Anda di halaman 1dari 16

Pembelajaran merupakan serangkaian proses belajar mengajar yang diorientasikan untuk

mencapai tujuan pembelajaran. Disamping itu juga karakter2 yang akan dibentuk dan
dikembangkan.melalui proses pembelajaran tersebut. Tujuan pembelajaran ialah suatu target
yang harus dicapai dalam setiap proses pembelajaran. Oleh karena itu untuk mengetahui sampai
sejauh mana tujuan pembelajaran tersebut telah tercapai, maka guru harus melaksanakan
evaluasi, yaitu suatu proses yang sistematis untuk menentukan atau membuat keputusan sampai
sejauh mana tujuan-tujuan pembelajaran telah dicapai oleh siswa. Norman E. Gronlund.1976).

Evaluasi akan sangat mudah dilaksanakan apabila tolok ukurnya sudah diketahui dan dipahami
yaitu aspek-aspek hasil belajar yang perlu di ukur. Berdasarkan dengan hal tersebut, apa makna
aspek-aspek dalam evaluasi pembelajaran yang sebenarnya, seperti apa macam dan contoh
aspek-aspek evaluasi akan dikaji dalam pembahasan berikut ini

1. Ranah Kognitif
Ranah kognitif adalah ranah yang mencakup kegiatan mental (otak). Menurut Bloom, segala
upaya yang menyangkut aktivitas otak adalah termasuk dalam ranah kognitif.  Ranah kognitif
berhubungan dengan kemampuan berfikir, termasuk didalamnya kemampuan menghafal,
memahami, mengaplikasi, menganalisis, mensintesis, dan kemampuan mengevaluasi. Dalam
ranah kognitif itu terdapat enam aspek atau jenjang proses berfikir, mulai dari jenjang terendah
sampai dengan jenjang yang paling tinggi. Keenam jenjang atau aspek yang dimaksud adalah:

Ranah kognitif ini dibagi menjadi enam:


1. Pengetahuan, yaitu merupakan kemampuan yang menuntut peserta didik untuk dapat
mengenali, mengingat, memanggil kembali tentang adanya konsep , prinsip, fakta, ide,
rumus-rumus, istilah, nama. Dengan pengetahuan, siswa dituntut untuk dapat mengenali
atau mengetahuai adanya konsep, fakta, istilah-tilah, dan sebagainya tanpa harus
mengerti atau dapat menggunakannya.

2. Pemahaman, yaitu kemampuan yang menuntut peserta didik untuk memahami atau
mengerti tentang materi pelajaran yang disampaikan guru dan dapat memanfaatkannya
tanpa harus menghubungkannya dengan hal- hal lain. Pemahaman ini dapat dibedakan
menjadi tiga kategori diantaranya:
a. Tingkat terendah/ pertama adalah pemahaman terjemahan, mulai dari terjemahan
dalam arti yang sebenarnya, misalnya: dari bahasa inggris ke dalam bahasa
Indonesia, mengartikan Bhineka Tunggal Ika, mengartikan Merah Putih,
menerapkan prinsip-prinsip listrik dalam memasang sakelar.
b. Tingkat kedua adalah pemahaman penafsiran, yakni yang menghubungkan
bagianbagian terdahulu dengan yang diketahui berikutnya. Menghubungkan
pengetahuan tentang konjungsi kata kerja, subjek, dan passesive pronoun
sehingga tahu menyusun kalimat yang benar, misalnya My friends is studying
bukan My friend studying.
c. Pemahaman tingkat ketiga atau tingkat tertinggi adalah pemahaman ekstrapolasi.
Dengan ekstrapolasi diharapkan seseorang mampu melihat di balik yang tertulis,
dapat membuat ramalan tentang konsekuensi atau dapat memperluas persepsi dalam
arti waktu, dimensi, kasus, ataupun masalahnya

3. Penerapan/Aplikasi yaitu kemampuan yang menuntut peserta didik untuk


mennggunakan ide-ide umum, tata cara ataupun metode, prinsip, dan teori-teori dalam
situasi baru dan konkret 1 . Aplikasi atau penerapan ini adalah merupakan proses berpikir
setingkat lebih tinggi ketimbang pemahaman.

Aplikasi adalah penggunaan abstraksi pada situasi konkret atau khusus, yang dapat
berupa ide, teori, atau petunjuk teknis. Bloom dalam Sudjana (2006), membedakan
delapan tipe aplikasi, yaitu 1) menetapkan prinsip atau generalisasi yang sesuai untuk
situasi baru yang dihadapi, 2) dapat menyusun kembali probelmanya sehingga dapat
menetapkan prinsip atau generalisasi mana yang sesuai, 3) memberikan spesifikasi batas-
batas relevansi suatu prinsip atau generalisasi, 4) mengenali hal-hal khusus yang
terpampang dari prinsip dan generalisasi, 5) menjelaskan suatu gejala baru berdasarkan
prinsip dan generalisasi tertentu, 6) meramalkan sesuatu yang terjadi berdasarkan prinsip
dan generalisasi tertentu, 7) menentukan tindakan atau keputusan dalam menghadapi
situasi baru dengan menggunakan prinsip dan generalisasi yang relevan, dan 8)
menjelaskan alasan menggunakan prinsip dan generalisasi bagi situasi baru yang dihadapi

4. Analisis yaitu kemempuan yang menuntut peserta didik untuk menguraikan suatu situasi
atau keadaan tertentu kedalam unsurunsur atau komponen pembentuknya. Analisis adalah
usaha memilah suatau integritas menjadi unsur-unsur atau bagian-bagian sehingga jelas
hierarkinya dan atau susunannya.

Dengan analisis diharapkan seeorang mempuyai pemahaman yang komprehensif, dapat


memilah integritas menjadi bagian-bagian yang tetap terpadu, memahami prosesnya,
memahami cara bekerjanya, dan memahami sistematikanya. Beberapa indikator yang
termasuk klasifikasi analisis, yakni 1) dapat mengklasifikasikan kata-kata, frase-frase,
atau pertanyaan-pertanyaan dengan menggunakan kriteria analitik tertentu, 2) dapat
meramalkan sifat-sifat khusus tertentu yang tidak disebutkan secara jelas, 3) dapat
meramalkan kualitas, asumsi, atau kondisi yang implisit atau yang perlu ada berdasarkan
kriteria dan hubungan materinya, 4) dapat mengetangahkan pola, tata, atau pengaturan
materi dengan mengunakan kriteria seperti relevansi, sebab akibat, atau peruntutan, 5)
dapat mengenal organisasi, prinsip-prinsip organisasi, dan pola-pola materi yang
dihadapinya, dan 6) dapat meramalkan sudut pandangan, kerangka acuan dan tujuan
materi yang dihadapi.

1
5. Sintesis : Yaitu penyatuan unsur-unsur atau bagian-bagian kedalam bentuk menyeluruh.
Sintesis adalah penyautan unsur-unsur atau bagian-bagian ke dalam bentuk menyeluruh.
Berpikir berdasar pengetahuan hafalan, pemahaman, aplikasi, dan analisis dapat
dipandang sebagai berpikir konvergen, sedangkan berpikir sintesis adalah berpikir
divergen. Dalam berpikir divergen pemecahan masalah atau jawaban belum dapat
dipastikan. Oleh karena itu, berpikir sintesis merupakan salah satu terminal berpikir
kreatif sehingga dapat menemukan hubungan kausal atau urutan tertentu, atau
menemukan abstraksi dan operasionalnya (Sudjana, 2006: 28).

Terdapat tiga tipe kecakapan sintesis, yakni 1) kemampuan menemukan hubungan yang
unik, termasuk kemampuan mengkomunikasikan gagasan, perasaan, dan pengalaman
dalam bentuk tulisan, gambar, atau simbol ilmiah, 2) kemampuan menyusun rencana atau
langkah-langkah operasi dari suatu tugas atau problem, dan 3) kemampuan
mengabstraksikan sejumlah besar gejala, data dan hasil observasi menjadi terarah,
proporsional, hipotesis, skema, atau model.

6. Evaluasi yaitu kemampuan yang menuntut peserta didik untuk dapat mengevaluasi suatu
situasi, keadaan, pernyataan atau konsep berdasarkan criteria tertentu. Evaluasi adalah
pemberian keputusan tentang nilai sesuatu yang mungkin dilihat dari segi tujuan,
gagasan, cara bekerja, pemecahan, metode, atau materiil. Untuk mengetahui tingkat
kemampuan evaluasi, diperlukan kriteria secara eksplisit. Mengembangkan kemampuan
evaluasi yang dilandasi pemahaman, aplikasi, analisis, dan sintesis akan mempertinggi
mutu evaluasinya (Sudjana, 2006: 29).

Terdapat enam tipe kecakapan evaluasi, yakni 1) memberikan evaluasi tentang ketepatan
suatu karya atau dokumen, 2) memberikan evaluasi satu sama lain antara asumsi,
evidensi, kesimpulan, keajegan logika dan organisasinya, 3) memahami nilai serta sudut
pandang yang dipakai orang dalam mengambil suatu keputusan, 4) mengevaluasi suatu
karya dengan memperbandingkannya dengan karya lain yang relevan, 5) mengevaluasi
suatu karya dengan menggukan kriteria  yang telah ditetapkan, dan 6) memberikan
evaluasi tentang suatu karya dengan menggunakan sejumlah kriteria yang eksplisit.

Kata kunci kognitif :

1. Pengetahuan: menyebutkan, menunjukkan, menyatakan, menyusun daftar dsb.


2. Pemahaman : menjelaskan, menguraikan, merumuskan, menerangkan, menyadur dsb.
3. Penerapan : mendemonstrasikan, menghitung, menghubungkan, membuktikan, dsb.
4. Analisis :memisahkan, memilih, membandingkan, memperkirakan dsb.
5. Evaluasi : menyimpulkan, mengkritisi, menafsirkan, memberi argumentasi, dsb
6. Kreasi / sintesis : mengkombinasikan, mengarang, menciptakan, mendisain, mengatur
dsb

Hal penting dalam evaluasi ini adalah menciptakan kondisi sedimikian rupa sehingga
peserta didik mampu mengembangkan kriteria atau patokan untuk mengevaluasi
sesuatu. Pada awalnya Bloom mengklasifikan tujuan kognitif dalam enam level, yaitu
pengetahuan (knowledge), pemahaman (comprehension), aplikasi (apply), analisis (analysis),
sintesis (synthesis), dan evaluasi (evaluation) dalam satu dimensi, maka Anderson dan Kratwohl
merevisinya menjadi dua dimensi, yaitu proses dan isi/jenis.
Pada dimensi proses, terdiri atas mengingat (remember), memahami (understand), menerapkan
(apply), menganalisis (analyze), menilai (evaluate), dan berkreasi (create). Sedangkan pada
dimensi isinya terdiri atas pengetahuan faktual (factual knowlwdge), pengetahuan konseptual
(conceptual knowledge), pengetahuan prosedural (procedural knowledge), dan pengetahuan
metakognisi (metacognitive knowledge).

Untuk mengukur hasil belajar ranah kognitif dapat menggunakan berbagai tipe tes, baik tes  esai 
maupun tes  pilihan  ganda.

Contoh aspek kognitif dalam penilaian pembelajaran


Apabila melihat kenyataan yang ada dalam sistem pendidikan yang
diselenggarakan, pada umumnya baru menerapkan beberapa aspek kognitif tingkat rendah,
seperti pengetahuan, pemahaman dan sedikit penerapan. Sedangkan tingkat analisis,
sintesis dan evaluasi jarang sekali diterapkan. Apabila semua tingkat kognitif diterapkan
secara merata dan terus-menerus maka hasil pendidikan akan lebih baik. Pengukuran hasil
belajar ranah
kognitif dilakukan dengan tes tertulis.
Bentuk tes kognitif diantaranya; (1) tes atau pertanyaan lisan di kelas, (2)
pilihan ganda, (3) uraian obyektif, (4) uraian non obyektif atau uraian bebas, (5) jawaban
atau isian singkat, (6) menjodohkan, (7) portopolio dan (8) performans.

Cakupan yang diukur dalam ranah Kognitif adalah:


 Ingatan (C1) yaitu kemampuan seseorang untuk mengingat. Ditandai dengan
kemampuan menyebutkan simbol, istilah, definisi, fakta, aturan, urutan, metode.
 Pemahaman (C2) yaitu kemampuan seseorang untuk memahami tentang sesuatu
hal dengan memberikan penjelasan atau uraian secara lebih rinci dengan
katakatanya sendiri. Ditandai dengan kemampuan menerjemahkan, menafsirkan,
memperkirakan, menentukan, menginterprestasikan.
 Penerapan (C3), yaitu kemampuan berpikir untuk menjaring & menerapkan
dengan tepat tentang teori, prinsip, simbol pada situasi baru/nyata. Ditandai
dengan kemampuan menghubungkan, memilih, mengorganisasikan,
memindahkan, menyusun, menggunakan, menerapkan, mengklasifikasikan,
mengubah struktur.
 Analisis (C4), Kemampuan berfikir secara logis dalam meninjau suatu fakta/ objek
menjadi lebih rinci. Ditandai dengan kemampuan membandingkan, menganalisis,
menemukan, mengalokasikan, membedakan, mengkategorikan.
 Sintesis (C5), Kemampuan berpikir untuk memadukan konsepkonsep secara logis
sehingga ditandai dengan kemampuan mensintesiskan, menyimpulkan,
menghasilkan, mengembangkan, menghubungkan, mengkhususkan.
 Evaluasi (C6), Kemampuan berpikir untuk dapat memberikan pertimbangan
terhadap suatu situasi, sistem nilai, metoda, persoalan dan pemecahannya dengan
menggunakan tolak ukur tertentu sebagai patokan. Ditandai dengan kemampuan
menilai, menafsirkan, mempertimbangkan dan menentukan.

Contohnya siswa dibina kompetensinya menyangkut kemampuan melukis jaring-jaring kubus.


Namun, untuk dapat melukis jaring-jaring kubus setidaknya diperlukan pengetahuan (kognitif)
tentang bentuk-bentuk jaring kubus dan cara-cara melukis garis-garis tegak lurus.

2. Ranah Afektif

Ranak Afektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai. Ranah afektif mencakup
watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap, emosi, dan nilai. Beberapa pakar mengatakan
bahwa sikap seseorang dapat diramalkan perubahannya bila seseorang telah memiliki kekuasaan
kognitif tingkat tinggi. Ciri-ciri hasil belajar afektif akan tampak pada peserta didik dalam
berbagai tingkah laku. Seperti: perhatiannnya terhadap mata pelajaran pendidikan agama Islam,
kedisiplinannya dalam mengikuti mata pelajaran agama disekolah, motivasinya yang tinggi
untuk tahu lebih banyak mengenai pelajaran agama Islam yang di terimanya, penghargaan atau
rasa hormatnya terhadap guru pendidikan agama Islam dan sebagainya.
Ranah Afektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai, sikap seseorang dapat
diramalkan perubahannya apabila ia telah memiliki penguasaan kognitif tingkat tinggi. Ada
beberapa kategori ranah afektif 2 sebagai hasil belajar yaitu :

1. Penerimaan (Receiving) Adalah kepekaan seseorang dalam menerima rangsangan


(stimulus) dari luar yang datang kepada dirinya dalam bentuk masalah, situasi, gejala dan
lain sebagainya. Termasuk dalam jenjang ini misalnya adalah kesadaran unutk menerima
stimulus, mengontrol dan menyeleksi gejala-gejala atau rangsangan yang datang dari
luar.

Receiving/ attending/ menerima/ memperhatikan adalah semacam kepekaan dalam


menerima rangsangan (stimulasi) dari luar yang datang kepada siswa dalam bentuk
masalah, situasi, gejala dan lain-lain. Dalam tipe ini termasuk kesadaran, keinginan untuk
menerima stimulus, control dan seleksi gejala atau rangsangan dari luar. Receiving  juga
diartikan sebagai kemauan untuk memperhatikan suatu kegiatan atau suatu  objek. Pada
jenjang ini peserta didik dibina agar mereka bersedia menerima nilai-nilai yang diajarkan
kepada mereka dan mereka mempunyai kemauan menggabungkan diri ke dalam nilai itu
atau mengidentifikasi diri dengan nilai itu.

2. Jawaban (Responding) Yakni reaksi yang diberikan oleh seseorang terhadap stimulasi
yang datang dari luar. Responding/ menanggapi adalah suatu sikap yang menunjukkan
adanya partisipasi aktif atau kemampuan menanggapi, kemampuan yang dimiliki
seseorang untuk mengikutsertakan dirinya secara aktif dalam fenomena tertentu dan
membuat reaksi terhadapnya dengan salah satu cara. Hal ini mencakup ketepatan reaksi,
perasaan, kepuasan dalam menjawab stimulus dari luar yang datang kepada dirinya.
Valuing/ penilaian, menilai atau menghargai artinya memeberikan nilai atau memberikan
penghargaan terhadap suatu kegiatan atau objek, sehingga apabila kegiatan itu idak
dikerjakan kan memebrikan suatu penyesalan. Dalam kaitannya dengan proses
pembelajaran peserta didik tidak hanya mau menerima nilai yang diajarkan mereka telah
berkemampuan untuk menilai konsep atau fenomena baik atau buruk.

3. Penilaian (Valuing) Menilai atau menghargai artinya memberikan nilai atau memberikan
penghargaan terhadap suatu kegiatan.atau obyek, sehingga apabila apabila kegiatan itu
tidak dikerjakan, dirasakan akan membawa kerugian atau penyesalan.
4. Organisasi : Mencakup kemampuan untuk membentuk suatu sistem nilai sebagai
pedoman dan pegangan dalam kehidupan, yang dinyatakan dalam pengembangan suatu
perangkat nilai. Organization/ Organisasi yakni pengembangan dari nilai ke dalam suatu
sistem organisasi, termasuk hubungan suatu nilai dengan nilai yang lain, pemantapan dan

2
prioritas nilai yang telah dimilikinya. Yang termasuk kedalam organisasi ialah konsep
tentang nilai, organisasi sistem nilai dan lain-lain.

5. Karakteristik nilai / Pembentukan pola hidup : Mencakup kemampuan untuk


menghayati nilai-nilai kehidupan sehari-hari sehingga pada dirinya dijadikan pedoman
yang nyata dan jelas dalam berbagai bidang kehidupan. Characterization by a value or
value complex/ karakteristik nilai atau internalisasi nilai adalah keterpaduan semua
sistem nilai yang telah dimiliki seseorang, yang  mempengaruhi pola kepribadian dan
tingkah lakunya. Proses internalisasi nilai telah menempati tempat tertinggi dalam
hierarki nilai.

Penilaian Ranah Afektif

Ranah afektif yang perlu dinilai utamanya menyangkut sikap dan minat siswa dalam belajar.
Secara teknis penilaian ranah afektif dilakukan melalui dua hal yaitu: a) laporan diri oleh siswa
yang biasanya dilakukan dengan pengisian angket anonim, b) pengamatan sistematis oleh guru
terhadap afektif siswa dan perlu lembar pengamatan.

Ranah afektif tidak dapat diukur seperti halnya ranah kognitif, karena dalam ranah afektif
kemampuan yang diukur adalah:
1. Menerima (memperhatikan), meliputi kepekaan terhadap kondisi, gejala,
kesadaran, kerelaan, mengarahkan perhatian
2. Merespon, meliputi merespon secara diam-diam, bersedia merespon, merasa puas
dalam merespon, mematuhi peraturan
3. Menghargai, meliputi menerima suatu nilai, mengutamakan suatu nilai, komitmen
terhadap nilai
4. Mengorganisasi, meliputi mengkonseptualisasikan nilai, memahami hubungan
abstrak, mengorganisasi sistem suatu nilai. Karakteristik suatu nilai, meliputi falsafah
hidup dan sistem nilai yang dianutnya. Contohnya mengamati tingkah laku siswa
selama mengikuti proses belajar mengajar berlangsung.

3. Ranah Psikomotor

Ranah yang berkaitan dengan keterampilan (skill) atau kemampuan bertindak setelah seseorang
menerima pengalaman belajar tertentu. Hasil belajar ranah psikomotorik dikemukakan oleh
simpons (1956) yang menyatakan bahwa hasil belajar psikomotor ini tampak dalam bentuk
keterampilan (skill) dan kemampuan bertindak individu. Hasil belajar ini sebenarnya merupakan
kelanjutan dari hasil belajar kognitif, afektif hal ini bisa dilihat apabila peserta didik telah
menunjukan perilaku atau perbuatan tertentu sesuai dengan makna yang terkandung dalam ranah
kognitif dan ranah afektifnya.

Ranah Psikomotor adalah ranah yang berhubungan dengan aktivitas fisik, misalnya lari,
melompat, melukis, menari, memukul, dan sebagainya.
Tingkatan aspek psikomotor :

1. Persepsi : membedakan, menunjukkan, memilih, menghubungkan dsb


2. Kesiapan (menyiapkan diri fisik/mental) : mengawali, bereaksi, mempersiapkan,
menanggapi, memprakarsai, dsb.
3. Gerakan terbimbing (meniru contoh) : mempraktikan, mengikuti, mengerjakan, membuat,
mencoba, dsb.
4. Gerakan terbiasa (berpegang pada pola): mengoperasikan, memasang,
mendemonstrasikan, mengerjakan, dsb.
5. Gerakan kompleks (berketerampilan secara lancar,luwes,gesit): mengoperasikan,
mendemonstrasikan, mengerjakan, dsb.

Ada beberapa ahli yang menjelaskan cara menilai hasil belajar psikomotor. Ryan (1980)
menjelaskan bahwa hasil belajar keterampilan dapat diukur melalui (1) pengamatan langsung
dan penilaian tingkah laku peserta didik selama proses pembelajaran praktik berlangsung, (2)
sesudah mengikuti pembelajaran, yaitu dengan jalan memberikan tes kepada peserta didik untuk
mengukur pengetahuan, keterampilan, dan sikap, (3) beberapa waktu sesudah pembelajaran
selesai dan kelak dalam lingkungan kerjanya.

Sementara itu Leighbody (1968) berpendapat bahwa penilaian hasil belajar psikomotor
mencakup: (1) kemampuan menggunakan alat dan sikap kerja, (2) kemampuan menganalisis
suatu pekerjaan dan menyusun urut-urutan pengerjaan, (3) kecepatan mengerjakan tugas, (4)
kemampuan membaca gambar dan atau simbol, (5) keserasian bentuk dengan yang diharapkan
dan atau ukuran yang telah ditentukan.

Dari penjelasan di atas dapat dirangkum bahwa dalam penilaian hasil belajar psikomotor atau
keterampilan harus mencakup persiapan, proses, dan produk. Penilaian dapat dilakukan pada saat
proses berlangsung yaitu pada waktu peserta didik melakukan praktik, atau sesudah proses
berlangsung dengan cara mengetes peserta didik.

Penilaian psikomotorik dapat dilakukan dengan menggunakan observasi atau pengamatan.


Observasi sebagai alat penilaian banyak digunakan untuk mengukur tingkah laku individu
ataupun proses terjadinya suatu kegiatan yang dapat diamati, baik dalam situasi yang sebenarnya
maupun dalam situasi buatan. Dengan kata lain, observasi dapat mengukur atau menilai hasil dan
proses belajar atau psikomotorik. Misalnya tingkah laku peserta didik ketika praktik, kegiatan
diskusi peserta didik, dan partisipasi peserta didik dalam simulasi.
Observasi dilakukan pada saat proses kegiatan itu berlangsung. Pengamat terlebih dahulu harus
menetapkan kisi-kisi tingkah laku apa yang hendak diobservasinya, lalu dibuat pedoman agar
memudahkan dalam pengisian observasi. Pengisian hasil observasi dalam pedoman yang dibuat
sebenarnya bisa diisi secara bebas dalam bentuk uraian mengenai tingkah laku yang tampak
untuk diobservasi, bisa pula dalam bentuk memberi tanda cek (√) pada kolom jawaban hasil
observasi.

Tes untuk mengukur ranah psikomotorik adalah tes untuk mengukur penampilan atau kinerja
(performance) yang telah dikuasai oleh peserta didik. Tes tersebut dapat berupa tes paper and
pencil, tes identifikasi, tes simulasi, dan tes unjuk kerja.

 Tes simulasi Kegiatan psikomotorik yang dilakukan melalui tes ini, jika tidak ada
alat yang sesungguhnya yang dapat dipakai untuk memperagakan penampilan
peserta didik, sehingga peserta didik dapat dinilai tentang penguasaan
keterampilan dengan bantuan peralatan tiruan atau berperaga seolah- olah
menggunakan suatu alat yang sebenarnya.
 Tes unjuk kerja (worksample) Kegiatan psikomotorik yang dilakukan melalui tes
ini, dilakukan dengan sesungguhnya dan tujuannya untuk mengetahui apakah
peserta didik sudah menguasai/terampil menggunakan alat tersebut. Misalnya
dalam melakukan praktik pengaturan lalu lintas lalu lintas di lapangan yang
sebenarnya Tes simulasi dan tes unjuk kerja, semuanya dapat diperoleh dengan
observasi langsung ketika peserta didik melakukan kegiatan pembelajaran. Lembar
observasi dapat menggunakan daftar cek (check-list) ataupun skala penilaian
(ratingscale).

Psikomotorik yang diukur dapat menggunakan alat ukur berupa skala penilaian terentang dari
sangat baik, baik, kurang, kurang, dan tidak baik. Dengan kata lain, kegiatan belajar yang banyak
berhubungan dengan ranah psikomotor adalah praktik di aula/lapangan dan praktikum di
laboratorium. Dalam kegiatan-kegiatan praktik itu juga ada ranah kognitif dan afektifnya, namun
hanya sedikit bila dibandingkan dengan ranah psikomotor.

Pengukuran hasil belajar ranah psikomotor menggunakan tes unjuk kerja atau lembar tugas.
Contohnya kemampuan psikomotor yang dibina dalam belajar matematika misalnya berkaitan
dengan kemampuan mengukur (dengan satuan tertentu, baik satuan baku maupun tidak baku),
menggambar bentuk-bentuk geometri (bangun datar, bangun ruang, garis, sudut,dll) atau tanpa
alat. Contoh lainnya, siswa dibina kompetensinya menyangkut kemampuan melukis jaring-jaring
kubus. Kemampuan dalam melukis jaring-jaring kubus secara psikomotor dapat dilihat dari
gerak tangan siswa dalam menggunakan peralatan (jangka dan penggaris) saat melukis.

Secara teknis penilaian ranah psikomotor dapat dilakukan dengan pengamatan (perlu lembar
pengamatan) dan tes perbuatan. Dalam ranah psikomotorik yang diukur meliputi :
1. Gerak refleks,
2. Gerak dasar fundamen,
3. Keterampilan perseptual; diskriminasi kinestetik, diskriminasi visual, diskriminasi
auditoris, diskriminasi taktis, keterampilan perseptual yang terkoordinasi.
4. Keterampilan fisik.
5. Gerakan terampil.
6. Komunikasi non diskusi (tanpa bahasa-melalui gerakan) meliputi: gerakan
ekspresif, gerakan interprestatif.

4. Kecakapan Hidup (Life Skill)

1. Konsep Dasar Pendidikan Berorientasi Kecakapan Hidup (PBKH)

Pendidikan berlangsung pada setiap saat dan di setiap tempat. Setiap orang mengalami proses
pendidikan melalui yang dijumpai dan dikerjakannya. Pendidikan berlangsung secara alamiah
walau tanpa kesengajaan. Anak-anak sampai orang dewasa berinteraksi dengan lingkungannya.
Lingkungan sosial, lingkungan budaya, dan lingkungan alam, memberinya pendidikan. Di
Minangkabau itulah yang dikenal dengan ungkapan “alam takmbang jadi guru” (alam
terkembang menjadi guru).

Pendidikan merupakan suatu sistem, yaitu sistematisasi  dari proses perolehan pengalaman
sehingga menjadi pengetahuan. Oleh karena itu, filsosofi pendidikan  diartikan sebagai proses
perolehan pengalaman belajar yang berguna bagi peserta didik dalam hidup dan kehidupannya.
Dengan pengalaman belajar itu, diharapkan pembelajar mampu mengembangkan potensi dirinya,
sehingga siap digunakan untuk memecahkan problema hidupnya. Pengalaman belajar itu
diharapkan juga mengilhami pembelajar menghadapi problema hidup sesungguhnya dalam
kehidupan sehari-hari.

Apa tujuan pendidikan itu secara hakiki bagi manusia? Jawabnya amat sederhana. Tujuan
pendidikan bagi setiap manusia adalah agar peserta didik mampu memecahkan dan mengatasi
permasalahan hidup dan kehidupan yang dihadapinya. Jika selesai mengikuti pendidikan,
mereka belum mampu memecahkan masalah hidup dan kehidupan, pertanda tujuan pendidikan
belum tercapai. Berdasarkan hal itulah, dalam pelaksanaan pendidikan, peserta didik perlu
dibekali dengan kecakapan hidup (life skill). Pendidikan kecakapan hidup itu kemudian dikenal
dengan “Pendidikan Berorientasi Kecakapan Hidup (PBKH).

Apakah kecakapan hidup itu?

Kecakapan hidup  adalah kecakapan yang dimiliki seseorang untuk berani menghadapi
problema hidup dan kehidupan dengan wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara
proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi sehingga akhirnya mampu
mengatasnya.

Konsep atau pengertian kecakapan hidup, lebih luas dari keterampilan untuk bekerja. Orang
yang tidak bekerja, orang pensiunan, siswa, mahasiswa, dan sejenisnya tetap memerlukan
kecakapan hidup. Seperti orang yang bekerja, mereka juga menghadapi berbagai masalah yang
harus dipecahkan di dalam hidupnya. Hal itu jelas, karena hidup dan kehidupan ini merupakan
masalah yang bersambung-sambung, selesai satu masalah, akan muncul masalah baru yang perlu
dipecahkan dan diselesaikan. Oleh sebab itu, pembelajar kita perlu dibekali dengan kecakapan
hidup.

Kecakapan hidup dapat dipilah atas dua jenis. Kedua jenis itu adalah kecakapan hidup yang
bersifat umum (General Life Skill) dan kecakapan hidup yang bersifat khusus (Specific Life
Skill). Kecakapan hidup yang bersifat umum adalah kecakapan hidup yang harus dimiliki
seorang untuk dapat melakukan hal-hal yang brsifat umum. Kecakapan hidup yang bersifat
khusus adalah kecakapan yang harus dimiliki seseorang untuk dapat melakukan hal-hal yang
bersifat khusus. Dengan bekal kecakapan umum dan kecakapan khusus itu, dimungkinkan
seseorang untuk dapat menghadapi kehidupan dengan wajar tanpa merasa tertekan dan mampu
memcahkan masalah hidup dan kehidupannya.

Kecakapan hidup yang bersifat umum (General Life Skill) dapat dipilah lagi atas tiga bagian.
Ketiga bagian itu adalah kecakapan personal (Personal Skill), kecakapan sosial (Social Skill),
dan kecakapan berpikir (Thinking Skill). Kecakapan hidup yang bersifat khusus (Specific Life
Skill) dapat pula dipilah atas dua bagian. Kedua bagian itu adalah kecakapan akademika
(Academic Skill) dan kecakapan vokasional (Vocational Skill).

Kecakapan personal (personal skill) adalah kecakapan yang dimiliki oleh seseorang  untuk
memiliki kesadaran atas eksistensi dirinya dan kesadaran akan potensi dirinya. Kesadaran akan
eksistensi diri merupakan kesadaran  atas keberadaan diri. Kesadaran  atas keberadaan diri dapat
dilihat dari beberapa sisi. Misalnya kesadaran diri sebagai makhluk Allah, sebagai makhluk
sosial, sebagai makhluk hidup, dan  sebagainya. Kesadaran akan potensi  diri adalah kesadaran
yang dimiliki seseorang atas kemampuan dirinya. Dengan kesadaran atas kemampuan diri itu
seseorang akan tahu kelebihan dan kekurangannya, kekuatan dan kelamahannya. Dengan
kesadaran eksistensi diri dan potensi diri, seseorang akan dapat menempuh kehidupan dengan
wajar tanpa merasa tertekan dan mampu memecahkan masalah hidup dan kehidupannya.

Kecakapan sosial (social skill) adalah kecakapan yang dimiliki seseorang untuk mampu
berkomunikasi lisan, berkomunikasi tertulis, dan bekerja sama. Kemampuan berkomunikasi
(lisan dan tulisan) diperlukan untuk menghadapi hidup dan kehidupan dengan wajar.
Kemampuan itu bukan hanya sekedar dapat berkomunikasi, tetapi juga terkait dengan santun
berkomunikasi, tatakrama berkomunikasi, dan sebagainya. Kecakapan bekerja sama sangat
diperlukan, karena kehidupan ini dilalui dalam kebersamaan. Kecakapan bekerja sama ini
banyak hal yang terkandung di dalamnya, seperti memahami perasaan orang lain, memahami
kesukaan orang lain, menghormati orang  lain, dan sebagainya. Kecakapan sosial ini diperlukan
oleh setiap orang agar ia mampu menghadapi kehidupan secara wajar tanpa merasa tertekan.

Kecakapan berpikir (thinking skill) meliputi kecakapan menggali informasi, kecakapan


mengolah informasi, kecakapan mengambil keputusan, dan kecakapan memecahkan masalah.
Kecakapan menggali informasi adalah kecakapan untuk memperoleh informasi dari berbagai
sumber dengan berbagai cara. Kecakapan mengolah informasi adalah kecakapan menyaring,
menyeleksi, dan menyimpan informasi. Kecakapan mengambil keputusan ialah kecakapan
memanfaatkan informasi untuk mengambil keputusan-keputusan tertentu sesuai dengan
keperluannya. Sedangkan kecakapan memecahkan masalah adalah kecakapan dalam
memecahkan problema hidup dan kehidupan dengan menggunakan informasi dan keputusan
yang telah ada. Dengan kecakapan berpikir rasional ini (thinking skill), diharapkan seseorang
tidak akan gamang menghadapi kehidupan, sehingga dia dapat menghadapi problema hidup dan
kehidupan secara wajar tanpa merasa tertekan.

Kecakapan akademik (Academic Skill) adalah kecakapan yang dimiliki seseorang di bidang
akademik. Kecakapan akademik sering juga disebut kecakapan berpikir ilmiah yang merupakan
kelanjutan dari kecakapan berpikir rasional. Jika kecakapan berpikir rasional (thinking skill)
masih bersifat umum, kecakapan akademik sudah mengarah kepada kecakapan yang bersifat
keilmuan (akademik). Kecakapan akademik antara lain meliputi kecakapan mengidentifikasi
variabel, menghubungkan variabel dengan fenomena tertentu, merumuskan hipotesis,  dan
merancang serta melakukan penelitian. Hal ini mungkin dapat dilatihkan dalam skala-skala
sederhana kepada siswa SD dan MI sehingga tidak terkesan memaksakan.

Kecakapan vokasional (Vocational Skill) sering juga disebut kecakapan kejuruan. Kecakapan
kejuruan artinya kecakapan yang dikaitkan dengan bidang pekerjaan tertentu yang terdapat di
dalam masyarakat. Pada tingkat SD dan MI mungkin dapat dilaksanakan dalam bentuk
pravokasional seperti keterampilan-keterampilan sederhana yang tidak terlalu memberatkan.

Kecakapan personal, kecakapan sosial, kecakapan berpikir, kecakapan akademik, dan kecakapan
vokasional bukanlah kecakapan hidup (life skill) yang dapat dipilah-pilah dalam pelaksanaan
atau dalam kenyataan. Kelima kecakapan itu kadang-kadang bisa menyatu dalam dan melebur
dalam tindakan. Tindakan yang menyatukan dan meleburkan kecakapan tersebut biasanya
melibatkan aspek fisik, mental, emosional, dan intelektual. Akan tetapi di dalam pembelajaran,
guru dapat memberikan stresing (penekanan) kepada kecakapan tertentu.

2. Pola Pelaksanaan PBKH

Pendidikan Berorientasi Kecakapan Hidup  dalam pelaksanannya tidak mengubah kurikulum.


Mata pelajaran yang ada di dalam kurikulum saat ini tetap berlaku. Hal yang diperlukan adalah
“menyiasati” pelaksanaan pendidikan dan pembelajaran agar bergeser dari orientasi kepada 
mata pelajaran menjadi orientasi kepada kecakapan hidup. Pelaksanaannya dilakukan melalui
empat cara yaitu: (1) rerorientasi  pembelajaran; (2) pengembangan budaya sekolah; (3)
manajemen pendidikan, dan (4) hubungan sinergis dengan masyarakat.

a. Reorientasi Pembelajaran

Pada reorientasi pembelajaran hal yang diperlukan adalah menyiasati kurikulum, khususnya
mengintegrasikan PBKH ke dalam mata pelajaran. Langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk
itu adalah:

1. membaca dan memahami GBPP mata pelajaran atau Daftar Standar Kompetensi
(kurikulum 2004);
2. mengidentifikasi pokok bahasan dan subpokok bahasan, konsep dan subkonsep,  dan
pembelajaran yang dapat dikaitkan dengan kecakapan hidup atau menyusun pengalaman
belajar yang dilengkapi dengan kecakapan hidup untuk kurikulum 2004.
3. merancang persiapan mengajar (PSP, RP) yang bermuatan kecakapan hidup;
4. menyiapkan alat penilaian autentik (riil) yang dapat melihat keberhasilan PBKH;
5. melaksanakan pembelajaran yang bermuatan kecakapan hidup;
6. melakukan evaluasi pembelajaran yang bermuatan kecakapan hidup;
7. merefleksi semua kegiatan yang dilakukan.

Di dalam persiapan pembelajaran, kecakapan hidup dapat digambar di dalam Program Satuan
Pelajaran atau Rencana Pembelajaran. Di dalam kedua peangkat administrasi kegiatan belajar
mengajar (KBM) itu, kecakapan hidup diterakan di skenario pembelajaran. 

Basis utama pelaksanaan pembelajaran adalah Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP)
atau Daftar Standar Kompetensi (kurikulum 2004). Dari dokumen itulah PBM dilaksanakan.
Oleh karena itu, kemampuan guru membaca dan memahami dokumen tersebut sangat
diperlukan. Terkait dengan penyusunan persiapan mengajar yang bermuatan kecakapan hidup,
hal penting yang harus dibaca dan dipahami guru dari GBPP adalah tujuan pembelajaran dengan
kode satu digit di depannya (1.), pokok bahasan dengan kode dua digit di depannya (1.1),
subpokok bahasan dengan kode tiga digit di depannya (1.1.1), dan pembelajaran yang diberi
kode (o) di depannya.

Sedangkan untuk kurikulum 2004, hal yang perlu dipahami adalah standar kompetensi,
kompetensi dasar, indikator, dan materi pokok. Dari pemahaman itu dirumuskan pengalaman
belajar yang bernuansa kecakapan hidup dan penilaiannya. Hal-hal tersebut perlu dibaca dan
dipahami untuk merancang silabus dan persiapan mengajar. (PSP atau RP).

Rencana Pembelajaran (RP) adalah persiapan mengajar yang dibuat oleh guru untuk setiap kali
tatap muka atau untuk setiap kali pertemuan dalam satu mata pelajaran. Fungsinya adalah agar
pembelajaran berlangsung secara efektif dan efisien. Komponen utamanya ialah Tujuan
Pembelajaran Khusus (TPK), materi pelajaran, langkah KBM atau skenario pembelajaran, dan
alat penilaian. Sedangkan untuk kurikulum 2004 hal penting dalam rencana pembelajaran adalah
skenario pembelajaran. Dapat dilihat dalam bahan ajar pembelajaran bahasa terintegrasi.
Keempat komponen itu merupakan komponen utama di samping komponen lain seperti identitas,
media pembelajaran, dan sebagainya.

TPK adalah harapan seorang guru terhadap siswanya setelah KBM dilaksanakan. TPK biasanya
diturunkan dari tujuan pembelajarn yang ada di dalam GBPP dan diformulasikan dengan PB,
SPB, dan pembelajaran. Hal itu berlaku untuk semua mata pelajaran, kecuali Bahasa Indonesia
yang TPK-nya diturunkan dari pembelajaran. TPK ini menjadi penting dalam pembelajaran,
karena merupakan harapan dari guru terhadap siswanya. Jika TPK tidak ada, kemudian guru
masuk kelas, berarti guru tidak memiliki harapan yang jelas dan tegas. Oleh karena itu, sebelum
masuk kelas guru benar-benar mempersiapkan harapannya yang diaktualisasikan di dalam TPK
itu.
Materi pelajaran adalah alat untuk mencapai tujuan. Bukan tujuan, bukan tujuan! Materi dapat
berupa konsep kelimuan, norma, dan cara. Jenis materi itu tergantung kepada sifat dan
karakterisitik mata pelajaran. Formulasi materi yang tepat dan berdaya guna, ialah formulasi
yang mengacu kepada pencapaian tujuan. Dengan demikian, materi hanyalah sebagai alat
semata, bukan tujuan.

Langkah-langkah KBM adalah skenario pembelajaran. Skenario tersebut merupakan pengalaman


belajar yang dirancang guru untuk siswanya dalam rangka mencapai tujuan. Pengalaman-
pengalaman kecil yang dipersiapkan guru untuk dilalui siswa merupakan kegiatan belajar siswa
di kelas. Melalui pengalaman-pengalaman itulah siswa belajar, siswa mencapai tujuan atau
harapan yang telah dirumuskan guru. Dalam konteks ini, siswa bukan diajari, tetapi dibelajarkan.
Di sini pulalah kesempatan bagi guru untuk membiasakan diri menjaid fasilitator, motivator, dan
pembimbing siswa di kelas.

Alat penilaian adalah seperangkat tes atau nontes untuk melihat atau mengumpulkan data tentang
kemajuan belajar siswa. Informasi yang dikumpulkan dari pembelajaran adalah meliputi tiga
aspek yakni kognitif, afektif, dan psikomotorik. Aspek kognitif dapat dinilai melalui tes, aspek
afektif melalui observasi, dan aspek psikomotorik melalui tes dan observasi. Alat penilaian
tersebut perlu dirumuskan oleh guru sebagai sarana untuk mengumpulkan informasi tentang
kemajuan belajar siswa.

Pelaksanaan pembelajaran berorientasi kecakapan hidup dapat menggunakan berbagai


pendekatan. Pendekatan yang disarankan antara lain pendekatan konstruktivisme dan pendekatan
pembelajaran kontekstual. Kedua pendekatan itu digunakan sehingga: (1) siswa lebih aktif; (2)
fungsi guru lebih sebagai fasilitator daripada sebagai informan; (3) materi yang dipelajari
bermanfaat untuk menghadapi kehidupan; (4) iklim di dalam kelas menyenangkan; (5) siswa
terbiasa mencari informasi dari berbagai sumber; dan (6) menggeser teaching menjadi learning.
Untuk melaksanakan tuntutan tersebut, salah satu jalan yang dapat dilakukan guru adalah
membuat persiapan mengajar (RP) yang aplikatif, berdayaguna, dan berhasil guna.

b. Pengembangan Budaya (Kultur) Sekolah

Pendidikan berlangsung bukan hanya di dalam kelas. Pendidikan juga terjadi di luar kelas. Di
lingkungan sekolah, di lingkungan keluarga, di lingkungan masyarakat, dan lingkungan-
lingkungan lain, pendidikan juga berlangsung. Terkait dengan PBKH tidak dapat dibebankan
kepada guru semata, tetapi ditunjang oleh lingkungan yang kondusif. Lingkungan itu di
antaranya ialah lingkungan sekolah.

Pelaksanaan PBKH memerlukan dukungan perubahan budaya sekolah yang mendorong


berkembangnya budaya belajar, sehingga di sekolah tercipta prinsip  “belajar bukan untuk
sekolah, tetapi belajar untuk hidup, belajar bukan untuk ujian, tetapi untuk memecahkan
masalah (problema)  kehidupan”.

Ada tiga aspek pendidikan yang dapat dikembangkan melalui budaya sekolah yang kondusif.
Ketiga aspek itu adalah pengembangan disiplin diri dan rasa tanggung jawab, pengembangan
motivasi belajar, dan pengembangan rasa kebersamaan. Oleh karena itu, ketiga aspek itu
hendaknya menjadi budaya warga sekolah yang dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

c. Manajemen Sekolah

Departemen Pendidikan Nasional telah meluncurkan rintisan manajemen berbasis sekolah. 


Manajemen berbasis sekolah (MBS) adalah salah satu model manajemen yang memberikan
kewenangan kepada sekolah untuk mengurus dirinya dalam rangka peningkatan mutu. Prinsip
dasar manajemen berbasis sekolah itu adalah kemandirian, transparansi, kerja sama,
akuntabilitas, dan sustainbilitas. Kelima prinsip dasar itu sangat terkait dengan prinsip-prinisp
kecakapan hidup yang akan dikembangkan di dalam Pendidikan Berorientasi Kecakapan Hidup.
(untuk manajemen sekolah perlu dibahas tersendiri pada kegiatan lain).

d. Hubungan Sinergis antara Sekolah dengan Masyarakat

Penanggung jawab pertama terhadap pendidikan anak adalah orang tua. Sekolah hanya
membantu orang tua dalam pelaksanaan pendidikan. Anak-anak, ternyata jauh lebih berhadapan
dengan orang tua dan mayarakat dalam kesehariannya dibandingkan dengan sekolah. Oleh
karena itu, dalam pelaksanaan PBKH keterlibatan orang tua dan masyarakat tidak dapat
dihindari.

Hubungan sinergis artinya saling bekerjasama dan saling mendukung. Orang tua atau masyarakat
dan sekolah perlu bersama-sama menentukan arah pendidikan bagi anak-anak. Kemudian
memikirkan usaha-usaha untuk mencapai arah tersebut. Di dalam manajemen Berbasis Sekolah,
orang tua sebagai orang yang berkepentingan memiliki kesempatan ikut menentukan kebijakan
pendidikan di sekolah. Misalnya, orang tua ikut menentukan rencana pengembangan sekolah,
aplikasi kurikulum, pembiayaan dan sebagainya. Khusus hubungan sinergis sekolah dengan
masyarakat ini perlu dibahas dalam waktu tertentu.

3. Penilaian

Reorientasi Pembelajaran  menuju kecakapan hidup mengandung konsekuensi  kepada evaluasi


hasil belajar. Evaluasi dengan bentuk tertulis (paper and pencil test), apalagi dengan soal-soal
pilihan ganda  yang bersifat satu jawaban yang benar (konvergen) tidak lagi memadai. Masalah
dalam hidup dapat dipecahkan dengan berbagai alternatif.  Oleh karena itu, soal-soal ujian atau
ulangan sebaiknya mengacu kepada pemecahan masalah (problem based). Hal itu bisa mencakup
uji kinerja (performance based test). Yang paling dianjurkan adalah bentuk evaluasi otentik atau
penilaian yang sebenarnya (authentic assessment).

Penilaian yang sebenarnya dilakukan terhadap proses belajar, bukan hanya hasil belajar.
Penilaian ini meliputi tiga aspek atau ranah pembelajaran. Ketiga ranah itu adalah kognitif
(pengetahuan), ranah afektif (sikap dan nilai-nilai), dan ranah psikomotor (keterampilan dan
kemampuan berpraktik). Ketiga ranah itu dinilai melalui alat penilaian yang sesuai dengan
informasi yang akan dikumpulkan.
Daftar Pustaka

Anshori, Isa, Imam Bawani, 1991, Cendekiawan Muslim dalam Persepektif Pendidikan islam,
Surabaya: Bina Ilmu.
Anshori, Isa. 2004, Evaluasi Pendidikan, Sidoarjo: Muhammadiyah University Press, Cet
pertama.
Anshori, Isa. 2009, Perencanaan Sistem Pembelajaran, Sidoarjo: Muhammadiyah University
Press, Cet kedua.
Anshori, Isa. 2017, “Penguatan Pendidikan Karakter di Madrasah”, HALAQA:
Islamic Education Journal 1 (2), Desember, 11-22.
http//ojs.umsida.ac.id/index.php/halaqa.
Arifin, Zainal. 2009. Evaluasi Pembelajara. Bandung: Remaja Rosdakarnya
Sudjana, Nana. 2011. Penilaian Hasil Proses Belajar Megajar.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sudijon, Anas. 2005. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo persada.

Anda mungkin juga menyukai