Disusun Oleh :
ANASTASYA FATARI
P101 21 080
UNIVERSITAS TADULAKO
2022
Materi 1 : Indikator kesehatan
Indikator utama derajat kesehatan masyarakat adalah angka kematian bayi (AKB)
atau Infant Mortality Rate (IMR). Dari hasil penelitian yang ada, angka kematian bayi
ini tidak berdiri sendiri, melainkan terkait dengan faktor-faktor lain, terutama gizi.
Bayi atau anak balita yang kekurangan gizi sangat rentan terhadap penyakit-penyakit
infeksi, termasuk diare dan infeksi saluran akut, utamanya pneumonia (Notoatmodjo,
2007). Gizi untuk bayi yang paling sempurna dan paling murah adalah Air Susu Ibu
(ASI). Manfaat ASI saat ini sudah tidak dapat diragukan lagi dan pemerintah juga
telah menggalakkan pemberian ASI secara eksklusif. Namun, setelah
sekurangkurangnya bayi berumur diatas 4 bulan, untuk memenuhi kebutuhan akan zat
gizi, bayi biasanya diberikan susu formula atau makanan tambahan lainnya
(Notoadmodjo, 2007).
Seperti halnya nutrisi pada umumnya, ASI mengandung komponen makro dan mikro
nutrien. Yang termasuk makronutrien adalah karbohidrat, protein, dan lemak,
sedangkan mikronutrien adalah vitamin dan mineral. ASI hampir 90%nya terdiri dari
air. Volume dan komposisi nutrien ASI berbeda untuk setiap ibu tergantung dari
kebutuhan bayi (Hendarto dan Pringgadini, 2008). Menurut WHO menyusui
mempunyai keuntungan bagi ibu dan anaknya untuk jangka waktu pendek ataupun
jangka waktu panjang, termasuk salah satunya adalah membantu melindungi anak
melawan berbagai macam penyakit akut dan kronis. Hasil tinjauan ulang dari suatu
studi di beberapa negara berkembang menunjukkan bahwa balita yang tidak disusui 6
sampai 20 kali banyak yang meninggal di bulan pertama kehidupannya dibandingkan
dengan balita yang disusui. Beberapa studi juga menyimpulkan bahwa obesitas pada
masa kanak-kanak dan remaja jarang terjadi di antara anak-anak yang mendapat ASI
(WHO, 2009).
Kematian ibu atau maternal death menurut batasan dari Tenth Revision of The
International Classification of Disease (ICD-10) adalah kematian wanita yang terjadi
pada saat kehamilan, atau dalam 42 hari setelah berakhirnya kehamilan. Kematian ibu
disebabkan oleh kejadian yang berhubungan dengan kehamilan, atau yang diperberat
oleh masalah pada saat kehamilan ataupun penanganan pada masalah kehamilan yang
kurang tepat. Kematian ibu bukan kematian yang disebabkan oleh kecelakaan atau
kebetulan (WHO, 2010 dalam Dinas Kesehatan Prov. DIY, 2017).
Kasus kematian ibu pada tingkat Kabupaten/ Kota pada tahun 2017 terbanyak terjadi
di Kabupaten Gunung Kidul yaitu 12 kasus dan terendah di Kabupaten Kulon Progo
yaitu tiga kasus. AKI di Kabupaten Bantul pada tahun 2017 mengalami penurunan
dibandingkan pada tahun 2016. Kasus kematian ibu di Kabupaten Bantul tahun 2017
tercatat sebesar 72,85/100.000 KH yaitu sejumlah sembilan kasus, sedangkan pada
tahun 2016 sebanyak 12 kasus sebesar 97,65/100.000. Angka tersebut menjadi tolak
ukur penurunan AKI yang menandakan upaya yang telah dilakukan di Kabupaten
Bantul untuk menurunkan AKI belum mencapai target dalam SDG’s yaitu
70/100.000 KH (Dinas Kesehatan Kab. Bantul, 2018).
Angka kematian bayi (infant mortality rate) merupakan salah satu indikator penting
dalam menentukan tingkat kesehatan masyarakat karena dapat menggambarkan
kesehatan penduduk secara umum. Angka ini sangat sensitif terhadap perubahan
tingkat kesehatan dan kesejahteraan. Angka kematian bayi tersebut dapat
didefinisikan sebagai kematian yang terjadi antara saat setelah bayi lahir sampai bayi
belum berusia tepat satu tahun (Badan Pusat Statistik Indonesia, 2014 dalam Dinas
Kesehatan Prov. DIY, 2017). Kasus kematian bayi tertinggi terjadi di Kabupaten
Bantul yaitu sebanyak 108 kasus dan terendah di Kota Yogyakarta yaitu 33 kasus. 3
Penyebab umum kematian bayi dan neonatal di DIY adalah Berat Bayi Lahir Rendah
(BBLR) dan sepsis. Jumlah kasus kematian bayi yang terjadi di Kabupaten Bantul
menjadi tugas bersama bagi tenaga kesehatan untuk mengupayakan penurunan kasus
kematian bayi agar tidak semakin tinggi (Dinas Kesehatan Prov. DIY, 2017).
Kehamilan, persalinan, nifas dan Bayi Baru Lahir (BBL) merupakan suatu keadaan
yang fisiologis namun dalam prosesnya terdapat kemungkinan suatu keadaan yang
dapat mengancam jiwa ibu dan bayi bahkan dapat menyebabkan kematian. Asuhan
kebidanan komprehensif merupakan asuhan kebidanan yang diberikan secara
menyeluruh dan berkelanjutan sejak ibu hamil hingga ibu dapat menentukan pilihan
alat kontrasepsinya setelah bersalin. Asuhan yang dilakukan oleh bidan dan secara
berkala ini akan melibatkan ibu dan juga lingkungannya (Prawirohardjo, 2009).
Antenatal Care (ANC) sebagai salah satu upaya penapisan awal dari faktor risiko
kehamilan. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), antenatal care selama
kehamilan untuk mendeteksi dini terjadinya risiko tinggi terhadap kehamilan dan
persalinan juga dapat menurunkan angka kematian ibu dan memantau keadaan janin.
Salah satu upaya yang dilakukan untuk menurunkan AKI dan AKB adalah ANC
terpadu, meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan, memberikan informasi
pentingnya memberikan Air Susu Ibu (ASI) dan Keluarga Berencana (KB),
penggunaan buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) secara efektif dan benar,
memberikan penyuluhan kepada remaja dan pendewasaan usia perkawinan,
persalinan 4 tangan, memberikan konseling KB pascapersalinan, dan mengadakan
kelas ibu hamil (Dinas Kesehatan Prov. DIY, 2016).
Continuity Of Care (COC) adalah suatu proses yang dilakukan oleh tenaga kesehatan
yang kooperatif terlibat dalam manajemen pelayanan kesehatan secara terus menerus
untuk menuju pelayanan yang berkualitas tinggi. COC merupakan ciri dan tujuan
utama pengobatan 4 keluarga yang lebih menitik beratkan kepada kualiatas pelayanan
kepada pasien (keluarga) dengan dibantu oleh bidan (tenaga kesehatan) agar
mendapat asuhan berkelanjutan berkesinambungan yang berkualitas (Estiningtyas dan
Nuraisya, 2013)
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang telah menghadapi beberapa
perubahan dan tantangan strategis yang mendasar. Tujuan bangsa Indonesia tertuang
dalam pembukaan UUD 1945 yang diselenggarakan melalui pembangunan nasional
termasuk pembangunan kesehatan. Dalam mendukung terlaksananya pembangunan
kesehatan memerlukan dukungan dari Sistem Kesehatan Nasional yang kuat. SKN dijadikan
sebuah acuan dalam pendekatan pelayanan kesehatan primer. Hal ini merupakan sebuah
pendekatan yang tepat untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang diformulasikan
sebagai visi Indonesia Sehat (Adisasmito Wiku, 2009) Sistem kesehatan suatu negara sangat
dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan kesehatan yang ditetapkan oleh penentu kebijakan
baik pemerintah atau swasta. Kebijakan kesehatan itu sendiri dipengaruhi oleh segitiga
kebijakan yakni konteks (faktor ekonomi, sosial budaya, politik), konten/isi, proses
pengambilan kebijakan dan aktor yang berperan (policy elites) (Buse, Kent, et all, 2005). SKN
Indonesia memiliki 3 landasan meliputi landasan idiil yaitu Pancasila, landasan
konstitusional yaitu UUD Negara RI khususnya pasal 28 dan 34, dan landasan operasional
yaitu UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Peraturan Presiden Republik Indonesia,
2012).
Sistem Kesehatan Nasional (SKN) adalah suatu tatanan yang dirancang secara khusus
guna mewujudkan kesehatan masyarakat yang tinggi sebagai bukti kesejahteraan
umum seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Pelayanan kesehatan
yang sudah diselenggarakan pemerintah dilakukan secara berjenjang sesuai dengan
peraturan Menteri Kesehatan N0. 01 tahun 2012. Layanan tingkat primer merupakan
tempat pertama kali pasien kontak dengan tenaga kesehatan seperti Puskesmas,
dokter praktek keluarga, klinik, kecuali dalam gawat darurat. Dokter layanan primer
bertanggung jawab terhadap terhadap kebutuhan rujukan pasien ke pelayanan tingkat
sekunder (rumah sakit tipe D, C, B). Sedangkan dokter yang memberikan pelayanan
di tingkat sekunder bertanggung jawab terhadap kebutuhan rujukan pasien ke
pelayanan tersier baik rumah sakit tipe A dan B pendidikan (Kementrian Kesehatan,
2012).
Berdasarkan penelitian oleh Naik (2010), menyatakan bahwa lima dimensi tersebut
dapat memperhatikan secara rinci menangani keluhan dan dapat meningkatkan
kualitas pelayanan menjadi lebih baik kepada pelanggan. Lima metode tersebut dapat
diukur menggunakan alat ukur berupa kuesioner guna mengetahui seberapa besar
mutu pelayanan kesehatan di rumah sakit berdasarkan persepsi dan harapan pasien.
Strategi kebijakan yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan tersebut yaitu melalui
usaha mendorong memelihara dan meningkatkan kesehatan terutama melalui langkah
promotif dan preventif yang didukung oleh upaya kuratif dan rehabilitatif. Untuk menunjang
keberhasilan pembangunan di bidang kesehatan, maka diperlukan dukungan dari berbagai
pihak diantaranya pengelola Sistem Pencatatan dan Pelaporan Terpadu Puskesmas (SP2TP).
Pengelola SP2TP diharapkan memiliki kinerja yang baik agar dalam melakukan pencatatan
dan pelaporan terpadu puskesmas terutama yang berkaitan dengan kegiatan pencatatan
dan pelaporan data umum, sarana, tenaga dan upaya pelayanan kesehatan di Puskesmas.
SP2TP adalah kegiatan pencatatan dan pelaporan data umum, sarana, tenaga dan upaya
pelayanan kesehatan di Puskesmas yang bertujuan agar didapatnya semua data hasil
kegiatan Puskesmas (termasuk Puskesmas dengan tempat tidur, Puskesmas Pembantu,
Puskesmas keliling, bidan di Desa dan Posyandu) dan data yang berkaitan, serta
dilaporkannya data tersebut kepada jenjang administrasi diatasnya sesuai kebutuhan secara
benar, berkala dan teratur, guna menunjang pengelolaan upaya kesehatan masyarakat
(Ahmad, 2005).
Dampak dari pada keterlambatan pelaporan bulanan Sistem Pencatatan dan Pelaporan
Terpadu Puskesmas adalah tidak tersedianya data yang up to date yang dapat
digunakan sebagai informasi yang akurat/relevan bagi dinas yang terkait, sehingga
akan mempengaruhi dalam proses pengambilan keputusan membuat suatu kebijakan
yang berhubungan dengan permasalahan kesehatan yang ada di daerah. Suryani
(2013) menyatakan bahwa SP2TP adalah untuk memenuhi kebutuhan administrasi di
tingkat yang lebih tinggi untuk mengembangkan, menentukan kebijakan dan
dimanfaatkan oleh pusat kesehatan untuk meningkatkan upaya pusat kesehatan,
melalui perencanaan, mobilisasi, pelaksanaan, pemantauan, kontrol dan penilaian
(Suryani,2013).
Beberapa penelitian membuktikan bahwa ada pengaruh dari pengelolaan data suatu
program dengan pengambilan keputusan salah satunya yang dilakukan oleh Shafwan
(2008) tentang pengelolaan data informasi status gizi balita dan pengambilan
keputusan program gizi di puskesmas se kabupaten Majene, diketahui bahwa data dan
informasi status gizi balita disemua puskesmas tersedia, namun tidak akurat karena
ada unsur rekayasa dan rendahnya keterampilan kader. Tidak valid karena arsip
laporan ada yang tidak ditandatangani kepala puskesmas. Tidak tepat waktu karena
ketidakdisiplinan kader, faktor geografis, kurang penekanan dari dinas. Aksesibel
karena keaktifan petugas mengarsipkan data. Data diolah secara manual dan disajikan
dalam bentuk narasi, tabel dan grafik. Keputusan yang diambil tidak berdasarkan data
sehingga laporan hanya sebagai rutinitas (Shafwan,2008).
Penelitian lain yang mendukung adalah penelitian Hermiyanti, Pitrani dan Hasanah
(2015) tentang peran sistem pencatatan pelaporan terpadu puskesmas (SP2TP) dalam
mendukung upaya pengendalian penyakit DBD kota Palu diketahui bahwa laporan
akhir menentukan respon dari otoritas kesehatan, sehingga pencegahan DBD sering
tidak tepat waktu. Selain itu ada isu-isu lain, terkait dengan penyelidikan
epidemiologi, pelaksanaan fogging dan sistem perekaman. Teratur dievaluasi menjadi
penting untuk meningkatkan pencatatan dan pelaporan sistem pusat kesehatan
terpadu, sehingga laporan yang diterima tepat waktu.
Ketentuan yang berkaitan dengan rangkaian kegiatan dalam system informasi rumah
sakit di Indonesia tertuang dalam Undang-Undang nomor 44 tahun 2009 tentang
Rumah Sakit, bahwa setiap rumah sakit wajib melakukan pencatatan dan pelaporan
tentang semua kegiatan penyelenggaraan rumahsakit, termasuk kegiatan rawat inap.
Salah satu dasar dalam pembuatan laporan kegiatan rawatinap adalah Sensus Harian
Rawat Inap (SHRI) yang kegiatannya dihitung mulai jam 00.00 sampai dengan jam
24.00 setiap harinya (Rustiyanto, 2010). Data sensus merupakan data yang harus
dikumpulkan setiap hari dan merupakan aktivitas pasien selama 24 jam periode lapor,
termasuk pada pasien yang masuk dan keluar pada 24 jam sebelumnya (Hatta, 2008).
Dalam buku Pedoman Pelayanan Rekam Medis RS. Islam Klaten tahun 2013, laporan
yang dibuat di RS.Islam Klaten meliputi laporan kegiatan pelayanan, morbiditas,
mortalitas baik rawat jalan maupun rawat inap, efisiensi pelayanan rawat inap dan
laporan indicator pelayanan lainnya. Laporan tersebut digunakan untuk kepentingan
internal yang dibutuhkan oleh manajemen untuk pengambilan keputusan serta
kepentingan yang dibutuhkan oleh Dinas Kesehatan kota maupun Dinas Kesehatan
Propinsi. Berdasarkan hasil wawancara pada saat studi pendahuluan dengan petugas
pelaporan rekam medis pada bulan Oktober 2014, bahwa sistem pembuatan SHRI
masih dilakukan secara manual, dimana setiap hari petugas harus berkeliling ke
semua ruang rawat inap untuk mengambilnya. Rumah Sakit Islam Klaten mempunyai
11 ruang rawat inap yang berada dalam tiga lantai, sehingga petugas membutuhkan
waktu sekitar 1,5 s/d 2 jam.
Selain membutuhkan waktu dalam pengambilannya, SHRI yang dibuat secara manual
seringkali ditemukan ketidakcocokan item data antara SHRI dengan register pasien
masuk rawat inap dari Bagian Pendaftaran. Petugas pengolahan data dan pelaporan
rekam medis harus melakukan verifikasi ulang untuk mendapatkan data yang valid,
sebelum mengolah data SHRI menjadi laporan statistic rumah sakit. Waktu verifikasi
yang dibutuhkan rata-rata 15 menit tiap ruang. Ketidak sesuaian data rata-rata terjadi
antara 2-5 ruang rawat inap setiap hari. Lamanya waktu yang dibutuhkan petugas
mulai dari pengambilan SHRI sampai dengan verifikasi kesesuaian data SHRI dengan
register rawat inap dan keadaan yang sebenarnya di ruang rawat inap adalah sekitar
2,5s/d 3 jam. Hal tersebut mengakibatkan kinerja petugas kurang efektif dan efisien
serta laporan tidak bias disajikan tepat waktu.
Dalam penelitian Latifah (2014), pengolahan dan pencatatan SHRI di RSJD DR.
Amino Gondokusumo Semarang juga masih menggunakan bahan dari kertas dalam
bentuk formulir SHRI. Pencatatan SHRI yang dilakukansecara manual atau
menggunakan sistem lama mengharuskan petugas untuk lebih teliti dalam pengisian
data. Setiap pagi petugas analising reporting mengambil SHRI kesetiap bangsal
dengan jarak yang cukup jauh dan memakan waktu yang lama sehingga ketepatan
dan kecepatan pelaporan rekap SHRI menjadi kurang tepat waktu. Berdasarkan
permasalahan tersebut dan kondisi software yang tidak terintegrasi peneliti merasa
penting untuk dilakukan pengembangan sistem. Hal tersebut didukung oleh
ketersediaan komputer di semua ruang rawat inap dan ruang intensif di RS.Islam
Klaten yang sudah terhubung dengan sistem LAN serta dukungan dari pihak
manajemen yang terus berupaya untuk mengembangkan system komputerisasi di
semua bagian sesuai dengan Visi RS.Islam Klaten yaitu “Menjadi RumahSakit yang
Islami, Unggul dalam Pelayanan & Teknologi.
Menururt Hatta (2013), rekam medis merupakan kumpulan fakta tentang kehidupan
seseorang dari riwayat penyakit termasuk keadaan sakit, pengobatan saat ini dan saat
lampau yang ditulis oleh para praktisi kesehatan dalam upaya mereka memberikan
pelayanan kesehatan kepada pasien. Proses penyelenggaraan rekam medis di rumah
sakit, yaitu : (1)penerimaan pasien; (2)pencatatatan; (3)pengolahan data (assembilng,
coding, indeksing); (4)analisa dan pelaporan data (analising and reporting); (5)
penyimpanan; dan (6) pengambilan kembali berkas rekam medis (Rustiyanto, 2012).
Penjelasan dalam Undang-Undang nomor 44 tahun 2009, bahwa setiap rumah sakit
wajib melakukan pencatatan dan pelaporan tentang semua kegiatan penyelenggaraan
rumah sakit, termasuk kegiatan rawat inap. Menurut Permenkes RI
No.1171/Menkes/PER/VI/2011, Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) adalah suatu
proses pengumpulan, pengolahan dan penyajian data rumah sakit. Penyelenggaraan
rekam medis yang baik akan menunjang terselenggaranya upaya peningkatan
pelayanan kesehatan di rumah sakit, salah satunya adalah pembuatan laporan yang
dilakukan oleh setiap rumah sakit dengan sumber data pelaporan berasal dari sensus
harian rawat jalan, sensus harian rawat inap, register masing-masing unit pelayanan
dan berkas rekam medis (Budi, 2011).
Sensus harian rawat inap merupakan kumpulan data pasien yang masuk dan keluar
bangsal. Sensus harian rawat inap memuat informasi semua pasien masuk, pindahan,
dipindahkan dan keluar baik dalam keadaan hidup maupun meninggal dunia selama
24 jam mulai dari pukul 00.00 WIB sampai dengan 24.00 WIB setiap harinya.
Informasi yang diperoleh dari sensus harian rawat inap yaitu berupa data yang akan
diolah menjadi sebuah informasi yang dibutuhkan oleh rumah sakit (Hatta, 2013).
Peranan kegiatan sensus harian rawat inap dalam rekam medis adalah sebagai data
dalam kegiatan reporting dalam pembuatan sensus harian rawat inap mengacu pada
standar dan prosedur yang telah ditentukan oleh direktur rumah sakit serta diolah
dengan cepat, tepat dan akurat sehingga dapat menghasilkan informasi yang
berkualitas. Jika pengolahan data sensus harian pasien rawat inap tidak cepat, tepat
dan akurat maka akan menyulitkan tenaga rekam medis dalam proses pembuatan
pelaporan rumah sakit sehingga tidak dapat dipertanggung jawabkan.
Penelitian oleh Yunita (2012) di RSUD Banyumas, dari hasil penelitian diketahui
bahwa hanya 22,22 % ruang rawat yang pengisian datanya lengkap. Pengelolaan data
dilakukan secara manual, petugas selain melakukan pekerjaan pokok juga melakukan
tugas lain. Rekapitulasi data tidak dilakukan setiap hari. Kelebihan dari kegiatan ini
adalah perawat selalu mengisikan data sensus setiap jam 00.00 WIB.
Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Kurniawan, Lestari dan Rohmadi (2010),
tentang Analisis Pemanfaatan Data Sensus Harian Rawat Inap Untuk Pelaporan
Indikator Pelayanan Rawat Inap Di RSUD Dr. Soeroto Ngawi , didapatkan bahwa
kebijakan pemanfaatan data SHRI sudah terlampir tetapi tidak ada prosedur tetap
tentang pemanfaatan data SHRI. Pihak yang mengolah data SHRI adalah petugas
analising reporting. Data yang digunakan untuk pembuatan Indikator Pelayanan
Rawat Inap hanya hari Perawatan dan lama dirawat pasien sebagai dasar
penghitungan BOR, AvLOS, TOI sedangkan BTO diambil dari register pasien rawat
inap. Laporan dibuat dengan perhitungan secara manual dan komputerisasi disajikan
berbentuk Tabel, Grafik Trend, Grafik Batang, Grafik Barber Johnson. Pihak yang
memanfaatkan informasi indikator pelayanan rawat inap adalah management rumah
sakit, dokter/mahasiswa, peneliti, badan akreditasi, dinas kesehatan.
Sesuai dengan penelitian Lolita, Nuryadi dan Kusworini (2017) di Rumah Sakit
Djatiroto Lumajang, diketahui bahwa rata-rata nilai BOR tahun 2011-2015 mencapai
49,8%. Rata-rata nilai ALOS sebesar 3, sedangkan rata-rata nilai TOI sebesar 3,5 dan
rata-rata nilai BTO sebesar 60. Hal ini menunjukkan bahwa pelayanan diRumah Sakit
Djatroto masih belum efisien.
Materi 6 : sistem informasi kesehatan daerah
Sistem informasi kesehatan menurut WHO dalam buku “Design and implementation
of health information system” Geneva (2000), adalah suatu sistem informasi
kesehatan yang tidak dapat berdiri sendiri, melainkan sebagai bagian dari suatu
sistem kesehatan. Sistem informasi kesehatan yang efektif memberikan dukungan
informasi sebagai proses pengambilan keputusan di segala jenjang. Untuk
mendukung pelaksanaan sistem informasi kesehatan tersebut pada tahun 2002
pemerintah melalui Menteri Kesehatan pengembangan sistem informasi kesehatan
daerah (SIKDA)”.
Salah satu aspek yang mempengaruhi kinerja Dinas Kesehatan Kota atau Kabupaten
seperti yang disebutkan di atas adalah aspek manajemen kesehatan, dimana Dinas
Kesehatan Kota atau Kabupaten mempunyai tugas mengelola data dan informasi
yang diperoleh baik dari puskesmas, rumah sakit, maupun sarana pelayanan
kesehatan yang lain. Sehubungan hal tersebut maka Dinas Kesehatan Kota atau
Kabupaten membutuhkan pengelolaan sistem informasi kesehatan yang baik agar
dalam pengambilan keputusan kebijakan pemerintah bisa lebih tepat sesuai kebutuhan
daerahnya.
Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 75 Tahun 2014 tentang Puskesmas pada Pasal
43 menjelaskan setiap puskesmas wajib melakukan kegiatan Sistem Informasi
Puskesmas. Sistem Informasi Puskesmas dapat diselenggarakan secara elektronik
atau non elektronik yang paling sedikit mencakup pencatatan dan pelaporan kegiatan
puskesmas dan jaringannya, survei lapangan, laporan lintas sektor terkait, dan laporan
jenjang fasilitas pelayanan kesehatan di wilayah kerjanya (Kementerian Kesehatan
RI, 2014 – 22)
Dalam sambutan Kepala Pusat Data dan Informasi di Pelatihan Sistem Informasi
Puskesmas menjelaskan bahwa puskesmas merupakan fasilitas pelayanan kesehatan
primer yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan
perseorangan tingkat pertama, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya di wilayah kerjanya. Untuk mengoptimalkan fungsi Puskesmas
tersebut diperlukan manajemen Puskesmas yang didukung sistem pencatatan dan
pelaporan yang berkualitas. Untuk keperluan tersebut dibutuhkan dukungan Sistem
Informasi Puskesmas yang baik, mulai dari pengumpulan data hasil pelaksanaan
kegiatan, sampai pada pengolahan dan pemanfaatannya (Kementerian Kesehatan RI,
2016 – 1-2).
Sistem Informasi Puskesmas yang dilakukan secara elektronik adalah versi terbaru
SIKDA Generik. Disebut versi terbaru karena SIKDA Generik merupakan bentuk
elektronik dari sistem pencatatan pelaporan di puskesmas dengan versi yang belum
sempurna, dimana hanya sebagian laporan yang dapat dikeluarkan. Sistem Informasi
Puskesmas elektronik selain dapat mencatat seluruh pelayanan juga dapat
menghasilkan seluruh laporan (Sibuea, 2016 – 25).
SIKDA Generik ini dirancang untuk menjadi standar bagi Pemerintah Daerah dalam
pengelolaan informasi kesehatan di daerah, meliputi pelaksana kesehatan yang ada
didalamnya yaitu Puskesmas, Dinas Kesehatan Kab/Kota, dan Dinas Kesehatan
Provinsi (Kementerian Kesehatan RI, 2011 – 5).
Sistem Informasi Puskesmas merupakan bagian dari Sistem Informasi Kesehatan,
dalam Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2014 tentang Sistem Informasi Kesehatan
pasal 34 dan 35 menjelaskan Sistem Informasi Kesehatan provinsi dikelola oleh unit
kerja struktural atau fungsional pada satuan kerja perangkat daerah provinsi yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan. Unit kerja struktural
atau fungsional melaksanakan kegiatan pengelolaan Data dan Informasi Kesehatan
pada skala provinsi, berupa permintaan data dan informasi kesehatan kepada pihak
yang terkait dengan pengelolaan Sistem Informasi Kesehatan, pengumpulan dan/atau
penggabungan data rutin dan non rutin dari sumber data, pengolahan data kesehatan,
analisis data sesuai kebutuhan, penyebarluasan informasi kesehatan dengan
menggunakan media elektronik dan/atau media nonelektronik sesuai kebutuhan,
penyediaan akses, pengiriman data dan informasi kesehatan yang dibutuhkan dalam
pengelolaan Sistem Informasi Kesehatan nasional, dan pelaksanaan pembinaan dan
fasilitasi pengembangan Sistem Informasi Kesehatan daerah kabupaten/kota dan
Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat kedua (Pemerintah RI, 2014 – 20-21).
Terdapat gap pada identitas pasien yaitu SIMPUS menggunakan konsep family,
sedangkan SIKDA dengan konsep individu, sehingga SIMPUS tidak dapat
menghasilkan laporan individual pasien dan 4 laporan 10 besar penyakit perwilayah
(maping) untuk memenuhi standar SIKDA Generik. SIMPUS belum terhubung
dengan pelayanan penunjang dan pelayanan luar gedung, sedangkan SIKDA Generik
sudah terhubung. Pada sisi petugas, Puskesmas Kragan 2 masih kekurangan tenaga IT
(Information and Technology) dan masih membutuhkan pelatihan untuk memenuhi
kompetensi SIKDA Generik (Prasetyowati, 2016 – 15-22).
Aplikasi SIKDA dirancang untuk menjadi standar bagi pemerintah daerah dalam
pengelolaan informasi kesehatan di daerah, termasuk penyelenggaraan kesehatan di
dalamnya, yakni Puskesmas, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, dan Dinas Kesehatan
Provinsi (Kemenkes RI, 2015).
Penelitian yang dilakukan oleh Isnawati (2016) dengan judul “Implementasi Aplikasi
Sistem Informasi Kesehatan Daerah (SIKDA) Generik Di UPT. Puskesmas Gambut
Kabupaten Banjar” didapatkan bahwa kompetensi dan jumlah SDM masih kurang,
sehingga kompetensi SDM perlu ditingkatakan dan jumlah SDM perlu ditambah,
selain itu implementasi apliaksi SIKDA generik di puskesmas Gambut, belum
memiliki SK penugasan, tidak ada koordinasi sosialisasi sebelum
pengimplementasian aplikasi, dan tidak ada pelatihan atau bimbingan terkait aplikasi,
menyebabkan pengetahuan SDM terhadap aplikasi Sistem Informasi Kesehatan
Daerah (SIKDA) Generik kurang. Berdasarkan studi pendahuluan di i Puskesmas
Pademawu Pamekasan pada bulan Desember 2020 diketahui bahwa di puskesmas
tersebut telah menerapkan Aplikasi SIKDA Generik. Pada Aplikasi SIKDA tersebut
ditemukan beberapa kesulitan dalam mengentry data pasien diantaranya terlalu
banyak pengisian data pada tabel yang tertera, banyaknya fitur menu yang tidak
dimengerti, sehingga petugas sering mengalami kesulitan. Hal ini disebabkan, karena
pada awal pengoperasian aplikasi SIKDA dari pihak Dinas Kesehatan hanya
memberikan bimbingan kepada satu petugas saja dan petugas lain tidak diberikan
pelatihan secara berkala dalam mengakses aplikasi SIKDA, serta belum terdapat SOP
(Standart Operasional Prosedur) tentang penerapan Aplikasi SIKDA. Menurut
petugas rekam medis Di Puskesmas Pademawu Pamekasan, belum memiliki Surat
Keputusan tentang penunjukan siapa saja pengelola atau petugas.
Notoatmodjo, S. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta : Rineka Cipta.
Evelyn C.Pearce. 2008. Anatomi dan fisiologi untuk para medis. Jakarta: PT
Gramedia.
Agostini C., Braegger C., Decsi T., et al, 2009. Breast Feeding: A Commentary by
The European Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition.
49:113-4.
Roesli, U. 2009. Inisiasi Menyusu Dini Plus ASI Eksklusif. Jakarta: Pustaka Bunda
Kemenkes RI. 2015. Buku Kesehatan Ibu dan anak. Jakarta: Kemenkes RI
Dinkes DIY. 2017. Profil Kesehatan Provinsi DIY. Yogyakarta: Dinkes Profinsi DIY.
Wibowo. 2015. Perilaku Dalam Organisasi. Edisi Kedua. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Gunarsa, Singgih D. 2004. Psikologi Praktis Anak, Remaja dan Keluarga, Cetakan. 7.
Jakarta : PT. Gunung Mulia
Ahmad, K & Hikmah. (2005). Perlindungan dan Pengasuhan Anak Usia Dini.
Jakarta: Depdiknas, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Direktorat Pembinaan
Anita, B. and Suryani, D. (2013) „dalam upaya efisiensi dan efektifitas pelayanan
policy analysis of bengkulu city health insurance as an‟, 2(2), pp. 151–160.
Ery Rustiyanto, Etika Profesi Perekam Medis dan Informasi Kesehatan, Graha Ilmu,
Yogyakarta, 2012.
Kemenkes RI. 2013. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu Di fasilitas Kesehatan
Dasar dan Rujukan. Jakarta: Kemenkes RI. Kemenkes RI. 2015. Buku Kesehatan Ibu
dan anak. Jakarta: Kemenkes RI.
KEPMENKES RI Nomor 369 Tahun 2007 Tentang Standart Profesi Bidan. Menteri
Kesehatan Republik Indonesia
Aisyah, S., Amini, M., Chandrawati, T., & Novita (2014), D.Perkembangan dan
Konsep Dasa Pengembangan Anak Usia Dini, Jakarta:Penerbit Universitas
Terbuka,2014,hlm.1.3- 1.11