Bab 1 Pendahuluan
Bab 1 Pendahuluan
PENDAHULUAN
1
Yulita. 2019. Perjuangan Sultan Thaha Saifuddin Dalam Menentang Belanda. Hal 21
2
Putri Seibahar Sari. 2021. Sejarah Jambi Pada Masa Keresidenan (1906-1942). Hal 15
BAB I
3
A Muis. 2014. Latar Belakang Belanda Membuka Perkebunan Karet. Hal 1-2
4
Alinur. 2018. Politik Etis Pada Masa Kolonialisme Belanda. Hal 5
BAB I
pertanian dengan sistem monokultur, yakni hanya menanam karet. Situasi ini
menjadi semakin sulit pada saat harga karet turun drastis di pasaran dunia pada
1930-an. Tidak ada yang dapat mereka lakukan pada saat itu selain harus membeli
bahan pangan dengan harga tinggi, sambil berdoa harga karet kembali naik. 5
Tahun 1930 jenis Karet Polyurethane di Muara Sebo mengalami penurunan 21%.
Karena jenis Karet tersebut mengalami kelangkaan. Tahun 1942 dimana jenis
Karet Kupon mengalami peningkatan di perluasan wilayah perkebunan Pemayung
dengan 30% mengekspor Karet. Berikut Data Perkebunan Karet Per Tahun:
Tabel 1 Data Perkebunan Karet Per Tahun
Tahun Jenis Karet Perluasan Wilayah Perkebunan Jumlah (%)
1907 Helfrich Muara Tembesi 20
1910 Shorwder Pickles Muara Sekamis 15
1920 Hevea Muara Bulian 46
1930 Polyurethane Muara Sebo 21
1942 Kupon Pemayung 30
5
Margono, Hartono. 1984. Sejarah Perkembangan Perkebunan Jambi. Hal 23
6
Leirissa. 2019. Sejarah Perekonomian Perkebunan Karet Indonesia. Hal 15
perkebunan karet di Lampung tahun 1892 yaitu dari faktor sumber daya alam,
ekonomi, politik, dan letak geografis perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta ketersediaan sumber daya manusia. Semua faktor tersebut saling
terkait antara satu dengan lainnya misalkan saja dengan kondisi alam yang subur.
Lampung merupakan salah satu daerah yang dimanfaatkan untuk menanamkan
modal sebagai akibat pemberlakuan Undang-undang Agraria tahun 1870.
Kebijakan ekonomi politik itu merupakan produk golongan liberal dengan
kemenangan mereka di Parlemen Belanda. Perkembangan perkebunan karet di
Lampung untuk pertama kali dibuka di Way Lima 8 Oktober 1892. Perkebunan di
Lampung semakin berkembang sehingga membutuhkan buruh yang banyak maka
didatangkan buruh dari Jawa melalui upaya kolonisasi yang merupakan salah satu
pelaksanaan Politik Etis (emigrasi) dan melalui agen-agen penyalur buruh dari
Jawa. Keberadaan perkebunan tersebut menimbulkan dampak khususnya di
bidang sosial dan ekonomi yang masih bisa dilihat dan dirasakan hingga sekarang.
Dampak sosial akibat perkebunan karet tersebut antara lain adanya kolonisasi
yang menimbulkan daerah enclaves dengan banyaknya desa-desa Jawa yang
terpisah dengan penduduk lokal. Selain itu terjadi peningkatan jumlah penduduk
dan stratifikasi sosial di perkebunan berdasarkan jabatan dan warna kulit.
Sedangkan dampak ekonomi yang ditimbulkan yakni pembukaan Lampongshe
Bank atau Bank Kredit Lampung munculnya agen-agen tenaga kerja untuk
mendatangkan buruh-buruh dari Jawa. Adapun dampak yang masih dapat
dirasakan hingga saat ini adanya pembangunan sarana transportasi kereta api jalan
raya dan penyeberangan laut menuju dan dari Jawa.7
Kemudian Jurnal yang di buat oleh Eka Jaya Putra Utama pada tahun 2020
yang berjudul “Perkebunan Karet di Sintang Pada Awal Abad ke-20”. Volume 12
No. 02 Jurnal Ilmiah Kependidikan. Hasil penelitian dari Jurnal ini menunjukkan
bahwa perkebunan karet di Sintang tersebar dibeberapa wilayah, salah satunya
BAB I
terletak di Desa Nanga Jetak. Persiapan benih getah sudah disiapkan oleh
pengusaha Hindia Belanda, kemudian di distribusikan keberbagai daerah di
Sintang. Budidaya tanaman karet dikalukan oleh msyarakat pribumi dan dibantu
oleh orangorang Jawa yang dikontak oleh Pengusaha Hindia Belanda sebagai
7
Jemi Arifin. 2008. Perkebunan Karet Di Lampung 1892-1930. Hal 1
petani karet. Perkebunan karet di kelola oleh pengusaha Hindia Belanda dan
sebagian orang China. Karet yang sudah diolah menjadi getah di kirim ke
kerajaan Sintang melalui Sungai Melawi dan Pemerintah Hindia Belanda yang
ada di Pontianak melalui jalur Sungai Kapuas.8
Kemudian Jurnal yang di buat oleh Ibnu Zusneli Zubir pada tahun 2015
yang berjudul “Sejarah Perkebunan Karet Dan Dampak Bagi Perkembangan
Masyarakat Palembang, 1900-1942”. Volume 01 No. 01 Jurnal Sejarah dan
Budaya. Hasil penelitian dari artikel ini ditemukan perkebunan karet masa
kolonial di Onderafdeeling Banjoeasin en Koeboestrekken sangat berhubungan
dengan keadaan alam daerah ini dan juga adanya perubahan politik kolonial, open
the door. Ada dua perusahaan besar yang melakukan investasi besarbesaran
perkebunan besar karet yakni, pertama, Rubber Ondernemingen Melania pada
tahun 1909 yang melakukan penanaman dan usaha karet secara besar-besaran
mulai dari ujung timur Marga Pangkalan Balai sampai ke ujung barat Marga
Gasing dan berpusat di Musi Landas. Kedua, perkebunan Oud Wassenaar, N.V.
Oliepalmen en rubber Mijn yang membentang luas di daerah-daerah talang mulai
bagian utara Batang Hari Leko, Marga Rantau Bayur, ke utaranya Marga Suak
Tape, Marga Betung dan daerah Tebenan. Relevansi pembukaan perkebunan
besar dengan masyarakat di Onderafdeeling Banjoeasin en Koeboestrekken
terlihat dalam beberapa hal. Pertama, adanya perubahan posisi elit lokal, para
pasirah, kerio, pejabat dewan marga lainnya. Kedua, turut menciptakan
“perbaikan” sarana dan prasana infrastruktur masyarakat di sana. Ketiga,
mendorong berkembangnya kegiatan ekonomi dan memberikan dampak yang luar
BAB I
biasa di dusun-dusun marga. Keempat, banyaknya pembangun jalan penghubung
untuk keperluan transportasi hasil karetnya memiliki dampak yang luas dan
mendalam terhadap pola masyarakat tradisional, tidak saja bagi orang Melayu
Banyuasin, tetapi juga bagi segi-segi kehidupan orang Kubu. Mereka mulai
memciptakan asimilasi bertahap orang Kubu dengan penduduk Melayu akibat
adanya perubahan orientasi pemikirannya karena memulai terbukanya
daerahdaerah mereka dari pengaruh dunia luar.9
8
Eka Jaya Putra. 2020. Perkebunan Karet di Sintang pada Awal Abad Ke-20. Hal 1
9
Ibnu Zusneli Zubir. 2015. Sejarah Perkebunan Karet dan Dampak Bagi Perkembangan Masyarakat
Palembang 1900-1942. Hal 1