Anda di halaman 1dari 42

ASUHAN KEPERAWATAN PADA By.Ny.

S DENGAN HIPERBILIRUBIN
DI RUANG PERINA 2A RS MULYA

Dosen Pembimbing :
Sri Hartati SKM, MM

Disusun Oleh :
1. Ari Aurel Akbar
2. Aini Azahra Erinatasya
3. Putri Maharani
4. Dania Ayu Lestari
5. Estya Putri Astuti
6. Anggeline Jolie
7. Yella Sendya

POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG


PRODI D-III KEPERAWATAN LAHAT TAHUN
AJARAN 2022/202
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembangunan nasional dilaksanakan pada segala bidang dan salah satu
bidang yang tidak kalah pentingnya adalah bidang kesehatan. Pembangunan
kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan
kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujudnya derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan
sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomi (Kemenkes,
2009).

Menurut World Health Organization (2009) sehat adalah kesejahteraan yang


meliputi fisik, mental dan sosial yang tidak hanya bebas dari penyakit atau
kecacatan. Menurut UU Kesehatan no. 36 tahun 2009 sehat adalah keadaan
sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan
setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Dengan
demikian maka dapat ditarik kesimpulan definisi secara komprehensif yaitu
keadaan sehat secara bio-psiko-sosio terbebas dari penyakit sehingga
seseorang dapat melakukan aktivitas secara optimal (Depkes RI, 2006).

Berbagai tinjauan kementrian kesehatan mengenai profil kesehatan


masyarakat Indonesia hal-hal yang diperhatikan tentang kesehatan masyarakat
salah satunya adalah Angka Kematian anak atau Bayi (AKB), peninjauan
profil AKB dimulai pada tahun 1990 yang merupakan pekerjaan besar bagi
kementerian kesehatan beserta jajarannya (Kemenkes, 2015).

Indonesia menempati posisi ke 9 dengan angka kematian bayi sebasar 30 per


1000 kelahiran hidup (Depkes RI, 2011). Sedangkan berdasarkan data dari
Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Kemenko Kesra) jumlah
bayi yang meninggal di Indonesia mencapai 34 kasus per 1000 kelahiran
hidup. Jumlah tersebut lebih tinggi dari angka MDGs yakni 25 kasus per 1000
kelahiran hidup (Sarmun, 2012).
Hasil survei berdasarkan Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia
(SDKI) angka kematian neonatus memberikan kontribusi besar
terhadap angka kematian bayi yaitu sebayak 59%, angka kematian
neonatus di Indonesia usia 0-28 hari pada tahun 2012 menujukan hasil
yang cukup besar yaitu sebayak 19 dari 1000 kelahiran hidup angka ini
menujukan hasil yang hampir sama pada angka kematian neonatus pada
tahun 2002, 2003 yaitu hanya selisih 1 point yaitu 20 dari 1000
kelahiran hidup (Kemenkes, 2015). Angka Kematian Bayi (AKB) 23
per 1000 kelahiran hidup pada 2015, Angka Kematian Balita (AKBA)
32 per 1000 kelahiran hidup pada 2015, Angka Kematian Neonatal
(AKN) menurun dengan acuan SDKI (Survey Demografi dan
Kesehatan Indonesia) 19 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2015
(Kemenkes RI, 2011).

Sebagai upaya pemerintah menekan angka kematian neonatus dengan


komplikasi neonatorum menyediakan Fasilitas Layanan Kesehatan
(FasYanKes) baik dokter, bidan, dan perawat yang dapat memberikan
bantuan dasar penanganan komplikasi neonatus dengan komplikasi,
berdasarkan standart Manajemen Terpadu Bayi Muda (MTBM)
(Kemenkes, 2015). Angka kematian bayi diklasifikasikan berdasarkan
penyebab kematiannya faktor penyebab kematian bayi diantaranya
yaitu komplikasi kematian neonatus usia 0-48 jam pasca lahir meliputi
cacat kongenital termasuk bayi kuning berdasarkan pengkajian MTBM
(Manajemen Terpadu Bayi Muda), kematian bayi asfiksia, kematian
bayi lahir dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), kematian bayi
karena penyakit yang dapat di cegah (BCG, Campak), sepsis
neonatorum, trauma lahir, tetanus neonatorum, dehidrasi, hipotermi,
kejang, kematian neonatus lahir hiperbilirubin/Ikterus. (Karlina, 2016).

Neonatus ikterik atau terjadinya hiperbilirubinemia indirek di Indonesia


dijumpai pada sekitar 60% bayi aterm dan 80% bayi premature (Nelson,
2007). Angka kejadian menunjukkan bahwa lebih 50% bayi baru lahir
menderita ikterus yang dapat dideteksi secara klinis dalam minggu
pertama kehidupannya, Ikterus pada neonatus dapat dibedakan menjadi
dua macam, yaitu fisiologis dan patologis. Ikterus neonatorum
fisiologis timbul akibat peningkatan dan akumulasi bilirubin indirek < 5
mg/dl/24 jam yaitu terjadi 24 jam pasca persalinan. Hal ini karena
metabolisme bilirubin neonatus belum sempurna masih dalam masa
transisi dari masa janin ke masa dewasa (Ermalida, 2016).

Ikterus neonatorum patologis adalah ikterus yang timbul dalam 24 jam


pertama pasca persalinan dimana peningkatan dan akumulasi bilirubin
indirek > 5 mg/dl/24 jam dan ikterus akan tetap menetap hingga 8 hari
atau lebih pada bayi cukup bulan (matur) sedangkan pada bayi kurang
bulan (prematur) ikterus akan tetap ada hingga hari ke-14 atau lebih
(Karlina, 2016). Ikterik bila tidak ditangani dengan tepat dapat
menimbulkan masalah kesehatan serius yang mengancam hingga
terjadinya kematian pada neonatus atau terjadinya kern icterus.

Dampak atau komplikasi dari ikterus adalah terjadinya Kern - icterus


yaitu encefalopati bilirubin yang biasanya ditemukan pada neonatus
cukup bulan dengan ikterus berat (bilirubin indirect lebih dari 20 mg%
atau >18 mg% pada bayi berat badan lahir rendah) disertai dengan
gejala kerusakan otak berupa mata berputar, latergi, kejang, tidak
mampu menyusu ASI, tonus otot meningkat, leher kaku, dan sianosis,
serta dapat diikuti dengan ketulian, gangguan berbicara, dan retardasi
mental dikemudian hari (Surasmi, 2003). Kern icterus timbul akibat
akumulasi bilirubin indirek di susunan saraf pusat yang melebihi batas
toksisitas bilirubin pada ganglia basalis dan hipocampus. Ikterus
neonatorum perlu mendapat perhatian dan penanganan yang baik
sehingga menurunkan angka kematian bayi Infant Mortality Rate
(IMR) yang masih tinggi di Indonesia. Bayi yang menderita
ensefalopati bilirubin/kern icterus akan mengalami gangguan proses
pertumbuhan dan perkembangan seperti retardasi mental, serebral palsy
dan gangguan pendengaran (Nursanti, 2011).

Klinis ikterus pada bayi baru lahir dapat ditandai dengan berbagai data
penunjang klinis yaitu diantaranya hasil pemeriksaan labolatorium
bilirubin sebagai berikut ini: bilirubin total >10 mg% pada bayi cukup
bulan dan > 12,5 mg% pada bayi premature atau kurang bulan,
sedangkan Ermalinda (2016) mengungkapkan icterus neonatorum dapat
dibedakan berdasarkan derajatnya dan nilai total tafsiran bilirubin
berdasarkan gejala yang timbul secara visual seperti: derajat satu
kuning pada leher dan kepala atau dengan kadar bilirubin (0,5 mg%),
derajat dua sampai badan bagian atas dengan kadar bilirubin (9,0 mg
%), derajat 3 kuning sampai badan bagian bawah hingga tungkai,
perkiraan kadar bilirubin 10,4 mg%, Derajat kuning hingga meliputi
tangan dan tugkai, perkiraan bilirubin dalam darah 12,4 mg%, dan
Derajat 5 kuning meliputi telapak tangan dan kaki, perkiraan kadar
bilirubin 16,0 mg%. penunjang lainnya dapat dilakuka USG dan
radiographer untuk melihat organ empedu.

Penatalaksanaan maupun perhatian khusus neonatus ikterik fisiologis


diberikan pada 24 jam pertama hingga usia satu minggu post kelahiran,
(Depkes, 2004). Pencegahan komplikasi ikterus, meliputi: Promosi dan
dukungan pemberian ASI (Air Susu Ibu) dengan intake yang memadai,
melakukan penilaian sistematis kadar bilirubin, tindak lanjut
menurunkan kadar bilirubin dengan fototerapi atau tranfusi tukar bila
dalam 48 jam bilirubin >12 mg/dl (Nursanti, 2011).

Pemberian terapi cairan pada bayi ikterik adalah mempertahankan bayi


dari dehidrasi yang akan memicu terjadinya penumpukan kadar
bilirubin dalam darah karena tidak mampu keluar bersamaan dengan
urine maupun feses. Asupan cairan pada bayi salah satunya dengan
memberikan ASI ekslusif atau dengan ASI sambung. Pemberian cairan
ASI atau susu formula mampu memenuhi kebutuhan bayi baik dari
nilai gizi yang terkandung maupun manfaat lain seperti mencegah
reabsorsi bilirubin terserap kembali kedalam darah yang seharusnya
terbuang bersama feses (mekonium) dan urin, memberikan keamanan
bagi sistem pencernaan karena sangat mudah di cerna oleh organ
pencernaan yang belum matur, mencegah konstipasi, mempercepat
pembuangan mekonium sisa, mencegah terjadinya dehidrasi, serta
sebagai antibodi alamiah bagi bayi yang retan dan sensitif terhadap
mikro orgaisme yang memungkinkan mengkontaminasi sepanjang daur
kehidupan bayi, mempercepat pengeluaran placenta pada ibu,
memberikan stimulus agar memperbanyak produksi ASI,
mempersingkat perdarahan pada ibu melahirkan (Walyani, 2015).

Hiperbilirubin juga dapat ditangani dengan melakukan penyinaran pada


bayi atau sering disebut fototerapi namun beberapa penelitian
mengungkapkan metode jemur bayi juga efektif menghilangkan tanda
dan gejala ikterus pada neonatus, terapi jemur lebih dianjurkan ketika
bayi pulang dari pelayanan kesehatan karena dirumah tidak mempunyai
alat fototerapi. Terapi sinar matahari mempunyai mekanisme kerja yang
hampir sama dengan metode fototerapi yaitu memanfaatkan sinar
ultraviolet untuk memecahkan bilirubin yang tak terkonjugasi
(Walyani, 2015).

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh penulis pada


bulan Januari sampai dengan bulan Mei 2018 dari data di Ruang
Perina 2A Rumah saki Mulya Tangerang total rawat bayi ikterus
sebanyak 20 bayi. Bayi mengalami hiperbilirubin fisiologis pada 48 jam
pertama pasca lahir dengan klasifikasi hiperbilirubin yang berbeda-
beda. Hiperbilirubin kategori ringan yaitu dengan nilai bilirubin rata-
rata ≤ 12 mg/dl maka berdasarkan tabel rujukan (AAP) The American
Academy of Pediatrics tidak dilakukan penyinaran terhadap bayi
tersebut tetapi pemberian ASI ditingkatkan dan harus mencukupi
kebutuhan, bayi dengan nilai bilirubin dengan kadar bilirubin ≥ 12
dilakukan fotoherapy maksimal 48 jam.

Hasil evaluasi selama 1 minggu terhadap aktivitas ibu menyusui rata-


rata ibu perhari memberikan ASI kepada bayi dengan frekuensi delapan
kali pemberian ASI, apabila dihubungkan dengan frekuensi rujukan
AAP frekuensi pemberian ASI pada bayi masih terbilang kurang yang
mana nilai rujukannya adalah minimal enam sampai sepuluh kali
pemberian ASI selama 24 jam (Suradi, 2010). Berdasarkan hasil studi
pendahuluan ini penulis sangat tertarik untuk melakukan aplikasi
asuhan keperawatan terhadap neonatus dengan Hiperbilirubin yang
lahir Di Rumah Sakit Mulya-Tangerang tahun 2018.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas” Bagaimana penerapan
Asuhan keperawatan pada neonatus dengan hiperbilirubin di ruang
Perina 2A RS Mulya tahun 2018 ?”

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui Efektivitas Asuhan keperawatan Terhadap bayi
Hiperbilirubin Di Rumah Sakit Mulya-Tangerang 2018.

2. Tujuan Khusus
1) Mengidentifikasi data hasil pengkajian pada neonatus dengan
hiperbilirubin di ruang Perina RS Mulya Tangerang
2) Merumuskan diagnosa keperawatan pada neonatus dengan kasus
hiperbilirubin di ruang Perina 2A RS Mulya Tangerang
3) Menyusun rencana asuhan keperawatan pada neonatus dengan kasus
hiperbilirubin di ruang Perina 2A RS Mulya Tangerang
4) Melaksanakan asuhan keperawatan pada neonatus dengan kasus
hiperbilirubin di ruang Perina 2A RS Mulya Tangerang
5) Melaksakan evaluasi keperawatan pada neonatus dengan kasus
hiperbilirubin di ruang Perina 2A RS Mulya Tangerang

D. Manfaat penelitian
1. Manfaat Teoritis
Membantu dalam pengembangan ilmu pengetahuan di bidang
keperawatan maternitas terkait manajemen penanganan bayi baru lahir
aterm ikterus.
2. Manfaat Praktis
1) Bagi Rumah Sakit
Menambah wawasan bagi petugas rumah sakit tentang penanganan
bayi dengan hiperbilirubin dengan pemberian cairan ASI dan
Terapi jemur yang phototerapy.
2) Bagi peneliti
Menambah pengetahuan peneliti tentang pengaruh pemberian ASI
ekslusif dan terapi jemur terhadap kadar bilirubin bayi baru lahir
aterm
3) Bagi pasien
Meningkatkan efektivitas penanganan manajemen bayi ikterus
dengan pemberian ASI ekslusif dan jemur bayi
4) Bagi petugas kesehatan
Sebagai masukan dan pertimbangan dalam memberikan pelayanan
kesehatan, memberikan pendampingan terhadap orang tua dengan
bayi ikterik.
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Hiperbilirubin
1. Definisi
Hiperbilirubinemia adalah konsentrasi bilirubin serum total
(BST) ≥ 5 mg/dl (86µmoI/L) keadaan ini dapat ditemukan pada bayi
dengan berbagai usia gestasi, pada bayi dengan usia gestasi 35 minggu
ditemukan sekitar 60% (Rulina, 2010). Ikterus pada bayi atau yang
dikenal dengan istilah ikterus neonatarum adalah keadaan klinis pada bayi
yang ditandai oleh pewarnaan ikterus pada kulit dan sklera, mukosa
akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi yang berlebih, orang dewasa
atau anak akan tampak ikterus apabila serum bilirubin >2
mg/dl(>17μmol/L) sedangkan pada neonatus baru tampak apabila serum
bilirubin > 5mg/dl (86μmol/L) (Karlina, 2016).

Ikterus lebih mengacu pada gambaran klinis berupa pewaranaan kuning


pada kulit, sedangkan hiperbilirubinemia lebih mengacu pada gambaran
kadar bilirubin serum total, Hiperbilirubin merupakan terjadinya
peningkatan kadar bilirubin dalam darah yang nilainya lebih dari normal,
dimana sesuai nilai rujukan atau nilai batas normal bilirubin indirek 0,3-
1,1 mg/dl sedangkan bilirubin direk 0,4 mg/dl, hiperbilirubin ditandai
dengan gejala klinis seperti kuning pada badan, sklera, hal ini dapat
terjadi pada bayi lahir normal maupun tidak normal (Karlina, 2016).

2. Klasifikasi hiperbilirubin Neonatus


Menurut Rulina (2010) ikterus atau keadaan hiperbilirubinemia
umumnya adalah kejadian yang normal dan terdapat 10% kejadian
hiperbilirubin menjadi patologis (enselopati bilirubin) hiperbilirubin yang
mengarah kearah patologis diantaraya, ialah sebagai berikut:
1) Timbul pada saat lahir atau hari pertama saat kehidupan
2) Kenaikan bilirubin berlangsung cepat > 5 mg/dl per hari
3) Bayi lahir premature
4) Bayi dengan lahir kuning dan menetap hingga usia bayi 2 minggu
pasca kelahiran
5) Kenaikan bilirubin direk > 2 mg/dl atau > 20% dari BST.

Menurut Karlina (2016) kejadian ikterus pada neonatus dapat dibedakan


menjadi dua bagian , yaitu:
a. Ikterus fisiologis
Ikterus fisiologi adalah ikterus yang timbul pada hari kedua dan hari
ketiga serta tidak mempunyai dasar patologi atau tidak mempunyai
potensi menjadi karena ikterus. Adapun tanda-tanda sebagai berikut :
1) Timbul pada hari kedua dan ketiga
2) Kadar bilirubin indirek tidak melebihi 10 mg% pada neonatus
cukup bulan.
3) Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5% per
hari.
4) Kadar bilirubin direk tidak melebihi 1 mg %.
5) Ikterus menghilang pada 10 hari pertama. Tidak terbukti
mempunyai hubungan dengan keadaan patologis.
b. Ikterus patologis
Ikterus patologis adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis
atau kadar bilirubin mencapai suatu nilai yang disebut
hiperbilirubinemia Adapun tanda-tandanya sebagai berikut :
1) Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama.
2) Kadar bilirubin melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan
atau melebihi 12,5% pada neonatus kurang bulan.
3) Peningkatan bilirubin lebih dari 5 mg% per hari.
4) Ikterus menetap sesudah 2 minggu pertama.
5) Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg%.
6) Mempunyai hubungan dengan proses hemolitik.

Menurut Ermalinda (2016) ikterus neonaturum dibedakan menjadi


lima derajat, yaitu sebagai berikut:
1) Derajat 1 : kuning daerah kepala, leher perkiraan bilirubin 0,5 mg %
2) Derajat 2 : kuning sampai badan atas, perkiraan bilirubin 9,0 mg%
3) Derajat 3 : kuning sampai badan bagian bawah hingga tungkai,
perkiraan kadar bilirubin 10,4 mg%
4) Derajat 4 : kuning hingga meliputi tangan dan tugkai, perkiraan
bilirubin dalam darah 12,4 mg%
5) Derajat 5 : kuning meliputi telapak tangan dan kaki, perkiraan kadar
bilirubin 16,0 mg%.

3. Penyebab hiperbilirubin Neonatus


Menurut Karlina (2016) Ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri
sendiri ataupun dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Secara garis besar
penyebab ikterus neonatarum adalah sebagai berikut:
a. Produksi yang berlebihan hal ini melebihi kemampuan bayi untuk
mengeluarkannya, misalnya pada hemolisis yang meningkat pada
inkompatibilitas Rh, ABO, golongan darah lain, defisiensi G6PD,
piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
b. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar
Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya
substram untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat
asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukorinil
transferase (Sindrom Criggler-Najjar). Penyebab lain adalah
defisiensi protein Y dalam hepar yang berperan penting dalam
uptake bilirubin ke sel hepar.
c. Gangguan transport
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkut ke
hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh
obat misalnya salisilat, sulfarazole. Defisiensi albumin menyebabkan
lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah
yang mudah melekat ke sel otak.
d. Gangguan dalam eksresi
Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar
hepar. Kelainan di luar hepar biasanya diakibatkan oleh kelainan
bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau
kerusakan hepar oleh penyebab lain.
e. Ikterus fisiologis
Sulitnya pengeluaran bilirubin tak terkonjugasi dalam saluran
pencernaan pada neonatus, karena belum maturnya sistem
pencernaan pada bayi
f. Brestfeeding jaundice
Kurangnya asupan ASI pada neonatus dan biasanya terjadi pada hari
ke dua dan ketiga pasca lahir.
g. Breastmilk jaundice
Terjadi ikterus akibat ASI ibu yang tidak cocok sehingga terjadi
penumpukan bilirubin indirek, selain itu terjadi pemanjangan fase
ikterik fisiologis yang mencapai 4-7 hari
h. Ketidakcocokan golongan darah atau ABO inkompatibilitas
Terjadinya kasus autoimun dimana anti bodi ibu akan memangsa sel
darah merah janin sehingga menyebabkan pecahnya sel darah merah
sehingga akan menyebabkan pelepasan bilirubin berlebihan.

4. Manifestasi Klinis
suatu tanda klinis yang dapat terlihat pada kulit, mukosa, sklera
yang disebabkan terjadinya penumpukan kadar bilirubin didalam darah
atau bilirubin tak terkonjugasi, terjadinya akumulasi bilirubin dalam
darah akan menimbulkan pigmentasi bilirubin yang berwarna kuning.
Jaundice adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan
mukosa karena adanya deposisi produk akhir katabolisme hem yaitu
bilirubin. Secara klinis, ikterus pada neonatus akan tampak bila
konsentrasi bilirubin serum lebih 5 mg/dL (Karlina, 2010).

5. Patofisiologi Metabolisme bilirubin


Pemecahan hemoglobin menjadi heme dan globin, heme akan di
oksidasikan oleh enzime heme oksigenase menjadi bentuk biliverdin
(pigmen hijau) kemudian selanjutnya biliverdin yang larut dalam air
mengalami proses degradasi menjadi bentuk bilirubin indirek, yaitu
bilirubin yang tidak larut dalam air dan akan diikat oleh albunmin untuk
dibawa kedalam hati untuk dimetabolisme menjadi bilirubin direk.
Kemudian selanjutnya bilirubin direk akan ditransfer kedalam bilier oleh
transpoter spesifik, setelah dieksresi kedalam hati bilirubin akan
disimpan dalam kantong empedu, proses minum akan memicu
pengeluaran empedu kedalam duodenum.
Bilirubin direk tidak akan diserap oleh epitel usus melainkan dipecah
menjadi sterkobilin dan urobilinogen yang akan dieksresikan melalui
feses dan urine, bilirubin direk sebagian kecil akan didekonjugasi oleh
beta-glukoronidase yang ada pada epitel usus menjadi bilirubin indirek
dan akan diangkut kembali kedalam hati yang disebut proses
enterohepatik (Rulina, 2010). Proses metabolisme bilirubin tersebut
dipengaruhi beberapa factor meliputi yang dapat menimbulkan masalah
metabolisme bilirubin dan gangguan kesehatan hingga menimbulkan
gejala meningkatnya kadar bilirubin, ikterus, malaise, dehidrasi, letargi.
Hal ini disebabkan beberapa factor penyebab yaitu, Peningkatan bilirubin,
Gangguan fungsi hati, Gangguan transport, Gangguan eksresi,
Peningkatan sirkulasi entrohepatik (Karlina 2016).
6. Phatway Hiperbilirubin

Hemoglobin

Heme Globin

Etiologi: Biliverdin
1. Peningkatan bilirubin
2. Gangguan fungsi hati Bilirubin
3. Gangguan transport
4. Gangguan eksresi
5. Peningkatan sirkulasi
entrohepatik

Enzyme glukoronil
transferase
Bilirubin Bilirubin Direk
indirek Phototherapy
Toksik bagi jaringan MK: Diare MK:Devisit volume
Urobilinogen Sterkobilin
(Ikterik, Malaise, Hipertermi
MK: Hiperbilirubinemia Ceiran
Lethargi).
Eksresi tinja
dan urine
MK: Risk Radiasi Metabolisme
Kerusakan
integritas
Peristaltic usus
jaringan Suhu ruang dan Frekuensi menyusu
meningkat
tubuh menurun

Gambar. 2.1

7. Metabolisme Hiperbilirubin yang berhubungan dengan ASI


Menurut Rulina (2010) mekanisme terjadinya hiperbilirubin
yang berhubungan dengan ASI pada neonatus dapat terjadi
Breastfeeding jaundice , yaitu sebagai berikut:
Proses metabolisme biliribin dimulai dari pemecahan hemoglobin
menjadi heme dan globin yang begitu singkat yaitu sekitar 70-90 hari
sehingga mengakibatkan peningkatan biliverdin sebagai hasil dari
proses enzim heme oksigenasi yang akan mengalami proses degradasi
menjadi bilirubin indirek yang akan diubah menjadi bilirubin direk
melalui proses pengikatan oleh albumin untuk di transfer kedalam hati
dan dimetabolisme sehingga menghasilkan bilirubik direk yang cukup
banyak karena pemecahan hemoglobin yang cepat. Bilirubin direk
kemudian disimpan didalam empedu kemudian akan dikeluarkan
dengan dirangsang oleh asupan cairan ASI, empedu (bilirubin direk)
keluar dan masuk kedalam duodenum untuk di pecah menjadi
sterkobilin dan urobilinogen untuk dieksresi melalui tinja dan urine
sedangkan bilirubin direk akan direabsorsi kedalam darah dan diikat
kembali oleh albumin untuk ditrasfer kedalam hati yang disebut proses
enterohepatik, proses ini bila terjadi terus menerus akan menyebabkan
penumpukan bilirubin sehingga menyebabkan ikterik atau jaundice
yang dapat disebabkan oleh kurangnya asupan ASI yang merangsang
pengeluaran bilirubin dalam bentuk sterkobilin dan urobilinogen
(Rulina, 2010).

8. Tatalaksanaan Neonatus Hiperbilirubin


Menurut Karlina (2016) ada beberapa hal yang harus diperhatikan
dalam menangani neonatus ikterus , diantaranya ialah:
1) Segera hubungi pelayanan kesehatan dan bawa segera ke pelayanan
kesehatan bila bayi tampak kuning:
a) Timbul kuning dalam 24 jam pertama kelahiran
b) Kuning menetap lebih dari 8 hari pada bayi aterm dan lebih dari
14 hari pada bayi prematur
c) Tinja berwarna pucat
d) Pada bayi dengan tanda warna kuning pada kulit mencapai lutut
e) Bayi menolak minum/ menyusu, kaki dan tangan lemas dan suhu
> 37,5
2) Pemeriksaa laboratorium diperlukan untuk menunjang diagnosa
3) Berikan ASI cukup dengan frekuensi pemberian 8 samapai 12 kali
dalam 24 jam
4) Lakukan penyinaran oleh matahari untuk membantu memecahkan
bilirubin dengan cara menempatkan bayi ruang yang terpapar sinar
matahari pagi antara jam 7 hingga jam 8 pagi dan hindari sinar
matahari berpaparan langsung dengan mata bayi, lakukan selama 30
menit. 15 menit dengan posisi terlentang dan 15 menit dengan posisi
telungkup dengan kondisi bayi tidak menggunakan pakaian.
5) Berikan terapi medis phototherapy dan bila diperlukan tranfusi tukar.
Menurut panduan AAP dalam Rulina (2010) Penatalaksanaa
hiperbilirubin berdasarkan parameter yang dibuat The America
Academy Of Pediatrics (AAP) menyatakan terapi hiperbillirin selain
dilakukan penyinaran AAP memberikan suport diberikannya ASI
dengan frekuensi 8-10 kali dalam 24 jam, selanjutnya dilakukan
pemantauan jumlah asi yang diberikan cukup atau tidak, pemberian
asi sejak lahir minimal 8 kali dalam 24 jam, tidak memberikan cairan
per oral selain ASI, memantau kenaikan berat badan serta frekuensi
BAB dan BAK dan jika kadar bilirubin mencapai 15 mg/dl perlu
diberikan cairan ASI ektra, jika kadar bilirubin 20 mg/dl dilakukan
penyinaran phototherapy.
Wong, (2009) mengungkapkan tatalaksana phototerapi pada neonatus
ikterus mempunyai resiko yang perlu diwaspadai diataranya dapat
menimbulkan dehidrasi, gangguan thermoregulasi, eritema pada
permukaan tubuh terutama kulit kulit, peningkatan metabolism
(diare). Hal ini sejalan dengan ungkapan Sastromoro (2004) yang
mengungkapkan efek dari terapi radiasi yaitu terjadi dehidrasi atau
terjadi peningkatan IWL, bronze baby syndrome, diare, dan terjadi
eritema.

Berikut ini adalah tabel panduan penatalaksanaan hiperbilirubin menurut


AAP pada bayi cukup bulan sehat, adalah sebagai berikut:
Tabel 2.1 Tatalaksana hiperbilirubin pada bayi cukup bulan sehat
Kadar Bilirubin Serum Total (BST) (mg/dl atau µmol/L)
Usia Pertimbangkan terapi Terapi sinar Tranfusi tukar Tranfusi tukar da
(jam) sinar jika terapi sinar terapi sinar
gagal instensif
≤ 24 - - - -
25-48 ≥12 (170) ≥15 (260) ≥20 (340) ≥25 (430)
49-72 ≥15(260) ≥18 (310) ≥25 (430) ≥30 (510)
>72 ≥17(290) ≥20 (340) ≥25 (430) ≥30 (510)
Subcommitte on hyperbilirubinnemia AAP Pediatrik 1994 dalam Rulina
(2010)
Keterangan:
1. Terapi sinar yang dilakukan merupakan pilihan yang disesuaikan dengan
penilaian klinis
2. Terapi sinar intensif menurunkan BST sebesar 1-2 mg/dl. Kadar BST
dapat turun lagi dan menetap dibawah ambang batas untuk terapi
tranfusi tukar, jika hal ini tidak terpenuhi maka terapi sinar di anggap
gagal
3. Bayi cukup bulan yang tampak kuning pada usia ≥ 24 jam dianggap tidak
sehat dan memerlukan evaluasi

Gambar. 2.2 pedoman terapi sinar pada bayi usia gestasi ≥ 35 minggu

Keterangan:
1. Gunakan penilaian pada acuan nilai bilirubin serum total tanpa
dikurangi bilirubin direk atau indirek
2. Faktor resiko: penyakit isoimun, defisiesi G6PD, asfiksia, letargi
signifikan, instabilitas suhu, sepsis, asidosis, albumin < 3.0 gr/dl
3. Untuk neonatus usia 35-37 minggu dengan kondisi sehat: intervesi
dapat mengacu pada resiko sedang

9. Komplikasi Hiperbilirubin
1) Bilirubin enchepalopathy (komplikasi serius)
2) Kernikterus; kerusakan neurologis, cerebral palsy, retardasi mental,
hiperaktif, bicara lambat, tidak ada koordinasi otot dan tangisan yang
melengkin
BAB III
TINJAUAN KASUS

Pada bab ini peulis akan melakukan analisa tentang studikasus yang dilakukan pada 2
responden yaitu pasien dengan gangguan sistem Metabolisme bilirubin. Hasil analisa akan
penulis uraikan dan tuangkan dalam bentuk distribusi data responden berdasarkan
karakteristik data demografi meliputi usia, jenis kelamin, selain itu penulis akan
mencantumkan data lain melitputi hasil pengkajian fisik head to toe, hasil analisa penunjang,
diagnosa keperawatan, rencana intervensi, implementasi dan evaluasi hasil intervensi
keperawatan.

A. Gambaran umum lokasi studi kasus


Ruang Perina 2A RS Mulya Kabupaten Tangerang merupakan salah satu bentuk
pelayanan yang disediakan kepada masyarakat dalam upaya pemenuhan pelayanan
kesehatan dalam bentuk pelayanan untuk kasus hiperbilirubin pada neonatus.

B. Resume
By. Ny. S berjenis kelamin laki – laki usia 6 hari 0 bulan 0 tahun, lahir dengan jalan lahir
Caesar atas indikasi CPD pada tanggal 20 Mei 2018, usia kehamilan 38 minggu, G 1 P1A0
Berat badan lahir 2850 Gram, panjang badan 48, golongan darah O positif, ASI ekslusif,
dengan diagnose medis Hyperbilirubin.
C. Pengkajian
Kasus: 1
 Identitas
Nama : By. Ny S
Tanggal Lahir : 20 Mei 2018
Tanggal rawat : 26 Mei 2018
Jenis kelamin : Laki - Laki
Tanggal/ usia lahir : 6 Hari 0 Bulan 0 Tahun

Nama orangtua : Tn.K dan Ny. S


Pekerjaan Orangtua : Karyawan swasta/Ibu rumahtangga
Usia Orangtua : 32 Thn/ 30 Thn

 Riwayat bayi lahir


Apgar score : 1 menit 8
5 menit 9
Usia Gestasi : 38 Minggu
Berat badan : 2850 Gram
Panjang badan : 48cm
Jenis persalinan : Caesar atas indikasi CPD
Komplikasi persalinan : Tidak ada
Lama hari rawat pasca lahir 3 hari dalam kondisi sehat, kesadaran komposmentis,
pergerakan bayi aktif, diberikan ASI ekslusif dengan frekuensi 6x, reflek menghisap
baik, observasi TTV didapatkan denyut jantung 141x/menit, suhu 36,7 0C, respiratori
rate 42x/menit, buang air besar 14 jam pasca kelahiran, BAK normal
 Riwayat bayi saat ini
Bayi Ny.S control pada 26 Mei 2018, dengan hasil pemeriksaan penunjang kadar total
bilirubin 20,70 mg/dl, tampak ikterik pada wajah, badan hingga tungkai, Ny. S
mengatakan bayinya kuat menyusu namun produksi ASI masih sedikit, tidak Buang
air besar sudah 3 hari, BAK lebih dari 6 dalam sehari dan sedikit
 Riwayat kehamilan
G1 P1 A0 dengan usia kehamilan 38 minggu, tidak terdapat masalah saat masa
kehamilan, namun di prediksi panggul dan kepala bayi tidak sesuai
 Riwayat pesalinan
Usia kehamilan 38 minggu, persalinan dengan cara sectio caesarea atas indikasi CPD,
bayi tidak aspirasi meconium, TTV dalam rentang normal.
 Pemeriksaan fisik
Bayi cenderung rewel, kekuningan pada area wajah, badan, hingga tungkai, motorik
aktif, TTV denyut jantung 132x/menit, Suhu 37 0C dan respirasi rate 36x/menit, turgor
kulit elastis, fontanel anterior tidak cembung atau cekung, konjungtiva tidak anemis,
seklera ikterik, reflex moro, menghisap, menggenggam baik, tonus otot baik dan
menangis kuat, abdomen tidak kembung, ekspasi dada simetris saat eksipirasi dan
inspirasi, suara nafas vesikuler dengan pernafasan spontan, abdomen tidak distensi,
peristaltic usus tidak hiper aktif, umbilical kering, genital baik, gerak ekstermitas kaki
aktif. BB: 2700 Gram.

D. Analisa data
Nama : By. Ny. S Ruang : Perina 2A
Umur : 6 Hari 0 Bulan 0 tahun RM : 15-61-66
No Analisa Data Diagnosa Etiologi
1 Ds: Ikterik neonatorum Usia bayi ≤ 7 hari,
 Ny.S mengatakan Terhambat pengeluaran
produksi ASI sedikit feses
 Bayi rewel
 Bayi tampak kuning
setelah 2 hari pulang dari
RS
 Tidak BAB >3hari
 BAK 6x sehari
Do:
 Tampak kuning area
badan hingga tungkai kaki
 Bilirubin total 20,70 mg/dl
 Tampak malaise dan bayi
rewel
 Warna urine Jernih,
volume sedikit
 Abdomen supel tidak
kembung
2 Ds: Kekurang volume cairan Penurunan pengeluaran
 Ny. S mengatakan volume urine
produksi ASI sedikit
 Bayi rewel,
 Frekuensi BAK jarang dan
sedikit
Do:
 By. Ny. S kulit elastic,
tidak kering
 Warna kulit
kekuningan
 Reflek bayi seperti
kehausan
 BB: 2700 Gram
 UUB Datar
 Mukosa bibir kering
3 Ds: - Gangguan integritaas Efeksamping terapi
Do: jaringan/ kulit sinar/ radiasi,
 Intruksi terapi fototerapy perubahan pigmentasi
double
 Terapi double siklus
pertama penyinaran 1 x 24
jam
 Perubahan warna
pigmentasi kuning pada
badan bayi meliputii area
dada hingga tungkai
 Usia bayi < 7 hari
E. Prioritas diagnosa
1. Ikterus neonatorum berhubungan dengan usia bayi ≤ 7 hari, perlamabatan pengeluaran
feses
2. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan penurunan volume urine
3. Gangguan integritas kulit/ Jaringan berhubungan dengan efek terapi sinar/ radiasi,
perubahan pigmentasin kulit.
F. Rencana intervensi
keperawatan
No Diagnose SIKI SLKI Rasional
1 Ikterus neonatorum
Setelah dilakukan intervensi Intervensi keperawatan mandiri:
berhubungan dengan usia
keperawatan selama 3 x 24 jam 1. Evaluasi dini terhadap
bayi 1. Lakukan pemeriksaan tanda -
diharapkan dapat teratasi; perubahan TTV pada bayi
≤ 7 hari, perlamabatan tanda vital meliputi Nadi,
Kriteria hasil: ikterik
pengeluaran feses Respirasi, suhu
1. Asupan ASI yang adekuat 2. Evaluasi tanda dan gejala
2. Observasi perubahan warna
2. Frekuensi menyusu cukup 8 – hiperbilirubin
kulit, sclera
10 kali per 24 jam 3. Mencegah terjadinya
3. Laporkan nilai penunjang jika
3. Kadar gula dalam rentang dehidrasi dan mempercepat
terdapat hasil terbaru
normal (90 – 120 mg/dl) pengeluaran feses dan urine
4. Pigmentasi kulit tidak tampak 4. Mempercepat pemecahan
4. Observasi tanda dan gejala
ikterik bilirubin indirek agar dapat
dehidrasi meliuti (depresi
5. BAB minimal 3x/ hari dikonjugasi
fontanel, turgor, kehilangan
6. Kadar bilirubin dalam darah
BB)
5. Memperlambat penyerapan
5. Monitor BAB, warna,
bilirubin dalam usus
konsistensi, volume
dalam batas normal (≤ 5 mg/dl)
7. Ventilasi adekuat
Kolaborasi:

1. Lakukan analisa factor resiko,


Rh, ABO, Polisitemia,
2. Kolaborasi dengan dokter
memberikan terapi phototerapi
3. Kolaborasi mempertimbangkan
keperluan tranfusi tukar

Penkes:

1. Anjurkan orang tua bayi agar


sesering mungkin menyusui (8
– 10 kali/ 24 jam)
2. Edukasi keluarga melakukan
tatalaksana ikterik saat dirumah
2 Kekurangan volume cairan Intervensi keperawatan mandiri:
berhubungan dengan 1. Hitung intake dan ouput
penurunan volume urine
1. Menghitung intake dan
Kriteria Hasil : ouput secara tepat
1. Mempertahankan urine 2. Catatan intake dan output yang 2. Mengenali tanda gejala
output sesuai dengan usia akurat dehidrasi secara dini
dan BB, BJ urine normal, 3. Monitor status hidrasi 3. Evaluasi adanya perubahan
HT normal. (kelembaban membran mukosa, TTV
2. Tekanan darah, nadi, suhu nadi adekuat, tekanan darah
tubuh dalam batas normal ortostatik ), jika diperlukan
3. Tidak ada tanda tanda 4. Monitor vital sign meliputi 4. Mempertahankan intake
dehidrasi, Elastisitas turgor Nadi, respirasi, suhu dan secara adekuat
kulit baik, membran mukosa hemodinamik
lembab, tidak ada rasa haus
yang berlebihan Kolaborasi:
1. Monitor nilai/ tingkat Hb dan 1. Menghitung jenis
hematokrit satuan darah yang
2. Pemberian cairan intravena line menandakan adanya
dehidrasi
Penkes:
1. Anjurkan orangtua pasien untuk
menambah intake oral ASI
dengan frekuensi menyusui 8 -
10 kali dalam 24 jam
2. Edukasi orangtua klien
mengenali tanda dan gejalan
dehidrasi

3 Gangguan integritas kulit Kriteria Hasil :


Intervensi keperawatan mandiri:
berhubungan dengan efek 1. Integritas kulit yang baik bisa
1. Jaga kebersihan kulit agar tetap
terapi sinar/ radiasi dipertahankan (sensasi,
bersih dan kering
elastisitas, temperatur, hidrasi, 1. Mempertahankan
2. Mobilisasi pasien (ubah posisi
pigmentasi) kelembaban kulit
pasien) setiap 30 menit sekali
2. Tidak ada luka/lesi pada kulit 2. Meminimalkan area
3. Perfusi jaringan baik tertekan dan mencegah
3. Observasi berkala tanda iritasi
4. Menunjukkan pemahaman injury
kulit/ jaringan akan adanya
dalam proses perbaikan kulit 3. Evaluasi sedini mungkin
kemerahan
dan mencegah terjadinya sedera terhadap perubahan warna
4. Observasitanda kemerahan,
berulang kulit
cairan, ulcer pada kornea
5. Mampu melindungi kulit dan
5. Gunakan pelindung pada mata
mempertahankan kelembaban
6. Mobilisasi pasien setiap 30
kulit dan perawatan alami menit dengan merubah posisi
7. Memandikan pasien dengan
sabun dan air hangat
Kolaborasi:
1. Berikan obat zalf atau tetes
mata jika diperlukan
Penkes:
1. Edukasi orang tua terkait
adanya resiko kerusaakan pada
mata
G. Implementasi
No.dx Jam/Tgl Implementasi TTD
Hari ke -1
1 26/05/18 1. Melakukan pemeriksaan tanda - tanda vital
14.00 > Nadi: 132x/menit, Respirasi: 28x/ Menit, suhu:
36,60C
2. Melakukan Observasi perubahan warna kulit,
sclera mata, Warna feses, dan Urine.
>Warna kulit: Ikterik pada area badan hingga
tungkai kaki, sclera ikterik, belum BAB
15.00 3. Penkes menganjurkan orang tua bayi agar sesering
Sesni,S.Kep
mungkin menyusui 8 - 10 kali per hari.
> Orangtua mengerti
16.00 4. Berkolaborasi melakukan pemeriksaan golongan
darah dan Rh
-> Glongan darah: O, Rh: Positif
5. Berkolaborasi dengan dokter memberikan terapi
Phototerapy double.
-> Phototerapy : 1 x 24 jam full
2 26/05/18 1. Melakukan pencatatan intake dan output yang
14.00 akurat
> Intake : 180cc/24jam, Output:.140cc/24jam,
IWL: 54cc/KgBB/24jam
Balance: (-) 14cc/KgBB/24jam
2. Melakakan monitor status hidrasi (kelembaban Sesni,S.Kep
membran mukosa, nadi adekuat, tekanan darah
ortostatik)
> Membran mucosa: lembab, Nadi: 132x/menit
15.00 3. Memotivasi keluarga memberikan intake oral ASI
secara adekuat
>Frekuensi pemberian ASI: 8x, Volume ASI: 20cc
4. Memonitor hasil tingkat Hb dan hematokrit
>Hb: 18,2 mg/dl Hematoktrit: 50,3 mg/dl
5. Melakukan pemeriksaan berat badan
>BB: 2700 gram
3 26/05/18 1. Mengobservasi dan melakukan perawatan
14.00 kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering
>kulit bersih, elastis
14.15 2. Memobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap
3jam sekali terhadap paparan sinar posisi: Sesni,S.Kep
Supinasi, posisi: Pronasi.
3. Memakaikan pelindung mata saat terapi
berlangsung
>Pelindung mata terpasang benar
15.45 4. Melakukan Observasi tanda kerusakan kulit,
kornea
>Kulit: Hiperpigmentasi (Ikterik), Kornea: Normal
tidak tampak iritasi atau lesi.
16.00 5. Memandikan pasien dengan sabun dan air hangat
>Kulit bersih
Hari ke -2
1 27/05/18 1. Melakukan pemeriksaan tanda - tanda vital Sesni,S.Kep
14.00 >Nadi: 130x/menit, Respirasi: 42x/ Menit,
suhu: 36,70C
2. Melakukan Observasi perubahan warna kulit,
sclera mata, warna feses, warna urine
>Warna kulit: Ikterik pada area badan, sclera mata
ikterik berkurang, feses hitam kehijauan 1x/24jam,
urine jernih 4x/24jam.
3. Mengevaluasi frekuensi pemberian ASI
>Frekuensi: 6 – 8 x per hari
16.00 4. Berkolaborasi dengan dokter memberikan terapi
Phototerapy double.
>Phototerapy : 1 x 24 jam
5. Berkolaborasi melakukan pemeriksaan bilirubin
>Bilirubin: 14, 62 mg/dl
2 14.00 1. Melakukan pencatatan intake dan output yang Sesni,S.Kep
akurat
>Intake : 200cc/24jam, Output: 160cc/24jam
IWL : 55cc/kgBB/24jam
Balance: (-) 15cc/KgBB24jam
15.00 2. Melakaukan monitor status hidrasi (kelembaban
membran mukosa, nadi adekuat, tekanan darah
ortostatik)
>Membran mucosa: lembab, Nadi: 130x/menit
3. Memotivasi keluarga memberikan intake oral ASI
secara adekuat
>Frekuensi pemberian ASI: 8x, Volume ASI: 30cc
4. Melakukan pemeriksaan berat badan
BB: 2730 gram
3 14.55 1. Mengobservasi dan melakukan perawatan Sesni,S.Kep
kebersihan kulit agar tetap bersih dan lembab
>Kondisi: Kulit bersih, lembab.
15.25 2. Memobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap : 3
Jam sekali terhadap paparan sinar posisi: Supinasi,
posisi: Pronasi.
16.00 3. Memakaikan pelindung mata saat terapi
berlangsung
14.55 >Pelindung mata terpasang benar
4. Melakukan Observasi tanda kerusakan kulit,
kornea
>Kulit: Tampak samar Ikterik pada area badan,
Kornea: Normal tidak tampak iritasi atau lesi.
5. Memandikan pasien dengan sabun dan air hangat
Hari ke -3
1 28/05/18 1. Melakukan pemeriksaan tanda - tanda vital
08.15 >Nadi: 131x/menit, Respirasi:42x/ Menit, suhu:
36,90C
2. Melakukan Observasi perubahan warna kulit,
sclera mata, warna feses, warna urine
>Warna kulit: Normal sesuai, sclera mata putih Sesni,S.Kep
tidak ikterik, feses hitam tidak pekat 3x/24jam,
urine jernih5x/24 jam
11.15 3. Mengevaluasi frekuensi pemberian ASI
>Frekuensi: 6 – 9 x per hari
4. Berkolaborasi dengan dokter memberikan terapi
Phototerapy single
>Phototerapy : 6 jam
10.00 5. Berkolaborasi melakukan evaluasi nilai Bilirubin
Serum Total
BST: 10,92 mg/dl
2 8.15 1. Melakukan pencatatan intake dan output yang
akurat
>Intake : 250cc/24 jam, Output: 190cc/24 jam
IWL : 56cc/KgBB/24jam
Balance: (-) 4cc/KgBB/24jam
2. Melakaukan monitor status hidrasi (kelembaban
membran mukosa, nadi adekuat, tekanan darah
ortostatik)
>Membran mucosa: lembab, Nadi: 130x/menit
3. Memotivasi keluarga memberikan intake oral ASI Sesni,S.Kep
secara adekuat saat dirumah
>Frekuensi pemberian ASI: 8 – 10 x, Volume
ASI: 40cc
4. Melakukan pemeriksaan berat badan
BB: 2800 gram
3 28/5/18 1. Mengobservasi dan melakukan perawatan
08.55 kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering
>Kondisi: Kulit bersih, lembab
2. Memobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap 3
Jam sekali terhadap paparan sinar posisi: Supinasi,
posisi: Pronasi.
3. Memakaikan pelindung mata saat terapi
berlangsung
11.15 >Pelindung mata terpasang benar
4. Melakukan Observasi tanda kerusakan kulit,
kornea
>Kulit: Tidak hiperpigmentasi (tidak ikterik),
Kornea: Normal tidak tampak iritasi atau lesi.

H. Evaluasi

No dx Jam/tgl Evaluasi TTD


Hari Ke – 1
1 S:
 Ny. S mengatakan saat ini pemberian ASI
Sudah maksimal hingga 8 kali pemberian
namun produksi ASI masih sedikit.
O:
 Nadi: 132x/ menit, Suhu: 36,6oC, Respirasi:
28x/menit
Sesni,S.Kep
 Tampak kuning pada area badan hingga
tungkai
 BAB (-), BAK (+) warna kuning jernih
 Golongan darah : O dengan Rh: Positif
A: Intervensi tercapai sebagian
1. Melaksanakan fototerapy selama 1 x 24 jam
full time
2. Tanda – tanda vital dalam rentang normal
Nadi: 132x/menit, RR:28x/menit, Suhu:36,60C
3. Tidak ABO
income P: Lanjutkan
Intervensi
1. Kolaborasi melakukan phototerapy
2. Evaluasi tanda – tanda vital
3. Observasi perubahan warna kulit, feses, urine
4. Evaluasi adanya komplikasi hiperbilirubin dan
efek phototerapi
5. Kolaborasi eveluasi pemeriksaan kadar
bilirubin serum total dalam darah
2 S:
 Ny. S mengatakan jika volume ASI kurang
mengijinkan bayinya diberikankan susu
formula sebagai penyerta ASI.
O:
 BB: 2700 gram
 Hb: 18,2 mg/dl, Hematokrit: 50,2 mg/dL
 Intake : 180cc/24jam, Output:.140cc/24jam,
IWL: 54cc/KgBB/24jam,
Balance: (-) 14cc/KgBB/24jam
 Mukosa bibir lembab, fontanel datar Sesni,S.Kep
 TTV dalam rentang normal Nadi: 132x/menit,
RR:28x/menit, Suhu: 36,60C.
A: Intervensi Tercapai sebagian
1. Tanda – tanda vital dalam rentang normal
Nadi: 132x/menit, RR:28x/menit, Suhu:
36,60C.
2. Volume intake ASI belum mencukupi
Intake : 180cc/24jam, Output:.140cc/24jam,
IWL: 54cc/KgBB/24jam
Balance: (-) 14cc/KgBB24jam
P: Lanjutkan Intervensi
1. Monitoring intake dan output cairan
2. Pastikan asupan ASI adekuat bantu susu
formula bila volume ASI belum maksimal
3. Periksa berat badan secara berkala
4. Observasi tanda dehidrasi turgor kulit, mukosa
dan tanda vital secara berkala.
3 S:-
O:
 Tidak tampak adanya tanda iritasi pada kulit
 Sclera mata tampak kuning.
 Kulit dalam kondisi bersih dan lembab
 Suhu Tubuh : 36,60C
 Hiperpigmentasi ikterik pada area badan
hingga ke tungkai kaki.
A: Intervensi tercapai sebagian
Sesni,S.Kep
1. Tidak didapatkan adanya tanda iritasi pada
kulit, Kornea mata.
2. Permukaan kulit lembab tidak basah dan tidak
kotor
P: Intervensi lanjut
1. Observasi adanya komplikasi yang timbul
akibat efek radiasi/ sinar, adanya tanda ikterik
2. Jaga kebersihan kulit secara continue
3. Pastikan permukaan kulit tidak basah
Hari Ke – 2
1 S: -
O:
 Nadi: 130x/ menit, Suhu: 36,7oC, Respirasi:
Sesni,S.Kep
42x/menit
 Tampak kuning berkurang pada area badan
bayi
 BAB (+) Hitam Kehijauan 1x/24jam,
 BAK (+) warna kuning jernih
 Bilirubin total: 14,62 mg/dl
A: Intervensi tercapai sebagian
1. Melaksanakan fototerapy selama 1 x 24 jam
2. Tanda – tanda vital dalam rentang normal
Nadi: 130x/menit, RR:42x/menit, Suhu:36,70C
3. Bilirubin total: 14,62 mg/dl
4. Area ikterik berkurang, pigmentasi berkurang
P: Lanjutkan Intervensi
1. Kolaborasi melakukan phototerapy single
selama 1x24jam
2. Evaluasi tanda – tanda vital (Nadi, RR, Suhu)
3. Observasi perubahan warna kulit, feses, urine
4. Evaluasi adanya komplikasi hiperbilirubin dan
efek phototerapi
5. Kolaborasi eveluasi pemeriksaan kadar
bilirubin serum total dalam darah
2 S:
 Ny. S mengatakan jika volume ASI kurang
mengijinkan bayinya diberikankan susu
formula sebagai penyerta ASI
O:
 BB: 2730 gram
 Intake : 200cc/24jam, Output: 160cc/24jam,
Sesni,S.Kep
IWL : 55cc/kgBB/24jam
Balance: (-) 15cc/KgBB24jam
 Mukosa bibir lembab, fontanel datar
 TTV dalam rentang normal Nadi: 130x/menit,
RR:42x/menit, Suhu: 36,70C.
A: Intervensi Tercapai sebagian
1. Produksi urin masih ada, Output: 160cc/24jam
Balance(-) 15cc/KgBB24jam
2. Tanda – tanda vital dalam rentang normal
Nadi: 130x/menit, RR:42x/menit, Suhu:
36,70C.
3. Volume intake
tercukupi P: Lanjutkan
Intervensi
1. Monitoring intake dan output cairan
2. Pastikan asupan ASI adekuat bantu susu
formula bila volume ASI belum maksimal
3. Periksa berat badan secara berkala
4. Observasi tanda dehidrasi turgor kulit, mukosa
dan tanda vital secara berkala.
3 S:-
O:
 Tidak tampak adanya tanda iritasi pada kulit
 Sclera mata tampak kuning berkurang,
 Kulit dalam kondisi bersih dan lembab
 Suhu Tubuh : 36,40C
 Hiperpigmentasi ikterik pada area badan bayi.
 Pigmentasi ikterik berkurang
A: Intervensi tercapai sebagian
1. Tidak didapatkan adanya tanda iritasi pada
Sesni,S.Kep
kulit, Kornea mata.
2. Permukaan kulit lembab tidak basah dan tidak
kotor
P: Intervensi lanjut
1. Observasi adanya komplikasi yang timbul
akibat efek radiasi/ sinar, adanya tanda ikterik
2. Jaga kebersihan kulit secara continue
3. Pastikan permukaan kulit tidak basah
Hari Ke – 3
1 S: -
O:
 Nadi: 131x/ menit, Suhu: 36,9oC,
Respirasi: 42x/menit
 Warna kulit sesuai warna dasar
 BAB (+) warna hitam kehijauan 3x/24jam,
BAK (+) warna jernih kekuningan 5x/24jam
 Nilai Bilirubin total: 10,92 mg/dl
A: Intervensi tercapai
1. Tanda – tanda vital dalam rentang normal Sesni,S.Kep
Nadi: 131x/menit, RR:42x/menit, Suhu:36,90C
2. Warna kulit tak tampak hiperpigmentasi
3. BST: 10,92 mg/dl
P: Lanjutkan Intervensi
1. Pertahankan kondisi kesehatan pasien
2. Edukasi Orangtua perubahan warna kulit, fese,
urine.
3. Edukasi tatalaksana hiperbilirubin pasca
fototherapy
2 S: -
O:
 BB: 2800 gram
 Intake : 250cc/24 jam, Output: 190cc/24 jam
IWL : 56cc/KgBB/24jam
Balance: (-) 4cc/KgBB/24jam
Sesni,S.Kep
 Mukosa bibir lembab, fontanel datar
 TTV dalam rentang normal Nadi: 131x/menit,
RR:42x/menit, Suhu: 36,90C.
A: Intervensi Tercapai
1. Produksi urin masih ada Output: 190cc/24 jam
Balance Balance: (-) 4cc/KgBB/24jam
2. Tanda – tanda vital dalam rentang normal
Nadi: 131x/menit, RR: 42x/menit, Suhu:
36,90C.
3. Volume intake ASI mencukupi dibantu susu
formula
P: Lanjutkan Intervensi
1. Edukasi orangtua untuk memantau intake dan
output cairan
2. Periksa berat badan secara berkala
3. Kontrol sesuai jadwal.
3 S:-
O:
 Tidak tampak adanya tanda iritasi pada kulit
 Sclera mata ikterik berkurang,
 Kulit dalam kondisi bersih dan lembab
 Suhu Tubuh : 36,90C
 Tak tampak ikterik pada hasil pengkajian fisik
A: Intervensi tercapai
1. Tidak didapatkan adanya tanda iritasi pada
kulit, Kornea mata.
2. Permukaan kulit lembab tidak basah dan tidak
kotor
P: Intervensi lanjut
1. Edukasi Orangtua terkait kebersihan kulit
secara continue
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil studi kasus komprehensif “ Asuhan keperawatan pada neonatus
hiperbilirubin di Rumah Sakit Mulya Tangerang” dapat disimpulkan sebagai
berikut ini:
1. Pengkajian klien dapat menggambarkan kondisi klien yang sebenarnya pasien
neonatus hiperbilirubin seperti didapatkan tanda dan gejala ikterus,
perlambatan BAB, menurunnya volume urine, rewel, produksi ASI terbatas,
kadar bilirubin >10 mg/dl hal ini memenuhi syarat dilakukan asuhan
keperawatan di Rumah Sakit Mulya Tangerang
2. Diagnosa keperawatan 75% diagnosa keperawatan dapat di implementasikan
kepada klien RS, diantaranya adalah: (a) Ikterus Neonatus berhubungan
dengan, tertahannya feses atau usia bayi kurang dati 7 hari, (b) deficit volume
cairan berhubungan dengan kurangnya asupan cairan, dan (c) kerusakan
integritas jaringan atau kulit berhubungan dengan pigmentasi kulit atau efek
sinar terapi
3. Intervensi keperawatan dapat dilakukan berdasarkan aktualnya masalah
keperawatan yaitu hiperbilirubin, Ikterus Neonatus berhubungan dengan,
tertahannya feses atau usia bayi kurang dati 7 hari, deficit volume cairan
berhubungan dengan kurangnya asupan cairan, dan kerusakan integritas
jaringan atau kulit berhubungan dengan pigmentasi kulit atau efek sinar terapi
hal ini dapat dilakukan secara kontinue selama pasien dalam masa perawatan.
4. Implementasi keperawatan dalam hal ini implementasi yang direncana pada
renpra dapat dilakukan dengan baik dan dilakukan secara berkesinambungan
baik tindakan mandiri keperawatan maupun tindakan kolaborasi, tindakan
keperawatan dilaksankan setiap jam shift oleh penulis dan dilanjutkan oleh
shift selanjutnya.
5. Evaluasi yang dapat disimpulkan dari asuhan keperawatan yang telah
dilaksankan kepada By. Ny. S dan Bayi Ny. A dapat terlaksana dan
nmengatasi masalah yang timbul, evaluasi dilakukan secara
berkesinambungan sehingga penulis dapat memastikan perubahan yang terjadi
B. Saran
1. Bagi institusi pendidikan
Bagi institusi pendidikan agar dapat megembangkan lagi studi kasus yang
telah dilakukan agar medapatkan data yang lebih spesifik, akurat dan dapat di
implementasikan oleh instansi – instansi pendidikan maupun pelayanan
kesehatan lainnya
2. Bagi pelayanan kesehatan
Agar dapat melakukan intervesi keperawatan secara komprehensif
berdasarkan aktualisasi masalah keperawatan yang di dapatkan saat
pengkajian keperawatan dilakukan, dan memprioritaskan aktual masalah
keperawatan
3. Bagi penulis selanjutnya
Dapat menjadi gambaran untuk melakukan inovasi dalam perkembangan ilmu
keperawatan selanjutnya, dan tatalaksana pasien dengan rencana perawatan
dirumah pasca rawat inap bayi < 7 hari.
Daftar Pustaka

Depkes RI. (2006). Profil kesehatan indonesia 2005.


http://www.depkes.co.id/profil_kesehatan_indoesia. _2006.pdf.

Depkes RI. (2011). Profil kesehatan indonesia 2011.


http://www.depkes.co.id/profil_kesehatan_indoesia. _2011.pdf.

Depkes RI. (2006). Profil kesehatan indonesia


2010.
http://www.depkes.go.id/profil_kesehatan_indonesia_2010.pdf

Johnson. (2004). Nursing Outcomes Classification (NOC). USA: Mosby.

Ida, Nursanti. (2011). Pengaruh pemberia asi on demand terhadap


ikterus pada bayi baru lahir di RSUD Wates: Jurnal: Akses April
2017.

Novi, Karlina. (2016). Asuhan kebidanan kegawat daruratan: Maternal


dan Neonatal. Bogor: IN Media

NANDA International. 2012. Nursing Diagnosis: definition and classification.


Jakarta: EGC.

Novi, Karlina. (2016). Asuhan kebidanan kegawat daruratan: Maternal


dan Neonatal. Bogor: IN Media

Sukadi. (2008). Hiperbilirubin fisiologis pada neonatorum. Yogyakarta: Meco


medika.

Rulina, Suradi. dkk. (2010) Indonesia Menyusui asi ekslusif. Jakarta : IDAI.

Purwadianto, Agus. (2013) Kedaruratan Medik :Pedoman Tatalaksana Praktis.


Tangerang Selatan. Bina Rupa Aksara.

Anda mungkin juga menyukai