Anda di halaman 1dari 31

UJI EFEKTIVITAS ANALGETIK SUSPENSI EKSTRAK ETANOL

DAUN KEMUNING (MURRAYA PANICULATA [L] JACK) PADA

MENCIT JANTAN (MUS MUSCULUS)

Proposal Penelitian

Disusun Oleh :

KELOMPOK V

NAMA ANGGOTA : 1. Intan Fitrotus Salamah (E0021061)

2. Moh Fatkhul Muin (E0021068)

3. Annisa Ayu Nur Hikmah (E0021088)

DOSEN PENGAMPU : Dwi Atmoko, M.Pd.

PROGRAM STUDI S1 FARMASI

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS BHAKTI MANDALA HUSADA SLAWI

SEMESTER II
TAHUN 2022

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan zaman yang semakin maju dan pesat menuntut manusia

untuk siap baik secara mental maupun fisik dalam melakukan berbagai

aktivitas sehari-hari. Pola hidup yang tidak teratur dapat mengakibatkan

berbagai permasalahan kesehatan, tubuh akan rentan terhadap impak buruk

dari radikal bebas yang menyebabkan penurunan daya tahan tubuh, sebagai

akibatnya dapat mengganggu kesehatan sehari-hari. Untuk mengatasi

permasalahan kesehatan ini dapat dilakukan dengan mengkonsumsi obat-

obatan untuk berbagai penyakit. Namun, konsumsi obat-obatan kimiawi

dalam jangka waktu yang relatif panjang justru dapat membahayakan tubuh

dengan menimbulkan permasalahan kesehatan baru. Oleh sebab itu, gerakan

kembali ke alam (back to nature) banyak didengung-dengungkan, yang

merupakan tujuan utama dari penggunaan obat tradisional.

Obat tradisional merupakan bahan-bahan obat yang berasal dari alam,

baik bersumber dari hewan,mineral ataupun berasal dari tumbuh-tumbuhan.

Penggunaan bahan-bahan alam ini sebagai sumber pengobatan masih banyak

dilakukan oleh masyarakat tradisional (Marjoni, 2016). Indonesia dikenal

lebih dari 20.000 jenis tumbuhan obat namun baru 1.000 jenis tanaman telah
terdata dan baru sekitar 300 jenis yang sudah dimanfaatkan untuk pengobatan

tradisional.penggunaan tanaman obat di Indonesia sebenarnya telah dikenal

sejak zaman nenek moyang dulu, namun penggunaan ditengah-tengah

masyarakat dimulai saat penjajahan Belanda. Pengenalan dan penggunaan

tanaman obat dimulai dengan jasa Kloppenburg yang menginventarisasi cara-

cara pengobatan tradisional Indonesia. Usaha itu dilanjutkan oleh pakar-pakar

lainnya serta departemen Kesehatan Republik Indonesia (Hariana, 2011).

Timbulnya berbagai macam penyakit merupakan masalah Kesehatan

yang ada di masyarakat. Pada umumnya penyakit menyebabkan rasa nyeri.

Nyeri adalah suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak nyaman,

berkaitan dengan (acaman) kerusakan jaringan. Keadaan psikis sangat

mempengaruhi nyeri, misalnya emosi dapat menimbulkan sakit (kepala) atau

memperhebatnya, tetai dapat pula menghindatkan sensasi rangsangan nyeri.

(Tjay, 2007). Untuk mengatasi rasa nyeri dapat digunakan obat–obat

analgetik (obat penghilang rasa nyeri). Analgetika adalah obat yang

digunakan untuk mengurangi atau menekan rasa sakit, misalnya sakit kepala,

otot, perut, gigi tanpa menghilangkan kesadaran penderita karena khasiat dari

obat anlgetika ini menjadi sangat popular dan disenangi masyarakat meskipun

tidak dapat menghilangkan penyakit dari penyebabnya. Atas dasar kerja

farmakologisnya, analgetika dibagi dalam dua kelompok besar, yakni,

analgetika perifer (non narkotik) dan analgetika narkotik. (Tjay, 2007).

Obat analgetik tidak hanya berupa obat-obat kimiawi saja, akan tetapi

ada juga tanaman yang dapat digunakan sebagai obat analgetik. Salah satu
tanaman obat yang diduga memiliki efek analgetik adalah tanaman kemuning

(Murraya paniculata [L] Jack). Bagian tanaman kemuning yang dapat

dimanfaatkan sebagai analgetik adalah daunnya. Daun kemuning

mengandung cadinene, methyl-anthranilate, bisabolene, pearyophyllene,

geraniol, carene-3, eugenol, citronellol, methyl-salicylate, sguaiazulene,

oshtole, paniculatin, tanin dan coumurrayin. (Yusarman, 2016). Pemanfaatan

lain sebagai obat dari tanaman kemuning ini adalah infeksi saluran kencing,

kencing nanah, keputihan, sakit gigi, haid tidak teratur, dan pelangsing tubuh.

(Hidayat, 2015).

Pada penelitian terdahulu menyebutkan bahwa ekstrak etanol daun

kemuning (Murraya paniculata [L] Jack) dengan metode plat panas (hot plate)

memiliki efek analgetik pada mencit jantan galur swiss webster. (Melati,

2009). Penelitian terdahulu lainnya yaitu Studi Literatur Efek Analgetik Daun

Kemuning (Murraya paniculata [L] Jack) Terhadap Mencit (Mus musculus)

menyebutkan bahwa uji daya analgesik dengan ekstrak etanol daun kemuning

terbukti memiliki efek analgetik terhadap mencit sebagai hewan percobaan

dan uji daya analgesik yang diberikan berupa infusa secara oral juga terbukti

memiliki efek analgetik terhadap mencit sebagai hewan percobaan. (Barus,

2020).

Berdasarkan hal tersebut, penulis tertarik untuk meneliti lebih dalam

tentang khasiat tanaman kemuning, maka penulis tertarik untuk mengambil

judul “Uji efektivitas analgetik suspensi ekstrak etanol daun kemuning


(Murraya paniculate [L] Jack) pada mencit jantan (Mus musculus)”.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah ekstrak etanol daun kemuning (Murraya paniculata [L] Jack)

memiliki efektivitas analgetik pada mencit ?

2. Berapakah konsentrasi ekstrak etanol daun kemuning (Murraya

paniculata [L] Jack) yang dapat memberikan efek analgetik terhadap

mencit putih jantan ?

3. Apakah sediaan suspensi ekstrak etanol daun kemunig stabil selama

pengujian pada suhu dan waktu tertentu ?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui efektivitas analgetik daun kemuning (Murraya

paniculata [L] Jack) pada mencit jantan.

2. Untuk mengetahui berapa konsentrasi ekstrak etanol daun kemuning

(Murraya paniculata [L] Jack) yang dapat memberikan efek analgetik

terhadap mencit jantan.

3. Untuk mengetahui stabilitas sediaan suspensi ekstrak daun kemunig pada

suhu dan waktu tertentu


D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Penulis

Pengaplikasian dari ilmu yang diperoleh selama menuntut ilmu di Sekolah

Tinggi Farmasi YPIB Cirebon.

2. Bagi Institusi

Sebagai tambahan referensi keilmuwan bagi para mahasiswa yang hendak

melakukan penelitian di kemudian hari.

3. Bagi Masyarakat

Memberikan alternatif bahwa pengolahan dari ekstrak daun kemuning

(Murraya paniculata [L] Jack) bisa memberikan efek analgetik.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tanaman Kemuning (Murraya paniculata [L] Jack)

Gambar tanaman kemuning (Murraya paniculata [L] Jack) dapat dilihat

pada gambar 2.1 sebagai berikut :

Gambar 2.1. Gambar Tanaman Kemuning.

(http://www.jual-tanaman-hias.com/2013/04/jual-pohon-kemuning.html)

Kemuning (Murraya paniculata [L] Jack) adalah tumbuhan dari famili

Rutaceae M. Paniculata in flower pots kemuning (Murraya paniculata) atau

nama sinonimnya Murraya exotica L. Murraya banati Elm. (Ramdhani,

2013). Kemuning merupakan tumbuhan tropis yang dapat mencapai tinggi 7

meter dan berbunga sepanjang tahun. Daunnya seperti daun jeruk, tetapi

berukuran lebih kecil, sering digunakan sebagai tumbuhan hias atau

tumbuhan pagar. Bunganya terminal dan harum berwarna putih, petal 12-18
mm, panjang, putih. Buahnya akan berwarna merah sampai oranye jika sudah

matang. (Ramdhani, 2013).

1. Klasifikasi Tanaman

Klasifikasi Tanaman kemuning (Murraya paniculata [L] Jack) adalah

sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Subkingdom : Tracheobionta

Superdivisio : Spermatophyta

Divisio : Magnoliophyta

Class : Magnoliopsida

Subclass : Asteridae

Ordo : Geraniales

Familia : Rutaceae

Genus : Murraya

Species : Murraya paniculata [L] Jack.

(Anonim, 2013).

2. Morfologi Tanaman

Tanaman kemuning (Murraya paniculata [L] Jack) tumbuh kira-kira

sampai setinggi 400 m di atas permukaan laut. Variasi morfologi besar

sekali, tumbuhan kemuning yang biasanya dijumpai untuk memagari

pekarangan adalah jenis yang berdaun kecil dan lebat. Tumbuhan yang

termasuk suku Rutaceae ini, merupakan perdu atau pohon kecil yang
bercabang banyak, tinggi 3 sampai 8 m. Adapun morfologi tanaman

kemuning (Murraya paniculata [L] Jack) adalah sebagai berikut :

a. Batang

Tanaman kemuning memiliki batang yang keras, beralur dan

tidak berduri. (Herbie, 2015)

b. Daun

Daun Kemuning majemuk, bersirip ganjil dengan anak daun 3-

9, letak berseling, helaian anak daun bertangkai, bentuk bulat telur

sungsang atau jorong, ujung dan pangkal runcing, tepi rata atau agak

beringgit, panjang 2-7 cm, lebar 1-3 cm, permukaan licin,

mengkilap, warnanya hijau, bila diremas tidak berbau. (Herbie,

2015).

c. Bunga

Bunga majemuk berbentuk tandan, 1-8, warnanya putih, wangi

keluar dari ketiak daun atau ujung ranting (Herbie, 2015)

d. Buah

Berdaging, bulat telur atau bulat memanjang, panjang 8 sampai

12 mm, masih muda warnanya hijau dan jika sudah tua warnanya

merah mengkilap (Herbie, 2015)

3. Nama Daerah dan Nama Asing

Di Indonesia, kemuning memiliki beberapa nama daerah antara lain

kamuning, jenar (Sunda); kemuning (Jawa); Kemoning, kajeni (Bali);

Kamunieng (Minangkabau); kamoneng (Madura); Kamuning (Manado,


Makassar); palopo (Bugis); kamuni (Bima); eseki, tanasa, kamone,

kamoni (Maluku). (Hidayat, 2015). Sedangkan nama asing dari tanaman

kemuning adalah Orange jessamine (Inggris); dan jiu li xiang (Cina).

(Hariana, 2013)

4. Kandungan Kimia

Bagian tanaman yang dimanfaatkan adalah daun, ranting, dan akar.

Daun kemuning mengandung methyl anthranilat, caryophyllen, geramole,

carene-3, eugenol, citronellol, methyl salicylate, s-guaiazulena, oshtol,

peniculatin, coumurrayin, bisabolene, dan cadinene. Bunganya

mengandung scopoletin. Buahnya mengandung semi-a-carotenon.

Kulitnya mengandung mexotionin, 5-7-dimethoxy-8-(2,3-

dihydroxyisopentyl) coumarin. (Hidayat, 2015).

5. Manfaat Tanaman Kemuning (Murraya paniculata [L] Jack)

Tanaman kemuning memiliki berbagai manfaat, diantaranya

anastesia

(mematikan rasa), sedatif (penenang), anti radang (anti-inflamasi), anti

rematik, anti-swelling (penghilang bengkak), rematik, sakit pinggang,

sakit gigi, radang otak (epidemik encephalitis B), radang buah zakar

(orkhitis), radang saluran pernafasan (bronkhitis), kencing batu ginjal,

haid tidak teratur (irregular menstruation), keputihan (leucorrhea), lemak

tubuh berlebihan (Obesitas), gigitan serangga dan ular, bisul (furunculus),

koreng, eksema, borok (ulcer pain), gatal-gatal (pruritus), kesleo,


terantuk, memar terpukul, (haematoma), kulit kasar, serta tukak lambung.

(Hariana, 2013).

B. Analgetik

1. Definisi Nyeri

Nyeri didefinisikan secara sederhana sebagai rasa tidak nyaman atau

gejala yang terjadi dalam berbagai derajat keparahan akibat cedera,

penyakit tertentu, atau gangguan emosional. Beratnya nyeri dan

tanggapan seseorang terhadap rasa nyeri diakibatkan karena dari faktor

biologis, fisiologis, dan kultural, dan tindakan sebelumnya terhadap

cedera atau penyakit yang sangat nyeri, dimana hal ini akan

mempengaruhi sensitivitas seseorang terhadap nyeri tersebut. (Depkes RI,

2011)

Rasa nyeri dalam kebanyakan hal hanya merupakan suatu gejala,

yang berfungsi melindungi tubuh. Nyeri harus dianggap sebagai isyarat

bahaya tentang adanya gangguan di jaringan, seperti peradangan (rematik,

encok), infeksi jasad renik atau kejang otot. (Tjay, 2007). Nyeri dapat

dialami oleh setiap bagian tubuh, mulai dari kepala hingga ke ujung kaki.

Ada dua jenis nyeri dasar, yaitu nyeri akut dan kronik. Nyeri akut

seringkali dipicu oleh adanya kerusakan jaringan tubuh seperti pada

penyakit, cedera, atau pembedahan. Nyeri akut bersifat ringan dan

berlangsung sementara, atau bisa juga berat dan berlangsung berminggu-

minggu atau berbulan-bulan.


Nyeri seringkali disebut nyeri kronik jika berlangsung selama lebih

dari 6 bulan dan dapat bermanifestasi sebagai rasa kesemutan, seperti

dipukul-pukul, panas terbakar, bersifat tumpul atau tajam. (Depkes RI,

2011) Beberapa contoh kondisi yang mengakibatkan nyeri yaitu sakit

kepala, migren, artritis, gangguan sendi lain, pegal linu, memar, sakit gigi

dan menstruasi (haid). Pada kasus tertentu, nyeri muncul disertai

inflamasi atau peradangan sendi. (Depkes RI, 2011).

2. Definisi Analgetik

Analgetik adalah senyawa yang dalam dosis terapeutik meringankan

atau menekan rasa nyeri, tanpa memiliki kerja anastesi umum.

Berdasarkan potensi kerja, mekanisme kerja dan efek samping analgetika

dibedakan dalam dua kelompok. Yaitu analgetika yang berkhasiat kuat,

bekerja pada pusat (hipoanalgetika,’kelompok opiat’) dan analgetika yang

berkhasiat lemah (sampai sedang), bekerja terutama pada perifer dengan

sifat antipiretika dan kebanyakan juga mempunyai sifat antiinflamasi dan

antireumatik. (Mutchler, 1991)

3. Penggolongan Analgetik

Menurut Raharja (2002) atas dasar kerja farmakologinya, analgetik dibagi

dalam dua kelompok besar, yaitu :

a) Analgetik Opioid (Narkotik)

Analgetik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat

seperti

opium. Analgetik opioid terutama digunakan untuk meredakan atau


menghilangkan rasa nyeri, meskipun juga memperlihatkan berbagai

efek farmakodinamik yang lain. Istilah analgetik narkotik dulu sering

digunakan untuk kelompok obat ini, akan tetapi karena golongan obat

ini dapat menimbulkan analgesia tanpa menyebabkan tidur atau

menurunnya kesadaran maka istilah analgetik narkotik menjadi

kurang tepat. Yang termasuk golongan ini adalah alkaloid opium,

derivat semisintetik. Alkaloid opium merupakan senyawa sintetik

dengan sifat farmakologik menyerupai morfin. Obat yang

mengantagonis efek opioid disebut antagonis opioid (Farmakologi dan

Terapi, 2009)

o Opium

Opium merupakan getah kapsula biji papaver somniferum yang

belum matang dan dikeringkan pada suhu kamar. Opium

mengandung lebih dari 20 macam alkaloid, dan yang paling

utama adalah morfin, kodein, papaverin, tebain dan narsein.

Opium masih digunakan hanya dalam bentuk tinktur opium.

o Morfin

Morfin merupakan alkaloid opium yang berasal dari alam.

Absorpsi morfin dan dan saluran cerna terjadi relatif lebih lambat.

Lama kerja sekitar 4-6 jam. Sebagai turunan fenol, morfin

terutama mengalami glukuronidasi dan dieliminasi terutama

melalui ginjal, disamping sekitar 10% melalui empedu.

1) Turunan morfin, turunan dihidromorfin dan turunan morfinan


Merupakan alkaloid yang didapat dari alam dibuat banyak

produk hasil modifikasi secara semisintetik yang sebagian

digunakan sebagai analgetika seperti morfin dan sebagian

digunakan sebagai antitusiva.

2) Kelompok petidin dan metadon

Analgetik kelompok petidin dan metadon yang berkhasiat

secara oral yang diproduksi juga secara sintetik menunjukan

kerja dan efek samping yang kira-kira sama dengan morfin.

Yang termasuk dalam kelompok ini adalah petidin

levometadon dan dekstromoramid.

3) Agonis Parsial

Yang termasuk dalam kelompok ini adalah pentazosin,

Buprenosin dan Tilidin.

b) Analgetik Perifer (Non-Narkotik)

Obat-obat ini juga dinamakan analgetik perifer, tidak menurunkan

kesadaran atau mengakibatkan ketagihan. Analgetik ini memiliki

spektrum kerja farmakologi yang mirip walaupun struktur kimianya

berbeda-beda. Disamping kerja analgetik, senyawa-senyawa ini

menunjukan kerja antipiretik. Sebaliknya, senyawa-senyawa ini tidak

mempunyai sifat psikotropik dan sifat sedatif dari hipnoanalgetika.

Akibat spektrum kerja ini, pemakaiannya luas dan karena itu termasuk

pada bahan-bahan obat yang paling banyak digunakan. (Anonim,

2012)
Secara kimiawi analgetik non narkotik dapat dibagi menjadi beberapa

golongan yaitu :

 Parasetamol

 Salisilat : asetosal, salisilamida, dan benorilat

 Penghambatan prostaglandin ( NSAID) : ibuprofen (Artrifen)

 Derivat-antranilat : mefenaminat, glafenin.

 Derivat-pirazolinon : aminofenazon, isopropilfenazon.

 Lainnya : benzidamin (Tantum).

(Tan dan Rahardja, 2007)

4. Penanganan Nyeri

Berdasarkan proses terjadinya, rasa nyeri dapat dilawan dengan beberapa

cara, yakni dengan :

a. Analgesik perifer, yang merintangi terbentuknya rangsangan pada

reseptor nyeri perifer.

b. Anestetika lokal, yang merintangi penyaluran rangsangan di saraf-

saraf sensoris.

c. Analgesik sentral (narkotika), yang memblokir pusat nyeri di SSP

dengan anastesi umum.

d. Antidepresiva trisiklis, yang digunakan pada nyeri kanker dan saraf,

mekanisme kerjanya belum diketahui, misal amitriptilin.

e. Antiepileptika, yang meningkatkan jumlah neurotransmiter di ruang

sinaps pada nyeri, misal pregablin. Juga Karbamazepin,

oksakarbazepin, fenitoin, valporat. (Tan & Rahardja, 2007)


C. Simplisia

1. Pengertian

Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat

yang belum mengalami pengolahan apapun juga, kecuali dinyatakan lain,

yaitu berupa bahan yang telah dikeringkan. (RI, 1979).

Simplisia dapat berupa simplisia nabati, simplisia hewani, dan simplisia

mineral.

a) Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tumbuhan utuh bagian

tanaman atau eksudat tumbuhan yaitu sel yang secara spontan keluar

dari tumbuhan atau isi sel yang dengan cara tertentu dikeluarkan dari

selnya atau senyawa nabati lainnya yang dengan cara tertentu

dipisahkan dari tumbuhannya dan belum berupa senyawa kimia

murni.

b) Simplisia hewani adalah simplisia yang berupa hewan utuh, bagian

hewan atau zat-zat yang dihasilkan oleh hewan dan belum berupa zat

kimia murni.

c) Simplisia pelikan (Mineral) adalah simplisia yang berupa bahan

pelican (mineral) yang belum diolah ataupun sudah diolah dengan

cara sederhana dan belum berupa zat kimia murni.

2. Proses Pembuatan

Pada umumnya proses pembuatan simplisia melalui beberapa tahapan,

yaitu :

a) Pengumpulan Bahan baku


Waktu panen sangat erat hubungannya dengan pembentukan

senyawa aktif di dalam bagian tanaman yang akan dipanen. Waktu

panen yang tepat pada saat tanaman tersebut mengandung senyawa

aktif dalam jumlah yang besar. Senyawa aktif dibentuk secara

maksimal di dalam bagian tanaman pada umur tertentu.

b) Sortasi basah

Sortasi basah dilakukan untuk memisahkan kotoran-kotoran atau

bahan-bahan asing lainnya dari simplisia.

c) Pencucian

Pencucian dilakukan untuk menghilangkan tanah dan pengotor

lainnya yang melekat pada simplisia. Pencucian dilakukan dengan

menggunakan air yang mengalir.

d) Perajangan

Perajangan simplisia dilakukan untuk mempermudah proses

pengeringan, tanaman yang baru diambil jangan langsung dirajang,

tetapi dijemur dalam keadaan utuh selama satu hari.

e) Pengeringan

Tujuan pengeringan adalah untuk mendapatkan simplisia yang tidak

mudah rusak, sehingga dapat disimpan untuk waktu yang lebih lama.

Dengan mengurangi kadar air dan menghentikan reaksi enzimatik.

Pengeringan dilakukan dengan menggunakan sinar matahari

langsung atau dengan menggunakan suatu alat pengering.

f) Sortasi Kering
Sortasi setelah pengeringan merupakan tahap akhir dari pembuatan

simplisia. Tujuan dari sortasi ini adalah untuk memisahkan benda-

benda asing dan bagian tanaman yang tidak diinginkan, serta

membuang pengotor yang masih tertinggal pada simplisia kering.

D. Ekstraksi

1. Pengertian

Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan menyari

simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok, diluar pengaruh

cahaya matahari langsung. Ekstrak kering harus mudah digerus menjadi

serbuk. Sebagai cairan penyari digunakan air, eter atau campuran etanol

dan air. (RI, 1979).

Ekstrak cair adalah sediaan cair simplisia nabati yang mengandung etanol

sebagai pelarut, pengawet, atau kedua-duanya. Jika tidak dinyatakan lain

pada masing-masing monografi, tiap mililiter ekstrak mengandung bahan

aktif dari 1 g simplisia yang memenuhi syarat. (Syamsuni, 2012)

Menurut literatur lain, ekstrak ada tiga macam, yaitu ekstrak kering

(siccum), ekstrak kental (spissum) dan cair (liquidum) yang dibuat dengan

menyari simplisia nabati atau hewani menurut cara yang sesuai diluar

pengaruh cahaya matahari langsung. Ekstrak kering harus mudah digerus

menjadi serbuk. Cairan penyari yang dipakai adalah air, eter, puran etanol

dan air. (Syamsuni, 2012)

2. Metode Ekstraksi
Metode ektraksi dapat dibagi dalam dua cara. Diantaranya adalah sebagai

berikut :

a) Cara Dingin

Metoda ekstraksi secara dingin bertujuan untuk mengekstrak

senyawa-senyawa yang terdapat dalam simplisia yang tidak tahan

terhadap panas atau termolabil. (Marjoni, 2016). Ekstraksi dingin

dapat dilakukan dengan beberapa cara berikut :

 Maserasi

Maserasi adalah proses ekstraksi sederhana yang dilakukan

dengan cara merendam simplisia dalam satu atau campuran

pelarut selama waktu tertentu pada temperatur kamar dan

terlindung dari cahaya (Marjoni, 2016)

 Perkolasi

Perkolasi adalah suatu cara penarikan memakai alat yang disebut

perkolator yang simplisianya terendam dalam cairan penyari, zat-

zat akan terlarut dan larutan tersebut akan menetes secara

beraturan sampai memenuhi syarat yang telah ditetapkan.

(Syamsuni, 2012). Cairan penyari dialirkan dari atas ke bawah

melalui serbuk tersebut, cairan penyari akan melarutkan zat aktif

sel-sel yang dilalui sampai mencapai keadaan jenuh.

b) Cara Panas

Metode panas dilakukan apabila senyawa-senyawa yang terkandung

dalam simplisia sudah dipastikan tahan panas. (Marjoni, 2016).


Metode ekstraksi yang membutuhkan panas diantaranya adalah :

 Seduhan

Merupakan metoda ekstraksi paling sederhana hanya dengan

merendam simplisia dengan air panas selama waktu tertentu,

yaitu 5-10 menit. (Marjoni, 2016).

 Cocque (Penggodokan)

Merupakan proses penyarian dengan cara menggodok simplisia

menggunakan api langsung dan hasilnya dapat langsung

digunakan sebagai obat baik secara keseluruhan termasuk

ampasnya atau hanya hasil godokannya saja tanpa ampas.

(Marjoni, 2016).

 Infusa

Infusa merupakan sediaan cair yang dibuat dengan cara menyari

simplisia nabati dengan air pada suhu 90°C selama 15 menit.

Kecuali dinyatakan lain. (Marjoni, 2016).

Infusa dilakukan dengan cara sebagai berikut :

“Simplisia dengan derajat kehalusan tertentu dimasukan ke dalam

panci infusa, kemudian ditambahkan air secukupnya. Panaskan

campuran diatas penangas air selama 15 menit, dihitung mulai

dari suhu 90°C sambil sesekali diaduk. Serkai selagi panas

menggunakan kain flanel, tambahkan air panas secukupnya

melalui ampas sehingga diperoleh volume infusa yang

dikehendaki.”
 Digestasi

Digestasi adalah proses ekstraksi yang cara kerjanya hampir sama

dengan maserasi, hanya saja digestasi menggunakan pemanasan

rendah pada suhu 30-40°C. Metoda ini biasanya digunakan untuk

simplisa yang tersari baik pada suhu biasa. (Marjoni, 2016).

 Dekokta

Proses penyarian secara dekokta hampir sama dengan infusa,

perbedaanya hanya terletak pada lamanya waktu pemanasan

Waktu pemanasan pada dekokta lebih lama dibanding infusa, yait

30 menit dihitung setelah suhu mencapai 90°C. Metoda ini sudah

sangat jarang digunakan karena selain proses penyariannya yang

kurang sempurna dan juga tidak dapat digunakan untuk

mengekstraksi senyawa yang bersifat termolabil. (Marjoni, 2016).

 Soxhletasi

Proses soxhletasi merupakan proses ekstraksi panas menggunakan

alat khusus berupa ekstraktor soxhlet. Suhu yang digunakan lebih

rendah dibandingkan dengan suhu pada metoda refluks. (Marjoni,

2016).

E. Skrining Fitokimia

Skrining fitokimia adalah tahapan awal untuk mengidentifikasi kandungan

kimia yang terkandung dalam tumbuhan, karena pada tahap ini kita bisa

mengetahui golongan senyawa kimia yang dikandung tumbuhan yang sedang

kita uji atau teliti. Golongan senyawa kimia dapat ditentukan dengan cara uji
warna, penentuan kelarutan, bilangan Rf, ciri spektrum UV. Namun secara

umum penentuan golongan senyawa kimia dilakukan dengan cara uji warna

dengan menggunakan pereaksi yang spesifik karena dirasakan lebih

sederhana.

1. Flavonoid

Flavonoid adalah salah satu kelompok senyawa fenol yang terbanyak

terdapat di alam. Flavonoid dalam tumbuhan mempunyai beberapa fungsi

diantaranya sebagai pigmen warna, fungsi fisiologi dan patologi, aktivitas

farmakologi dan flavonoid dalam makanan. Fungsi dari flavonoid sebagai

aktivitas farmakologi diantaranya adalah sebagai antiinflamasi, analgetik,

antikanker, antifertilitas, antidiabetes, anti depresant, diuretik, dll

F. Suspensi

1. Definisi Suspensi

Suspensi adalah sediaan yang mengandung bahan obat padat dalam

bentuk halus dan tidak larut, terdispersi dalam cairan pembawa. Zat yang

terdispersi ini harus halus, tidak boleh cepat mengendap dan apabila

digojog perlahan-lahan endapan harus segera terdispersi kembali, dapat

ditambahkan zat tambahan untuk menjamin stabilitas suspense, tetapi

kekentalan suspense harus menjamin sediaan mudah digojog dan dituang

(Anif, 2006).

Persyaratan suspensi yang terdapat dalam farmakope Indonesia edisi III

adalah zat yang terdispersi harus halus dan tidak boleh cepat mengendap,

jika dikocok perlahan-lahan endapan harus segera terdispersi kembali,


kekentalan suspensi tidak boleh terlalu tinggi agar sediaan mudah dikocok

dan dituang. (RI, 1979).

2. Stablilitas Suspensi

Salah satu masalah yang dihadapi dalam proses pembuatan suspensi

adalah cara memperlambat penimbunan partikel serta menjaga

homogenitas partikel. Cara tersebut merupakan salah satu tindakan untuk

menjaga stabilitas suspensi. (Syamsuni, 2012)

Beberapa faktor yang mempengaruhi stabilitas suspensi adalah sebagai

berikut :

a) Ukuran Partikel

Ukuran partikel erat hubungannya dengan luas penampang partikel

tersebut serta daya tekan ke atas dari cairan suspensi itu. Hubungan

antara ukuran partikel merupakan perbandingan terbalik dengan luas

penampangnya. Sedangkan antara luas penampang dengan daya tekan

ke atas terdapat hubungan linier. Artinya semakin kecil ukuran

volume partikel semakin luas penampangnya (dalam volume yang

sama).

Sedangkan semakin besar luas penampang partikel, daya tekan ke atas

cairan akan semakin besar, akibatnya memperlambat gerakan partikel

untuk mengendap sehingga untuk memperlambat gerakan tersebut

dapat dilakukan dengan memperkecil ukuran partikel.

b) Kekentalan (Viskositas)
Kekentalan suatu cairan mempengaruhi pula kecepatan aliran

cairantersebut, semakin kental suatu cairan, kecepatan alirannya

semakin turun atau semakin kecil. Kecepatan aliran dari cairan

tersebut akan mempengaruhi pula gerakan turun partikel yang terdapat

didalamnya.

Dengan demikian, dengan menambah atau viskositas cairan, gerakan

turun partikel yang dikandungnya akan diperlambat. Perlu diingat

bahwa kekentalan suspensi tidak boleh terlalu tinggi agar sediaan

mudah dikocok dan dituang. Hal ini dapat dibuktikan dengan Hukum

Stokes.
2
d ( ρ− ρ0 ) g
V=
η

Keterangan : V = Kecepatan Aliran

d2 = Diameter partikel

ρ = Bobot jenis partikel

ρ0 = Bobot jenis cairan

g = Gravitasi

η = viskositas cairan

c) Jumlah Partikel (Konsentrasi)

Jika dalam suatu ruangan terdapat partikel dalam jumlah besar, maka

partikel akan sulit melakukan gerakan bebas karena sering terjadi

benturan antara partikel tersebut. Oleh benturan ini akan

menyebabkan terbentuknya endapan zat tersebut, oleh karena itu


semakin besar konsentrasi partikel, makin besar kemungkinan

terjadinya endapan partikel dalam waktu yang singkat.

Sifat atau muatan partikel

d) Suatu suspensi terdiri atas beberapa macam campuran bahan yang

sifatnya tidak selalu sama. Dengan demikian, ada kemungkinan terjadi

interaksi antara bahan yang sukar larut dalam cairan tersebut. Karena

sifat bahan tersebut sudah merupakan sifat alam, maka tidak dapat

dipengaruhi. Stabilitas fisik suspensi farmasi didefinisikan sebagai

kondisi suspense dimana partikel tidak mengalami agregasi dan tetap

terdistribusi merata.

Jika partikel mengendap, partikel tersebut akan mudah tersuspensi

kembali dengan pengocokan ringan. Partikel yang mengendap ada

kemungkinan dapat saling melekat oleh suatu kekuatan untuk

membentuk agregasi selanjutnya membentuk compacted cake,

peristiwa itu disebut “caking”. (Syamsuni, 2012)

3. Bahan Pensuspensi dari Alam

Bahan alam dari jenis gom sering disebut “gom atau hodrokoloid”. Gom

dapat larut atau mengembang atau mengikat air sehingga campuran

tersebut membentuk mucilago atau lendir. Dengan terbentuknya

mucilago, viskositas cairan tersebut bertambah dan akan menambah

stabilitas suspensi. Kekentalan mucilago sangat dipengaruhi oleh panas,

pH dan proses fermentasi bakteri. (Syamsuni, 2012)

a) Golongan gom meliputi :


 Akasia (Pulvis Gummi Arabic)

Bahan ini diperoleh dari eksudat tanaman Acasia sp, dapat larut

dalam air, tidak larut dalam alkohol dan bersifat asam. Viskositas

optimum dari mucilago adalah antara pH 5-9. Gom ini mudah

dirusak oleh bakteri sehingga dalam suspensi harus ditambahkan

pengawet.

 Chondrus

Diperoleh dari tanaman Chondrus crispus atau Gigartina

mamilosa, dapat larut dalam air, tidak larut dalam alkohol dan

bersifat basa.

 Tragakan

Merupakan eksudat dari tanaman Astragalus gummifera.

Tragakan sangat lambat mengalami hidrasi, sehingga untuk

mempercepat hidrasinya biasanya dilakukan pemanasan.

 Algin

Diperoleh dari beberapa spesies ganggang laut. Diperdagangkan

terdapat dalam bentuk garamnya, yaitu natrium algina. Algin

merupakan senyawa organik yang mudah mengalami fermentasi

bakteri sehingga suspensi dengan algin memerlukan pengawet.

(Syamsuni, 2012)

b) Bahan Pensuspensi Alam bukan Gom


Suspending agent alam yang bukan gom adalah tanah liat. Tanah liat

yang sering dipergunkan untuk tujuan menambah stabilitas suspensi

ada 3 macam yaitu bentonit, hectorite, dan veegum.

Bahan pensuspensi Sintesis diantaranya adalah sebagai berikut :

 Derivat selulosa

Termasuk kedalam golongan ini adalah metal selulosa (methosol

tylose), Karboksimetilselulosa (CMC), hidroksi metal selulosa.

Golongan ini tidak diabsorbsi oleh usus halus dan tidak beracun

sehingga banyak dipakai dalam produksi makanan. Dalam

farmasi selain untuk bahan pensuspensi juga digunakan sebagai

bahan penghancur atau disintegrator dalam pembuatan tablet.

(Syamsuni, 2012)

 Golongan organik polimer

Yang paling terkenal dalam kelompok ini adalah carbophol 934

(nama dagang suatu pabrik). Berupa serbuk putih, bereaksi asam,

sedikit larut dalam air, tidak beracun dan tidak mengiritasi kulit,

serta sedikit pemakaiannya sehingga bahan tersebut banyak

digunakan sebagai bahan pensuspensi (Syamsuni, 2012)

4. Metode Pembuatan Suspensi

a) Metode Dispersi

Metode ini dilakukan dengan cara menambahkan serbuk bahan obat

ke dalam muchilago yang telah terbentuk, kemudian diencerkan.

b) Metode Presipitasi
Zat yang hendak didispersikan dilarutkan dahulu kedalam pelarut

organik yang hendak dicampur dengan air. Setelah larut dalam pelarut

organik, larutan zat ini kemudian diencerkan dengan larutan

pensuspensi dalam air sehingga akan terjadi endapan halus tersuspensi

dengan bahan pensuspensi. (Syamsuni, 2012)

G. Ibuprofen (Bufect®)

Gambar senyawa ibuprofen dapat dilihat pada gambar 2.2 sebagai

berikut :

Gambar 2.2 Gambar senyawa Ibuprofen

Komposisi: Ibuprofen 100 mg/5 ml; 200 mg/5 ml. Indikasi:

Meringankan nyeri ringan sampai sedang seperti penyakit gigi atau

pencabutan gigi, nyeri kepala, nyeri setelah operasi, nyeri penyakit rematik,

nyeri karena terkilir, menurunkan demam. KontraIndikasi: Hipersensitivitas,

ulkus peptikum, penderita asma, urtikaria atau rinitis, kehamilan trimester

ketiga. Efek samping: Mual, muntah, diare, konstipasi, nyeri lambung. Dosis

yang dianjurkan: sehari 3-4x. Dewasa: 2 sendok teh suspensi atau 1 sendok

teh suspensi forte. Anak-anak: 20 mg/kkgBB/hari suspensi/suspensi forte

dalam dosis terbagi; tidak dianjurkan pemakaian untuk anak <1th. Kemasan :

Botol 60 ml suspensi; 50 ml suspensi forte. (Anonim, 2014).

H. Hewan Percobaan
1. Mencit (Mus musculus)

Gambar hewan mencit dapat dilihat pada gambar 2.3 sebagai berikut :

Gambar 2.3. Gambar Mencit putih jantan

(http://kuntilawak.blogspot.in/2014/12/mikroteknik-fotografi

preparat.html)

Mencit (Mus musculus L.) termasuk mamalia pengerat (rodensia)

yang cepat berkembang biak, mudah dipelihara dalam jumlah banyak,

variasi genetiknya cukup besar serta sifat anatomisnya dan fisiologisnya

terkarakteristik dengan baik. (Akbar, 2010)

Mencit (Mus musculus L.) memiliki ciri-ciri berupa bentuk tubuh

kecil, berwarna putih, memiliki siklus estrus teratur yaitu 4-5 hari. Suhu

ruang pemeliharaan juga harus dijaga kisaran 18-19ºC serta kelembaban

udara antara 30-70%. (Akbar, 2010)

Mencit sering digunakan dalam penelitian dengan pertimbangan

hewan tersebut memiliki beberapa keuntungan yaitu daur estrusnya

teratur dan dapat dideteksi, periode kebuntingannya relatif singkat, dan

mempunyai anak yang banyak serta terdapat keselarasan pertumbuhan

dengan kondisi manusia. (Akbar, 2010)

2. Klasifikasi Mencit
Klasifikasi hewan mencit adalah sebagai berikut :

Phylum : Chordata

Sub phylum : Vertebrata

Class : Mammalia

Ordo : Rodentia

Family : Muridae

Genus : Mus

Species : Mus musculus

(Akbar, 2010)

DAFTAR PUSTAKA
Barus, S. K. (2020). Studi Literatur Efek Analgetik Daun Kemuning (Murraya

paniculate (L) Jack) Terhadap Mencit (Mus musculus). Medan: Politeknik

Kesehatan KemenKes Medan.

Hariana, A. (2011). Tumbuhan Obat dan Khasiatnya. Jakarta: Penebar Swadaya.

Hidayat, S. d. (2015). Kitab Tumbuhan Obat. Jakarta: Agriflo.

Marjoni, R. (2016). Dasar-Dasar Fitokimia. Jakarta: Trans Info Media.

Melati. (2009). Efek Analgetik Ekstrak Etanol Daun Kemuning (Murraya

Paniculata Jack) Pada Mencit Jantan Galur Swiss Webster. Bandung:

Maranatha.

RI, D. (1979). Farmakope Indonesia edisi ketiga. Jakarta: Departemen Kesehatan

Republik Indonesia.

Tjay, T. d. (2007). Obat-Obat Penting edisi ke VI. Jakarta: PT Gramedia.

Yusarman. (2016, Juni 15). Mengenal Tanaman Kemuning Sebagai Obat.

Retrieved from BPTP Banten:

https://banten.litbang.pertanian.go.id/new/index.php/publikasi/folder/968-

mengenal-tanaman-kemuning-sebagai-obat

Anda mungkin juga menyukai