Anda di halaman 1dari 17

MAKALA RAGAM DAN LARAS BAHASA INDONESIA

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah bahasa Indonesia
Dosen pengampu Nur aini M.pd

Disusun oleh
Ilham Wahyudin
(211140022)

PRODI HUKUM EKONOMI, FAKULTAS SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM


INSTITUT AGAMA ISLAM MA’ARIF NU (IAIMNU)
METRO LAMPUNG
TAHUN 2021
ILMU PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
RAGAM DAN LARAS BAHASA INDONESIA
Winarialubis winarialubis
2 tahun yang lalu
Iklan

RAGAM DAN LARAS BAHASA INDONESIA

Ragam & laras bahasa

Ragam atau variasi bahasa adalah bentuk atau wujud bahasa yang ditandai oleh ciri-ciri
linguistik tertentu, seperti fonologi, morfologi, dan sintaksis. Di samping ditandai oleh ciri-
ciri linguistik, timbulnya ragam bahasa yang juga ditandai oleh ciri-ciri nonlinguistik,
misalnya lokasi atau tempat penggunaannya, lingkungan sosial pemakaiannya, dan
lingkungan keprofesian pemakai bahasa yang bersangkutan.

Bahasa Indonesia yang amat luas wilayah pemakainya dan bermacam ragam penuturnya, mau
tidak mau, takluk pada hukum perubahan. Arah perubahan itu tidak selalu tak terelakkan
karena kita pun dapat mengubah bahasa secara berencana. Faktor sejarah dan perkembangan
masyarakat turut pula berpengaruh pada timbulnya sejumlah ragam bahasa Indonesia. Ragam
bahasa yang beraneka macam itu masih tetap disebut “bahasa Indonesia” karena masing-
masing berbagi teras atau inti sari bersama yang umum. Ciri dan kaidah tata bunyi,
pembentukan kata, dan tata makna umumnya sama. Itulah sebabnya kita masih dapat
memahami orang lain yang berbahasa Indonesia walaupun di samping itu kita dapat
mengenali beberapa perbedaan dalam perwujudan bahasa Indonesianya.
A. Ragam Bahasa Berdasarkan Media

Bila ditinjau dari media atau sarana yang digunakan untuk menghasilkan bahasa, ragam
bahasa dibagi menjadi: (1) ragam bahasa lisan; (2) ragam bahasa tulis.

Bahasa yang dihasilkan melalui alat ucap (organ of speech) dengan fonem sebagai unsur
dasar dinamakan ragam bahasa lisan, sedangkan bahasa yang dihasilkan dengan
memanfaatkan tulisan dengan huruf sebagai unsur dasarnya, dinamakan ragam bahasa tulis.
Jadi, dalam ragam bahasa lisan kita berurusan dengan lafal, dalam ragam bahasa tulis kita
berurusan dengan tata cara penulisan atau ejaan. Selain itu aspek tata bahasa dan kosa kata
dalam kedua jenis ragam itu memiliki hubungan yang erat. Ragam bahasa tulis yang unsur
dasarnya huruf, melambangkan ragam bahasa lisan. Oleh karena itu, sering timbul kesan
bahwa ragam bahasa lisan dan tulis itu sama. Padahal, kedua jenis ragam bahasa itu
berkembang menjadi sistem bahasa yang memiliki seperangkat kaidah yang tidak identik
benar walau ada pula kesamaannya. Meskipun ada keberimpitan aspek tata bahasa dan kosa
kata, masing-masing memiliki seperangkat kaidah yang berbeda satu dari yang lain.

Contoh:

Ragam bahasa lisan.


Zahra sedang baca surat kabar.
Aqis mau nulis
Tapi kau tak boleh nolak lamaran itu.
Mereka tinggal di Mampang Prapatan.
Jalan layang itu untuk mengatasi kemacetan lalu lintas.
Saya akan tanyakan soal itu .
Ragam bahasa tulis.
Zahra sedang membaca surat kabar.
Aqis mau menulis
Namun, engkau tidak boleh menolak lamaran itu.
Mereka bertempat tinggal di Mampang Prapatan.
Jalan layang itu dibangun untuk mengatasi kemacetan lalu lintas.
Akan saya tanyakan soal itu.
Perbedaan ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulis dapat dilihat pada berikut ini.
Tabel 1

Perbedaan ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulis

No. Ragam bahasa lisan Ragam bahasa tulis


1 Tidak baku Ragam ini menekankan penggunaan ragam bahasa baku, ejaan yang
baku (sesuai PUEBI)
2 Kosakata lebih menekankan pilihan kata yang tidak baku.
Contoh:

a. Bini Pak Camat bina ibu-ibu bikin kerajinan dari bambu.

b. Fadhil sedang bikin skripsi.

Kosakata menekankan pilihan kata baku.


Contoh:

a. Istri Pak Camat membina ibu-ibu memproduksi kerajinan tangan dari bambu.

b. Fadhil sedang membuat skripsi.

3 Bentuk kata bahasa lisan cenderung tidak menggunakan imbuhan (awalan, akhiran).
Contoh:

a. Fadhil sedang tulis skripsi.

b. Zahra sedang masak nasi.


Bentuk kata bahasa tulis berimbuhan.
Contoh:

a. Fadhil sedang menulis skripsi.

b. Zahra sedang memasak nasi.

4 Kalimat cenderung tanpa unsur yang lengkap (tanpa subjek, predikat, atau objek).
Kejelasan kalimat dipengaruhi oleh unsur-unsur situasi ketika kalimat tersebut diucapkan. Isi
kalimat dapat dimengerti tetapi struktur kalimatnya salah. Misalnya, berupa anak kalimat,
gabungan anak kalimat, tanpa subjek, dan tanpa predikat (objek).
Contoh:

a. Di sini akan membicarakan pertumbuhan ekonomi 2019.

b. Untuk TKI yang akan dikirim ke luar negeri harus memiliki paspor.

c. Di Jakarta memiliki Pusat Bahasa.

Kalimat dalam ragam bahasa tulis lengkap secara gramatikal.


Contoh:

a. Dalam seminar ini kita akan mengkaji pertumbuhan ekonomi 2019.

b. TKI yang dikirim ke luar negeri harus memiliki paspor.

c. Jakarta memiliki Pusat Bahasa.

Ragam bahasa lisan adalah bahasa yang diujarkan oleh pemakai bahasa. Kita dapat
menemukan ragam lisan yang standar, misalnya pada saat orang berpidato atau memberi
sambutan, dalam situasi perkuliahan, ceramah; dan ragam lisan yang nonstandar, misalnya
dalam percakapan antarteman, di pasar, atau dalam kesempatan nonformal lainnya. Ragam
bahasa tulis adalah bahasa yang ditulis atau yang tercetak. Ragam tulis pun dapat berupa
ragam tulis yang standar maupun nonstandar. Ragam tulis yang standar kita temukan dalam
buku-buku pelajaran, teks, majalah, surat kabar, poster, iklan. Kita juga dapat menemukan
ragam tulis nonstandar dalam majalah remaja, iklan, atau poster.

B. Ragam Bahasa Berdasarkan Latar Belakang Penutur

Berdasarkan latar belakang penutur, kita mengenal ragam daerah atau dialek yang berkaitan
dengan asal penutur, ragam terpelajar dan tak terpelajar yang berkaitan dengan tingkat
pendidikan penutur, serta ragam resmi dan tak resmi berkaitan dengan sikap penutur.

Ragam Dialek atau Ragam Daerah


Ragam dialek atau ragam daerah akan mencerminkan asal penutur. Beberapa kelompok suku
bangsa di Indonesia memiliki kekhasan berujar. Orang Batak biasanya memiliki kesulitan
untuk mengujarkan bunyi e pepet atau [∂]. Mereka melafalkan bunyi e pepet atau [∂] menjadi
bunyi e taling atau [ӗ]. Contoh: kata /b∂b∂rapa/ dilafalkan menjadi /bӗbӗrapa/, kata /b∂k∂rja/
dilafalkan menjadi /bӗkӗrja/. Lain halnya dengan orang Jawa, mereka sering mengucapkan
kata yang berawalan “b” seperti Bandung, Bali, dan Bantul akan dilafalkan dengan
penambahan bunyi sengau “m” sehingga terdengar di telinga ucapan /mBandung/, /mBali/,
dan /mBantul/. Bunyi-bunyi berat seperti bunyi [b], [d], dan [j] akan terdengar diucapkan
/bh/, /dh/, dan /jh/. Contoh: /bhawa/, /dhudhuk/, dan /jhadhi/.

Ragam dialek juga dapat dikenali melalui penambahan kata tertentu yang biasa dikenal dalam
bahasa asal mereka. Penambahan kata “orang” atau “sendiri” pada satu ujaran, misalnya
“Orang saya lagi kerja diganggu”, “Orang dia baru datang”. Penambahan kata “orang” pada
ujaran itu alih-alih kata “wong” dalam bahasa Jawa. Gejala ini memang tampak pada bahasa
Indonesia dialek Jawa.

Ragam Terpelajar dan Tak Terpelajar


Ragam terpelajar dan tak terpelajar didasarkan pada tingkat pendidikan penutur. Ragam
terpelajar dibedakan dengan ragam tak terpelajar. Penutur yang memiliki tingkat pendidikan
lebih tinggi relatif akan lebih terlatih dalam berbahasa dibandingkan dengan penutur yang
tingkat pendidikannya lebih rendah. Hal ini disebabkan besarnya peluang penutur pendidikan
lebih tinggi untuk belajar dan berlatih bahasa.

Terpelajar tidaknya penutur itu tampak dalam ujaran dan strukturnya. Ragam terpelajar,
antara lain dapat dilihat dari terpenuhinya kaidah pemakaian bahasa baik yang menyangkut
struktur yang benar maupun ujaran atau lafal yang benar. Ragam terpelajar, misalnya tampak
pada cara ujaran yang mencerminkan kelengkapan bunyi bahasa yang didaftarkan dalam tata
bunyi sebagaimana yang tertuang dalam Pedoman Umum Ejaan yang Disempurnakan.

Untuk lebih jelasnya, perhatikan tabel berikut.

Tabel 2

Cara Pelafalan Kata antara Ragam Terpelajar dan Ragam Tak Terpelajar

Ragam Terpelajar Ragam Tak Terpelajar


/mufakat/ /mupakat/
/tafsir/ /tapsir/
/fasilitas/ /pasilitas/
/vokal/ /pokal/
/pabrik/ /tabrik/
/fungsi/ /pungsi/
/kompleks/ /komplek/
/vitamin ce/ /pitamin se/

Bentuk kata juga dapat dijadikan ciri ragam terpelajar dan tak terpelajar. Contohnya terlihat
pada tabel.

Tabel 3

Bentuk Kata antara Ragam Terpelajar dan Ragam Tak Terpelajar

Ragam Terpelajar Ragam Tak Terpelajar


Mencari nyari
Membukakan bukain
Menyetor nyetor
Membawakan bawain
Dari contoh di atas dapat dilihat perbedaan, bahwa ragam terpelajar lebih terpelihara dalam
hal kaidah, sedangkan ragam tak terpelajar kurang memperhatikan kaidah, baik menyangkut
pilihan kata dan bentuk kata, maupun kelengkapan kalimat dan kelengkapan pelafalannya.

Dalam penggunaan ragam bahasa baku tulis makna kalimat yang diungkapkannya tidak
ditunjang oleh situasi pemakaian, sedangkan ragam bahasa baku lisan makna kalimat yang
diungkapkannya ditunjang oleh situasi pemakaian sehingga kemungkinan besar terjadi
pelesapan unsur kalimat. Oleh karena itu, dalam penggunaan ragam bahasa baku tulis
diperlukan kecermatan dan ketepatan di dalam pemilihan kata, penerapan kaidah ejaan,
struktur bentuk kata dan struktur kalimat, serta kelengkapan unsur-unsur bahasa di dalam
struktur kalimat.

Ragam Resmi dan Ragam Tak Resmi


Ragam resmi adalah bahasa yang digunakan dalam situasi resmi, seperti pertemuan-
pertemuan, peraturan-peraturan, dan undangan-undangan. Ciri-ciri ragam bahasa resmi: 1)
menggunakan unsur gramatikal secara eksplisit dan konsisten; 2) menggunakan imbuhan
secara lengkap; 3) menggunakan kata ganti resmi; 4) menggunakan kata baku; 5)
menggunakan EYD/EBI; dan 6) menghindari unsur kedaerahan.

Ragam tak resmi adalah bahasa yang digunakan dalam situasi tak resmi, seperti dalam
pergaulan, dan percakapan pribadi, seperti dalam pergaulan, dan percakapan pribadi (Keraf,
1991: 6). Ciri- ciri ragam bahasa tidak resmi kebalikan dari ragam bahasa resmi. Ragam
bahasa tidak resmi ini digunakan ketika kita berada dalam situasi yang tidak normal. Ragam
bahasa resmi atau tak resmi ditentukan oleh tingkat keformalan bahasa yang digunakan.
Semakin tinggi tingkat kebakuan suatu bahasa, berarti semakin resmi bahas yang digunakan.
Sebaliknya semakin rendah pula tingkat keformalannya, makin rendah pula tingkat kebakuan
bahasa yang digunakan (Sugono, 1998:12-13). Contoh: Bahasa yang digunakan oleh
bawahan kepada atasan adalah bahas resmi sedangkan bahasa yang digunakan oleh anak
muda adalah ragam bahasa santai/tak resmi.

Ragam Bahasa Standar, Semi Standar, dan Nonstandard


Bahasa ragam standar memiliki sifat kemantapan berupa kaidah dan aturan tetap. Akan tetapi,
kemantapan itu tidak bersifat kaku. Ragam standar tetap luwes sehingga memungkinkan
perubahan di bidang kosa kata, peristilahan, serta mengizinkan perkembangan berbagai jenis
laras yang diperlukan dalam kehidupan modern (Alwi, 1998: 14).
Pembedaan antara ragam standar, nonstandar, dan semi standar dilakukan berdasarkan: (a)
topik yang sedang dibahas; (b) hubungan antarpembicara; (c) medium yang digunakan; (d)
lingkungan; atau (e) situasi saat pembicaraan terjadi.

Ciri yang membedakan antara ragam standar, semi standar dan nonstandar adalah: (a)
penggunaan kata sapaan dan kata ganti; (b) penggunaan kata tertentu; (c) penggunaan
imbuhan; (d) penggunaan kata sambung (konjungsi); dan (e) penggunaan fungsi yang
lengkap.

Penggunaan kata sapaan dan kata ganti merupakan ciri pembeda ragam standar dan ragam
nonstandar yang sangat menonjol. Kepada orang yang kita hormati, kita akan cenderung
menyapa dengan menggunakan kata Bapak, Ibu, Saudara, Anda. Jika kita menyebut diri kita,
dalam ragam standar kita akan menggunakan kata saya atau aku. Dalam ragam nonstandar,
kita akan menggunakan kata gue. Penggunaan kata tertentu merupakan ciri lain yang sangat
menandai perbedaan ragam standar dan ragam nonstandar. Dalam ragam standar, digunakan
kata-kata yang merupakan bentuk baku atau istilah dan bidang ilmu tertentu. Penggunaan
imbuhan adalah ciri lain. Dalam ragam standar, kita harus menggunakan imbuhan secara jelas
dan teliti. Penggunaan kata sambung (konjungsi) dan kata depan (preposisi) merupakan ciri
pembeda lain. Dalam ragam nonstandar, sering kali kata sambung dan kata depan
dihilangkan. Kadang kala, kenyataan ini mengganggu kejelasan kalimat.

Contoh:

(1) Ayah mengatakan, kita akan pergi besok.

(1a) Ayah mengatakan bahwa kita akan pergi besok.

Pada contoh (1) merupakan ragam semi standar, dan pada contoh (1a) merupakan ragam
standar.

Contoh:

(2) Mereka bekerja keras menyelesaikan pekerjaan itu.

(2a) Mereka bekerja keras untuk menyelesaikan pekerjaan itu.


Pada contoh (2) merupakan ragam semi standar, dan pada contoh (2a) merupakan ragam
standar.

Kalimat (1) kehilangan kata sambung bahwa, sedangkan kalimat (2) kehilangan kata depan
untuk. Dalam laras jurnalistik kedua kata ini sering dihilangkan. Hal ini menunjukkan bahwa
laras jurnalistik termasuk ragam semi standar.

Kelengkapan fungsi merupakan ciri terakhir yang membedakan ragam standar dan
nonstandar. Artinya, ada bagian dalam kalimat yang dihilangkan karena situasi sudah
dianggap cukup mendukung pengertian. Dalam kalimat-kalimat yang nonstandar itu, predikat
kalimat dihilangkan. Seringkali pelesapan fungsi terjadi jika kita menjawab pertanyaan orang.
Misalnya, “Hai, Ida, mau ke mana?” “Pulang.” Sering kali juga kita menjawab “tau” untuk
menyatakan ‘tidak tahu’. Pembedaan lain yang juga muncul tetapi tidak disebutkan di atas
adalah intonasi. Masalahnya, pembeda intonasi ini hanya ditemukan dalam ragam lisan dan
tidak terwujud dalam ragam tulis.

C. Laras Bahasa

Laras bahasa adalah ragam bahasa yang digunakan untuk suatu tujuan atau pada konteks
sosial tertentu. Banyak sekali laras bahasa yang dapat diidentifikasi tanpa batasan yang jelas.
Definisi laras bahasa menurut beberapa ahli linguistik, diantaranya Ure dan Ellis (1977)
menganggap laras bahasa sebagai pola bahasa yang lazim digunakan mengikuti keadaan
tertentu. Hal ini bermakna, sesuatu situasi akan menentukan bentuk bahasa yang digunakan
oleh pengguna bahasa itu dan pemilihannya berdasarkan konvensi sosial masing-masing.
Menurut Reid (1956) menyatakan seorang penutur dalam situasi berbeda-beda akan
menggunakan laras mengikut situasi sosial yang berlainan yaitu istilah teknik untuk
menyatakan perlakuan bahasa (linguistic behavior) seseorang individu.

Halliday (1968) menyebut bahwa laras sebagai variasi bahasa yang berlainan berdasarkan
fungsi. Laras akan senantiasa berubah mengikut situasi. Dia telah membuat penjenisan laras
kepada tiga kategori yaitu: (1) tajuk wacana (field of discourse), (2) cara penyampaian
wacana (mode of discourse); dan (3) gaya wacana (style of discourse). Sedang Joos (1961)
membagi lima laras bahasa menurut derajat keformalannya, yaitu:

Frozen (beku). Ragam beku digunakan pada situasi hikmat dan sangat sedikit memungkinkan
keleluasaan seperti pada kitab suci, putusan pengadilan, dan upacara pernikahan.
Formal (resmi). Ragam resmi digunakan dalam komunikasi resmi seperti pada pidato resmi,
rapat resmi, dan jurnal ilmiah.
Consultative(konsultatif). Ragam konsultatif digunakan dalam pembicaraan yang terpusat
pada transaksi atau pertukaran informasi seperti dalam percakapan di sekolah dan di pasar.
Casual (santai). Ragam santai digunakan dalam suasana tidak resmi dan dapat digunakan oleh
orang yang belum tentu saling kenal dengan akrab.
Intimate (akrab). Ragam akrab digunakan di antara orang yang memiliki hubungan yang
sangat akrab dan intim.
Menurut Nik Safiah Karim (1989), kajian terhadap laras bahasa perlu mempertimbangkan
dua factor, yaitu: (1) ciri keperihalan peristiwa bahasa; dan (2) ciri linguistik yang wujud. Ciri
keperihalan pula dibagidua aspek, yaitu situasi luaran dan situasi persekitaran.

Situasi luaran adalah latar belakang sosial dan kebudayaan sesuatu masyarakat bahasa yang
merangkumi struktur sosial dan keseluruhan cara hidup yang menentukan perlakuan setiap
anggota masyarakat. Contohnya, apabila kita mengkaji laras bahasa masyarakat Melayu
lama, kita perlu mengaitkan dengan situasi istana, stratifikasi sosial, tradisi sastra lisan dan
aspek-aspek lain anggota masyarakat zaman itu.

Situasi persekitaran pula meliputi aspek-aspek yang terlibat secara langsung dalam
penggunaan bahasa. Terdapat empat situasi persekitaran yang menyebabkan wujudnya
bahasa yang berlainan atau laras. Situasi yang dimaksudkan ialah cara penyampaian,
perhubungan sosial dan peribadi, bahan yang diperkatakan, dan fungsi-fungsi sosial
perlakuan bahasa.

Pada saat digunakan sebagai alat komunikasi, bahasa masuk dalam berbagai laras sesuai
dengan fungsi pemakaiannya. Jadi, laras bahasa adalah kesesuaian antara bahasa dan
pemakaiannya. Dalam hal ini kita mengenal iklan, laras ilmiah, laras ilmiah populer, laras
feature, laras komik, laras sastra, yang masih dapat dibagi atas laras cerpen, laras puisi, laras
novel, dan sebagainya.

Setiap laras memiliki cirinya sendiri dan memiliki gaya tersendiri. Setiap laras dapat
disampaikan secara lisan atau tulis dan dalam bentuk standar, semi standar, atau nonstandar.
Laras bahasa yang akan kita bahas dalam kesempatan ini adalah laras ilmiah.

Laras llmiah
Dalam uraian di atas dikatakan bahwa setiap laras dapat disampaikan dalam ragam standar,
semi standar, atau nonstandar. Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan laras ilmiah. Laras
ilmiah harus selalu menggunakan ragam standar. Sebuah karya tulis ilmiah merupakan hasil
rangkaian gagasan yang merupakan hasil pemikiran, fakta, peristiwa, gejala, dan pendapat.
Jadi, seorang penulis karya ilmiah menyusun kembali pelbagai bahan informasi menjadi
sebuah karangan yang utuh. Oleh sebab itu, penyusun atau pembuat karya ilmiah tidak
disebut pengarang melainkan disebut penulis (Soeseno, 1981: 1).

Dalam uraian di atas dibedakan antara pengertian realitas dan fakta. Seorang pengarang akan
merangkaikan realita kehidupan dalam sebuah cerita, sedangkan seorang penulis akan
merangkaikan berbagai fakta dalam sebuah tulisan. Realistis berarti bahwa peristiwa yang
diceritakan merupakan hal yang benar dan dapat dengan mudah dibuktikan kebenarannya,
tetapi tidak secara langsung dialami oleh penulis. Data realistis dapat berasal dan dokumen,
surat keterangan, press release, surat kabar atau sumber bacaan lain, bahkan suatu peristiwa
faktual. Faktual berarti bahwa rangkaian peristiwa atau percobaan yang diceritakan benar-
benar dilihat, dirasakan, dan dialami oleh penulis (Marahimin, 1994: 378).

Laras bahasa adalah kesesuaian antara bahasa dan fungsi pemakaiannya. Laras bahasa terkait
langsung dengan selingkung bidang (home style) dan keilmuan, sehingga dikenallah laras
bahasa ilmiah dengan bagian sub-sublarasnya. Pembedaan di antara sub-sublaras bahasa
seperti dalam laras ilmiah itu dapat diamati dari:

(1) Penggunaan kosakata dan bentukan kata;

(2) Penyusunan frasa, klausa, dan kalimat;

(3) Penggunaan istilah;

(4) Pembentukan paragraf;

(5) Penampilan hal teknis;

(6) Penampilan kekhasan dalam wacana.

Berdasarkan konsepsi laras bahasa tersebut, laras bahasa ekonomi mempunyai sub-sublaras
bahasa manajemen, sublaras akuntansi, sublaras asuransi, sublaras perpajakan, dll.
Karya ilmiah memiliki tujuan dan khalayak sasaran yang jelas. Meskipun demikian, dalam
karya ilmiah, aspek komunikasi tetap memegang peranan utama. Oleh karenanya, berbagai
kemungkinan untuk penyampaian yang komunikatif tetap harus dipikirkan. Penulisan karya
ilmiah bukan hanya untuk mengekspresikan pikiran tetapiuntuk menyampaikan hasil
penelitian. Kita harus dapat meyakinkan pembaca akan kebenaran hasil yang kita temukan di
lapangan. Dapat pula, kita menumbangkan sebuah teori berdasarkan hasil penelitian kita.
Jadi, sebuah karya ilmiah tetap harus dapat secara jelas menyampaikan pesan kepada
pembacanya.

Persyaratan bagi sebuah tulisan untuk dianggap sebagai karya ilmiah adalah sebagai berikut
(Brotowidjojo, 1988: 15-16):

Karya ilmiah menyajikan fakta objektif secara sistematis atau menyajikan aplikasi hukum
alam pada situasi spesifik;
Karya ilmiah ditulis secara cermat, tepat, benar, jujur, dan tidak bersifat terkaan. Dalam
pengertian, jujur atau terkandung sikap etik penulisan ilmiah, yakni penyebutan rujukan dan
kutipan yang jelas;
Karya ilmiah disusun secara sistematis, setiap langkah direncanakan secara terkendali,
konseptual, dan procedural;
Karya ilmiah menyajikan rangkaian sebab-akibat dengan pemahaman dan alasan yang indusif
yang mendorong pembaca untuk menarik kesimpulan.
Karya ilmiah mengandung pandangan yang disertai dukungan dan pembuktian berdasarkan
suatu hipotesis;
Karya ilmiah ditulis secara tulus. Hal itu berarti bahwa karya ilmiah hanya mengandung
kebenaran faktual sehingga tidak akan memancing pertanyaan yang bernada keraguan.
Penulis karya ilmiah tidak boleh memanipulasi fakta, tidak bersifat ambisius dan
berprasangka. Penyajiannya tidak boleh bersifat emotif;
Karya ilmiah pada dasarnya bersifat ekspositoris. Jika pada akhirnya timbul kesan
argumentatif dan persuasif, hal itu ditimbulkan oleh penyusunan kerangka karangan yang
cermat. Dengan demikian, fakta dan hukum alam yang diterapkan pada situasi spesifik itu,
dibiarkan berbicara sendiri. Pembaca dibiarkan mengambil kesimpulan sendiri berupa
pembenaran dan keyakinan akan kebenaran karya ilmiah tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, dari segi bahasa, dapat dikatakan bahwa karya ilmiah memiliki
tiga ciri, yaitu: (1) harus tepat dan tunggal makna, tidak remang nalar atau mendua makna;
(2) harus secara tepat mendefinisikan setiap istilah, sifat, dan pengertian yang digunakan,
agar tidak menimbulkan kerancuan atau keraguan; dan (3) harus singkat, berlandaskan
ekonomi bahasa.
Di samping persyaratan tersebut di atas, untuk dapat dipublikasikan sebagai karya ilmiah ada
ketentuan struktur atau format karangan yang kurang lebih bersifat baku. Ketentuan itu
merupakan kesepakatan sebagaimana tertuang dalam International Standardization
Organization (ISO). Publikasi yang tidak mengindahkan ketentuan-ketentuan yang tercantum
dalam ISO memberikan kesan bahwa publikasi itu kurang valid sebagai terbitan ilmiah
(Soehardjan, 1997: 10).

Struktur karya ilmiah (Soehardjan, 1997: 38) terdiri atas judul, nama penulis, abstrak,
pendahuluan, bahan dan metode, hasil dan pembahasan, kesimpulan, ucapan terima kasih dan
daftar pustaka. ISO 5966 (1982) menetapkan agar karya ilmiah terdiri atas judul, nama
penulis, abstrak, kata kunci, pendahuluan, inti tulisan (teori metode, hasil, dan pembahasan),
simpulan, dan usulan, ucapan terima kasih, dan daftar pustaka (Soehardjan, 1997: 38).

Ragam Bahasa Keilmuan


Menurut Sunaryo, (1994: 1), bahwa dalam berkomunikasi, perlu diperhatikan kaidah-kaidah
berbahasa, baik yang berkaitan kebenaran kaidah pemakaian bahasa sesuai dengan konteks
situasi, kondisi, dan sosio budayanya. Pada saat kita berbahasa, baik lisan maupun tulis, kita
selalu memperhatikan faktor-faktor yang menentukan bentuk-bentuk bahasa yang kita
gunakan. Pada saat menulis, misalnya kita selalu memperhatikan siapa pembaca tulisan kita ,
apa yang kita tulis, apa tujuan tulisan itu, dan di media apa kita menulis. Hal yang perlu
mendapat perhatian tersebut merupakan faktor penentu dalam berkomunikasi.

Faktor-faktor penentu berkomunikasi meliputi: partisipan, topik, latar, tujuan, dan saluran
(lisan atau tulis). Partisipan tutur ini berupa P1 yaitu pembicara/penulis dan P2 yaitu pembaca
atau pendengar tutur. Agar pesan yang disampaikan dapat terkomunikasikan dengan baik,
maka pembicara atau penulis perlu; (a) mengetahui latar belakang pembaca/pendengar, dan
(b) memperhatikan hubungan antarpembicara/penulis dengan pendengar/pembaca.

Hal itu perlu diketahui agar pilihan bentuk bahasa yang digunakan tepat, di samping agar
pesannya dapat tersampaikan, agar tidak menyinggung perasaan, menyepelekan,
merendahkan dan sejenisnya.

Topik tutur berkenaan dengan masalah apa yang disampaikan penutur ke penanggap penutur.
Penyampaian topik tutur dapat dilakukan secara: (a) naratif (peristiwa, perbuatan, cerita); (b)
deskriptif (hal-hal faktual: keadaan, tempat barang, dsb.); (c) ekspositoris; dan (d)
argumentatif dan persuasif.

Ragam bahasa keilmuan mempunyai ciri: (1) cendekia yaitu bahasa Indonesia keilmuan itu
mampu digunakan untuk mengungkapkan hasil berpikir logis secara tepat; (2) lugas dan jelas
yaitu bahasa Indonesia keilmuan digunakan untuk menyampaikan gagasan ilmiah secara jelas
dan tepat; (3) gagasan sebagai pangkal tolak yaitu bahasa Indonesia keilmuan digunakan
dengan orientasi gagasan. Hal itu berarti penonjolan diarahkan pada gagasan atau hal-hal
yang diungkapkan, tidak pada penulis; dan (4) formal dan objektif yaitu komunikasi ilmiah
melalui teks ilmiah merupakan komunikasi formal.

Hal ini berarti bahwa unsur-unsur bahasa Indonesia yang digunakan dalam bahasa Indonesia
keilmuan adalah unsur-unsur bahasa yang berlaku dalam situasi formal atau resmi. Pada lapis
kosakata dapat ditemukan kata-kata yang berciri formal dan kata-kata yang berciri informal
(Syafi’ie, 1992: 8-9).

Tabel 4

Contoh kata berciri formal dan informal

Kata berciri formal Kata berciri informal


Korps korp
Berkata bilang
Karena lantaran
Suku cadang onderdil
Laras Ilmiah Populer
Laras ilmiah populer merupakan sebuah tulisan yang bersifat ilmiah, tetapi diungkapkan
dengan cara penuturan yang mudah dimengerti. Karya ilmiah populer tidak selalu merupakan
hasil penelitian ilmiah. Tulisan itu dapat berupa petunjuk teknis, pengalaman dan pengamatan
biasa yang diuraikan dengan metode ilmiah. Jika karya ilmiah harus selalu disajikan dalam
ragam bahasa yang standar, karya ilmiah popular dapat disajikan dalam ragam standar, semi
standar dan nonstandar. Penyusun karya ilmiah populer akan tetap disebut penulis dan bukan
pengarang, karena proses penyusunan karya ilmiah populer sama dengan proses penyusunan
karya ilmiah. Pembedaan terjadi hanya dalam cara penyajiannya.

Seperti diuraikan di atas, persyaratan yang berlaku bagi sebuah karya ilmiah berlaku pula
bagi karya ilmiah populer. Akan tetapi, dalam karya ilmiah populer terdapat pula persoalan
lain, seperti kritik terhadap pemerintah, analisis atas suatu peristiwa yang sedang populer di
tengah masyarakat, jalan keluar bagi persoalan yang sedang dihadapi masyarakat, atau
sekedar informasi baru yang ingin disampaikan kepada masyarakat.
Jika karya ilmiah memiliki struktur yang baku, tidak demikian halnya dengan karya ilmiah
populer. Oleh karena itu, karya ilmiah populer biasanya disajikan melalui media surat kabar
dan majalah, biasanya, format penyajiannya mengikuti format yang berlaku dalam laras
jurnalistik.

Pemilihan topik dan perumusan tema harus dilakukan dengan cermat. Tema itu kemudian
dikerjakan dengan jenis karangan tertentu, misalnya narasi, eksposisi, argumentasi, atau
deskripsi. Secara lebih rinci lagi, penulis dapat mengembangkan gagasannya dalam berbagai
bentuk pengembangan paragraf seperti pola pemecahan masalah, pola kronologis, pola
perbandingan, atau pola sudut pandang.

Tugas mandiri untuk topik “Ragam dan Laras Bahasa Indonesia”

Jawab pertanyaan berikut!

Apa yang menjadi latar belakang adanya ragam bahasa Indonesia? Jelaskan dengan disertai
contoh!
Coba Anda jelaskan beberapa faktor penyebab timbulnya keragaman bahasa!
Jelaskan keterkaitan linguistik dan nonlinguistik terhadap timbulnya ragam bahasa!
Permasalahan apa saja yang ditimbulkan dari adanya ragam bahasa Indonesia di masyarakat?
Jelaskan dengan disertai contoh dan solusi!
Jelaskan perbedaan laras bahasa ilmiah dengan laras bahasa sastra. Sertakan dengan contoh!
DAFTAR PUSTAKA

Halliday, M. A. K. 1968. Language as Social Semiotic: the social interpretation of language


and meaning. London: Edward Arnold

Lubis, Winaria dan Dadi Waras Suhardjono. 2019. Bahasa Indonesia untuk Perguruan
Tinggi. Jakarta: Sahabat Pena. ISBN 978-623-7440-11-6

Tarigan Henry Guntur. & Djago Tarigan. 1990. Pengajaran Analisis Kesalahan Berbahasa.
Bandung: Angkasa
Iklan

Share this:
Terkait
FUNGSI DAN KEDUDUKAN BAHASA INDONESIA
Oktober 16, 2019
KARAKTERISTIK BAHASA INDONESIA
September 4, 2020
BAHASA DAN PIKIRAN
Maret 26, 2020
Kategori: Uncategorized
Berikan Komentar
ILMU PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
Kembali ke atas
Iklan

Anda mungkin juga menyukai