Anda di halaman 1dari 7

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Angka Kematian Bayi (AKB) masih menjadi isu kesehatan dunia karena AKB

merupakan salah satu indikator penentu derajat kesehatan dan tingkat

kesejahteraan masyarakat suatu negara. Salah satu tujuan SDGs yang ketiga yaitu

menjamin kehiupan sehat dan mendukung kesejahteraan bagi masyarakat. Target

yang berkaitan dengan pemerintah daerah yaitu mengakhiri kematian yang

dapat dicegah pada bayi dan balita. Langkah yang akan dicapai dengan cara

mengakhiri kematian bayi dan balita yang adapat di cegah , dengan menurunkan

Angka Kematian hingga 20 per 1000 Kelahiran Hidup, dan Angka Kematian

Balita 25 per 1000 Kelahiran Hidup (Hoelman dkk, 2015).

AKB di Indonesia masih terbilang cukup tinggi dibanding dengan negara-

negara tetangga di kawasan Association of Soutetheast Asian Nation

(ASEAN).Perhatian terhadap upaya penurunan Angka Kematian Neonatal (AKN)

(0-28 hari) menjadi penting karena kematian neonatal memberi konstribusi

terhadap 59% kematian bayi.

Menurut data Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur (2020), jumlah AKB

relatif sangat kecil. Secara perhitungan absolut, jumlah kematian bayi sebanyak

3.614 bayi dengan 2.957 kematian di dalamnya meupakan neonatal.Untuk


kematian balita secara total sebanyak 3.867 balita meninggal. Proposi kematian

neonatal dalam 3 tahun ini mencapai 4/5 dari kematian bayi.

Dalam empat tahun terakhir (2017-2020) jumlah kematian bayi di Jawa Timur

terlihat cenderung mengalami penurunan, begitu pula jika di lihat dari Angka

Kematian Bayi (AKB) yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun

2015-2019 cenderung stagnan menurun. Untuk mencapai target Nasional,

dukungan lintas program dan lintas sector serta organisasi profesi yang terkait

upaya peningkatan pelayanan kesehatan ibu dan bayi sangat diharapkan.

Seperti halnya dengan Angka Kematian Neonatal yang dari tahun ke tahun

mengalami penurunan, Angka Kematian Bayi (AKB) 5,01 dari 1000 KH dan

Angka Kematian Balita 5,93 dari 1000 KH (2019). Angka Kematian Bayi di

Surabaya dari tahun ke tahun cenderung menurun, dari 6,48 per KH (Kelahiran

Hidup) di tahun 2015 menjadi 5,01 per KH di tahun 2019 ( Profil Kesehatan Kota

Surabaya, 2020)

Pertolongan kesehatan berpengaruh signifikan terhadap kematian bayi ,

terutama pelayanan kesehatan ibu dan anak. Jika Pelayanan kesehatan tidak

diperbaiki maka AKB akan terus meningkat, sehingga diperlukan peningkatan

pelayanan kesehatan untuk mengendalikan AKB. Salah satunya dengan

melaksanakan Inisiasi Menyusui Dini (IMD) pada Bayi Baru Lahir (BBL)

(Sulistyawati, 2009)

Pemerintah Indonesia mendukung kebijakan Word Health Organization

(WHO) dan United Nations International Children’s Emergency Fund (UNICEF)

yang merekomendasikan IMD sebagai tindakan “penyelamatan hidup”, karena


IMD dapat menyelamatkan 22% dari bayi yang meninggal sebelum usia satu

bulan. Data riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2021, 52,5 persen atau hanya

setengah dari 2,3 juta bayi berusia kurang dari enam bulan yang mendapatkan

ASI esklusif di Indonesia, atau menurun 12 persen dari angka di tahun 2019.

Angka Inisiasi Menyusui Dini (IMD) juga turun dari 58.2 persen pada tahun

2019 menjadi 48,6 persen pada tahun 2021.

Menyusui merupakan salah satu nvestasi terbaik untuk kelangsungan hidup

dan meningkatkan kesehatan, perkembangan sosial, serta ekonomi individu. Salah

satu cara untuk menekan angkakematian bayi adalah dengan memberikan

makanan terbaik , yaitu Air Susu Ibu (ASI). Pemberian ASI esklusif selam 6

bulan dapat mengurangi hingga 13% angka kematian balita. Pemerintah terus

berkomitmen memberikan dorongan kepada para ibu agar berhasil dalam Inisiasi

Menyusui Dini (IMD), memberikan ASI esklusif (hanya ASI saja sampai usia 6

bulan) dan meneruskan pemberian ASI sampai umur 2 tahun atau lebih

didampingi makanan pendamping yang tepat (Kemeskes RI, 2020)

Inisiasi Menyusui Dini (IMD) adalah proses membiarkanbayi menyusu

sendiri segera setelah dilahirkan dan disusui elama satu jam atau lebih, cara bayi

melakukan Inisiasi Menyusui Dini (IMD) dinamakan the breast crawl atau

merangkak mencari payudara. Prinsipnya Inisiasi Menyusui Dini merupakan

kontak langsung antara kulit ibu dan kulit bayi, bayi ditengkurapkan didada atau

diperut ibu selekas mungkin setelah seluruh badan dikeringkan kecuali pada

telapak tangan dan dibiarkan merangkak untuk mencari putting untuk segera

menyusui. Kedua telapak tangan bayi dibiarkan tetap terkrena air ketuban karena
baud an rasa cairan ketuban ini sama dengan bau yang dikeluarkan payudara ibu,

dengan demikian ini menuntun bayi untuk menemukan putting (Muryani, 2013)

Setiap bayi yang baru lahir mempunyai kemampuan untuk mulai menyusu

sendiri dan menemukan putting susu ibunya, dengan syarat setelah bayi lahir

tersebut segera diletakkan di atas dada ibu dan terjadi kontak antara kulit bayi

dengan kulit ibu atau skin to skin contact. Bayi yang diberi kesempatan Inisiasi

Menyusui Dini (IMD) lebih dulu mendapatkan kolostrum dari pada yang tidak

diberi kesempatan (Roesli, 2012).

Inisiasi Menyusui Dini dalam wakti 1 jam setelah kelahiran dan tidak ada

pemberian makanan prelakteal adalah praktik yang direkomendasikan WHO

untuk meningkatkan hasil kesehatan ibu dan bay baru lahir. Secara global IMD.

Manfaat lain yang bias diperoleh IMD adalah meningkatkan jalinan kasih saying

antara ibu dan bayi ( bonding). Hubungan emosional yang erat, kontak kulit,

rangsangan visual, dan pendengaran yang terjadi pada saat proses IMD membantu

merangsang produksi hormon oksitosin yang berperan dalam kontraksi uterus

setelah melahirkan, sehingga akan membantun mengurangi perdarahan. Kadar

hormone oksitosin pada saat IMD akan lebih meningkat secara signifikan (Nazai

Bintie Ali dkk, 2020)

Hasil penelitian dapat disimpukan bahwa jika ibu bersalin melakukan Inisiasi

Menyusui Dini (IMD) atau memberikan ASI segera setelah lahir ada banyak

sekali manfaat yang diperoleh baik pada bayi maupun ibunya. Sentuhan dengan

kulit ibu memberikan kehangatan dan ketenangan. Bayi juga akan memperoleh

antibodi yang berarti bayi memperoleh imunisasinya yang pertama. Sentuhan dan
hisapan pada payudara ibu serta gerakan kaki bayi pada perut ibu mendorong

terbentuknya oksitosin yang berdampak pada kontraksi pada uterus seningga

membantu lepasnya plasenta (Yona dan Shinta, 2020).

Beberapa kebijakan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah untuk

meningkatkan cakupan pemberian ASI Esklusif di Indonesia. Peraturan

Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012 menginstruksikan kepada pemerintah daerah

dan swasta untuk bekerjasama mendukung pemberian ASI Esklusif dan

InisiasiMenyusui Dini (IMD). Melalui Peraturan Pemerintah, Pemerintah

menginformasikan hak perempuan untuk menyusui (termasuk di tempat kerja)

dan melarang promosi pengganti ASI. Pemberian ASI Esklusif dan IMD

bertujuan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi bayi dan mencegah kekurangan gizi

pada balita. Selain itu pemerintah juga sudah memerintahkan pemerintah daerah

untuk menyediakan fasilitas khusus ibu menyusui di tempat kerja agar tetap bisa

menyusui banyinya (Kemenkes, 2015) .

Ada beberapa intervensi yang dapat mempengaruhi kemamapuan alami bayi

untuk IMD di antaranya yaitu: 1) obat-obatan kimiawi yang diberikan saat ibu

melahirkan, karena obat-obatanini bisa sampai ke janin melalui plasenta dan

mungkin menyebabkan bayi sulit menyusui pada payudara ibu, 2) kelahiran

dengan obat-obatan atau tindakan seperti seksio sesaria, vakum, forsep, rasa sakit

karena episiotomi, dan 3)dukungan petugas kesehatan telah mendapatkan

informasi mengenai IMD dantidaksemua petugas kesehatan bersedia

memfasilitasi IMD.
Berdasarkan riview yang dilakukan Alzaheb (2017) di Timur Tengah dan

meta-analysis oleh Cohen et al (2018) di negara maju, faktor-faktor yang

mempengaruhi Pratik IMD meliputi cara persalinan, pekerjaan ibu, tempat

persalinan, merokok, parietas, interaksi bayi dan ibu dan pendidikan menyusui.

Berdasarkan penelitian di Sheilla, Djaswadi dan Sulchan yang berjudul Metode

Persalinan dan hubungannya dengan inisiasi menyusui dini di RSUP Dr. Sardjito

Yokyakarta yaitu Metode persalinan mempunyai hubungan yang signifikan

dengan IMD.

Sebenarnya pada post partum seksio sesaera, jika ibu diberikan anestesi

spinal atau epidural di mana ibu masih dalam keadaan sadar, maka ibu dapat

segera memberi respon pada bayi. Jika IMD belum dlakukan dikamar bersalin,

kamar operasi atau bayi harus harus dipindah sebelum satu jam, maka bayi tetap

diletakkan di dada ibu ketika dipindahkan ke kamar pemulihan atau kamar

perawatan. Hal tersebut bertujuan agar menyusu selanjutnya bisa dilakukan di

kamar pemulihan maupun perawatan. Ibu dapat mendapatkan anestesi umum,

kontak dengan bayi dapat terjadi di ruang pemulihan, yaitu saat ibu sudah dapat

merespon. Ayah dapat menggantikan ibu untuk memberikan kontak kulit dengan

kulit sehingga bayi tetap hangat samapi ibu kembali sadar.

Salah satu factor yang mempengaruhi pembentukan produksi ASI adalah jenis

persalinan. Diantaranya persalinan normal dan persalinan buatan, termasu seksio

sesaera. Namun persalinan yang paling banyak memiliki kekurangan adalah

persalinan seksio sesaera. Waktu pengeluaran ASI pada ibu post seksio sesaera

lebih lambat disbanding dengan ibu post partum normal. Hal ini disebakan oleh
berbagai factor diantaranya adalah posisi menyusui tidak tepat karena ibu merasa

kurang nyaman, nyeri setelah seksio sesaera, mobilisasi terhambat, tertundanya

rawat gabung ibu-anak dan intervensi aerola massage rolling (Desmawati, 2010).

Berdasarkan referensi data penelitian terdahulu dan jurnal, ternyata banyak

sekali factor yang mempengaruhi keberhasilan Inisiasi Menyusui Dini (IMD) dari

metode persainan. Sehingga penulis ingin meneliti hubungan metode persalinan

dengan keberhasilan Inisiasi Menyusui Dini (IMD) pada ibu post partum, dimana

masih banyakditemukan ibu yang tidak dilakukan IMD di lahan.

Anda mungkin juga menyukai