Anda di halaman 1dari 3

HSI Silsilah Pembahasan Kitab Al Ushulu Ats Tsalatsah – Halaqah 30 |

Landasan Ke Dua Ma’rifatu Dinil Islam Bil Adillah: Makna Syahadat Laa
Ilaaha Illallaah

Kemudian beliau mengatakan, menjelaskan tentang Laa Ilaaha Illallaah. Kita lihat ketika
menyebutkan Shalat, Zakat, Haji, Shaum, beliau tidak panjang lebar, tapi ketika membahas
tentang syahadat maka beliau di sini agak memperpanjang atau memperlebar penjelasan karena
beliau tahu bahwa ini adalah termasuk pokok di dalam agama Islam, yaitu tentang masalah
Tauhid.

Ma’rifatullah sangat berkaitan dengan Tauhid, demikian pula Ma’rifatu Dinil Islam ini juga
berkaitan dengan Tauhid karena ternyata di dalam Dienul Islam ada 3 tingkatan.

Di dalam Islam ada syahadat dan di dalam Iman nanti ada rukun Iman yang pertama, yaitu
beriman kepada Allah. Ketika membahas tentang iman kepada Allah juga akan membahas
tentang Tauhid. Ketika membahas Syahadat Laa Ilaaha Illallaah juga membahas tentang Tauhid.
Berarti Ma’rifatullah berkaitan dengan Tauhid, Ma’rifatu Dinil Islam juga berkaitan dengan
Tauhid. Ketika membahas Ma’rifatun Nabi juga akan dibahas tentang Tauhid. Maka beliau
akhirnya di sini membahas tentang makna Laa Ilaaha Illallaah. Beliau mengatakan,

‫ ال معبود بحق إال هللا‬: ‫ومعناها‬

Dan makna dari syahadat Laa Ilaaha Illallaah: Tidak ada sesembahan yang berhak disembah
kecuali Allah.
Ini adalah makna yang paling sempurna dan paling sesuai dengan kalimat Laa Ilaaha Illallaah.

Tidak ada sesembahan yang berhak (yang benar), yang berhak maksudnya yang memang berhak
untuk disembah atau yang ‫ق‬ٍّ ‫ بِ َح‬maksudnya yang benar karena haq. Bisa diartikan yang benar atau
diartikan yang berhak, kecuali Allah. Inilah makna Laa Ilaaha Illallaah.

Kalimat Laa Ilaaha Illallaah ini terdiri dari dua bagian, (dua rukun):

1. Terdapat pada kalimat – ‫– ال إله‬


2. Terdapat pada kalimat – ‫– إال هللا‬

Ketika seseorang mengatakan – ‫ ال إله‬-berarti dia dalam keadaan Naafian.


Naafian di sini haal. Shohibul haal-nya adalah Allah Azza wa Jalla karena dia tafsir terhadap
firman Allah,

‫َش ِه َد ٱهَّلل ُ َأنَّهۥُ اَل ۤ ِإلَ ٰـهَ ِإاَّل هُو‬

Naafian maksudnya adalah Allah menafikan ‫ جميع ما يُعبَ ُـد من دون هللا‬segala sesuatu yang disembah
selain Allah. Itu ada dalam kalimat – ‫– ال إله‬
Allah menafikan segala sesuatu yang disembah selain Allah seluruhnya. Kalau itu adalah
Duunallahu dan dia disembah, maka dinafikan, baik itu seorang Nabi sekalipun atau seorang
Malaikat, siapapun dia.
Itu adalah rukun yang pertama yang dinamakan rukun An Nafyu. Harus mengingkari seluruh
sesembahan selain Allah.

Kalimat – ‫ – إال هللا‬kalimat yang ke-2,

‫ كما أنه ال شريك له في ملكه‬،‫مثبتا العبادة هلل وحده ال شريك له في عبادته‬

Berarti Allah menetapkan bahwasanya ibadah itu hanyalah untuk – ‫ – هلل وحده‬saja itu adalah
makna Laa Ilaaha Illallaah.

Terdiri dari dua rukun, yang pertama adalah Nafyu kemudian yang ke dua adalah Itsbat.

Dan dua-duanya harus ada, kalau tidak ada maka tidak benar maknanya. Coba seandainya hanya
Laa Ilaaha saja , berarti kalau Laa Ilaaha saja: pengingkaran adanya sesembahan. Jadi orang yang
mengingkari wujud Allah menjadi orang yang Atheis, tidak percaya adanya Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Tapi kalau hanya menetapkan saja dengan mengatakan Allahu ma’bud atau mengatakan
Allahu Ilaahun (Allah adalah sesembahan), orang yang mengatakan Allahu Ilaah, dia tidak
mengingkari bahwasanya yang lain juga Ilaah. Orang yang menyembah misalnya Isa, mungkin
dia mengatakan Allah itu sesembahan, ketika dia mengatakan Allahu Ilaah belum tentu dia
mengingkari yang lain juga Ilaah. Berarti kalau hanya Itsbat saja Allah adalah Ilaaha, ‫ ال يكفي‬tidak
cukup.

Bagaimana bisa sempurna? Dengan menggabungkan antara Nafyu dan juga Itsbat. Itulah
keadilan ‫قائما بالقسط‬
Bagaimana caranya? Kita mengatakan Laa Ilaaha Illallaah, tidak ada sesembahan, kita ingkari
semuanya dan kemudian kita kecualikan Allah saja.

Oleh karena itu makna yang benar: : ‫ال معبود بحق إال هللا‬, itulah makna Laa Ilaaha Illallaah, karena
intinya kita ingin mengingkari seluruh sesembahan yang itu adalah sesembahan yg bathil dan
kita menetapkan Allah sebagai satu-satunya sesembahan. Maka menjadilah Laa Ilaaha Illallaah
itulah makna dari apa yang diucapkan oleh Nabi dan yang beliau dakwahkan dan itulah yang
dipahami oleh orang-orang Arab. Ketika mereka mendengar dakwah Nabi, yang mereka pahami
dari beliau adalah : ‫ ال معبود بحق إال هللا‬tidak ada makna yang lain.

Karena sebagian ada yang mengatakan Laa Ilaaha Illallaah maknanya adalah Laa Kholiqo
Illallah (tidak ada yang mencipta selain Allah). Makna ini benar namun itu bukan makna inti dari
kalimat dari Laa Ilaaha Illallaah. Orang-orang musyrikin Quraisy yang sudah kita tahu
bahwasanya mereka juga meyakini bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mencipta ,
memberikan rizki, dan mengatur alam semesta. Ketika didakwahkan kepada mereka disuruh
untuk mengatakan Laa Ilaaha Illallaah, ternyata mereka tidak mau mengucapkan. Abu Jahal,
Abu Lahab, dan Abu Tholib juga tidak mau mengucapkan, dan orang-orang yang semisal dengan
mereka didakwahi kepada tauhid dan mereka meninggal dalam keadaan syirik.

‫إنهم كانوا إذا قيل لهم ال إله إال هللا يستكبرون‬


[QS Ash Shaffat 35]

“Apabila dikatakan kepada mereka Laa Ilaaha Illallaah – ‫ – يستكبرون‬mereka sombong.”


Tidak mau mereka mengucapkan kalimat ini.
۟
ِ ‫َویَقُولُونَ َأ ِٕىنَّا لَت‬
ِ ۭ ُ‫َار ُك ۤوا َءالِهَتِنَا لِ َشا ِع ࣲر َّم ۡجن‬
‫ون‬
[QS Ash-Shaffat 36]

“Mereka mengatakan, apakah kami harus meninggalkan Tuhan-Tuhan kami yang banyak ini,
hanya karena seorang tukang syair yang gila.”

Tukang syair, itu sudah tercela diantara mereka, apalagi kalau tukang syair yang gila, berarti
ngomongnya/syairnya ngawur.

Seandainya makna Laa Ilaaha Illallaah ini adalah Laa Kholiqo Illallah tentunya Abu Tholib, Abu
Lahab , Abu Jahal, dengan senang hati mereka akan mengatakan Laa Ilaaha Illallaah. Apa yang
susah? Memang itu keyakinan mereka, bahwasanya Allah itu yang mencipta (tidak ada yang
mencipta selain Allah). Hubal, Latta, ‘Uzza, dst mereka tidak mencipta, dan itu keyakinan
mereka. Seandainya maknanya adalah Laa Kholiqo Illallah, dengan senang hati meskipun
mengucapkan sehari 1000X mereka akan mau untuk melakukan. Tapi mereka sama sekali satu
kecap pun mereka tidak mau mengatakan Laa Ilaaha Illallaah karena mereka tau maknanya
bukan Laa Kholiqo Illallah tapi : ‫ال معبود بحق إال هللا‬.

Di sana ada makna yang lain dan juga salah. Laa Ilaaha Illallaah diartikan ‫ال معبود موجود إال هللا‬
Tidak ada sesembahan yang ada kecuali Allah. Ini bisa disalah pahami oleh sebagian. Berarti
kalau diartikan demikian seluruh sesembahan yang ada itu adalah Allah dan tentunya ini adalah
pemahaman yang jelas salah. Berarti orang yang menyembah matahari, bulan, dia menyembah
Allah. Laa Ilaaha Illallaah tidak ada sesembahan kecuali itu adalah Allah, ini pemahaman
Wihdatul Wujud. Orang menyembah apa saja itu bertauhid karena dia menyembah Allah juga.
Menyatunya wujud antara Allah dengan makhluknya, jadi yang menyembah apapun dia adalah
bertauhid. Menyembah pohon, matahari, juga bertauhid. Bersatunya wujud antara Allah dengan
makhluk, maka ini adalah pemahaman yang bathil.

Kemudian ucapan beliau,

‫ كما أنه ال شريك له في ملكه‬،‫ال شريك له في عبادته‬

Ini kembali beliau mengingatkan tentang hubungan antara Tauhid Rububiyyah dengan Tauhid
Uluhiyyah. Karena sekarang intinya beliau ingin membahas Tauhid Al-Uluhiyyah, tentang
berhaknya Allah untuk diibadahi, maka sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala Dialah yang
hanya Dia yang memiliki Langit dan juga Bumi maka Dialah yang berhak untuk diibadahi.

‫ كما أنه ال شريك له في ملكه‬،‫ال شريك له في عبادته‬

Hubungan antara Tauhid Al-Uluhiyyiah dan Tauhid Rububiyyah.


‫ورب هو المعبود‬
Rabb, itulah yang disembah. Ingin menjelaskan tentang hubungan antara Tauhid Rububiyyah
dan Tauhid Al-Uluhiyyah. Di sini kembali beliau mengingatkan yang demikian

Anda mungkin juga menyukai