Pengertian Al-Qalbu
Kata Al-Qalbu di dalam Al-Qur’an sebanyak 144 kali, dan kebanyakan makna dari
Al-Qalbu berkisar di atas makna Al-Wujdan dan Al-Aqlu. Dan diatas keduanya berdiri fitrah
yang benar dan pearasaan yang berbeda, baik perasaan itu merupakan unsur cinta ataupun
benci. Dan disamping itu, Al-Qalbu merupakan tempat dari iman dan hidayah, tempat ilmu
dan ma’rifat, serta tempat keinginan dan keputus asaan.1
Al-Qalbu sebagai tempat fitrah yang benar, seperti difirmankan oleh Allah SWT:
Artinya: “kecuali orang-orang yang datang menghadap Allah dengan Al-Qalbu yang selamat
(benar). “(ASy-Syu’ara, 89).
Fitrah yang selamat dapat dilihat dari berbagai indikasi, seperti firman Allah berikut
ini:
Artinya: “Sesungguhnya didalam yang demikian itu terdapat peringatan bagi orang
yang memiliki hati(akal), atau yang menggunakan pendengaran sedang ia
menyaksikannya.”(Qaaf,37).
Artinya: dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, maka Allah akan memberikan
petunjuk akan hatinya.” (At-Taghobun,11)
Artinya: “wahai rasul, janganlah engkau disedihkan oleh orang-orang yang bersegera
memperlihatkan kekafirannya, yaitu diantara orang-orang yang mengatakan dengan mulut
mereka: kami telah beriman, padahal hati mereka belum beriman.” (Al Maidah, 41)
Artinya: “Akan tetapi Allah menjadikan engkau cinta kepada keimanan dan
menjadikan iman itu hiasan didalam hatimu.” (Al Hujurat, 7)
Artinya: “kecuali orang yang terpaksa, sedangkan hatinya merasa tenang dengan
iman.” (An Nahl, 106)2
Dari beberapa ayat tersebut tampak dihadapan kita, bahwa makna Al Qalbu di dalam
Alqur’an lebih spesifik dari makna jiwa. Seperti yang dikatakan oleh Dr. Abdul Karim Al
‘Utsman, bahwa makna hati tersebut tidak menunjukkan atas motivasi-motivasi instingtif
1
Hasan Abrori, Ilmu Jiwa dalam Tasawuf, Pustaka Azzam, Jakarta selatan, 2000, hal 60
2
Hasan Abrori, Ilmu Jiwa dalam Tasawuf, Pustaka Azzam, Jakarta selatan, 2000, hal 60
atau unsure biologis. Akan tetapi lebih menukik pada makna sebagian dari kesadaran
manusia.3
Kaum Sufi tidak mempergunakan makna Al-Qolbu (hati) yang menunjuk pada
segumpal darah yang terdapat didalam dada manusia. Akan tetapi, mereka lebih memberikan
makna sebagai substansi yang halus, bukan materi, dan berfungsi untuk mengenal hakikat
segala sesuatu, serta memiliki kemampuan untuk merefleksikan sesuatu; seperti kaca yang
memantulkan sebuah gambar, kemampuan hati didalam merefleksikan suatu hakikat masih
sangat tergantung kepada sifat hati, sesuai dengan pengaruh panca indra, syahwat, maksiat,
dan cinta. Sejauh hati itu bersih dari kendala-kendala yang dapat menutupinya, maka sejauh
itu pula hati dapat menangkap hakikat yang ada.
Menurut kaum sufi, hati merupakan tempat ma’rifat. Dalam hal ini, Imam Ghozali
memberikan contoh nyata bagaimana hati manusia, disamping sebagai tempat ma’rifat juga
sebagai pusatnya. Al Ghazali mengatakan “seandainya kami mencontohkan sebuah sumur
yang digali, maka bisa saja sumur tersebut diisi oleh air seperti dari sungai atau dari selokan-
selokan yang ada diatas bumi. Adakalanya untuk mengisi sumur dimaksud, yakni dengan
cara menggalinya lebih dalam lagi, sehingga lebih mendekati sumber air di dalam tanah. Dan
jika terus digali lebih dalam lagi, maka akan memancarkan air lebih bersih dan lebih deras
dan leih langgeng. Begitulah hati manusia yang tidak ubahnya seperti sebuah sumur, dimana
air didalamnya ibarat ilmu, dan panca indra ibarat sungai-sungai yang dapat mengisi air dari
atas bumi. Hingga pengisian hati dengan ilmu pengetahuan adakalanya melalui panca indra,
melalui proses telaah (membaca) dan Al Musyahadah (penelitian). Sehingga hati tersebut
benar-benar berisi ilmu pengetahuan. Adakalanya sungai-sungai itu ditutup lalu melakukan
khalwat (meditasi), ‘Uzlah (mengasingkan diri) dan menutup mata, serta menggantikan
metode pencarian ilmu dengan bersandar kepada hati melalui proses penyucian, mengangkat
tutup dan selimut yang menyelubunginya, hingga terpancar dari dalam hati ilmu pengetahuan
yang lebih bersih dan langgeng.”
3
Hasan Abrori, Ilmu Jiwa dalam Tasawuf, Pustaka Azzam, Jakarta selatan, 2000, hal 61
4
Hasan Abrori, Ilmu Jiwa dalam Tasawuf, Pustaka Azzam, Jakarta selatan, 2000, hal 62
At Tirmidzi sebagai salah seorang sufi abad ke III hijriyah berkata: “kekuatan semua
anggota tubuh terletak didalam hati; jika pikiran dan akal bersama dengan hatinya. Oleh
sebab itu, jika seorang terkejut dan gemetar, ia akan jatuh. Karena, hati yang menyuruh kaki
untuk berjalan terganggu. Dan bagi seorang yang sedang mabk, hilang akalnya, niscaya jalan
kedua kakinya menjadi terganggu.” Menurut At Tirmidzi, hati manusia merupakan pusat dari
semua perasaan, pengenalan dan emosi didalam tubuh manusia. Segala perasaan, pengenalan
emosi manusia akan kembali ke hati, dan darinya akan dikirim kembali ke seluruh tubuh.
Tidak mungkin dari perasaan atau pengenalan dapat memerintah tubuh manusia tanpa
melalui hati.menurutnya, peran hati bersifat otomatik, dapat menyadap segala bentuk emosi
yang ada, dan apabila terdetik didalamnya sebuah aliran perasaan, lalu secara langsung akan
dipancarkan keseluruh tubuhnya. Hati ibarat satu titik yang dapat memancarkan segala
bentuk aliran yang bermacam-macam ke seluruh anggota tubuh manusia. Atau seperti sebuah
pintu, dimana segala bentuk aliran memasukinya dan keluar lagi dari pintu tersebut menuju
ke seluruh anggota tubuh.
Melalui pemikiran ini dapat dikatakan, bahwa hati manusia dapat menguasai segala
anggota tubuhnya. Hati ibarat seorang raja yang segala urusan berada di tangannya. Akan
tetapi, hati dapat juga diibaratkan sebagai sebuah kota, dimana akan diperintah dan
dipengaruhi oleh orang yang menguasai kota tersebut. Dengan kata lain, apabila ada sesuatu
yang dapat mengalahkan fungsi hati, maka ia akan menguasai seluruh anggota tubunhya. Bisa
diumpamakan juga, bahwa hati manusia ibarat pusat pemerintahan didalam sebuah
kekuasaan, yang apabila ada satu kekuatan yang dapat mengalahkan pemerintahan, maka
tentu akan menguasai kerajaan. Dengan demikian, At-Tirmidzi mengibaratkan dada sebagai
halaman kerajaan, dimana dari halaman itu segala persoalan diselesaikan. Sebagaimana hati
dapat mengatur dan menguasai segala anggota tubuh manusia.
Segala bentuk emosi, pengenalan dan perasaan akan kembali ke pangkuan hati
sebagai pusatnya. Dan segala ketentuan akhlak akan kembali ke hati sebagai pusatnya. Sebab,
hatilah yang memegang pengaruh dan kekuatannya, disamping hati manusia sebagai pusat
ilmu pengetahuan (Al Ma’rifat).5
Hati merupakan tambang cahaya atau tambang dari ma’rifat, yang didalamnya
terdapat tujuh kota cahaya. Tujuh kota tersebut dikelilingi oleh Nuur Al Awwal (cahaya
pertama), dimana cahaya pertama ini dimuliakan di dalam pusat hati. Setiap kota dari tujuh
kota yang terdapat di dalam hati, masing-masing mendapat sinar dari Nuur Al Awwal
tersebut. Setiap kota dari tujuh kota itu sama-sama memiliki pintu cahaya untuk membuka
apa yang terdapat didalam masing-masing kota. Tiap-tiap pintu dari tiap-tiap kota memiliki
pagar yang mengahadang cahaya, atau cahaya itu berdiri di tiap-tiap pintu kota sebagai
penjaga pintunya. Setiap pintu dari kota mempunyai kunci untuk membuka pintu kota. Tujuh
kota didalam hati yang yang dimaksudkan adalah madinat Al Mulk (kota raja), yaitu Al
Qalbu (hati). Kota raja ini memiliki pagar yang mengelilinginya, dan dipagar ini terdapat
empat pintu masuk.6
5
Hasan Abrori, Ilmu Jiwa dalam Tasawuf, Pustaka Azzam, Jakarta selatan, 2000, hal 63
6
Hasan Abrori, Ilmu Jiwa dalam Tasawuf, Pustaka Azzam, Jakarta selatan, 2000, hal 71
Adapun yang dimaksudkan dengan kota-kota tersebut dari luar kedalam atau dari lahir
ke batin, adalah:
1. Al Fuad, dimana pintunya adalah Nuur Ar Rahmah. Hijab atau pagarnya adalah
Al Jamal (keindahan), sedangkan kuncinya adalah Al Iqrar (pengakuan).
2. Adh Dhamir, dimana pintunya adalah Nuur Ar Raf’ah (cahaya kesantunan)
sdangkan pagarnya adalah Al Jalal (kemuliaan) dan kuncinya adalah At-tauhid
(peng-Esaan).
3. Al Ghilaf (kulit luar hati), dimana pintunya adalah Nuur Al Jud (cahaya
kemurahan). Sedangkan hijab atau pagarnya adalah As sulthan (kekuatan) dan
kuncinya adalah Al Iman.
4. Al Qalbu, dimana pintunya adalah Nuur Al Majdu (cahaya kemuliaan) dan hijab
atau pagarnya adalah Al Ghaiban (keghaiban). Sedangkan kuncinya adalah Al
Islam.
5. As Syafafu (keutamaan), dimana pintunya adalah Nuur Al Atha’ (cahaya
pemberian) dan hijab atau pagarnya adalah Al Qudrah (kemampuan) sedangkan
kuncinya adalah Al Ikhlas.
6. Al Mahabbah (cinta), dimana pintunya adalah Nuur Ar Rahbah (cahaya kekuatan)
dan hijab yang atau pagarnya adalah Nuur Al Adhamah (cahaya keagungan).
Sedangkan kuncinya adalah ash Shidqu (kejujuran).
7. Al Lubab, yaitu sumber cahaya atau kota utama, dimana pintunya adalah Nuur Al
Athaf (cahaya kelembutan) dan hijabnya adalah Al Haya’ (malu) yang mana malu
ini merupakan hijab seorang raja sedangkan kuncinya adalah Al ma’rifat.7
Nuur Al Athaf sebagai pintu dari kota utama (Al Madinat Al Ula) berasal dari
Nuur Al Qurbah (cahaya dekat). Cahaya Al Qurbah berasal dari Nuur Syafaqah
(cahaya kesayangan). Nuur Syafaqah ini berasal dari Nuur Iradah (cahaya
kehendak). Cahaya kehendak ini berasal dari Nuur Al mahabbah (cahaya cinta).
Cahaya cinta itu berasal dari Nuur ar Rahbah atau Al Minhah (cahaya takut dan
cahaya pemberian).
Adapun pagar dari kota raja adalah Ash shadru (dada), dan di sekitar dada ini
terdapat pagar-pagar serta parit- parit untuk menjaga As-shadru. Fungsi dari tiap-
tiap pagar yang terdapat disekitar dada memiliki tugas sendiri-sendiri dan sistem
yang khusus di dalam Al Maraqabah (menjaganya), agar dada tidak runtuh. Diatas
pagar-pagar terdapat dua orang penjaga dengan tugas serta pakaian khusus.
7
Hasan Abrori, Ilmu Jiwa dalam Tasawuf, Pustaka Azzam, Jakarta selatan, 2000, hal 72
2. Adz Dzikru (dzikir), dimana paritnya adalah dzikir juga, dan dasarnya dalah
rela, serta diperkuat dengan tahmid.
3. Ampunan, dimana artinya adalah pertolongan dan dasarnya adalah sabar serta
diperkuat dengan takbir.
4. Minta pertolongan, dimana paritnya adalaah kemenangan dan dasarnya adalah
ikhlas, serta diperkuat dengan pengagungan.
5. Kesungguhan, dimana paritnya adalah petunjuk dan dasarnya adalah niat, serta
diperkuat dengan penyerahan diri.
6. Tawakkal, dimana paritnya adalah pujian dan dasarnya dalah ungkapan, serta
diperkuat dengan At Tasbih.
7. Kepasrahan diri, dimana paritnya adalah keselamatan dan adsarnya adalah
pengakuan, serta diperkuat dengan permintaan ampunan dan shalawat kepada
Rasulullah SAW.8
8
Hasan Abrori, Ilmu Jiwa dalam Tasawuf, Pustaka Azzam, Jakarta selatan, 2000, hal 73
Kami berpendapat, bahwa hati menurut Al Hakim At Tirmidzi merupakan
isim jami’ (sebuah istilah yang meliput), yang didalamnya terdapat maqomat
batin secara keseluruhan.9
Tingkatan-tingkatan Batin
9
Hasan Abrori, Ilmu Jiwa dalam Tasawuf, Pustaka Azzam, Jakarta selatan, 2000, hal 73
10
Hasan Abrori, Ilmu Jiwa dalam Tasawuf, Pustaka Azzam, Jakarta selatan, 2000, hal 74
11
Hasan Abrori, Ilmu Jiwa dalam Tasawuf, Pustaka Azzam, Jakarta selatan, 2000, hal 74