Anda di halaman 1dari 8

MODUL PENUNTUN PRAKTIKUM

PESTISIDA DAN TEKNIK APLIKASI

OLEH:

PROF. DR. IR. I WAYAN SUPARTHA, MS

PROF. IR. I WAYAN SUSILA, MS

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS UDAYANA

2019
Pengertian Pestisida
Secara harafiah, pestisida berarti pembunuh hama (pest: hama dan cide: membunuh).
Dalam bidang pertanian banyak digunakan senyawa kimia, antara lain sebagai pupuk tanaman
dan pestisida (Sartono, 2001). Berdasarkan SK Menteri Pertanian RI No.
434.1/Kpts/TP.270/7/2001, tentang Syarat dan Tata Cara Pendaftaran Pestisida, yang dimaksud
dengan pestisida adalah semua zat kimia atau bahan lain serta jasad renik dan virus yang
digunakan untuk beberapa tujuan yaitu memberantas atau mencegah hama dan penyakit yang
merusak tanaman, bagian tanaman, atau hasil-hasil pertanian; memberantas rerumputan;
mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan; mengatur atau merangsang
pertumbuhan tanaman atau bagian bagian tanaman (tetapi tidak termasuk golongan pupuk).
Sementara itu, Peduto (1996) mendefinisikan pestisida sebagai berikut :
1.Pestisida merupakan semua zat atau campuran zat yang khusus digunakan untuk
mengendalikan, mencegah atau menangkis gangguan serangga, binatang pengerat, nematoda,
gulma, virus, bakteri, serta jasad renik yang dianggap hama; kecuali virus, bakteri, atau jasad
renk lain yang terdapat pada hewan dan manusia.
2.Pestisida merupakan semua zat atau campuran zat yang digunakan untuk mengatur
pertumbuhan atau mengeringkan tanaman.

I. Perkenalan Bentuk Fisik Dan Formulasi

Bahan terpenting dalam pestisida yang bekerja aktif terhadap hama sasaran disebut bahan
aktif. Produk jadi yang merupakan campuran fisik antara bahan aktif dan bahan tambahan yang
tidak aktif dinamakan formulasi. Formulasi sangat menentukan bagaimana pestisida dengan
bentuk dan komposisi tertentu harus digunakan, berapa dosis atau takaran yang harus digunakan,
berapa frekuensi dan interval penggunaan, serta terhadap jasad sasaran apa pestisida dengan
formulasi tersebut dapat digunakan secara efektif. Selain itu, formulasi pestisida juga
menentukan aspek keamanan penggunaan pestisida dibuat dan diedarkan dalam banyak macam
formulasi, sebagai berikut (Djojosumarto, 2008):

1. Formulasi Padat : WP, SP, G, WG, SG


 Wettable Powder (WP), merupakan sediaan bentuk tepung (ukuran partikel beberapa
mikron) dengan aktivitas bahan aktif relatif tinggi (50 – 80%), yang jika dicampur dengan
air akan membentuk suspensi. Pengaplikasian WP dengan cara disemprotkan.
 Soluble Powder (SP), merupakan formulasi berbentuk tepung yang jika dicampur air
akan membentuk larutan homogen. Digunakan dengan cara disemprotkan
 Butiran, umumnya merupakan sediaan siap pakai dengan konsentrasi bahan aktif rendah
(sekitar 2%). Ukuran butiran bervariasi antara 0,7 – 1 mm. Pestisida butiran umumnya
digunakan dengan cara ditaburkan di lapangan (baik secara manual maupun dengan
mesin penabur).
 Water Dispersible Granule (WG atau WDG), berbentuk butiran tetapi penggunaannya
sangat berbeda. Formulasi WDG harus diencerkan terlebih dahulu dengan air dan
digunakan dengan cara disemprotkan.
 Soluble Granule (SG), mirip dengan WDG yang juga harus diencerkan dalam air dan
digunakan dengan cara disemprotkan bedanya, jika dicampur dengan air, SG akan
membentuk larutan sempurna.
 Tepung hembus, merupakan sediaan siap pakai (tidak perlu dicampur dengan air
berbentuk tepung (ukuran partikel 10 – 30 mikron) dengan konsentrasi bahan aktif rendah
(2%) digunakan dengan cara dihembuskan (dusting).

2. Formulasi Cair : EC, WSC, AS, SL,ULV


 Emulsifiable Concentrate atau Emulsible Concentrate (EC), merupakan sediaan
berbentuk pekatan (konsentrat) cair dengan kandungan bahan aktif yang cukup tinggi.
Oleh karena menggunakan solvent berbasis minyak, konsentrat ini jika dicampur dengan
air akan membentuk emulsi (butiran benda cair yang melayang dalam media cair
lainnya). Bersama formulasi WP, formulasi EC merupakan formulasi klasik yang paling
banyak digunakan saat ini.
 Water Soluble Concentrate (WCS), merupakan formulasi yang mirip dengan EC, tetapi
karena menggunakan sistem solvent berbasis air maka konsentrat ini jika dicampur air
tidak membentuk emulsi, melainkan akan membentuk larutan homogen. Umumnya
formulasi ini digunakan dengan cara disemprotkan.
 Aquaeous Solution (AS), merupakan pekatan yang bisa dilarutkan dalam air. Pestisida
yang diformulasi dalam bentuk AS umumnya berupa pestisida yang memiliki kelarutan
tinggi dalam air. Pestisida yang diformulasi dalam bentuk ini digunakan dengan cara
disemprotkan.
 Soluble Liquid (SL), merupakan pekatan cair. Jika dicampur air, pekatan cair ini akan
membentuk larutan. Pestisida ini juga digunakan dengan cara disemprotkan.
 Ultra Low Volume (ULV), merupakan sediaan khusus untuk penyemprotan dengan
volume ultra rendah, yaitu volume semprot antara 1 – 5 liter/hektar. Formulasi ULV
umumnya berbasis minyak karena untuk penyemprotan dengan volume ultra rendah
digunakan butiran semprot yang sangat halus.

3. Formulasi Gas : Zat padat yg mudah menjadi gas (menyublim); Bahan cair yg mudah
menguap; Bahan gas.
II. Pengenalan Fungsi dari Surfaktan

Surfaktan (dari katasurface active agent) adalah senyawa yang dapat menurunkan
tegangan permukaan air. Umumnya molekul surfaktan mengandung ujung ekor hidrofobik yang
terdiri atas satu rantai hidrokarbon atau lebih (group alifatik atau aromatik) dan kepala hidrofilik
(sulfonate, sulfate, amine atau polyoxyethylene). Surfaktan menurunkan tegangan permukaan air
dengan cara mematahkan ikatan-ikatan hidrogen melalui peletakan kepala-kepala hidrofiliknya
pada permukaan air sedangkan ekor-ekor hidrofobiknya terentang menjauhi permukaan air
(Fessenden & Fessenden 1989).
Dalam bidang pertanian, penggunaan pestisida sering juga dicampurkan dengan
surfaktan, yaitu sebagai bahan perata, pembasah dan perekat. Bahan perata bertujuan untuk
meningkatkan perataan penyebaran larutan semprot, memperkecil tegangan permukaan butiran
cairan semprot atau memperbesar kontak antara pestisida (Wudianto, 1997). Konsumsi surfaktan
sintesis (kimia) di bidang petrokimia sangat besar. Beberapa surfaktan sintesis bersifat toksik.
Dibanding dengan surfaktan kimia, biosurfaktan sangat selektif, cukup diperlukan dalam jumlah
kecil, efektif di bawah kisaran luas kondisi minyak dan reservoir (Kadarwati, 2006).
Biosurfaktan memiliki keuntungan yang lebih dibanding surfaktan kimia dalam hal biodegradasi,
ramah lingkungan, non toksik dan struktur kimianya lebih beragam (Bayoumi et al., 2011).

Cara kerja:
1.Bahan yang dibutuhkan dalam praktikum ini adalah : a.Debu kering; b. Tepung; c. susu/kopi;
d. Minyak; e. Deterjen; f. Daun talas; g. Air.
2.Debu kering, tepung, susu/kopi, minyak dibagi 2 bagian, yang satu dicampur dengan deterjen
secara merata dan yang satu tidak. Amati apa yang terjadi setelah masing-masing ditambahkan
dengan air ?.
3.Teteskan daun talas dengan air murni dan bandingkan dengan air yang sudah dicampur
deterjen. Jelaskan apa yang terjadi!.
4.Tangan yang diolesi minyak, coba dibilas dengan air murni kemudian dibandingkan dengan air
yang dicampur deterjen gosok-gosok sedikit, amati apa yang terjadi!.
5.Campurkan minyak dengan air bandingkan dengan yang ditambah detergen sama-sama
dikocok sedikit, amati apa yang terjadi!.
III. Mengenal Sifat – Sifat Asam dan Basa

Berdasarkan sifat kompatibilitasnya kadang-kadang pestisida dapat dicampur dengan pestisida


lain yang bersifat asam atau basa. Apakah sifat basa atau asam itu dan bagaimana
menentukannya. Berdasarkan sifat keasaman suatu larutan, maka larutan dapat digolongkan
kedalam : larutan yang bersifat asam, basa dan netral. Sebagai cara yang digunakan untuk
menyatakan derajat keasaman, digunakan satuan PH yang sebetulnya adalah nilai logaritma dari
konsentrasi ion hidrogen. Nilai PH berkisar antara 0 -14. Larutan yang mempunyai PH 0 - <7
adalah bersifat asam, >7 – 14 adalah bersifat basa, sedangkan kalau tepat 7 dinamakan netral.
Dalam praktikum ini kita akan menggunakan kertas indikator (petunjuk) untuk menunjukkan
larutan apakah bersifat asam, basa atau netral. Kertas lakmus yang digunakan ada yang berwarna
merah atau biru.
3.1. Bahan yang dibutuhkan dalam praktikum ini :
a. Beberapa pestisida
b. Air suling
c. Air got
d. Air sumur
e. Air kali
f. Air PAM
3.2 Masukkan kertas lakmus kedalam bahan-bahan tersebut diatas, perhatikan perubahan warna
dari kertas lakmus tersebut!

IV. Pengamatan Gejala Keracunan Pestisida


Keracunan pestisida terjadi bila ada bahan pestisida yang mengenai dan/atau masuk ke
dalam tubuh dalam jumlah tertentu. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi keracunan
pestisida antara lain: a. Dosis pestisida berpengaruh langsung terhadap bahaya keracunan
pestisida, karena itu dalam melakukan pencampuran pestisida untuk penyemprotan petani
hendaknya memperhatikan takaran atau dosis yang tertera pada label. Dosis atau takaran yang
melebihi aturan akan membahayakan penyemprot itu sendiri. b. Toksisitas senyawa pestisida.
Kesanggupan pestisida untuk membunuh sasarannya.
Pestisida yang mempunyai daya bunuh tinggi dalam penggunaan dengan kadar yang rendah
menimbulkan gangguan lebih sedikit bila dibandingkan dengan pestisida dengan daya bunuh
rendah tetapi dengan kadar tinggi. Toksisitas pestisida dapat diketahui dari LD 50 oral yaitu
dosis yang diberikan dalam makanan hewan-hewan percobaan yang menyebabkan 50% dari
hewan-hewan tersebut mati. Toksisitas pestisida secara inhalasi juga dapat diketahui dari LC 50
yaitu konsentrasi pestisida di udara yang mengakibatkan 50% hewan percobaan mati. Makin
rendah nilai LD 50/LC 50 maka makin toksis pestisida tersebut. a. Jangka waktu atau lamanya
terpapar pestisida. Paparan yang berlangsung terus-menerus lebih berbahaya daripada paparan
yang terputus-purus pada waktu yang sama. Jadi pemaparan yang telah lewat perlu diperhatikan
bila terjadi risiko pemaparan baru. Karena itu penyemprot yang terpapar berulang kali dan
berlangsung lama dapat menimbulkan keracunan kronik. b. Jalan masuk pestisida dalam tubuh.
Keracunan akut atau kronik akibat kontak dengan pestisida dapat melalui mulut, penyerapan
melalui kulit dan saluran pernafasan. Pada petani pengguna pestisida keracunan yang terjadi
lebih banyak terpapar melalui kulit dibandingkan dengan paparan melalui saluran pencernaan
dan pernafasan.
Cara kerja:
 Pengaruh Dosis lethal dari Matador 25 EC terhadap Jangkrik : oleskan larutan pestisida
secara” topical aplication” pada bagian thorax dari serangga jangkrik, kemudian amati
gejala yg muncul sampai mati, serta waktu yg dibutuhkan sampai serangga mati.

V. Kalibrasi Pestisida
Tehnik kalibrasi pestisida dilakukan untuk mengkalibrasi/ mengestimasi atau memperkirakan
kebutuhan larutan pestisida/ ZPT dan  pupuk daun yang diperlukan untuk diaplikasikan pada
lahan kita. Jika kita mengetahui kebutuhan total air yang diperlukan untuk menyemprot
(aplikasi) kita akan mudah menentukan konsentrasi pestisida/ ZPT atau pupuk daun yang akan
kita gunakan. Hal ini sangat erat kaitanya dengan penggunaan pestisida yang ketentuan
kebutuhannya menggunakan dosis bukan konsentrasi.
Para petani biasanya kurang sabar untuk melakukan kalibrasi pestisida atau mungkin mereka sudah
sangat hafal kebutuhan larutan pestisida yang harus diaplikasikan ketanamannya. Misalnya petani sudah
tahu butuh berapa tangki 14 liter untuk mengaplikasiakan pestisida untuk mengendalikan wereng pada
tanaman umur 50 hst. Kebutuhan pestisida ini akan selalu berbeda sesuai dengan kebiasaan/ cara
menyemprot, jenis tanaman, umur tanaman dan hama yang akan dikendalikan. Kebutuhan larutan untuk
mengendalikan hama wereng jelas lebih banyak daripada hama walang sangit. Kebutukan larutan
pestisida untuk menyemprot tanaman cabe jelas lebih banyak daripada tanaman kacang tanah.
Penggunaan larutan pestisida untuk tanaman 1 minggu jelas lebih sedikit jika dibanding dengan tanaman
umur 2 bulan.

Cara tehnik kalibrasi pestisida:


 Siapkan pengukur waktu (jam atau stopwatch)

 Siapkan tangki berisi air bersih dan pompa sampai penuh.

 Ukur lama waktu penyemprotan yang akan kita lakukan

 Lakukan penyemprotan pada satuan luas terkecil lahan kita (misalnya: 1 bedeng, 2 m persegi, 2
meter bedeng dll)
 Catat lama waktu penyemprotan satuan luas terkecil lahan kita,

 Lakukan lagi penyemprotan dengan jumlah waktu yang sama hanya saja tidak pada tanaman
tetapi tampung air tersebut dalam ember.
 Ukur berapa ml larutan tersebut

 Untuk mengetahui jumlah total larutan semprot, kalikan air yang anda tampung tadi dengan
berapa kali luas lahan sample yang kita semprot tadi dibanding dengan luas lahan kita. Dengan
rumuskan: Vt = Vs X ( Lt : Ls)
Keterangan :
- Vt : Kebutuhan Volume total untuk menyemprot suatu lahan
- Vs : Volume air hasil kalibrasi (yg ditampung di ember)
- Lt : Luas lahan total
-Ls:Luaslahansample
DAFTAR PUSTAKA
.

Bayoumi, R. A., H. A, Atta, M. A, El-Sehrawey & S.M. Selim. 2011. Microbial Production of
Biosurfactants from Some El-Korma Governorate Microbial Isolates for Bioremediation
of Crude Oil Spills in the Different Environments. Journal of Basic and Applied
Scientific Research 1(10): 1541-1555

Djojosumarto, Panut. 2008. Teknik Aplikasi Pestisida Pertanian Edisi Revisi. Kanisius.
Yogyakarta.

Fessenden, R.J. and J.S. Fessenden. 1986. Kimia Organik Dasar Edisi Ketiga. Jilid 1.
Terjemahan oleh A.H. Pudjaatmaka. Erlangga. Jakarta

Kadarwati, S. 2006. Karakterisasi Biosurfaktan yang Dihasilkan Bakteri Providancia rettgeri dan
Bacillus subtilis dari Reservoir Minyak di Indonesia. Lembaran Publikasi Lemigas 42
(3): 18-26.

Sartono, 2001. Racun Dan Keracunan. Cetakan I. Widya Medika, Jakarta.

Peduto, V., 1996. Carbamate and Organophosphate Poisoning, Minerva Anestestor

Wudianto, R., 1997. Petunjuk Penggunaan Pestisida. Penebar Swadaya, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai