Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 5

LA KURA DAN LA DARE

O
L
E
H

SAIFUDDIN

LOMBA DONGENG

KONTINGEN PGRI

KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR

BARRU

2019
LA KURA DAN LA DARE

Dulu di daerah pelosok Selayar hiduplah sekawanan La Kura dan La Dare. Hari-hari mereka lalui
dengan bermain-main dan penuh persaudaraan. Dimana La Kura-kura berada di situ juga La Dare
berada. Mereka suatu hari mengarungi hutan kenari yang melindungi lembah Gojang.
“La Kura, indah benar negeri kita, meskipun kemarau menembus bumi, tanah kita tetap sejuk dan air
bermunculan di sela-sela pohon Kenari” sembari La Dare melompat di samping La Kura.
“Benar sekali, La Dare, jika kita haus tinggal masuk sungai dan melahap sampai puas. Ingin makan,
La Dare manjat pepohonan yang buahnya ranum hingga perut penuh”.
“Hahaha … syukur sekali La Kura, kita dapat mengambil hasil hutan yang demikian melimpah”.
“Bagaimana kita tidur-tiduran di atas batu besar ini, sambil melepaskan kekenyangan,” tawar la Kura.
La Dare mengerdipkan mata setuju usulan itu.
Matahari sudah condong ke barat, mereka baru terjaga. “Lama juga kita istirahat, La Dare,”
“Benar sekali, sekarang kita cari makan. Di pinggir sungai Sappi ada pisang hutan yang mulai ranum,”
ajak La Dare.
“Mari kita sambangi”, La Kura-kura menyetujuinya.
Dalam perjalanan La Dare muncul ide licik kepada La Kura. Ia mau agar La Kura tidak polos dan
percaya begitu saja. Setelah cahaya matahari mulai menguning tanda hari akan berakhir, sampailah
mereka pada tempat yang dicarinya.
“La Kura, karena saya punya kemampuan memanjat, maka kau tunggu saja pisang yang saya
jatuhkan,”
“Baiklah sahabat, buang saja ke dekat saya pisang itu”, sahut La Laku sambal menyadari bahwa
dirinya tak mampu berbuat apa-apa.
La Dare menggapai pohon pisang seperti kilat. Dirinya bernafsu makan melihat pisang sudah
menguning. Satu persatu pisang dilahap tanpa sisa, kulitnya pun habis.
Melihat singkap La Dare, La Kura protes, “Sahabat, buah pisang hampir habis belum ada satu pun
kau jatuhkan. Kerongonganku juga sama, mau mengisap pisang ranum itu”.
La Dare pura-pura tidak dengar, ia bahkan ingin melenyapkan semuanya tanpa membagi sedikit
kepada La Kura, Namun, La Kura tidak ingin tenggelam dalam pikirannya, bahwa sahabatnya akan
menghianatinya.
“La Kura, aku sudah kenyang sekali, ingin rasanya buang air. Aku tak bisa tahan nih,” teraik Dare.
Belum sempat La kura jalan, tiba-tiba butiran kuning menyentuh kepalanya.
“La Dare, kau bikin apa, kok busuk sekali butiran kuning ini, rasanya mau muntah,”
“Heheheh … itu cuma buangan, La Kura. Nanti aku tambah lagi,”
Mendengar demikian La Kura tidak habis pikir bahwa La Dare menghinanya serendah itu. La Kura
diam saja, perasaan itu disimpannya agar persahabatan di antara mereka tidak retak.
“La Kura, ayo manjat, pohon di sebelah masih ada pisang ranum. Kalau kau dia saja, akan ku makan
habis”, ejek La Dare yang dia paham betul La Kura tak dapat manjat. La Kura hanya menatap sesaat.
“La Kura, aku memang lihai manjat, maka kenyang tanpa batas, tidak sepertimu jalanmu saja lambat,”
Mendengar itu La Kura meneteskan air mata. Selama ini menganggap La Dare sebagai sahabat semati,
namun persoalan makan saja, ia sudah lupakan aku, pikir La Kura.
Malam pun sudah menyelimuti lembah Sappi, La Kura akhirnya tertidur dalam lamunan atas sikap La
Dare. Adapun La Dare tidur di atas pohon pisang.
Pagi hari, cahaya matahari menyapa tubuh mereka baru terbangun.
“La Dare, mari kita mandi, badan terasa hangat sekali”, ajak Lakura.
“Baik, sahabat. Tapi alangkah pagi ini lebih nyaman bila kita berlomba menuju sungai Sappi”.
La Kura sadar bahwa La Dare ingin menujukkan lagi kehebatannya berlari melintasi hutan Kenari.
“Ayo, kita cari keringat”, seru La Kura. Mereka mencari tempat start yang tepat.
Kurang lebih setengah jam mereka berlomba, La Kura sudah tidak dapat melanjutkan perjalanan.
Badannya terasa mau copot, makin mengejar La Dare, tambah tidak kelihatan di depannya. Adapun La
Dare selalu meneriakkan, “Ayo, La Kura, kejar daku. Hehehe … Jangan berhenti, bila sejenak istirahat kau
makin ketinggalan.”
“Aku tak sanggup mungkin, La Dare?” dengan suara terbata-bata ngos-ngosan La Kura mengeluh.
“La Kura, sepanjang perjalanan kita, kau tidak pernah mengalahkanku,” teriak La dare dari kejauhan.
Tak lama kemudian La Dare berteriak samar-samar, “Api.iiiiiiiiiiiiiiiiii……”. La Kura berpikir bahwa La
dare main-main lagi dengan dirinya.
“Oya, dekat sungai dipenuhi semak-semak yang mudah terbakar”, desah La Kura.
Beberapa saat, La Kura tiba di pinggir semak dan melihat La Dare sibuk mencari tempat
perlindungan. “Aku setengah mati kepanasan”.
“Ini satu-satunya jalan menuju sungai, bagaimana aku melompat, sedangkan api menyebar ke mana-
mana?” keluh La Dare. Dalam hati La Kura merasa sedih karena tidak dapat membantu sahabatnya,
meskipun dia sadar bahwa La Dare sering menjahilinya.
“La Kura, mengapa ini terbakar, siapa yang membakarnya?”
“Pasti yang mencari keuntungan sesaat”, jawab La Kura datar.
“La Dare, baru kali ini, kau kehabisan akal untuk mengalahkannku?” ledek La Kura. Tiba-tiba muncul
ego dalam diri La Dare, ia teguhkan dirinya kalau La Kura tidak akan pernah mengalahkan kapan dan
dimanapun.
La Dare punyai dua pilihan, berenang dalam kubangan kerbau atau melalui kobaran api yang
berujung kematian. La Dare cepat mengambil keputusan dengan melompat di antara semak-semak sekuat
tenaga membelah kobaran api.
La kura-kura perlahan menyeberangi kubangan kerbau hingga pinggir sungai Sappi. Matanya tidak
berkedip memperhatikan sahabatnya berperang dengan si jago merah.
“Kura, aku kepanasan, tidak dapat lagi melompat. Buluku habis dilahap api”, teriak La Dare. La Kura
cepat menepi, namun tidak juga dapat menolong sahabatnya. “Kura, tatoku monni iiiiiiiiii…. (burungku
berbunyi tatoku monni iiiiiiiiii…. (burungku berbunyi), tatoku monni iiiiiiiiii…. (burungku berbunyi), Aku tak
tahan lagi, sakit ….. sekali”. Suara itu makin mengecil akhirnya menghilang.
La Kura kura belum yakin bahwa La Dare akan meregang nyawa. La Dare suka bercanda bahkan
dalam keadaan gentingpun masih bercanda. Tetapi di sela semak itu, tidak adalagi tanda hidup.
Onggokan hitam melebur dengan kengosongan semak yang dihaguskan api.
La kura menghelai nafas panjang, “Benar hidup ini hanya penuh keangkuhan dan kesombongan,
seperti sahabatku La Dare. Ia mati karena gengsi aku kalahkan.”
Pesan moral adalah 1) kesombongan menghancurkan bagi yang memilikinya dan 2) mahluk apapun
mempunyai kelebihan dan kekurangan.

Anda mungkin juga menyukai