Anda di halaman 1dari 46

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ikterus neonatorum merupakan suatu keadaan klinis pada bayi baru lahir
ditandai dengan warna kuning yang muncul pada kulit, sklera, selaput lendir, atau
organ lain yang disebabkan oleh penumpukan bilirubin. Ikterus neonatorum
umumnya bersifat fisiologis apabila terjadi lebih dari 48 jam dan kurang dari 14
hari. Observasi tetap harus dilakukan khususnya pada bayi baru lahir yang
mengalami ikterus neonatorum karena bila tidak segera ditangani akan terjadi
kernikterus (Marmi, 2015). Bila terjadi kernikterus, bayi akan menunjukkan
tangisan yang melengking, letargi, hipotonia yang diikuti dengan hipertonia dan
kejang (England, 2012). 70% bayi yang mengalami kernikterus bahkan tidak
bertahan hidup selama periode neonatal (Marmi, 2015). Salah satu upaya
pencegahan yang dapat dilakukan ialah dengan memberikan air susu ibu. Air Susu
Ibu (ASI) dapat diberikan segera setelah bayi lahir dengan melakukan inisiasi
menyusu dini (IMD).
Memberikan ASI telah dijelaskan dalam Q.S Al-Baqarah ayat 233 yang
artinya “Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh,
bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah menanggung
nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani
lebih dari kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita karena anaknya
dan jangan pula seorang ayah (menderita) karena anaknya. Ahli waris pun
(berkewajiban) seperti itu pula. Apabila keduanya ingin menyapih dengan
persetujuan dan permusyawaratan antara keduanya, maka tidak ada dosa atas
keduanya. Dan jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada orang lain, maka
tidak ada dosa bagimu memberikan pembayaran dengan cara yang patut.
Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang
kamu kerjakan.”
Ayat tersebut mempunyai makna bahwa Allah SWT menganjurkan untuk
menyusui bayinya selama 2 tahun penuh yang bertujuan agar anak mendapatkan
nutrisi yang baik sehingga pertumbuhan dan perkembangannya dapat berjalan
secara optimal. Memberikan ASI bahkan dapat dimulai sedini mungkin yakni
segera setelah bayi lahir yaitu dengan melakukan inisiasi menyusu dini (IMD)
yang merupakan salah satu program dari WHO.
Inisiasi menyusu dini (IMD) merupakan upaya bayi untuk mencapai puting
susu ibu dan mulai menyusu yang dilakukan kurang dari 1 jam setelah bayi lahir.
Seperti sifat alamiah bayi mamalia pada umumnya, bayi manusia juga diberikan
kemampuan untuk menyusu. Menyusu dan menyusui merupakan dua hal yang
berbeda. Menyusu merupakan upaya bayi untuk mencapai puting susu ibu tanpa
bantuan orang lain sedangkan menyusui merupakan tindakan yang dilakukan ibu
untuk memberikan ASI kepada bayinya. Keberhasilan inisiasi menyusu dini
memiliki peluang lebih besar bayi mendapatkan ASI selama 6 bulan secara
eksklusif tanpa tambahan makanan atau minuman (Sondakh, 2013).
Program Millenium Development Goals atau MDGs yang telah berakhir di
tahun 2015 membuat United Nation (UN) atau Persatuan Bangsa-Bangsa kembali
mencanangkan program Sustainable Development Goals (SDGs) dalam rangka
untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat dunia untuk 15
tahun mendatang. Salah satu target capaian UN melalui SDGs ialah memastikan
masyarakat dunia mendapatkan kehidupan yang sehat dan sejahtera. Upaya yang
dapat dilakukan salah satunya ialah dengan menurunkan angka kematian ibu,
neonatus, bayi dan balita (UN, 2015).
UN menargetkan bahwa di tahun 2030 angka kematian maternal menjadi 70
kematian per 100.000 kelahiran, angka kematian neonatal (AKN) turun hingga 12
kematian per 1.000 kelahiran hidup dan kematian bayi usia di bawah 5 tahun
turun menjadi 25 kematian per 1.000 kelahiran hidup (UN, 2015). Pada tahun
2018, WHO mencatat lebih dari 6 juta anak usia di bawah 15 tahun yang
meninggal di seluruh dunia, termasuk di dalamnya kematian neonatal yang
totalnya 2,5 juta jiwa. Tahun 2018, AKN secara global mencapai 18 kematian per
1.000 kelahiran hidup.
Di Indonesia, AKB mengalami penurunan dalam kurun waktu 5 tahun
terakhir yakni pada tahun 2012 terjadi 32 kematian per 1.000 kelahiran hidup dan
pada tahun 2017 turun menjadi 24 kematian per 1.000 kelahiran hidup. Begitu

2
pula dengan AKN yang juga mengalami penurunan dari 19 kematian per 1.000
kelahiran hidup pada tahun 2012 menjadi 15 kematian per 1.000 kelahiran hidup
tahun 2017. Meskipun demikian, pemerintah tetap berupaya agar AKB dan AKN
terus mengalami penurunan dan tidak meningkat di tahun-tahun mendatang
(SDKI, 2017).
Data Dinas Kesehatan Provinsi Gorontalo tahun 2014, AKN tidak
mengalami penurunan yang berarti yakni dari 10 kematian per 1.000 kelahiran
hidup di tahun 2013 menjadi 9,8 kematian per 1.000 kelahiran hidup. Namun,
angka tersebut sudah sesuai dengan rencana strategi Dinas Kesehatan Provinsi
Gorontalo yang sasarannya menurunkan AKN menjadi 11 kematian per 1.000
kelahiran hidup. Kematian neonatal di Provinsi Gorontalo penyebabnya ialah
BBLR, asfiksia, sepsis, kelainan kongenital, ikterus, masalah laktasi, dan masalah
lain yang penyebabnya tidak diketahui. Kematian neonatal yang disebabkan oleh
ikterus di Provinsi Gorontalo pada tahun 2014 ialah sebesar 2,02% (Profil
Kesehatan Provinsi Gorontalo, 2014).
Pelaksanaan inisiasi menyusu dini diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif. Berdasarkan hasil
Riskesdas tahun 2018, proporsi inisiasi menyusu dini di Indonesia ialah 58,2%
dan meningkat dibanding tahun 2013 yang hanya mencapai 34,5%. Bayi yang
mendapat IMD di Provinsi Gorontalo pada tahun 2018 persentasenya mencapai
88,03%. Di Kabupaten Gorontalo, khususnya pada wilayah kerja Puskesmas
Limboto, jumlah bayi yang mendapat IMD tahun 2018 ada 535 bayi dari 932 bayi
yang lahir. (Dinas Kesehatan Kabupaten Gorontalo, 2018). Meskipun demikian,
pada tahun 2019 jumlah bayi yang mendapat IMD mengalami peningkatan yakni
sebanyak 569 bayi dari 810 bayi yang lahir dengan persentase 70%. Namun,
angka ini masih kurang bila dibandingkan dengan persentasi IMD di wilayah
kerja Puskesmas lainnya yang ada di Kabupaten Gorontalo (Dinas Kesehatan
Kabupaten Gorontalo, 2019). Pada tahun 2018, cakupan bayi yang mendapat ASI
eksklusif di Indonesia ialah sebesar 68,74%. Di Provinsi Gorontalo, angka
cakupan ASI eksklusif terbilang cukup rendah yakni 30,71% (Profil Kesehatan
Indonesia, 2018). Cakupan ASI eksklusif di Kabupaten Gorontalo tahun 2019

3
mencapai 71% dan untuk Puskesmas Limboto cakupan ASI eksklusif tahun 2019
ialah 68,7%. (Dinas Kesehatan Kabupaten Gorontalo, 2019).
Berdasarkan wawancara yang dilakukan pada salah satu bidan yang bekerja
di Puskesmas Limboto, terkadang ada kejadian ikterus neonatorum baik fisiologis
maupun patologis yang terjadi. Kejadian ikterus neonatorum ditemukan saat
melakukan posyandu maupun saat ibu datang ke Puskesmas. Bayi yang
mengalami ikterus neonatorum dinilai menggunakan formulir Manajemen
Terpadu Balita Sakit dan jika bayi mengalami ikterus neonatorum patologis,
petugas kesehatan akan melakukan rujukan ke fasilitas kesehatan yang lebih
tinggi.
1.2 Identifikasi Masalah
1. AKN secara global mencapai 18 kematian per 1.000 kelahiran hidup pada
tahun 2019
2. Prevalensi AKN di Indonesia di tahun 2017 ialah 15 kematian per 1.000
kelahiran hidup.
3. Kejadian ikterus neonatorum baik fisiologis maupun patologis terkadang
dijumpai di wilayah kerja Puskesmas Limboto.
4. Persentase cakupan terendah IMD di Kabupaten Gorontalo tahun 2019 ialah
70% yakni berada di wilayah kerja Puskesmas Limboto
5. Cakupan ASI eksklusif di wilayah kerja Puskesmas Limboto tahun 2019
ialah 68,7%.
1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan pada identifikasi masalah di atas, rumusan masalah dalam
penelitian ini ialah “Apakah terdapat pengaruh inisiasi menyusu dini terhadap
ikterus neonatorum di Puskesmas Limboto?”
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh Inisiasi Menyusu Dini
terhadap Ikterus Neonatorum di Puskesmas Limboto.

4
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui pelaksanaan inisiasi menyusu dini di Puskesmas Limboto
2. Untuk mengetahui kejadian ikterus neonatorum di Puskesmas Limboto
1.5 Manfaat
1.5.1 Manfaat Teoritis
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan
terkait inisiasi menyusu dini dan pengaruhnya terhadap kejadian ikterus
neonatorum.
1.5.2 Manfaat Praktis
1. Bagi Petugas Kesehatan
Dengan penelitian ini hendaknya dapat menjadi motivasi untuk petugas
kesehatan untuk selalu melaksanakan inisiasi menyusu dini kepada setiap
ibu bersalin.
2. Bagi Instansi Kesehatan
Dengan adanya penelitian ini, instansi kesehatan dapat melakukan
pengawasan terkait pelaksanaan inisiasi menyusu dini agar cakupan IMD
dapat meningkat sehingga dapat mewujudkan target Sustainable
Development Goals.
3. Bagi Instansi Pendidikan
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumber kepustakaan
untuk peneliti selanjutnya terkait pengaruh inisiasi menyusu dini terhadap
ikterus neonatorum.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan tentang Ikterus Neonatorum
2.1.1 Pengertian Ikterus Neonatorum
Ikterus ialah perubahan warna kulit, selaput lendir, sklera, atau organ
lain menjadi kuning pada bayi baru lahir yang diakibatkan oleh
penumpukan bilirubin (Marmi & Rahardjo, 2015). Bilirubin ialah hasil
dari eritrosit (sel darah merah) yang diuraikan di dalam darah. Saat masa
peralihan setelah lahir, proses glukoronidasi belum berlangsung dengan
baik karena organ hati belum berfungsi dengan baik. Hal ini yang
menyebabkan terjadinya hiperbilirubinemia sehingga bayi menjadi ikterus.
(Sukadi, 2012)
2.1.2 Klasifikasi Ikterus
1. Ikterus Fisiologis
Marmi (2009) menjelaskan ikterus fisiologis umumnya terjadi pada
bayi baru lahir dan tidak memiliki dasar patologis. Kadar bilirubinnya
tidak mencapai batas yang membahayakan yang memiliki potensi terjadi
kernikterus. Ikterus fisiologis disebabkan karena fungsi hati yang belum
optimal atau karena proses penguraian sel darah merah yang berlangsung
cepat. Kadar bilirubin pada ikterus fisiologis ialalah <1 mg% yang terus
meningkat hingga <5 mg% per hari. Ikterus fisiologis biasanya akan
hilang dalam 10 hari pertama (Elmeida, 2015)
Ikterus fisiologis umumnya terjadi pada bayi baru lahir cukup dan
kejadiannya tidak lebih dari dua minggu. Pada umumnya, ikterus fisiologis
merupakan keadaan ringan yang akan membaik meskipun tanpa
pengobatan. Penyebab ikterus fisiologis tidak hanya dari satu faktor tetapi
gabungan dari beberapa faktor yang berkaitan dengan kematangan
fisiologis pada bayi baru lahir (Sukadi, 2012).
Ikterus fisiologis dapat terjadi akibat pemberian ASI yang dikenal
dengan sindrom breast milk jaundice. Kejadian ini diidentifikasi dengan
peningkatan kadar bilirubin dari hari ke-4 dan memuncak pada hari ke-10
s/d 15 diikuti dengan kadar bilirubin yang turun perlahan setelah 3-12
minggu (England, 2012). Beberapa mekanisme telah dilakukan untuk
menjelaskan mengapa bayi yang mendapat ASI mengalami ikterus 7-10
hari pertama dibandingkan bayi yang diberi susu formula, namun
penjelasan yang ada tersebut masih sukar dipahami (Maisels et al., 2014).
2. Ikterus Non Fisiologis (Patologi)
Ikterus dapat bersifat patologi bila kadar bilirubinnya mencapai 12,5
mg/dL sehingga disebut hiperbilirubinemia (Marmi & Rahardjo, 2015).
Tanda dan gejala yang dianggap dapat menjadi ikterus patologi ialah :
1) Terjadi <24 jam pada bayi baru lahir
2) Meningkatnya kadar bilirubin ≥0,5 mg/dL setiap jam
3) Kadar bilirubin serum sewaktu 12,5 mg/dL pada bayi cukup bulan
dan 10 mg/dL pada bayi kurang bulan
4) Bayi tampak letargis, muntah, malas menyusu, berat badan
berkurang, mengalami apnea atau takipnea, dan suhu badan tidak
normal
5) Terjadi setelah 14 hari pada bayi yang cukup bulan
Ikterus patologi biasanya menetap setelah bayi berusia 2 minggu
atau lebih. Ikterus patologi berhubungan dengan proses hemolitik dan
proses patologi lainnya (Elmeida, 2015).
Ikterus patologis terbagi atas beberapa jenis antara lain :
a. Ikterus hemolitik
Ikterus hemolitik merupakan ikterus yang disebabkan oleh
peningkatan hemolisis sel darah dan biasanya terjadi dalam waktu kurang
dari 24 jam (England, 2012). Penelitian yang telah dilakukan oleh Yu et
al., (2019) ditemukan bahwa kadar hemolitik pada bayi ikterus banyak
terdapat pada bayi yang saat proses persalinan mengalami trauma maupun
perdarahan.
Penyebab terjadinya ikterus hemolitik ialah :
a) Inkompatibilitas ABO

7
Inkompatibilitas ABO terjadi karena adanya hemolisis dalam darah
sebagai akibat dari ketidaksamaan golongan darah ibu dan bayi.
Perbedaan golongan darah tersebut menyebabkan antihemolisis IgG
akan melewati plasenta sehingga terjadi hemolisis sel darah merah
pada bayi (England, 2012).
Pada penelitian yang dilakukan Anggraini (2016), inkompatibilitas
merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya ikterus
neonatorum. Sewaktu hamil, ketika ibu dan bayi memiliki golongan
darah yang berbeda akan menghasilkan antibodi yang berbeda-beda
pula sehingga terjadi suatu respon kekebalan tubuh di mana antibodi
akan menyerang antigen asing di dalam darah.
Ikterus yang disebabkan oleh inkompatibilitas ABO biasa terjadi di
hari pertama dan kedua serta bersifat ringan. Anemia ringan, hepar
dan lien tidak membesar serta bayi tidak tampak sakit. Jika
hemolisisnya berat, tindakan transfusi tukar sering dilakukan untuk
mencegah terjadinya bilirubin ensefalopati atau kernikterus (Marmi
& Rahardjo, 2015).
b) Inkompatibilitas Rhesus
Terjadi apabila ibu dan bayi memiliki rhesus yang berbeda.
Inkompatibilitas rhesus merupakan penyebab ikterus yang paling
parah karena dimulai sejak dalam kandungan yakni ketika antibodi
rhesus positif ibu memecah eritrosit janin. Pecahnya eritrosit tersebut
mengakibatkan terjadinya anemia progresif yang mengakibatkan
hilangnya tekanan osmotik koloid sistem sirkulasi darah sehingga
dapat menimbulkan edema. Hal ini disebut hydrops fetalis dan bayi
bisa meninggal akibat gagal jantung apabila tidak segera ditangani
(England, 2012).
Manifestasi klinisnya ialah ikterus yang makin lama terlihat makin
parah, disertai dengan anemia (Marmi & Rahardjo, 2015).
c) Kelainan Sel Darah Merah

8
Dalam darah terdapat suatu enzim yang berfungsi untuk melindungi
dan memperkuat dinding sel darah merah yang disebut Glucose 6
phosphate dehydrogenase (G6PD). Penurunan kadar G6PD adalah
salah satu penyebab terjadinya ikterus karena eritrosit lebih mudah
pecah sehingga mengakibatkan produksi bilirubin meningkat
(Marmi & Rahardjo, 2015).
Penurunan G6PD pada umumnya lebih sering terjadi pada bayi laki-
laki karena G6PD merupakan gangguan yang terkait dengan X
resesif. Penyakit ini lebih berisiko terjadi pada ras Afro-Amerika,
Cina, atau ras varian genetik dari Timur Tengah atau Mediterania
(England, 2012).
d) Spheroctosis Herediter
Spheroctosis herediter merupakan penyakit genetik di mana autosom
lebih banyak sehingga menyebabkan sel darah merah berbentuk
bulat. Kelainan bentuk sel darah merah ini dapat menyebabkan
hemolisis parah dan secara mendadak terjadi ikterus saat sistem
imun mengenali sel-sel yang tidak normal (England, 2012).
e) Infeksi Kongenital
Selalu waspada akan tanda-tanda seperti mengantuk, malas menyusu
bahkan muntah karena dapat dicurigai adanya infeksi. Jenis bakteri
septicemia dan infeksi saluran kencing dapat menyebabkan
terjadinya ikterus kurang dari 24 jam (England, 2012).
Anggraini (2016) juga menjelaskan bahwa infeksi merupakan salah
satu penyebab terjadinya ikterus. Terjadinya infeksi dapat
meningkatkan kadar bilirubin oleh vena porta intrahepatik maupun
ekstrahepatik.
Rotavirus (RV) juga dapat menjadi penyebab terjadinya ikterus.
Rotavirus adalah virus yang menyebabkan banyak kejadian
gastroenteritis seperti diare pada anak. Terdapat hubungan antara
infeksi rotavirus dengan kejadian ikterus. Pada penelitian Hwang &

9
Kim (2018), total bilirubin <15 mg/dL pada bayi yang terinfeksi
rotavirus.
b. Ikterus Obstruktiva
Marmi & Rahardjo (2015) menjelaskan sumbatan dalam penyaluran
empedu bisa terjadi di dalam hepar maupun di luar hepar. Terjadinya sumbatan
akan mengakibatkan penumpukan bilirubin indirek. Jika kadar bilirubin direk 1
mg% maka perlu dicurigai penyebab terjadinya sumbatan seperti hepatitis
neonatorum plonefritis, sepsis, maupun sumbatan pada saluran empedu.
3. Bilirubin Ensefalopati dan Kernikterus
Bilirubin ensefalopati yang dikenal sebagai kernikterus berasal dari
kata “kernel” yang mengacu pada ganglia basal sebagai organ berwarna
abu-abu dalam serat-serat putih serebrum. Kernikterus menunjukkan
rangkaian toksisitas yang permanen dan kronis. Oleh karena itu,
kernikterus tidak hanya berlangsung dalam masa neonatal saja (England,
2012). Bilirubin ensefalopati ditujukan pada gejala yang muncul karena
efek toksik bilirubin yang menyerang sistem saraf pusat yakni basal
ganglia maupun batang otak. Sedangkan kernikterus ialah perubahan pada
sistem saraf akibat pembentukan pigmen bilirubin di beberapa daerah
dalam otak khususnya pada serebelum, pons, dan ganglia basalis (Sukadi,
2012). Ketika kadar total serum bilirubin meningkat terutama pada 3 hari
pertama kehidupan, maka kemungkinan bilirubin yang tidak terkonjugasi
menjadi racun. Jika lapisan penghalang antara darah dan otak terganggu,
maka dianggap bilirubin bebas tak berikatan serta tak terkonjugasi akan
mengalir dalam jaringan otak (England, 2012).
Manifestasi klinisnya ialah bayi yang menangis melengking, letargis
dan hipotonia yang diikuti dengan kekakuan (punggung melengkung
disebut opistotonus) dan kejang. Jika bayi mampu bertahan hidup, bayi
akan didiagnosis chronic bilirubin encephalopathy yang kemungkinan
akan menderita athetosis, tulis parsial atau tuli total, keterbatasan
pandangan, dental dysplasia dan keterbelakangan intelektual. Tidak ada
batasan kadar untuk menetapkan bilirubin ensefalopati dan kernikterus,

10
namun ambang batas serum bilirubin antara 425 dan 510 µmol/L
digunakan sebagai acuan (England, 2012).
2.1.3 Metabolisme Bilirubin
Umumnya, sebagian besar bilirubin yang dihasilkan oleh janin akan
diubah menjadi bentuk larut lemak yang dapat cepat dibersihkan oleh
plasenta yang kemudian akan disekresikan oleh liver ibu. Sisa bilirubin
yang larut air akan membentuk komposisi mekonium. Setelah bayi lahir,
liver bayi baru lahir mulai bertanggung jawab untuk metabolisme bilirubin
(England, 2012). Bilirubin terbentuk dari proses oksidasi yang akan
menghasilkan biliverdin dan zat-zat lainnya. Bilirubin bersifat toksik
sehingga harus dikeluarkan dari tubuh. Bilirubin sebagian besar asalnya
dari penurunan kadar hemoglobin dan sebagiannya lagi asalnya dari hem
bebas atau proses eritropoesis yakni proses pembentukan eritrosit dalam
sumsum tulang yang tidak efektif (Elmeida, 2015). Ketika tali pusat bayi
baru lair dijepit, ductus venosus perlahan-lahan menyempit sehingga aliran
darah ke liver meningkat. Sel retikulo endotelial bertugas untuk memecah
hemoglobin menjadi globin dan hem. Globin dipecah menjadi asam amino
yang diperlukan untuk pembentukan protein. Hem menghasilkan suau
pigmen berwarna jingga yang disebut biliverdin dan karbon monoksida
(England, 2012; Sukadi, 2012).
Biliverdin diubah menjadi bilirubin oleh enzim sehingga menjadi
bilirubin bebas. Satu gram hemoglobin dapat menghasilkan 600µmol/L
bilirubin. Ketika dihasilkan, bilirubin dalam sel retikulo endotelial akan
dibawa menuju darah. Bilirubin bebas bersifat lipofilik yakni sulit
dilarutkan oleh air namun mudah dilarutkan oleh lemak. Kemudian,
bilirubin bebas tersebut akan membentuk senyawa dengan albumin dan
ditransportasikan ke hepar (Elmeida, 2015; England, 2012). Di dalam
hepar, bilirubin dibawa ke dalam sel hepar setelah sebelumnya diikat oleh
reseptor membran sel hepar. Di dalam sel hepar, bilirubin bersenyawa
dengan protein-Z, ligandin (protein-Y) dan glutation hati lain yang

11
kemudian dibawa menuju retikulum endoplasma dalam hepar yang
merupakan tempat proses konjugasi berlangsung (Elmeida, 2015).
Bilirubin yang dapat dilarutkan oleh lemak ini disebut bilirubin tak
terkonjugasi atau bilirubin indirek akan di ubah menjadi bilirubin
konjugasi agar dapat dilarutkan oleh air menggunakan enzim uridine
diphosphate glucoronosyl atau UDPG-T. Efek yang dihasilkan enzim
UDPG-T akan mengubah bentuk bilirubin tak terkonjugasi ke bilirubin
monoglukorida yang akan dikonjugasi menjadi bilirubin diglukoronida.
Cara kerja enzim ini ialah dengan memindahkan molekul asam
glukoronida dari suatu molekul bilirubin monoglukoronida ke molekul
lainnya sehingga terbentuknya suatu molekul bilirubin diglukoronida.
Bilirubin yang terkonjugasi akan dibuang ke dalam kandung empedu, lalu
masuk ke saluran cerna dan dikeluarkan melalui feses (Sukadi, 2012).
Beberapa bayi baru lahir kadar bilirubin indireknya meningkat pada
beberapa hari pertama setelah lahir. Hal tersebut terjadi ialah karena kadar
eritrosit bayi baru lahir yang tinggi dan belum berfungsinya hepar dengan
baik. Masalah dapat muncul apabila produksi bilirubin terlalu banyak atau
menurunnya konjugasi hati sehingga terjadi penumpukan bilirubin
(Elmeida, 2015).
2.1.4 Patofisiologi
Kadar bilirubin dapat terjadi apabila ada peningkatan beban bilirubin
yang berlebihan pada sel hepar. Ini sering terjadi jika ada peningkatan
penghancuran sel darah merah, polisitema (meningkatnya sel darah merah
dalam darah), eritrosit bayi yang umurnya berkurang, terjadi peningkatan
bilirubin dari penyebab lain, atau meningkatnya peredaran darah
enterohepatik (Elmeida, 2015).
Peningkatan kadar bilirubin juga dapat terjadi karena ambilan
bilirubin plasma yang mengalami gangguan. Terjadi bila kadar protein-Y
kurang atau jika protein-Y dan protein-Z diikat oleh anion lain, misalnya
pada bayi yang kekurangan oksigen (hipoksia). Bayi dengan gangguan
pengeluaran seperti hepatitis neonatal atau obstruksi empedu juga dapat

12
mengalami peningkatan kadar bilirubin (Elmeida, 2015). Bila peningkatan
kadar bilirubin terus berlanjut dapat menimbulkan efek toksisitas yang
dapat merusak tubuh. Toksisitas dijumpai pada bilirubin tidak langsung
yang sulit dilarutkan oleh air namun mudah dilarutkan oleh lemak. Hal
tersebut dapat menyebabkan kernikterus atau bilirubin ensefalopati bila
bilirubin sampai ke dalam jaringan otak (Elmeida, 2015).
2.1.5 Penilaian Ikterus
1. Rumus Kramer
Penilaian ikterus dapat dilakukan di bawah sinar mentari dengan
melakukan sedikit penekanan pada bagian kulit yang hendak diamati
untuk menihilkan warna akibat sirkulasi darah. Terdapat berbagai cara
untuk menilai derajat ikterus yang dapat menjadi risiko terjadinya
kernikterus yakni menggunakan rumus Kramer di bawah sinar pada siang
hari (Marmi & Rahardjo, 2015).

Gambar 1. Penilaian ikterus menggunakan rumus Kramer


(Sumber : Elmeida, 2015)

Tabel 1. Penilaian ikterus menggunakan rumus Kramer


Daerah Luas Ikterus Kadar Bilirubin
(gambar)
1 Kepala dan leher 5
2 Kepala dan leher (+) 9
Badan bagian atas
3 Kepala dan leher, badan 11

13
bagian atas (+)
Badan bagian bawah dan
tungkai
4 Kepala dan leher, badan 12
bagian atas, badan bagian
bawah dan tungkai (+)
Lengan dan kaki di bawah
dengkul
5 Kepala dan leher, badan >12,5
bagian atas, badan bagian
bawah dan tungkai, lengan dan
kaki di bawah dengkul (+)
Tangan dan kaki
(Sumber : Elmeida, 2015)
Penilaian ikterus menggunakan Rumus Kramer yakni dengan
melihat perubahan warna kulit yang terjadi pada bayi sesuai dengan
gambar, daerah yang mengalami perubahan warna kulit dilihat kadar
bilirubinnya. Bila perubahan warna kulit terjadi di daerah 1, 2, atau 3
termasuk dalam kategori ikterus neonatorum fisiologis dan bila perubahan
warna kulit terjadi di daerah 4 atau 5 termasuk dalam kategori ikterus
neonatorum patologis.
Tabel 2. Perbandingan ikterus fisiologis dan patologis
Tanda-tanda Ikterus pada kulit dan sklera mata (tanpa
hepatomegali, perdarahan kulit, dan kejang-kejang)
Kategori Normal Fisiologis Patologis
Daerah ikterus 1 1+2 1-4 1-5 1-5
(Kramer)
Kuning hari ke- 1–2 >3 >3 >3 >3
Kadar bilirubin ≤ 5 mg% 5-9 mg % 11-15 > 15-20 > 20 mg
mg % mg % %
(Sumber : Elmeida, 2015)
2. Manajemen Terpadu Bayi Muda (MTBS)
Ikterus neonatorum dapat diniliai menggunakan formulir
Manajemen Terpadu Bayi Muda (MTBM) yang terdapat dalam

14
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS). Penilaian ikterus menggunakan
MTBM berdasarkan klasifikasi ikterus yakni : ikterus berat, ikterus, dan
tidak ikterus. (Marmi & Rahardjo, 2015).
3. Pemeriksaan Diagnostik
a. Test Coombs
Pemeriksaan ini dilakukan pada tali pusat bayi baru lahir. Adanya antibodi
Rh-positif, baik anti A maupun anti B dalam darah ibu merupakan pertanda
bahwa hasil positif test coombs indirek. Bila hasil dari test coombs direk positif
menunjukkan adanya sensitasi (Rh-positif, anti-A, anti-B) dari bayi baru lahir
(Marmi & Rahardjo, 2015).
b. Golongan Darah
Golongan darah ibu dan bayi menunjukkan ketidakcocokan ABO.
Ketika terdapat perbedaan antara golongan darah ibu dan bayi, maka anti
hemolisis IgG akan melewati plasenta sehingga menyebabkan terjadinya
hemolisis eritrosit pada bayi (England, 2012).

c. Bilirubin Total
Kadar bilirubin direk jika lebih dari 1,0-1,5 mg/dL maka
kemungkinan ada kaitannya dengan sepsis. Perlu diperhatikan bahwa
kadar bilirubin indirek (tidak konjugasi) tidak boleh meningkat lebih dari 5
mg/dL dalam waktu 24 jam atau lebih dari 20 mg/dL pada bayi cukup
bulan dan lebih dari 15 mg/dL pada bayi kurang bulan (Marmi &
Rahardjo, 2015).
d. Protein Serum Total
Jika kadarnya <3,0 g/dL merupakan tanda menurunnya kapasitas
ikatan, khususnya pada bayi kurang bulan (Marmi & Rahardjo, 2015).
e. Pemeriksaan Darah Lengkap
Kadar hemoglobin bisa saja rendah atau <14 g/dL karena hemolisis
hematokrit yang kemungkinan mengalami peningkatan atau >65% pada
polisitemia, menurun <45% dengan hemolisis dan anemia yang berlebihan
(Marmi & Rahardjo, 2015).
15
f. Glukosa
Hasil pemeriksaan kadar dekstrosit <45%, glukosa darah lengkap
<30 mg/dL. Pada bayi dengan hipoglikemia, glukosa serumnya <40 mg/dL
terutama jika bayi mulai menggunakan lemak cadangan dan mengeluarkan
asam lemak (Marmi & Rahardjo, 2015).
g. Pemeriksaan Tali Pusat
Bayi baru lahir dengan kadar bilirubin yang tinggi pada tali pusat
bisa segera dilakukan tindakan pencegahan seperti IMD, fototerapi, dan
meningkatkan pemantauan untuk mencegah terjadinya ikterus
neonatorum. Arteri tali pusat dapat dijadikan pertimbangan dalam
penilaian ikterus neonatorum berdasarkan pada kejadian hemolitik
dibandingkan dengan semua penyebab ikterus, dan bahwa estimasi
bilirubin pada tali pusat tidak punya nilai prediksi untuk ikterus
neonatorum yang tidak lebih berisiko dari hemolisis (Jones et al., 2017).

2.1.6 Penatalaksanaan Ikterus


1. Terapi Sinar/Fototerapi
Fototerapi telah diperkenalkan oleh Kramer sejak tahun 1958. Teori
baru mengemukakan bahwa fototerapi dapat menyebabkan isomerisasi
bilirubin. Panas dari sinar akan merubah senyawa yang berbentuk 4Z,
15Z-bilirubin menjadi 4Z, 15E-bilirubin. Isomer ini sifatnya mudah larut
dalam plasma darah dan lebih mudah dikeluarkan oleh hati ke empedu.
Meningkatnya isomer bilirubin yang ada dalam empedu akan
meningkatkan ekskresi cairan empedu ke dalam usus, sehingga
meningkatnya gerak peristaltik usus yang menyebabkan bilirubin lebih
cepat keluar dari usus halus. Fototerapi dilakukan untuk bayi yang
memiliki kadar bilirubin tak terkonjugasi >10 mg/dL serta bayi yang
mengalami ikterus <24 jam setelah lahir (Elmeida, 2015).
2. Transfusi Tukar

16
Transfusi tukar digunakan apabila ikterus telah menjadi bilirubin
ensefalopati atau kernikterus. Tujuannya ialah untuk mengurangi kadar
bilirubin indirek dan mengganti sel darah merah yang telah dihancurkan
dan menghilangkan antibodi penyebab terjadinya hemolisis. Meskipun
sangat bermanfaat, transfusi tukar memilki efek samping yang
membahayakan dan hanya dilakukan bila ada indikasi (Elmeida, 2015).
3. Mempercepat Metabolisme dan Pengeluaran Bilirubin
a. Early Feeding.
Memberikan makan bayi baru lahir sejak dini dapat mengurangi
kemungkinan terjadinya ikterus neonatorum fisiologis karena
memberikan makanan dapat mendorong gerakan usus sehingga terjadi
pengeluaran mekonium (Marmi & Rahardjo, 2015). Pemberian makanan
sejak dini dapat dilakukan setelah bayi lahir melalui inisiasi menyusu
dini atau yang dikenal dengan IMD. IMD yang dilakukan >1 jam dapat
menjadi penyebab terjadi kematian neonatal. Bila IMD dilakukan dalam
1 jam setelah ibu melahirkan memiliki kemungkinan tiga kali lebih tinggi
untuk menyelamatkan bayinya (Tewabe et al., 2018).
Berdasarkan penelitian Pohlman et al., (2015) ada hubungan yang berarti
antara inisiasi menyusu dini dengan ikterus neonatorum. Di mana dalam
penelitiannya, sebagian besar bayi yang tidak mendapat IMD mengalami
ikterus neonatorum. Ketika inisiasi menyusu dini tidak segera dilakukan
atau late feeding terutama pada bayi prematur, maka kemungkinan
terjadinya ikterus neonatorum lebih besar dibanding dengan melakukan
IMD <1 jam (Wantini et al., 2019). Begitu pula dengan hasil penelitian
Aulia et al., (2017) ada pengaruh inisiasi menyusu dini terhadap ikterus
neonatorum. Keberhasilan IMD diukur dengan bayi yang mencapai
puting susu ibunya dalam waktu 1 jam. Bayi yang berhasil mencapai
putting susu ibunya lebih kecil kemungkinan untuk menderita ikterus
neonatorum dibandingkan bayi yang tidak berhasil mencapai puting susu
ibu.

17
Penelitian Ryanti et al., (2018), ditemukan bahwa ibu yang melahirkan
dengan tindakan section caesarea tidak mendapat kesempatan IMD
karena kondisi bayi yang rentan terhadap infeksi dan kemungkinan bayi
mengalami Transient Tachypnea of the Newborn (TTN). Bayi yang
dilahirkan dengan SC setelah dilakukan perawatan bayi baru lahir,
biasanya bayi langsung dibawa ke ruang bayi untuk diberikan antibiotik
dan dilakukan observasi untuk mencegah terjadinya TTN.
Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang tidak bekerja dan dengan kondisi
ekonomi lemah punya persentase kecil terhadap IMD dan pemberian ASI
eksklusif. Begitu pula dengan bayi BBLR, SC, dan banyak anggota
keluarga (Woldeamanuel, 2020).
b. Memberikan ASI.
ASI memiliki kandungan yang baik bagi bayi. Jika bayi mendapatkan
ASI yang cukup maka bayi akan lebih sering BAK dan BAB di mana
dalam feses bayi mengandung bilirubin. Namun, dalam pemberiannya
tetap harus diawasi sebab pada beberapa bayi, air susu justru dapat
menyebabkan kadar bilirubin meningkat (breast milk jaundice) (Marmi
& Rahardjo, 2015).
Yuliana et al., (2018) menemukan bahwa ada hubungan yang cukup
signifikan antara frekuensi pemberian ASI dengan kejadian ikterus
neonatorum. Bayi yang emakin sering diberi ASI, semakin kecil
kemungkinan terjadinya ikterus. Namun, ada beberapa bayi yang
mengalami ikterus meskipun diberi ASI, hal ini disebut breast milk
jaundice atau ikterus yang disebabkan ASI. Hal ini terjadi karena
bilirubin yang telah diolah diserap kembali oleh tubuh. Meskipun
demikian, breast milk jaundice merupakan sesuatu yang normal yang
tidak harus menghentikan pemberian ASI.
Chu et al., (2019) mengatakan, bidan perlu meningkatkan kepercayaan
ibu untuk menyusui bayinya serta membangun ikatan agar ibu mampu
menghadapi masalah yang terkait dengan menyusui apabila bayinya
mengalami ikterus.

18
Mcfadden et al., (2019) mengemukakan bahwa konseling menyusui
merupakan intervensi kesehatan masyarakat yang efektif untuk
meningkatkan pemberian ASI eksklusif hingga 6 bulan.
2.2 Tinjauan tentang Inisiasi Menyusu Dini
2.2.1 Pengertian Inisiasi Menyusu Dini
Inisiasi menyusu dini (IMD) merupakan suatu upaya bayi mencapai
puting susu ibu dan mulai menyusu yang dilakukan segera atau kurang
dari 1 jam setelah bayi lahir. Sama seperti sifat alamiah bayi mamalia pada
umumnya, bayi manusia juga diberikan kemampuan untuk menyusu. IMD
sebaiknya dilakukan minimal 1 jam dengan kulit bayi yang kontak
langsung dengan kulit ibunya, bayi secara alamiah akan merangkak
mencari puting susu dan mulai menyusu. Menyusu dan menyusui
merupakan dua hal yang berbeda. Menyusu merupakan upaya bayi untuk
mencapai puting susu ibu tanpa bantuan orang lain sedangkan menyusui
merupakan upaya ibu untuk memberikan ASI kepada bayinya (Sondakh,
2013).
Pemberian ASI sejak dini hendaknya dilakukan segera setelah bayi
lahir yakni kurang dari satu jam setelah kelahiran bayi. Memberikan ASI
sesegera mungkin akan memperbesar peluang bayi untuk mendapatkan
ASI eksklusif. Jika dalam beberapa keadaan tertentu IMD tidak dapat
dilakukan seperti bayi yang mengalami asfiksia namun ASI tetap keluar,
maka ASI dapat diberikan menggunakan sendok atau tabung nasogastrik
(Holmes, 2012)
Pelaksanaan inisiasi menyusu dini termasuk dalam salah satu poin
dari 10 langkah menuju sukses menyusui (Ten steps to successful
breastfeeding) yang digagas oleh WHO bekerja sama dengan United
Nation Children’s Fund (UNICEF). Adapun isi dari Ten Steps to
Successful Breastfeeding, ialah :
1. a. Mematuhi kode etik makanan pengganti ASI yang sesuai dengan
ketetapan majelis kesehatan dunia

19
b. Memiliki peraturan yang tertulis terkait pemberian ASI yang
diberitahukan kepada tenaga kesehatan dan orang tua secara rutin
c. Membuat sistem untuk pemantauan dan pengelolaan data yang
berkesinambungan
2. Memastikan tenaga kesehatan mempunyai pengetahuan, kemampuan, dan
keterampilan untuk mendukung ibu dalam pemberian ASI
3. Mendiskusikan tentang pentingnya pemberian ASI pada ibu hamil dan
keluarganya
4. Memfasilitasi kontak skin-to-skin antara ibu dan bayi serta mendukung ibu
melaksanakan inisiasi menyusu dini kurang dari 1 jam setelah bayi lahir
5. Mendukung ibu menyusui untuk terus memberikan ASI dan membantu
menangani masalah yang sering terjadi pada proses menyusui
6. Tidak memberikan makanan pengganti ASI sebelum bayi berusia 6 bulan
kecuali bayi memiliki indikasi medis tertentu
7. Melakukan rooming-in (rawat gabung) pada ibu dan bayi
8. Membantu ibu dalam memberikan ASI pada bayinya sesering mungkin
dan semau bayi
9. Memberikan konseling pada ibu tentang risiko penggunaan botol susu dan
dot
10. Memberitahukan kunjungan kembali sehingga ibu dan bayi mendapatkan
perawatan yang berkelanjutan (Sumber : who.int, 1989).

Tabel 3. Ten Steps to Successful Breastfeeding


Critical management procedures
1a. Comply fully with the International Code of Marketing of Breast-milk
Substitutes and relevant World Health Assembly resolutions.
1b. Have a written infant feeding policy that is routinely communicated to
staff and parents.
1c. Establish ongoing monitoring and data-management systems.
2. Ensure that staff have sufficient knowledge, competence and skills to
support breastfeeding.

20
Key clinical practices
3. Discuss the importance and management of breastfeeding with pregnant
women and their families.
4. Facilitate immediate and uninterrupted skin-to-skin contact and support
mothers to initiate breastfeeding as soon as possible after birth.
5. Support mothers to initiate and maintain breastfeeding and manage
common difficulties.
6. Do not provide breastfed newborns any food or fluids other than breast
milk, unless medically indicated.
7. Enable mothers and their infants to remain together and to practice
rooming-in 24 hours a day.
8. Support mothers to recognize and respond to their infants’ cues for
feeding.
9. Counsel mothers on the use and risks of feeding bottles, teats and pacifiers.
10. Coordinate discharge so that parents and their infants have timely access
to ongoing support and care.
(Sumber : who.int, 1989)
2.2.2 Prosedur Pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini
Berikut tahapan inisiasi menyusu dini yang dianjurkan :

1. Setelah bayi lahir, letakkan bayi di atas perut ibu


2. Seluruh tubuh bayi dikeringkan kecuali kedua telapak tangan
3. Lakukan pemotongan tali pusat
4. Tengkurapkan bayi di antara kedua payudara ibu tanpa dilapisi kain agar
terjadi kontak kulit antara ibu dan bayi
5. Tutupi badan bayi dengan selimut jika perlu pakaikan topi pada bayi
6. Biarkan bayi mencari puting selama ±60 menit (Roesli, 2012).
2.2.3 Manfaat Inisiasi Menyusu Dini
1. Bagi bayi
a. Panas tubuh ibu dapat menghangatkan bayi sehingga dapat mencegah
terjadinya kehilangan panas pada bayi.

21
b. Saat bayi diletakkan di dada ibu akan membuat bayi merasa tenang
sehingga dapat menstabilkan pernapasan dan detak jantung bayi.
c. Terdapat flora mikroorganisme di tubuh ibu yang tidak membahayakan,
sehingga bakteri baik berkembang dan membentuk perkumpulan di usus
dan kulit yang dapat memberikan perlidungan dari bakteri jahat di
lingkungan luar.
d. Bayi memperoleh kolostrum yaitu air susu yang paling awal keluar dan
banyak mengandung antibodi.
e. Membantu bayi mengoordinasikan kemampuan mengisap, menelan, dan
napas.
f. Meningkatkan bonding attachment
g. Bila bayi melakukan inisiasi menyusu dini besar kemungkinan akan
terus menyusui secara eksklusif selama 6 bulan (Sondakh, 2013).
2. Bagi Ibu
a. Merangsang pengeluaran hormon oksitosin yang berguna untuk :
1) Merangsang kontraksi pada uterus serta menurunkan risiko
kejadian hemoragic post partum
2) Kolostrum lebih cepat keluar dan meningkatkan produksi ASI
3) Mengurangi ketegangan pada ibu, memperlancar kelahiran
plasenta, dan mengurangi rasa nyeri
b. Merangsang pengeluaran hormon prolaktin yang berguna untuk :
1) Menambah jumlah produksi ASI
2) Mengurangi stres pada ibu akibat berbagai ketidaknyamanan
3) Memberikan efek relaksasi setelah bayi menyusu
4) Menunda masa subur (Sondakh, 2013).
2.2.4 Komposisi Gizi ASI
ASI ialah suatu cairan yang didalamnya terdapat protein, laktosa,
dan garam organik yang dikeluarkan dari kelenjar payudara sebagai
makanan utama bayi (Sutanto, 2018). Kadar protein dalam ASI ialah
0,99% yang 60% merupakan whey protein yang lebih mudah diolah
daripada kasein yakni protein yang terdapat dalam susu sapi. ASI

22
mengandung lemak yang merupakan kombinasi dari vitamin A, fosfolipid,
karotinoid dan kolesterol. Terdapat pula asam amino yang hanya terdapat
dalam ASI yaitu sistin dan taurin. Sistin berfungsi dalam pertumbuhan
somatik, taurin digunakan untuk tumbuh kembang otak (Rahmatia, 2017).
ASI mengandung zat imunitas yang baik untuk kekebalan tubuh
bayi, yakni sel T dan immunoglobulin sebagai pertahanan tubuh secara
spesifik. Selain itu, terdapat laktoferin, sel fagosit, lisosom, komplemen
C2 dan C4, transferin, dan laktoperoksidase, yang merupakan pertahanan
tubuh non spesifik (Rahmatia, 2017). Kandungan gizi dan nutrisi dalam
ASI berbeda sesuai dengan jenis ASI yang dikeluarkan. Berikut ini adalah
tabel perbandingan kadar gizi yang dihasilkan kolostrum, ASI transisi, dan
ASI matur (Sutanto, 2018) :

Tabel 4. Perbedaan kadar gizi kolostrum, ASI transisi, ASI matur


Kandungan Kolostrum Transisi ASI Matur
Energi (kg kla) 57,0 63,0 65,0
Immunoglobulin :
Ig A (mg/100ml) 335,9 - 119,6
Ig G (mg/100ml) 5,9 - 2,9
Ig M (mg/100ml) 17,1 - 2,9
Lisosim (mg/100ml) 14,2-16,4 - 24,3-27,5
Laktoferin 420-520 - 250-270
Laktosa (gr/100ml) 6,5 6,7 7,0
Lemak (gr/100ml) 2,9 3,6 3,8
Protein (gr/100ml) 1,195 0,965 1,324
Mineral (gr/100ml) 0,3 0,3 0,2
(Sumber : Sutanto, 2019)
Dari tabel gizi tersebut, dapat dilihat bahwa kandungan
immunoglobulin paling banyak terdapat dalam kolostrum.
Immunoglobulin baik untuk menjaga daya tahan tubuh bayi agar terhindar
dari infeksi dan berbagai masalah kesehatan lainnya. Untuk itulah penting

23
untuk segera dilakukan inisiasi menyusu dini kurang dari 1 jam setelah
lahir agar bayi segera mendapatkan proteksi dari kolostrum.
2.2.5 Macam – Macam ASI
1. Kolostrum
Kolostrum merupakan air susu yang keluar pada hari pertama hingga
ketiga, cairannya kental dan warnanya kekuningan, bentuknya sedikit
kasar sebab mengandung butiran lemak dan sel epitel (Sutanto, 2018).
Kolostrum merupakan “imunisasi” awal bagi bayi karena banyak terdapat
kandungan protein dan immunoglobulin yang berfungsi untuk membunuh
berbagai jenis mikroba dalam tubuh (Rahmatia, 2017). Jumlah kolostrum
yang dihasilkan payudara yakni sebanyak 150-300 ml/24 jam yang
disesuaikan dengan kebutuhan bayi (Dinengsih & Indrayani, 2017).
2. ASI Transisi
Disebut juga ASI peralihan, merupakan air susu yang keluar mulai
dari hari keempat hingga hari kesepuluh. Bentuk dan warna ASI transisi
lebih putih daripada kolostrum. Dalam ASI transisi ini terdapat protein,
immunoglobulin dan laktosa yang kandungannya sedikit bila
dibandingkan dengan kolostrum namun tinggi lemak dan kalori, dan
banyak terdapat vitamin yang larut dalam air (Rahmatia, 2017).
3. ASI Matur
ASI matur adalah air susu yang keluar mulai hari kesepuluh sampai
seterusnya. Terdiri dari foremilk dan hindmilk. ASI yang lebih dulu keluar setelah
kolostrum ialah foremilk. Foremilk konsentrasinya lebih encer yang berguna
untuk menghilangkan rasa haus pada bayi, banyak mengandung protein dan
laktosa yang baik untuk pertumbuhan otak. Hindlmilk adalah ASI yang keluar
setelah foremilk, bersifat kental dan lebih banyak mengandung lemak dibanding
foremilk. Hindmilk baik untuk pertumbuhan fisik bayi (Rahmatia, 2017)
Keseimbangan foremilk dan hindmilk dapat dilihat dari warna kuning
keemasan pada feses bayi, yang merupakan feses ideal bayi ASI eksklusif. Bila
feses bayi berwarna hijau masih merupakan hal yang normal, hal tersebut
merupakan tanda ketidakseimbangan foremilk dan hindmilk sehingga asupan

24
hindmilk harus lebih dioptimalkan (Rahmatia, 2017). Volume ASI yang
dikeluarkan yakni sebanyak 300-850/24 jam (Dinengsih & Indrayani, 2017).
2.3 Penelitian yang Relevan
Beberapa penelitian sebelumnya yang telah dilakukan memiliki
perbedaan tempat dan waktu penelitian. Berikut ini merupakan penelitian
sebelumnya.

Tabel 5. Penelitian yang Relevan


Nama Judul Metode Hasil Penelitian Perbedaan Persamaan
Peneliti/Tahun Penelitian
Mercedes Hubungan Metode penelitian Penelitian Tempat dan Metode
Naaharani Inisiasi ini ialah survei menunjukkan ada waktu penelitian
Pohlman Menyusu Dini analitik dengan hubungan antara penelitian.
dkk/2015 dengan Ikterus desain pendekatan inisiasi menyusu dini
Neonatorum kohor dengan kejadian ikterus
di RSUD neonatorum di RSUD
Wates Wates Yogyakarta. p =
Yogyakarta 0.000 dan hasil
koefisien kontigensi
ialah 0.460 atau 0.40-
0.599. Berdasarkan
analisis data dari 65
responden, 38 bayi
baru lahir (58,5%)
tidak dilakukan IMD.
Sebanyak 32 responden
(41,5%), tidak
menderita ikterus.
Aulia dkk/2017 Pengaruh Metode penelitian Hasil penelitian Tempat dan Metode
Inisiasi adalah menunjukkan inisiasi waktu penelitian
Menyusu Dini observasional menyusu dini penelitian
terhadap dengan rancangan berpengaruh terhadap
Terjadinya kohor prospektif terjadinya ikterus
Ikterus neonatorum dengan RR
Neonatorum = 2,093, artinya inisiasi
menyusu dini yang
tidak berhasil
berpengaruh 2,093 kali
terjadi ikterus
neonatorum (p = 0,019,
CI 95% (1,058-4,141)
Rana Ryanti Waktu Penelitian ini Hasil penelitian Tempat dan Metode
dkk/2018 Pemberian menggunakan menunjukkan hampir waktu penelitian
ASI dan desain penelitian setengah sampel (45%) penelitian
Kejadian observasional mendapatkan ASI
Ikterus analitik dengan pertama pada 1-6 jam,
Neonatorum pendekatan kohor 40% mendapatkan ASI
pertama <1 jam dan

25
sebagian kecil (15%)
diberikan ASI pertama
kali >6 jam setelah
kelahirannya. Hampir
seluruhnya (77.5%)
tidak mengalami
ikterus, 2.5%
mengalami ikterus
derajat I, 12.5%
mengalami ikterus
derajat II, dan 7.5%
mengalami ikterus
derajat III. Hasil uji
statistic didapatkan
nilai p=0.004 <a (0.05)
dengan nilai rho=0.445
maka H0 ditolak dan
Ha diterima yang
artinya ada hubungan
antara waktu
pemberian ASI dengan
kejadian ikterus
neonatorum dengan
kekuatan hubungan
yang bersifat sedang.

2.4 Kerangka Berpikir


2.4.1 Kerangka Teori

26
Faktor lain penyebab ikterus :
Peningkatan kadar bilirubin
Inisiasi Menyusu Dini : Inkompatibilitas ABO
Pengertian Inkompatibilitas Rhesus
Manfaat Kelainan sel darah merah
Pelaksanaan* Spheroctosis herediter
Macam-macam ASI Infeksi kongenital

IMD dilakukan <1 jam


setelah bayi lahir dan
berlangsung selama ±60 Ikterus Neonatorum
menit hingga bayi mencapai
puting susu.

Patologis Fisiologis Kernikterus

Terjadi <24 jam Terjadi >24 jam Ikterus kronis


pertama dan >14 pertama dan <14 yang terjadi
hari setelah bayi hari setelah bayi tidak hanya
lahir lahir pada masa
neonatal

Keterangan :
: Diteliti * : Diteliti

: Tidak diteliti

Gambar 2. Kerangka Teori


(Sumber : Sondakh, 2013; Rahmatia, 2017; Sutanto, 2018; Roesli, 2012; Holmes,
2012; Marmi, 2015; Elmeida, 2015; England, 2012; Sukadi, 2012)
2.4.2 Kerangka Konsep

27
Kerangka konsep ialah gambaran hubungan antar variabel yang
kemudian dirumuskan oleh peneliti setelah membaca teori dan melakukan
telaah untuk menjadi landasan penelitiannya (Masturoh & T, 2018).

Inisiasi Menyusu Dini


Ikterus Neonatorum

Keterangan :

: Variabel independen

: Variabel dependen

: Pengaruh

Gambar 3. Kerangka Konsep

2.5 Hipotesis
H0 : Tidak terdapat pengaruh inisiasi menyusu dini terhadap ikterus
neonatorum

Ha : Terdapat pengaruh inisiasi menyusu dini terhadap ikterus neonatorum

28
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Puskesmas Limboto Kabupaten Gorontalo.
Lokasi ini dipilih berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Gorontalo
yakni persentase persalinan yang dilakukan inisiasi menyusu dini ialah 70% dan
menjadi persentase terendah dari seluruh wilayah kerja Puskesmas di Kabupaten
Gorontalo. Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan April-Mei 2020.
3.2 Desain Penelitian
Desain pada penelitian ini menggunakan studi kohort prospektif. Studi
kohort prospektif diawali dengan menentukan faktor risiko timbulnya efek yang
kemudian diikuti selama periode waktu tertentu untuk melihat ada tidaknya efek
yang ditimbulkan (Saryono & Anggraeni, 2013).
3.3 Variabel Penelitian
Variabel merupakan ciri tertentu pada subyek penelitian yang berubah dari
satu subyek ke subyek lain. Terdapat dua jenis variabel yakni variabel independen
dan variabel dependen. Variabel independen atau variabel bebas ialah variabel
yang memberikan pengaruh pada variabel lain, dan variabel dependen atau
variabel terikat ialah variabel yang dipengaruhi oleh variabel independen
(Sastroasmoro dkk, 2011). Variabel independen dalam penelitian ini ialah inisiasi
menyusu dini (IMD) dan variabel dependen ialah ikterus neonatorum.
3.4 Definisi Operasional
Definisi operasional merupakan batasan untuk melaksanakan rencana
penelitian agar tidak terdapat makna berlebih dari istilah yang dipakai dalam
penelitian tersebut (Sastroasmoro dkk, 2011).
Tabel 6. Definisi Operasional
Variabel Definisi Parameter Alat Ukur Skala Skor
Operasional Data
Variabel Inisiasi menyusu Pelaksanaan SOP Nominal Berhasil = 1
independen dini (IMD) IMD <1 jam Inisiasi Tidak berhasil =
Inisiasi merupakan suatu pertama Menyusu 0
Menyusu upaya bayi untuk setelah bayi Dini
Dini mencapai puting lahir dan
susu ibunya dan sampai bayi
mulai menyusu mencapai
yang dilakukan puting susu
segera setelah
bayi lahir.
Variabel Ikterus adalah Bayi yang Observasi Nominal Tidak ikterus = 0
dependen perubahan warna mengalami Ikterus = 1
ikterus kulit, selaput ikterus
neonatorum lendir, sklera, fisiologis
atau organ lain pada hari
menjadi kuning ketiga
pada bayi baru
lahir yang
diakibatkan oleh
penumpukan
bilirubin
3.5 Populasi dan Sampel
3.5.1 Populasi
Populasi merupakan besarnya subyek yang memiliki karakteristik tertentu
yang dapat digunakan dalam penelitian (Sastroasmoro, 2011). Dalam penelitian
ini populasi ialah seluruh bayi yang akan dilahirkan di Puskesmas Limboto dari
April-Mei 2020.
3.5.2 Sampel
Sampel ialah bagian dari populasi yang diambil dengan cara-cara tertentu
yang dianggap mewakili keseluruhan populasi (Sastroasmoro, 2011). Dalam
penelitian ini digunakan teknik total sampling yaitu diambil dari seluruh populasi

30
yakni seluruh jumlah HPL pada kantung persalinan bulan April-Mei 2020 di
Puskesmas Limboto sebanyak ±20 orang.
3.6 Kriteria Inklusi dan Eksklusi
3.6.1 Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi merupakan subyek penelitian yang memiliki karakteristik
tertentu (Sastroasmoro, 2011). Adapun kriteria inklusi pada penelitian ini ialah :
1. Bayi baru lahir sampai dengan hari ketiga
2. Bayi baru lahir sehat (tidak asfiksia)
3.6.2 Kriteria Eksklusi
Kriteria eksklusi adalah sebagian subyek yang tidak dimasukkan dalam
kriteria inklusi dengan alasan tertentu (Sastroasmoro, 2011). Kriteria eksklusi
pada penelitian ini ialah :
1. Bayi baru lahir yang mengalami ikterus <24 jam
2. Bayi baru lahir bermasalah
3.7 Teknik Pengumpulan Data
3.7.1 Data Primer
Data primer diperoleh melalui observasi terhadap tindakan inisiasi menyusu
dini (IMD) pada ibu inpartu di Puskesmas Limboto dan mengobservasi kejadian
ikterus neonatorum.
3.7.2 Data Sekunder
Data sekunder didapatkan melalui Dinas Kesehatan Kabupaten Gorontalo
yakni presentasi cakupan IMD di Kabupaten Gorontalo pada tahun 2019 dan data
ibu hamil di wilayah kerja Puskesmas Limboto dengan taksiran persalinan April-
Mei 2020.
3.8 Teknik Pengolahan dan Analisa Data
3.8.1 Teknik Pengolahan Data
1. Editing
Editing adalah suatu proses mengubah data yang telah dikumpulkan dari
hasil kuisioner, angket, maupun wawancara.

31
2. Coding
Coding ialah merubah data dalam bentuk kalimat menjadi data dalam
bentuk angka.
3. Data Entry
Data entry merupakan proses memasukkan data yang telah diubah ke dalam
software yang akan digunakan untuk analisis data
4. Cleaning Data
Setelah memasukkan data, dilakukan pemeriksaan kembali untuk melihat
adanya kesalahan kode maupun ketidaklengkapan data sehingga perlu
‘dibersihkan’ atau diperbaiki.
3.8.2 Analisa Data
1. Analisis Univariat
Data yang telah dikumpulkan dapat ditampilkan dalam distribusi frekuensi,
ukuran tendensi sentral ataupun grafik (Saryono & Anggraeni, 2013). Dalam
penelitian ini analisis univariat menggunakan uji distribusi frekuensi. Distribusi
frekuensi adalah suatu cara menyajikan data dengan mengelompokkan data dalam
kelas-kelas interval dengan frekuensi tertentu. Distribusi frekuensi disajikan
dalam bentuk tabel yang terdiri dari distribusi relatif, distribusi kumulatif, dan
distribusi kumulatif-relatif (Kadir, 2015)
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan, pengaruh, maupun
perbandingan antara dua variabel. (Saryono & Anggraeni, 2013). Penelitian ini
menggunakan uji statistik chi square seperti yang dituliskan oleh Sugiyono (2015)
:
k 2
( fo−fh)
χ 2=∑
1=1 fn
Keterangan :
χ2 = Chi Kuadrat
fo = Frekuensi yang diobservasi
fh = Frekuensi yang diharapkan

32
Interpretasi hasil uji chi square yakni dengan menggunakan risiko relatif
(RR). Risiko relatif (RR) menggambarkan berapa kali lebih besar atau lebih kecil
hasil sebuah perlakuan dibanding perlakuan yang lain dengan taraf signifikansi α
0,05 (Siswosudarmo, 2015).
3.9 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian ialah alat bantu yang digunakan peneliti dalam
mengumpulkan untuk mendapatkan hasil sesuai yang diinginkan sehingga lebih
mudah diolah (Saryono & Anggraeni, 2013). Instrumen yang akan digunakan
untuk pengumpulan data yaitu menggunakan formulir Manajemen Terpadu Balita
Muda (MTBM). Untuk variabel independen, instrumen yang digunakan ialah SOP
Inisiasi Menyusu Dini.

33
3.9.1 Formulir Manajemen Terpadu Bayi Muda (MTBM)
FORMULIR BAYI MUDA UMUR KURANG DARI 2 BULAN
Tanggal Kunjungan : ……………………………………………………….
Nama Bayi : ……………..L/P Nama Orang Tua :……………….. Alamat :………………………
Umur : ……………….. Berat Badan : ………………Gram Suhu Badan : ……oC
TANYAKAN : Bayi ibu sakit apa?............................ Kunjungan pertama? ... Kunjungan ulang?.....
Penilaian (lingkarilah semua gejala yang Klasifikasi Tindakan/ Pengobatan
ditemukan)
MEMERIKSA KEMUNGKINAN
PENYAKIT SANGAT BERAT ATAU
INFEKSI BAKTERI
 Bayi tidak mau minum atau memuntahkan
semuanya
 Ada riwayat kejang
 Bayi bergerak hanya jika dirangsang
 Hitung napas dalam 1 menit____kali/menit
 Tarikan dinding dada ke dalam yang
sangat kuat
 Bayi merintih
 Suhu tubuh >37.5oC
 Suhu tubuh <36 oC
 Mata bernanah : apakah sedikit atau
banyak?
 Pusar kemerahan meluas sampai dinding
perut
 Pusat kemerahan atau bernanah
 Ada pustul di kulit.
APAKAH BAYI DIARE Ya__ Tidak__
 Sudah diare selama ____ hari
 Keadaan umum bayi :
- Letargis atau tidak sadar.
- Gelisah/rewel.
 Mata cekung
 Cubitan kulit perut kembalinya :
- Sangat lambat (>2 detik)
- Lambat.
 Ada darah dalam tinja tanpa disertai
gangguan saluran cerna

MEMERIKSA IKTERUS
 Bayi kuning, timbul pada hari pertama
setelah lahir (<24 jam)
 Kuning ditemukan pada umur ≥14 jam
sampai ≤14 hari
 Kuning ditemukan pada umur lebih dari 14
hari
 Kuning sampai telapak tangan atau telapak
kaki
 Tinja berwarna pucat.

34
Penilaian (lingkarilah semua gejala yang ditemukan) Klasifikasi Tindakan/
Pengobatan
MEMERIKSA KEMUNGKINAN BERAT BADAN RENDAH
DAN/ATAU MASALAH PEMBERIAN ASI
 Apakah inisiasi menyusu dini dilakukan? Ya……… Tidak……..
 Berat badan menurut umur :
- BB/U < -3 SD
- BB/U antara -2 SD dan -3 SD
- Tidak ada masalah berat badan rendah atau > -2 SD
 Ibu mengalami kesulitan dalam pemberian ASI? Ya…… Tidak….
 Apakah bayi diberi ASI? Ya…… Tidak….
Jika ya, berapa kali dalam 24 jam? ____ kali
 Apakah bayi diberi minuman selain ASI? Ya…… Tidak….
- Jika ya, berapa kali dalam 24 jam? ____ kali
- Alat apa yang digunakan? ___________________
 Ada luka atau bercak putih (thrush) di mulut.
 Ada celah bibir/langit-langit
---------------------------------------------------------------------------------
JIKA BAYI : ada kesulitan pemberian ASI, diberi ASI < 8 kali dalam 24
jam, diberi makanan/minuman lain selain ASI, atau berat badan rendah
menurut umur DAN tidak ada indikasi di rujuk ke Rumah Sakit.
LAKUKAN PENILAIAN TENTANG CARA MENYUSUI :
 Apakah bayi diberi ASI dalam 1 jam terkahir?
- Jika TIDAK, minta ibu menyusui bayinya
- Jika YA, minta ibu untuk memberitahu jika bayi sudah mau menyusu
lagi
Amati pemberian ASI dengan seksama.
Bersihkan hidung yang tersumbat, jika mengahalangi bayi menyusu.
 Lihat apakah bayi menyusu dengan baik.
 Lihat apakah posisi bayi benar
Seluruh badan bayi tersanggah dengan baik – kepala dan tubuh bayi
lurus – badan bayi menghadap ke dada ibu – badan bayi dekat ke ibu
Posisi salah – posisi benar
 Lihat apakah perlekatan benar :
Dagu bayi menempel payudara – mulut bayi terbuka lebar – bibir
bawah membuka keluar – areola bagian atas tampak lebih banyak
Tidak melekat sama sekali – tidak melekat dengan baik – melekat
dengan baik
 Lihat dan dengar apakah bayi mengisap dalam dan efektif :
Bayi mengisap dalam, teratur, diselingi istirahat-hanya terdengar suara
menelan.
Tidak mengisap sama sekali – tidak mengisap dengan efektif –
mengisap dengan efektif
MEMERIKSA STATUS VITAMIN K1 Vit K1
(beri tanda rumput jika sudah diberikan segera setelah lahir) diberikan
segera setelah
bayi lahir
MEMERIKSA STATUS IMUNISASI (lingkari imunisasi yang Imunisasi yang
dibutuhkan hari ini) diberikan hari
Hepatitis B0 ___ BCG ____ Polio 1 _____ ini :
___________
Nasihati ibu kapan kembali segera
Kembali kunjungan ulang : ___ hari
MEMERIKSA MASALAH/KELUHAN IBU

35
3.9.2 SOP Inisiasi Menyusu Dini
Berikut langkah-langkah inisiasi menyusu dini yang dianjurkan :

NO PROSEDUR PELAKSANAAN
.
1. Seluruh tubuh bayi dikeringkan kecuali kedua telapak
tangan
2. Tengkurapkan bayi di antara kedua payudara ibu tanpa
dilapisi kain agar terjadi kontak kulit antara ibu dan bayi
3. Tutupi badan bayi dengan selimut jika perlu pakaikan
topi pada bayi
4. Biarkan bayi mencari puting susu selama ±60 menit.
5. IMD berhasil dilakukan bila bayi mencapai puting susu
dan mulai menyusu.
3.10 Alur Penelitian
Populasi dalam penelitian ini ialah seluruh bayi yang akan dilahirkan di
Puskesmas Limboto pada bulan April-Mei 2020, kemudian populasi tersebut
diambil menjadi sampel karena penelitian menggunakan teknik total sampling
dalam pengambilan sampel. Setelah memperoleh sampel, dilakukan observasi
inisasi menyusu dini sesuai dengan SOP Inisiasi Menyusu kemudian dilakukan
follow up sampai bayi berusia 3 hari untuk melihat kejadian ikterus neonatorum
menggunakan formulir Manajemen Terpadu Bayi Muda (MTBM). Apabila
jumlah sampel telah mencukupi, langkah selanjutnya yaitu pengelolaan data dan
penyusunan hasil penelitian untuk ditarik kesimpulan.

36
Populasi
Seluruh bayi yang lahir di Puskesmas
Limboto bulan April-Mei

Sampel
Pengambilan sampel menggunakan total sampling

Pengumpulan Data
Menggunakan SOP IMD dan Formulir MTBM

Inisiasi Menyusu Dini


Observasi pelaksanaan IMD berhasil atau tidak
berhasil

Ikterus Neonatorum
Observasi kejadian ikterus neonatorum fisiologis
pada hari ketiga

Analisis Data

Kesimpulan

Gambar 4. Alur Penelitian


3.11 Etika Penelitian
Penelitian yang baik tidak hanya ditinjau dari materi yang diteliti namun
juga memiliki etika dalam penelitian. Berikut beberapa etika dalam melakukan
penelitian seperti yang dikemukakan oleh Saryono & Anggraeni (2013) :
1. Memiliki izin dari penguasa tempat yang akan dilakukan penelitian serta
memberi penjelasan tentang maksud dan tujuan penelitian.
2. Tidak menjadikan responden yang akan diteliti sebagai “objek” penelitian
melainkan orang yang memiliki derajat yang sama dengan peneliti.

37
3. Menghargai, menghormati dan mematuhi aturan, norma, nilai masyarakat,
kepercayaan, hingga adat istiadat masyarakat di tempat yang dilakukan
penelitian.
4. Menjaga kerahasiaan yang berkaitan dengan informasi yang diberikan.
5. Tidak mempublikasikan informasi tentang subjek penelitian tanpa izin.
Nama subjek hendaknya menggunakan inisial dalam laporan penelitian.
6. Memberikan informed consent terlebih dahulu kepada subjek.
7. Tetap menjaga kerahasiaan identitas subjek selama dan sesudah penelitian.
8. Memberikan kenyamanan pada responden dan melakukan wawancara di
tempat yang dikendaki responden.

38
DAFTAR PUSTAKA
Aulia, Ismail, D., & Sulistyaningsih. (2017). Pengaruh Inisiasi Menyusu Dini
terhadap Terjadinya Ikterus Neonatorum. Jurnal Ilmiah Umum Dan
Kesehatan ’Aisyiyah, 2(1), 31–38.
Chu, K., Sheu, S., Hsu, M., Liao, J., & Chien, L. (2019). Breastfeeding
Experiences of Taiwanese Mothers of Infants with Breastfeeding or Breast
Milk Jaundice in Certified Baby-Friendly Hospitals. Asian Nursing
Research, 13(2), 154–160. https://doi.org/10.1016/j.anr.2019.04.003
Dinengsih, S., Indrayani, T. 2017. Teknologi Terapan dalam Pelayanan
Kebidanan. Sidoarjo: Indomedia Pustaka.
Elmeida, I. F. 2015. Asuhan Kebidanan Neonatus, Bayi, Balita dan Anak Pra
Sekolah. Jakarta: Trans Info Media.
England, C. 2012. Asuhan Kebidanan pada Bayi yang Baru Lahir. Di dalam Ten
Teachers (editor). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Holmes, D. 2012. Asuhan Kebidanan pada Bayi yang Baru Lahir. Di dalam Ten
Teachers (editor). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hwang, N. R., & Kim, J. K. (2018). Relationship between Asymptomatic
Rotavirus Infection and Jaundice in Neonates : A Retrospective Study. BMC
Pediatrics, 18, 376–381.
Jones, K. D. J., Grossman, S. E., Kumaranayakam, D., Rao, A., & Fegan, G.
(2017). Umbilical Cord Bilirubin as a Predictor of Neonatal Jaundice : A
Retrospective Cohort Study. BMC Pediatrics, 17, 186–191.
https://doi.org/10.1186/s12887-017-0938-1
Kadir. 2015. Statistika Terapan : Konsep, Contoh dan Analisis Data dengan
Program SPSS/Lisrel dalam Penelitian. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Maisels, M. J., Clune, S., Coleman, K., Gendelman, B., Kendall, A., McManus,
S., & Smyth, M. (2014). The Natural History of Jaundice in Predominantly
Breastfed Infants. American Academy of Pediatrics, 134, 340–345.
https://doi.org/10.1542/peds.2013-4299
Marmi, Rahardjo, K. 2015. Asuhan Neonatus, Bayi, Balita, dan Anak Prasekolah.
Yogyakarta: Pustaka Baru.
Masturoh, I., T, N. A. 2018. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Badan
Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan.
Mcfadden, A., Siebelt, L., Marshall, J. L., Gavine, A., Girard, L., Symon, A., &
Macgillivray, S. (2019). Counselling Interventions to Enable Women to
Initiate and Continue Breastfeeding : A Systematic Review and Meta-
Analysis. International Breastfeeding Journals, 14, 42–60.
Pohlman, M. N., Nursanti, I., Anto, Y. V., Achmad, S., & Yogyakarta, Y. (2015).
Hubungan Inisiasi Menyusu Dini dengan Ikterus Neonatorum dI RSUD
Wates Yogyakarta. Media Ilmu Kesehatan, 4(2), 96–103.
Profil Kesehatan Provinsi Gorontalo. 2014. Gorontalo: Dinas Kesehatan Provinsi
Gorontalo.
Rahmatia, D. 2017. Buku Petunjuk Kesehatan Ibu dan Anak. Jakarta: Bee Media
Pustaka.
Roesli, U. 2012. Panduan Inisiasi Menyusu Dini Plus ASI Eksklusif. Jakarta:
Pustaka Bunda.
Ryanti, R., Fortuna, D., Yudianti, I., & Mardiyanti, T. (2018). Waktu Pemberian
ASI dan Kejadian Ikterus Neonatorum. Jurnal Informasi Kesehatan
Indonesia, 4(1), 43–52.
Saryono, Anggraeni, M. D. 2013. Metodologi Penelitian Kualitatif dan
Kuantitatif. Yogyakarta: Nuha Medika.
Sastroasmoro, S. 2011. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Di dalam
Sudigdo Sastroasmoro & Sofyan Ismael (editor). Jakarta: Sagung Seto.
Sastroasmoro, S., Aminullah, A., Rukman, Y., & Munasir, Z. 2011. Dasar-Dasar
Metodologi Penelitian Klinis. Di dalam Sudigdo Sastroasmoro & Sofyan
Ismael (editor). Jakarta: Sagung Seto.
Sastroasmoro, S., Gatot, D., Kadri, N., & Pudjiarto, P. S. 2011. Dasar-Dasar
Metodologi Penelitian Klinis. Di dalam Sudigdo Sastroasmoro & Sofyan
Ismael (editor). Jakarta: Sagung Seto.
Siswosudarmo, R. 2015. Pendekatan Praktis Penelitian Epidemiologi Klinis dan
Aplikasi SPSS untuk Analisis Statistika. Yogyakarta : Bagian Obstetrika dan
Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.
Sondakh, J. J.S. 2013. Asuhan Kebidanan Persalinan & Bayi Baru Lahir. Jakarta:
Penerbit Erlangga.
Sugiyono. 2015. Statistik Nonparametris untuk Penelitian. Jakarta: CV. Alfabeta.

Sukadi, A. 2012. Buku Ajar Neonatologi. Di dalam Ikatan Dokter Anak Indonesia
(editor). Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
Survei Demografi Kesehatan Indonesia. 2017. Jakarta: BKKBN, BPS, Kemenkes.
Sutanto, A. V. 2018. Asuhan Kebidanan Nifas & Menyusui Teori dalam Praktik
Kebidanan Profesional. Yogyakarta: Pustaka Baru.
Tambunan, T., Soetomenggolo, T. S., Passat, J., & Agusman, I. S. 2011. Dasar-
Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Di dalam Sudigdo Sastroasmoro &
Sofyan Ismael (editor). Jakarta: Sagung Seto
Tewabe, T., Mehariw, Y., Negatie, E., & Yibeltal, B. (2018). Neonatal Mortality
in the Case of Felege Hiwot Referral Hospital, Bahir Dar, Amhara Regional
State, North West Ethiopia 2016 : A One Year Retrospective Chart Review.
Italian Journal of Pediatrics, 44, 57–61.
UNICEF. Level and Trends in Child Mortality. 2019.
United Nation. 2015. Transforming Our World : The 2030 Agenda for Sustainable
Development.
Wantini, N. U., Santi, E., Astika, E., Damayanti, F. (2019). Inisiasi Menyusu Dini
(IMD) dengan Kejadian Ikterus Neonatorum Fisiologis. Nerspedia, 2(1),
59–68.
Woldeamanuel, B. T. (2020). Trends and Factors Associated to Early Initiation of
Breastfeeding, Exclusive Breastfeeding and Duration of breastfeeding in
Ethiopia : Evidence from the Ethiopia Demographic and Health Survey

40
2016. International Breastfeeding Journals, 15, 3–15.
World Health Organization. (n.d). Ten Steps to Successful Breastfeeding (pada :
https://www.who.int/activities/promoting-baby-friendly-hospitals/ten-steps-
to-successfull-breastfeeding) Diakses pada 09 Februari 2020.
Yu, T., Nguyen, C., Ruiz, N., Zhou, S., Zhang, X., Böing, E. A., & Tan, H.
(2019). Prevalence and Burden of Illness of Treated Hemolytic Neonatal
Hyperbilirubinemia in a Privately Insured Population in the United States.
BMC Pediatrics, 19, 53–67.
Yuliana, F., Hidayah, N., & Wahyuni, S. (2018). Hubungan Frekuensi Pemberian
ASI dengan Kejadian Ikterus pada Bayi Baru Lahir di RSUD DR. H. Moch.
Ansari Saleh Banjarmasin Tahun 2017. Dinamika Kesehatan, 9(1), 526–
534.

41
Lampiran 1. Instrumen Responden yang Digunakan Selama Penelitian

LEMBAR PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN


Kepada
Yth. Calon Responden Penelitian
Di
Tempat
Dengan Hormat,
Saya yang bertanda tangan dibawah ini adalah mahasiswa Program Studi D-
IV Kebidanan Universitas Muhammadiyah Gorontalo.
Nama : Hindun Khairin Nisaa Koem
Nim : C02416037
Akan melaksanakan penelitian dengan judul “Pengaruh Inisiasi Menyusu
Dini terhadap Ikterus Neonatorum di Puskesmas Limboto”. Penelitian ini tidak
menimbulkan akibat yang merugikan bagi semua responden. Keberhasilan semua
responden akan dijaga dan hanya akan digunakan untuk kepentingan penelitian.
Apabila saudari menyetujui maka mohon kesediannya untuk mengisi dan
menandatangani lembar persetujuan menjadi responden.
Atas perhatian dan ketersediaan saudari sebagai responden, saya ucapkan
terima kasih.

Gorontalo, April 2020


Penulis

Hindun Khairin Nisaa Koem

42
Informed Consent

Yang bertanda tangan dibawah ini:


Nama :
Usia :
Alamat :
No. Telp/HP :
Dengan ini menyatakan bersedia menjadi responden dalam penelitian yang
akan dilakukan oleh mahasiswa Program Studi D-IV KebidananUniversitas
Muhammadiyah Gorontalo dengan judul “Pengaruh Inisiasi Menyusu Dini
terhadap Ikterus Neonatorum”. Untuk itu saya menyatakan bersedia untuk
menjadi responden pada penelitian ini dengan sukarela tanpa adannya unsur
paksaan dan memberikan jawaban yang sebenar-benarnya.

Gorontalo, April 2020


Responden

43
NO. RESP:

LEMBAR OBSERVASI

INISIASI MENYUSU DINI

Nama Bayi :
Hari/Tanggal Lahir :
Jenis Kelamin :
NO PROSEDUR PELAKSANAAN YA TIDAK
.
1. Keringkan seluruh tubuh bayi kecuali kedua telapak
tangan
2. Tengkurapkan bayi di dada ibu dengan kontak kulit
ibu dan kulit bayi.
3. Tutupi badan bayi dengan selimut jika perlu pakaikan
topi pada bayi.
4. Biarkan bayi mencari puting selama ±60 menit
5. IMD berhasil dilakukan bila bayi mencapai puting
susu dan mulai menyusu.
Beri tanda (√) sesuai dengan tindakan yang dilakukan

Sumber : Roesli, 2012.

44
NO. RESP:
FORMULIR BAYI MUDA UMUR KURANG DARI 2 BULAN
Tanggal Kunjungan : ……………………………………………………….
Nama Bayi : ……………..L/P Nama Orang Tua :……………….. Alamat :………………………
Umur : ……………….. Berat Badan : ………………Gram Suhu Badan : ……oC
TANYAKAN : Bayi ibu sakit apa?............................ Kunjungan pertama? ... Kunjungan ulang?.....

Penilaian (lingkarilah semua gejala yang ditemukan) Klasifikasi Tindakan/ Pengobatan

MEMERIKSA KEMUNGKINAN PENYAKIT


SANGAT BERAT ATAU INFEKSI BAKTERI
Bayi tidak mau minum atau memuntahkan
semuanya
Ada riwayat kejang
Bayi bergerak hanya jika dirangsang
Hitung napas dalam 1 menit____kali/menit
Tarikan dinding dada ke dalam yang sangat kuat
Bayi merintih
Suhu tubuh >37.5oC
Suhu tubuh <36 oC
Mata bernanah : apakah sedikit atau banyak?
Pusar kemerahan meluas sampai dinding perut
Pusat kemerahan atau bernanah
Ada pustul di kulit.

APAKAH BAYI DIAREYa__ Tidak__


Sudah diare selama ____ hari
Keadaan umum bayi :
Letargis atau tidak sadar.
Gelisah/rewel.
Mata cekung
Cubitan kulit perut kembalinya :
Sangat lambat (>2 detik)
Lambat.
Ada darah dalam tinja tanpa disertai gangguan
saluran cerna

MEMERIKSA IKTERUS
Bayi kuning, timbul pada hari pertama setelah lahir
(<24 jam)
Kuning ditemukan pada umur ≥14 jam sampai ≤14
hari
Kuning ditemukan pada umur lebih dari 14 hari
Kuning sampai telapak tangan atau telapak kaki
Tinja berwarna pucat.

45
Penilaian (lingkarilah semua gejala yang ditemukan) Klasifikasi Tindakan/ Pengobatan

MEMERIKSA KEMUNGKINAN BERAT BADAN RENDAH


DAN/ATAU MASALAH PEMBERIAN ASI
Apakah inisiasi menyusu dini dilakukan? Ya……… Tidak……..
Berat badan menurut umur :
BB/U < -3 SD
BB/U antara -2 SD dan -3 SD
Tidak ada masalah berat badan rendah atau > -2 SD
Ibu mengalami kesulitan dalam pemberian ASI? Ya…… Tidak….
Apakah bayi diberi ASI? Ya…… Tidak….
Jika ya, berapa kali dalam 24 jam? ____ kali
Apakah bayi diberi minuman selain ASI? Ya…… Tidak….
Jika ya, berapa kali dalam 24 jam? ____ kali
Alat apa yang digunakan? ___________________
Ada luka atau bercak putih (thrush) di mulut.
Ada celah bibir/langit-langit
---------------------------------------------------------------------------------
JIKA BAYI : ada kesulitan pemberian ASI, diberi ASI < 8 kali dalam 24
jam, diberi makanan/minuman lain selain ASI, atau berat badan rendah
menurut umur DAN tidak ada indikasi di rujuk ke Rumah Sakit.
LAKUKAN PENILAIAN TENTANG CARA MENYUSUI :
Apakah bayi diberi ASI dalam 1 jam terkahir?
Jika TIDAK, minta ibu menyusui bayinya
Jika YA, minta ibu untuk memberitahu jika bayi sudah mau menyusu lagi
Amati pemberian ASI dengan seksama.
Bersihkan hidung yang tersumbat, jika mengahalangi bayi menyusu.
Lihat apakah bayi menyusu dengan baik.
Lihat apakah posisi bayi benar
Seluruh badan bayi tersanggah dengan baik – kepala dan tubuh bayi lurus –
badan bayi menghadap ke dada ibu – badan bayi dekat ke ibu
Posisi salah – posisi benar
Lihat apakah perlekatan benar :
Dagu bayi menempel payudara – mulut bayi terbuka lebar – bibir bawah
membuka keluar – areola bagian atas tampak lebih banyak
Tidak melekat sama sekali – tidak melekat dengan baik – melekat
dengan baik
Lihat dan dengar apakah bayi mengisap dalam dan efektif :
Bayi mengisap dalam, teratur, diselingi istirahat-hanya terdengar suara
menelan.
Tidak mengisap sama sekali – tidak mengisap dengan efektif –
mengisap dengan efektif

MEMERIKSA STATUS VITAMIN K1 Vit K1 diberikan


(beri tanda rumput jika sudah diberikan segera setelah lahir) segera setelah bayi
lahir

MEMERIKSA STATUS IMUNISASI (lingkari imunisasi yang Imunisasi yang


dibutuhkan hari ini) diberikan hari
Hepatitis B0 ___ BCG ____ Polio 1 _____ ini : ___________

MEMERIKSA MASALAH/KELUHAN LAIN

Nasihati ibu kapan kembali segera


Kembali kunjungan ulang : ___ hari

MEMERIKSA MASALAH/KELUHAN IBU

46

Anda mungkin juga menyukai