Anda di halaman 1dari 10

A.

SUMBER TUJUAN PEMBELAJARAN


Pakar kurikulum tampaknya kesulitan membedakan antara sumber dan kriteria
dalam menetapkan tujuan. Smith, Stanley dan Shores (dalam Siswanto B.T., Wagiran,
K.Komariah, 2020) misalnya mengacu pada pengembangan prinsip/kriteria penetapan
tujuan kurikulum, yaitu tiga kriteria substantif, dan dua kriteria prosedural. Kriteria
substantif untuk menetapkan tujuan adalah kebutuhan dasar anak, kebutuhan sosial
atau masyarakat, dan gagasan demokrasi. Kriteria yang hampir sama dikemukakan
oleh Tyler (1949) adalah studi tentang siswa, studi tentang kehidupan masyarakat di
luar sekolah, dan saran dari ahli mata pelajaran. Lebih lanjut Tyler menekankan
pendapatnya bahwa filsafat dan psikologi belajar merupakan “filter” atau kriteria
untuk lebih menentukan tujuan pendidikan. Zais (1976: 301-305) mengemukakan hal
yang serupa dengan yang dikemukakan oleh kedua sumber di atas. Ia menamakannya
sumber objektif, yaitu sumber empiris tentang studi tentang masyarakat dan
mahasiswa; sumber filosofis, dan sumber yang berasal dari mata pelajaran.
Menurut Zais (1976:301), sumber tujuan dapat dikelompokkan menjadi tiga
kelompok, yaitu sumber empiris, sumber filosofis, dan sumber materi pelajaran.
Sumber empiris mengacu pada apa yang diinginkan masyarakat, sumber filosofis
adalah studi tentang apa yang diindikasikan (seharusnya) dicapai dalam suatu
program pendidikan, dan sumber bidang studi adalah tujuan dari apa yang harus
dicapai melalui studi bidang pendidikan. belajar. Ketiga sumber yang digunakan
dalam mengembangkan tujuan tersebut kemudian dikonstruksikan dalam pola tujuan
yang hierarkis. Sumber empiris dan filosofis dikelompokkan dalam tujuan akhir
(ends) atau tujuan pendidikan nasional, sedangkan sumber bidang studi
dikelompokkan ke dalam tujuan (means) yang merupakan alat untuk mencapai tujuan
akhir. Semua penulis menekankan bahwa semua pengembang dan perancang
kurikulum harus menyadari bahwa tujuan berasal dari asumsi tentang guru,
masyarakat dan ilmu pengetahuan. Menurut mereka, tidak satu pun dari ketiga sumber
tersebut dapat diabaikan oleh para ahli kurikulum. Dan sangat penting untuk menjaga
keseimbangan antara ketiga sumber kurikulum tersebut. Smith, Stanley dan Shores
juga mengusulkan kriteria lain untuk penetapan tujuan, yaitu keterwakilan, kejelasan,
pemeliharaan, konsistensi dan kelayakan.
B. TAKSONOMI TUJUAN PEMBELAJARAN
Bloom dan kawan-kawan pada tahun 1956 menyusun klasifikasi (taxonomy)
tujuan pendidikan/belajar. Menurut mereka Tujuan Pendidikan/Belajar dibagi menjadi
tiga ranah(domain), yaitu ranah kognitif, afektif dan psikomotor. Namun demikian
hingga sekarang mereka hanya dapat mengembangkan ranah kognitif dan afektif.
Sedangkan ranah psikomotor dikembangkan orang lain, yaitu Simson pada tahun
1967 dan Harrow pada tahun 1972.
a) Taksonomi Tujuan Kognitif
Kawasan kognitif meliputi tujuan pendidikan yang berkenaan dengan ingatan
atau pengenalan terhadap pengetahuan dan pengembangan kemampuan
intelektual dan keterampilan berpikir. Dalam kawasan kognitif ini, tujuan
pendidikan dibagi menjadi enam jenjang, yaitu pengetahuan, pemahaman,
aplikasi, analisis, sintesis, danevaluasi. Keenam jenjang itu bersifat hierarkikal
dimulai dari jenjang yang paling bawah yaitu pengetahuan sampai ke jenjang
yang paling tinggi yaitu evaluasi. Artinya jenjang di bawah menjadi prasyarat
untuk jenjang di atasnya. Jenjang yang bawahnya itu harus dicapai lebih dahulu
agar dapat mencapai jenjang yang di atasnya. Konsep penjenjangan dalam
kawasan kognitif ini sangat populer dan sampai saat ini digunakan secara sangat
intensif dalam dunia pendidikan, khususnya dalam pengembangan tes hasil
belajar. Intensitas penggunaan tersebut dapat dilihat dari seringnya buku
Taxonomy of Educational Objectives, Handbook I; Cognitive Domain karangan
Benjamin S. Bloom (1956) sudah dicetak ke-21 kalinya pada tahun 1977.
Dalam bentuk gambar taksonomi tujuan pendidikan untuk kawasan kognitif
sebagai berikut (Aisjah & Tajunnisa, 2018):
1. Menghafal (Remember): menarik kembali informasi yang tersimpan dalam
memori jangka panjang. Mengingat merupakan proses kognitif yang paling
rendah tingkatannya. Untuk mengkondisikan agar “mengingat” bisa menjadi
bagian belajar bermakna, tugas mengingat hendaknya selalu dikaitkan
dengan aspek pengetahuan yang lebih luas dan bukan sebagai suatu yang
lepas dan terisolasi. Kategori ini mencakup dua macam proses kognitif:
mengenali (recognizing) dan mengingat (recalling).

1.1 Mengenali (Recognizing): mencakup proses kognitif untuk menarik


kembali informasi yang tersimpan dalam memori jangka panjang agar
dapat membandingkan dengan informasi yang baru. Contoh:
Menyebutkan urutan alat pencernaan makanan dari mulut hingga anus.

2.2 Mengingat (Recalling): menarik kembali informasi yang tersimpan


dalam memori jangka panjang dengan menggunakan petunjuk yang
ada. Contoh: Pada saat ditunjukkan sejumlah tumbuhan siswa dapat
mengingat nama-nama ilmiah tumbuhan tersebut.

2. Memahami (Understand): mengkonstruk makna atau pengertian


berdasarkan pengetahuan awal yang dimiliki, atau mengintegrasikan
pengetahuan yang baru ke dalam skema yang telah ada dalam pemikiran
siswa. Kategori memahami mencakup tujuh proses kognitif: menafsirkan
(interpreting), memberikan contoh (exemplifying), mengkelasifikasikan
(classifying), meringkas (summarizing), menarik inferensi (inferring),
membandingkan (comparing), dan menjelaskan (explaining).

2.1 Menafsirkan (interpreting): mengubah dari satu bentuk informasi ke


bentuk informasi yang lainnya, misalnya dari dari kata-kata ke grafik
atau gambar, atau sebaliknya, dari kata-kata ke angka, atau sebaliknya,
maupun dari kata-kata ke kata-kata, misalnya meringkas atau membuat
parafrase. Contoh: Membuat grafik berdasarkan data pertumbuhan
jagung yang diberi pupuk yang berbeda.

2.2 Memberikan contoh (exemplifying): memberikan contoh dari suatu


konsep atau prinsip yang bersifat umum. Memberikan contoh menuntuk
kemampuan mengidentifikasi ciri khas suatu konsep dan selanjutnya
menggunakan ciri tersebut untuk membuat contoh. Contoh: Setiap
makhluk hidup beradaptasi dengan lingkungan. Manakah bentuk
adaptasi pohon kelapa terhadap lingkungannya?

2.3 Mengkelasifikasikan (classifying): Mengenali bahwa sesuatu (benda


atau fenomena) masuk dalam kategori tertentu. Termasuk dalam
kemampuan mengkelasifikasikan adalah mengenali ciri-ciri yang
dimiliki suatu benda atau fenomena. Contoh: pada saat disajikan
beberapa tumbuhan, siswa diminta mengelompokkan tumbuhan
tersebut dalam tumbuhan biji dan bukan tumbuhan biji.
2.4 Meringkas (summarising): membuat suatu pernyataan yang mewakili
seluruh informasi atau membuat suatu abstrak dari sebuat tulisan.
Meringkas menuntut siswa untuk memilih inti dari suatu informasi dan
meringkasnya. Contoh: Meringkas sebuah laporan penelitian terbaru
rekayasa genetika.

2.5 Menarik inferensi (inferring): menemukan suatu pola dari sederetan


contoh atau fakta. Contoh: memprediksikan perkembangan suatu
populasi dalam sebuah komunitas berdasarkan data perkembangan
populasi selama 10 tahun terakhir.

2.6 Membandingkan (comparing): mendeteksi persamaan dan perbedaan


yang dimiliki dua obyek atau lebih. Contoh: membandingkan proses
respirasi dan pembakaran.

2.7 Menjelaskan (explaining): mengkonstruk dan menggunakan model


sebab-akibat dalam suatu system. Contoh: menjelaskan mengapa jati
menggugurkan daunnya di musim kemarau namun tidak di musim
hujan?

3. Mengaplikasikan (Applying): mencakup penggunaan suatu prosedur guna


menyelesaikan masalah atau mengerjakan tugas. Oleh karena itu
mengaplikasikan berkaitan erat dengan pengetahuan prosedural. Namun tidak
berarti bahwa kategori ini hanya sesuai untuk pengetahuan prosedural saja.
Kategori ini mencakup dua macam proses kognitif: menjalankan (executing)
dan mengimplementasikan (implementing).

3.1 Menjalankan (executing): menjalankan suatu prosedur rutin yang telah


dipelajari sebelumnya. Langkah-langkah yang diperlukan sudah tertentu
dan juga dalam urutan tertentu. Apabila langkah-langkah tersebut
benar, maka hasilnya sudah tertentu pula. Contoh: menghitung jumlah
gamet dengan 2, 6, dan 17 sifat beda.

3.2 Mengimplementasikan (implementing): memilih dan menggunakan


prosedur yang sesuai untuk menyelesaikan tugas yang baru. Contoh:
Setelah melakukan percobaan fotosintesis “Ingenhouz”, siswa
merancang percobaan serupa untuk tumbuhan darat.

4. Menganalisis (Analyzing): menguraikan suatu permasalahan atau obyek ke


unsurunsurnya dan menentukan bagaimana saling keterkaitan antar unsur-
unsur tersebut. Ada tiga macam proses kognitif yang tercakup dalam
menganalisis: menguraikan (differentiating), mengorganisir (organizing), dan
menemukan pesan tersirat (attributting).

4.1 Menguraikan (differentiating): menguraikan suatu struktur dalam


bagian-bagian berdasarkan relevansi, fungsi dan penting tidaknya.
Contoh: menganalisis sebabsebab semakin berkurangnya populasi
burung kutilang di kota Jawa Barat.

4.2 Mengorganisir (organizing): mengidentifikasi unsur-unsur suatu


keadaan dan mengenali bagaimana unsur-unsur tersebut terkait satu
sama lain untuk membentuk suatu struktur yang padu. Contoh:
menganalisis keseimbangan dinamis suatu ekosistem.

4.3 Menemukan pesan tersirat (attributting): menemukan sudut pandang,


bias, dan tujuan dari suatu bentuk komunikasi. Contoh: menganalisis
mengapa seseorang menulis di surat kabar bahwa hutan di Jawa Barat
masih cukup luas.

5. Mengevaluasi: membuat suatu pertimbangan berdasarkan kriteria dan


standar yang ada. Ada dua macam proses kognitif yang tercakup dalam
kategori ini: memeriksa (checking) dan mengritik (critiquing).

5.1 Memeriksa (Checking): Menguji konsistensi atau kekurangan suatu


karya berdasarkan kriteria internal (kriteria yang melekat dengan sifat
produk tersebut). Contoh: Memeriksa apakah kesimpulan yang ditarik
telah sesuai dengan data yang ada.

5.2 Mengritik (Critiquing): menilai suatu karya baik kelebihan maupun


kekurangannya, berdasarkan kriteria eksternal. Contoh: menilai apakah
rumusan hipotesis sesuai atau tidak (sesuai atau tidaknya rumusan
hipotesis dipengaruhi oleh pengetahuan dan cara pandang penilai).
6. Membuat (create): menggabungkan beberapa unsur menjadi suatu bentuk
kesatuan. Ada tiga macam proses kognitif yang tergolong dalam kategori ini,
yaitu: membuat (generating), merencanakan (planning), dan memproduksi
(producing).

6.1 Membuat (generating): menguraikan suatu masalah sehingga dapat


dirumuskan berbagai kemungkinan hipotesis yang mengarah pada
pemecahan masalah tersebut. Contoh: merumuskan hipotesis untuk
memecahkan permasalahan yang terjadi berdasarkan pengamatan di
lapangan.

6.2 Merencanakan (planning): merancang suatu metode atau strategi untuk


memecahkan masalah. Contoh: merancang serangkaian percobaan
untuk menguji hipotesis yang telah dirumuskan.

6.3 Memproduksi (producing): membuat suatu rancangan atau menjalankan


suatu rencana untuk memecahkan masalah. Contoh: mendesain (atau
juga membuat) suatu alat yang akan digunakan untuk melakukan
percobaan.

b) Taksonomi Tujuan Afektif


Krathwohl, Bloom dan Maisa (Subagia, 2015) mengembangkan taksonomi
tujuan yang berorientasikan kepada perasaan atau afektif. Taksonomi ini
menggambarkan proses seseorang di dalam mengenali dan mengadopsi nilai dan
sikap tertentu yang menjadi pedoman baginya dalam bertingkah laku. Krathwohl
mengelompokkan tujuan afektif ke dalam lima kelompok yaitu:
1) Pengenalan/penerimaan (Receiving)
Tujuan pembelajaran kelompok ini mengharapkan peserta didik untuk
mengenal, bersedia menerima dan memperhatikan berbagai stimulus. Dalam
hal ini peserta didik bersikap pasif, sekedar mendengarkan atau
memperhatikan saja
2) Pemberian Respon (Responding)
Tujuan pembelajaran kelompok ini menekankan keinginan untuk berbuat
sesuatu sebagai reaksi terhadap suatu gagasan, benda atau sistem nilai lebih
dari sekedar pengenalan saja. Dalam hal ini peserta didikdiharapkan untuk
menunjukkan perilaku yang diminta, misalnya: berpartisipasi, patuh, atau
memberikan tanggapan secara sukarela bila diminta.
3) Penghargaan terhadap nilai (Valuing)
Penghargaan terhadap nilai merupakan perasaan, keyakinan atau tanggapan
bahwa suatu gagasan, benda atau cara berpikir tertentu memiliki nilai
(worth). Dalam hal ini peserta didik secara konsisten berperilaku sesuai
dengan suatu nilai meskipun tidak ada pihak lain yang meminta atau
mengharuskan. Nilai dan value ini dapat saja dipelajari dari orang lain,
misalnya: instruktur, dosen, teman, atau keluarga.
4) Pengorganisasian (Organizing)
Pengorganisasian menunjukkan saling berhubungan antara nilai-nilai
tertentu dalam suatu sistem nilai, serta menentukan nilai mana yang
mempunyai prioritas lebih tinggi daripada nilai yang lain. Dalam hal ini
peserta didik menjadi committed terhadap suatu nilai. Dia diharapkan untuk
mengorganisasikan berbagai nilai yang dipilihnya ke dalam satu sistim nilai
dan menentukan hubungan diantara nilai-nilai tersebut
5) Pengamalan (Characterization)
Pengamalan berhubungan dengan pengorganisasian dan pngintegrasian
nilai-nilai ke dalam suatu sistem nilai pribadi. Hal ini diperlihatkan melalui
perilaku yang konsisten dengan sistem nilai tersebut. Pada tingkat ini peserta
didik bukan saja telah mencapai perilaku-perilaku pada tingkatan-tingkatan
yang lebih rendah, tetapi telah mengintegrasikan nilai-nilai tersebut ke
dalam suatu filsafat hidup yang lengkap dan meyakinkan. Perilaku yang
ditunjukkan peserta didik akan selalu konsisten dengan filsafat hidup
tersebut. Filsafat hidup tersebut merupakan bagian dari karakter.
Pengelompokan tujuan-tujuan afektif tersebut bersifat hierarkhis, dengan
pengenalan sebagai tingkat yang paling rendah (sederhana) dan pengamalan sebagai
tingkat paling tinggi. Makin tinggi tingkat tujuan dalam hierarkhi semakin besar pula
keterlibatan dan komitmen seseorang terhadap tujuan tersebut.

c) Taksonomi Tujuan Psikomotor


Tujuan pembelajaran kawasan psikomotor dikembangkan oleh Harrow (1972),
terdiri dari lima tingkat sebagai berikut:
1) Meniru (Limitation)
Tujuan pembelajaran pada tingkat ini mengharapkan peserta didik untuk
dapat meniru suatu perilaku yang dilihatnya.
2) Manipulasi (Manipulation)
Pada tingkat ini peserta didik diharapkan untuk melakukan suatu perilaku
tanpa bantuan visual sebagaimana perilakau pada tingkat meniru. Peserta
didik diberi petunjuk berupa tulisan atau instruksi verbal dan diharapkan
melakukan tindakan yang diminta.
3) Ketetapan Gerakan (Precision)
Pada tingkat ini peserta didik diharapkan menunjukkan suatu perilaku tanpa
menggunakan contoh visual maupun petunjuk tertulis, dan melakukannya
dengan lancar, tepat, seimbang, dan akurat.
4) Artikulasi (Articulation)
Pada tingkat ini peserta didik diharapkan untuk menunjukkan serangkaian
gerakan dengan akurat, urutan yang benar, dan kecepatan yang tepat.
5) Naturalisasi (Naturalization)
Pada tingkat ini peserta didik diharapkan melakukan gerakan tertentu secara
spontan atau otomatis. Peserta didik melakukan gerakan tersebut tanpa
berpikir lagi cara melakukan dan urutannya.

C. KRITERIA PERUMUSAN TUJUAN PEMBELAJARAN


Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam perumusan tujuan yang
merupakan kriteria tujuan yang baik seperti berikut ini: 
1) Tujuan harus selalu kosisten dengan tujuan tingkat di atasnya . Tujuan-tujuan
yang bersifat penjabaran dari suatu tujuan yang lebih tinggi jenjangnya harus
sesuai atau tidak bertentangan dengan hal-hal yang diisayaratkan oleh tujuan
tersebut. Misalnya tujuan instruksional yang dijabarkan langsung dari tujuan
kurikuler harus mencerminkan tujuan kurikuler itu. 
2) Tujuan harus tepat seksama dan teliti. Tujuan hanya berguna jika ia dirumuskan
secara teliti dan tepat sehingga memungkinkan orang mempunyai kesamaan
pengertian terhadapnya. Perumusan tujuan yang cermat akan memungkinkan kita
untuk melaksanakannya dengan penuh kepastian. Ketelitian berhubungan dengan
skope tujuan, walau tidak untuk menentukan berapa banyak harus terkandung
materi pelajaran dalam suatu tujuan. Identifikasi tujuan khusus pencapaiannya
akan terlihat dalam penampilan (peformance) atau bentuk tingkah laku.
Perumusan dalam hal ini sering ditentukan oleh situasi. Prinsip umum tentang
ketelitian perumusan tujuan adalah: nyatakan tujuan dengan seteliti mungkin
untuk dapat menggambarkan secara jelas keluaran belajar dan memberi petunjuk
kepada pembuat desain, guru dan penilai hasil (Pratt, 1980:185) 
3) Tujuan harus diidentifikasikan secara spesifik yang menggambarkan keluaran
belajar yang dimaksudkan. Tujuan yang dirumuskan harus menunjuk pada
pengertian keluaran dari pada kegiatan. Tujuan yang menunjukkan tingkat
kemampuan atau pengetahuan siswa merupakan maksud utama kurikulum. Akan
tetapi jika ia tidak pernah mengidentifikasi keluarannya, ia bukanlah tujuan
kurikulum yang kualifait (Pratt, 1980:184). 
4) Tujuan bersifat relevan (Davies, 1976:17) dan berfungsi. Masalah kerelevansian
berhubungan dengan persoalan personal dan sosial, atau masalah praktis yang
dihadapi individu dan masyarakat. Memang harus diakui bahwa terdapat
perbedaan pengertian tentang kerelevansian itu karena adanya perbedaan masalah
dan kepentingan antara tiap individu dan masyarakat. Jadi kerelevansian itu
berkaitan dengan pengertian untuk siapa dan kapan. Di samping relevan, tujuan
pun harus berfungsi personal maupun sosial. Suatu tujuan dikatakan berfungsi
personal jika ia memberi manfaat bagi individu yang belajar untuk masa kini dan
masa akan datang, dan berfungsi sosial jika ia memberi mafaat bagi masyarakat di
samping pelajar. 
5) Tujuan harus mempunyai kemungkinan untuk dicapai. Tujuan yang dirumuskan
harus memungkinkan orang, pelaksana kurikulum untuk mencapainya sesuai
kemampuan yang ada. Masalah kemampuan itu berkaitan dengan masalah tenaga,
tingkat sekolah, waktu, dana, skope materi, fasilitas yang tersedia, dan sebagainya.
Perumusan tujuan yang terlalu muluk (karena terasa lebih ideal) dan melupakan
faktor kemampuan atau realitas hanya akan berakibat tujuan itu tak tercapai. Suatu
program kegiatan dikatakan efektif jika hasil yang dicapai dapat sesuai atau paling
tidak, tidak terlalu jauh berbeda dengan perencanaan. 
6) Tujuan harus memenuhi kriteria kepantasan worthwhilness (Davies, 1976:18).
Pengertian “pantas” mengarah pada kegiatan memilih tujuan yang dianggap lebih
memiliki potensi, bersifat mendidik, dan lebih bernilai. Memang agak sulit
menentukan tujuan yang lebih pantas karena dalam hal ini orang bisa mengalami
perbedaan kesepakatan pengertian. Secara umum kita boleh mengatakan bahwa
kriteria kepantasan harus didasarkan pada pertimbangan objektif, dengan
argumentasi yang objektif. Dalam hal ini Profesor Peter dalam (Davies, 1976:18)
menyarankan tiga kriteria (a) aktivitas harus berfungsi dari waktu ke waktu, (b)
aktivitas harus bersifat selaras dan seimbang dari pada bersaing, mengarah ke
keharomonisan secara keseluruhan, dan (c) aktivitas harus bernilai dan sungguh-
sungguh khususnya yang menunjang dan memajukan keseluruhan kualitas hidup. 
Secara lebih khusus lagi terutama dalam merumuskan tujuan kurikulum Pratt
(1980: 190) yang dukutip oleh Kaber (1988:109) mengemukakan ada tujuh kriteria
yang harus dipenuhi dalam merumuskan tujuan kurikulum yang mengarah kepada
tingkah laku, seperti berikut ini: 
1) Menunjukkan hasil belajar yang spesifik. 
2) Memperlihatkan konsistensi 
3) Memperlihatkan ketepatan 
4) Memperlihatkan kelayakan 
5) Memperlihatkan fungsionalitas 
6) Memperlihatkan signifikasi 
7) Memperlihatkan keserasi

DAFTAR PUSTAKA
Aisjah, A. S., & Tajunnisa, Y. (2018). Taksonomi & tujuan pembelajaran. 4(February), 24–
26.
Siswanto B.T., Wagiran, K.Komariah, S. H. (2020). Standar Kompetensi dan Perumusan
Tujuan Pembelajaran. Pendidikan Indonesia, 1–26.
Subagia, I. W. (2015). Taksonomi Pembelajaran Dan Penilaian Hasil Belajar Berbasis
Trikaya. JPI (Jurnal Pendidikan Indonesia), 1(1), 40–64. https://doi.org/10.23887/jpi-
undiksha.v1i1.4485

Anda mungkin juga menyukai