Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH

SISTEM INFORMASI KESEHATAN


Dosen Pengampuh :

Drg. Hermiyanti,. M.Kes

Disusun Oleh :

ANASTASYA FATARI

P101 21 080

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS TADULAKO

2022
Materi 1 : Indikator kesehatan

Indikator utama derajat kesehatan masyarakat adalah angka kematian bayi (AKB)
atau Infant Mortality Rate (IMR). Dari hasil penelitian yang ada, angka kematian bayi
ini tidak berdiri sendiri, melainkan terkait dengan faktor-faktor lain, terutama gizi.
Bayi atau anak balita yang kekurangan gizi sangat rentan terhadap penyakit-penyakit
infeksi, termasuk diare dan infeksi saluran akut, utamanya pneumonia (Notoatmodjo,
2007). Gizi untuk bayi yang paling sempurna dan paling murah adalah Air Susu Ibu
(ASI). Manfaat ASI saat ini sudah tidak dapat diragukan lagi dan pemerintah juga
telah menggalakkan pemberian ASI secara eksklusif. Namun, setelah
sekurangkurangnya bayi berumur diatas 4 bulan, untuk memenuhi kebutuhan akan zat
gizi, bayi biasanya diberikan susu formula atau makanan tambahan lainnya
(Notoadmodjo, 2007).

Seperti halnya nutrisi pada umumnya, ASI mengandung komponen makro dan mikro
nutrien. Yang termasuk makronutrien adalah karbohidrat, protein, dan lemak,
sedangkan mikronutrien adalah vitamin dan mineral. ASI hampir 90%nya terdiri dari
air. Volume dan komposisi nutrien ASI berbeda untuk setiap ibu tergantung dari
kebutuhan bayi (Hendarto dan Pringgadini, 2008). Menurut WHO menyusui
mempunyai keuntungan bagi ibu dan anaknya untuk jangka waktu pendek ataupun
jangka waktu panjang, termasuk salah satunya adalah membantu melindungi anak
melawan berbagai macam penyakit akut dan kronis. Hasil tinjauan ulang dari suatu
studi di beberapa negara berkembang menunjukkan bahwa balita yang tidak disusui 6
sampai 20 kali banyak yang meninggal di bulan pertama kehidupannya dibandingkan
dengan balita yang disusui. Beberapa studi juga menyimpulkan bahwa obesitas pada
masa kanak-kanak dan remaja jarang terjadi di antara anak-anak yang mendapat ASI
(WHO, 2009).

Untuk mendukung hal tersebut, telah dikeluarkan berbagai pengakuan atau


kesepakatan baik yang bersifat global maupun nasional yang bertujuan melindungi,
mempromosi, dan mendukung pemberian ASI. Dengan demikian, diharapkan setiap
ibu di seluruh dunia dapat melaksanakan pemberian ASI dan setiap bayi diseluruh
dunia memperoleh haknya mendapat ASI (Besar dan Eveline, 2008). Pada World
Health Assembly ke 54, 18 Mei 2001, WHO menekankan ASI eksklusif selama enam
bulan untuk rekomendasi kesehatan masyarakat dunia dengan mempertimbangkan
penemuan dari ahli WHO tentang jangka waktu optimal ASI dan ketetapan keamanan
dan kecukupan makanan pelengkap dengan melanjutkan ASI sampai usia dua tahun
atau lebih (Agostini et al, 2009). SK Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
273/MenKes/SK/IV/1997 telah mengatur tentang Pemasaran PASI (Pengganti ASI),
yaitu bahwa pemberian air susu ibu secara eksklusif bagi bayi sampai dengan
berumur empat bulan yang diteruskan hingga umur dua tahun dengan pemberian
makanan pendamping air susu ibu harus dilakukan dengan baik dan benar dalam
upaya peningkatan kualitas manusia Indonesia (Notoadmodjo, 2007). Dalam Global
Strategy for Infant and Young Child Feeding, WHO/UNICEF merekomendasikan
empat hal penting yang harus diperhatikan, yaitu: pertama, memberikan ASI segera
kepada bayi dalam waktu 30 menit setelah bayi lahir; kedua, memberikan ASI saja
atau ASI eksklusif sejak lahir sampai bayi berusia 6 bulan; ketiga, memberikan
makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI) sejak bayi berusia 6-24 bulan; keempat,
meneruskan pemberian ASI sampai anak berusia 24 bulan atau lebih (Depkes dalam
Asdan Padang, 2007)

Makanan tambahan pertama diberikan adalah terutama untuk memberikan tambahan


energi serta untuk memulai proses pendidikan atau akulturasi. Kemudian akan
terdapat kebutuhan makanan tambahan yang meningkatkan agar campuran ASI dan
makanan tersebut dapat memberikan energi dan protein yang diperlukan anak. Pada
suatu saat makanan tambahan secara keseluruhan menggantikan peran ASI, dalam hal
ini berarti si bayi disapih atau tidak menyusui lagi pada ibunya sebaiknya hal ini
dilakukan bila bayi telah berumur dua tahun (Padang, 2008).
Pemberian makanan padat atau tambahan yang terlalu dini dapat mengganggu
pemberian ASI eksklusif serta meningkatkan angka kesakitan pada bayi. Selain itu,
tidak ditemukan bukti yang menyokong bahwa pemberian makanan padat atau
tambahan pada usia empat atau lima bulan lebih menguntungkan. Bahkan sebaliknya,
hal ini akan mempunyai dampak yang negatif terhadap kesehatan bayi dan tidak ada
dampak positif untuk perkembangan pertumbuhannya (Roesli, 2009). Meskipun data
penyebab kematian bayi dan anak jarang menyebutkan secara eksplisit peranan ragam
gizi pada bayi, tetapi banyak para ahli gizi masyarakat menekankan pentingnya gizi
sebagai salah satu upaya untuk menurunkan AKB dan anak serta meningkatkan mutu
hidup. Dengan kata lain, dalam kebijaksanaan pembangunan kesehatan, ragam gizi
diakui sebagai salah satu penyebab penting tingginya mobilitas dan mortalitas bayi di
Indonesia khususnya, dan di negaranegara berkembang pada umumnya
(Notoadmodjo, 2007).

Derajat kesehatan masyarakat adalah rangkuman angka yang dirancang untuk


menggambarkan aspek-aspek tertentu dari kinerja kesehatan atau derajat kesehatan.
Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) tahun 2010,
indikator kesehatan yang dinilai paling peka dan telah disepakati secara nasional
sebagai ukuran derajat kesehatan suatu wilayah meliputi: (1) Umur Harapan Hidup
(UHH), (2) Angka Kematian Ibu (AKI), (3) Angka Kematian Bayi (AKB), (4) Angka
Kematian Balita (AKABA), dan (5) Status Gizi Bayi/Balita (Dinas Kesehatan Prov.
DIY, 2017). Sustainable Development Goals (SDG’s) merupakan penyempurnaan
dari Millenium Development Goals (MDG’s) yaitu program dengan lingkup yang
lebih luas dan lebih komprehensif serta menekankan keterkaitan (interlinkage)
antardimensi (sosial, ekonomi dan lingkungan). Program SDG’s terdiri dari 17
tujuan, 169 target dan 252 indikator. Salah satu tujuannya adalah menurunkan AKI
sampai dengan 70/100.000 Kelahiran Hidup (KH) serta AKB lebih rendah dari
12/1.000 KH yang mulai dilakukan sejak tahun 2016 (United Nations, 2017).
Pemerintah Indonesia mencetuskan suatu program sebagai tindak lanjut dari target
global tersebut, yaitu Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
tahun 2015 - 2019 yang berisi sembilan agenda prioritas yang dikenal dengan “Nawa
Cita”. RPJMN tahun 2015- 2019 menargetkan untuk meningkatkan derajat kesehatan
dan status gizi masyarakat melalui upaya kesehatan dan pemberdayaan masyarakat
yang didukung dengan perlindungan finansial dan pemerataan pelayanan kesehatan.
Sasaran kinerja Kemenkes RI yang akan dicapai untuk meningkatkan derajat
kesehatan manusia antara lain dengan menurunkan AKI 306/100.000 KH pada tahun
2019 dari 346/100.000 KH pada tahun 2 2010 dan menurunkan AKB 24/1.000 KH
pada tahun 2019 dari 32/1.000 KH pada tahun 2013 (Kementerian Kesehatan RI,
2015).

Kematian ibu atau maternal death menurut batasan dari Tenth Revision of The
International Classification of Disease (ICD-10) adalah kematian wanita yang terjadi
pada saat kehamilan, atau dalam 42 hari setelah berakhirnya kehamilan. Kematian ibu
disebabkan oleh kejadian yang berhubungan dengan kehamilan, atau yang diperberat
oleh masalah pada saat kehamilan ataupun penanganan pada masalah kehamilan yang
kurang tepat. Kematian ibu bukan kematian yang disebabkan oleh kecelakaan atau
kebetulan (WHO, 2010 dalam Dinas Kesehatan Prov. DIY, 2017).

Kasus kematian ibu pada tingkat Kabupaten/ Kota pada tahun 2017 terbanyak terjadi
di Kabupaten Gunung Kidul yaitu 12 kasus dan terendah di Kabupaten Kulon Progo
yaitu tiga kasus. AKI di Kabupaten Bantul pada tahun 2017 mengalami penurunan
dibandingkan pada tahun 2016. Kasus kematian ibu di Kabupaten Bantul tahun 2017
tercatat sebesar 72,85/100.000 KH yaitu sejumlah sembilan kasus, sedangkan pada
tahun 2016 sebanyak 12 kasus sebesar 97,65/100.000. Angka tersebut menjadi tolak
ukur penurunan AKI yang menandakan upaya yang telah dilakukan di Kabupaten
Bantul untuk menurunkan AKI belum mencapai target dalam SDG’s yaitu
70/100.000 KH (Dinas Kesehatan Kab. Bantul, 2018).
Angka kematian bayi (infant mortality rate) merupakan salah satu indikator penting
dalam menentukan tingkat kesehatan masyarakat karena dapat menggambarkan
kesehatan penduduk secara umum. Angka ini sangat sensitif terhadap perubahan
tingkat kesehatan dan kesejahteraan. Angka kematian bayi tersebut dapat
didefinisikan sebagai kematian yang terjadi antara saat setelah bayi lahir sampai bayi
belum berusia tepat satu tahun (Badan Pusat Statistik Indonesia, 2014 dalam Dinas
Kesehatan Prov. DIY, 2017). Kasus kematian bayi tertinggi terjadi di Kabupaten
Bantul yaitu sebanyak 108 kasus dan terendah di Kota Yogyakarta yaitu 33 kasus. 3
Penyebab umum kematian bayi dan neonatal di DIY adalah Berat Bayi Lahir Rendah
(BBLR) dan sepsis. Jumlah kasus kematian bayi yang terjadi di Kabupaten Bantul
menjadi tugas bersama bagi tenaga kesehatan untuk mengupayakan penurunan kasus
kematian bayi agar tidak semakin tinggi (Dinas Kesehatan Prov. DIY, 2017).

Kehamilan, persalinan, nifas dan Bayi Baru Lahir (BBL) merupakan suatu keadaan
yang fisiologis namun dalam prosesnya terdapat kemungkinan suatu keadaan yang
dapat mengancam jiwa ibu dan bayi bahkan dapat menyebabkan kematian. Asuhan
kebidanan komprehensif merupakan asuhan kebidanan yang diberikan secara
menyeluruh dan berkelanjutan sejak ibu hamil hingga ibu dapat menentukan pilihan
alat kontrasepsinya setelah bersalin. Asuhan yang dilakukan oleh bidan dan secara
berkala ini akan melibatkan ibu dan juga lingkungannya (Prawirohardjo, 2009).

Antenatal Care (ANC) sebagai salah satu upaya penapisan awal dari faktor risiko
kehamilan. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), antenatal care selama
kehamilan untuk mendeteksi dini terjadinya risiko tinggi terhadap kehamilan dan
persalinan juga dapat menurunkan angka kematian ibu dan memantau keadaan janin.
Salah satu upaya yang dilakukan untuk menurunkan AKI dan AKB adalah ANC
terpadu, meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan, memberikan informasi
pentingnya memberikan Air Susu Ibu (ASI) dan Keluarga Berencana (KB),
penggunaan buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) secara efektif dan benar,
memberikan penyuluhan kepada remaja dan pendewasaan usia perkawinan,
persalinan 4 tangan, memberikan konseling KB pascapersalinan, dan mengadakan
kelas ibu hamil (Dinas Kesehatan Prov. DIY, 2016).

Continuity Of Care (COC) adalah suatu proses yang dilakukan oleh tenaga kesehatan
yang kooperatif terlibat dalam manajemen pelayanan kesehatan secara terus menerus
untuk menuju pelayanan yang berkualitas tinggi. COC merupakan ciri dan tujuan
utama pengobatan 4 keluarga yang lebih menitik beratkan kepada kualiatas pelayanan
kepada pasien (keluarga) dengan dibantu oleh bidan (tenaga kesehatan) agar
mendapat asuhan berkelanjutan berkesinambungan yang berkualitas (Estiningtyas dan
Nuraisya, 2013)

Materi 2 : Sistem Informasi Kesehatan

Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2014 tentang Sistem Informasi Kesehatan


(SIK) yang menjelaskan bahwa Sistem Informasi Kesehatan (SIK) adalah suatu
sistem pengelolan data dan informasi kesehatan di semua tingkat pemerintah secara
sistematis dan terintegrasi untuk mendukung manajemen kesehatan dalam rangka
peningkatan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Pemanfatan teknologi
informasi dan komunikasi akan mendorong setiap instansi pemerintah untuk
mengembangkan penyelengaran kepemerintahan yang berbasis elektronik atau lebih
dikenal dengan istilah electronic government government) yang bertujuan untuk
meningkatkan kualitas layanan publik secara efektif, efisien, transparan dan
akuntabel. Salah satu bagian dari penerapan e- government adalah dalam bidang
kesehatan yang biasa dikenal dengan istilah Sistem Informasi Kesehatan (SIK).Pada
dasarnya pemerintah dituntut untuk menyediakan pelayanan yang baik bagi
warganya. Salah satu cara untuk menyediakan layanan yang baik dapat dilakukan
melalui penerapan pengelolan data dibidang kesehatan dengan mengunakan Sistem
Informasi Kesehatan (SIK). Menurut Mulyamah (1987:3) pengertian efisiensi dalam
membandingkan rencana pengunan masukan dengan pengunan yang direalisasikan
atau perkatan lain pengunan.

Menurut Mardiasmo (201:24), transparansi berarti keterbukan (openses), pemerintah


dalam memberikan informasi yang terkait dengan aktivitas pengelolan sumber daya
publik kepada pihak ± pihak yang membutuhkan informasi. Pemerintah berkewajiban
memberikan informasi keuangan dan informasi lainya yang akan digunakan untuk
pengambilan keputusan oleh pihak ± pihak berkepentingan. Menurut Mardiasmo
(201:28)

akuntabiltas publik adalah kewajiban pihak pemegang amanah untuk memberikan


pertangungjawaban, menyajikan, melaporkan dan mengungkapkan segala aktivitas
dan kegiatan yang menjadi tangungjawabnya kepada pemberi amanah yang memilki
hak dan kewenangan untuk meminta petangungjawaban. Sedangkan indikator
minimal dari akutabiltas adalah adanya kesesuaian antara pelaksanan dengan standar
prosedur pelaksanan, adanya sangsi yang ditetapkan atas kesalahan atau kelalaian
dalam pelaksanan kegitan. Sedangkan perangkat pendukung indikator antara lain
adanya mekanisme pertangungjawaban, laporan bulanan, triwulan, tahunan, laporan
pertangungjawaban sistem pemantauan kinerja, sistem pengawasan dan mekanisme
reward and punishmenst.

Sistem informasi kesehatan mendukung pelaksanaan tindakan secara tepat dalam


perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan kinerja system kesehatan. mulai dari
analisis situasi, penentuan prioritas, pemilihan alternative solusi,
pengembangan program, pelaksanaan dan hingga proses evaluasi. (Wahyudi A,
2011) kesepakatan rencana kerja pada pertemuan 12 Desember 2003 di
Jenewa, target yang harus dicapai Negara anggota World Summit on the
Information Society (WSIS) termasuk Indonesia yaitu seluruh pusat kesehatan
termasuk puskesmas, rumah sakit sudah terhubungkan dengan teknologi
informasi dan komunikasi. (Hatta 2011 dalam Wibowo, 2015)Rencana Strategis
Kemenkes Tahun 2015-2019, dalam meningkatkan pengembangan SIK, dengan
pemanfaatan IT melalui sistem e-planning, e-budgeting dan e-monev.
Permasalahan dalam perencanaan kesehatan kurang tersedianya data dan
informasi yang memadai sesuai kebutuhan dan tepat waktu, belum adanya
mekanisme yang menjamin keselarasan, keterpaduan rencana dan anggaran
kementerian / lembaga terkait serta Pemerintah Daerah atau Pemda
(Kabupaten, Kota, dan Provinsi), termasuk pemanfaatan hasil evaluasi atau
kajian untuk input dalam proses penyusunan perencanaan. (Isnawati K, Dkk 2016)

SIMPUS digunakan untuk mendukung kegiatan puskesmas dan dijalankan dengan


bantuan komputer dan software yang dapat merangkum semua kegiatan dan
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan di puskesmas baik yang bersifat
kuratif, preventif maupun promotif. Ditemukan beberapa masalah dalam
penerapan SIMPUS berbasis komputer yaitu dari sisi brainware (pengguna
sistem informasi), terbatasnya jumlah petugas yang mampu mengoperasikan
komputer, sisi software (program SIMPUS) dalam penerapannya masih terjadi
gangguan dan dari sisi hardware (perangkat komputer) jumlahnya masih terbatas
(Inggarputry Y, 2009)

Menurut Health Metrics Network(2008), sistem informasi kesehatan membutuhkan


enam komponen yang saling berinteraksi satu sama lain untuk menghasilkan
informasi yang lebih baik. Komponen tersebut adalah: 1) sumber daya sistem
informasi kesehatan, yang meliputisistem koordinasi dan kepemimpinan, kebijakan,
finansial,sumber dayamanusia, daninfrastruktur (sarana dan prasarana pendukung);2)
indikator-indikator yang merupakandomain utama informasi kesehatan, meliputi
determinan kesehatan, sistem kesehatan, dan status kesehatan;3) sumber
datakesehatan;4) manajemen data,yang meliputi penyimpanan, penjaminan
kualitas, dan pemrosesandata;5) proses perubahan data menjadi informasi; dan 6)
penyebaran dan pemanfaatan informasi yang dapat digunakan untukmendukung
proses pengambilan keputusan.Teknologi informasi yang terus berkembang
mendorong dinas kesehatan di berbagai daerah di Indonesia untukmelakukan
pengembangan dan pengelolaan sistem informasi masing-masing. Oleh
sebab itu, masing-masing pemerintah daerah berupaya mengembangkan sistem
informasi yang dapat mendukungproses pengumpulan dan pengolahan data di
daerahnya (Pusat Data dan Informasi, 2011).

Proses pengelolaan data/informasi kesehatan memerlukan standar tertentu.


Standar data/informasi di Indonesia masih belum memadai. Hal ini juga
diperparah dengan akses dan sumber daya kesehatan yang tidak merata.
Akibatnya, setiap fasilitaskesehatan mulaimengembangkan dan menerapkan sistem
informasi menurut kemampuan dan kebutuhan masing-masing, Hal ini
membuat sistem informasi dan teknologi informasi yang dipakaiberbeda-beda dan
sulit untuk dikomunikasikan. Selain itu, kepemilikan dan keamanan data yang
dipertukarkan menjadi penghalang untuk penyediaan data yang bisa diakses oleh
stakeholderterkait(Pusat Data dan Informasi, 2011).

Puskesmas sebagai salah satu fasilitaskesehatan di Indonesia dituntut untuk


memberikan pelayanan kesehatan yang cepat, tepat,dan akurat. Oleh karena itu,
puskesmas harus memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologidi bidang
kesehatan untuk memenuhi tuntutan tersebut. Menurut Hatta (2013), negara
anggota World Summit on the Information Society(WSIS) termasuk Indonesia harus
mencapai target yaitu seluruh pusat kesehatan termasuk puskesmas serta rumah
sakit sudah terhubungkan dengan teknologi informasi dan komunikasipada tahun
2015.

Berdasarkan teori SDM penginput data pada SIMPUS menurut penelitian


yang dilakukan oleh Feby Erawantini (2014) yaitu, untuk meningkatkan mutu
pelayanan puskesmas, salah satunya dengan menempatkan tenaga rekam medis
dan informasi kesehatan di setiap unit atau bagian-bagian puskesmas seperti di unit
rekam medis, poliklinik rawat jalan, unit rawat inap dan lain-lain. Hasil wawancara
mendalam tentang kuantitas SDM yaitu jumlah operator SIMPUS di Puskesmas
Jongaya ada 7 orang di setiap unit pelayanan yang menggunakan aplikasi
SIMPUS dengan latar belakang pendidikan yang berbeda-beda.

Materi 3 : Sistem Kesehatan Nasional

Sistem Kesehatan Nasional (SKN) merupakan pengelolaan kesehatan yang diselenggarakan


oleh semua komponen Bangsa Indonesia secara terpadu dan saling mendukung guna
menjamin tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Untuk
mencapai tujuan pembangunan kesehatan, maka pengelolaan kesehatan dilaksanakan
melalui subsistem kesehatan yang terbagi ke dalam beberapa bagian, yaitu upaya
kesehatan, penelitian dan pengembangan kesehatan, pembiayaan kesehatan, sumber daya
manusia kesehatan, sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan, manajemen, informasi
dan regulasi kesehatan, pemberdayaan masyarakat (Peraturan Presiden Republik Indonesia,
2012).

Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang telah menghadapi beberapa
perubahan dan tantangan strategis yang mendasar. Tujuan bangsa Indonesia tertuang
dalam pembukaan UUD 1945 yang diselenggarakan melalui pembangunan nasional
termasuk pembangunan kesehatan. Dalam mendukung terlaksananya pembangunan
kesehatan memerlukan dukungan dari Sistem Kesehatan Nasional yang kuat. SKN dijadikan
sebuah acuan dalam pendekatan pelayanan kesehatan primer. Hal ini merupakan sebuah
pendekatan yang tepat untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang diformulasikan
sebagai visi Indonesia Sehat (Adisasmito Wiku, 2009) Sistem kesehatan suatu negara sangat
dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan kesehatan yang ditetapkan oleh penentu kebijakan
baik pemerintah atau swasta. Kebijakan kesehatan itu sendiri dipengaruhi oleh segitiga
kebijakan yakni konteks (faktor ekonomi, sosial budaya, politik), konten/isi, proses
pengambilan kebijakan dan aktor yang berperan (policy elites) (Buse, Kent, et all, 2005). SKN
Indonesia memiliki 3 landasan meliputi landasan idiil yaitu Pancasila, landasan
konstitusional yaitu UUD Negara RI khususnya pasal 28 dan 34, dan landasan operasional
yaitu UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Peraturan Presiden Republik Indonesia,
2012).

Tujuan perencanaan dan pengaturan pembiayaan kesehatan yang memadai dapat


membantu memobisasikan sumber pembiayan kesahatan, mengalokasi dengan
rasional serta dapat digunakan secara efektif dan efisien. Pembiayaan kesehatan
mempunyai kebijakan dengan mengutamakan pemerataan serta berfokus pada
masyarakat yang tidak mampu (equitable and pro poor health policy) yang dapat
membantu mencapai akses kesehatan yang universal (Setyawan Budi, 2018). Sistem
kesehatan di Indonesia didukung dengan pembiayaan pemerintah yang bersumber
dari pemerintah pusat maun pemerintah daerah. Anggaran dari pemerintah pusat
disalurkan melalui DAU, DAK, DAK non fisik, serta Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN). Sedangkan anggaran dari pemerintahan daerah dalam bentuk dukungan
program pusat maupun untuk pembiayaan program inovasi daerah sendiri. Pengelola
sistem pembiayaan di Indonesia yakni kementerian kesehatan sebagai regulator,
monitor dan mengevaluasi pelaksanaan sistem kesehatan. Sedangkan badan
pengumpul dan penyalur premi melalui kapitasi dan INA CBG’S adalah BPJS (Dewi
Shita, 2017).

Sistem Kesehatan Nasional (SKN) adalah suatu tatanan yang dirancang secara khusus
guna mewujudkan kesehatan masyarakat yang tinggi sebagai bukti kesejahteraan
umum seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Pelayanan kesehatan
yang sudah diselenggarakan pemerintah dilakukan secara berjenjang sesuai dengan
peraturan Menteri Kesehatan N0. 01 tahun 2012. Layanan tingkat primer merupakan
tempat pertama kali pasien kontak dengan tenaga kesehatan seperti Puskesmas,
dokter praktek keluarga, klinik, kecuali dalam gawat darurat. Dokter layanan primer
bertanggung jawab terhadap terhadap kebutuhan rujukan pasien ke pelayanan tingkat
sekunder (rumah sakit tipe D, C, B). Sedangkan dokter yang memberikan pelayanan
di tingkat sekunder bertanggung jawab terhadap kebutuhan rujukan pasien ke
pelayanan tersier baik rumah sakit tipe A dan B pendidikan (Kementrian Kesehatan,
2012).

Sistem pelayanan kesehatan dapat dinilai berdasarkan kualitas pelayanan yang


dikaitkan dengan penilaian pelanggan yang memberi suatu dorongan untuk menjalin
hubungan yang kuat dengan perusahaan, dan dalam jangka panjang akan
memungkinkan suatu perusahaan untuk memahami harapan serta kebutuhan
pelanggan secara seksama. Dengan demikian, perusahaan dapat meningkatkan
kepuasan pelanggan secara maksimal (Atmawati dan Wahyudin, 2007).

Mutu suatu pelayanan dapat dianalisis menggunakan metode SERVQUAL. Metode


tersebut mengukur kualitas jasa berdasarkan lima dimensi. Lima dimensi tersebut
meliputi fasilitas fisik, perlengkapan pegawai, dan sarana komunikasi (tangible),
kehandalan dan keakuratan dalam memberikan pelayanan kepada pasien (reliability),
keinginan para staf untuk membantu para pelanggan dan memberikan pelayanan
dengan tanggap (responsiveness), kemampuan, kesopanana, dan sifat dapat dipercaya
yang dimiliki para staf, bebas dari bahaya, risiko, atau keragu-raguan (assurance),
kemudahan dalam melakukan hubungan, komunikasi yang baik, dan memahami
kebutuhan para pasien (empathy) (Nasution, 2004).

Berdasarkan penelitian oleh Naik (2010), menyatakan bahwa lima dimensi tersebut
dapat memperhatikan secara rinci menangani keluhan dan dapat meningkatkan
kualitas pelayanan menjadi lebih baik kepada pelanggan. Lima metode tersebut dapat
diukur menggunakan alat ukur berupa kuesioner guna mengetahui seberapa besar
mutu pelayanan kesehatan di rumah sakit berdasarkan persepsi dan harapan pasien.

mewujudkan derajat kesehatan yang optimal, jelasnya bahwa tujuan pembangunan


kesehatan adalah tercapainya kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap pengguna
jasa. Faktor utama tersebut karena pelayanan yang di berikan berkualitas rendah
sehingga belum dapat menghasilkan pelayanan yang di harapkan pasien. Rumah sakit
merupakan organisasi yang menjual jasa maka pelayanan yang berkualitas merupakan
suatu tuntutan yang harus di penuhi, bila pasien tidak menemukan kepuasan dari
kualitas pelayanan yang di berikan maka pasien cenderung mengambil keputusan
tidak melakukan kunjungan ulang pada rumah sakit tersebut (Azwar A. 2007).

Penurunan pemanfaatan terhadap pelayanan kesehatan di sebabkan oleh akses


pelayanan kesehatan meningkat namun mutunya masih rendah. Permasalahan
tersebut dapat diketahui dengan semakin banyaknya terdengar keluhan masyarakat
tentang mutu pelayanan kesehatan mulai dari keadaan fisik yang jelek, sikap petugas
atau cara mereka dilayani, sistem birokrasi yang rumit, mutu perawatan dan
pengobatan yang rendah, jam kerja yang singkat yang menyebabkan pasien tidak
dapat di layani. Penurunan pemanfaatan terhadap pelayanan kesehatan gigi dan mulut
juga di pengaruhi oleh tingkat kepuasan pasien terhadap mutu pelayanan kesehatan
gigi dan mulut (Gunarso, Singgih D. 2004).

Materi 4 : Sistem Pencatatan Dan Pelaporan Puskesmas

Strategi kebijakan yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan tersebut yaitu melalui
usaha mendorong memelihara dan meningkatkan kesehatan terutama melalui langkah
promotif dan preventif yang didukung oleh upaya kuratif dan rehabilitatif. Untuk menunjang
keberhasilan pembangunan di bidang kesehatan, maka diperlukan dukungan dari berbagai
pihak diantaranya pengelola Sistem Pencatatan dan Pelaporan Terpadu Puskesmas (SP2TP).
Pengelola SP2TP diharapkan memiliki kinerja yang baik agar dalam melakukan pencatatan
dan pelaporan terpadu puskesmas terutama yang berkaitan dengan kegiatan pencatatan
dan pelaporan data umum, sarana, tenaga dan upaya pelayanan kesehatan di Puskesmas.
SP2TP adalah kegiatan pencatatan dan pelaporan data umum, sarana, tenaga dan upaya
pelayanan kesehatan di Puskesmas yang bertujuan agar didapatnya semua data hasil
kegiatan Puskesmas (termasuk Puskesmas dengan tempat tidur, Puskesmas Pembantu,
Puskesmas keliling, bidan di Desa dan Posyandu) dan data yang berkaitan, serta
dilaporkannya data tersebut kepada jenjang administrasi diatasnya sesuai kebutuhan secara
benar, berkala dan teratur, guna menunjang pengelolaan upaya kesehatan masyarakat
(Ahmad, 2005).

Dengan adanya perkembangan teknologi yang sangat pesat, terutama di bidang


teknologi informasi, salah satu produk informasi yang dilaksanakan dan
dikembangkan dari sistem informasi kesehatan khususnya di daerah yaitu Sistem
Pencatatan dan Pelaporan Terpadu Puskesmas (SP2TP). Sistem Pencatatan dan
Pelaporan Terpadu Puskesmas merupakan kegiatan pencatatan dan pelaporan data
umum, sarana, tenaga dan upaya pelayanan kesehatan di Puskesmas yang ditetapkan
melalui SK MENKES/SK/II/1981. Data SP2TP berupa Umum dan demografi,
Ketenagaan, Sarana, Kegiatan pokok Puskesmas. Sistem pelaporan ini diharapkan
mampu memberikan informasi baik bagi puskesmas maupun untuk jenjang
administrasi yang lebih tinggi, guna mendukung manajemen kesehatan (Tiara, 2011).

Tujuan Sistem Informasi Manajemen di Puskesmas adalah untuk meningkatkan


kualitas manajemen Puskesmas secara lebih berhasil guna dan berdaya guna, melalui
pemanfaatan secara optimal data SP2TP dan informasi lain yang menunjang. Tujuan
dimaksud dapat terwujud apabila data SP2TP dan data lainnya diolah disajikan dan
diinterprestasikan sesuai dengan petunjuk Pengolahan dan Pemanfaatan data SP2TP.
(Ahmad, 2005).

Dampak dari pada keterlambatan pelaporan bulanan Sistem Pencatatan dan Pelaporan
Terpadu Puskesmas adalah tidak tersedianya data yang up to date yang dapat
digunakan sebagai informasi yang akurat/relevan bagi dinas yang terkait, sehingga
akan mempengaruhi dalam proses pengambilan keputusan membuat suatu kebijakan
yang berhubungan dengan permasalahan kesehatan yang ada di daerah. Suryani
(2013) menyatakan bahwa SP2TP adalah untuk memenuhi kebutuhan administrasi di
tingkat yang lebih tinggi untuk mengembangkan, menentukan kebijakan dan
dimanfaatkan oleh pusat kesehatan untuk meningkatkan upaya pusat kesehatan,
melalui perencanaan, mobilisasi, pelaksanaan, pemantauan, kontrol dan penilaian
(Suryani,2013).

Puskesmas merupakan fasilitas pelayanan kesehatan primer yang menyelenggarakan


upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama,
untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah
kerjanya. Untuk mengoptimalkan fungsi puskesmas tersebut diperlukan manajemen
puskesmas yang didukung sistem pencatatan dan pelaporan yang berkualitas. Untuk
keperluan tersebut dibutuhkan dukungan sistem informasi puskesmas yang baik,
mulai dari pengumpulan data hasil pelaksanaan kegiatan, sampai pada pengolahan
dan pemanfaatannya. Hal ini dipertegas dalam Permenkes Nomor 75 Tahun 2014
tentang pusat kesehatan masyarakat, bahwa sistem informasi puskesmas diperlukan
untuk membantu proses pengambilan keputusan dalam melaksanakan manajemen
puskesmas untuk mencapai sasaran kegiatan (Kemenkes,2014). Melalui SP2TP,
Puskesmas diwajibkan mengumpulkan data transaksi pelayanan baik pelayanan Unit
Kesehatan Perorangan (UKP) dan Unit Kesehatan Masyarakat (UKM) secara rutin.
Melalui semua program yang ada di Puskesmas, mereka diwajibkan membuat laporan
bulanan ke dinas kesehatan melalui format Laporan Bulanan (LB) yang berisi data-
data pasien selama sebulan, namun dalam pelaksanaanya pembuatan laporan tersebut
ditemukan banyak kendala seperti kesalahan pencatatan, pencatatan ganda sehingga
berakibat kepada ketidakpastian hasil dari laporan tersebut (Kemenkes,2014).

Beberapa penelitian membuktikan bahwa ada pengaruh dari pengelolaan data suatu
program dengan pengambilan keputusan salah satunya yang dilakukan oleh Shafwan
(2008) tentang pengelolaan data informasi status gizi balita dan pengambilan
keputusan program gizi di puskesmas se kabupaten Majene, diketahui bahwa data dan
informasi status gizi balita disemua puskesmas tersedia, namun tidak akurat karena
ada unsur rekayasa dan rendahnya keterampilan kader. Tidak valid karena arsip
laporan ada yang tidak ditandatangani kepala puskesmas. Tidak tepat waktu karena
ketidakdisiplinan kader, faktor geografis, kurang penekanan dari dinas. Aksesibel
karena keaktifan petugas mengarsipkan data. Data diolah secara manual dan disajikan
dalam bentuk narasi, tabel dan grafik. Keputusan yang diambil tidak berdasarkan data
sehingga laporan hanya sebagai rutinitas (Shafwan,2008).

Penelitian lain yang mendukung adalah penelitian Hermiyanti, Pitrani dan Hasanah
(2015) tentang peran sistem pencatatan pelaporan terpadu puskesmas (SP2TP) dalam
mendukung upaya pengendalian penyakit DBD kota Palu diketahui bahwa laporan
akhir menentukan respon dari otoritas kesehatan, sehingga pencegahan DBD sering
tidak tepat waktu. Selain itu ada isu-isu lain, terkait dengan penyelidikan
epidemiologi, pelaksanaan fogging dan sistem perekaman. Teratur dievaluasi menjadi
penting untuk meningkatkan pencatatan dan pelaporan sistem pusat kesehatan
terpadu, sehingga laporan yang diterima tepat waktu.

Materi 5 : Sistem pencatatan dan pelaporan

Di Indonesia, kesehatan merupakan investasi pemerintah untuk mendukung


pembangunan ekonomi serta memiliki peran penting dalam upaya penanggulangan
kemiskinan. Menurut UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik bahwa
penyelenggaraan pelayanan publik meliputi pelayanan barang dan jasa publik serta
pelayanan administrasi yang meliputi pendidikan, pengajaran, pekerjaan, kesehatan,
jaminan sosial dan sektor strategi lainnya (Suvandra, 2019). Oleh sebab itu,
pemerintah sebagai penyelenggara pelayanan publik menyediakan sarana salah
satunya fasilitas kesehatan demi mendukung sistem pembangunan nasional. Berbagai
fasilitas kesehatan yang diselenggarakan oleh pemerintah diantaranya adalah
Puskesmas. Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perorangan tingkat pertama,
dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk mencapai derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya (Permenkes RI No
75 Tahun 2014). Manajemen kesehatan yang baik akan terwujud jika didukung
dengan sistem informasi kesehatan yang handal (Muninjaya, 2004).
Sistem Informasi Kesehatan memberikan dasar-dasar untuk pengambilan keputusan
dan memiliki empat fungsi utama: pembuatan data, kompilasi data, analisis dan
sintesis data, serta komunikasi dan penggunaan data (Herawati & Purnomo, 2016).
Salah satu Sistem Informasi Kesehatan Puskesmas (SIMPUS) di Indonesia adalah
Sistem Pencatatan dan Pelaporan Terpadu Puskesmas (SP2TP) yang berisikan data
umum dan data demografi, ketenagaan, sarana, kegiatan pokok Puskesmas. Sistem
Pencatatan dan Pelaporan Terpadu Tingkat Puskesmas (SP2TP) adalah kegiatan
Pencatatan dan Pelaporan Puskesmas secara menyeluruh dengan konsep wilayah
kerja Puskesmas. Sistem pelaporan ini diharapkan mampu memberikan informasi
baik bagi Puskesmas maupun jenjang administrasi yang lebih tinggi, guna
mendukung manajemen kesehatan (Yusran, 2008). Dari penelitian-penelitian tersebut
dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan SP2TP di Puskesmas rata-rata masih sering
mengalami ketidaklengkapan, ketidakakuratan, dan tidak tepat waktu pelaporan yang
nantinya akan berdampak pada penyusunan perencanaan program kesehatan yang
tidak tepat sasaran dan tidak up to date-nya informasi kesehatan Puskesmas.
Berdasarkan hal tersebut peneliti ingin menganalisis kembali bagaimana pelaksanaan
Sistem Pencatatan dan Pelaporan Terpadu Puskesmas (SP2TP) untuk melihat apa saja
yang menjadi masalah dan bagaimana solusi untuk menangani hal tersebut dari jurnal
dan penelitian yang sudah ada sebelumnya.

Sistem informasi merupakan kombinasi teratur dari orang-orang, perangkat keras


(hardware), perangkat lunak (software), jaringan komunikasi, dan sumberdaya data
yang mengumpulkan, mengubah, dan menyebarkan informasi dalam sebuah
organisasi. Orang tergantung pada system informasi untuk berkomunikasi antara satu
sama lain dengan menggunakan berbagai jenis alat fisik, perintah dan prosedur
pemrosesan informasi, saluran telekomunikasi atau jaringan, dan data yang disimpan
atau sumberdaya data (Yakub, 2012). Sistem informasi rumah sakit di negara-negara
maju, terutama Amerika, dikembangkan sejak tahun 1960an.Mulai pada tahun
1980an, Sistem Informasi Rumah Sakit berkembang pada tahap yang lebih lanjut
dengan focus pada produktivitas.Tujuan Sistem Informasi Rumah Sakit yang
dikembangkan adalah untuk meningkatkan layanan kepada pasien dan kualitas
pengambilan keputusan (Wahid, dkk, 2009).

Ketentuan yang berkaitan dengan rangkaian kegiatan dalam system informasi rumah
sakit di Indonesia tertuang dalam Undang-Undang nomor 44 tahun 2009 tentang
Rumah Sakit, bahwa setiap rumah sakit wajib melakukan pencatatan dan pelaporan
tentang semua kegiatan penyelenggaraan rumahsakit, termasuk kegiatan rawat inap.

Salah satu dasar dalam pembuatan laporan kegiatan rawatinap adalah Sensus Harian
Rawat Inap (SHRI) yang kegiatannya dihitung mulai jam 00.00 sampai dengan jam
24.00 setiap harinya (Rustiyanto, 2010). Data sensus merupakan data yang harus
dikumpulkan setiap hari dan merupakan aktivitas pasien selama 24 jam periode lapor,
termasuk pada pasien yang masuk dan keluar pada 24 jam sebelumnya (Hatta, 2008).

Dalam buku Pedoman Pelayanan Rekam Medis RS. Islam Klaten tahun 2013, laporan
yang dibuat di RS.Islam Klaten meliputi laporan kegiatan pelayanan, morbiditas,
mortalitas baik rawat jalan maupun rawat inap, efisiensi pelayanan rawat inap dan
laporan indicator pelayanan lainnya. Laporan tersebut digunakan untuk kepentingan
internal yang dibutuhkan oleh manajemen untuk pengambilan keputusan serta
kepentingan yang dibutuhkan oleh Dinas Kesehatan kota maupun Dinas Kesehatan
Propinsi. Berdasarkan hasil wawancara pada saat studi pendahuluan dengan petugas
pelaporan rekam medis pada bulan Oktober 2014, bahwa sistem pembuatan SHRI
masih dilakukan secara manual, dimana setiap hari petugas harus berkeliling ke
semua ruang rawat inap untuk mengambilnya. Rumah Sakit Islam Klaten mempunyai
11 ruang rawat inap yang berada dalam tiga lantai, sehingga petugas membutuhkan
waktu sekitar 1,5 s/d 2 jam.

Selain membutuhkan waktu dalam pengambilannya, SHRI yang dibuat secara manual
seringkali ditemukan ketidakcocokan item data antara SHRI dengan register pasien
masuk rawat inap dari Bagian Pendaftaran. Petugas pengolahan data dan pelaporan
rekam medis harus melakukan verifikasi ulang untuk mendapatkan data yang valid,
sebelum mengolah data SHRI menjadi laporan statistic rumah sakit. Waktu verifikasi
yang dibutuhkan rata-rata 15 menit tiap ruang. Ketidak sesuaian data rata-rata terjadi
antara 2-5 ruang rawat inap setiap hari. Lamanya waktu yang dibutuhkan petugas
mulai dari pengambilan SHRI sampai dengan verifikasi kesesuaian data SHRI dengan
register rawat inap dan keadaan yang sebenarnya di ruang rawat inap adalah sekitar
2,5s/d 3 jam. Hal tersebut mengakibatkan kinerja petugas kurang efektif dan efisien
serta laporan tidak bias disajikan tepat waktu.

Dalam penelitian Latifah (2014), pengolahan dan pencatatan SHRI di RSJD DR.
Amino Gondokusumo Semarang juga masih menggunakan bahan dari kertas dalam
bentuk formulir SHRI. Pencatatan SHRI yang dilakukansecara manual atau
menggunakan sistem lama mengharuskan petugas untuk lebih teliti dalam pengisian
data. Setiap pagi petugas analising reporting mengambil SHRI kesetiap bangsal
dengan jarak yang cukup jauh dan memakan waktu yang lama sehingga ketepatan
dan kecepatan pelaporan rekap SHRI menjadi kurang tepat waktu. Berdasarkan
permasalahan tersebut dan kondisi software yang tidak terintegrasi peneliti merasa
penting untuk dilakukan pengembangan sistem. Hal tersebut didukung oleh
ketersediaan komputer di semua ruang rawat inap dan ruang intensif di RS.Islam
Klaten yang sudah terhubung dengan sistem LAN serta dukungan dari pihak
manajemen yang terus berupaya untuk mengembangkan system komputerisasi di
semua bagian sesuai dengan Visi RS.Islam Klaten yaitu “Menjadi RumahSakit yang
Islami, Unggul dalam Pelayanan & Teknologi.

Menurut Permenkes RI No.340/Menkes/Per /III/2010, rumah sakit adalah institusi


pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara
paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat.
Untuk meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit didukung dengan adanya
penyelenggaraan rekam medis. Berdasarkan Permenkes RI No. 269
Menkes/PER/III/2008 Bab III pasal 7, bahwa sarana pelayanan kesehatan wajib
menyediakan fasilitas yang diperlukan dalam rangka penyelenggaraan rekam medis.
Rekam medis diselenggarakan oleh Unit Rekam Medis.

Menururt Hatta (2013), rekam medis merupakan kumpulan fakta tentang kehidupan
seseorang dari riwayat penyakit termasuk keadaan sakit, pengobatan saat ini dan saat
lampau yang ditulis oleh para praktisi kesehatan dalam upaya mereka memberikan
pelayanan kesehatan kepada pasien. Proses penyelenggaraan rekam medis di rumah
sakit, yaitu : (1)penerimaan pasien; (2)pencatatatan; (3)pengolahan data (assembilng,
coding, indeksing); (4)analisa dan pelaporan data (analising and reporting); (5)
penyimpanan; dan (6) pengambilan kembali berkas rekam medis (Rustiyanto, 2012).

Penjelasan dalam Undang-Undang nomor 44 tahun 2009, bahwa setiap rumah sakit
wajib melakukan pencatatan dan pelaporan tentang semua kegiatan penyelenggaraan
rumah sakit, termasuk kegiatan rawat inap. Menurut Permenkes RI
No.1171/Menkes/PER/VI/2011, Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) adalah suatu
proses pengumpulan, pengolahan dan penyajian data rumah sakit. Penyelenggaraan
rekam medis yang baik akan menunjang terselenggaranya upaya peningkatan
pelayanan kesehatan di rumah sakit, salah satunya adalah pembuatan laporan yang
dilakukan oleh setiap rumah sakit dengan sumber data pelaporan berasal dari sensus
harian rawat jalan, sensus harian rawat inap, register masing-masing unit pelayanan
dan berkas rekam medis (Budi, 2011).

Sensus harian rawat inap merupakan kumpulan data pasien yang masuk dan keluar
bangsal. Sensus harian rawat inap memuat informasi semua pasien masuk, pindahan,
dipindahkan dan keluar baik dalam keadaan hidup maupun meninggal dunia selama
24 jam mulai dari pukul 00.00 WIB sampai dengan 24.00 WIB setiap harinya.
Informasi yang diperoleh dari sensus harian rawat inap yaitu berupa data yang akan
diolah menjadi sebuah informasi yang dibutuhkan oleh rumah sakit (Hatta, 2013).

Peranan kegiatan sensus harian rawat inap dalam rekam medis adalah sebagai data
dalam kegiatan reporting dalam pembuatan sensus harian rawat inap mengacu pada
standar dan prosedur yang telah ditentukan oleh direktur rumah sakit serta diolah
dengan cepat, tepat dan akurat sehingga dapat menghasilkan informasi yang
berkualitas. Jika pengolahan data sensus harian pasien rawat inap tidak cepat, tepat
dan akurat maka akan menyulitkan tenaga rekam medis dalam proses pembuatan
pelaporan rumah sakit sehingga tidak dapat dipertanggung jawabkan.

Penelitian oleh Yunita (2012) di RSUD Banyumas, dari hasil penelitian diketahui
bahwa hanya 22,22 % ruang rawat yang pengisian datanya lengkap. Pengelolaan data
dilakukan secara manual, petugas selain melakukan pekerjaan pokok juga melakukan
tugas lain. Rekapitulasi data tidak dilakukan setiap hari. Kelebihan dari kegiatan ini
adalah perawat selalu mengisikan data sensus setiap jam 00.00 WIB.

Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Kurniawan, Lestari dan Rohmadi (2010),
tentang Analisis Pemanfaatan Data Sensus Harian Rawat Inap Untuk Pelaporan
Indikator Pelayanan Rawat Inap Di RSUD Dr. Soeroto Ngawi , didapatkan bahwa
kebijakan pemanfaatan data SHRI sudah terlampir tetapi tidak ada prosedur tetap
tentang pemanfaatan data SHRI. Pihak yang mengolah data SHRI adalah petugas
analising reporting. Data yang digunakan untuk pembuatan Indikator Pelayanan
Rawat Inap hanya hari Perawatan dan lama dirawat pasien sebagai dasar
penghitungan BOR, AvLOS, TOI sedangkan BTO diambil dari register pasien rawat
inap. Laporan dibuat dengan perhitungan secara manual dan komputerisasi disajikan
berbentuk Tabel, Grafik Trend, Grafik Batang, Grafik Barber Johnson. Pihak yang
memanfaatkan informasi indikator pelayanan rawat inap adalah management rumah
sakit, dokter/mahasiswa, peneliti, badan akreditasi, dinas kesehatan.

Sesuai dengan penelitian Lolita, Nuryadi dan Kusworini (2017) di Rumah Sakit
Djatiroto Lumajang, diketahui bahwa rata-rata nilai BOR tahun 2011-2015 mencapai
49,8%. Rata-rata nilai ALOS sebesar 3, sedangkan rata-rata nilai TOI sebesar 3,5 dan
rata-rata nilai BTO sebesar 60. Hal ini menunjukkan bahwa pelayanan diRumah Sakit
Djatroto masih belum efisien.
Materi 6 : sistem informasi kesehatan daerah

Sistem informasi kesehatan menurut WHO dalam buku “Design and implementation
of health information system” Geneva (2000), adalah suatu sistem informasi
kesehatan yang tidak dapat berdiri sendiri, melainkan sebagai bagian dari suatu
sistem kesehatan. Sistem informasi kesehatan yang efektif memberikan dukungan
informasi sebagai proses pengambilan keputusan di segala jenjang. Untuk
mendukung pelaksanaan sistem informasi kesehatan tersebut pada tahun 2002
pemerintah melalui Menteri Kesehatan pengembangan sistem informasi kesehatan
daerah (SIKDA)”.

Tujuan pembangunan nasional disusun dalam rencana pembangunan jangka panjang


nasional, hal ini tertuang dalam Undang-Undang nomor 17 tahun 2007 yang
mempunyai tiga tujuan pembangunan nasional. Rencana pembangunan jangka
panjang nasional tersebut dibagi lagi setiap lima tahunan, atau disebut juga rencana
pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) yang mana bertujuan
memantapkan pembangunan secara menyeluruh dimana salah satunya adalah
menekankan pembangunan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kondisi ini
bisa dilihat dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah nomor 46 tahun 2014
tentang sistem informasi kesehatan, hal ini untuk melaksanakan ketentuan pasal 168
ayat (3) Undang-Undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan. Pada era
globalisasi saat ini kebutuhan akan data dan informasi yang tepat, akurat dan dapat
dipertanggungjawabkan sangat dibutuhkan keberadaannya karena merupakan sumber
utama dalam pengambilan kebijakan untuk mewujudkan tujuan pembangunan
nasional. Berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi merupakan kondisi
positif yang akan sangat mendukung berkembangnya sistem informasi kesehatan, hal
ini juga sangat berguna dalam pengambilan keputusan bisa lebih mudah jika semua
informasi yang dibutuhkan sudah tersedia. Untuk tujuan itu sistem informasi
kesehatan perlu dibangun dengan mengorganisir berbagai data yang telah
dikumpulkan secara sistematik, memproses data menjadi informasi yang berguna.
Pada tahun 2007 pusat data dan informasi melakukan evaluasi SIK di Indonesia
dengan menggunakan perangkat Health Metricts Network-World Health Organization
(HMN-WHO) evaluasi ini meliputi 6 komponen utama SIK yaitu sumber daya
(meliputi pengelolaan dan sumber daya), kualitas data, diseminasi dan penggunaan
data, hasil yang diperoleh adalah SIK ada tapi tidak adekuat untuk sumber daya
(47%), indikator (61%), sumber data (51%), kualitas data (55%), penggunaan dan
diseminasi data (57%), untuk manajemen data (35%), sehingga secara umum hasil ini
menunjukkan bahwa keseluruhan SIK masih perlu ditingkatkan lagi (Kepmenkes
Nomor 192, 2012).

Menurut Wahyudi (2011), kebijakan pemerintah dalam pengembangan sistem


informasi telah ada, akan tetapi dalam pelaksanaannya masih banyak kendala-kendala
dan hambatan yang dihadapi, pengembangan sistem informasi kesehatan baik di
tingkat pusat maupun daerah belum dapat dimanfaatkan sepenuhnya karena
keterbatasan sistem yang dikembangkan, kemampuan daerah, dan sumber daya
manusia. Dinas Kesehatan sebagai salah satu organisasi pemerintah yang mempunyai
tugas pokok melaksanakan urusan pemerintahan daerah berdasarkan asas tugas
pembantuan di bidang kesehatan dan juga fungsi merumuskan kebijakan teknis di
bidang kesehatan. Kinerja pelayanan kesehatan dapat meningkat melalui dua fungsi
di atas dipengaruhi oleh aspek sumber daya kesehatan, pemberdayaan masyarakat dan
menajemen kesehatan (Depkes, 2004).

Salah satu aspek yang mempengaruhi kinerja Dinas Kesehatan Kota atau Kabupaten
seperti yang disebutkan di atas adalah aspek manajemen kesehatan, dimana Dinas
Kesehatan Kota atau Kabupaten mempunyai tugas mengelola data dan informasi
yang diperoleh baik dari puskesmas, rumah sakit, maupun sarana pelayanan
kesehatan yang lain. Sehubungan hal tersebut maka Dinas Kesehatan Kota atau
Kabupaten membutuhkan pengelolaan sistem informasi kesehatan yang baik agar
dalam pengambilan keputusan kebijakan pemerintah bisa lebih tepat sesuai kebutuhan
daerahnya.
Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 75 Tahun 2014 tentang Puskesmas pada Pasal
43 menjelaskan setiap puskesmas wajib melakukan kegiatan Sistem Informasi
Puskesmas. Sistem Informasi Puskesmas dapat diselenggarakan secara elektronik
atau non elektronik yang paling sedikit mencakup pencatatan dan pelaporan kegiatan
puskesmas dan jaringannya, survei lapangan, laporan lintas sektor terkait, dan laporan
jenjang fasilitas pelayanan kesehatan di wilayah kerjanya (Kementerian Kesehatan
RI, 2014 – 22)

Dalam sambutan Kepala Pusat Data dan Informasi di Pelatihan Sistem Informasi
Puskesmas menjelaskan bahwa puskesmas merupakan fasilitas pelayanan kesehatan
primer yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan
perseorangan tingkat pertama, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya di wilayah kerjanya. Untuk mengoptimalkan fungsi Puskesmas
tersebut diperlukan manajemen Puskesmas yang didukung sistem pencatatan dan
pelaporan yang berkualitas. Untuk keperluan tersebut dibutuhkan dukungan Sistem
Informasi Puskesmas yang baik, mulai dari pengumpulan data hasil pelaksanaan
kegiatan, sampai pada pengolahan dan pemanfaatannya (Kementerian Kesehatan RI,
2016 – 1-2).

Sistem Informasi Puskesmas yang dilakukan secara elektronik adalah versi terbaru
SIKDA Generik. Disebut versi terbaru karena SIKDA Generik merupakan bentuk
elektronik dari sistem pencatatan pelaporan di puskesmas dengan versi yang belum
sempurna, dimana hanya sebagian laporan yang dapat dikeluarkan. Sistem Informasi
Puskesmas elektronik selain dapat mencatat seluruh pelayanan juga dapat
menghasilkan seluruh laporan (Sibuea, 2016 – 25).

SIKDA Generik ini dirancang untuk menjadi standar bagi Pemerintah Daerah dalam
pengelolaan informasi kesehatan di daerah, meliputi pelaksana kesehatan yang ada
didalamnya yaitu Puskesmas, Dinas Kesehatan Kab/Kota, dan Dinas Kesehatan
Provinsi (Kementerian Kesehatan RI, 2011 – 5).
Sistem Informasi Puskesmas merupakan bagian dari Sistem Informasi Kesehatan,
dalam Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2014 tentang Sistem Informasi Kesehatan
pasal 34 dan 35 menjelaskan Sistem Informasi Kesehatan provinsi dikelola oleh unit
kerja struktural atau fungsional pada satuan kerja perangkat daerah provinsi yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan. Unit kerja struktural
atau fungsional melaksanakan kegiatan pengelolaan Data dan Informasi Kesehatan
pada skala provinsi, berupa permintaan data dan informasi kesehatan kepada pihak
yang terkait dengan pengelolaan Sistem Informasi Kesehatan, pengumpulan dan/atau
penggabungan data rutin dan non rutin dari sumber data, pengolahan data kesehatan,
analisis data sesuai kebutuhan, penyebarluasan informasi kesehatan dengan
menggunakan media elektronik dan/atau media nonelektronik sesuai kebutuhan,
penyediaan akses, pengiriman data dan informasi kesehatan yang dibutuhkan dalam
pengelolaan Sistem Informasi Kesehatan nasional, dan pelaksanaan pembinaan dan
fasilitasi pengembangan Sistem Informasi Kesehatan daerah kabupaten/kota dan
Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat kedua (Pemerintah RI, 2014 – 20-21).

penyimpanan, pemeliharaan, dan penyediaan cadangan data dan informasi kesehatan,


pemberian umpan balik ke sumber data, pelaksanaan Dalam penelitian tentang
Analisis Integrasi Sistem Informasi Manajemen Puskesmas dan SIKDA (Sistem
Informasi Kesehatan Daerah) Generik dengan Metode PRISM (Performance Of
Routine Information System Management) Puskesmas Kragan 2 Kabupaten Rembang
menunjukkan bahwa SIMPUS (Sistem Informasi Manajemen Puskesmas) di
Puskesmas Kragan 2 masih belum terintegrasi dengan SIKDA Generik. Permasalahan
yang ditemukan adalah SIMPUS hanya menyediakan input data pelayanan pasien
untuk kebutuhan laporan LB (Laporan Bulanan) 1 yaitu laporan kesakitan dan LB
(Laporan Bulanan) 4 yaitu laporan kegiatan puskesmas. Pengelolaan laporan LB
(Laporan Bulanan) 2 yaitu laporan obat-obatan, LB (Laporan Bulanan) 3 yaitu
laporan gizi, KIA (kesehatan ibu dan anak), imunisasi, dan pemberantasan penyakit
berbentuk paper based yang berarti SIMPUS tidak mengcover laporan LB2 dan LB3,
LT (Lapoan Tahunan) 1 – 3, dan LS (Laporan Sentinel).

Terdapat gap pada identitas pasien yaitu SIMPUS menggunakan konsep family,
sedangkan SIKDA dengan konsep individu, sehingga SIMPUS tidak dapat
menghasilkan laporan individual pasien dan 4 laporan 10 besar penyakit perwilayah
(maping) untuk memenuhi standar SIKDA Generik. SIMPUS belum terhubung
dengan pelayanan penunjang dan pelayanan luar gedung, sedangkan SIKDA Generik
sudah terhubung. Pada sisi petugas, Puskesmas Kragan 2 masih kekurangan tenaga IT
(Information and Technology) dan masih membutuhkan pelatihan untuk memenuhi
kompetensi SIKDA Generik (Prasetyowati, 2016 – 15-22).

Sistem Informasi Kesehatan Daerah Generik (SIKDA) adalah aplikasi sistem


informasi kesehatan daerah yang berlaku secara nasional, yang menghubungkan
secara online dan dan mengintegrasikan seluruh puskesmas, rumah sakit, dan sarana
kesehatan lainya, baik itu milik pemerintah maupun swasta, dinas kesehatan
kabupaten/kota, dinas kesehatan provinsi, dan Kementerian Kesehatan (Depkes RI,
2011).

Aplikasi SIKDA dirancang untuk menjadi standar bagi pemerintah daerah dalam
pengelolaan informasi kesehatan di daerah, termasuk penyelenggaraan kesehatan di
dalamnya, yakni Puskesmas, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, dan Dinas Kesehatan
Provinsi (Kemenkes RI, 2015).

Penelitian yang dilakukan oleh Isnawati (2016) dengan judul “Implementasi Aplikasi
Sistem Informasi Kesehatan Daerah (SIKDA) Generik Di UPT. Puskesmas Gambut
Kabupaten Banjar” didapatkan bahwa kompetensi dan jumlah SDM masih kurang,
sehingga kompetensi SDM perlu ditingkatakan dan jumlah SDM perlu ditambah,
selain itu implementasi apliaksi SIKDA generik di puskesmas Gambut, belum
memiliki SK penugasan, tidak ada koordinasi sosialisasi sebelum
pengimplementasian aplikasi, dan tidak ada pelatihan atau bimbingan terkait aplikasi,
menyebabkan pengetahuan SDM terhadap aplikasi Sistem Informasi Kesehatan
Daerah (SIKDA) Generik kurang. Berdasarkan studi pendahuluan di i Puskesmas
Pademawu Pamekasan pada bulan Desember 2020 diketahui bahwa di puskesmas
tersebut telah menerapkan Aplikasi SIKDA Generik. Pada Aplikasi SIKDA tersebut
ditemukan beberapa kesulitan dalam mengentry data pasien diantaranya terlalu
banyak pengisian data pada tabel yang tertera, banyaknya fitur menu yang tidak
dimengerti, sehingga petugas sering mengalami kesulitan. Hal ini disebabkan, karena
pada awal pengoperasian aplikasi SIKDA dari pihak Dinas Kesehatan hanya
memberikan bimbingan kepada satu petugas saja dan petugas lain tidak diberikan
pelatihan secara berkala dalam mengakses aplikasi SIKDA, serta belum terdapat SOP
(Standart Operasional Prosedur) tentang penerapan Aplikasi SIKDA. Menurut
petugas rekam medis Di Puskesmas Pademawu Pamekasan, belum memiliki Surat
Keputusan tentang penunjukan siapa saja pengelola atau petugas.

Manfaat SIKDA elektronik dalam hal adminisntrasi, manfaat tersebut dapat


dirasakan baik oleh masyarakat secara langsung maupun oleh petugas sebagai
penyelenggara kesehatan, karena waktu tunggu pasien berkurang, alur lebih jelas, dan
mengurangi beban administrasi petugas kesehatan sehingga pelayanan menjadi
lebih efektif dan efisien. Selanjutnya, dalam hal medis, SIKDA elektronik
mampu meminimalisasi terjadinya kesalahan medis, dan secara tidak langsung
meningkatkan penggunaan obat generik di masyarakat2.Pada kesempatan
tersebut, disebutkan pula bahwa beberapa daerah di Indonesia telah lebih dulu
berinovasi dan merasakan manfaat atas penggunaan e-health, yaitu penerapan
teknologi informasi komunikasi untuk sistem informasi kesehatan, antara lain
beberapa Kabupaten di Indonesia juga di hampir seluruh RS tipe A, RS vertikal dan
RS swasta.

Semua kegiatan yang dilakukan oleh dan di dalam organisasimemerlukan


informasi. Demikian pula sebaliknya, semua kegiatanmenghasilkan informasi,
baik yang berguna bagi organisasi yangmelaksanakan kegiatan tersebut
maupun bagi organisasi lain diluar organisasiyang bersangkutan, oleh sebab
informasi berguna untuk semua macam danbentuk kegiatan dalam organisasi
(Machmud, 2013).

Dalam Undang Undang Kesehatan Nomor 23 tahun 1992 pasal


63dijelaskan perlunya pengembangan Sistem Informasi Kesehatan yang mantapagar
dapat menunjang sepenuhnya pelaksanaan manajemen dan upayakesehatan
dengan menggunakan teknologi dari yang sederhana hingga yangmutakhir disemua
tingkat administrasi kesehatan. Sistem InformasiKesehatan dikembangkan
terutama untuk mendukung manajemen kesehatan(Wajirah, 2010).

Dewasa ini arus informasi berjalan dengan cepat seiring dengansemakin


pesatnya arus teknologi yang semakin berkembang. Hal ini ditandaidengan semakin
banyak peralatan yang serba canggih dan praktis. Munculnyasistem komputerisasi
sangat membantu dalam pemecahan masalah, terutamadalam hal penginputan
data supaya dapat menghasilkan informasi yangakurat, relevan dan cepat.
Hampir semua instansi-instansi baik yang bersifatpemerintahan maupun bersifat
swasta menggunakan sistem komputerisasi.Pada dasarnya komputer
digunakan sebagai alat bantu seperti mengolah, menyimpan, dan mengambil
kembali data atau informasi yang diperlukan(Novita, 2014).
DAFTAR PUSTAKA

Notoatmodjo, S. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta : Rineka Cipta.

Evelyn C.Pearce. 2008. Anatomi dan fisiologi untuk para medis. Jakarta: PT
Gramedia.

Agostini C., Braegger C., Decsi T., et al, 2009. Breast Feeding: A Commentary by
The European Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition.
49:113-4.

Padang, Asdan. 2008. Analisa Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ibu dalam


Pemberian MP-ASI Dini di Kecamatan Pandan Kabupaten Tapanuli Tengah tahun
2007. Universitas Sumatera Utara. Tesis

Roesli, U. 2009. Inisiasi Menyusu Dini Plus ASI Eksklusif. Jakarta: Pustaka Bunda

Kemenkes RI. 2015. Buku Kesehatan Ibu dan anak. Jakarta: Kemenkes RI

Dinkes DIY. 2017. Profil Kesehatan Provinsi DIY. Yogyakarta: Dinkes Profinsi DIY.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2015 . Profil Kesehatan Indonesia 2015.


Jakarta.

Prawirohardjo S., 2008, Ilmu Kebidanan, Jakarta: PT. Bina Pustaka.


Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Notoatmodjo, Soekidjo. 2012. Promosi Kesehatan Dan Perilaku Kesehatan. Jakarta:


Rineka Cipta N

Kementerian Kesehatan RI. 2014. Pedoman Gizi Seimbang

Estiningtyas, dan Nuraisya. 2013. Buku Ajar Asuhan Kebidanan. Yogyakarta:


Pustaka.

Mulyamah.(1987). Manajemen Perubahan. Yudhistira. Jakarta

Mardiasmo ( 2016 ), Perpajakan.Yogyakarta : CV Andi Offse

Mardiasmo ( 2018 ), Perpajakan Edisi Terbaru 2018.Yogyakarta : CV Andi Offs

Wibowo. 2015. Perilaku Dalam Organisasi. Edisi Kedua. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.

Isnawati K, Nugroho E, Lazuardi L. Implementasi Aplikasi Sistem Informasi


Kesehatan Daerah ( SIKDA ) Generik Di UPT . Puskesmas Gambut Kabupaten.
2016;1(1) (Akses tanggal 6 Desember 2018

Wibowo, 2015. Implementasi Sistem Informasi Puskesmas Elektronik Dan


Hubungan Dengan Pelayanan Kesehatan KIA (studi perbandingan implementasi di
PKM Sumberasih dan PKM Paiton) Kab. Probolingga. ISSN : 1411-0199. Vol. 18
N0. 3.Univ. Brawijaya. diakses pada tanggal 20 Juni 2017 JURNAL Promotif
Preventif Volume 2 Nomor 2 Februari 2020, Halaman 19 – 26

Inggarputry Y. 2009. Evaluasi Penerapan Sistem Informasi Manajemen


Puskesmas (SIMPUS) Berbasis KOmputer Dengan Metode Pieces Di Puskesmas
Wilayaha Kaupaten Blora. Universitas Muhammadiyah Jokyakarta
Isnawati K, Dkk 2016 evaluasi penerapan sistem informasi kesehatan puskesmas
di dinas kesehatan kota Palembang.

Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. Infodatin Hipertensi.


Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2014

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 72 tahun 2012 tentang Sistem


Kesehatan Nasional

Atmawati, R dan M, Wahyudin. 2007. Analisis Pengaruh Kualitas Pelayanan


Terhadap Kepuasan Konsumen Pada Matahari Departement Store Di Solo Grand
Mall. Surakarta: Jurnal Daya Saing, Program MM-UMS.

Azwar, Saifuddin. 2007. Metode Penelitian. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

Gunarsa, Singgih D. 2004. Psikologi Praktis Anak, Remaja dan Keluarga, Cetakan. 7.
Jakarta : PT. Gunung Mulia

Ahmad, K & Hikmah. (2005). Perlindungan dan Pengasuhan Anak Usia Dini.
Jakarta: Depdiknas, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Direktorat Pembinaan

Anita, B. and Suryani, D. (2013) „dalam upaya efisiensi dan efektifitas pelayanan
policy analysis of bengkulu city health insurance as an‟, 2(2), pp. 151–160.

A.A. Muninjaya. (2004). Manajemen kesehatan.Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran


EGC: 220-234.

Ery Rustiyanto, Etika Profesi Perekam Medis dan Informasi Kesehatan, Graha Ilmu,
Yogyakarta, 2012.

Kemenkes RI. 2013. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu Di fasilitas Kesehatan
Dasar dan Rujukan. Jakarta: Kemenkes RI. Kemenkes RI. 2015. Buku Kesehatan Ibu
dan anak. Jakarta: Kemenkes RI.
KEPMENKES RI Nomor 369 Tahun 2007 Tentang Standart Profesi Bidan. Menteri
Kesehatan Republik Indonesia

Hendri J, RES RN, Prasetyowati H. Tempat Perkembangbiakan Nyamuk Aedes spp.


Di Pasar Wisata Pangandaran. Aspirator. 2010;2 No. 1:23-31.

Aisyah, S., Amini, M., Chandrawati, T., & Novita (2014), D.Perkembangan dan
Konsep Dasa Pengembangan Anak Usia Dini, Jakarta:Penerbit Universitas
Terbuka,2014,hlm.1.3- 1.11

Anda mungkin juga menyukai