Anda di halaman 1dari 15

RAGAM DAN LARAS

BAHASA INDONESIA
RAGAM DAN LARAS BAHASA INDONESIA

Ragam atau variasi bahasa adalah bentuk atau wujud bahasa yang ditandai oleh ciri-ciri
linguistik tertentu, seperti fonologi, morfologi, dan sintaksis. Di samping ditandai oleh
ciri-ciri linguistik, timbulnya ragam bahasa yang juga ditandai oleh ciri-ciri
nonlinguistik, misalnya lokasi atau tempat penggunaannya, lingkungan sosial
pemakaiannya, dan lingkungan keprofesian pemakai bahasa yang bersangkutan.

Bahasa Indonesia yang amat luas wilayah pemakainya dan bermacam ragam
penuturnya, mau tidak mau, takluk pada hukum perubahan. Arah perubahan itu tidak
selalu tak terelakkan karena kita pun dapat mengubah bahasa secara berencana. Faktor
sejarah dan perkembangan masyarakat turut pula berpengaruh pada timbulnya
sejumlah ragam bahasa Indonesia. Ragam bahasa yang beraneka macam itu masih tetap
disebut “bahasa Indonesia” karena masing-masing berbagi teras atau inti
sari bersama yang umum. Ciri dan kaidah tata bunyi, pembentukan kata, dan tata
makna umumnya sama. Itulah sebabnya kita masih dapat memahami orang lain yang
berbahasa Indonesia walaupun di samping itu kita dapat mengenali beberapa
perbedaan dalam perwujudan bahasa Indonesianya.

Iklan
LAPORKAN IKLAN INI

A. Ragam Bahasa Berdasarkan Media


Bila ditinjau dari media atau sarana yang digunakan untuk menghasilkan bahasa, ragam
bahasa dibagi menjadi: (1) ragam bahasa lisan; (2) ragam bahasa tulis.

Bahasa yang dihasilkan melalui alat ucap (organ of speech) dengan fonem sebagai


unsur dasar dinamakan ragam bahasa lisan, sedangkan bahasa yang dihasilkan dengan
memanfaatkan tulisan dengan huruf sebagai unsur dasarnya, dinamakan ragam bahasa
tulis. Jadi, dalam ragam bahasa lisan kita berurusan dengan lafal, dalam ragam bahasa
tulis kita berurusan dengan tata cara penulisan atau ejaan. Selain itu aspek tata bahasa
dan kosa kata dalam kedua jenis ragam itu memiliki hubungan yang erat. Ragam bahasa
tulis yang unsur dasarnya huruf, melambangkan ragam bahasa lisan. Oleh karena itu,
sering timbul kesan bahwa ragam bahasa lisan dan tulis itu sama. Padahal, kedua jenis
ragam bahasa itu berkembang menjadi sistem bahasa yang memiliki seperangkat
kaidah yang tidak identik benar walau ada pula kesamaannya. Meskipun ada
keberimpitan aspek tata bahasa dan kosa kata, masing-masing memiliki seperangkat
kaidah yang berbeda satu dari yang lain.

Contoh:

1. Ragam bahasa lisan.

 Zahra sedang baca surat kabar.


 Aqis mau nulis
 Tapi kau tak boleh nolak lamaran itu.
 Mereka tinggal di Mampang Prapatan.
 Jalan layang itu untuk mengatasi kemacetan lalu lintas.
 Saya akan tanyakan soal itu .

2. Ragam bahasa tulis.

 Zahra sedang membaca surat kabar.


 Aqis mau menulis
 Namun, engkau tidak boleh menolak lamaran itu.
 Mereka bertempat tinggal di Mampang Prapatan.
 Jalan layang itu dibangun untuk mengatasi kemacetan lalu lintas.
 Akan saya tanyakan soal itu.

Perbedaan ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulis dapat dilihat pada berikut ini.

Tabel 1

Perbedaan ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulis

No. Ragam bahasa lisan Ragam bahasa tulis


Ragam ini menekankan penggunaan
1 Tidak baku ragam bahasa baku, ejaan yang baku
(sesuai PUEBI)

Kosakata lebih menekankan pilihan


kata yang tidak baku. Kosakata menekankan pilihan kata baku.
Contoh:

Contoh:
a.  Istri Pak Camat membina ibu-
2
ibu memproduksi kerajinan tangan dari
a.  Bini Pak Camat bina ibu- bambu.
ibu bikin kerajinan dari bambu.

b. Fadhil sedang membuat skripsi.
b. Fadhil sedang bikin skripsi.

Bentuk kata bahasa lisan cenderung


tidak menggunakan imbuhan (awalan, Bentuk kata bahasa tulis berimbuhan.
akhiran). Contoh:
Contoh:

3 a. Fadhil sedang menulis skripsi.
a. Fadhil sedang tulis skripsi.
b. Zahra sedang memasak nasi.
b. Zahra sedang masak nasi.

4 Kalimat cenderung tanpa unsur yang Kalimat dalam ragam bahasa tulis lengkap
lengkap (tanpa subjek, predikat, atau secara gramatikal.
objek). Kejelasan kalimat dipengaruhi Contoh:
oleh unsur-unsur situasi ketika
kalimat tersebut diucapkan. Isi
a. Dalam seminar ini kita akan mengkaji
kalimat dapat dimengerti tetapi
pertumbuhan ekonomi 2019.
struktur kalimatnya salah. Misalnya,
berupa anak kalimat, gabungan anak
kalimat, tanpa subjek, dan tanpa b. TKI yang dikirim ke luar negeri harus
predikat (objek). memiliki paspor.
Contoh:
a. Di sini akan membicarakan
pertumbuhan ekonomi 2019.

b. Untuk TKI yang akan dikirim ke c. Jakarta memiliki Pusat Bahasa.


luar negeri harus memiliki paspor.

c. Di Jakarta memiliki Pusat Bahasa.

Ragam bahasa lisan adalah bahasa yang diujarkan oleh pemakai bahasa. Kita dapat
menemukan ragam lisan yang standar, misalnya pada saat orang berpidato atau
memberi sambutan, dalam situasi perkuliahan, ceramah; dan ragam lisan yang
nonstandar, misalnya dalam percakapan antarteman, di pasar, atau dalam kesempatan
nonformal lainnya. Ragam bahasa tulis adalah bahasa yang ditulis atau yang tercetak.
Ragam tulis pun dapat berupa ragam tulis yang standar maupun nonstandar. Ragam
tulis yang standar kita temukan dalam buku-buku pelajaran, teks, majalah, surat kabar,
poster, iklan. Kita juga dapat menemukan ragam tulis nonstandar dalam majalah
remaja, iklan, atau poster.

B. Ragam Bahasa Berdasarkan Latar Belakang Penutur

Berdasarkan  latar belakang penutur, kita mengenal ragam daerah atau dialek yang
berkaitan dengan asal penutur, ragam terpelajar dan tak terpelajar yang berkaitan
dengan tingkat pendidikan penutur, serta ragam resmi dan tak resmi berkaitan dengan
sikap penutur.

1. Ragam Dialek atau Ragam Daerah

Ragam dialek atau ragam daerah akan mencerminkan asal penutur. Beberapa kelompok
suku bangsa di Indonesia memiliki kekhasan berujar. Orang Batak biasanya memiliki
kesulitan untuk mengujarkan bunyi e pepet atau [∂]. Mereka melafalkan bunyi e pepet
atau [∂] menjadi bunyi e taling atau [ӗ]. Contoh: kata /b∂b∂rapa/ dilafalkan
menjadi /bӗbӗrapa/, kata /b∂k∂rja/ dilafalkan menjadi /bӗkӗrja/. Lain halnya dengan
orang Jawa, mereka sering mengucapkan kata yang berawalan “b” seperti Bandung,
Bali, dan Bantul akan dilafalkan dengan penambahan bunyi sengau “m” sehingga
terdengar di telinga ucapan /mBandung/, /mBali/, dan /mBantul/. Bunyi-bunyi berat
seperti bunyi [b], [d], dan [j] akan terdengar diucapkan /bh/, /dh/, dan /jh/. Contoh:
/bhawa/, /dhudhuk/, dan /jhadhi/.

Ragam dialek juga dapat dikenali melalui penambahan kata tertentu yang biasa dikenal
dalam bahasa asal mereka. Penambahan kata “orang” atau “sendiri” pada satu ujaran,
misalnya “Orang saya lagi kerja diganggu”, “Orang dia baru datang”. Penambahan kata
“orang” pada ujaran itu alih-alih kata “wong” dalam bahasa Jawa. Gejala ini memang
tampak pada bahasa Indonesia dialek Jawa.

2. Ragam Terpelajar dan Tak Terpelajar

Ragam terpelajar dan tak terpelajar didasarkan pada tingkat pendidikan penutur.
Ragam terpelajar dibedakan dengan ragam tak terpelajar. Penutur yang memiliki
tingkat pendidikan lebih tinggi relatif akan lebih terlatih dalam berbahasa dibandingkan
dengan penutur yang tingkat pendidikannya lebih rendah. Hal ini disebabkan besarnya
peluang penutur pendidikan lebih tinggi untuk belajar dan berlatih bahasa.

Terpelajar tidaknya penutur itu tampak dalam ujaran dan strukturnya. Ragam
terpelajar, antara lain dapat dilihat dari terpenuhinya kaidah pemakaian bahasa baik
yang menyangkut struktur yang benar maupun ujaran atau lafal yang benar. Ragam
terpelajar, misalnya tampak pada cara ujaran yang mencerminkan kelengkapan bunyi
bahasa yang didaftarkan dalam tata bunyi sebagaimana yang tertuang dalam Pedoman
Umum Ejaan yang Disempurnakan.

Untuk lebih jelasnya, perhatikan tabel berikut.

Tabel 2

Cara Pelafalan Kata antara Ragam Terpelajar dan Ragam Tak Terpelajar

Ragam Terpelajar Ragam Tak Terpelajar

/mufakat/ /mupakat/

/tafsir/ /tapsir/

/fasilitas/ /pasilitas/

/vokal/ /pokal/

/pabrik/ /tabrik/
/fungsi/ /pungsi/

/kompleks/ /komplek/

/vitamin ce/ /pitamin se/

Bentuk kata juga dapat dijadikan ciri ragam terpelajar dan tak terpelajar. Contohnya
terlihat pada tabel.

Tabel 3

Bentuk Kata antara Ragam Terpelajar dan Ragam Tak Terpelajar

Ragam Terpelajar Ragam Tak Terpelajar

mencari nyari

membukakan bukain

menyetor nyetor

membawakan bawain

Dari contoh di atas dapat dilihat perbedaan, bahwa ragam terpelajar lebih terpelihara
dalam hal kaidah, sedangkan ragam tak terpelajar kurang memperhatikan kaidah, baik
menyangkut pilihan kata dan bentuk kata, maupun kelengkapan kalimat dan
kelengkapan pelafalannya.
Dalam penggunaan ragam bahasa baku tulis makna kalimat yang diungkapkannya tidak
ditunjang oleh situasi pemakaian, sedangkan ragam bahasa baku lisan makna kalimat
yang diungkapkannya ditunjang oleh situasi pemakaian sehingga kemungkinan besar
terjadi pelesapan unsur kalimat. Oleh karena itu, dalam penggunaan ragam bahasa
baku tulis diperlukan kecermatan dan ketepatan di dalam pemilihan kata, penerapan
kaidah ejaan, struktur bentuk kata dan struktur kalimat, serta kelengkapan unsur-unsur
bahasa di dalam struktur kalimat.

3. Ragam Resmi dan Ragam Tak Resmi

Ragam resmi adalah bahasa yang digunakan dalam situasi resmi, seperti pertemuan-
pertemuan, peraturan-peraturan, dan undangan-undangan. Ciri-ciri ragam bahasa
resmi: 1) menggunakan unsur gramatikal secara eksplisit dan konsisten; 2)
menggunakan imbuhan secara lengkap; 3) menggunakan kata ganti resmi; 4)
menggunakan kata baku; 5) menggunakan EYD/EBI; dan 6) menghindari unsur
kedaerahan.

Ragam tak resmi adalah bahasa yang digunakan dalam situasi tak resmi, seperti dalam
pergaulan, dan percakapan pribadi, seperti dalam pergaulan, dan percakapan pribadi
(Keraf, 1991: 6). Ciri- ciri ragam bahasa tidak resmi kebalikan dari ragam bahasa resmi.
Ragam bahasa tidak resmi ini digunakan ketika kita berada dalam situasi yang tidak
normal. Ragam bahasa resmi atau tak resmi ditentukan oleh tingkat keformalan bahasa
yang digunakan. Semakin tinggi tingkat kebakuan suatu bahasa, berarti semakin resmi
bahas yang digunakan. Sebaliknya semakin rendah pula tingkat keformalannya, makin
rendah pula tingkat kebakuan bahasa yang digunakan (Sugono, 1998:12-13). Contoh:
Bahasa yang digunakan oleh bawahan kepada atasan adalah bahas resmi sedangkan
bahasa yang digunakan oleh anak muda adalah ragam bahasa santai/tak resmi.

4. Ragam Bahasa Standar, Semi Standar, dan Nonstandard

Bahasa ragam standar memiliki sifat kemantapan berupa kaidah dan aturan tetap. Akan
tetapi, kemantapan itu tidak bersifat kaku. Ragam standar tetap luwes sehingga
memungkinkan perubahan di bidang kosa kata, peristilahan, serta mengizinkan
perkembangan berbagai jenis laras yang diperlukan dalam kehidupan modern (Alwi,
1998: 14).

Pembedaan antara ragam standar, nonstandar, dan semi standar dilakukan


berdasarkan: (a) topik yang sedang dibahas; (b) hubungan antarpembicara; (c) medium
yang digunakan; (d) lingkungan; atau (e) situasi saat pembicaraan terjadi.

Ciri yang membedakan antara ragam standar, semi standar dan nonstandar adalah: (a)
penggunaan kata sapaan dan kata ganti; (b) penggunaan kata tertentu; (c) penggunaan
imbuhan; (d) penggunaan kata sambung (konjungsi); dan (e) penggunaan fungsi yang
lengkap.
Penggunaan kata sapaan dan kata ganti merupakan ciri pembeda ragam standar dan
ragam nonstandar yang sangat menonjol. Kepada orang yang kita hormati, kita akan
cenderung menyapa dengan menggunakan kata Bapak, Ibu, Saudara, Anda. Jika kita
menyebut diri kita, dalam ragam standar kita akan menggunakan kata saya atau aku.
Dalam ragam nonstandar, kita akan menggunakan kata gue. Penggunaan kata tertentu
merupakan ciri lain yang sangat menandai perbedaan ragam standar dan ragam
nonstandar. Dalam ragam standar, digunakan kata-kata yang merupakan bentuk baku
atau istilah dan bidang ilmu tertentu. Penggunaan imbuhan adalah ciri lain. Dalam
ragam standar, kita harus menggunakan imbuhan secara jelas dan teliti. Penggunaan
kata sambung (konjungsi) dan kata depan (preposisi) merupakan ciri pembeda lain.
Dalam ragam nonstandar, sering kali kata sambung dan kata depan dihilangkan.
Kadang kala, kenyataan ini mengganggu kejelasan kalimat.

Contoh:

(1) Ayah mengatakan, kita akan pergi besok.

(1a) Ayah mengatakan bahwa kita akan pergi besok.

Pada contoh (1) merupakan ragam semi standar, dan pada contoh (1a) merupakan
ragam standar.

Contoh:

(2) Mereka bekerja keras menyelesaikan pekerjaan itu.

(2a) Mereka bekerja keras untuk menyelesaikan pekerjaan itu.

Pada contoh (2) merupakan ragam semi standar, dan pada contoh (2a) merupakan
ragam standar.

Kalimat (1) kehilangan kata sambung bahwa, sedangkan kalimat (2) kehilangan kata
depan untuk. Dalam laras jurnalistik kedua kata ini sering dihilangkan. Hal ini
menunjukkan bahwa laras jurnalistik termasuk ragam semi standar.

Kelengkapan fungsi merupakan ciri terakhir yang membedakan ragam standar dan
nonstandar. Artinya, ada bagian dalam kalimat yang dihilangkan karena situasi sudah
dianggap cukup mendukung pengertian. Dalam kalimat-kalimat yang nonstandar itu,
predikat kalimat dihilangkan. Seringkali pelesapan fungsi terjadi jika kita menjawab
pertanyaan orang. Misalnya, “Hai, Ida, mau ke mana?” “Pulang.” Sering kali juga kita
menjawab “tau” untuk menyatakan ‘tidak tahu’. Pembedaan lain yang juga muncul
tetapi tidak disebutkan di atas adalah intonasi. Masalahnya, pembeda intonasi ini hanya
ditemukan dalam ragam lisan dan tidak terwujud dalam ragam tulis.

C. Laras Bahasa

Laras bahasa adalah ragam bahasa yang digunakan untuk suatu tujuan atau pada
konteks sosial tertentu. Banyak sekali laras bahasa yang dapat diidentifikasi tanpa
batasan yang jelas. Definisi laras bahasa menurut beberapa ahli linguistik, diantaranya
Ure dan Ellis (1977) menganggap laras bahasa sebagai pola bahasa yang lazim
digunakan mengikuti keadaan tertentu. Hal ini bermakna, sesuatu situasi akan
menentukan bentuk bahasa yang digunakan oleh pengguna bahasa itu dan
pemilihannya berdasarkan konvensi sosial masing-masing. Menurut Reid (1956)
menyatakan seorang penutur dalam situasi berbeda-beda akan menggunakan laras
mengikut situasi sosial yang berlainan yaitu istilah teknik untuk menyatakan perlakuan
bahasa (linguistic behavior) seseorang individu.

Halliday (1968) menyebut bahwa laras sebagai variasi bahasa yang berlainan
berdasarkan fungsi. Laras akan senantiasa berubah mengikut situasi. Dia telah
membuat penjenisan laras kepada tiga kategori yaitu: (1) tajuk wacana (field of
discourse), (2) cara penyampaian wacana (mode of discourse); dan (3) gaya wacana
(style of discourse). Sedang Joos (1961) membagi lima laras bahasa menurut derajat
keformalannya, yaitu:

 Frozen (beku). Ragam beku digunakan pada situasi hikmat dan sangat sedikit
memungkinkan keleluasaan seperti pada kitab suci, putusan pengadilan, dan upacara
pernikahan.
 Formal (resmi). Ragam resmi digunakan dalam komunikasi resmi seperti pada pidato
resmi, rapat resmi, dan jurnal ilmiah.
 Consultative(konsultatif). Ragam konsultatif digunakan dalam pembicaraan yang
terpusat pada transaksi atau pertukaran informasi seperti dalam percakapan di sekolah
dan di pasar.
 Casual (santai). Ragam santai digunakan dalam suasana tidak resmi dan dapat
digunakan oleh orang yang belum tentu saling kenal dengan akrab.
 Intimate (akrab). Ragam akrab digunakan di antara orang yang memiliki hubungan
yang sangat akrab dan intim.

Menurut Nik Safiah Karim (1989), kajian terhadap laras bahasa perlu
mempertimbangkan dua factor, yaitu: (1) ciri keperihalan peristiwa bahasa; dan (2) ciri
linguistik yang wujud. Ciri keperihalan pula dibagidua aspek, yaitu situasi luaran dan
situasi persekitaran.

Situasi luaran adalah latar belakang sosial dan kebudayaan sesuatu masyarakat bahasa
yang merangkumi struktur sosial dan keseluruhan cara hidup yang menentukan
perlakuan setiap anggota masyarakat. Contohnya, apabila kita mengkaji laras bahasa
masyarakat Melayu lama, kita perlu mengaitkan dengan situasi istana, stratifikasi
sosial, tradisi sastra lisan dan aspek-aspek lain anggota masyarakat zaman itu.

Situasi persekitaran pula meliputi aspek-aspek yang terlibat secara langsung dalam
penggunaan bahasa. Terdapat empat situasi persekitaran yang menyebabkan wujudnya
bahasa yang berlainan atau laras. Situasi yang dimaksudkan ialah cara penyampaian,
perhubungan sosial dan peribadi, bahan yang diperkatakan, dan fungsi-fungsi sosial
perlakuan bahasa.

Pada saat digunakan sebagai alat komunikasi, bahasa masuk dalam berbagai laras
sesuai dengan fungsi pemakaiannya. Jadi, laras bahasa adalah kesesuaian antara bahasa
dan pemakaiannya. Dalam hal ini kita mengenal iklan, laras ilmiah, laras ilmiah
populer, laras feature, laras komik, laras sastra, yang masih dapat dibagi atas laras
cerpen, laras puisi, laras novel, dan sebagainya.

Setiap laras memiliki cirinya sendiri dan memiliki gaya tersendiri. Setiap laras dapat
disampaikan secara lisan atau tulis dan dalam bentuk standar, semi standar, atau
nonstandar. Laras bahasa yang akan kita bahas dalam kesempatan ini adalah laras
ilmiah.

1. Laras llmiah

Dalam uraian di atas dikatakan bahwa setiap laras dapat disampaikan dalam ragam
standar, semi standar, atau nonstandar. Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan
laras ilmiah. Laras ilmiah harus selalu menggunakan ragam standar. Sebuah karya tulis
ilmiah merupakan hasil rangkaian gagasan yang merupakan hasil pemikiran, fakta,
peristiwa, gejala, dan pendapat. Jadi, seorang penulis karya ilmiah menyusun kembali
pelbagai bahan informasi menjadi sebuah karangan yang utuh. Oleh sebab itu,
penyusun atau pembuat karya ilmiah tidak disebut pengarang melainkan
disebut penulis (Soeseno, 1981: 1).

Dalam uraian di atas dibedakan antara pengertian realitas dan fakta. Seorang
pengarang akan merangkaikan realita kehidupan dalam sebuah cerita, sedangkan
seorang penulis akan merangkaikan berbagai fakta dalam sebuah tulisan. Realistis
berarti bahwa peristiwa yang diceritakan merupakan hal yang benar dan dapat dengan
mudah dibuktikan kebenarannya, tetapi tidak secara langsung dialami oleh penulis.
Data realistis dapat berasal dan dokumen, surat keterangan, press release, surat kabar
atau sumber bacaan lain, bahkan suatu peristiwa faktual. Faktual berarti bahwa
rangkaian peristiwa atau percobaan yang diceritakan benar-benar dilihat, dirasakan,
dan dialami oleh penulis (Marahimin, 1994: 378).

Laras bahasa adalah kesesuaian antara bahasa dan fungsi pemakaiannya. Laras bahasa
terkait langsung dengan selingkung bidang (home style) dan keilmuan, sehingga
dikenallah laras bahasa ilmiah dengan bagian sub-sublarasnya. Pembedaan di antara
sub-sublaras bahasa seperti dalam laras ilmiah itu dapat diamati dari:

(1) penggunaan kosakata dan bentukan kata;

(2) penyusunan frasa, klausa, dan kalimat;

(3) penggunaan istilah;

(4) pembentukan paragraf;

(5) penampilan hal teknis;

(6) penampilan kekhasan dalam wacana.

Berdasarkan konsepsi laras bahasa tersebut, laras bahasa ekonomi mempunyai sub-
sublaras bahasa manajemen, sublaras akuntansi, sublaras asuransi, sublaras
perpajakan, dll.

Karya ilmiah memiliki tujuan dan khalayak sasaran yang jelas. Meskipun demikian,
dalam karya ilmiah, aspek komunikasi tetap memegang peranan utama. Oleh
karenanya, berbagai kemungkinan untuk penyampaian yang komunikatif tetap harus
dipikirkan. Penulisan karya ilmiah bukan hanya untuk mengekspresikan pikiran
tetapiuntuk menyampaikan hasil penelitian. Kita harus dapat meyakinkan pembaca
akan kebenaran hasil yang kita temukan di lapangan. Dapat pula, kita menumbangkan
sebuah teori berdasarkan hasil penelitian kita. Jadi, sebuah karya ilmiah tetap harus
dapat secara jelas menyampaikan pesan kepada pembacanya.

Persyaratan bagi sebuah tulisan untuk dianggap sebagai karya ilmiah adalah sebagai
berikut (Brotowidjojo, 1988: 15-16):

 Karya ilmiah menyajikan fakta objektif secara sistematis atau menyajikan aplikasi
hukum alam pada situasi spesifik;
 Karya ilmiah ditulis secara cermat, tepat, benar, jujur, dan tidak bersifat terkaan. Dalam
pengertian, jujur atau terkandung sikap etik penulisan ilmiah, yakni penyebutan
rujukan dan kutipan yang jelas;
 Karya ilmiah disusun secara sistematis, setiap langkah direncanakan secara terkendali,
konseptual, dan procedural;
 Karya ilmiah menyajikan rangkaian sebab-akibat dengan pemahaman dan alasan yang
indusif yang mendorong pembaca untuk menarik kesimpulan.
 Karya ilmiah mengandung pandangan yang disertai dukungan dan pembuktian
berdasarkan suatu hipotesis;
 Karya ilmiah ditulis secara tulus. Hal itu berarti bahwa karya ilmiah hanya mengandung
kebenaran faktual sehingga tidak akan memancing pertanyaan yang bernada keraguan.
Penulis karya ilmiah tidak boleh memanipulasi fakta, tidak bersifat ambisius dan
berprasangka. Penyajiannya tidak boleh bersifat emotif;
 Karya ilmiah pada dasarnya bersifat ekspositoris. Jika pada akhirnya timbul kesan
argumentatif dan persuasif, hal itu ditimbulkan oleh penyusunan kerangka karangan
yang cermat. Dengan demikian, fakta dan hukum alam yang diterapkan pada situasi
spesifik itu, dibiarkan berbicara sendiri. Pembaca dibiarkan mengambil kesimpulan
sendiri berupa pembenaran dan keyakinan akan kebenaran karya ilmiah tersebut.

Berdasarkan uraian di atas, dari segi bahasa, dapat dikatakan bahwa karya ilmiah
memiliki tiga ciri, yaitu: (1) harus tepat dan tunggal makna, tidak remang nalar atau
mendua makna; (2) harus secara tepat mendefinisikan setiap istilah, sifat, dan
pengertian yang digunakan, agar tidak menimbulkan kerancuan atau keraguan; dan (3)
harus singkat, berlandaskan ekonomi bahasa.

Di samping persyaratan tersebut di atas, untuk dapat dipublikasikan sebagai karya


ilmiah ada ketentuan struktur atau format karangan yang kurang lebih bersifat baku.
Ketentuan itu merupakan kesepakatan sebagaimana tertuang
dalam International Standardization Organization (ISO). Publikasi yang tidak
mengindahkan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam ISO memberikan kesan
bahwa publikasi itu kurang valid sebagai terbitan ilmiah (Soehardjan, 1997: 10).

Struktur karya ilmiah (Soehardjan, 1997: 38) terdiri atas judul, nama penulis, abstrak,
pendahuluan, bahan dan metode, hasil dan pembahasan, kesimpulan, ucapan terima
kasih dan daftar pustaka. ISO 5966 (1982) menetapkan agar karya ilmiah terdiri atas
judul, nama penulis, abstrak, kata kunci, pendahuluan, inti tulisan (teori metode, hasil,
dan pembahasan), simpulan, dan usulan, ucapan terima kasih, dan daftar pustaka
(Soehardjan, 1997: 38).

2. Ragam Bahasa Keilmuan

Menurut Sunaryo, (1994: 1), bahwa dalam berkomunikasi, perlu diperhatikan kaidah-
kaidah berbahasa, baik yang berkaitan kebenaran kaidah pemakaian bahasa sesuai
dengan konteks situasi, kondisi, dan sosio budayanya. Pada saat kita berbahasa, baik
lisan maupun tulis, kita selalu memperhatikan faktor-faktor yang menentukan bentuk-
bentuk bahasa yang kita gunakan. Pada saat menulis, misalnya kita selalu
memperhatikan siapa pembaca tulisan kita , apa yang kita tulis, apa tujuan tulisan
itu, dan di media apa kita menulis. Hal yang perlu mendapat perhatian tersebut
merupakan faktor penentu dalam berkomunikasi.

Faktor-faktor penentu berkomunikasi meliputi: partisipan, topik, latar, tujuan, dan


saluran (lisan atau tulis). Partisipan tutur ini berupa P1 yaitu pembicara/penulis dan P2
yaitu pembaca atau pendengar tutur. Agar pesan yang disampaikan dapat
terkomunikasikan dengan baik, maka pembicara atau penulis perlu; (a) mengetahui
latar belakang pembaca/pendengar, dan (b) memperhatikan hubungan
antarpembicara/penulis dengan pendengar/pembaca.

Hal itu perlu diketahui agar pilihan bentuk bahasa yang digunakan tepat, di samping
agar pesannya dapat tersampaikan, agar tidak menyinggung perasaan, menyepelekan,
merendahkan dan sejenisnya.

Topik tutur berkenaan dengan masalah apa yang disampaikan penutur ke penanggap
penutur. Penyampaian topik tutur dapat dilakukan secara: (a) naratif (peristiwa,
perbuatan, cerita); (b) deskriptif (hal-hal faktual: keadaan, tempat barang, dsb.); (c)
ekspositoris; dan (d) argumentatif dan persuasif.

Ragam bahasa keilmuan mempunyai ciri: (1) cendekia yaitu bahasa Indonesia keilmuan
itu mampu digunakan untuk mengungkapkan hasil berpikir logis secara tepat; (2) lugas
dan jelas yaitu bahasa Indonesia keilmuan digunakan untuk menyampaikan
gagasan ilmiah secara jelas dan tepat; (3) gagasan sebagai pangkal tolak yaitu bahasa
Indonesia keilmuan digunakan dengan orientasi gagasan. Hal itu berarti penonjolan
diarahkan pada gagasan atau hal-hal yang diungkapkan, tidak pada penulis; dan (4)
formal dan objektif yaitu komunikasi ilmiah melalui teks ilmiah merupakan komunikasi
formal.

Hal ini berarti bahwa unsur-unsur bahasa Indonesia yang digunakan dalam bahasa
Indonesia keilmuan adalah unsur-unsur bahasa yang berlaku dalam situasi formal atau
resmi. Pada lapis kosakata dapat ditemukan kata-kata yang berciri formal dan kata-kata
yang berciri informal (Syafi’ie, 1992: 8-9).

Tabel 4

Contoh kata berciri formal dan informal

Kata berciri formal Kata berciri informal

korps korp

berkata bilang

karena lantaran
suku cadang onderdil

3. Laras Ilmiah Populer

Laras ilmiah populer merupakan sebuah tulisan yang bersifat ilmiah, tetapi
diungkapkan dengan cara penuturan yang mudah dimengerti. Karya ilmiah populer
tidak selalu merupakan hasil penelitian ilmiah. Tulisan itu dapat berupa petunjuk
teknis, pengalaman dan pengamatan biasa yang diuraikan dengan metode ilmiah. Jika
karya ilmiah harus selalu disajikan dalam ragam bahasa yang standar, karya ilmiah
popular dapat disajikan dalam ragam standar, semi standar dan nonstandar. Penyusun
karya ilmiah populer akan tetap disebut penulis dan bukan pengarang, karena
proses penyusunan karya ilmiah populer sama dengan proses penyusunan karya ilmiah.
Pembedaan terjadi hanya dalam cara penyajiannya.

Seperti diuraikan di atas, persyaratan yang berlaku bagi sebuah karya ilmiah berlaku
pula bagi karya ilmiah populer. Akan tetapi, dalam karya ilmiah populer terdapat pula
persoalan lain, seperti kritik terhadap pemerintah, analisis atas suatu peristiwa yang
sedang populer di tengah masyarakat, jalan keluar bagi persoalan yang sedang dihadapi
masyarakat, atau sekedar informasi baru yang ingin disampaikan kepada masyarakat.

Jika karya ilmiah memiliki struktur yang baku, tidak demikian halnya dengan karya
ilmiah populer. Oleh karena itu, karya ilmiah populer biasanya disajikan melalui media
surat kabar dan majalah, biasanya, format penyajiannya mengikuti format yang berlaku
dalam laras jurnalistik.

Pemilihan topik dan perumusan tema harus dilakukan dengan cermat. Tema itu
kemudian dikerjakan dengan jenis karangan tertentu, misalnya narasi, eksposisi,
argumentasi, atau deskripsi. Secara lebih rinci lagi, penulis dapat mengembangkan
gagasannya dalam berbagai bentuk pengembangan paragraf seperti pola pemecahan
masalah, pola kronologis, pola perbandingan, atau pola sudut pandang.

Tugas mandiri untuk topik “Ragam dan Laras Bahasa Indonesia”

Jawab pertanyaan berikut!

1. Apa yang menjadi latar belakang adanya ragam bahasa Indonesia? Jelaskan dengan
disertai contoh!
2. Coba Anda jelaskan beberapa faktor penyebab timbulnya keragaman bahasa!
3. Jelaskan keterkaitan linguistik dan nonlinguistik terhadap timbulnya ragam bahasa!
4. Permasalahan apa saja yang ditimbulkan dari adanya ragam bahasa Indonesia di
masyarakat? Jelaskan dengan disertai contoh dan solusi!
5. Jelaskan perbedaan laras bahasa ilmiah dengan laras bahasa sastra. Sertakan dengan
contoh!

DAFTAR PUSTAKA

Halliday, M. A. K. 1968. Language as Social Semiotic: the social interpretation of


language and meaning. London: Edward Arnold

Lubis, Winaria dan Dadi Waras Suhardjono. 2019. Bahasa Indonesia untuk Perguruan
Tinggi. Jakarta: Sahabat Pena. ISBN 978-623-7440-11-6

Tarigan Henry Guntur. & Djago Tarigan. 1990. Pengajaran Analisis Kesalahan


Berbahasa. Bandung: Angkasa

https://winarialubis.wordpress.com/2020/03/24/ragam-dan-laras-bahasa-indonesia/

Anda mungkin juga menyukai