Anda di halaman 1dari 31

HSI Silsilah Pembahasan Kitab Al Ushulu Ats Tsalatsah – Halaqah 41 |

Landasan Ke Dua Ma’rifatu Dinil Islam Bil Adillah: Cabang Keimanan


Tertinggi Adalah Laa Ilaaha Illallaah

Beliau rahimahullah mengatakan,

‫ ال إله إال هللا‬: ‫فأعالها قول‬

“Yang paling tinggi adalah ucapan Laa Ilaaha Illallaah.”

Ini adalah yang paling tinggi diantara cabang-cabang keimanan.


Kalau iman diibaratkan pohon, pohon ini menjulang ke atas, memiliki cabang-cabang dan daun-
daun.

Diantara makna cabang yang paling tinggi adalah orang yang beriltizam dengannya, maka dia
mendapatkan pahala yang paling besar. Pahala orang yang mengucapkan Laa Ilaaha Illallaah.
ikhlas dari hatinya, maka dia akan mendapatkan pahala yang paling besar.

Semuanya berpahala, baik dari nomor 1 sampai nomor 73, dan yang paling besar pahalanya
adalah orang yang mengucapkan Laa Ilaaha Illallaah.

Sebelumnya beliau rahimahullah sebutkan,

‫وأعظم ما أمر هللا به التوحيد‬

“Yang paling besar yang Allah perintahkan adalah Tauhid.”

Yang paling besar kalau kita kerjakan kita dapat pahala yang paling besar, karena Tauhid adalah
perintah yang paling besar. Maka orang yang mengerjakannya, dia akan mendapatkan pahala
yang paling besar.

Sehingga ketika kelak didatangkan seorang laki-laki, yang dia memiliki dosa yang banyak,
didatangkan di depannya 99 sijjil (kitab yang besar, dan kitab tersebut isinya dosa dan maksiat
yang dia lakukan di dunia). Murtakibul Kabirah, yaitu orang yang terus melakukan dosa besar,
sampai kitab yang besar satu tidak cukup untuk menulis dosanya. Ditambah dengan kitab yang
ke dua, terus dia melakukan dosa, kitab yang ke tiga, dst sampai 99 sijjil, yang isinya adalah dosa
dan juga maksiat.

(Kemudian dia) ditanya oleh Allah, “Kamu punya kebaikan atau tidak?”
Dia mengatakan, “Tidak, Ya Allah.”

(Orang tersebut) sudah dalam keadaan takut atas dirinya, melihat dosa yang begitu banyak,
melihat kitab yang isinya adalah catatan-catatan dosa dan juga maksiat.

Kemudian Allah bertanya lagi, “Apakah engkau memiliki kebaikan?”


Dia mengatakan, “Tidak ya Allah.”
Kemudian Allah mengatakan kepadanya,
‫ك ِع ْن َدنَا َح َسنَةً فَِإنَّهُ الَ ظُ ْل َم َعلَ ْيكَ ْاليَوْ َم‬
َ َ‫بَلَى ِإ َّن ل‬

“Engkau memiliki kebaikan di sisi kami dan sesungguhnya engkau tidak akan didholimi hari
ini.”

ُ‫فَت َْخ ُر ُج بِطَاقَةٌ فِيهَا َأ ْشهَ ُد َأ ْن الَ ِإلَهَ ِإالَّ هَّللا ُ َوَأ ْشهَ ُد َأ َّن ُم َح َّمدًا َع ْب ُدهُ َو َرسُولُه‬

Maka dikeluarkanlah untuknya sebuah kartu yang bertuliskan dua kalimat syahadat.

َ‫فَيَقُو ُل احْ ضُرْ َو ْزنَك‬

Kemudian Allah mengatakan, “Datangkan timbangannya!”

ِ َّ‫فَيَقُو ُل يَا َربِّ َما هَ ِذ ِه ْالبِطَاقَةُ َم َع هَ ِذ ِه ال ِّس ِجال‬


‫ت‬

Laki-laki ini pun bingung karena Allah mengatakan dia memiliki kebaikan.

Kemudian satu kartu tadi ditimbang dengan 99 sijjillaat.


Sebagaimana kita tahu bahwa kartu adalah sesuatu yang tipis dan kecil dibandingkan dengan
kitab.
Seandainya kartu tersebut dibandingkan dengan satu kitab tentunya lebih berat sebuah kitab.
Lalu bagaimana dengan 99 kitab yang disebutkan dalam hadits, kitab tersebut luasnya atau
panjangnya sejauh mata memandang.

Maka tidak heran bila laki-laki ini mengatakan, “Ya Allah apa perbandingan antara satu bithaqah
ini dengan 99 sijjil ini?”

Karena dia melihat kecilnya sebuah kartu dan hanya satu, kemudian dibandingkan dengan
banyaknya sijjil ini dan dia adalah barang yang sangat besar.

ْ ُ‫ال ِإنَّكَ الَ ت‬


‫ظلَ ُم‬ َ َ‫فَق‬
Allah mengatakan kembali, “Sesungguhnya engkau tidak akan didholimi.”

َ َ‫فَ َمن يَ ْع َملْ ِم ْثقَا َل َذ َّر ٍة خَ ْي ۭ ًرا يَ َرهۥُ ۞ َو َمن يَ ْع َملْ ِم ْثق‬
ُ‫ال َذ َّر ۢ ٍة َش ۭ ًّرا يَ َره‬

“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah-pun, niscaya dia akan melihat
(balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah-pun, niscaya dia
akan melihat (balasan)nya pula.” (QS. Al-Zalzalah :7-8)

Akan engkau akan lihat kebaikan itu sekecil apapun di mata manusia.

ُ‫ت ْالبِطَاقَة‬
ِ َ‫ت َوثَقُل‬ ِ ‫ت فِي ِكفَّ ٍة َو ْالبِطَاقَةُ فِي ِكفَّ ٍة فَطَا َش‬
ُ َّ‫ت ال ِّس ِجال‬ ُ َّ‫ض ُع ال ِّس ِجال‬
َ ‫قَا َل فَتُو‬

“Maka diletakkanlah pertama kali 99 sijillat pada satu daun timbangan kemudian diletakkan
kartu itu (bithaqah) yang bertuliskan ُ‫ – َأ ْشهَ ُد َأ ْن الَ ِإلَهَ ِإالَّ هَّللا ُ َوَأ ْشهَ ُد َأ َّن ُم َح َّمدًا َع ْب ُدهُ َو َرسُولُه‬pada daun
timbangan yang lain.”
Ternyata apa yang terjadi?
Maka menjadi terlemparlah, menjadi sangat ringanlah 99 sijjillaat tadi.
Saking beratnya bithaqah, sehingga sijjillaat tadi ‫ طاشت‬menjadi terlempar ke atas. Bukan hanya
sekedar jalan pelan-pelan, tapi dia (‫ت‬ ِ ‫ )طَا َش‬terlempar ke atas dengan sebab ditaruhnya bithaqah
yang bertuliskan ُ‫ َأ ْشهَ ُد َأ ْن الَ ِإلَهَ ِإالَّ هَّللا ُ َوَأ ْشهَ ُد َّن ُم َح َّمدًا َع ْب ُدهُ َو َرسُوله‬pada daun yang satunya.
ُ ‫َأ‬

ُ‫ت ْالبِطَاقَة‬
ِ َ‫َوثَقُل‬

Akhirnya bithaqah itulah yang lebih berat daripada 99 sijjil tadi.

‫فَالَ يَ ْثقُ ُل َم َع اس ِْم هَّللا ِ َش ْي ٌء‬

“Maka tidak ada yang bisa mengimbangi beratnya nama Allah.”

Ini menunjukkan bahwasanya qaulu “Laa Ilaaha Illallaah” pahalanya sangat besar.
Dan yang menjadi andalan kita (hasanah kita) yang paling besar bukan puasa, shadaqah, shalat
kita, tapi Tauhid kita kepada Allah, yaitu kita tidak menyembah selain Allah Subhanahu wa
Ta’ala.

Jadikanlah Tauhid sebagai amalan andalan kita dalan bertemu dengan Allah Azza wa Jalla.
Ya Allah, aku tidak menyembah fulan dan fulan, akan tetapi Engkau Tahu bahwasanya aku
hanya menyembah dirimu.
Jadikan ini sebagai amalan andalan bagi kita ketika kelak kita bertemu dengan Allah Azza wa
Jalla.

Tauhid adalah hasanah yang paling besar, sehingga penting sekali kita menjaga Tauhid karena
ini adalah amalan andalan kita.
Jagalah Tauhid, dalami Tauhid, pelajari Tauhid, dakwahkan Tauhid. Karena dakwah ini adalah
termasuk yang menjadi sebab seseorang istiqomah di atas agamanya.
Sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Abdurrazzaq bahwasanya diantara cara untuk istiqomah
adalah dengan cara dakwah.

Dengan berdakwah antum bisa belajar, bisa menambah keimanan, dan mungkin dido’akan oleh
banyak orang, karena orang yang berdakwah akan dido’akan oleh banyak orang. Akan dido’akan
dengan rahmat, dengan ampunan, dikuatkan, dan diberi kesehatan oleh Allah.

Dan ini termasuk usaha kita di dalam menjaga Tauhid. Maka jangan kita sia-siakan nikmat
Tauhid yang sudah Allah berikan kepada kita.
Maka tidak heran jika Beliau Shallallahu ‘alayhi wa sallam mengatakan,

‫أعالها قول ال إله إال هللا‬

“Yang paling tinggi adalah ucapan Laa Ilaaha Illallaah.”

Tentunya apabila diucapkan dengan ikhlash, dengan shidq, dengan mahabbah, dan terpenuhi di
dalamnya syarat Laa Ilaaha Illallaah, yang jumlahnya ada 7.
Para ulama mengatakan bahwasanya 7 syarat Laa Ilaaha Illallaah ibarat gigi pada sebuah kunci.
Dikatakan kepada Wahab Ibnu Munabbih, di zaman beliau ada orang yang mengatakan kepada
beliau,

‫ْس الَ ِإلَهَ ِإالَّ هَّللا ُ ِم ْفتَا ُح ْال َجنَّ ِة‬


َ ‫َألَي‬

“Bukankah ucapan Laa Ilaaha Illallaah adalah kunci Surga?”

Ada sebagian orang yang dia menyepelekan masalah dosa dan juga maksiat, karena dia
mengatakan Laa Ilaaha Illallaah.
Kemudian dia mengatakan,
Saya sudah mengucapkan Laa Ilaaha Illallaah, berarti saya telah mempunyai kunci untuk masuk
ke dalam Surga (menyepelekan tentang maksiat dan dosa).

Kemudian Wahab Ibnu Munabbih mengatakan,

‫ يشير باألسنان إلى شروط «ال‬، ” ‫ وإال لم يُفتح لك‬، ‫ فإن أتيت بمفتاح له أسنان فُتح لك‬، ‫بلى ؛ ولكن ما من مفتاح إال له أسنان‬
‫إله إال هللا» الواجب التزامها على كل مكلف‬

‫بلى ؛ ولكن ما من مفتاح إال له أسنان‬

Iya benar. Laa Ilaaha Illallaah adalah kunci Surga. Orang yang mengucapkan Laa Ilaaha Illallaah
berarti dia punya kuncinya. Tapi bukankah setiap kunci itu pasti punya gigi. Kalau engkau
datang membawa kunci yang memiliki gigi, maka akan dibukakan pintu surga.

Jumlah gigi (syarat) Laa Ilaaha Illallaah ada 7:


⑴ Al-Ilmu (mengilmui)
⑵ Ash-Shidqu (membenarkan)
⑶ Al-Mahabbah (mencintai)
⑷ Al-Inqiyadu (menaati)
⑸ Al-Ikhlash
⑹ Al-Yaqin (meyakini)
⑺ Al-Qabul (menerima)

Mengucapkan Laa Ilaaha Illallaah, harus berdasarkan ilmu, jujur dalam mengucapkannya, tidak
bohong, senang dan cinta dengan kalimat ini.

Mengucapkan Laa Ilaaha Illallaah dengan gembira dan senang dan apabila mendengar orang lain
mengucapkan kalimat Laa Ilaaha Illallaah.

Kemudian dia meng-inqiyad yaitu melaksanakan konsekuensi dari ucapan Laa Ilaaha Illallaah.
Dia tinggalkan kesyirikan, dia berlepas diri dari orang-orang musyrik dan juga kesyirikan.

Ikhlash di dalam mengucapkannya, bukan riya, yakin terhadap apa yang ada di dalamnya berupa
kandungannya.
Yakin bahwasanya tidak ada yang disembah kecuali Allah.
Kemudian dia menerima, tidak memberontak dan membangkang dari kalimat Laa Ilaaha
Illallaah.
Apabila terpenuhi 7 syarat ini maka dia telah mendatangkan kunci Surga lengkap dengan giginya
dan akan dibukakan pintu Surga untuknya. Tapi jika mengucapkan Laa Ilaaha Illallaah tapi ada
gigi yang patah satu atau lebih, maka tidak bisa untuk membuka.
Mengucapkan Laa Ilaaha Illallaah tapi tidak ikhlas, tidak yakin, tidak ada mahabbah, patah
giginya, maka tidak ada faidahnya.

Sabda Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam ‫ من قال ال اله اال هللا دخل الجنة‬adalah benar, bahwasanya
orang yang mengucapkan Laa Ilaaha Illallaah, akan masuk Surga tetapi dengan kunci yang
memiliki 7 gigi ini.
HSI Silsilah Pembahasan Kitab Al Ushulu Ats Tsalatsah – Halaqah 42 |
Landasan Ke Dua Ma’rifatu Dinil Islam Bil Adillah: Cabang Keimanan
Terendah Adalah Menyingkirkan Gangguan dari Jalan

Beliau rahimahullah mengatakan,

‫وأدناها إماطة األذى عن الطريق‬

“Cabang-cabang keimanan yang paling rendah


adalah menyingkirkan gangguan di jalan.”

Cabang yang paling bawah adalah yang paling kecil pahalanya, yaitu menyingkirkan gangguan
di jalan.
Misalnya: Seseorang melihat di jalan ada sesuatu yang bisa membuat ban bocor atau ada sesuatu
yang dikhawatirkan terkena kaki seseorang atau ada lubang yang dikhawatirkan bila ada sepeda
lewat bisa jatuh.
Maka dia singkirkan gangguan dari jalan tersebut. Dia mendapatkan pahala, kalau dia
melakukannya dengan ihtiisaaban, mengharap pahala dari Allah. Meskipun pahalanya adalah
yang paling kecil.

Jangan dipahami kalau menyingkirkan gangguan dari jalan adalah cabang keimanan yang paling
rendah, kemudian dianggap orang yang tidak menyingkirkan gangguan dari jalan berarti dia
tidak memiliki keimanan. Jangan dipahami demikian. Kemudian mengatakan, ini adalah
tingkatan iman yang paling rendah. Kalau sampai tidak memiliki tingkat ini berarti dia keluar
dari agama Islam.

Jika cabang keimanan yang paling rendah saja dia tidak punya menunjukkan dia telah keluar dari
Islam. Jangan dipahami demikian.

Tapi pemahaman yang benar Wallahu Ta’ala A’lam adalah seperti yang tadi kita sebutkan
bahwasanya menyingkirkan gangguan di jalan adalah cabang keimanan yang pahalanya paling
kecil dan tidak berarti orang yang tidak melakukannya kemudian dia keluar dari Iman atau keluar
dari Islam.

Banyak diantara kita orang Islam ketika melihat sesuatu yang menganggu orang lain di jalan dia
biarkan saja. Bahkan dia sendiri yang menjadi penyebabnya, misalnya dengan parkir
sembarangan.
Perkara ini tidak diajarkan di dalam agama Islam.
Ketika sedang kajian jangan kita parkir sembarangan. Jangan sampai kotoran dari rumah kita
menganggu orang yang ada di jalan.
Orang beriman memiliki perasaan jangan sampai dia menjadi sebab terganggunya orang lain di
jalan.

Kita diperintahkan untuk menyingkirkan. Kalau melihat ada gangguan yang ada di jalan, kita
diperintahkan untuk menyingkirkan. Maka tentunya lebih diperintahkan lagi untuk mencegah
diri dari menjadi sebab terganggunya orang lain di jalan. Kita singkirkan meskipun yang
melakukan bukan kita. Misalnya ada orang yang buang sesuatu di tengah jalan, mengganggu
manusia. Jangan mengatakan, yang buang bukan saya kok. Tapi kita ingat hadits ini, kita
singkirkan, dengan ihtiisaaban, mengharap pahala dari Allah, meskipun pahalanya adalah pahala
yang kecil diantara 73 cabang yang lain.

Tapi apakah yang kecil tadi Allah sia-siakan di akhirat? Tidak.


َ َ‫فَ َمن يَ ْع َملْ ِم ْثق‬
ُ‫ال َذ َّر ٍة خَ ْي ۭ ًرا يَ َره‬

“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah-pun, niscaya dia akan melihat
(balasan)nya.” (QS. Al-Zalzalah 7)

‫َمن َجٓا َء بِ ْٱل َح َسنَ ِة فَلَ ۥهُ َع ْش ُر َأ ْمثَالِهَا‬

“Orang yang datang membawa kebaikan di akhirat maka baginya (pahala) minimal sepuluh kali
lipat amalnya.” (QS. Al-An’am 160)

Bukan semuanya kemudian dilipatgandakan hanya 10 kali. Tidak. Allah akan lipatgandakan
sesuai dengan kehendaknya, dilihat dari keikhlasan, kesungguhan, dan mutaba’ah-nya. Mungkin
bisa 20, 50, 100, sampai 700 bahkan bisa lebih.

Kalau seseorang menyingkirkan gangguan dari jalan, kemudian di hatinya bermunculan perasaan
mengharap pahala dari Allah, membayangkan pahala di akhir, membayangkan bagaimana
seseorang selamat dari gangguan, melakukan itu semua karena mengharap pahala dari Allah,
ikhlas karena Allah, mungkin saja Allah Subhanahu wa Ta’ala melipatgandakan amalan yang
sebenarnya pahalanya adalah paling kecil tadi, tapi dengan keutamaan, rahmat, fadhl dari Allah
Subhanahu wa Ta’ala, maka Allah lipatgandakan sehingga menjadi amalan yang besar.

Disebutkan di dalam hadits,

ْ ‫ فَنَ َزع‬،‫بَ ْينَما َك ْلبٌ يُطيف بِر ِكيَّ ٍة قَ ْد َكا َد ي ْقتُلُه ْالعطَشُ ِإ ْذ رأ ْته ب ِغ ٌّي ِم ْن بَغَايا بَنِي ِإ ْس َرائي َل‬
‫ فَ َسقَ ْتهُ فَ ُغفِر لَهَا بِ ِه‬،‫َت ُموقَهَا فا ْستَقت لَهُ بِ ِه‬
“Ketika seekor anjing sedang mencari-cari, hampir-hampir rasa haus itu menjadikan dia
meninggal dunia, tiba-tiba seorang pelacur dari pelacur-pelacur Bani Israil melihat anjing ini dan
ada di dalam hatinya iba, rahmat, sayang kepadanya meskipun itu adalah seekor anjing.
Akhirnya tergerak hatinya, dia lepaskan sepatunya dan mengambil air dengannya kemudian
memberikan minum kepada anjing tersebut. Maka Allah mengampuni dosa pelacur tadi.”

Jangan dilihat kepada anjing dan hewan yang dia berikan minum tadi. Tapi Allah melihat apa
yang ada di dalam hatinya berupa keikhlasan. Ketika dia melakukannya, tidak ada yang melihat,
tidak ingin dipuji oleh orang, tidak ingin dikatakan sebagai penyayang binatang, dsb. Dia
lakukan ikhlas karena Allah, maka Allah mengampuni dosanya.

Dosa berzina adalah dosa besar, apalagi dijadikan sebagai mata pencaharian, bukan hanya sekali
dua kali dia lakukan. Tapi Allah Subhanahu wa Ta’ala mengampuni dosanya dengan sebab
keikhlasan dan kesungguhan di dalam hatinya.
Ini adalah syahid. Terkadang amalan yang kecil jika kita sertai dengan keikhlasan maka akan
dibesarkan oleh Allah pahalanya.

Kemudian setelahnya beliau menyebutkan tentang cabang keimanan yang berada diantara yang
tinggi dan yang rendah.
Beliau rahimahullah mengatakan,

‫والحياء شعبة من اإليمان‬

“Dan rasa malu adalah cabang dari keimanan.”

Darimana kita tahu bahwasanya hayyaa’ (‫ )حياء‬Ini adalah bukan yang a’laa (‫ )أعال‬bukan juga yang
adnaa (‫)أدنا‬. Tapi dia ada diantara yang a’laa dan adnaa. Dia adalah salah satu diantara cabang-
cabang keimanan.

Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam tidak menyebutkan apakah rasa malu ini ada di nomor 60
atau 50 atau 40, yang jelas dia adalah satu diantara cabang-cabang keimanan.

Yang dimaksud dengan malu di sini adalah malu yang menyebabkan seseorang menjalankan
perintah dan menjauhi larangan Allah. Inilah malu yang merupakan cabang diantara cabang-
cabang keimanan.
Misalnya, malu karena jahil terhadap agamanya, akhirnya dia belajar. Malu menjadi seorang
laki-laki yang shalatnya hanya di rumah terus seperti wanita, akhirnya dia menjalankan perintah.
Malu kepada Allah karena sudah diberi nikmat tetapi nikmat tersebut digunakan untuk
kemaksiatan. Malu kepada Allah yang telah meluaskan rezeki (misalnya), tapi tidak semakin
baik amalannya, tidak semakin baik ketaatannya. Maka dia malu sehingga menjadikannya makin
kuat menjalankan perintah dan makin getol menjauhi larangan Allah.
Inilah malu yang merupakan cabang keimanan, malu yang terpuji, malu yang baik adalah yang
demikian.

Adapun malu yang sebaliknya, justru menjadikan seseorang meninggalkan perintah Allah seperti
misalnya:
Ana malu untuk berjilbab nanti dikatakan sok suci. Ana malu kalau ke masjid nanti dikatakan
sok shalih. Ana malu kalau menghadiri majelis ilmu. Ana malu kalau di dalam bus baca Al-
Qur’an. Ana malu kalau di dalam bus membaca kitab agama.

Maka ini adalah rasa malu yang tercela dan bukan merupakan cabang dari keimanan.
Rasa malu yang merupakan cabang keimanan adalah rasa malu yang hasilnya menjadikan dia
menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan Allah.

Beliau ingin menjelaskan bahwasanya iman


dengan makna umum adalah demikian. Berarti iman mencakup amalan dhohir maupun amalan
bathin.
Coba antum lihat yang ada di dalam hadits,

‫بضع وسبعون شعبة‬

Adakah di sini amalan yang dhohir?


Mengucapkan Laa Ilaaha Illallaah.
Apalagi yang dhohir?
‫إماطة األذى عن الطريق‬
Ini adalah amalan yang dhohir.
Adakah amalan yang bathin?
‫الحياء شعبة من اإليمان‬
Ini adalah amalan bathin.

Maka ini adalah Iman secara umum mencakup amalan yang dhohir maupun yang bathin.
Ats Tsalatsah – Halaqah 43 | Landasan Ke Dua Ma’rifatu Dinil Islam Bil
Adillah: Rukun Iman Ada Enam

Kemudian beliau menyebutkan bahwasanya cabang-cabang keimanan yang jumlahnya 73


ternyata memiliki rukun atau bagian yang paling penting di dalam Iman.
Jumlah rukunnya ada 6 dan dia berada di tingkat yang paling tinggi diantara cabang-cabang
keimanan.

Urutan ke-1 sampai ke-6 adalah 6 rangking pertama yang ditempati oleh Arkanul Iman yang
merupakan 6 perkara yang paling penting, yang paling besar pahalanya di dalam cabang-cabang
keimanan.

Yang paling tinggi adalah ucapan “Laa Ilaaha Illallaah”. Qaulu “Laa Ilaaha Illallaah” masuk di
dalam ‫( اإليمان باهلل‬Al-Imanubillah) yang merupakan rukun iman yang paling tinggi (Iman kepada
Allah).
Urutan ke-1 sampai ke-6 adalah rukun Iman yang enam.
1. Iman kepada Allah
2. Iman kepada Malaikat
3. Iman kepada Kitab
4. Iman kepada Rasul
5. Iman kepada Hari akhir
6. Iman kepada Takdir

Rukun Iman yang 6 ini menempati 6 rangking yang pertama dari cabang-cabang keimanan dan
dia adalah arkan atau rukunnya. Kalau satu diantara rukun iman ini tidak ada, maka seseorang
bisa keluar dari keimanan.

Adapun yang lain, urutan setelahnya (nomor 7,8,9, dan seterusnya) maka ini terbagi-bagi.
Ada diantaranya yang merupakan:
1. Ushulul Iman atau arkanul iman, pondasi keimanan
2. Kamalul Iman Al Wajib
3. Kamalul Iman Al Mustahab

Ushulul Iman (pondasi keimanan) jumlahnya ada 6 (Rukun Iman), sedangkan urutan ke-7 hingga
yang paling rendah (Adnaa) terbagi menjadi 2, yaitu :
⑴ Kamalul Iman Al Wajib (Kesempurnaan Iman yang wajib)
⑵ Kamalul Iman Al Mustahab (Kesempurnaan Iman yang dianjurkan)

Jangan kita tertipu dengan ucapan kesempurnaan, kemudian dianggap itu tidak harus, misalnya.
Tidak.

Kesempurnaan itu ada dua:


⑴ Kesempurnaan yang Wajib
⑵ Kesempurnaan yang Sunnah

Kesempurnaan yang wajib, misalnya berbakti kepada orang tua, menafkahi istri dan anak,
silaturahim, shalat, puasa.
Kesempurnaan yang sunnah, misalnya shalat rawatib, puasa Senin Kamis, shadaqah.

Ini tadi ada di dalam cabang-cabang keimanan dari urutan ke-7 sampai yang akhir.
Kesempurnaan Iman yang wajib kalau sampai ditinggalkan dia berdosa.
Kesempurnaan Iman yang mustahab kalau dia tinggalkan maka dia tidak berdosa.

Maka yang beliau sebutkan di sini adalah yang rukun-rukun dahulu. Diantara 70 cabang lebih
tadi beliau isyaratkan sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam mengisyaratkan, ada yang
tinggi (A’laa) ada yang rendah (Adnaa).
Ini menunjukkan bahwasanya Iman ada yang berupa amalan bathin dan amalan dhohir. Maka
beliau mulai dengan menyebutkan yang rukun di antara cabang-cabang keimanan tadi.

Beliau rahimahullah mengatakan,

‫ وبالقدر خيره شره كله من هللا‬،‫ واليوم اآلخر‬،‫ ورسله‬،‫ وكتبه‬،̧‫ ومالئكته‬،‫ أن تؤمن باهلل‬:‫وأركانه ستة‬.

“Rukunnya ada 6: Beriman kepada Allah, Beriman kepada Malaikat, Beriman kepada Kitab,
Beriman kepada Rasul, Beriman kepada Hari Akhir, dan beriman dengan Takdir yang baik dan
buruk, semuanya adalah dari Allah.”

Ini menunjukkan tentang keharusan kita memperhatikan tentang perkara-perkara yang


dimasukan di dalam agama kita sebagai rukun.
Kalau kita tahu bahwasanya Iman kepada Allah, Malaikat, Kitab, Rasul, Hari Akhir, Takdir,
Allah jadikan sebagai rukun keimanan yang kalau sampai satu diantara rukun iman tadi tidak ada
maka batal keimanannya, maka kita harus punya perhatian dan mempelajari rukun Iman yang 6
ini.

Sebagaimana ketika kita membahas tentang Islam, kita harus punya perhatian besar terhadap
rukun Islam yang 5 (lima).
Ketika datang waktu subuh, dhuhur, ashar, rasakanlah bahwasanya kita sedang melakukan
perkara yang besar diantara ibadah-ibadah yang diwajibkan oleh Allah.

Ketika datang Ramadhan kita berpuasa selama 30 hari, kita sedang melakukan perkara yang
besar dalam agama ini. (Allah masukan ini di dalam rukun).
Kalau kita termasuk orang yang punya harta, maka ingat kewajiban zakat yang ada di dalam
harta tersebut, dan ini termasuk syiar, bahkan dia termasuk rukun di dalam agama Islam.

Kalau kita punya kemampuan untuk melakukan haji ke Baitullah, maka jangan ditunda kalau kita
memiliki harta, kemampuan fisik, dan mempunyai mahram bagi wanita maka jangan kita tunda,
tapi harus kita laksanakan dan segera kita laksanakan, karena ini Allah masukan dalam rukun
Islam dan merupakan perkara yang besar di dalam agama ini.

Termasuk masalah rukun Iman ini, maka kita harus pelajari dengan baik. Dan tentunya
mempelajari rukun Iman yang 6 ini, dan di dalamnya ilmu dan penjabaran yang luas tentang
Iman kepada yang 6.
Dan tidak semua yang ada di dalam rukun Iman
wajib kita ketahui semua.
Misalnya, beriman kepada Malaikat.
Tidak wajib bagi kita mengenal semua nama-nama malaikat, mengenal amalan-amalan malaikat,
atau nama-nama para Rasul yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan Hadits.

Apakah dinamakan beriman kepada Malaikat, beriman kepada Rasul, seorang wajib mengenal
dan menghapal nama Malaikat atau Rasul tersebut?
Jawabannya bukan sebuah keharusan.
Di sana ada kadar tambahan dan di sana ada kadar yang wajib. Kadar dalam beriman dengan
rukun Iman yang 6.

Ada kadar yang wajib (yang cukup): kadar wajib yang mencukupi, yaitu mencukupi untuk
dinamakan orang yang beriman kepada Allah, beriman kepada Kitab, beriman kepada Rasul, dan
seterusnya.
Ada kadar yang tambahan (kesempurnaan).

Maka hendaklah kita mengetahui apa itu kadar yang wajib. Jangan sampai kita hanya memiliki
sesuatu yang tidak mencukupi wajibnya. Maka kita harus mengetahui apa yang wajib.
Jangan sampai yang kita miliki itu masih kurang dari kadarnya. Karena ini adalah kadar minimal
yang mencukupi.
Kita harus tahu apa kadar yang mencukupi dari beriman kepada Allah, sehingga kita bisa
menimbang dan melihat keadaan kita.
Ini sudah atau belum?

Dan kita dalam mendakwahi orang lain, kita harus bijaksana. Kalau kita mengetahui mana kadar
yang wajib, mana kadar yang harus minimal dimiliki oleh seseorang, maka Insya Allah kita lebih
bijaksana dalam mendakwahkan kepada orang lain.
Karena kalau kita tahu mana kadar yang wajib, maka kita tidak membebani orang lain di luar
kemampuannya.

Pak yang penting antum bisa ini, memahami ini, ini, dan ini, maka itu sudah kadar yang minimal
(antum sudah dinamakan orang yang beriman kepada Allah). Setelah itu kalau memang punya
kemampuan, silahkan mempelajari lebih luas. Tapi minimal adalah memiliki keimanan ini dan
ini.

Sehingga seseorang harus mempunyai target, yang penting dia sudah paham dan yakin
bahwasanya Malaikat itu makhluk Allah. Dan diantara Malaikat ada Malaikat yang bernama
Jibril atau Malaikat yang ditugaskan untuk menyampaikan wahyu kepada seorang Rasul, maka
itu sudah cukup dinamakan dia sebagai orang yang beriman kepada Malaikat.
Ini menjadikan kita lebih bijaksana dalam berdakwah.

Demikian yang bisa kita sampaikan pada kesempatan kali ini dan sampai bertemu kembali pada
halaqah selanjutnya.
HSI Silsilah Pembahasan Kitab Al Ushulu Ats Tsalatsah – Halaqah 44 |
Landasan Ke Dua Ma’rifatu Dinil Islam Bil Adillah: Kadar Minimal Rukun-
Rukun Iman

Kita sebutkan di sini kadar minimal dari beriman terhadap Rukun Iman yang 6.

• Beriman kepada Allah (‫)أن تؤمن باهلل‬


Maka kadar yang wajib, (minimal/)yang mencukupi) adalah,
1. Beriman dengan keberadaan Allah, artinya Allah itu ada dan ini harus ada dalam diri
seseorang.
2. Allah adalah Rabb yang memiliki sifat-sifat Rububiyyah. Kalau ada tapi tidak memiliki sifat
Rububiyyah berarti dia kurang dari yang minimal (tidak dinamakan beriman kepada Allah).
3. Meyakini bahwa Rabb adalah yang disembah (ilaah). Kalau dia meyakini wujud Allah, dan
meyakini bahwasanya Dia-lah Allah (Rabb), tapi dia tidak menyembah Allah berarti dia kurang
dari kadar wajib.
4. Dia meyakini bahwasanya yang disembah (Rabb) Dia memiliki nama dan juga sifat. Minimal
dia meyakini Allah itu punya nama dan juga punya sifat.

Apa sifat-sifatnya?
ْ Ashaabi’ (ُ‫صابِع‬
Sifat-sifat Allah adalah Istiwaa (‫)استواي‬، Yad (ُ‫)اليَد‬, َ ‫)َأ‬.
Jika dia tidak bisa menyebutkan sifat-sifat Allah (karena tidak tahu) tapi dia yakin bahwa Allah
memiliki nama dan sifat, batal tidak keimanannya? Tidak.
Karena kadar minimalnya dia meyakini bahwa Allah itu mempunyai nama dan juga sifat.
Masalah perinciannya dia tidak tahu (karena belum belajar) maka itu tidak sampai membatalkan
keimanannya.
Tapi kalau dia sudah pernah mendengar sebelumnya dan sudah terpatri di dalam hatinya bahwa
Allah mempunyai nama dan sifat.
Misalnya, ketika sedang membaca Al-Qur’an, Allah mengatakan : ‫ – َوهُ َو ْٱل َغفُو ُر ٱل َّر ِحي ُم‬kemudian
ْ
dia tahu, “Oh di antara nama Allah adalah ‫”ٱل َغفُو ُر ٱل َّر ِحي ُم‬.
Ketika dia sudah mendengar, maka dalam keadaan demikian dia harus meyakini bahwa diantara
ِ ‫ ْٱل َغفُو ُر ٱلر‬.
nama Allah adalah ‫َّحي ُم‬

Dan diantara sifat Allah adalah istiwaa.


ِ ْ‫الرَّحْ َمنُ َعلَى ْال َعر‬
]5:‫ش ا ْست ََوى [طه‬
Dalam keadaan sudah mendengar maka kewajiban dia untuk meyakini bahwa Allah memiliki
sifat Al Istiwaa, dan ini kadar minimal dari beriman kepada Allah.

• Beriman dengan Malaikat-Nya (‫)ومالئكته‬


Beriman dengan malaikat-malaikat-Nya
Kadar minimalnya adalah,
1. Meyakini bahwasanya Malaikat adalah makhluk. Mereka ada dan mereka adalah makhluk
Allah, bukan sekedar hayalan semata atau cerita fiktif semata.
2. Meyakini ada diantara mereka yang ditugaskan menurunkan wahyu kepada para Nabi.
Dia meyakini, “Oh di sana ada Malaikat yang ditugaskan untuk menyampaikan wahyu.” Ini
sudah cukup.
Kalau ditanya siapa namanya dan dia tidak tahu maka jangan dihukumi dia orang yang keluar
agama Islam.
Karena dia sudah memiliki kadar minimal, jika dia tidak tahu nama Malaikat itu, itu bukan
termasuk kadar minimal.
Kalau dia tahu nama Malaikat itu, maka ini tambahan (tambahan ilmu). Setelah datang ilmu,
maka kewajiban dia untuk meyakini yang demikian.

Setelah datang ilmu bahwasanya Malaikat yang menyampaikan wahyu adalah Jibril, maka
kewajiban kita adalah beriman.
Oleh karena itu ketika kita mengetahui namanya maka keimanan kita harus bertambah. Harus
berbeda antara orang yang tahu dengan orang yang tidak tahu.

َ‫قُلْ هَلْ يَ ْست َِوي الَّ ِذينَ يَ ْعلَ ُمونَ َوالَّ ِذينَ ال يَ ْعلَ ُمون‬

Sama-sama memiliki kadar minimal. Orang awam, dia punya kadar minimal. Seorang penuntut
ilmu ketika dia tahu sebuah ilmu, berarti bertambah keimanannya.
Misalnya, nama Malaikat yang menyampaikan wahyu adalah Jibril, nama lainnya adalah Ruhul
Qudus, Ruhul Amin. Dia memiliki sifat Amin dan sifat Qudus, jauh dari dosa, dia bisa menjelma
sebagai manusia, dan seterusnya.
Tentunya berbeda keimanan seorang thalabul ilmi dengan seorang awam. Semakin dia banyak
menuntut ilmu diharapkan semakin banyak keimanan.

• Beriman dengan Kitab-Kitab-Nya (‫)وكتبه‬


Maka kadar minimalnya adalah,
1. Meyakini bahwasanya Allah menurunkan kitab kepada siapa yang Allah kehendaki diantara
para Rasul.
Allah menurunkan kitab kepada siapa yang Allah kehendaki diantara para Rasul.
Jadi dia punya keimanan yang global. Allah menurunkan kitab ke dunia ini kepada Rasul
(utusan) bukan kepada sembarang orang. Allah berikan kepadanya kitab di dalamnya ada
perintah dan larangan.
2. Meyakini bahwasanya kitab-kitab tadi digunakan oleh mereka untuk menghukumi diantara
manusia karena di dalamnya ada hukum Allah.
Mereka menghukumi ini boleh ini tidak, ini halal ini haram, ini wajib ini sunnah dari kitab-kitab
tersebut. Jadi secara global dia meyakini kitab-kitab tersebut di dalamnya ada hukum Allah.
3. Meyakini bahwasanya kitab-kitab sebelum Al-Qur’an telah dihapus dengan Al-Qur’an.

Ini adalah kadar minimal dari beriman dengan Kitab.


Masalah dia tidak tahu tentang kitab Taurat, Injil, Shuhuf Ibrahim, Shuhuf Musa, itu bukan
termasuk kadar minimal. Itu adalah tambahan pengetahuan.
Tapi minimal dia meyakini Allah menurunkan kitab dan kitab-kitab itu untuk menghukumi
diantara manusia, dilakukan oleh para Rasul. Dan meyakini bahwasanya Al-Qur’an yang dibawa
oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alayhi wa sallam adalah naasikhoh (penghapus) terhadap
kitab-kitab sebelumnya.

• Beriman dengan Rasul-Rasul-Nya (‫)ورسله‬


Kadar minimalnya adalah,
1. Meyakini bahwasanya Allah mengutus para Rasul untuk berdakwah.
Allah mengutus (ada utusan) ini keyakinan yang termasuk kadar minimal.
2. Rasul tersebut mendakwahkan kepada Tauhid.
3. Rasul yang terakhir adalah Muhammad, tidak ada Rasul setelah Beliau.
Adapun tentang siapakah perincian para Rasul, nama-nama, dan sifat-sifat serta kekhususan para
Rasul,maka ini adalah kadar tambahan.
• Beriman dengan Hari Akhir (‫)اليوم اآلخر‬
Kadar minimalnya adalah,
1. Meyakini bahwasanya Allah akan membangkitkan. Maksudnya Allah akan menghidupkan
orang yang sudah meninggal.
Minimal meyakini bahwa Allah akan membangkitkan manusia. Kalau sampai keyakinan ini
tidak ada, maka dia keluar dari agama Islam.
2. Meyakini bahwasanya Allah akan membalas. Jadi mereka bukan dibangkitkan lalu dihidupkan
kembali setelah itu dibiarkan begitu saja. Tetapi mereka akan dibalas.

]٣١:‫ي الَّ ِذينَ َأحْ َسنُوا بِ ْال ُح ْسنَى [النجم‬


َ ‫ي الَّ ِذينَ َأ َسا ُءوا بِ َما َع ِملُوا َويَجْ ِز‬
َ ‫لِيَجْ ِز‬

3. Dibalas dengan Surga atau Neraka. Berarti harus meyakini adanya Surga dan Neraka. Nomor
3 ini bisa dimasukkan ke dalam nomor 2.
Adapun perincian yang terjadi di sana, ini adalah kadar tambahan yang kalau kita ketahui secara
terperinci akan berpengaruh terhadap keyakinan seseorang.
Jika kita tahu perincian apa yang terjadi di hari akhir adalah tambahan ilmu dan tambahan
keimanan.

• Beriman dengan Takdir (‫)وبالقدر خيره شره‬


Kadar minimalnya adalah,
1. Beriman bahwa Allah telah menakdirkan segala sesuatu yang baik maupun yang buruk sejak
dahulu.
2. Tidaklah terjadi di dunia ini kecuali dengan kehendak-Nya. Ini adalah kadar minimal dari
beriman dengan takdir.

Sehingga diharapkan kita mengetahui tentang keadaan diri kita. Dan sebagai seorang da’i,
seorang mu’allim, kita harus memiliki target, memiliki kebijaksaan di dalam mendakwahi orang
lain.
HSI Silsilah Pembahasan Kitab Al Ushulu Ats Tsalatsah – Halaqah 45 |
Landasan Ke Dua Ma’rifatu Dinil Islam Bil Adillah: Dalil Rukun Iman
yang Enam

Kemudian setelahnya beliau menyebutkan tentang dalil Rukun Iman yang enam ini.
Beliau mendatangkan dalil,

‫ب َولَـ ِك َّن ْالبِ َّر َم ْن آ َمنَ بِاهّلل ِ َو ْاليَوْ ِم‬


ِ ‫ق َو ْال َم ْغ ِر‬
ِ ‫وا ُوجُوهَ ُك ْم قِبَ َل ْال َم ْش ِر‬
ْ ُّ‫ْس ْالبِ َّر َأن تُ َول‬
َ ‫ لَّي‬:‫والدليل على هذه األركان الستة قوله تعالى‬
]177:‫ب َوالنَّبِيِّينَ [البقرة‬ ْ ْ
ِ ‫اآلخ ِر َوال َمآلِئ َك ِة َوال ِكتَا‬ِ

“Bukanlah kebaikan itu kalian memalingkan wajah-wajah kalian ke timur ataupun ke barat akan
ْ adalah orang yang beriman kepada Allah dan hari
tetapi yang dimaksud dengan kebaikan (‫)البِ َّر‬
akhir dan malaikat dan juga kitab dan para Nabi.” [QS. Al-Baqarah 177]

Syahidnya di sini adalah ‫ َولَـ ِك َّن ْالبِ َّر‬akan tetapi kebaikan (intinya) adalah beriman kepada Allah,
beriman kepada hari akhir, beriman kepada malaikat, beriman kepada kitab, dan para nabi.
Ayat ini berkaitan tentang orang-orang Yahudi
ketika kiblat kaum muslimin berpindah dari masjidil Aqsa ke masjidil Haram, mereka
menertawakan kaum muslimin. Kemudian Allah menamakan mereka sebagai ‫ٱل ُّسفَهَٓا ُء‬.

۟ ُ‫َسيَقُو ُل ٱل ُّسفَهَٓا ُء ِمنَ ٱلنَّاس ما َولَّ ٰىهُ ْم عَن قِ ْبلَتِ ِه ُم ٱلَّتِى َكان‬
‫وا َعلَ ْيهَا‬ َ ِ

“Orang-orang yang kurang akalnya diantara manusia akan berkata: “Apakah yang memalingkan
mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat
kepadanya?” [QS. Al-Baqarah:142]

Sebelumnya orang-orang Yahudi senang, mereka gembira melihat kiblat kaum muslimin sama
dengan kiblat mereka.
Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam saat itu ingin kiblat kaum muslimin pindah ke masjidil
Haram.
Alasannya:
1. Beliau termasuk Ahlu Mekkah, sejak kecil beliau dekat dengan Baitullah dan Baitullah
dibangun oleh bapak mereka yaitu Ibrahim.
2. Beliau ingin menyelisihi orang-orang Yahudi.

Ketika Allah mengabulkan keinginan Beliauu, orang-orang Yahudi pun mencemooh kaum
Muslimin dan menyepelekan kaum Muslimin.
Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’āla mengatakan,

ِ ‫ق َو ْال َم ْغ ِر‬
‫ب‬ ِ ‫وا ُوجُوهَ ُك ْم قِبَ َل ْال َم ْش ِر‬
ْ ُّ‫ْس ْالبِ َّر َأن تُ َول‬
َ ‫لَّي‬

Bukan ‫( بِ َّر‬birr) itu hanya sekedar masalah memalingkan wajah ke timur atau ke barat (ke
Masjidil Aqsa atau ke Baitul Haram), bukan itu sebenarnya.
Birr (َّ‫ )بِر‬/kebaikan itu adalah berimannya kita kepada Allah, ikutnya kita kepada Allah.
Sebelumnya kiblat orang Islam adalah ke Masjidil Aqsa kemudian berpindah ke Masjidil Haram.
Kenapa kiblat mereka pindah?
ْ bukan hanya sekedar memalingkan wajah
Karena iman mereka kepada Allah. Itulah Al-Birr (‫)البِ َّر‬
ke masjidil Haram atau ke masjidil Aqsa.
Iman yang ada di dalam hati, itu yang Allah hitung.

ِ ‫َولَـ ِك َّن ْالبِ َّر َم ْن آ َمنَ بِاهّلل‬

Al-Birr (kebaikan) yang sebenarnya adalah beriman kepada Allah seperti yang dilakukan oleh
kaum muslimin.

ِ ‫اآلخ ِر َو ْال َمآلِئ َك ِة َو ْال ِكتَا‬


َ‫ب َوالنَّبِيِّين‬ ِ ‫َو ْاليَوْ ِم‬

Di dalam ayat ini hanya disebutkan lima perkara, beriman kepada Allah, beriman kepada Hari
Akhir, beriman kepada Malaikat, beriman kepada Kitab, dan beriman kepada Nabi.
Kemudian beliau rahimahullah mendatangkan ayat lain yang di dalamnya disebutkan tentang
Iman dengan takdir.

Dan dalil tentang takdir adalah firman Allah,

ٍ ‫ ِإنَّا ُك َّل َش ْي ٍء َخلَ ْقنَاهُ بِقَد‬:‫ودليل القدر قوله تعالى‬


]49:‫َر [القمر‬

“Sesungguhnya kami menciptakan segala sesuatu dengan takdir.” [QS. Al-Qamar:49]

Ini dijadikan oleh ulama sebagai dalil bahwasanya Allah ‫( يقدر‬yuqaddir).


Sebelum Allah menciptakan, Allah takdirkan terlebih dahulu. Allah tentukan terlebih dahulu
kebaikan juga kejelekan, kemudian setelah itu Allah menciptakan.

‫َّى ۞ َوٱلَّ ِذي قَ َّد َر فَهَد َٰى‬ َ َ‫ك ٱَأْل ْعلَى ۞ ٱلَّ ِذي خَ ل‬
ٰ ‫ق فَ َسو‬ َ ِّ‫ِّح ٱ ْس َم َرب‬
ِ ‫َسب‬

“Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi.


Yang menciptakan, lalu menyempurnakan (ciptaan-Nya). Yang menentukan kadar (masing-
masing) dan memberi petunjuk.” [QS. Al-A’la :1-3]

Dan Allah mengatakan,

‫ق ُك َّل َش ْى ۢ ٍء فَقَ َّد َر ۥهُ تَ ْق ِدي ۭ ًرا‬


َ َ‫َو َخل‬

“Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” [QS. Al Furqon: 2]

Ini adalah dalil tentang beriman dengan takdir dan ayat-ayat Allah itu saling melengkapi satu
dengan yang lain.
Sebagaimana kita beriman dengan lima Rukun Iman yang disebutkan di dalam Surat Al-Baqarah
ayat 177. Demikian pula kita beriman dengan takdir yang Allah sebutkan di
dalam ayat-ayat lain. Dan kita harus beriman dengan semuanya.
Jangan seperti Ahlul Kitab yang mereka beriman dengan sebagian yang ada di dalam kitab dan
dia kufur dengan sebagian yang lain.

‫ْض‬ ِ ‫ْض ْٱل ِكتَ ٰـ‬


ٍ ۢ ‫ب َوتَ ْكفُرُونَ بِبَع‬ ِ ‫تُْؤ ِمنُونَ بِبَع‬

“Mereka beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang
lain.” [QS. Al-Baqarah 85]

Kita orang yang beriman,

‫َءا َمنَّا بِِۦه ُك ۭلٌّ ِّم ْن ِعن ِد َربِّنَا‬

“Kami beriman dan semuanya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.” [QS. ALI Imran: 7]
HSI Silsilah Pembahasan Kitab Al Ushulu Ats Tsalatsah – Halaqah 46 |
Landasan Ke Dua Ma’rifatu Dinil Islam Bil Adillah: Tingkatan Islam Ke Tiga
Adalah Ihsan dan Rukunnya

Kemudian beliau rahimahullah mengatakan,

) ‫ فإن لم تكن تراه فإنه يراك‬،‫ ( أن تعب̧د هللا كأنك تراه‬:‫ وهو‬،‫ ركن واحد‬:‫ اإلحسان‬:‫المرتبة الثالثة‬

Tingkatan yang ke tiga : Al-Ihsan (‫)اإلحسان‬


Secara bahasa, Ihsan adalah Al-Itqan artinya puncaknya atau maksimalnya dia dalam melakukan
sesuatu.

Ihsan dari kata Ahsana (‫ )احسن‬Yuhsinu (‫ يحسن‬Ihsanan (‫)احسان‬


Ahsana ( َ‫ )أحسن‬artinya memperbaiki
Hasan (‫ )حسن‬artinya baik

Jadi orang yang Ihsan adalah orang yang selalu memperbaiki. Memperbaiki baik amalan dhohir
maupun amalan bathinnya.
Ihsan adalah tingkatan yang paling tinggi, karena dia sudah Ihsan di dalam Islam dan Imannya,
baik amalan dhohir maupun bathinnya.

Ihsan hanya memiliki satu rukun.


Rukun ini memiliki 2 tingkatan:
1. Tingkatan Musyaahadah
Engkau beribadah kepada Allah saja seakan-akan engkau melihatnya.
2. Tingkatan Muraaqabah
Jika engkau tidak melihat Allah, maka sesungguhnya Dia (Allah) melihatmu.

Tingkatan pertama (Musyaahadah) ini lebih tinggi daripada yang ke dua, yaitu:

‫أن تعبد هللا كأنك تراه‬

“Engkau menyembah kepada Allah saja seakan-akan engkau melihat-Nya.”

Kenapa di sini memakai kata seakan-akan?Karena seseorang di dunia ketika dia beribadah
kepada Allah tidak mungkin dia melihat Allah, karena Allah tidak mengizinkan manusia untuk
melihatnya ketika di dunia. Tapi Allah akan mengizinkan orang-orang yang beriman untuk
melihatnya di akhirat.

Misalnya (perumpamaan):
Seorang karyawan memiliki atasan yang sangat dihormati, kemudian atasan tersebut memberi
amanah atau perintah untuk mengerjakan suatu pekerjaan (laporan, misalnya) dan laporan itu
harus selesai saat itu dan atasan (pimpinan) menunggu hasil pekerjaan tersebut.
Sebagai seorang karyawan pastinya dia akan mengerjakan pekerjaan itu dengan sebaik-baiknya
dan sungguh-sungguh.
Kenapa? Karena pimpinannya saat itu ada di depannya dan memperhatikan pekerjaan. Karyawan
itu akan bekerja maksimal (sebaik-baiknya) karena dia sedang diawasi pimpinannya.
Demikian pula orang yang beribadah kepada Allah seakan-akan dia melihat Allah maka Dia
akan beribadah secara maksimal karena dia merasa Allah melihatnya, Allah ada di depannya.

Tingkatan Kedua (Muraaqabah)

‫فإن لم تكن تراه فإنه يراك‬

“Jika kamu tidak melihatnya maka ketahuilah bahwasanya Dia (Allah) melihatmu.”

Misalnya (perumpamaan):
Seorang karyawan sedang bekerja, saat itu pimpinannya tidak ada di depan dia, tapi pimpinan itu
memasang CCTV sehingga dia bisa memantau cara kerja semua karyawannya.
Bagaimana sikap karyawan tersebut?
Tentunya karyawan tersebut akan tetap bekerja dengan sungguh-sungguh karena CCTV terus
memantau pekerjaan dia.

Begitu pula dalam ibadah, seseorang akan memperbaiki amalan dhohir dan bathinnya karena
Allah melihat dhohir dan bathin kita.
Seseorang akan beribadah sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah. Malu kalau
sampai dia melakukan ibadah tidak sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah.

Misalnya, Dia akan berusaha takbir sesuai dengan contoh Rasulullah. Dia akan membaca Al-
Qur’an sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah.Semakin dia merasa diawasi oleh Allah,
maka semakin sesuai tingkah lakunya dengan tingkah laku Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa
sallam.

Termasuk dalam berakhlak, orang yang sudah sampai derajat Ihsan, dia akan malu kalau
akhlaknya tidak sesuai dengan Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa sallam.
Termasuk adab dengan berbagai jenisnya, adab kepada orang lain, adab kepada isteri, adab
kepada orang yang lebih tua, adab kepada yang lebih muda. Semakin dia Ihsan, dia akan
memperbaiki adab dan akhlaknya.

Selain Allah mengawasi dhohir seseorang, Allah juga mengawasi bathin seseorang. Sebagaimana
sabda Nabi,

‫ ولكن ينظر إلى قلوبكم وأعمالكم‬،‫إن هللا ال ينظر إلى صوركم وأموالكم‬

“Allah melihat pada hati dan amalan kalian.”


(Hadits shahih riwayat Muslim nomor 6708)

Allah melihat apa yang ada di dalam hati kalian. Sehingga seseorang akan malu jika sampai di
dalam hatinya ada kotoran riya, walau sedikit.
Dia akan malu karena Allah melihatnya, sehingga dia akan berjuang untuk menghilangkan riya
tadi dan berdo’a kepada Allah supaya dihilangkan dari riya, dan seterusnya.

Maqam Musyaahadah: dia seakan-akan melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala.


Maqam Muraaqabah dia merasa diawasi oleh Allah Subhānahu wa Ta’āla
HSI Silsilah Pembahasan Kitab Al Ushulu Ats Tsalatsah – Halaqah 47 |
Landasan Ke Dua Ma’rifatu Dinil Islam Bil Adillah: Dalil Ihsan

Kemudian beliau rahimahullah mendatangkan dalil firman Allah,

‫ك بِ ْٱلعُرْ َو ِة ْٱل ُو ْثقَ ٰى‬


َ ‫َو َمن يُ ْسلِ ْم َوجْ هَ ٓۥهُ ِإلَى ٱهَّلل ِ َوه َُو ُمحْ ِس ۭ ٌن فَقَ ِد ٱ ْستَ ْم َس‬

“Dan barangsiapa yang menyerahkan wajahnya kepada Allah, sedang dia orang yang Muhsin,
maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh.” [QS. Luqman : 22]

Yuslim (‫ )يُ ْسلِ ْم‬menyerahkan diri dan dia merasa diawasi oleh Allah atau beribadah seakan-akan
dia melihat Allah.
Muhsin (‫ ) ُمحْ ِس ۭ ٌن‬di sini masuk di dalamnya Musyaahadah maupun Muraaqabah.

ْ َ‫ِإ َّن هّللا َ َم َع الَّ ِذينَ اتَّق‬


َ‫وا وَّالَّ ِذينَ هُم ُّمحْ ِسنُون‬

“Sungguh Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang Muhsin.” [QS. An-
Nahl:128]

Di dalamnya masuk Musyaahadah dan Muraaqabah.


Ini menunjukkan keutamaan orang-orang yang sampai derajat Ihsan. Allah akan bersama
mereka. Allah bersama orang-orang yang Muhsin.
Orang yang merasa diawasi oleh Allah, Allah akan bersamanya, maksudnya Allah akan
menolong dia.

Ketika antum melakukan sesuatu dan antum ingat Allah (merasa diawasi oleh Allah), maka
antum akan merasakan kemudahan dan mendapat pertolongan dari Allah.
Allah memberikan Taufiq kepada kita untuk berakhlak dan beradab. Ini semua adalah bagian
dari pertolongan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Allah berfirman,
ُ‫َو َمن يَتَ َو َّكلْ َعلَى ٱهَّلل ِ فَه َُو َح ْسبُه‬

“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan
(keperluan)nya.” [QS. At-Talaq : 3]

Dalil ayat Muraaqabah


Firman Allah,

‫ك فِي ٱل ٰ َّس ِج ِدينَ ۞ ِإنَّ ۥهُ ه َُو ٱل َّس ِمي ُع ۡٱل َعلِي ُم‬
َ َ‫يز ٱل َّر ِح ِيم ۞ ٱلَّ ِذي يَ َر ٰىكَ ِحينَ تَقُو ُم ۞ َوتَقَلُّب‬ ۡ
ِ ‫َوتَ َو َّك ۡل َعلَى ٱل َع ِز‬

“Dan bertawakallah kepada Allah Yang Maha Perkasa, Maha Penyayang. Yang melihat engkau
ketika engkau berdiri (untuk shalat). Dan (melihat) perubahan gerakan badanmu di antara orang-
orang yang sujud. Sungguh, Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” [QS. Ash-Shu’ara : 217-
220]
Berarti di sini maqamnya adalah Muraaqabah.

Dan juga firman Allah,

‫ان َواَل ت َۡع َملُونَ ِم ۡن َع َم ٍل ِإاَّل ُكنَّا َعلَ ۡي ُكمۡ ُشهُودًا ِإ ۡذ تُفِيضُونَ فِي ۚ ِه‬ ْ ُ‫َو َما تَ ُكونُ فِي َش ۡأ ٖن َو َما ت َۡتل‬
ٖ ‫وا ِم ۡنهُ ِمن قُ ۡر َء‬

“Dan tidaklah engkau (Muhammad) berada dalam suatu urusan, dan tidak membaca suatu ayat
Al-Qur’an serta tidak pula kalian melakukan suatu amalan, melainkan Kami menjadi saksi
atasmu ketika kamu melakukannya.” [QS. Yunus :61]
HSI Silsilah Pembahasan Kitab Al Ushulu Ats Tsalatsah – Halaqah 48 |
Landasan Ke Dua Ma’rifatu Dinil Islam Bil Adillah: Dalil dari Sunnah Tentang
Tiga Tingkatan Dalam Islam Bagian 1

Beliau rahimahullah mengatakan,


Dalil bahwasanya Islam yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa sallam ada tiga
tingkatan, dalil ini tidak terkait dengan Ihsan saja, meskipun pembahasan terakhir kita mengenai
Ihsan.

Beliau ingin mendatangkan dalil umum yang menunjukkan bahwasanya Islam yang dibawa oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki tiga tingkatan (Ini yang harus kita pahami).

Beliau mengatakan,

‫ ( بينا نحن جلوس عند النبي إذ طلع علينا رجل شديد‬:‫ حديث جبريل المشهور عن عمر بن الخطاب قال‬:‫والدليل من السنة‬
‫ ووضع‬،‫ فجلس إلى النبي فأسند ركبتيه إلى ركبتيه‬،‫ وال يعرفه منا أحد‬،‫ ال يُرى عليه أثر السفر‬،‫ شديد سواد الشعر‬،‫بياض الثياب‬
‫كفيه على فخذيه‬

Adapun dalil dari Sunnah adalah hadits Jabrail (Jibril, Jabrail, Jibraila) yaitu malaikat yang
bertugas untuk menyampaikan wahyu dari Allah kepada Nabi-Nya.

Hadits ini sering disebutkan oleh para ulama dan dikenal oleh kaum muslimin sehingga disifati
dengan Al-Masyhur (‫)المشهور‬.

Kalau para ulama mengatakan sebagaimana dalam hadits Jibril yang masyhur, maka yang
dimaksud adalah hadits ini.
Meskipun mungkin di sana ada hadits lain yang menyebutkan tentang Jibril tapi tidak sampai
dikenal sebagai hadits Jibril (Haditsu Jibril).

Hadits Jibril ini diriwayatkan oleh Umar bin Khaththab dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma.

Dalil hadits yang disebutkan penulis rahimahullah adalah hadits dari Umar bin Khaththab
radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam Shahihnya, dan ini yang
dibawakan oleh Imam An-Nawawi rahimahullah di dalam Al-Arbain An-Nawawiyyah.

Adapun yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari
dan Muslim.
Beliau mengatakan,

‫ اَل‬،‫ْر‬ ِ ‫اض الثِّيَا‬


ِ ‫ َش ِدي ُ¸د َس َوا ِد ال َّشع‬،‫ب‬ ِ َ‫ ْإذ طَلَ َع َعلَ ْينَا َر ُج ٌل َش ِدي ُد بَي‬،‫بَ ْينَ َما نَحْ نُ ُجلُوسٌ ِع ْن َد َرسُو ِل هَّللا ِ صلى هللا عليه و سلم َذاتَ يَوْ ٍم‬
‫ض َع َكفَّ ْي ِه‬ َ ‫ َو َو‬،‫ فََأ ْسنَ َد رُ ْكبَتَ ْي ِه إلَى ُر ْكبَتَ ْي ِه‬. ‫س إلَى النَّبِ ِّي صلى هللا عليه و سلم‬ َ َ‫ َحتَّى َجل‬.‫ْرفُهُ ِمنَّا َأ َح ٌد‬
ِ ‫ َواَل يَع‬،‫ي َُرى َعلَ ْي ِه َأثَ ُر ال َّسفَ ِر‬
َ
‫ َعلى فَ ِخذ ْي ِه‬. َ

“Ketika kami duduk di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa sallam pada suatu hari, tiba-tiba
datanglah kepada kami seorang laki-laki yang berpakaian sangat putih, rambutnya sangat hitam,
dan tidak terlihat padanya bekas perjalanan jauh. Tidak seorang pun dari kami yang
mengenalnya. Hingga ia duduk menghampiri Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam lalu
menyandarkan kedua lututnya pada dua lutut Beliau, dan meletakkan kedua tangannya di atas
kedua paha Beliau.”

Disebutkan di dalam Fathul Bari,

ْ‫ فَتَ َخطَّى َحتَّى بَ َركَ بَيْن يَ َدي‬، ‫ْس ِم ْن ْالبَلَد‬ َ ‫ لَي‬: ‫ووضع كفيه على فخذيه َوفِي ِر َوايَة لِ ُسلَ ْي َمان التَّ ْي ِم ِّي‬
َ ‫ َولَي‬، ‫ْس َعلَ ْي ِه َسحْ نَاء ال َّسفَر‬
‫صاَل ة‬ ‫َأ‬ َّ
َّ ‫َعلَ ْي ِه َو َسل َم َك َما يَجْ لِس َحدنَا فِي ال‬ ‫هَّللا‬ َّ
‫صلى‬ َ ‫النَّبِ ّي‬
‫صلَّى هَّللا َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ ‫ي‬ ‫ب‬َّ
َ ّ ِ ْ َ‫ن‬‫ال‬ ‫َي‬ ‫ت‬‫ب‬ ْ
‫ك‬ ُ‫ر‬ ‫ى‬َ ‫ل‬ ‫ع‬
َ ‫ده‬ َ َ َ ‫ثُ َّم َو‬
‫ي‬ ‫ع‬‫ض‬

Berarti duduknya adalah duduk Iftirasy (‫)إفتراش‬


Dia meletakkan kedua tangannya, ada dua kemungkinan,
1. Kemungkinan pertama dia meletakkan dua telapak tangannya di atas pahanya sendiri.
2. Kemungkinan yang ke dua dia meletakkan kedua tangannya di atas paha Rasulullah.

Tapi disebutkan di dalam Fathul Bari ada sebuah riwayat yang menunjukkan, yang dimaksud
paha di sini adalah paha Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa sallam.

‫َت هَ ِذ ِه الرِّ َوايَة َأ َّن‬


ْ ‫ فََأفَاد‬. ‫صلَّى هَّللا َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ ّ ‫َو َك َذا فِي َح ِديث اِبْن َعبَّاس َوَأبِي عَا ِمر اَأْل ْش َع ِر‬
َ ‫ ثُ َّم َو‬: ‫ي‬
َ ‫ض َع يَده َعلَى رُ ْكبَت َْي النَّبِ ّي‬
‫ض ِمير فِي قَوْ له َعلَى فَ ِخ َذ ْي ِه يَعُود َعلَى النَّبِ ّي‬ َّ ‫ ال‬،

Dan ini tentunya adalah hay-ah (bentuk) yang menunjukkan bahwasanya laki-laki ini benar-
benar ingin belajar.
Kemudian dia mengatakan,
“Wahai Muhammad kabarkan kepadaku tentang Islam.”
Dia mengatakan,”Wahai Muhammad”, memanggil langsung namanya.
Dan ini bukan kebiasaan para sahabat Rasulullah. Para sahabat tidak pernah memanggil Nabi
dengan namanya tetapi mengatakan,” Ya Rasulallah” atau “Ya Nabiyallah”.

Pertama kali yang beliau tanyakan adalah tentang Al-Islam.


Maka Nabi mengatakan,

‫ وتحج البيت إن استطعت إليه‬،‫ وتصوم رمضان‬،‫ وتقيم الصالة وتؤتي الزكاة‬،‫أن تشهد أن ال إله إال هللا وأن محمداً رسول هللا‬
‫فعجبنا له يسأله ويصدقه‬,‫ صدقت‬:‫قال‬, ‫سبيال‬.

Beliau menjawab dengan lima Rukun Islam yang sudah berlalu penjelasannya.
Ketika ditanya tentang Islam, Beliau menjawab dengan rukunnya padahal di dalam Islam
tentunya bukan hanya 5 ini saja tetapi di sana banyak perkara.

Beliau Shallallahu ‘alayhi wa sallam mendatangkan rukunnya (inti dari apa yang ada di dalam
Islam) dengan harapan supaya si penanya lebih mengambil faedah.

Ternyata laki-laki ini mengatakan,”Engkau benar”, membenarkan apa yang dikabarkan oleh
Nabi berupa Rukun Islam yang lima. Maka kami pun heran terhadap laki-laki ini di mana dia
bertanya dan dia yang membenarkan.
HSI Silsilah Pembahasan Kitab Al Ushulu Ats Tsalatsah – Halaqah 49 |
Landasan Ke Dua Ma’rifatu Dinil Islam Bil Adillah: Dalil dari Sunnah Tentang
Tiga Tingkatan Dalam Islam Bagian 2

Kemudian Jibril mengatakan,

ِ ‫ فََأ ْخبِرْ نِي ع َْن اِإْل ي َم‬:‫قَا َل‬.


‫ان‬

“Kabarkan kepadaku tentang Iman.”

Bertanya tentang amalan-amalan bathin.


Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa sallam menjawab,

ِ ‫ َوتُْؤ ِمنَ بِ ْالقَد‬،‫َأ ْن تُْؤ ِمنَ بِاَهَّلل ِ َو َماَل ِئ َكتِ ِه َو ُكتُبِ ِه َو ُر ُسلِ ِه َو ْاليَوْ ِم اآْل ِخ ِر‬
‫َر خَ ي ِْر ِه َو َشرِّ ِه‬

Beliau menyebutkan tentang inti dan rukun dari keimanan.

Amalan-amalan bathin ini banyak jenisnya tetapi Beliau Shallallahu ‘alayhi wa sallam
menyebutkan intinya.

Amalan bathin intinya 6 perkara ini. Beliau menyebutkan rukun Iman yang 6, yaitu:

⑴ Beriman kepada Allah.


⑵ Beriman kepada Malaikat-Malaikat-Nya.
⑶ Beriman kepada Kitab-Kitab-Nya.
⑷ Beriman kepada Rasul-Rasul-Nya.
⑸ Beriman kepada Hari Akhir.
⑹ Beriman kepada Takdir yang baik dan buruk.

‫ص َد ْقت‬ َ َ‫ق‬.
َ :‫ال‬

“Engkau benar”

Untuk kedua kalinya Jibril membenarkan jawaban Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa sallam.

ِ ‫ فََأ ْخبِرْ نِي ع َْن اِإْل حْ َس‬:‫قَا َل‬


‫ان‬

“Kabarkan kepada-ku tentang Ihsan.”

‫ فَِإ ْن لَ ْم تَ ُك ْن ت ََراهُ فَِإنَّهُ يَ َراك‬،ُ‫ َأ ْن تَ ْعبُ َ¸د هَّللا َ َكَأنَّك تَ َراه‬:‫قَا َل‬

“Engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihatnya, apabila engkau tidak bisa
melihatnya, ketahuilah bahwasanya Allah melihatmu.”
Ihsan adalah derajat yang lebih tinggi dari Islam dan Iman (telah disebutkan sebelumnya).
Ihsan berarti mencapai puncak amalan bathin dan dhahir dengan sebab maqam Musyaahadah
atau maqam Muraaqabah.

‫ص َد ْقت‬ َ َ‫ق‬
َ :‫ال‬

“Engkau benar.”
Untuk ketiga kalinya dia bertanya lalu membenarkan.
Kemudian Jibril bertanya,

‫ َما ْال َم ْسُئو ُل َع ْنهَا بَِأ ْعلَ َم ِم ْن السَّاِئ ِل‬:‫ال‬


َ َ‫ ق‬.‫ فََأ ْخبِرْ نِي ع َْن السَّا َع ِة‬:‫قَا َل‬

“Kabarkan kepada-ku tentang Yaumul Qiyamah.”

As-Saa’ah (‫ )السَّا َع ِة‬adalah tiupan sangkakala yang pertama.


Dikabarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam bahwasanya As-Saa’ah (‫ )السَّا َع ِة‬atau tiupan
sangkakala yang pertama terjadi di hari Jum’at.
Sebagaimana di dalam hadits disebutkan bahwasanya di hari itulah (Jum’at) diciptakan nabi
Adam, diturunkan nabi Adam, dan di hari itulah Beliau akan dimasukan ke dalam Surga.

Dan beliau mengabarkan tidak akan terjadi As-Saa’ah (‫ )السَّا َع ِة‬kecuali di hari Jum’at.

‫ق آ َد ُم َوفِي ِه ُأ ْد ِخ َل ْال َجنَّةَ َوفِي ِه ُأ ْخ ِر َج ِم ْنهَا َوالَ تَقُو ُم السَّا َعةُ ِإالَّ فِي يَوْ ِم ْال ُج ُم َع ِة‬
َ ِ‫ت فِي ِه ال َّش ْمسُ يَوْ ُم ْال ُج ُم َع ِة فِي ِه ُخل‬
ْ ‫خَ ْي ُر يَوْ ٍم طَلَ َع‬

“Tidak akan terjadi As-Saa’ah (‫ )السَّا َع ِة‬kecuali di hari Jum’at.” [Hadits shahih riwayat At-
Tirmidzi nomor 488]

Pada tiupan sangkakala yang pertama, As-Saa’ah, (‫ )السَّا َع ِة‬akan meninggal seluruh makhluk.
Mungkin sebagian kita masih membayangkan yang dimaksud dengan As-Saa’ah (‫ )السَّا َع ِة‬tiupan
sangkakala pertama adalah terjadinya huru-hara atau misalnya, runtuhnya langit, terjadi gempa,
dan seterusnya.

Disebutkan di dalam sebuah hadits, setiap hari Jum’at setelah shalat shubuh, makhluk-makhluk
dalam keadaan khawatir (takut) termasuk diantaranya ayam dan sejenisnya. Mereka takut apabila
hari tersebut adalah hari ditiupnya sangkakala yang pertama.

Dan setiap shalat subuh di hari Jum’at kita disunnahkan untuk membaca surat As-Sajdah dengan
Al-Insan karena di dalam kedua surat ini ada tadzkir dengan As-Saa’ah (‫ )السَّا َع ِة‬dan di dalamnya
ada penciptaan nabi Adam yang terjadi di hari Jum’at.

Beliau (Jibril) mengatakan,

‫َأ ْخبِرْ نِي ع َْن السَّا َع ِة‬

“Kapan terjadi As-Saa’ah (‫)السَّا َع ِة‬, pasti terjadinya?”


Yang dikabarkan Allah kepada Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam hanya sebatas nama hari saja
(hari Jum’at). Adapun Jum’at yang mana, maka Allah tidak memberitahukan.
Karena As-Saa’ah (‫ )السَّا َع ِة‬termasuk ilmu yang Allah khususkan untuk diri-Nya dan Allah tidak
memberitahukan kepada siapa pun kapan (pastinya) terjadinya, meskipun kepada Nabi
Shallallahu ‘alayhi wa sallam atau malaikat yang sangat dekat dengan Allah. Mungkin kalau
tanda-tanda kiamat, kisah-kisah umat terdahulu sebagian diberitahukan kepada Nabi. Tapi kapan
pastinya terjadi As-Saa’ah tidak diberitahukan kepada Nabi.

Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam adalah Nabi yang paling dekat dengan Allah Azza wa Jalla.
Demikian Jibril adalah sayyidul malaikat (pemuka para malaikat), malaikat yang dekat dengan
Allah Azza wa Jalla. Maka Allah juga tidak memberitahukan kepada malaikat tersebut.

Allah berfirman,

‫ك ع َِن ٱلسَّا َع ِة َأيَّانَ ُمرْ َس ٰىهَا ۖ قُلْ ِإنَّ َما ِع ْل ُمهَا ِعن َد َربِّى ۖ اَل يُ َجلِّيهَا لِ َو ْقتِهَٓا ِإاَّل ه َُو‬
َ َ‫يَ ْسـَٔلُون‬

Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat, “Bilakah terjadinya?” Katakanlah,


“Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku, tidak seorang pun
yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia.” [QS. Al-Araf:187]

Ini dikabarkan oleh Allah di dalam Al-Qur’an bahwasanya As-Saa’ah (‫ )السَّا َع ِة‬merupakan
kekhususan bagi Allah Azza wa Jalla.

Kalau Nabi Muhammad yang merupakan afdhalunnaas, aqrabunnaasi ilallaah tidak


diberitahukan dan malaku Jibril, malaikat yang paling dekat dengan Allah tidak diberitahukan
oleh Allah kapan terjadinya As-Saa’ah (‫)السَّا َع ِة‬, lalu bagaimana ada orang yang mengaku dia
mengetahui kapan terjadinya As-Saa’ah (‫?)السَّا َع ِة‬

‫ فََأ ْخبِرْ نِي ع َْن َأ َما َراتِهَا؟‬:‫ال‬


َ َ‫ق‬

“Kabarkan kepada-ku tentang tanda-tandanya?”

Kalau engkau tidak tahu kapan terjadinya As-Saa’ah (‫)السَّا َع ِة‬, apakah engkau mengetahui tanda-
tanda dekatnya As-Saa’ah (‫?)السَّا َع ِة‬

Amaraat artinya tanda-tandanya atau alamatnya.

ِ َ‫ َوَأ ْن تَ َرى ْال ُحفَاةَ ْال ُع َراةَ ْال َعالَةَ ِرعَا َء ال َّشا ِء يَتَطَا َولُونَ فِي ْالبُ ْني‬،‫ َأ ْن تَلِ َد اَأْل َمةُ َربَّتَهَا‬:‫قَا َل‬.
‫ان‬

Kemudian Beliau mengabarkan sebagian diantara tanda-tandanya, karena Allah telah


mengabarkan sebagian dari tanda-tanda dekatnya As-Saa’ah (‫)السَّا َع ِة‬.

Diantara tanda-tandanya (Beliau tidak menyebutkan semuanya meskipun di dalam pertanyaan


minta tanda-tandanya).
Beliau menyebutkan 2 tanda-tandanya (secara global).
‫َأ ْن تَلِ َد اَأْل َمةُ َربَّتَهَا‬
1. Seorang budak wanita melahirkan rabbatahaa.

Rabbah artinya adalah majikan wanita.


Ada yang mengartikan akan banyak perbudakan-perbudakan kemudian budak-budak tersebut
hamil dan melahirkan. Kalau budak tersebut melahirkan seorang wanita otomatis wanita ini akan
menjadi sayyidah-nya atau tuannya.
Isyarat akan terjadi banyak perbudakan, banyak peperangan antara muslim dengan kafir.

Ada yang menafsirkan bahwasanya yang dimaksud adalah ‫ العقوق كثرة‬banyaknya kedurhakaan.
Anak-anak durhaka kepada kedua orang tua, seorang wanita dia memperlakukan ibunya seperti
seorang majikan memperlakukan kepada bawahannya.

Dan tafsir yang pertama maupun tafsir yang ke dua, keduanya sudah terjadi saat ini. Kalau sudah
terjadi, maka ketahuilah bahwasanya As-Saa’ah (‫ )السَّا َع ِة‬sudah dekat, karena tanda-tandanya
sudah ada.

ِ َ‫اولُونَ فِي ْالبُ ْني‬


‫ان‬ َ َ‫َوَأ ْن تَ َرى ْال ُحفَاةَ ْال ُع َراةَ ْال َعالَةَ ِرعَا َء ال َّشا ِء يَتَط‬

2. Engkau akan melihat orang-orang yang tidak memakai alas kaki yang dia dalam keadaan
telanjang (tidak memakai pakaian lengkap seperti kita, memakai pakaian sebatas menutupi aurat
yang besar yang dahulu dia merupakan orang yang miskin) mereka adalah para penggembala
kambing.
Terkumpul di dalamnya sifat-sifat yang menunjukkan bahwasanya mereka adalah orang yang
sedikit memiliki uang atau ekonominya sangat terbatas.
Engkau akan melihat orang-orang demikian, dan kelak mereka َ‫اولُون‬
َ َ‫ يَتَط‬saling tinggi-tinggian di
dalam bangunan.
HSI Silsilah Pembahasan Kitab Al Ushulu Ats Tsalatsah – Halaqah 50 |
Landasan Ke Dua Ma’rifatu Dinil Islam Bil Adillah: Dalil dari Sunnah Tentang
Tiga Tingkatan Dalam Islam Bagian 3

‫ فمضى فلبثنا مليا‬: ‫قال‬

Maka Umar berkata,

“Maka laki-laki tersebut pergi meninggalkan tempat kami (majelis Rasulullah) maka kami pun
(para sahabat) terdiam sebentar.”

Baru saja terjadi percakapan yang luar biasa, yang sangat mengherankan mereka dan
mempengaruhi hati mereka. Sampai disebutkan tanda-tanda terjadinya hari kiamat.

‫ يَا ُع َم ُر َأتَ ْد ِري َم ْن السَّاِئلُ؟‬:‫ال‬


َ َ‫ثُ َّم ق‬.
َ‫ هَّللا ُ َو َرسُولُهُ َأ ْعل ُم‬:‫ت‬
ُ ‫قُ ْل‬.

Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa sallam berkata kepada Umar (shahibul qishshah),
“Wahai Umar tahukah siapa yang datang tadi?”
Kemudian Umar menjawab,
“Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.”

Karena mereka tidak mengetahui siapa sebenarnya laki-laki yang datang dan bertanya kepada
Nabi. Maka Umar mengatakan, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.”

Allah lebih tahu tentunya, karena Dia-lah yang mengetahui segala sesuatu, karena diantara
namanya adalah Al-‘Alim dan tidak terjadi perkara yang kecil maupun yang besar di dunia ini
kecuali dibawah ilmu Allah.
Rasul-Nya lebih tahu. Di dalam perkara agama,
Beliau lebih tahu, karena tidak mungkin agama Islam sampai kepada kita kecuali melalui
perantara Beliau Shallallahu ‘alayhi wa sallam.

Agama Islam dibawa Rasulullah dari Jibril, Jibril dari Allah Azza wa Jalla.
Tentunya Rasulullah lebih tahu tentang agama Islam daripada kita.
Sehingga benar yang dikatakan Umar, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu. (‫”)هَّللا ُ َو َرسُولُهُ َأ ْعلَ ُم‬

Dalam masalah agama, Allah dan Rasul-Nya lebih tahu daripada kita.
Adapun di dalam masalah dunia (masalah komputer, pertanian, peternakan dan seterusnya)
sebagaimana dikabarkan oleh Beliau, “Kalian lebih mengetahui tentang urusan dunia”, tetapi
kalau urusan agama Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa sallam yang lebih tahu.

Oleh karena itu kalau ada pertanyaan berkaitan dengan agama, maka kita katakan, “‫هَّللا ُ َو َرسُولُهُ َأ ْعلَ ُم‬
– Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui” Tapi kalau dalam urusan dunia, jangan katakan,
“Rasul lebih tahu” (karena telah Beliau katakan untuk urusan dunia) ‫أنتم أعلم بأمور دينكم‬.
Tapi cukup katakan: “‫”هللا اعلم‬.

‫فإنه جبريل أتاكم يعلمكم أمر دينكم‬


Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa sallam mengatakan,
“Ini adalah Jibril, dia datang untuk mengajarkan urusan agama kepada kalian.”

Dalam riwayat yang lain,

‫ فَِإنَّهُ ِجب ِْري ُل َأتَا ُك ْم يُ َعلِّ ُم ُك ْم ِدينَ ُك ْم‬:‫قَا َل‬

“Ini adalah Jibril, dia datang untuk mengajarkan agama kepada kalian.”

Laki-laki yang datang dengan hay-ah (cara) seperti itu adalah Jibril dengan tujuan untuk
mengajarkan.
Menunjukkan bahwasanya taklim terkadang berupa soal dan jawab. Nabi di sini menamakan ‫يعلم‬
dia sedang mengajarkan.
Jibril bertanya kemudian Rasulullah menjawab.

Terkadang seorang pengajar, mengajar dengan cara bertanya dan ini termasuk uslub min asalib
taklim (metode diantara metode pembelajaran) dan fungsinya untuk menggerakan pikiran,
menggerakan otak.

Kemudian ‫أمر دينكم‬


Agama kalian, berarti apa yang disebutkan Jibril (tanya jawab antara Jibril dan Nabi), itu semua
adalah bagian dari agama. Mulai dari yang pertama Arkanul Islam, Arkanul Iman, Ihsan, berarti
itu adalah bagian dari agama ini, yaitu agama Islam dengan makna khusus yaitu agama
Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam yang di dalamnya terkandung Arkanul Islam, Arkanul
Iman, dan Ihsan.

Berarti agama Beliau Shallallahu ‘alayhi wa sallam ada 3 tingkatan, dan masing-masing
tingkatan memiliki rukun sebagaimana disebutkan oleh beliau ‫( وكل مرتبة لها أركان‬masing-masing
dari tingkatan memiliki rukun). Ini semua ada di dalam hadits Jibril.

Dan banyak faedah-faedah yang bisa diambil dari hadits ini, diantaranya apa yang dilakukan oleh
Jibril ‘alaihissalam.
Bagaimana Jibril mengajarkan kepada kita tentang adab.

Diantara adab-adab menuntut ilmu, yaitu:


1. Jibril datang memakai pakaian
yang indah dan bersih, ini adalah bagian dari ‫تعظيم العلم‬
Seseorang ketika akan menghadap seorang raja atau seorang pemuka, dia tidak akan ridho
memakai pakaian yang jelek, apalagi untuk urusan ibadah.
Sepantasnyalah seorang penuntut ilmu, ketika menghadiri majelis ilmu, dia memakai pakaian
yang rapih. Datang terlihat sebagai seorang thalabul ‘Ilm.
2. Tentang hay-ah-nya bagaimana mendatangi majelis ilmu.
Jibril langsung mendatangi Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam, artinya seorang penuntut ilmu
mendekatkan diri kepada orang yang akan dia tuju untuk menimba ilmu.
Ini termasuk adab di dalam menuntut ilmu, mendekatkan dirinya kepada mu’allim, bukan duduk
di belakang atau di luar majelis, dan ini menunjukan ta’dhim dia terhadap ilmu yang akan dia
dapatkan.
Ini termasuk adab diantara adab-adab menuntut ilmu yang ingin disampaikan oleh malaikat
Jibril.
Kemudian bagaimana duduknya pun disebutkan di sini yaitu duduk dalam keadaan bersimpuh
dan itu mungkin hay-ah yang lebih susah daripada duduk bersila. Tapi dia lakukan demi untuk
mendapatkan ilmu.
Dan dia tempelkan, menunjukkan sangat dekatnya dia dengan mu’allim tersebut.

Ini adalah beberapa adab di dalam menuntut ilmu yang bisa kita ambil faidahnya dari hadits
Jibril yang masyhur.
Dan masih banyak faedah lain, seperti (misalnya) jangan malu untuk mengatakan ‫ هللا اعلم‬atau ُ ‫هَّللا‬
‫ َو َرسُولُهُ َأ ْعلَ ُم‬, di dalam perkara- perkara yang dia tidak tahu.

Termasuk malaikat Jibril adalah syayyidul malaikat atau pemukanya malaikat. Meskipun beliau
seorang pemuka malaikat, ketika beliau menghadiri majelis ilmu beliau posisikan dirinya
sebagaimana penuntut ilmu.
Di dalam hadits yang lain disebutkan,

‫ب ْال ِع ْل ِم ِرضًا بما صنع‬


ِ ِ‫ض ُع َأجْ نِ َحتَهَا لِطَال‬
َ َ‫َوِإ َّن ْال َمالَِئ َكةَ لَت‬

“Sesungguhnya malaikat meletakkan sayapnya sebagai tanda ridho terhadap apa yang dilakukan
penuntut ilmu.”
[Hadits riwayat Abu Dawud dan At-Tirmidzi]

Malaikat merendahkan diri di hadapan para penuntut ilmu. Seharusnya kita lebih beradab dengan
adab-adab menuntut ilmu.
Siapapun kita meskipun kita adalah seorang ustadz misalnya, kalau di sana ada ustadz lain yang
sedang mengisi maka beradablah seperti seorang penuntut ilmu.

Penulis rahimahullah membawakan hadits Jibril yang masyhur ini, ingin menunjukkan kepada
kita dalil tentang bahwasanya Islam yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa sallam
ada tiga tingkatan.

Anda mungkin juga menyukai