Anda di halaman 1dari 4

PEMERINTAH mengambil langkah yang tidak populer, yakni menaikkan harga bahan

bakar minyak per 3 September. Penaikan harga BBM ini disampaikan langsung oleh
Presiden Joko Widodo didampingi sejumlah menteri terkait. Selain tidak populer,
maklumat penaikan harga BBM itu juga disampaikan dalam waktu yang tidak lazim,
yakni masa berlaku pukul 14.30 WIB atau satu jam setelah diumumkan. Padahal,
biasanya penaikan harga BMM berlaku pukul 00.00 WIB. Pemerintah memutuskan
untuk menyesuaikan harga BBM subsidi antara lain Pertalite dari Rp7.650 per liter
menjadi Rp10.000 per liter, kemudian Solar subsidi dari Rp5.150 per liter menjadi
Rp6.800 per liter, Pertamax nonsubsidi dari Rp12.500 per liter menjadi Rp14.500 per
liter. Penaikan harga BBM ialah pilihan yang realistis di antara beberapa skenario yang
disiapkan pemerintah. Langkah yang tidak populer ini hanya bisa diambil oleh
pemimpin yang memiliki keberanian. Pemimpin yang punya nyali bahwa masa depan
bangsa jauh lebih penting ketimbang menikmati kepentingan sesaat, seperti guyuran
subsidi BBM dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Terlebih
kelompok masyarakat sebanyak 70% yang menikmati BBM bersubsidi adalah kaum
berpunya. Presiden Jokowi mengakui bahwa anggaran subsidi dan kompensasi 2022
membengkak tiga kali lipat dari Rp152,5 triliun menjadi Rp502,4 triliun. Jika tidak
dikendalikan, subsidi dan kompensasi akan meroket terus. Membengkaknya anggaran
subsidi dan kompensasi ini tidak dibarengi dengan sasaran subsidi yang tepat. Orang-
orang yang tidak mampu malah gigit jari. Data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional
Badan Pusat Statistik pada Maret 2021 menunjukkan dari total alokasi kompensasi
Pertalite Rp93,5 triliun yang dianggarkan di APBN (sesuai Perpres 98/2022), 86% atau
Rp80,4 triliun dinikmati rumah tangga dan sisanya 14% atau Rp13,1 triliun dinikmati
dunia usaha. Dari Rp80,4 triliun yang dinikmati rumah tangga, ternyata 80% di
antaranya dinikmati rumah tangga mampu sedangkan 20% dinikmati rumah tangga
tidak mampu. Begitu juga dengan Solar dari total subsidi dan kompensasi Rp143,4
triliun, sejumlah 11% atau Rp15 triliun dinikmati rumah tangga dan sisanya yaitu 89%
atau Rp127,6 triliun dinikmati dunia usaha. Dan untuk kategori rumah tangga yang
menikmati, itu pun 95% adalah rumah tangga mampu, sehingga hanya 5% rumah
tangga tidak mampu yang menikmati Solar subsidi. Dari data tersebut menunjukkan
bahwa penaikan harga BBM merupakan langkah yang tepat. APBN 2022 sudah
limbung menopang subsidi. Jika subsidi mengucur terus, APBN akan terhuyung-
huyung dan ambruk sehingga pembangunan tak bisa dilaksanakan, dan Indonesia
bakal menjadi negara bangkrut bahkan gagal. Pemerintah harus menyehatkan APBN
dengan mengalihkan subsidi langsung ke orang yang berhak. Pemerintah akan
menyalurkan bantuan yang lebih tepat sasaran, yaitu melalui bantuan langsung tunai
BBM yang akan diberikan kepada 20,65 juta keluarga yang kurang mampu,
menyiapkan anggaran untuk bantuan subsidi upah yang diberikan kepada pekerja
dengan gaji maksimum Rp3,5 juta per bulan, dan menginstruksikan pemerintah daerah
untuk menggunakan anggaran sebesar 2% dari dana transfer umum salah satunya
untuk bantuan sektor transportasi. Namun demikian, tak bisa dipungkiri penaikan
harga BBM akan menciptakan efek domino bagi sektor-sektor kehidupan lainnya.
Penaikan harga BBM subsidi dan Pertamax ini akan mendorong inflasi ke angka 9%.
Oleh karena itu, diperlukan upaya keras dari pemerintah untuk menjaga daya beli dari
kelompok masyarakat yang rentan dengan memastikan BLT BBM tepat sasaran,
optimalisasi belanja pemerintah, dan menggairahkan investasi dengan berbagai
terobosan. Di samping langkah-langkah ekonomi, langkah politik pun jangan dianggap
remeh, bahkan terkadang jauh lebih penting melampaui kepentingan ekonomi, yakni
konsolidari partai pendukung pemerintah di parlemen. Jika kekuatan politik
pemerintah di Senayan ambyar ketika tekanan demonstrasi menolak penaikan BBM
masif, dipastikan kebijakan mulia dengan menyehatkan APBN dari rongrongan subsidi
akan kontraproduktif. Pemerintah dan partai pendukungnya harus solid. Jangan ada
yang menikam dari belakang untuk tujuan jangka pendek, Pemilu 2024.

Menyelamatkan
Institusi Polri

SETELAH sebulan berkutat dalam gelap, pengusutan kasus kematian Brigadir


Novriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J mulai menemukan titik terang. Kini,
menjadi tugas Polri untuk menjadikan perkara itu benar-benar benderang.

Brigadir J dibunuh di rumah dinas mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri
Irjen Ferdy Sambo di bilangan Duren Tiga, Jakarta Selatan, pada 8 Juli. Kematiannya
mencuatkan spekulasi luar biasa, juga keraguan tiada tara di kalangan masyarakat.
Profesionalitas Polri pun disorot tajam akibat ketidakprofesionalan sebagian
anggotanya.

Bau busuk penyebab kematian Brigadir J menguar ke mana-mana. Begitu banyak


kejanggalan disampaikan Polri di awal-awal penanganan kasus itu. Publik bertanya-
tanya, kenapa Polri baru membeberkan perkara itu tiga hari setelah kejadian? Publik
berkasak kusuk kenapa CCTV di rumah jenderal polisi rusak, mati, tapi di hari ke-9
hidup lagi?
Tanda tanya besar, sangat besar, juga mengemuka kenapa Bharada Richard Eliezer atau
Bharada E bisa menggunakan senjata Glock 17 untuk adu tembak dengan Brigadir J?
Bukankah Glock hanya untuk perwira?

Pernyataan awal Polri sebatas katanya, meski katanya didasarkan pada hasil
penyelidikan. Katanya Bharada E baku tembak dengan Brigadir J setelah mendengar
teriakan istri Sambo, Putri Chandrawathi. Katanya, Putri dilecehkan oleh Brigadir J
sehingga berteriak. Masih banyak lagi katanya, tapi masyarakat tak percaya begitu saja.

Sulit disangkal, kasus tersebut berdampak serius, sangat serius, bagi citra polisi di mata
masyarakat. Banyak sekali penilaian miring, sebab perkara itu dinilai sangat mudah
diusut tetapi faktanya teramat sulit untuk diselesaikan. Yang mudah dibuat rumit, yang
cepat dibikin lambat.

Pada konteks itu, kiranya kita patut mendukung langkah Kapolri Jenderal Listyo Sigit
Prabowo yang punya komitmen tinggi untuk menuntaskan kasus yang terjadi. Dia
membentuk tim khusus, lalu memutasi 25 anak buahnya. Kapolri blak-blakan pula
bahwa ada ketidakprofesionalan anggotanya sehingga pengusutan berjalan sesat.

Kapolri juga tegas bersikap dengan menonaktifkan Irjen Sambo. Jenderal polisi bintang
dua itu kemudian bahkan dicopot dan ditempatkan di Rutan Mako Brimob karena
diduga melanggar kode etik. Dia kini diselidiki atas kemungkinan terlibat dalam tindak
pidana kematian Brigadir J.

Timsus bentukan Kapolri pun sudah menetapkan dua tersangka, yakni Bharada E dan
Brigadir Ricky Rizal. Brigadir Ricky yang ajudan istri Irjen Sambo dijerat pasal
pembunuhan berencana.

Meski lambat, gerak Kapolri dan jajarannya bolehlah diapresiasi. Tetapi apa yang
mereka tunjukkan masih jauh dari cukup. Jelas, sangat jelas, indikasinya ada pelaku
lain dalam pembunuhan Brigadir J.

Dalam pengakuannya belakangan ini, misalnya, Bharada E terang-terangan


mengatakan diperintah oleh atasannya untuk menembak Brigadir J. Dia juga menyebut
sebenarnya tidak baku tembak. Dikatakan pula Irjen Sambo ada di lokasi saat kejadian.
Padahal, dalam kisah sebelumnya, Sambo disebut pergi untuk tes PCR.

Betul bahwa Bharada E memang bersalah. Tapi, kesediaannya untuk buka-bukaan


patut kita hargai. Dia siap menjadi jusctice collaborator. Dia harus dilindungi agar
pengakuan-pengakuan terus diucapkan sehingga kebenaran bisa terkuak nanti.

Jika salah satu pelaku sudah membuat pengakuan, tak ada lagi alasan bagi kepolisian
untuk kembali berlama-lama menuntaskan perkara. Penyelesaian kasus ini tidak boleh
berhenti di Bharada Eliezer dan Brigadir Ricky. Pedang hukum harus pula menebas
pelaku-pelaku lain, siapa pun dia, termasuk otak di balik kematian Brigadir J, setinggi
apa pun pangkatnya.

Presiden Jokowi sudah beberapa kali meminta agar kasus itu diungkap dengan sejujur-
jujurnya. Kiranya Presiden tak perlu mengulangi permintaan itu lagi. Masyarakat pun
sudah lelah, muak, dengan gerak lambat dan aksi tipu-tipu untuk menutupi apa yang
sebenarnya terjadi. Saatnya kasus kematian Brigadir J diselesaikan demi keadilan, juga
demi menyelamatkan kredibilitas institusi Polri.

Anda mungkin juga menyukai