Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

OBSERVASI ( BURHANI), EKSPERIMEN (IJBARI) DAN RASIONAL (JADALI) DALAM PERSEPEKTIF ISLAM

DISUSUN OLEH:

Kelompok 03

Nabila Rachel (2020604062)

Iqbal fibri imanda (2020604066)

Lana alfiana (2020604075)

DOSEN PEMBIMBING:

Mufti Fiandi,M.Ag

UNIVERSITAS UIN RADEN FATAH PALEMBANG PROGRAM STUDI MANAJEMEN ZAKAT DAN WAKAF
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM 2021
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang marilah kita
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadiran-Nya yang telah melimpahkan rahmat,hidayah dan
inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul observasi (burhani),
eksperimen (ijbari) dan rasional (jadali) dalam persepektif Islam“ ini.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak
sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak
terimakasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu,kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi
susunan kalimat maupun tata Bahasa. Oleh karena itu Dengan tangan terbuka kami menerima
segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.

14 April 2021

Penyusunan
DAFTAR ISI
Pendahuluan

Bab 1

1.latar belakang

Observasi (burhani), eksperimen (ijbari) dan rasional (jadali) dalam persepektif Islam

Ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi kunci yang paling mendasar dari kemajuan yang diraih
umat manusia, tentunya tidak datang begitu saja tanpa ada sebuah dinamika atau pengembangan
ilmiah. Proses untuk mendapatkan ilmu pengetahuan itulah dikenal dengan istilah epistemologis.
Lebih lanjut Ahmad Tafsir mengungkapkan bahwa Epistemologi membicarakan sumber ilmu
pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh ilmu pengetahuan.

Metode ilmiah yang dikembangkan oleh para pemikir muslim berbeda secara signifikan dengan
metode yang dikembangkan oleh para pemikir barat. Sebab, seperti pernah dikatakan Ziaudin
Sardar, sementara para ilmuanbarat menggunakan hanya satu macam metode ilmiah, yaitu metode
observasoi, para pemikir muslim menggunakan tiga macam metode sesuai dengan tingkat atau
hiererki objek-objeknya, yaitu

(1) Bayani atau observasi,

(2) Burhani atau Logis,

(3) Irfani atau intuitif,

yang masing-masing bersumber pada indra, akal, dan hati.

Menurut para ilmuan Muslim, manusia memiliki tiga macam sumber “alat” untuk menengkap
keseluruhan realitas : panca indra, akal, dan intuisi (meliputi wahyu). Sementara di lain sisi, para
ilmuan barat modern pada dasarnya hanya mengakui indra. Dengan hanya mengakui indra, mereka
mengembangkan hanya satu metode penelitian saja, yaitu metode observasi, atau eksperimen
indrawi. Metode observasi ini memang terus dikembangkan sampaitingkat yang canggih, tetapi
semuanya tetap bermuara pada penerapan indrawi.

Burhani merupakan bahasa Arab yang secara harfiyah berarti mensucikan atau menjernihkan.
Menurut ulama ushul, al-burhan adalah sesuatu yang memisahkan kebenaran dari kebatilan dan
membedakan yang benar dari yang salah melalui penjelasan.[10]

Jadi epistemologi burhani adalah epistemologi yang berpandangan bahwa sumber ilmu
pengetahuan adalah akal. Akal menurut epistemologi ini mempunyai kemampuan untuk
menemukan berbagai pengetahuan, bahkan dalam bidang agama sekalipun akal mampu untuk
mengetahuinya, seperti masalah baik dan buruk.

Pembahasan
Bab 2

1. Pengertian observasi (burhani) eksperimen (ijbari) dan rasional (jadali) dalam persepektif Islam

Pengertian observasi Pengamatan atau observasi adalah sebuah aktivitas terhadap suatu proses
atau objek dengan maksud merasakan dan kemudian memahami pengetahuan dari sebuah
fenomena berdasarkan pengetahuan dan gagasan yang sudah diketahui sebelumnya, untuk
mendapatkan informasi-informasi yang dibutuhkan untuk melanjutkan suatu penelitian. Observasi
adalah salah satu metode pengumpulan data dengan cara mengamati atau meninjau secara cermat
dan langsung di lokasi penelitian untuk mengetahui kondisi yang terjadi atau membuktikan
kebenaran dari sebuah desain penelitian yang sedang dilakukan. Kegiatan observasi dilakukan untuk
memproses objek dengan maksud untuk merasakan dan kemudian memahami pengetahuan dari
sebuah fenomena berdasarkan pengetahuan dan ide-ide yang sudah diketahui sebelumnya, untuk
mendapatkan informasi yang diperlukan dan melanjutkan ke proses investigasi. Di dalam penelitian,
observasi dapat dilakukan dengan tes, kuesioner, rekaman gambar dan rekaman suara. Cara
observasi yang paling efektif adalah melengkapinya dengan pedoman pengamatan seperti format
atau blangko pengamatan, yang disusun berisi item-item tentang kejadian atau tingkah laku yang
digambarkan akan terjadi. Setelah itu, peneliti sebagai seorang pengamat tinggal memberikan tanda
pada kolom yang dikehendaki pada format tersebut. Adapun orang yang melakukan pengamatan
disebut pengamat. Tujuan observasi dilakukan adalah untuk mendapatkan data dan informasi yang
dibutuhkan dalam sebuah penelitian.

Dalam bahasa Arab, al-burhan berarti argument (al-hujjah) yang jelas (al-bayyinah; clear) dan distinc
(al-fashl), yang dalam bahasa inggris adalah demonstration, yang mempunyai akar bahasa Latin:
demonstration (berarti member isyarat, sifat, keterangan, dan penjelasan). Dalam perspektif logika
(al-mantiq), burhani adalah aktivitas berpikir untuk menetapkan kebenaran suatu premis melalui
metode penyimpulan (al-istintaj), dengan menghubungkan premis tersebut dengan premis yang lain
yang oleh nalar dibenarkan atau telah terbukti kebenarannya (badlihiyyah). Sedang dalam
pengertian umum, burhani adalah aktivitas nalar yang menetapkan kebenaran suatu premis.

Istilah burhani yang mempunyai akar pemikiran dalam filsafat Aristoteles ini, digunakan oleh al-Jabiri
sebagai sebutan terhadap sebuah system pengetahuan (nidlam ma’rifi) yang menggunakan metode
tersendiri di dalam pemikiran dan memiliki pandangan dunia tertentu, tanpa bersandar kepada
otoritas pengetahuan lain. Epistemologi Burhani Dalam Khasanah kosa kata Arab, Menurut Ibn
Mansyur kata al-Burhan secara epistimologis berarti argumen yang jelas dan tegas. Selanjutnya, kata
ini disadur dalam terminology ilmu mantiq untuk menunjukkan arti proses penalaran yang
menetapkan benar tidaknya antarproposisi melalui cara deduksi, yaitu melalui cara pengaitan
antarproposisi yang kebenarannya bersifat postulatif (kesimpulan yang pasti). Bagi al-Jabiri Metode
burhani bertumpuh sepenuhnya pada seperangkat kemampuan intelektual manusia, baik melalui
panca indera, pengalaman, maupun daya rasional, dalam upaya memperoleh pengetahuan tentang
semesta, bahkan juga sampai menghasilkan kebenaran yang bersifat pospulatif. Epistemologi
Burhani, berbeda dengan epistemologi bayani dan irfani, yang masih berkaitan dengan teks suci,
burhani sama sekali tidak mendasarkan diri pada teks, juga tidak pada pengalaman.
Burhanimenyadarkan diri kepada kekuatan rasio, akal, yang sesuai dengan logika rasional.
Perbandingan ketiga epistemologi ini, seperti dijelaskan al-Jabiri, bayani menghasilkan pengetahuan
lewat analogis non fisik kepada yang asal, irfani menghasilkan pengetahuan lewat proses penyatuan
ruhani kepada Tuhan dengan penyatuan universal, burhani menghasilkan pengetahuan melalui
prinsip-prinsip logika atas pengetahuan sebelumnya yang telah diyakini kebenarannya. Dengan
demikian, sumber pengetahuan burhani adalah rasio, bukan teks atau intitusi. Rasio inilah yang
dengan dalil-dalil logika, memberikan penilaian dan keputusan terhadap informasi-informasi yang
masuk lewat panca indera, yang dikenal dengan istilah tasawwur dan tasdiq. Tasawwur adalah
proses pembentukan konsep berdasarkan data-data dari indera, sedang tasdiq adalah proses
pembuktian terhadap kebenaran konsep tersebut. Selanjutnya, untuk mendapatkan sebuah
pengetahuan, epistemologi burhani menggunakan silogisme. Dalam bahasa Arab, silogisme
diterjemahkan dengan qiyasatau al-Qiyas yang mengacu kepada makna asal. Secara istilah, silogisme
adalah suatu bentuk argumen dimana dua proposisi yang disebut premis, dirujukan bersama
sedemikian rupa. Sehingga sebuah keputusan pasti menyertai. Namun karena pengetahuan burhani
tidak murni bersumber kepada rasio objek-objek eksternal, maka ia harus melalui tahapan-tahapan
sebelum dilakukan silogisme yaitu: Pertama, tahap pengertian (ma`qulat). Tahap ini adalah tahap
proses abstraksi atas objek-objek eksternal yang masuk ke dalam pikiran, dengan merujuk pada
sepuluh kategori yang diberikan Aristoteles. Kedua, tahap pernyataan (ibarat) Adalah tahap proses
pembentukan kalimat atau proposisi atas pengertian-pengertian yang ada. Propossisi ini harus
memuat subjek (maudu`) dan predikat (mahmul) serta adanya relasi keduanya. Untuk memperolah
pengertian yang tidak diragukan , sebuah proposisi harus mempertimbangkan al-lafz al-khamsah
(lima kriteria), yakni spesies (nau`), genus (jins), diferensia (al-fashl), dan aksidentia (arad). Ketiga,
tahap penalaran (tahlilat). Pada tahap ini proses pengambilan keputusan berdasakan hubungan di
antara premis-premis yang ada, disinilah terjadi silogisme. Menurut Al-Jabiri, dalam penarikan
kesimpulan dengan silogisme harus memenuhi beberapa syarat: (1) mengetahuai latar belakang dari
penyusunan premis; (2) adanya konsistensi logis antara alasan dan kesimpulan; (3) kesimpulan yang
diambil harus bersifat pasti dan benar. Karena epistemologi burhani bersumber pada realitas atau
al-waqi` baik realitas alam, sosial humanitas maupun keagamaan, sehingga ilmu-ilmu yang muncul
dari tradisi ini disebut sebagai al-Ilm al-Husuli, yaitu ilmu yang dikonsep, disusun, dan
disistematiskan oleh lewat premis-premis logika atau mantiq. Premis-premis logika tersebut disusun
lewat kerjasama antar proses abstraksi dan pengamatan inderawi yang sahih atau dengan
menggunakan alat-alat yang dapat membantu dan menambah kekuatan indera seperti alat-alat
laboratorium, dan lain sebagainya. Peran akal pikiran sangat menentukan, karena fungsi akal selalu
diarahakan untuk mencari sebab-akibat (idrak al-sabab wa al-musabab). Fungsi dan peran akal pada
epistimologi ini tidak untuk mengukuhkan kebenaran teks seperti dalam nalar bayani, tetapi lebih
ditekankan untuk melakukan analisis dan menguji terus menerus (heuristik) kesimpulan-kesimpulan
sementara dan teori yang dirumuskan lewat premis-premis logika keilmuan.

rekonstruksi al-Jabiri tentang tipologi “epistemology Islam” yaitu bayani, ‘irfani dan burhani.
Pemikiran al-Jabiri ini dituangkan secara luas dalam bukunya: Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, (Beirut, al-
Markaz al-Tsaqafi al-‘Araby, 1993) sebagai bagian dari agenda besarnya, yaitu naqd al-aql al-‘araby
(kritik nalar Arab). Di sini terlihat bahwa focus pembicaraan al-Jabiri sebenarnya nalar Arab, bukan
nalar Islam. Hal ini, karena sasaran kajiannya memang tradisi Arab struktur nalar yang
membangunnya. Namun karena Islam sebagai bagian dari tradisi Arab, dan dalam
perkembangannyaa keduanya saling mempengaruhi, maka pembicaraan mengenai Islam jelas suatu
keniscayaan. Pemikiran al-Jabiri ini kemudian banyak memberikan inspirasi bagi pemikir Muslim
kontemporer lainnya untuk melihat kembali struktur bangunan epistemology Islam, sebagai dasar
bagi bangunan ilmu-ilmu keislaman.

Meski demikian, membaca al-Jabiri perlu tetap mempertimbangkan agendanya, yakni “kritik”, dalam
hal ini kritik nalar Arab. Maka wajar jika kadang-kadang timbul kesan,bahwa karya ini bersifat
provokatif. Apalagi, sebagaimana kesan beberapa penulis, al-Jabiri sendiri berkecenderungan
kepada burhani, suatu khazanah ‘nalar’ Arab yang selama ini dianaktirikan disbanding dua nalar
yang lain: bayani dan irfani. Berbeda dengan dua epistemology sebelumnya, bayani dan irfani, yang
masih berkaitan denga teks suci, Burhani sama sekali mendasarkan dari pada teks, juga tidak pada
pengalaman. Burhani menyandarkan dari apa kekuatan rasio,akal,yang dilakukan lewat dalil-dalil
logika.Bahkan, dalil-dalil agama hanya bias diterima sepanjang ia sesuai dengan logika rasional.
Perbandingan ketiga epistemology ini,seperti sejelasnya Jabiri,bayani menghasilkan pengetahuan
lewat analogi realitas non –fisik atas realitas fisik(qiyas al-ghaib ala al-syahid) atau furu’ kepa yang
asal ; irfani menghasilkan pengetahuan lewat proses penyatuan ruhani pada Tuhan dengan
penyatuan universal(kulliyat);burhani menghasilkan pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika atas
pengetahua sebelumnya yang telah diyakini kebenarannya’.

2. Perjalanan burhani

Al-Burhani (demonstrative), secara sederhana, bisa diartikan sebagai suatu aktivitas berpikir untuk
menetapkan kebenaran proposisi(qadliyah)melalui pendekatan deduktif(al-istintaj) dengan
mengaitkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lain yang telah terbukti kebenarannya secara
aksiomatik(badhihi).

Menurut al-Jabiri, prinsip-prinsip burhani pertama kali dibangun oleh Aristoteles(384-322 SM) yang
dikenal dengan istilah metode analitik(tahlili); suatu cara piker (pengambilan keputusan) yang
disasarkan atas proposisi tertentu,proposisi hamliyah(categorical proposition) atau proposisi
syarthiyah(hypothetical proposition) dengan mengambil 10 kategori, sebagai objek
kajiannya;kuantitas,kualitas,ruang atau tempat,wakyu,dan seterusnya. Pada masa Alexander
Aphrodisi,murid, murid komentator Aristoteles, digunakan istilah logika dan ketika masuk dalam
khazanah pemikiran islam berganti nama menjadi Burhani. Cara berpikir analitik Aristoteles ini masuk
dalam pemikiran islam pertama kali lewat program penterjemahan buku-buku filsafat yanggencar
dilakukan pada masa kekuasaan al-Makmun(811-833 M); sesuatu program yang dianggap sebagai
tonggak sejarah pertemuan pemikiran rasional Yunani dengan pemikiran keagamaan arab, pertemuan
epistemologi burhani Yunani dengan epistemologi bayani Arab. Program penterjemahan dan kebutuhan
akan penggunaan metode burhani ini sendiri, didasarkan atas tuntutan kebutuhan yang ada; bahwa
saaat itu muncul banyak doktrin yang kurang lebih hiterodok yang dating dari Iran,India,Persia atau
daerah lain dari pinggiran Islam,seperti Madinah,Manikian,materialisme,atau bahkan dari pusat islam
sendiri sebagai akibat dari pencarian bebas yang berubah bentuk menjadi pemikiran bebas seperti
penolakan terhadap wahyu dan lainnya yang dikategorikan dalam istilah zindiq. Untuk menjawab
serangan doktrin-doktrin ini, para sarjana muslim(ulama) merasa perlu untuk mencari system rasional
dan argument –argumen yang masuk akal, karena metode sebelumnya, bayani, tidak lagi memadai
untuk menjawab persoalan-persoalan baru yang sangat beragam yang dikenal sebelumnya.

Sarjana pertama yang mengenalkan dan menggunakan metode burhani adalah al-Kindi (806-875M).
Dalam kata pengantar buku filsafat pertama (al-falsafat al-Ula),yang dipersembahkan untuk al-
Mu’tashim (833-842), al-Kindi menulis tentang objek bahasan dan kedudukan filsafat, serta ketidak-
senangannya pada orang-orang yang anti filsafat, yakni para pendukung bayani. Namun, karena
masih begitu dominannya kaum bayani(burhani)yang diperlukan al-kindi tidak begitu bergema.
Meski demikian al-Kindi telah memperkenalkan persoalan baru dalam pemikiran Islam;Kesejajaran
antara pengetahuan manusia dan Tuhan, dan mewariskan persoalan filsafat yang terus hidup
sampai sekarang;(1)Penciptaan alam semesta, bagaiman terjadinya,(2) keabadian jiwa, apa artinya
dan bagaimana pembuktiannya,(3)pengetahuan Tuhan yang particular,apa ada hubungannya
dengan astrologi dan bagaimana terjadi.

Metode rasional atau burhani ini semakin masuk sebagai salah satu sistem pemikiran islam Arab
adalah setelah masa AL-Razi(865-925 M). Ia lebih ekstrim dalam teologi dan dikenal sebagai
seseorang rasionalis murni yang hanya mempercayai akal. Menurut al-Razi ,semua pengetahuan
pada prinsipnya dapat diperoleh manusia selama ia menjadi manusia. Akal yang menjadi hakekat
kemanusiaan, dan akal adalah satu-satunya alat untuk memperoleh pengetahuan tentang dunia fisik
dan tentang konsep baik dan buruk;setiap sumber pengetahuan lain yang bukan akal hanya omong
kosong, dugaaan belaka dan kebohongan. Metode burhani akhirnya benar-benarb mendapat
tempat dalam system pemikiran islam setelah masa Al-Farabi(870-950 M). Filosof paripatetik yang
dikenal sebagai “guru kedua’(al-muallim al-tsani) setelah Aristoteles sebagai ‘guru pertama’(muallim
awwal) karenjaq pengaruhnya yang besar dalam peletakan dasar-dasar filsafat islam setelah
Aristoteles, tidak hanya mempergunakan epistemology burhani dan filsafatnya, bahkan
menempatkannya sebagai metode paling baik dan unggul, sebagai ilmu-ilmu filsafat yang memakai
metode burhani dinilai lebih tinggi kedudukannya disbanding ilmu-ilmu agama; Ilm al-kalam(teologi)
dan fiqh(yurisprudensi),yang tidak mempergunakan metode burhani. Hal yang sama juga dilakukan
oleh Ibnu Rusyd(1126-1198 M) ketika secara jelas menyatakan bahwa metode
burhani(demonstrative)untuk kalangan elite terpelajar, metode dialektika(jadal)untuk kalangan
menengah dan metode retorik(khithabi) untuk kalangan awam.
3.KARAKTERISTIK EPISTEMOLOGI BURHANI

Dalam memandang proses keilmuan, kaum Burhaniyun bertolak dari cara piker filsafat di mana
hakikat sebenarnya adalah universal. Hal ini akan menempatkan ‘makna” dari realitas pada posisi
otoritatif, sedangkan ”bahasa” yang bersifat particular hanya sebagai penegasan atau ekspresinya.
Hal ini nampak sejalan dengan penjelasan al-Farabi bahwa “makna/’ dating lebih dahulu daripada
“kata”, sebab makna datang dari sebuah pengkopsesian intelektual yang berada dalam tataran
pemikiran atau rasio yang diaktualisasikan dalam kata-kata. Al-Farabi memberikan pengandaian
bahwa seandainya konsepsi intelektual itu letaknya dalam kata-kata itu sendiri maka yang lahir
selanjutnya bukanlah makna-makna dan pemikiran-pemikiran baru tetapi kata-kata yang baru.

Jadi setiap ilmu burhani berpola dari nalar burhani dan nalar burhan bermula dari proses abstraksi
yang bersifat akali terhadap realitas sehingga muncul makna, sedang makna sendiri butuh
aktualisasi sebagai upaya untuk bisa dipahami dan dimengerti, sehingga di sinilah ditempatkan kata-
kata; dengan redaksi lain, kata-kata adalah sebagai alat komunikasi dan sarana berpikir di samping
sebagai sibol pernyataan makna.

mayor (al-hadd al-akbar) untuk premis yang pertama dan premis minor (al-hadd al-ashghar) untuk
premis yang kedua, yang kedua-duanya saling berhubungan dan darinya ditarik kesimpulan logis.

Mengikuti Aristoteles, Al-Jabiri dalam hal ini menegaskan bahwa setiap yang burhani pasti
silogisme, tetapi belum tentu yang silogisme itu burhani. Silogisme yang burhani (silogisme
demonstrative atau qiyah burhani) selalu bertujuan untuk mendapatkan pengetahuan, bukan untuk
tujuan tertentu seperti yang dilakukan oleh kaum sufistaiyah (sophis). Silogisme (al-qiyas) dapat
disebut sebagai burhani, jika memenuhi tiga syarat: pertama, mengetahui sebab yang Secara
structural, proses yang dimaksud di atas terdiri dari tiga hal, pertama proses eksperimentasi yakni
pengamatan terhadap realitas; kedua proses abstraksi, yakni terjadinya gambaran atas realitas
tersebut dalam pikiran; ketiga, ekspresi yaitu mengungkapkan realitas dalam kata-kata.

Berkaitan dengan cara ketiga untuk mendapatkan ilmu burhani di atas, pembahasan tentang
silogisme demonstrative atau qiyas burhani menjadi sangat signifikan. Silogisme berasal dari bahasa
Yunani, yaitu sullogismos yang merupakan bentukan dari kata sullegin yang artinya mengumpulkan,
yang menunjukkan pada kelompok, penghitungan dan penarikan kesimpulan. Kata tersebut
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab menjadi qiyas atau tepatnya adalah qiyas jama’i yang
karakternya mengumpulkan dua proposisi-proposisi (qadliyah) yang kemudian disebut premis,
kemudian dirumuskan hubungannya hubungannya dengan bantuan terminus medius atau term
tengah atau menuju kepada sebuah konklusi yang meyakinkan. Metode ini paling popular di
kalangan filsuf Peripatetik. Sementara Ibn Rusyd mendefinisikan demonstrasi dengan ketentuan dari
satu argument yang konsisten, tidak diragukan lagi kebenarannya yang diperoleh dari premis yang
pasti sehingga kesimpulan yang akan diperoleh juga pasti, sementara bentuk dari argument harus
diliputi oleh fakta akali. Jadi silogisme demonstratif atau qiyas burhani yang dimaksud adalah
silogisme yang premis-premisnya terbentuk dari konsep-konsep yang benar, yang meyakinkan,
sesuai dengan realitas (bukan nash) dan diterima oleh akal.

Aplikasi dari bentukan silogisme ini haruslah melewati tiga tahapan yaitu tahap pengertian
(ma’qulat), tahap pernyataan (ibarat) dan tahap penalaran (tahlilat).

Tahapan pengertian merupakan proses awal yang letaknya dalam pikiran sehingga di sinilah
sebenarnya terjadi pengabstraksian, yaitu merupakan aktivitas berpikir atas realitas hasil
pengalaman, pengindraan, dan penalaran untuk mendapatkan suatu gambaran. Sebagaimana
Aristoteles, pengertian ini selale merujuk pada sepuluh kategori yaitu satu substansi (jauhar) yang
menopang berdirinya Sembilan aksidensi (‘ard) yang meliputi kuantitas, kualitas, aksi, passi, relasi,
tempat, waktu, sikap dan keadaan.

Tahapan pernyataan adalah dalam rangka mengekspresikan pengertian tersebut dalam


kalimat yang disebut proposisi (qadliyah). Dalam proposisi ini haruslah memuat unsure subyek
(maudlu’) dan predikat (muhmal) serta adanya relasi antara keduanya, yang darinya harus hanya
mempunyai satu pengertian dan mengandung kebenaran yaitu adanya kesesuaian dengan realitas
dan tiadanya keragu-raguan dan persangkaan.

Untuk mendapatkan satu pengertian dan tiadanya keraguan dan persangkaan, maka
pembuatan pernyataan harus mempertimbangan al-alfadz al-khamsah yang ada dalam isagoge
Aristoteles atau yang biasa disebut dengan lima konsep universal yang terdiri dari jenis (genus) yakni
konsep universal yang mengandung suatu pengertian yang masing-masing sama hakikatnya, nau’
(spises) yaitu konsep universal yang mengandung satu pengertian tetapi masing-masing hakikatnya
berbeda, fasl (differentia) yaitu sifat yang membedakan secara mutlak, khas (propirum) atau sifat
khusus yang dimiliki oleh suatu benda tetapi hilangnya sifat ini tidak akan menghilangkan eksistensi
benda tersebut dan ard (aksidensi) atau sifat khusus yang tidak bisa diterapkan pada semua benda.
Tahapan penalaran; ini dilakukan dengan perangkat silogisme. Sebuah silogisme harus terdiri
dari dua proposisi (al-muqaddimatani) yang kemudian disebut premismenjadi alasan dalam
penyusunan premis; kedua, adanya hubungan yang logis antara sebab dan kesimpulan; dan ketiga,
kesimpulan yang dihasilkan harus bersifat pasti (dlaruriyyah), sehingga tidak ada kesimpulan lain
selain itu. Syarat pertama dan kedua adalah yang terkait dengan silogisme (al-qiyas). Sedang syarat
ketiga merupakan karakteristik silogisme burhani, dimana kesimpulan (natijah) bersifat pasti, yang
tak mungkin menimbulkan kebenaran atau kepastian yang lain. Hal ini dapat terjadi, jika premis-
premis tersebut benar dan kebenarannya telah terbukti lebih dulu ketimbang kesimpulannya, tanpa
adanya premis penengah (al-hadd al-awsath).

Dalam perspektif tiga teori kebenaran, maka kebenaran yang dihasilkan oleh pola piker
burhani tampak ada kedekatannya dengan teori kebenaran koherensi atau konsistensi. Dalam
burhani menuntut penalaran yang sistematis, logis, saling berhubungan dan konsisten antara
premis-premisnya, juga secara benar koheren dengan pengalaman yang ada, begitu pula tesis
kebenaran konsistensi atau koherensi. Kebenaran tidak akan terbentuk atas hubungan antara
putusan dengan sesuatu yang lain, tetapi atas hubungan antara putusan-putusan itu sendiri. Dengan
perkataan lain bahwa kebenaran ditegakkan atas dasar hubungan antara putusan baru dengan
putusan lain yang telah ada dan diakui kebenarannya dan kepastiannya sehingga kebenaran identik
dengan konsistensi, kecocokan dan saling berhubungan secara sistematis.

4.LOGIKA DALAM EPISTEMOLOGI BURHANI

Menurut sejarah munculnya metode pemikiran burhani. dasar logika yang paling berpengaruh di
dalamnya adalah logika Aristoteles. Istilah logika ini sebenarnya muncul belakangan dan tidak
pernah disebut oleh Aristoteles.

Aristoteles sendiri memperkenalkan metode berpikirnya ini sebagai metode berpikir analitik. Logika
Aristoteles sering disebut sebagai logika tradisionalis, logika formal, atau logika deduktif. Salah satu
ajaran penting dalam logika Aristoteles adalah silogisme.

Aristoteles menjelaskan silogisme dengan cara yang berbeda dengan metode silogisme yang telah
disebutkan sebelumnya. Model silogisme yang disebutkan pada penjelasan metode-metode
inferensi sebelumnya adalah silogisme yang dikenalkan oleh logika Stoik.
Model silogisme Aristoteles serins disebut sebagai silogisme katagorik karena semua proposisinya
katagorik. Silogisme terdiri dari beberapa komponen, yaitu premis mayor, premis minor, dan
kesimpulan. Di dalam istilah yang digunakan oleh Skolastik, terdapat beberapa bentuk silogisme :

a. Bentuk pertama, term tengah (middle term) menjadi subyek pada premis mayor dan menjadi
predikat pada premis minor.

Contoh:

1. Semua manusia fana, (premis mayor). Sokrates adalah seorang manusia, (premis minor)

Sokrates fana. (kesimpulan)

- Model ini disebut Barbara.

2. Tak ada ikan yang rasional. Semua hiu adalah ikan. Tak ada hiu yang rasional.

- Model ini disebut Calerent.

3. Semua manusia rasional.

Sebagian makhluk hidup adalah manusia. Sebagian makhluk hidup rasional.

- Model ini disebut Dani.

4. Tak ada orang Yunani berkulit hitam. Sebagian manusia adalah orang Yunani. Sebagian manusia
tak berkulit hitam.

- Model ini disebut Ferio.

b. Bentuk kedua, term tengah (middle term) menjadi predikat pada premis mayor dan premis minor.

Contoh :

Semua tumbuhan membutuhkan air.

Tidak sarupun benda mati membutuhkan air.

Tidak sarupun benda mati adalah tumbuhan.


c. Bentuk ketiga, term tengah {middle term) menjadi subyek pada premis mayor dan premis minor.

Contoh :

Setiap manusia mempunyai rasa takut. Tetapi setiap manusia adalah makhluk hidup. Sebagian
makhluk hidup mempunyai rasa takut.

Dengan landasan logika Aristoteles, beberapa metode yang dipakai dalam epistemologi burhani
adalah metode deduksi (istintaj, qiyasjami), induksi (istiqrd), konsep universalisme (al-kulli).
universalitas-universalitas induktif, prinsip kausalitas dan historitas. serta tujuan syariah (al-
maqashid).

Perbedaan mendasar antara penalaran dengan epistemologi bayam dan burhani adalah inferensi
pada bayani didasarkan atas lafal, sedangkan pada epistemologi burhani didasarkan pada makna.

5.PERAN BAGI EPISTEM BERIKUTNYA

Dalam perkembangan selanjitnya,metode burhani yang dianggap lebih unggul dibanding dua
epistemologi yang lain ternyata mengandung kekurangan,bahwa ia tidak bisa sampai seluruh
realitas wujud. Ada sesuatu yang tidak bisa dicapai oleh penalaran rasional,meski rasio telah
mengklaim sesuai dengan prinsip-prinsip segala sesuatu,bahkan silogisme rasional sendiri pada saat
tertentu tidak bisa mejelaskan atau mendefinisikan sesuatu yang diketahuinya.

Menurut Suhrawardi(1154-1192 M),kekurangan rasionalisme burhani antara lain,(1) Bahwa ada


kebenaran-kebenaran yang tidak bisa dicapai oleh rasio atau didekati lewat burhani,(2) Ada
eksistensi diluar pikiran yang bisa dicapai nalar tetapi tidak bisa dijelaskan burhani,seperti soal
warna,bau,rasa,atau bayangan,(3) prinsip burhani yang mengatakan bahwa atribut sesuatu harus
didefinisikan oleh atribut yang lain akan mengiring pada proses tanpa akhir,ad infinitum,yang itu
berarti tidak ada absurditas yang bisa diketahui. Jelasnya,deduksi rasional (burhani) dan demonstrasi
belaka tidak bisa menyingkap seluruh kebenaran dan realitas yang mendasari semesta.

Karena itu,muncul metode baru yang disebut iluminasi (isyraqi) yang memadukan metode burhani
yang mengandalkan kekuatan rasio dengan metode irfani yang mengandalkan kekuatan hati lewat
kasyf atau intuisi. Metode ini berusaha menggapai kebenaran yang tidak dicapai lewat jalan
intuitif,dengan cara membersihkan hati kemudian menganalisa dan melandasinya dengan argumen-
argumen rasional.

Namu demikian,pada masa berikutnya,metode isyraqi dirasa juga mengandung kelemahan,bahwa


pengetahuan iluminatif hanya berputar pada kalangan elite terpelajar,tidak bisab disosialisasikan
sampai masyarakat bawah,dan tidak bisa diterima bahkan tidakjarang malah bertentangan dengan
apa yang dipahami kalanga eksoteris(Fiqh) sehingga tidak jarang justru menimbulkan
kontraversial.Muncul metode kelima, filsafat transenden(hikmah al-muta’aliyah),yang dicetuskan
Mulla Sandra(1571-1640 M) dengan memadukan tiga metode dasar sekaligus;metode bayani yang
tekstual,metode burhani yang rasional dan metode irfani yang intuitif.

Dengan metode terakhir ini, pengetahuan atau hikmah yang diperoleh tidak hanya yang dihasilkan
oleh kekuatan akal tetapi juga lewat pencerahan ruhaniah,dan semua itu disajikan dalam bentuk
rasional dengan menggunakan argumen-argumen rasional.Bagi kaum Muta’aliyah ,pengetahuan
atau hikmah tidak hanya untuk memberikan pencerahan kognisi tetapi juga realisasi;mengubah
wujud penerima pencerahan itu sendiri dan merealisasikan pengetahuan yang diperoleh sehingga
terjadi transformasi wujud.Semua itu tidak bisa dicapai kecuali dengan mengikuti syariat,sehingga
sebuah pemikiran harus menggaet metode bayani dalam sistemnya.

Dengan mengambil berbagai basis epistemologi seperti diatas,menurut Muthahhari,perselisihan


yang terjadi antara paripatetik dengan iluminasi, antara filsafat dengan irfan,atau antara filsafat
dengan teologi bisa diselesaikan dengan baik. Namun demikian ,hikmah al-muta’aliyah bukan
merupakan singkritisme dari epistemologi sebelumnya,tetapi sebuah epistemologi filsafat yang unit
dan merupakan epistemologi yang berdiri sendiri.

Dibandingkan prinsip isyraqiyah Suhrawardi yang berusaha mengintegrasikan paripatetis ke


dalam epitemologinya,menurut Jalaludin Rahmat, hikmah al-muta’aliyah Mulla Sadra tidak berbeda
dengan itu, bahkan ia bisa dikatakan melanjutkan upaya Sahrawardi tersebut dan menjawab lebih
banyak persoalan secara lebih mendalam. Perbedaan diantara keduanya terjadi pada basis
ontologisnya, meliputi ashalat al-wujud(Fundamental eksistensi), Tasykik(gradasi eksistensi) dan
barakat al-jauhariyah(gerakan substansial).

Dengan mengandalkan kekuatan olah rasio,burhani telah berjasa mengembangkan pemikiran


filsafat islam. Juga telah membantu perkembangan epistemologi lain,seperti bayani lewat pemikiran
fiqh seperti yang dilakukan al-Ghazali(1058-1111 M) lewat al-mustashfa fi ulul al-fiqh, dan
membantu metode irfani seperti yang terjadi pada Ibn Arabi(1165-1240 M) lewat uraiannya tentang
wahdat al-wujud. Ia bahkan masih merupakan penopang utama bagi epistemologi berikutnya,
isyraqiyah dan al-hikmah al-muta’aliyah. Aristoteles pernah mengatakan,burhani bisa menyusunh
(mengembangkan ) metode dan pemikiran lain tapi ia tidak bisa disusun dari metode dan faktor lain.

Namun, itu bukan berarti burhani benar-benar sempurna tanpa cacat. Ada beberapa catatan untuk
epistemologi ini.

Prinsip silogisme burhani yang diambil dari Aristoteles yang lebih menggunakan sesuatu yang
rasional dan kebenaran yang empiris, secara tidak langsung berarti telah menyerderhanakan dan
bahkan membatasi keberagaman serta keluasan realitas. Kenyataannya,realitas tidak hanya pada
apa yang konkret, yang tertangkap indera,tetapi ada juga yang realitas yang diluar itu, seperti jiwa
dan konsep mental. Artinya ,di sini ada kebenaran-kebenaran lain yang tidak bisa didekati dengan
silogisme,seperti yang dikatakan Suhrawardi.

Silogisme tida bisa menjelaskan atau menyimpulkan eksistensi empiris diluar pikiran seperti soal
warna,rasa,bau,atau bayangan. Artinya tidak semua keadaan atau objek diungkapkan lewat
silogisme sebagai kritik yang disampaikan Suhrawardi dan Leibniz(1646-1717 M)

Prinsip logika burhani yang mengatakan bahwa atribut sesuatu harus didefinisikan oleh atribut yang
lain akan mengiring pada proses tanpa akhir, ad infinitum. Itu berarti tidak akan ada absurditas yang
bisa diketahui. Logika burhani, seperti dikritik Suhrawardi, sesungguhnya tidak memberikan apa-apa,
tidak menghasilkan pengetahuan baru.

Sejalan dengan no.3 dengan prinsip bahwa kesimpulan yang khusus harus dideduksikan dari
pernyataaan yang umum,maka apa yang yang disebut kesimpulan sebenarnya telah tercantum
secara implisit pada pernyataaan umum yang disebut premis mayor; jika belum ada ,maka sia-sialah
usaha silogisme tersebut karena sesuatu yang tidak ada tidak akan melahirkan sesuatu yang baru. Ini
termasuk kritik yang disampaikan Bacon(1561-1626 M) dan John Stuart Mill(1806-1873) pada logika
Aristoteles yang dipakai burhani.

Silogisme ternyata telah cendrung mengiring penganutnya pada cara berpikir hitam putih,benar
salah,sebagaimana yang terjadi dalam model pikiran teologi(ilm al-kalam) yang memang banyak
menggunakan logika ini. Akibatnya, Pemikiran teologi menjadi sangat keras dan mudah
menimbulkan konflik, karena tidak mengenal kebenaran pada pihak lain. Kebenaran hanya ada
pihaknya sendiri.

5.metode ijbari

Kosakata ijbari berasal dari bahasa Arab ajbara yujbiru ijbaaran yang berarti memaksa, menekan
atau merusak.[34] Orang yang melakukannya disebut al-Mujbir, atau al-Jabbar. Salah satu sifat
Tuhan adalah al-Jabbar. Sebagai sebuah metodologi al-Ijbari sama dengan eksperimen atau uji coba,
yang langkah-langkahnya antara lain: (1)menyusun hipotesis atau daftar pertanyaan; (2)menyiapkan
bahan atau objek yang akan diuji coba, seperti binatang kera, anjing atau gajah; tumbuh-tumbuhan,
bahan makanan, minuman, dan sebagainya; (3)menyiapkan peralatan laboratorium yang akan
digunakan; (4)melakukan langkah-langkah yang ditetapkan; (5)menganilisis dengan pendekatan
komparasi, dan (6)menyimpulkan.[35] Metode ini digunakan untuk pengembangan sains atau ilmu
terapan. Al-Razi, ahli kimia dan ahli kedokteran klinik dengan bukunya al-Hawiy; Ibn Sina, ahli
kedokteran klinik dan medik dengan bukunya al-Qanun fi al-Thibb, adalah hasil penelitian
eksperimen.[36] Penggunaan metode ijbari dalam ilmu pendidikan Islam, nampak masih belum
banyak menarik minat dan perhatian sarjana Muslim dibandingkan dengan metode bayani, irfani
atau jadali. Metode ijbari banyak menarik minat para peneliti pendidikan Barat yang menghasilkan
model-model dan pendekatan dalam model pembelajaran, model evaluasi, disain kurikulum, teori-
teori motivasi dengan menggunakan teori-teori dasar psikologi. Ke depan, para pakar pendidikan
Islam perlu memperbanyak pengembangan ilmu pendidikan dengan menggunakan metode ijbari,
sebagaimana yang telah dirintis oleh Mahmud Yunus dalam bukunya al-Thariqah al-Mubasyarah
dengan pendekatan all in one atau three in one, yakni aspek bahasa: nahu, syaraf dan balaghah. Uji
coba metode ini dilakukan di Sumatera Thawalib di Sumatera Barat, yang selanjutnya dikembangkan
oleh salah seorang muridnya, Imam Zarkasyi, di Pondok Modern Darussalam, Gontor Ponorogo,
Jawa Timur. Kemudian disusul oleh H.D.Hidayat dengan bukunya al-Arabiyah bi Nawaziz.

) Metode Jadali

Kosakata Jadali berasal dari bahasa Arab, al-jidal yang secara harfiah berarti perdebatan atau
dialektik yang oleh Mulyadhi Kartanegara sebagaimana dikemukakan di atas, terdiri dari yang paling
paling rendah pada yang tertinggi, yaitu: syi’ri (puitis), khitabi (retorik), mughalithi (sofistik), jadali
(dialektik) dan burhani (demonstratif). Mujamil Qomari memasukan metode jadali sebagai salah
satu metode epistimologi pendidikan Islam.[39] yaitu upaya menggali pengetahuan pendidikan
Islam yang dilakukan melalui karya tulis yang disajikan dalam bentuk percakapan (tanya jawab)
antara dua orang ahli atau lebih berdasaran argumentasi-argumentasi yang bisa dipertanggung
jawabkan secara ilmiah. Metode ini banyak ditujukan oleh al-Qur’an antara lain dengan kalimat
“yas’aluunaka” (mereka bertanya kepamu), dan Qul yang berarti katakanlah. Misalnya tentang apa
yang mereka nafkahkan (Q.S. al-Baqarah, 2:215), berperang di bulan Haram (Q.S.al-Baqarah, 2:217),
khamar dan judi, (Q.S.al-Baqarah, 2: 219) anak yatim (Q.S. al-Baqarah, 2:, 220), haid (Q.S.al-Baqarah,
2: 222), (Q.S. al-Maidah, 5:4, (Q.S. al-Anfaal, 8:1), (Q.S.al-Isra’, 17:85).

Dialog menimbulkan sikap saling terbuka, saling memberi dan menerima, memahami pola pikir
orang lain yang diajak dialog, saling introspeksi diri, menghargai pandangan atau pendapat orang
lain. Dialog ilmiah tidak mengenal kepentingan ideologi, politik dan sebagainya, melainkan hanya
kebenaran pengetahuan. Dialog ilmiah tersebut berperan dalam memperkaya peradaban,
kebudayaan atau lebih spesifik lagi ilmu pengetahuan, serta dapat melahirkan pemahaman yang
jernih, wawasan yang luas dankomprehensif serta pengetahuan yang baru sama sekali. Dari tradisi
dialog ini dapat ditumbuhkan ketajaman analisis, ketajaman berfikir, ketajaman mengkritik dan
ketajaman menjawab pertanyaan-pertanyaan yang duajukan. Melalui dialog dapat terjadi saling
pengertian antara konsep teoritis-empiris dengan konsep normatif agama; apa yang dimaui oleh
ilmu sosial dan apa yang dimaui oleh ilmu agama, yang bermuara pada kemauan yang sama, yakni
kebahagiaan dan ketenteraman hidup manusia. Pendidikan Islam perlu didialogkan dengan nalar
kita untuk memperoleh jawaban-jawaban yang signifikan daam mengembangkan pendidikan Islam
tersebut. Dalam aplikasinya, metode dialog ini dapat dilakukan dengan pasangan dialog,
membentuk forum dialog, mempertemukan dua forum dialog, atau dengan mengundang para pakar
pendidikan Islam untuk berdialog. Langkah selanjutnya dengan mengidentifikasi tema-tema dialog
yang berkaitan dengan persoalan-persoalan pendidikan yang terdapat di dalam al-Qur’an dan hadis
yang selanjutnya akan ditemukan prinsip-prinsip dan inspirasi-inspirasi yang membutuhkan
penafsiran dan penjelasan lebih lanjut. Riset pendidikan Islam dengan menggunakan metode jadali
jadali antara lain dilakukan oleh Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibani, dengan bukunya Filsafat
Pendidikan Islam, Muzayyin Arifin dengan bukunya Filsafat Pendidikan Islam.

Metode jadali (kririk) adalah sebagai usaha menggali pengetahuan tentang pendidikan Islam
dengan cara mengoreksi kelemahan suatu konsep atau aplikasi pendidikan, kemudian menawarkan
solusi sebagai alternatif pemecahannya. Dengan demikian, dasar atau motif timbulnya kritik bukan
karena adanya kebencian, melainkan karena adanya kejanggalan-kejanggalan atau kelemahan yang
harus diluruskan. Kritik diperlukan dalam rangka menguji validitas pengetahuan. Kritik lahir dari
proses berfikir secara cermat, jernih dan mendalam, sehingga ditemukan celah-celah kelemahan
dari konsep-konsep, teori-teori, pemikiran-pemikiran maupun praktek-praktek yang dikritik. Dengan
demikian, melalui kritik ini sebuah konsep atau teori makin kokoh, karena hal-hal yang lemah dari
teori dan konsep tersebut akan dapat disingkirkan. Selama ini bangunan ilmu pendidikan Islam
masih terlihat rapuh, karena didasarkan pada tiruan-tiruan pendidikan Barat yang diterimanya tanpa
kritik. Metode kritik dapat dimanfaatkan untuk menunjukan kelemahan-kelemahan dari bangunan
ilmu pendidikan Islam secara mendetail, kemudian memberikan dorongan untuk melakukan
pembongkaran terhadap bangunan ilmu pendidikan Islam itu. Dengan cara demikian, bangunan ilmu
pendidikan Islam akan kokoh.

Terdapat berbagai istilah atau nama yang ditujukan kepada ilmu yang dihasilkan melalui intuisi ini.
Ahmad Asy-Syirbashi dalam Tarikh al-Tafsir, menyebutnya sebagai ilmu al-mauhubah dan
memasukannya sebagai salah satu syarat bagi seorang mufassir. Yaitu ilmu yang dikaruniakan Allah
SWT langsung kepada orang yang mengamalkan ilmunya. Sehubungan dengan itu, sebuah hadis
menyebutkan, Barangsiapa mengamalkan ilmunya, Allah akan mengaruniakan kepadanya
pengetahuan tentang sesuatu yang belum diketahuinya.[45] Imam al-Syuhrawardi menyebutnya al-
Isyraqiyah, al-Ghazali menyebutnya ma’rifah, Ibn Sina menyebut al-faid (limpahan atau iluminasion),
orang pesantren menyebutnya ilmu laduni, orang jawa menyebutnya wangsit, dan seterusnya.
Di kalangan sarjana Barat sebagian besar menolak metode intuitif, dan ada sebagian kecil yang
meneimanya. Bagi yang menolak hal yang terjadi bukan hanya kemampuan intuisi yang dinafikan
oleh filsafat modern, melainkan keberadaan intuisi itu sendiri. Perdebatan antara menerima dan
menolak intuisi sebagai bagian dari epistimologi ilmu hingga saat ini belum berakhir, tidak ada kata
sepakat, bertolak belakang, dan terus berjalan tanpa bertegur sapa. Di kalangan filosof-filosof
modern Barat, intuisi ini tidak diperhitungkan sama sekali. Mereka begitu kokoh dalam memegangi
metode rasional dan metode empiris. Mereka sangat fanatik dengan metode empirik dan rasional.
Mereka misalnya mengatakan: Jika metode rasional dapat diuji dengan akal pikiran dan metode
empiris dapat diuji dengan bukti-bukti, maka bagaimana menguji metode intuisi. John Stuart Mill
misalnya mengatakan, bahwa cara kerja dan keabsahan intuisi yang demikian akan jatuh di luar
lingkup pengujian. Dengan kata lain, persepsi yang didasarkan pada intuisi langsung tidaklah dapat
diuji. Di sinilah salah satu letak problem intuisi ketika dijadikan sebagai suatu metode atau
pendekatan untuk menemukan pengetahuan. Belum jelas, alat apa yang dapat dipakai untuk
menguji kebenaran atau keabsahan pengetahuan yang dihasilkan dari intuisi. Di samping itu,
kelemahan lain dari intuisi adalah bahwa manusia menjadi bersikap pasif sama sekali. Mestinya
manusia harus dinamis atau progressif. Dalam berfikir intuitif ini memang manusia berada pada
posisi yang lemah. Padahal yang dikehendaki oleh ilmu pengetahuan adalah hasil pemikiran berupa
kesimpulan sebagai produk dari usaha aktif manusia dalam menemukan kebenaran, bukan
pengetahuan yang dianugerahkan. Oleh sebab itu, bisa dipahami bila Ayer menyangkal semua
peranan yang bisa disebut sebagai intuisi intelektual. Demikian pula al-Razi. Baginya tidak ada
tempat bagi wahyu atau intuisi mistik.[46] Namun demikian, terdapat pula filosof Barat yang mau
menerima intuisi sebagai bagian dari metode epistimologi. Bergson, Bobbi DePorter dan Mike
Hernacki, sebagaimana dikemukakan Mujamil Qomari misalnya, termasuk yang menerima intuisi.
Bergson misalnya menyadari bahwa baik dengan budi maupun dengan indera belaka kita tak
mampu menyelami realitas sepenuhnya, ita harus menggunakan intuisi. Demikian juga Bobbi
DePorter dan Mike Hernaci misalnya mengatakan, bahwa mungkin kecerdasan tertinggi-dan bentuk
terbaik dari pikiran yang kreatif adalah intuisi. Intuisi adalah kemampuan untuk menerima atau
menyadari informasi yang tidak dapat diterima oleh kelima indera kita. Intuisi mampu melengkapi
kelemahan budi maupun indera sebagai pendekatan ilmiah. Intuisi memiliki kemampuan yang besar,
terutama terhadap persoalan yang tidak terjangkau oleh akal dan indera. Dengan hanya
mengandalkan akal dan indera, kita membiarkan adanya hal-hal yang tidak bisa dijangkau.
Sedangkan dengan menggunakan intuisi kita berusaha secara nyata, paling tidak untuk
mempersempit hal-hal yang tidak terjangkau. Pada dasarnya intuisi justru menjadi “penelamat
metodologis”.[47]

Sebaliknya berbeda dengan filosof Barat yang hanya mengakui intuisi sebagai fakta psikologis
semata, tetapi menolak digunakan sebagai metode ilmiah, filosof Islam tidak ragu-ragu
menjadikannya sebagai metode di samping menggunakan metode metode lainnya. Tekanan metode
yang dipakai para filosof Muslim adalah intuitif, kritis, fenomenologis, dan analisis bahasa.
Keberadaan metode intuitif bukan hanya sebagai pelengkap (komplementer) dalam merumuskan
teori-teori maupun konsep filosofis, melainkan sebagai metode yang berdiri otonom dalam
menemukan pengetahuan. Otonomi metode intuitif ini membuktikan, bahwa ia memiliki
kemampuan yang terandalkan dalam kapasitasnya sebagai alat memperoleh pengetahuan. Lahirnya
para ulma dalam bidang ilmu agama, dan para ilmuwan Muslim dalam berbagai bidang sebagaimana
ditunjukan dengan karya-karya monumentalnya dalam bentuk kitab-kitab yang berpuluh-puluh
jilidnya, dan setiap ulama ada yang menulis lebih dari lima puluh judul buku, dan pendapat mereka
itu masih tetap aktual dan dijadikan rujukan, sebagian besar adalah berdasarkan ilmu yang mereka
peroleh melalui intuisi, di samping menggunakan pengamatan pancaindera dan penalaran akal
pikiran. Dalam ilmu pengetahuan Islam-termasuk di dalamnya psikologi Islam-bukan hanya
menggunakan indera dan akal dalam merumuskan suatu konsep, tetapi yang tak kalah strategisnya
adalah menggunaan intuisi dan wahyu. Intuisi memberikan sumbangan yang signifikan terhadap
bangunan ilmu pengetahuan Islam, karena intuisi dijadikan sebagai metode dalam memperoleh
pengetahuan tersebut. Dengan begitu, tradisi ilmu pengetahuan Islam telah mengangkat intuisi dari
sekadar fakta psikologis menjadi salah satu metode epistimologis. Bukti paling meyakinkan tentang
masalah ini adalah ketika kita mengalami jalan buntu dalam memikirkan sesuatu berdasarkan indera
dan akal, kemudian kita tiba-tiba mendapatkan pengetahuan dengan pencerahan batin/pikiran yang
disebut intuisi. Sebagai sebuah metode epistimologi, dapat dilihat dari banyaknya orang yang
menggunakannya, dapat diuji kemampuannya dalam memahami realitas secara 0bjektif, dan dapat
dipelajari dan dikuasai oleh siapa pun dengan usaha-usaha yang intens dan terbimbing. Di kalangan
pemikir Islam, intuisi tidak hanya disederajtkan dengan akal maupun indera, tetapi bahkan lebih
diistimewakan daripada keduanya. Pengetahuan yang dihadirkan (bersifat intuitif) lebih unggul
daripada pengetahuan yang dicapai (bersifat rasional), karena terbebas dari kesalahan dan keraguan
sebagaimana yang bisa terjadi pada temuan pancaindera dan akal pikiran. Pengetahuan yang
diperoleh melalui intuisi memberikan kepastian tertinggi mengenai kebenaran-kebenaran spiritual.
Hal ini misalnya dikemukakan oleh al-Ghazali yang mengatakan, bahwa al-zauq (intuisi) lebih tinggi
dan lebih dapat dipercaya daripada akal untuk menangkap pengetahuan yang betul-betul diyakini
kebenaranna. Sumber pengetahuan tersebut dinamakan juga al-buwwat, yang pada nabi-nabi
berbentuk wahyu dan pada mansia biasa berbentuk ilham. Pengetahuan intuitif ini dicapai oleh
manusia melalui hati yang telah dibersihkan dari dosa, pengaruh hawa nafsu syahwat, hawa nafsu
amarah, bujukan syaithan dan pengaruh duniawi lainnya. Untuk bisa mendapatkan kesucian,
seseorang tidak perlu mengucilkan diri masyarakatnya, pergi ke bukit-bukit, selama empat puluh
hari bersila, tidak berurusan dengan berbagai aktivitas masyarakat. Al-Qur’an tidak menganjurkan
cara seperti itu.[48] Intuisi akan datang pada orang yang memelihara kesucian dirinya dan selalu
membangun hubungan dengan Tuhan di manapun mereka berada. Tentang kemungkinan manusia
yang demikian itu mendapatkan ilmu langsung dari Tuhan dapat dipahami dari firman Allah SWT
yang artinya: “Allah memberi petunjuk kepada cahaya-Nya bagi orang-orang yang Dia kehendaki.”
(Q.S. An-Nur, 24:35). Namun demikian perlu dikemukakan, bahwa intuisi yang berasal dari Allah itu
pasti benar, tetapi bisa terjadi kesalahan pada pemahaman atau penafsiran orang yang
menerimanya, bukan pada substansi itu sendiri. Kesalahan ini wajar terjadi, mengingat penafsiran
atau pemahaman orang bisa macam-macam terhadap intuisi yang diterima. Lagi pula belum ada
kaidah yang baku dalam memahamkan seseorang pada isi atau kandungan makna intusi yang
dialaminya. Sejalan dengan itu, maka setidaknya terdapay tiga fungsi dari intuisi:intuisi sebagai dasar
pengetahuan, intuisi sebagai sumber pengetahuan dan intuisi sebagai cara atau metode
mendapatkan pengetahuan. Sebagai dasar dan sumber pengetahuan, intuisi bersifat pasif, akan
tetapi sebagai metode pendapatkan pengetahuan, intuisi bersifat aktif. Oleh karena itu, intuisi bisa
bersifat pasif dan aktif sekaligus, tinggal diposisikan sebagai dasar, sumber atau metode
pengetahuan.[49] Sebagai catatan terakhir pada bagian ini secara objektif dan proporsional ada hal
yang patut direnungkan dengan pikiran yang jernih. Pertama, adanya perbedaan antara
pengetahuan yang dihasilkan panca indera, akal dan intuisi tidak dapat dijadikan alasan untuk
menolak salah satu di antara ketiganya, melainkan ketiganya itu harus diperlakukan secara
seimbang, wajar dan tidak berlebihan. Perbedaan antara ketiganya terlihat pada hasil temuan
pancaindera yang bersifat kuantitatif; temuan akal pikiran yang bersifat spekulatif dan rasional, dan
temuan intuisi yang bersifat kualitatif. Namun ketiganya mengandung kebenran, yakni kebenaran
inderawi, kebenaran akli, dan kebenaran intutif. Ketiga kebenaran tersebut dalam penggunaannya
oleh manusia biasa saja keliru. Kedua, bahwa setiap diri manusia, muslim atau non muslim memiliki
potensi pancaindera, potensi akal dan potensi ruhaniah. Ketiga, bahwa dalam mengukur kebenaran
intuitif, dengan kebenaran pancaindera dan kebenaran akal pikiran tidak bisa digunakan alat yang
sama. Panca indera menggunakan metode eksperimen, akal pikiran menggunakan metode analisis,
studi kritis, perbandingan dan sebagainya; sedangkan hati nurani dengan metode mukasyafah.

Anda mungkin juga menyukai