BAHASA INDONESIA
RAGAM DAN
LARAS BAHASA
INDONESIA
Fakultas Program Studi Modul Kode MK Disusun Oleh
EKONOMI AKUNTANSI
03 U001700008 Winaria Lubis, M.Pd.
Abstrak Kompetensi
1
RAGAM BAHASA INDONESIA
Ragam atau variasi bahasa adalah bentuk atau wujud bahasa yang ditandai oleh ciri-
ciri linguistik tertentu, seperti fonologi, morfologi, dan sintaksis. Di samping ditandai oleh ciri-
ciri linguistik, timbulnya ragam bahasa yang juga ditandai oleh ciri-ciri nonlinguistik, misalnya
lokasi atau tempat penggunaannya, lingkungan sosial pemakaiannya, dan lingkungan
keprofesian pemakai bahasa yang bersangkutan.
Bahasa Indonesia yang amat luas wilayah pemakainya dan bermacam ragam
penuturnya, mau tidak mau, takluk pada hukum perubahan. Arah perubahan itu tidak selalu
tak terelakkan karena kita pun dapat mengubah bahasa secara berencana. Faktor sejarah
dan perkembangan masyarakat turut pula berpengaruh pada timbulnya sejumlah ragam
bahasa Indonesia. Ragam bahasa yang beraneka macam itu masih tetap disebut “bahasa
Indonesia” karena masing-masing berbagi teras atau inti sari bersama yang umum. Ciri dan
kaidah tata bunyi, pembentukan kata, dan tata makna umumnya sama. Itulah sebabnya kita
masih dapat memahami orang lain yang berbahasa Indonesia walaupun di samping itu kita
dapat mengenali beberapa perbedaan dalam perwujudan bahasa Indonesianya.
Bila ditinjau dari media atau sarana yang digunakan untuk menghasilkan bahasa,
ragam bahasa dibagi menjadi: (1) ragam bahasa lisan; (2) ragam bahasa tulis.
Bahasa yang dihasilkan melalui alat ucap (organ of speech) dengan fonem sebagai
unsur dasar dinamakan ragam bahasa lisan, sedangkan bahasa yang dihasilkan dengan
memanfaatkan tulisan dengan huruf sebagai unsur dasarnya, dinamakan ragam bahasa
tulis. Jadi, dalam ragam bahasa lisan kita berurusan dengan lafal, dalam ragam bahasa tulis
kita berurusan dengan tata cara penulisan atau ejaan. Selain itu aspek tata bahasa dan
kosa kata dalam kedua jenis ragam itu memiliki hubungan yang erat. Ragam bahasa tulis
yang unsur dasarnya huruf, melambangkan ragam bahasa lisan. Oleh karena itu, sering
timbul kesan bahwa ragam bahasa lisan dan tulis itu sama. Padahal, kedua jenis ragam
bahasa itu berkembang menjadi sistem bahasa yang memiliki seperangkat kaidah yang
tidak identik benar walau ada pula kesamaannya. Meskipun ada keberimpitan aspek tata
Contoh:
Perbedaan ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulis dapat dilihat pada berikut ini.
Tabel 3.1
Perbedaan ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulis
3 Bentuk kata bahasa lisan cenderung Bentuk kata bahasa tulis berimbuhan.
tidak menggunakan imbuhan
Contoh:
(awalan, akhiran).
a. Fadhil sedang menulis skripsi.
Contoh:
b. Zahra sedang memasak nasi.
a. Fadhil sedang tulis skripsi.
4 Kalimat cenderung tanpa unsur yang Kalimat dalam ragam bahasa tulis
lengkap (tanpa subjek, predikat, atau lengkap secara gramatikal.
objek). Kejelasan kalimat dipengaruhi
Contoh:
oleh unsur-unsur situasi ketika
kalimat tersebut diucapkan. Isi a. Dalam seminar ini kita akan
kalimat dapat dimengerti tetapi mengkaji pertumbuhan ekonomi
struktur kalimatnya salah. Misalnya, 2019.
berupa anak kalimat, gabungan anak
b. TKI yang dikirim ke luar negeri
kalimat, tanpa subjek, dan tanpa
harus memiliki paspor.
predikat (objek).
c. Jakarta memiliki Pusat Bahasa.
Contoh:
Berdasarkan latar belakang penutur, kita mengenal ragam daerah atau dialek yang
berkaitan dengan asal penutur, ragam terpelajar dan tak terpelajar yang berkaitan dengan
tingkat pendidikan penutur, serta ragam resmi dan tak resmi berkaitan dengan sikap
penutur.
Ragam dialek atau ragam daerah akan mencerminkan asal penutur. Beberapa
kelompok suku bangsa di Indonesia memiliki kekhasan berujar. Orang Batak
biasanya memiliki kesulitan untuk mengujarkan bunyi e pepet atau [∂]. Mereka
melafalkan bunyi e pepet atau [∂] menjadi bunyi e taling atau [ӗ]. Contoh: kata
/b∂b∂rapa/ dilafalkan menjadi /bӗbӗrapa/, kata /b∂k∂rja/ dilafalkan menjadi /bӗkӗrja/.
Lain halnya dengan orang Jawa, mereka sering mengucapkan kata yang berawalan
“b” seperti Bandung, Bali, dan Bantul akan dilafalkan dengan penambahan bunyi
sengau “m” sehingga terdengar di telinga ucapan /mBandung/, /mBali/, dan
/mBantul/. Bunyi-bunyi berat seperti bunyi [b], [d], dan [j] akan terdengar
diucapkan /bh/, /dh/, dan /jh/. Contoh: /bhawa/, /dhudhuk/, dan /jhadhi/.
Ragam dialek juga dapat dikenali melalui penambahan kata tertentu yang
biasa dikenal dalam bahasa asal mereka. Penambahan kata “orang” atau “sendiri”
pada satu ujaran, misalnya “Orang saya lagi kerja diganggu”, “Orang dia baru
datang”. Penambahan kata “orang” pada ujaran itu alih-alih kata “wong” dalam
bahasa Jawa. Gejala ini memang tampak pada bahasa Indonesia dialek Jawa.
Terpelajar tidaknya penutur itu tampak dalam ujaran dan strukturnya. Ragam
terpelajar, antara lain dapat dilihat dari terpenuhinya kaidah pemakaian bahasa baik
yang menyangkut struktur yang benar maupun ujaran atau lafal yang benar. Ragam
terpelajar, misalnya tampak pada cara ujaran yang mencerminkan kelengkapan
bunyi bahasa yang didaftarkan dalam tata bunyi sebagaimana yang tertuang dalam
Pedoman Umum Ejaan yang Disempurnakan.
Tabel 3.2
Cara Pelafalan Kata antara Ragam Terpelajar dan Ragam Tak Terpelajar
/mufakat/ /mupakat/
/tafsir/ /tapsir/
/fasilitas/ /pasilitas/
/vokal/ /pokal/
/pabrik/ /tabrik/
/fungsi/ /pungsi/
/kompleks/ /komplek/
Bentuk kata juga dapat dijadikan ciri ragam terpelajar dan tak terpelajar. Contohnya
terlihat pada tabel.
Tabel 3.3
Bentuk Kata antara Ragam Terpelajar dan Ragam Tak Terpelajar
202 Bahasa Indonesia Modul 3
60
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
WInaria Lubis, M.Pd. http://www.mercubuana.ac.id
Ragam Terpelajar Ragam Tak Terpelajar
mencari Nyari
membukakan Bukain
menyetor nyetor
membawakan Bawain
Dari contoh di atas dapat dilihat perbedaan, bahwa ragam terpelajar lebih
terpelihara dalam hal kaidah, sedangkan ragam tak terpelajar kurang memperhatikan
kaidah, baik menyangkut pilihan kata dan bentuk kata, maupun kelengkapan kalimat
dan kelengkapan pelafalannya.
Ragam resmi adalah bahasa yang digunakan dalam situasi resmi, seperti
pertemuan-pertemuan, peraturan-peraturan, dan undangan-undangan. Ciri-ciri
ragam bahasa resmi: 1) menggunakan unsur gramatikal secara eksplisit dan
konsisten; 2) menggunakan imbuhan secara lengkap; 3) menggunakan kata ganti
resmi; 4) menggunakan kata baku; 5) menggunakan EYD/EBI; dan 6) menghindari
unsur kedaerahan.
Ragam tak resmi adalah bahasa yang digunakan dalam situasi tak resmi,
seperti dalam pergaulan, dan percakapan pribadi, seperti dalam pergaulan, dan
percakapan pribadi (Keraf, 1991: 6). Ciri- ciri ragam bahasa tidak resmi kebalikan
dari ragam bahasa resmi. Ragam bahasa tidak resmi ini digunakan ketika kita
berada dalam situasi yang tidak normal. Ragam bahasa resmi atau tak resmi
ditentukan oleh tingkat keformalan bahasa yang digunakan. Semakin tinggi tingkat
kebakuan suatu bahasa, berarti semakin resmi bahas yang digunakan. Sebaliknya
semakin rendah pula tingkat keformalannya, makin rendah pula tingkat kebakuan
202 Bahasa Indonesia Modul 3
70
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
WInaria Lubis, M.Pd. http://www.mercubuana.ac.id
bahasa yang digunakan (Sugono, 1998:12-13). Contoh: Bahasa yang digunakan
oleh bawahan kepada atasan adalah bahas resmi sedangkan bahasa yang
digunakan oleh anak muda adalah ragam bahasa santai/tak resmi.
Bahasa ragam standar memiliki sifat kemantapan berupa kaidah dan aturan
tetap. Akan tetapi, kemantapan itu tidak bersifat kaku. Ragam standar tetap luwes
sehingga memungkinkan perubahan di bidang kosa kata, peristilahan, serta
mengizinkan perkembangan berbagai jenis laras yang diperlukan dalam kehidupan
modern (Alwi, 1998: 14).
Ciri yang membedakan antara ragam standar, semi standar dan nonstandar
adalah: (a) penggunaan kata sapaan dan kata ganti; (b) penggunaan kata tertentu;
(c) penggunaan imbuhan; (d) penggunaan kata sambung (konjungsi); dan (e)
penggunaan fungsi yang lengkap.
Penggunaan kata sapaan dan kata ganti merupakan ciri pembeda ragam
standar dan ragam nonstandar yang sangat menonjol. Kepada orang yang kita
hormati, kita akan cenderung menyapa dengan menggunakan kata Bapak, Ibu,
Saudara, Anda. Jika kita menyebut diri kita, dalam ragam standar kita akan
menggunakan kata saya atau aku. Dalam ragam nonstandar, kita akan
menggunakan kata gue. Penggunaan kata tertentu merupakan ciri lain yang sangat
menandai perbedaan ragam standar dan ragam nonstandar. Dalam ragam standar,
digunakan kata-kata yang merupakan bentuk baku atau istilah dan bidang ilmu
tertentu. Penggunaan imbuhan adalah ciri lain. Dalam ragam standar, kita harus
menggunakan imbuhan secara jelas dan teliti. Penggunaan kata sambung
(konjungsi) dan kata depan (preposisi) merupakan ciri pembeda lain. Dalam ragam
nonstandar, sering kali kata sambung dan kata depan dihilangkan. Kadang kala,
kenyataan ini mengganggu kejelasan kalimat.
Contoh:
Pada contoh (1) merupakan ragam semi standar, dan pada contoh (1a)
merupakan ragam standar.
Contoh:
Pada contoh (2) merupakan ragam semi standar, dan pada contoh (2a)
merupakan ragam standar.
C. Laras Bahasa
Laras bahasa adalah ragam bahasa yang digunakan untuk suatu tujuan atau pada
konteks sosial tertentu. Banyak sekali laras bahasa yang dapat diidentifikasi tanpa batasan
yang jelas. Definisi laras bahasa menurut beberapa ahli linguistik, diantaranya Ure dan Ellis
(1977) menganggap laras bahasa sebagai pola bahasa yang lazim digunakan mengikuti
keadaan tertentu. Hal ini bermakna, sesuatu situasi akan menentukan bentuk bahasa yang
digunakan oleh pengguna bahasa itu dan pemilihannya berdasarkan konvensi sosial
masing-masing. Menurut Reid (1956) menyatakan seorang penutur dalam situasi berbeda-
beda akan menggunakan laras mengikut situasi sosial yang berlainan yaitu istilah teknik
untuk menyatakan perlakuan bahasa (linguistic behavior) seseorang individu.
1) Frozen (beku). Ragam beku digunakan pada situasi hikmat dan sangat sedikit
memungkinkan keleluasaan seperti pada kitab suci, putusan pengadilan, dan
upacara pernikahan.
2) Formal (resmi). Ragam resmi digunakan dalam komunikasi resmi seperti pada
pidato resmi, rapat resmi, dan jurnal ilmiah.
4) Casual (santai). Ragam santai digunakan dalam suasana tidak resmi dan dapat
digunakan oleh orang yang belum tentu saling kenal dengan akrab.
Situasi luaran adalah latar belakang sosial dan kebudayaan sesuatu masyarakat
bahasa yang merangkumi struktur sosial dan keseluruhan cara hidup yang menentukan
perlakuan setiap anggota masyarakat. Contohnya, apabila kita mengkaji laras bahasa
masyarakat Melayu lama, kita perlu mengaitkan dengan situasi istana, stratifikasi sosial,
tradisi sastra lisan dan aspek-aspek lain anggota masyarakat zaman itu.
Situasi persekitaran pula meliputi aspek-aspek yang terlibat secara langsung dalam
penggunaan bahasa. Terdapat empat situasi persekitaran yang menyebabkan wujudnya
bahasa yang berlainan atau laras. Situasi yang dimaksudkan ialah cara penyampaian,
perhubungan sosial dan peribadi, bahan yang diperkatakan, dan fungsi-fungsi sosial
perlakuan bahasa.
Pada saat digunakan sebagai alat komunikasi, bahasa masuk dalam berbagai laras
sesuai dengan fungsi pemakaiannya. Jadi, laras bahasa adalah kesesuaian antara bahasa
dan pemakaiannya. Dalam hal ini kita mengenal iklan, laras ilmiah, laras ilmiah populer,
laras feature, laras komik, laras sastra, yang masih dapat dibagi atas laras cerpen, laras
puisi, laras novel, dan sebagainya.
1. Laras llmiah
Dalam uraian di atas dikatakan bahwa setiap laras dapat disampaikan dalam ragam
standar, semi standar, atau nonstandar. Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan laras
ilmiah. Laras ilmiah harus selalu menggunakan ragam standar. Sebuah karya tulis ilmiah
merupakan hasil rangkaian gagasan yang merupakan hasil pemikiran, fakta, peristiwa,
gejala, dan pendapat. Jadi, seorang penulis karya ilmiah menyusun kembali pelbagai bahan
informasi menjadi sebuah karangan yang utuh. Oleh sebab itu, penyusun atau pembuat
karya ilmiah tidak disebut pengarang melainkan disebut penulis (Soeseno, 1981: 1).
Dalam uraian di atas dibedakan antara pengertian realitas dan fakta. Seorang
pengarang akan merangkaikan realita kehidupan dalam sebuah cerita, sedangkan seorang
penulis akan merangkaikan berbagai fakta dalam sebuah tulisan. Realistis berarti bahwa
peristiwa yang diceritakan merupakan hal yang benar dan dapat dengan mudah dibuktikan
kebenarannya, tetapi tidak secara langsung dialami oleh penulis. Data realistis dapat
berasal dan dokumen, surat keterangan, press release, surat kabar atau sumber bacaan
lain, bahkan suatu peristiwa faktual. Faktual berarti bahwa rangkaian peristiwa atau
percobaan yang diceritakan benar-benar dilihat, dirasakan, dan dialami oleh penulis
(Marahimin, 1994: 378).
Laras bahasa adalah kesesuaian antara bahasa dan fungsi pemakaiannya. Laras
bahasa terkait langsung dengan selingkung bidang (home style) dan keilmuan, sehingga
dikenallah laras bahasa ilmiah dengan bagian sub-sublarasnya. Pembedaan di antara sub-
sublaras bahasa seperti dalam laras ilmiah itu dapat diamati dari:
Karya ilmiah memiliki tujuan dan khalayak sasaran yang jelas. Meskipun demikian,
dalam karya ilmiah, aspek komunikasi tetap memegang peranan utama. Oleh karenanya,
berbagai kemungkinan untuk penyampaian yang komunikatif tetap harus dipikirkan.
Penulisan karya ilmiah bukan hanya untuk mengekspresikan pikiran tetapiuntuk
menyampaikan hasil penelitian. Kita harus dapat meyakinkan pembaca akan kebenaran
hasil yang kita temukan di lapangan. Dapat pula, kita menumbangkan sebuah teori
berdasarkan hasil penelitian kita. Jadi, sebuah karya ilmiah tetap harus dapat secara jelas
menyampaikan pesan kepada pembacanya.
Persyaratan bagi sebuah tulisan untuk dianggap sebagai karya ilmiah adalah
sebagai berikut (Brotowidjojo, 1988: 15-16):
a. Karya ilmiah menyajikan fakta objektif secara sistematis atau menyajikan aplikasi
hukum alam pada situasi spesifik;
b. Karya ilmiah ditulis secara cermat, tepat, benar, jujur, dan tidak bersifat terkaan. Dalam
pengertian, jujur atau terkandung sikap etik penulisan ilmiah, yakni penyebutan rujukan
dan kutipan yang jelas;
c. Karya ilmiah disusun secara sistematis, setiap langkah direncanakan secara terkendali,
konseptual, dan procedural;
d. Karya ilmiah menyajikan rangkaian sebab-akibat dengan pemahaman dan alasan yang
indusif yang mendorong pembaca untuk menarik kesimpulan.
f. Karya ilmiah ditulis secara tulus. Hal itu berarti bahwa karya ilmiah hanya mengandung
kebenaran faktual sehingga tidak akan memancing pertanyaan yang bernada keraguan.
Penulis karya ilmiah tidak boleh memanipulasi fakta, tidak bersifat ambisius dan
berprasangka. Penyajiannya tidak boleh bersifat emotif;
g. Karya ilmiah pada dasarnya bersifat ekspositoris. Jika pada akhirnya timbul kesan
argumentatif dan persuasif, hal itu ditimbulkan oleh penyusunan kerangka karangan
yang cermat. Dengan demikian, fakta dan hukum alam yang diterapkan pada situasi
Berdasarkan uraian di atas, dari segi bahasa, dapat dikatakan bahwa karya ilmiah
memiliki tiga ciri, yaitu: (1) harus tepat dan tunggal makna, tidak remang nalar atau mendua
makna; (2) harus secara tepat mendefinisikan setiap istilah, sifat, dan pengertian yang
digunakan, agar tidak menimbulkan kerancuan atau keraguan; dan (3) harus singkat,
berlandaskan ekonomi bahasa.
Struktur karya ilmiah (Soehardjan, 1997: 38) terdiri atas judul, nama penulis, abstrak,
pendahuluan, bahan dan metode, hasil dan pembahasan, kesimpulan, ucapan terima kasih
dan daftar pustaka. ISO 5966 (1982) menetapkan agar karya ilmiah terdiri atas judul, nama
penulis, abstrak, kata kunci, pendahuluan, inti tulisan (teori metode, hasil, dan
pembahasan), simpulan, dan usulan, ucapan terima kasih, dan daftar pustaka (Soehardjan,
1997: 38).
Menurut Sunaryo, (1994: 1), bahwa dalam berkomunikasi, perlu diperhatikan kaidah-
kaidah berbahasa, baik yang berkaitan kebenaran kaidah pemakaian bahasa sesuai dengan
konteks situasi, kondisi, dan sosio budayanya. Pada saat kita berbahasa, baik lisan maupun
tulis, kita selalu memperhatikan faktor-faktor yang menentukan bentuk-bentuk bahasa yang
kita gunakan. Pada saat menulis, misalnya kita selalu memperhatikan siapa pembaca
tulisan kita, apa yang kita tulis, apa tujuan tulisan itu, dan di media apa kita menulis. Hal
yang perlu mendapat perhatian tersebut merupakan faktor penentu dalam berkomunikasi.
Ragam bahasa keilmuan mempunyai ciri: (1) cendekia yaitu bahasa Indonesia
keilmuan itu mampu digunakan untuk mengungkapkan hasil berpikir logis secara tepat; (2)
lugas dan jelas yaitu bahasa Indonesia keilmuan digunakan untuk menyampaikan gagasan
ilmiah secara jelas dan tepat; (3) gagasan sebagai pangkal tolak yaitu bahasa Indonesia
keilmuan digunakan dengan orientasi gagasan. Hal itu berarti penonjolan diarahkan pada
gagasan atau hal-hal yang diungkapkan, tidak pada penulis; dan (4) formal dan objektif yaitu
komunikasi ilmiah melalui teks ilmiah merupakan komunikasi formal.
Hal ini berarti bahwa unsur-unsur bahasa Indonesia yang digunakan dalam bahasa
Indonesia keilmuan adalah unsur-unsur bahasa yang berlaku dalam situasi formal atau
resmi. Pada lapis kosakata dapat ditemukan kata-kata yang berciri formal dan kata-kata
yang berciri informal (Syafi’ie, 1992: 8-9).
Tabel 3.4
Contoh kata berciri formal dan informal
Laras ilmiah populer merupakan sebuah tulisan yang bersifat ilmiah, tetapi
diungkapkan dengan cara penuturan yang mudah dimengerti. Karya ilmiah populer tidak
selalu merupakan hasil penelitian ilmiah. Tulisan itu dapat berupa petunjuk teknis,
pengalaman dan pengamatan biasa yang diuraikan dengan metode ilmiah. Jika karya ilmiah
harus selalu disajikan dalam ragam bahasa yang standar, karya ilmiah popular dapat
Seperti diuraikan di atas, persyaratan yang berlaku bagi sebuah karya ilmiah berlaku
pula bagi karya ilmiah populer. Akan tetapi, dalam karya ilmiah populer terdapat pula
persoalan lain, seperti kritik terhadap pemerintah, analisis atas suatu peristiwa yang sedang
populer di tengah masyarakat, jalan keluar bagi persoalan yang sedang dihadapi
masyarakat, atau sekedar informasi baru yang ingin disampaikan kepada masyarakat.
Jika karya ilmiah memiliki struktur yang baku, tidak demikian halnya dengan karya
ilmiah populer. Oleh karena itu, karya ilmiah populer biasanya disajikan melalui media surat
kabar dan majalah, biasanya, format penyajiannya mengikuti format yang berlaku dalam
laras jurnalistik.
Pemilihan topik dan perumusan tema harus dilakukan dengan cermat. Tema itu
kemudian dikerjakan dengan jenis karangan tertentu, misalnya narasi, eksposisi,
argumentasi, atau deskripsi. Secara lebih rinci lagi, penulis dapat mengembangkan
gagasannya dalam berbagai bentuk pengembangan paragraf seperti pola pemecahan
masalah, pola kronologis, pola perbandingan, atau pola sudut pandang.
Halliday, M.A.K. 1968. Language as Social Semiotic: the social interpretation of language
and meaning. London: Edward Arnold
Hs, Widjono. 2012. Bahasa Indonesia Untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: PT Grasindo.
Lubis, Winaria dan Dadi Waras Suhardjono. 2019. Bahasa Indonesia untuk Perguruan
Tinggi. Jakarta: Sahabat Pena. ISBN 978-623-7440-11-6
Satata, Sri, Devi Suswandari dan Dadi Waras Suhardjono. 2012. Bahasa Indonesia Mata
Kuliah Pengembang Kepribadian. Jakarta: Mitra Wacana Media.
Tarigan Henry Guntur. & Djago Tarigan. 1990. Pengajaran Analisis Kesalahan Berbahasa.
Bandung: Angkasa