan Tuberkulosis
c. Penemuanpasien Tuberkulosis
d. Pengobatanpasien Tuberkulosis
e. Pemantauan dan penetapan hasil pengobatan Tuberkulosis
f. Rehabilitasi pasien Tuberkulosis
2. ManajemenProgram TB
a. Perencanaan program pengendalian Tuberkulosis
b. Pengembangan ketenagaan program pengendalian Tuberkulosis
c. Pelaksanaan program pengendalian Tuberkulosis
d. Pengelolaanlogistik program pengendalian Tuberkulosis
e. Promosi program pengendalian Tuberkulosis.
f. Monitoring dan evaluasi program pengendalian Tuberkulosis
3. Pengendalian TB secara Komprehensif
a. Penguatan layanan Laboratorium Tuberkulosis
b. Public-Private Mix (Pelayanan TB Terpadu Pemerintah dan Swasta)
c. Penguatan layanan Tuberkulosis pada kelompok rentan: pasien Diabetes
Melitus (DM), ibu hamil, dan gizi buruk
d. Kolaborasi TB-HIV
e. TB Anak
f. Pemberdayaan Masyarakat dan Pasien TB
g. Pendekatan Praktis Kesehatan Paru
h. Manajemen Terpadu Pengendalian TB Resistan Obat (MTPTRO)
i. Penelitian tuberkulosis.
10
BAB III
Penerapan Pengendalian TB di Tempat Kerja.
11
Meningkatkan peran serta pekerja dan masyarakat umum dalam pencegahan,
penemuan dini kasus dan pengawas menelan obat pada pekerja.
Menjamin ketersediaan dan kesiapan fasilitas kesehatan di tempat kerja dan
jaringannya dalam melayani pekerja yang terkena TB dengan menerapkan
Strategi TB DOTS.
Memfasilitasi sistem pengelolaan dan ketersediaan OAT yang berkesinambungan.
Menjalankan pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI) di tempat kerja.
Memfasilitasi sistem monitoring, pencatatan dan pelaporan sebagai bagian dari
kegiatan surveilans kesehatan pekerja.
c. Melakukan diagnosis TB akibat kerja dan atau Penyakit Akibat Kerja sebagai
12
komorbid TB dan tidak hanya terbatas pada silikotuberkulosis.
d. Melakukan rujukan balik ke dan dari fasilitas kesehatan jaringan setempat bila
diperlukan.
e. Melaksanakan pencatatan dan pelaporan sesuai sistem baku surveilans
kesehatan.
Tempat kerja yang belum memiliki fasilitas kesehatan atau memiliki fasilitas
kesehatan yang belum menerapkan Strategi TB DOTS, dapat bekerja sama dengan
fasilitas kesehatan jejaring di luar tempat kerja yang sudah menerapkan Strategi TB
DOTS.
E. Jejaring TB
Keterbatasan sarana prasarana fasilitas kesehatan di tempat kerja perlu
dikembangkan jejaring kerja, baik internal maupun eksternal.
14
Suatu sistem jejaring dapat dikatakan berfungsi secara baik apabila penemuan
pasien dan pengobatan berjalan dengan baik di tempat kerja.
Apindo SP/SB
Dinas Kesehatan Dinas Ketenagakerjaan
FKTP/FKRTL
di tempat kerja
Keterangan:
Grs komando
Grs koordinasi
15
Mengumpul, mengolah dan menganalisa data penderita TB dari tempat
kerja/perusahaan dan memberikan umpan balik ke tim DOTS tempat
kerja/perusahaan atau melalui unit pelayanan kesehatan kerja di
perusahaan yang bersangkutan.
Bersama dengan Dinas Tenaga Kerja, melakukan pembinaan, monitoring
dan evaluasi pengendalian TB di tempat kerja.
2. Dinas Tenaga Kerja
Bertanggung jawab terhadap terlaksananya pengendalian TB di tempat
kerja.
Melaksanakan pembinaan dan pengawasan pengendalian TB di tempat
kerja sebagai bagian dari Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dengan
dukungan teknis dari Puskesmas.
Memberdayakan lembaga/unit K3 (P2K3) dan SDM K3 di tempat
kerja/perusahaan dalam mendukung keberhasilan pengendalian TB di
tempat kerja.
Mengkoordinir peran asosiasi pengusaha dan serikat pekerja/buruh atau
pihak terkait lainnya dalam pengendalian TB di tempat kerja.
Memfasilitasi pengusaha dalam berkontribusi dalam pengendalian TB di
tempat kerja.
Bersama dengan Dinas Kesehatan, melakukan pembinaan, monitoring
dan evaluasi pengendalian TB di tempat kerja.
3. Pengelola tempat kerja/Perusahaan
Menyediakan sumber daya dan fasilitas pendukung.
Memberdayakan dan mengembangkan sumber daya kesehatan yang ada
di tempat kerja/perusahaan.
Memfasilitasi pembentukan Tim TB DOTS di tempat kerja/perusahaanya.
Menyampaikan laporan kepada Kepala Puskesmas dan instansi/Dinas
Ketenagakerjaan setempat dan ditembuskan kepada Kepala Dinas
Kesehatan setempat.
4. Asosiasi pengusaha
Pembinaan dan sosialisasi pengendalian TB di tempat kerja kepada
anggotanya.
16
Memfasilitasi anggota dalam keterlibatan dan pengendalian TB di tempat
kerja.
5. Serikat pekerja/buruh
Pembinaan dan sosialisasi pengendalian TB di tempat kerja kepada
anggotanya.
Memfasilitasi anggota dalam keterlibatan dan pengendalian TB di tempat
kerja.
6. Tim TB DOTS di tempat kerja/perusahaan
Manajemen menfasilitasi TB DOTS di tempat kerja/perusahaan
Menyusun perencanaan program TB DOTS di tempat kerja/perusahaan
Mengkoordinasikan program DOTS di tempat kerja/perusahaan
Memonitor dan evaluasi program DOTS di tempat kerja/perusahaan
Menjaga mutu dan kelangsungan program.
7. FKTP/FKTL di tempat kerja
Melakukan penemuan terduga (suspect), diagnosa, pengobatan dan
pengawasan menelan obat (PMO).
Melakukan rujukan dan menerima rujukan balik ke dan dari fasilitas
kesehatan setempat sesuai kebutuhan.
Melaksanakan pencatatan dan menyusun laporan sesuai sistem yang
baku dan menyampaikan ke pimpinan tempat kerja/perusahaan.
8. Puskesmas
Menerima rujukan spesimen dahak dan terduga TB dalam menegakkan
diagnosa TB dari Unit pelaksana pelayanan TB DOTS perusahaan.
Menerima rujukan dari unit kesehatan di tempat kerja yang belum
menerapkan strategi TB DOTS.
Bersama dengan petugas Dinas Ketenagakerjaan/Pengawas
Ketenagakerjaan melakukan pembinaan, monitoring dan evaluasi
pengendalian TB di tempat kerja.di tempat kerja.
Melaksanakan kegiatan TB DOTS
9. Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut/FKRTL (Rumah Sakit, Balai
Kesehatan Masyarakat (BKKM), Balai Pengobatan dll.)
Menerima rujukan spesimen dahak dan terduga TB dalam menegakkan
diagnosa TB dari Unit pelaksana pelayanan TB DOTS perusahaan.
17
Menerima rujukan penetapan kasus TB akibat kerja
Menerima rujukan pasien TB untuk penanganan lebih lanjut.
Memberikan umpan balik kepada unit kesehatan di tempat
kerja/perusahaan yang memberikan rujukan.
18
BAB IV
Tatalaksana dan Pengendalian Tuberkulosis di Tempat Kerja
A. Tatalaksana
Salah satu strategi pengendalian dengan pendekatan TemPO, yakni singkatan
dari Temukan pasien secepatnya, Pisahkan secara aman dan Obati secara tepat,
yang disertai dengan pemeriksaan hubungan pekerjaan dan kelaikan kerja. Berikut
adalah langkah-langkahnya:
1. Temukan Pasien Secepatnya
Langkah ini dengan memanfaatkan petugas surveilans batuk ditempat kerja
untuk mengidentifikasi terduga TB dan segera dirujuk ke fasilitas kesehatan
tempat kerja atau fasilitas kesehatan jejaring untuk konfirmasi diagnosa. Bila
terduga TB maka dilakukan pemeriksaan laboratorium. Penemuan kasus TB
di tempat kerja dapat diperoleh dengan cara:
a.Pemeriksaan kesehatan awal/sebelum bekerja (pre employment
examination)
b.Pemeriksaan kesehatan berkala (periodic examination)
c.Kunjungan ke pelayanan kesehatan kerja (klinik/RS) perusahaan
d.Pelacakan kontak erat
2. Pisahkan secara Aman
Petugas surveilans batuk segera mengarahkan pasien yang batuk ke tempat
khusus dengan area ventilasi yang baik, yang terpisah dari rekan kerja
lainnya serta diberikan masker. Bila di dalam fasilitas kesehatan tempat kerja
ada banyak pasien, maka untuk alasan kesehatan masyarakat, pasien yang
batuk harus didahulukan dalam antrian (prioritas). Perlu diberikan
penjelasan dan pendidikan pada pasien lainnya mengenai etiket batuk saat di
ruang tunggu.
3. Obati secara Tepat.
Pengobatan merupakan tindakan paling penting dalam mencegah penularan
TB kepada orang lain. Pasien TB dengan terkonfirmasi bakteriologis, segera
diobati sesuai dengan panduan nasional (DOTS) sehingga menjadi tidak
infeksius.
19
Bagan 1: Alur Penemuan Kasus dan Tatalaksana Pekerja dengan
TB
Pekerja:
Pemeriksaan kesehatan
awal/sebelum bekerja
Pemeriksaan berkala
Kunjungan ke
pelayanan kesehatan
kerja (klinik/RS)
perusahaan
Pelacakan kontak erat
Diluar
Klinik perusahaan/ faskes
perusahaan(bekerjasama
perusahaan
dengan pihak ke 3)
Fisik
Laboratorium
(Sputu
Suspek TB m BTA)
Non Suspek TB
Pengobatan TB
Penyesuaian
Laik kerja kerja
20
Keterangan:
Pelayanan kesehatan bisa dilaksanakan di klinik perusahaan atau diluar klinik
perusahaan yang melaksanakan program DOTS.
B. Diagnosis Tuberkulosis
Diagnosis TB adalah upaya untuk menegakkan atau menetapkan seseorang
sebagai pasien TB sesuai dengan keluhan dan gejala penyakit yang disebabkan
oleh Mycobacterium tuberculosis. Diagnosis TB harus ditegakkan dengan
pemeriksaan bakteriologis dengan pemeriksaan mikroskopis langsung, biakan dan
tes cepat. Apabila pemeriksaan secara bakteriologis hasilnya negatif, maka
penegakan diagnosis TB dapat dilakukan secara klinis menggunakan hasil
pemeriksaan klinis dan penunjang (setidak-tidaknya pemeriksaan foto toraks) yang
sesuai dan ditetapkan oleh dokter yang telah terlatih TB.
Di tempat kerja penegakan diagnosis dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan
yang telah terlatih DOTS baik di klinik perusahaan maupun diluar klinik perusahaan
yang sudah melaksanakan program DOTS.
Berdasarkan anatomisnya dari penyakit TB dibagi menjadi 2 yaitu:
a)Tuberkulosis paru :
Adalah TB yang terjadi pada parenkim (jaringan) paru. Milier TB dianggap
sebagai TB paru karena adanya lesi pada jaringan paru.
Limfadenitis TB dirongga dada (hilus dan atau mediastinum) atau efusi pleura
tanpa terdapat gambaran radiologis yang mendukung TB pada paru,
dinyatakan sebagai TB ekstra paru. Pasien yang menderita TB paru dan
sekaligus juga menderita TB ekstra paru, diklasifikasikan sebagai pasien TB
paru.
b) Tuberkulosis ekstra paru :
Adalah TB yang terjadi pada organ selain paru, misalnya : pleura, kelenjar
limfe, abdomen, saluran kencing, kulit, sendi, selaput otak dan tulang.
Diagnosis TB ekstra paru dapat ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan
bakteriologis atau klinis. Diagnosis TB ekstra paru harus diupayakan
berdasarkan penemuan Mycobacterium tuberculosis. Pasien TB ekstra paru
21
yang menderita TB pada beberapa organ, diklasifikasikan sebagai pasien TB
ekstra paru pada organ menunjukkan gambaran TB yang terberat.
TB pada pekerja dapat dikategorikan sebagai Penyakit Akibat Kerja (PAK)
apabila dalam proses kerjanya mengandung bahaya potensial biologi (Hazard
biologi) seperti pada petugas laboratorium, peneliti, dokter, perawat dan petugas
kesehatan lainnya. Dalam menegakkan diagnosis PAK dilakukan dengan 7 (tujuh)
langkah diagnosis PAK yang meliputi:
1. Menentukan diagnosis klinis
Diagnosis tahap ini dipastikan sebagai Tuberculosis dan atau Tuberkulosis
dengan komorbid.
2. Menentukan pajanan yang dialami individu tersebut dalam pekerjaan
Anamnesis pekerjaan yang lengkap tentang adanya pajanan mycobacterium
tuberculosis dan atau pajanan debu, serat dan bahan lain yang dapat
memudahkan terjadinya TB.
3. Menentukan apakah ada hubungan antara pajanan dengan penyakit
Pastikan adanya hubungan antara pajanan dan TB, harus berdasarkan
“evidence” yang ada dan dapat dilihat dari bukti yang ada.
4. Menentukan apakah pajanan yang dialami cukup besar
Penentuan penyebaran TB dapat dilakukan secara kuantitatif dengan
penghitungan jumlah koloni persatuan volume udara atau secara klinik terdapat
rekan kerja yang kontak erat dengan sputum BTA (+) atau secara kualitatif
dengan cara kerja pekerja yang memungkinkan terjadinya kontak.
5. Menentukan apakah ada faktor-faktor individu yang berperan
Faktor individu apakah ada yang dapat mempercepat terjadinya TB akibat kerja
atau sebaliknya menurunkan kemungkinan terkena TB akibat kerja, seperti
kebiasaan merokok, status gizi atau kebiasaan memakai alat pelindung dengan
baik.
6. Menentukan apakah ada faktor lain diluar pekerjaan
Apakah ada faktor diluar pekerjaan yang juga dapat menjadi penyebab TB,
misalnya kontak individu dengan BTA (+) di luar pekerjaan.
7. Menentukan Diagnosis Penyakit Akibat Kerja
Apabila dapat dibuktikan, bahwa adanya kontak dengan Mycobacterium
Tuberculosis, individu TB dengan BTA (+) di tempat kerja atau TB dengan
22
komorbidnya di tempat kerja yang berperan sebagai penyebab, dapat
dikategorikan sebagai TB Akibat Kerja.
Apabila dapat dibuktikan sebagai TB Akibat Kerja maka jaminan kesehatan
dialihkan dari BPJS Kesehatan menjadi jaminan kecelakaan kerja oleh BPJS
Ketenagakerjaan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
C. Pengobatan Pasien TB
Pengobatan TB adalah merupakan salah satu upaya paling efisien untuk
mencegah penyebaran lebih lanjut dari kuman TB. Pengobatan yang adekuat harus
memenuhi prinsip:
a. Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat mengandung
minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi
b. Diberikan dalam dosis yang tepat
c. Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO (Pengawas
Menelan Obat) sampai selesai pengobatan. Di tempat kerja PMO dapat
dilakukan oleh TIM DOTS atau sesama pekerja yang terlatih.
d. Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi dalam tahap awal
serta tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan.
- Tahap Awal: Pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan pada tahap
ini adalah dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman yang
ada dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil
kuman yang mungkin sudah resistan sejak sebelum pasien mendapatkan
pengobatan. Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru, harus
diberikan selama 2 bulan. Pada umumnya dengan pengobatan secara teratur
dan tanpa adanya penyulit, daya penularan sudah sangat menurun setelah
pengobatan selama 2 minggu. Pada tahap awal pengobatan pekerja dengan
TB dianjurkan untuk istirahatkan di rumah.
- Tahap Lanjutan: Pengobatan tahap lanjutan merupakan tahap yang penting
untuk membunuh sisa sisa kuman yang masih ada dalam tubuh khususnya
kuman persister sehingga pasien dapat sembuh dan mencegah terjadinya
kekambuhan. Tempat kerja diharapkan dapat memfasilitasi pekerja dengan
TB dengan menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan yang melaksanakan
DOTS baik di klinik perusahaan maupun diluar klinik perusahaan.
23
D. Pengendalian TB di Tempat Kerja
Pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI) TB di tempat kerja pada dasarnya
sama dengan pencegahan dan pengendalian di Fasilitas Kesehatan, yang terdiri
dari 4 pilar yaitu:
1.Manajerial
Pihak manajerial adalah pimpinan tempat kerja dan pimpinan fasilitas kesehatan
tempat kerja. Dukungan manajemen yang efektif berupa komitmen dan
kepemimpinan merupakan penguatan upaya manajerial untuk pencegahan TB,
yang meliputi:
a. Membuat kebijakan pencegahan TB dengan mengeluarkan SK penunjukkan
petugas pemantau (surveilans) batuk di bagian/unit tempat kerja. Petugas
surveilans batuk, bisa orang awam yang terlatih, tidak harus seorang
petugas kesehatan, yang dilatih untuk melakukan skrining batuk;
b. Membuat SPO mengenai alur pasien untuk semua pasien batuk, alur
pelaporan dan surveilans;
c. Memberi pelatihan petugas surveilans batuk yang terlibat dalam pencegahan
TB di tempat kerja;
d. Membuat perencanaan PPI TB di tempat kerja secara komprehensif;
e. Memastikan tata ruang dan persyaratan bangunan serta pemeliharaannya
sesuai pencegahan TB;
f. Menyediakan sumber daya untuk terlaksananya PPI TB meliputi tenaga,
dana, sarana dan prasarana yang dibutuhkan termasuk aspek kesehatan
kerja;
g. Pemberian informasi dan edukasi kepada pekerja, dan keluarganya.
2.Administratif
Pencegahan dan pengendalian administratif adalah upaya yang dilakukan untuk
mencegah/mengurangi pajanan Mycobacterium Tuberculosis kepada pekerja,
petugas kesehatan dan lingkungan dengan menyediakan, mensosialisasikan dan
memantau pelaksanaan standard operational procedure (SOP) dan alur pelayanan.
Usaha yang diperlukan meliputi:
a. Menempatkan semua terduga dan pasien TB di ruang tunggu yang mempunyai
ventilasi baik;
24
b. Menyediakan tisu dan masker dan tempat pembuangan tisu serta pembuangan
dahak yang benar;
c. Memasang poster, spanduk dan bahan untuk KIE;
d. Mempercepat proses penatalaksanaan pelayanan bagi pasien terduga dan TB,
termasuk diagnostik, terapi dan rujukan sehingga waktu berada di fasilitas
kesehatan dapat sesingkat mungkin.
3.Lingkungan Tempat Kerja
Pengaturan aliran udara/ventilasi untuk mencegah penyebaran dan mengurangi/
menurunkan kadar percik renik (droplet) di udara. Upaya pengendalian dilakukan
dengan menyalurkan percik renik (droplet) kearah udara bebas dan atau ditambah
dengan radiasi utraviolet sebagai germisida.
Untuk sarana terbatas, pasien diminta mengumpulkan dahak di luar gedung, di
tempat terbuka yang terkena sinar matahari, bebas lalu lintas manusia, jauh dari
orang yang menemani atau orang lain, dan jauh dari jendela atau aliran udara
masuk. Apabila pengeluaran dahak di dalam ruangan, maka pengaturan sistem
ventilasi harus benar. Setelah pasien mengeluarkan dahak, pasien harus tetap
dalam ruangan sampai diperkirakan udara sudah bersih sebelum pasien berikutnya
diperbolehkan masuk. Apabila pasien didampingi, pendamping harus menggunakan
masker dan posisi selalu berada di belakang pasien.
Jangan menggunakan toilet atau WC sebagai tempat mengeluarkan dahak.
Pasien perlu diberitahu untuk membersihkan tangan setelah mengeluarkan dahak
dengan air mengalir dan sabun, atau dengan larutan handrubs. Fasilitas kesehatan
harus menyediakan sarana tersebut.
26
waktu perlu diberi penjelasan berapa lama kondisi ini diperkirakan akan
berlaku
Catatan dalam hal ini adalah untuk pemberi kerja dan bukan untuk calon
pekerja/pekerja (misalnya nasehat untuk tidak merokok, kegiatan olah raga,
kontrol teratur ke dokter, makan makanan yang bergizi), serta bukan juga
untuk mencantumkan diagnosis penyakit, misalnya catatannya adalah ada
penyakit tuberculosis. Diberlakukan pada pekerja terdiagnosis TB setelah
dilakukan pengobatan awal selama 2 minggu dan hasil pemeriksaan sputum
BTA (-) namun dengan keadaan umum dan gejala klinis yang kurang baik
sehingga perlu pemeriksaan lanjutan oleh dokter.
3. Tidak Laik Kerja sementara: bila pada saat penilaian laik kerja, calon
pekerja/pekerja belum dapat melakukan pekerjaannya karena masalah
kesehatannya. Dalam hal ini perlu diberi penjelasan waktu berapa lama
diperkirakan belum dapat bekerja dan kapan perlu dilakukan penilaian laik kerja
ulang. Pada pekerja dengan TB pada pengobatan awal dan hasil pemeriksaan
sputum BTA (+).
4. Tidak Laik Kerja untuk pekerjaan tertentu: Bila kondisi kesehatannya tidak
memungkinkan calon pekerja/pekerja melakukan tugas tertentu dalam
pekerjaannya secara efektif. Perlu diberi penjelasan tambahan jenis pekerjaan
yang masih bisa dilakukan oleh calon pekerja/pekerja
5. Tidak Laik Kerja untuk semua pekerjaan: Bila kondisi kesehatannya tidak
memungkinkan calon pekerja/pekerja melakukan semua pekerjaan
27
Pekerja dengan TB MDR tidak diperbolehkan untuk kembali bekerja sampai
mereka telah telah melakukan pemeriksaan konversi kultur sputum atau dikonfirmasi
tidak memiliki TB yang resistan. Cuti sakit harus diberikan pada pekerja dengan TB
MDR untuk waktu yang lebih lama karena memerlukan rawat inap selama beberapa
bulan. Pekerja dengan TB diusahakan segera mungkin aktif kembali bekerja, gejala
ikutan dan atau squele ikutan pengobatan memerlukan kajian kelaikan kerja yang
disesuaikan dengan penyakitnya, selanjutnya bila memerlukan tatalaksana kembali
kerja (return to work) dirujuk ke Spesialis Okupasi (SpOk).
BAB V
PEMANTAUAN DAN EVALUASI
BAB VI
PENUTUP
28
BAB VII
DAFTAR PUSTAKA
29
Lampiran 1
Tata Laksana Pasien Tuberkulosis di Tempat Kerja
30
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2 minggu
atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak
bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan
menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa
kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan.
Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru
selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan
lain-lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka
setiap orang yang datang ke fasyankes dengan gejala tersebut diatas,
dianggap sebagai seorang terduga pasien TB, dan perlu dilakukan
pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.
Gejala TB pada anak secara sistemik/umum sebagai berikut:
o Berat badan turun tanpa sebab yang jelas.
o Demam lama (≥2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas.
o Batuk lama ≥3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah
reda atau intensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain
batuk telah dapat disingkirkan.
o Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal
tumbuh (failure to thrive).
o Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.
o Diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan
pengobatan baku diare.
Gejala klinis TB pada ODHA sering tidak spesifik. Gejala klinis pada
ODHA yaitu batuk, demam, penurunan BB yang signifikan (>10%),
keringat malam dan gejala ekstra paru sesuai dengan organ yang
terkena, misalkan TB Pleura, TB Milier, TB Abdomen, dan lain-lain.
Apabila ditemukan salah satu gejala di atas, maka ODHA tersebut
terduga TB.
Terduga TB resistan obat ( TB-MDR) adalah semua orang yang
mempunyai gejala yang memenuhisalah satu kriteria terduga dibawah ini:
1. Pasien TB gagal pengobatan kategori 2
2. Pasien TB pengobatan kategori 2 yang tidak konversi setelah 3 bulan
pengobatan.
3. Pasien TB yang riwayat pengobatan TB yang tidak standar serta
menggunakan kuinolon dandan obat injeksi lini kedua minimal selama
1 bulan.
4. Pasien TB pengobatan kategori 1 yang gagal.
5. Pasien TB pengobatan kategori1yang tetap positif setelah 3 bulan
pengobatan
6. Pasien TB kasus kambuh (relaps) kategori 1 dan kategori 2.
7. Pasien TB yang kembali lost to follow-up (lalai berobat/default)
8. Terduga TB yang mempunyai riwayat kontak erat dengan pasien TB
MDR, termasuk dalam hal ini warga binan yang ada di Lapas/Rutan.
9. Pasien koinfeksi TB-HIV yang tidak respons secara bakteriologis
maupun klinis terhadap pemberian OAT (bila pada penegakan
diagnosis awal tidak menggunakan GeneXpert).
Secara khusus penemuan pasien TB di tempat kerja melalui:
1)Pemeriksaan kesehatan awal bekerja
2)Pemeriksaan kesehatan berkala
3)Kunjungan ke klinik tempat kerja
31
4)Pelacakan kontak
2.Pemeriksaan dahak
a.Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung
Pemeriksaan dahakberfungsi untuk menegakkan diagnosis,menilai
keberhasilan pengobatan danmenentukan potensi penularan.
Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan
mengumpulkan 3 contoh uji dahak yang dikumpulkan dalam dua hari
kunjungan yang berurutan berupa dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS):
S (sewaktu): dahak ditampung pada saat terduga pasien TB datang
berkunjung pertama kali ke fasyankes. Pada saat pulang, terdugapasien
membawa sebuah pot dahak untuk menampung dahak pagi pada hari
kedua.
P (Pagi): dahak ditampung di rumah pada pagi hari kedua, segera
setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas
di fasyankes.
S (sewaktu): dahak ditampung di fasyankes pada hari kedua, saat
menyerahkan dahak pagi.
b.Pemeriksaan Biakan
Pemeriksaan biakan untuk identifikasi Mycobacterium tuberkulosis (M.tb)
dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis pasti TB pada pasien tertentu,
misal:
Pasien TB ekstra paru.
Pasien TB anak.
Pasien TB dengan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis langsung BTA
negatif.
Pemeriksaan tersebut dilakukan disarana laboratorium yang terpantau
mutunya.
Apabila dimungkinkan pemeriksaan dengan menggunakan tes cepat yang
direkomendasikan WHO maka untuk memastikan diagnosis dianjurkan
untuk memanfaatkan tes cepat tersebut.
B. Diagnosis Tuberkulosis
Pada Orang Dewasa
a. Diagnosis TB paru:
Dalam upaya pengendalian TB secara Nasional, maka diagnosis TB Paru
pada orang dewasa harus ditegakkan terlebih dahulu dengan
pemeriksaan bakteriologis. Pemeriksaan bakteriologis yang dimaksud
adalah pemeriksaan mikroskopis langsung, biakan dan tes cepat.
Apabila pemeriksaan secara bakteriologis hasilnya negatif, maka
penegakan diagnosis TB dapat dilakukan secara klinis menggunakan
hasil pemeriksaan klinis dan penunjang (setidak-tidaknya pemeriksaan
foto toraks) yang sesuai dan ditetapkan oleh dokter yang telah terlatih
TB.
Pada sarana terbatas penegakan diagnosis secara klinis dilakukan
setelah pemberian terapi antibiotika spektrum luas (Non OAT dan Non
kuinolon) yang tidak memberikan perbaikan klinis.
Tidak dibenarkan mendiagnosis TB dengan pemeriksaan serologis.
32
Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto
toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang
spesifik pada TB paru, sehingga dapat menyebabkan terjadi
overdiagnosis ataupun underdiagnosis.
Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya dengan pemeriksaan uji
tuberkulin.
b. Pemeriksaan Dahak Mikroskopis Langsung:
Untuk kepentingan diagnosis dengan cara pemeriksaan dahak secara
mikroskopis langsung, terduga pasien TB diperiksa contoh uji dahak
SPS (Sewaktu – Pagi – Sewaktu):
Ditetapkan sebagai pasien TB apabila minimal 1 (satu) dari pemeriksaan
contoh uji dahak SPS hasilnya BTA positif.
c. Diagnosis TB ekstra paru:
Gejala dan keluhan tergantung pada organ yang terkena, misalnya kaku
kuduk pada Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis),
pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB serta
deformitas tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TBdan lain-lainnya.
Diagnosis pasti pada pasien TB ekstra paru ditegakkan dengan
pemeriksaan klinis, bakteriologis dan atau histopatologisdari contoh uji
yang diambil dari organ tubuh yang terkena.
Dilakukan pemeriksaan bakteriologis apabila juga ditemukan keluhan dan
gejala yang sesuai, untuk menemukan kemungkinan adanya TB paru.
Terduga TB: adalah seseorang yang mempunyai keluhan atau gejala klinis
mendukung TB.
33
Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah:
a.Pasien TB paru BTA positif
b.Pasien TB paru hasil biakan M.tb positif
c.Pasien TB paru hasil tes cepat M.tb positif
d.Pasien TB ekstraparu terkonfirmasi secara bakteriologis, baik dengan BTA,
biakan maupun tes cepat dari contoh uji jaringan yang terkena.
e.TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis.
Catatan: Semua pasien yang memenuhi definisi tersebut diatas harus dicatat
tanpa memandang apakah pengobatan TB sudah dimulai ataukah belum.
34
Diagnosis TB ekstra paru dapat ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan
bakteriologis atau klinis. Diagnosis TB ekstra paru harus diupayakan
berdasarkan penemuan Mycobacterium tuberculosis.
Pasien TB ekstra paru yang menderita TB pada beberapa organ,
diklasifikasikan sebagai pasien TB ekstra paru pada organ menunjukkan
gambaran TB yang terberat.
35
Hasil tes HIV positif sebelumnya atau sedang mendapatkan
ART,atau
Hasil tes HIV positif pada saat diagnosis TB.
Catatan:
Apabila pada pemeriksaan selanjutnya ternyata hasil tes HIV menjadi
positif, pasien harus disesuaikan kembali klasifikasinya sebagai pasien
TB dengan HIV positif.
Catatan:
Apabila pada pemeriksaan selanjutnya dapat diperoleh hasil tes HIV
pasien, pasien harus disesuaikan kembali klasifikasinya berdasarkan
hasil tes HIV terakhir.
C. Pengobatan Pasien TB
1.Tujuan Pengobatan TB adalah:
a.Menyembuhkan pasien dan memperbaiki produktivitas serta kualitas hidup
b.Mencegah terjadinya kematian oleh karena TB atau dampak buruk
selanjutnya
c.Mencegah terjadinya kekambuhan TB
d.Menurunkan penularan TB
e.Mencegah terjadinya dan penularan TB resistan obat
36
sebagian kecil kuman yang mungkin sudah resistan sejak sebelum pasien
mendapatkan pengobatan. Pengobatan tahap awal pada semua pasien
baru, harus diberikan selama 2 bulan. Pada umumnya dengan
pengobatan secara teratur dan tanpa adanya penyulit, daya penularan
sudah sangat menurun setelah pengobatan selama 2 minggu.
b.Tahap Lanjutan: Pengobatan tahap lanjutan merupakan tahap yang
penting untuk membunuh sisa sisa kuman yang masih ada dalam tubuh
khususnya kuman persister sehingga pasien dapat sembuh dan
mencegah terjadinya kekambuhan.
Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket obat
kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2
atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan
pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.
Paket Kombipak.
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan
Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan
program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang terbukti mengalami
efek samping pada pengobatan dengan OAT KDT sebelumnya.
Paduan OAT kategori anak disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi
dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 3 jenis obat
dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan
ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.
Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket, dengan
tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan
(kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien
dalam satu (1) masa pengobatan.
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket KDT mempunyai
beberapa keuntungan dalam pengobatan TB, yaitu:
1)Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin
efektifitas obat dan mengurangi efek samping.
37
2)Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya
resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep
3)Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat
menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien
38
38-54 kg 3 tab 4KDT 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT
+750 mg Streptomisin + 3 tab Etambutol
inj.
55-70 kg 4 tab 4KDT 4 tab 4KDT 4 tab 2KDT
+ 1000 mg Streptomisin + 4 tab Etambutol
inj.
≥71 kg 5 tab 4KDT 5 tab 4KDT 5 tab 2KDT
+ 1000mg Streptomisin ( > do maks ) + 5 tab Etambutol
inj.
Catatan:
Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB pada keadaan khusus.
Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan
aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg).
Berat badan pasien ditimbang setiap bulan dan dosis pengobatan harus
disesuaikan apabila terjadi perubahan berat badan.
Penggunaan OAT lini kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya
kanamisin) dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien
baru tanpa indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah
daripada OAT lini pertama. Disamping itu dapat juga meningkatkan risiko
terjadinya resistensi pada OAT lini kedua.
OAT lini kedua disediakan di Fasyankes yang telah ditunjuk guna memberikan
pelayanan pengobatan bagi pasien TB yang resistan obat.
39
contoh uji dahak tersebut negatif. Bila salah satu contoh uji positif atau
keduanya positif,hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif.
Tindak lanjut atas dasar hasil pemeriksaan ulang dahak mikroskopis dapat
dilihat pada tabel di bawah ini.
40
Tabel 9. Pemeriksaan dahak ulang untuk pemantauan hasil pengobatan
KATEGORI BULAN PENGOBATAN
PENGOBATA 1 2 3 4 5 6 7 8
N
Pasien baru (====) (====) (-------) (-------) (-------) (-------)
BTA positif X (X) X X
2(HRZE)/4(HR) apabila apabila hasilnya apabila apabila
ӡ hasilnya BTA BTA positif *, hasilnya hasilnya
positif, lanjutkan BTA positif BTA positif
periksa pengobatan dan **, **,
kembali periksa kembali dinyatakan dinyatakan
pada bulan pada bulan ke 5 gagal gagal
ke 3
Pasien baru (====) (====) (-------) (-------) (-------) (-------)
BTA negatif X (X) X X
2(HRZE)/4(HR) apabila apabila hasilnya apabila apabila
ӡ hasilnya BTA BTA positif *, hasilnya hasilnya
positif, lanjutkan BTA positif BTA positif
periksa pengobatan dan **, **,
kembali periksa kembali dinyatakan dinyatakan
pada bulan pada bulan ke 5 gagal gagal
ke 3
Pasien (====) (====) (====) (-------) (-------) (-------) (-------) (-------)
pengobatan X X X
ulang apabila hasilnya apabila apabila
BTA positif BTA positif *, hasilnya hasilnya
2(HRZE)S lanjutkan BTA positif BTA positif
/(HRZE)/ pengobatan dan **, **,
5(HR)ӡEӡ periksa kembali dinyatakan dinyatakan
pada bulan ke 5 gagal gagal
( dimodifikasi dari : Management of Tuberculosis, Training for Health Facility Staf,WHO,2010 )
Keterangan :
41
(====) : Pengobatan tahap awal
(-------) : Pengobatan tahap lanjutan
X : Pemeriksaan dahak ulang pada minggu terakhir bulan pengobatan untuk memantau hasil pengobatan
( X ): Pemeriksaan dahak ulang pada bulan ini dilakukan hanya apabila hasil pemeriksaan pada akhir tahap awal hasilnya
BTA(+)
* : Lakukan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan. Jika hasilnya menunjukkan ada resistensi, pasien dinyatakan GAGAL,
rujuk ke fasyankes rujukan TB resistan obat
** : Pasien dinyatakan gagal. Lakukan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan. Jika hasilnya menunjukkan ada resistensi,
rujuk ke fasyankes rujukan TB resistan obat.
42
Pasien TB ekstra paru
Untuk pasien TB ekstra paru, pemantauan kondisi klinis merupakan cara
menilai kemajuan hasil pengobatan (Standar 10. ISTC). Sebagaimana pada
pasien TB BTA negatif, perbaikan kondisi klinis antara lain peningkatan
berat badan pasien merupakan indikator yang bermanfaat.
43
Tabel 10. Tatalaksana pasien yang berobat tidak teratur
Tindakan pada pasien yang putus berobat selama kurang dari 1 bulan
Dilakukan pelacakan pasien
Diskusikan dengan pasien untuk mencari faktor penyebab putus berobat
Lanjutkan pengobatan dosis yang tersisa sampai seluruh dosis pengobatan terpenuhi *
Tindakan pada pasien yang putus berobat antara 1 – 2bulan
Tindakan pertama Tindakan kedua
Lacak pasien Apabila hasilnya BTA negatif atau
Lanjutkan pengobatan dosis yang tersisa sampai seluruh dosis pengobatan
Diskusikan dengan pada awal pengobatan adalah pasien terpenuhi*
pasien untuk TB ekstra paru
mencari faktor Total dosis Lanjutkan pengobatan dosis yang tersisa sampai
penyebab putus pengobatan seluruh dosis pengobatan terpenuhi*
berobat sebelumnya ≤ 5
Periksa dahak bulan
SPS dan Apabila salah satu atau lebih hasilnya Kategori 1 :
melanjutkan BTA positif Total dosis 1. Lakukan pemeriksaan tes cepat
pengobatan pengobatan 2. Berikan Kategori 2 mulai dari awal **
sementara sebelumnya ≥ 5 Kategori 2 :
menunggu bulan Lakukan pemeriksaan tes cepat atau dirujuk ke
hasilnya RS Pusat Rujukan TB MDR ***
Tindakan pada pasien yang putus berobat 2 bulan atau lebih (Loss to follow-up)
Keputusan pengobatan selanjutnya ditetapkan oleh dokter tergantung pada
Lacak pasien kondisi klinis pasien, apabila:
Diskusikan dengan Apabila hasilnya BTA negatif atau
1. sudah ada perbaikan nyata: hentikan pengobatan dan pasien tetap
pasien untuk diobservasi. Apabila kemudian terjadi perburukan kondisi klinis, pasien
pada awal pengobatan adalah pasien
mencari faktor diminta untuk periksa kembali
TB ekstra paru
penyebab putus atau
berobat 2. belum ada perbaikan nyata: lanjutkanpengobatan dosis yang tersisa
Periksa dahak sampai seluruh dosis pengobatan terpenuhi *
SPS dan atau tes Apabila salah satu atau lebih hasilnya Kategori 1
BTA positif dan tidak ada bukti Dosis pengobatan sebelumnya < 1 Berikan pengobatan Kat. 1 mulai dari
44
cepat resistensi bln awal
Hentikan Dosis pengobatan sebelumnya > 1 Berikan pengobatan Kat. 2 mulai dari
pengobatan bln awal
sementara Kategori 2
menunggu Dosis pengobatan sebelumnya < 1 Berikan pengobatan Kat. 2 mulai dari
hasilnya bln awal
Dosis pengobatan sebelumnya > 1 Dirujuk ke layanan spesialistik untuk
bln pemeriksaan lebih lanjut
Apabila salah satu atau lebih hasilnya Kategori 1 maupun Kategori 2
BTA positif dan ada bukti resistensi Dirujukke RS pusat rujukan TB MDR
(dimodifikasi dari : Treatment of Tuberculosis, Guidelines for National Programme, WHO, 2003)
45
Keterangan :
* Lanjutkan pengobatan dosis yang tersisa sampai seluruh dosis
pengobatan terpenuhi dan dilakukan pemeriksaan ulang dahak kembali
setelah menyelesaikan dosis pengobatan pada bulan ke 5 dan AP
** Sementara menunggu hasil pemeriksaan uji kepekaan pasien dapat
diberikan pengobatan paduan OAT kategori 2.
*** Sementara menunggu hasil pemeriksaan uji kepekaan pasien tidak
diberikan pengobatan paduan OAT.
Hasil Definisi
pengobatan
Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan bakteriologis positif
Sembuh pada awal pengobatan yang hasil pemeriksaan bakteriologis
pada akhir pengobatan menjadi negatif dan pada salah satu
pemeriksaan sebelumnya.
Pasien TB yang telah menyelesaikan pengobatan secara
Pengobatan lengkap dimana pada salah satu pemeriksaan sebelum akhir
lengkap pengobatan hasilnya negatif namun tanpa ada bukti hasil
pemeriksaan bakteriologis pada akhir pengobatan.
Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau
kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama
pengobatan atau kapan saja apabila selama dalam
Gagal pengobatan diperoleh hasil laboratorium yang menunjukkan
adanya resistensi OAT
Meninggal Pasien TB yang meninggal oleh sebab apapun sebelum
memulai atau sedang dalam pengobatan.
Putus berobat Pasien TB yang tidak memulai pengobatannya atau yang
(loss to follow-up) pengobatannya terputus selama 2 bulan terus menerus atau
lebih.
Pasien TB yang tidak diketahui hasil akhir pengobatannya.
Termasuk dalam kriteria ini adalah ”pasien pindah (transfer
out)” ke kabupaten/kota lain dimana hasil akhir
Tidak dievaluasi pengobatannya tidak diketahui oleh kabupaten/kota yang
ditinggalkan.
1) Persyaratan PMO
46
a) Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh
petugas kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani
dan dihormati oleh pasien.
b) Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.
c) Bersedia membantu pasien dengan sukarela.
d) Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama
dengan pasien
c) Hepatitis Kronis
Pada pasien dengan kecurigaan mempunyai penyakit hati
kronis, pemeriksaan fungsi hati harus dilakukan sebelum
memulai pengobatan. Apabila hasil pemeriksaan fungsi hati >3
x normal sebelum memulai pengobatan, paduan OAT berikut ini
dapat dipertimbangkan:
48
2 obat yang hepatotoksik
2 HRSE / 6 HR
9 HRE
1 obat yang hepatotoksik
2 HES / 10 HE
Tanpa obat yang hepatotoksik
18-24 SE ditambah salah satu golongan fluorokuinolon
(ciprofloxasin tidak direkomendasikan karena potensimya
sangat lemah).
8) Indikasi operasi
Pasien-pasien yang perlu mendapat tindakan operasi (misalnya
reseksi paru), adalah:
a) Untuk TB paru:
Pasien batuk darah berat yang tidak dapat diatasi dengan cara
konservatif.
Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak
dapat diatasi secara konservatif.
50
Pasien TB MDR dengan kelainan paru yang terlokalisir.
b) Untuk TB ekstra paru:
Pasien TB ekstra paru dengan komplikasi, misalnya pasien TB
tulang yang disertai kelainan neurologik.
OAT lini pertama yang dapat memberikan gangguan fungsi hati adalah :
H, R dan Z. Sebagai tambahan, Rifampisin dapat menimbulkan ikterus
tanpa ada bukti gangguan fungsi hati. Penting untuk memastikan
kemungkinan adanya faktor penyebab lain sebelum menyatakan
gangguan fungsi hati yang terjadi disebabkan oleh karena paduan OAT.
Apabila gangguan fungsi hati dan ikterus terjadi pada saat pengobatan
53
tahap lanjutan (paduan Kategori 1), setelah gangguan fungsi hati dapat
diatasi,mulailah kembali pemberian H dan R selama 4 bulan lengkap
tahap lanjutan.
54
Lampiran 2
TATA CARA PEMANTAUAN DAN EVALUASI
A. Pencatatan
Format pencatatan dan pelaporan Fasilitas Kesehatan di Tempat Kerja
adalah :
1. Daftar Terduga TB yang diperiksa dahak (TB.06).
2. Formulir permohonan laboratorium TB untuk pemeriksaan dahak
(TB.05).
3. Register laboratorium TB (TB.04).
4. Kartu pengobatan pasien TB (TB.01).
5. Kartu identitas pasien TB (TB.02).
6. Register TB Fasilitas Kesehatan (TB.03 Faskes).
7. Formulir rujukan/pindah pasien (TB.09).
8. Formulir hasil akhir pengobatan dari pasien TB pindahan (TB.10).
9. Formulir Laporan Triwulan Penerimaan dan Pemakaian OAT (TB.13)
B. Pelaporan :
Laporan hasil kegiatan Unit Kesehatandi Tempat Kerja (Pelayanan
Kesehatan Kerja) dilakukan secara berkala setiap triwulan dari fasilitas
kesehatan dengan menggunakan (Form TB. 03 UPK) disampai ke Dinas
Kesehatan Kabupaten Kota, sedangkan untuk format kegiatan
pencegahan dan penanggulangan di tempat kerja disampaikan kepada
Instansi Ketenagakerjaan bersama dengan laporan laporan P2K3 dan
laporan Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Kerja sesuai peraturan
perundangan bidang Ketenagakerjaan.
55
Alur Pelaporan :
Rekap kegiatan P2 TB di
tempat kerja
TB.03
Puskesmas Fasilitas Kesehatan
perusahaan
2.Indikator :
Untuk mengukur kemajuan program (marker of progress).atau
keberhasilan program pengendalian TB digunakan beberapa indikator,
yaitu:
1) Indikator Penemuan :
Proporsi pasien baru TB paru yang terkonfirmasi bakteriologis
diantara terduga TB.
Proporsi pasien TB paru yang terkonfirmasi bakteriologis diantara
semua pasien TB paru yang diobati/ tercatat.
2) Indikator Pengobatan TB
Angka konversi (Conversion Rate)
Angka keberhasilan pengobatan (Success Rate)
Angka kesembuhan (Cure Rate)
Angka putus berobat
56
Numerator Jumlahkasusbaru TB Paru terkonfirmasi Bakteriologis
Denominator JumlahseluruhTerduga
(TB.04) TB (TB.06)
Rumus
Rumus
57
Rumus
Rumus
58
1)Menilaikualitaspelayanan pengobatan di Fasilitas
Kesehatan.
Manfaat 2)Indikator ini dapat digunakan untuk menilai PMO.
3)Indikator ini untuk menilai kepatuhan pasien minum obat.
4)Menilai keberhasilan Program TB.
5)Mengetahui pasien yang kebal obat.
Rumus
6)Menilaikualitaspelayananpengobatan di Fasilitas
Kesehatan.
Manfaat 7)Indikatorinidapatdigunakanuntukmenilai PMO.
8)Indikator ini untuk menilai kepatuhan pasien minum obat.
9)Menilai keberhasilan Program TB.
10)Mengetahui pasien yang kebal obat.
Rumus
59
1 ) Menilaikualitaspelayananpengobatan di Fasilitas
Kesehatan.
Manfaat 2)Indikatorinidapatdigunakanuntukmenilai PMO.
3)Indikator ini untuk menilai kepatuhan pasien minum obat.
4)Menilai keberhasilan Program TB.
60
Lampiran 3
Formulir – Formuli TB
TB.01 ; Kartu Pengobatan Pasien
TB.02 : Kartu Identitas PAsien TB
TB.03 : Register TB Fasilitas Kesehatqan
TB.04 : Register Laboratoirum TB untuk Laboratorim Faskes Mikroskopis
atau Test Cepat
TB.05 : Formulir Permohonan Laboratorium TB Untuk Pemeriksaan Dahak
TB.06 : Daftar Terduga TB
TB.09 : Formulir Rujukan / Pindah PAsien
TB.10 : Formulir Hasil Akhir Pengobatan PAsien TB Pindahan
TB.11 : Laporan Triwulan Hasil Pemeriksaan Dahak Mikroskopis Akhir Tahap
Awal (untuk pasienterdaftar 3-6 bulan yang lalu)
TB.13 : Laporan Triwulan Penerimaan dan Pemakaian OAT Kabupaten /
Kota
Formulir Terlampir
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
61