Anda di halaman 1dari 3

Peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang dilakukan secara berkelanjutan.

Upaya peningkatan SDM harus dimulai dari memperhatikan proses tumbuh kembang anak
sejak dalam kandungan sempai dewasa. Pada masa proses tumbuh kembang pemenuhan
kebutuhan dasar anak seperti perawatan dan makanan bergizi yang diberikan sesuai dengan
kebutuhan dan penuh kasih sayang dapat membentuk SDM yang sehat, cerdas, kuat dan
produktif. Pada masa proses tumbuh kembang pemenuhan kebutuhan dasar anak seperti
perawatan dan makanan bergizi yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhan dan penuh
kasih sayang karena hal itu dapat membentuk sumber daya manusia (SDM) yang sehat,
cerdas, kuat dan produktif sehingga dapat meningkatkan asset Negara (Depkes RI, 2002 dalam
Handayani, Mulasari dan Nurdianis 2008).
Konsep pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDG’s)
bidang kesehatan menjamin kehidupan yang sehat dan berkualitas untuk segala usia.
(Tumbelaka, P. et al, 2018). Guna mendukung ketercapaian target tersebut, Indonesia
membentuk unit atau pos pelayanan terpadu (posyandu) yaitu salah satu bentuk upaya
kesehatan bersumberdaya masyarakat (UKBM) yang dilaksanakan oleh, dari dan bersama
masyarakat, untuk memberdayakan dan memberikan kemudahan kepada masyarakat guna
memperoleh pelayanan kesehatan bagi ibu, bayi dan anak balita (KemenKes RI, 2012), Adapun
sasaran kegiatan posyandu adalah bayi, balita, ibu hamil, melahirkan, nifas dan menyusui, serta
pasangan usia subur, penimbangan berat badan bayi balita, pemberian tablet Fe, dan imunisasi
(Yusran, Erawan, Mardiana 2016).
Usia antara 0-5 tahun adalah merupakan periode yang sangat penting bagi pertumbuhan
anak, oleh sebab itu balita perlu ditimbang secara teratur sehingga dapat diikuti pertumbuhan
berat badannya. Anak yang sehat akan tumbuh pesat, bertambah umur bertambah berat
badannya. Agar kegiatan penimbangan dapat mempunyai makna secara efektif dan efesien,
maka hasil penimbangan setiap balita dapat dicantumkan pada grafik dalam KMS balita,
kemudian dipantau garis pertumbuhan setiap bulannya, sehingga setiap anak dapat diketahui
kesehatannya sejak dini. Hasil penimbangan balita di posyandu dapat juga dimanfaatkan oleh
masyarakat dan instansi atau aparat pembina untuk melihat sampai seberapa jauh jumlah balita
yang ada di wilayahnya tumbuh dengan sehat, sehingga dapat menggambarkan keberhasilan
dari kegiatan posyandu (Depkes RI, 2001).
Pemantauan berat badan balita akan berhasil dengan baik apabila ada partisipasi aktif
dari masyarakat yang ditandai dengan tingkat kehadiran ibu menimbangkan anaknya di
posyandu. Bentuk partisipasi masyarakat yang membawa balita datang ke posyandu dalam
program gizi di kenal dengan istilah D/S dimana D adalah jumlah balita yang ditimbang dan S
adalah jumlah semua balita yang berada di wilayah kerja.
Keberadaan posyandu dalam masyarakat memegang peranan penting, namun masih
banyak anggota masyarakat yang belum memanfaatkannya secara maksimal. Penurunan
partisipasi masyarakat dalam upaya kesehatan tersebut salah satunya dapat dilihat dari
pemanfaatan posyandu oleh keluarga yang mempunyai anak balita yaitu perbandingan antara
jumlah anak balita yang dibawa ke posyandu dengan jumlah anak balita seluruhnya dalam satu
wilayah kerja posyandu proporsinya masih rendah. Adapun standar pelayanan minimal untuk
D/S adalah 80% (Depkes RI, 2005). Cakupan penimbangan balita (D/S) sangat penting karena
merupakan indikator yang berkaitan dengan cakupan pelayanan gizi balita, cakupan pelayanan
dasar khususnya imunisasi dan prevalensi gizi kurang. Semakin tinggi cakupan D/S, semakin
tinggi cakupan vitamin A dan semakin tinggi cakupan imunisasi (Depkes RI, 2010).
Hipertensi merupakan masalah kesehatan masyarakat yang terjadi di negara maju
maupun negara berkembang. Hipertensi merupakan suatu keadaan dimana tidak ada gejala
yang yang ditimbulkan sebelumnya (Armilawati, 2007). Hipertensi merupakan salah satu
penyakit degeneratif yang harus diwaspadai. Hipertensi yaitu penyakit yang menyebabkan
angka kematian terbesar nomor tiga di Indonesia setalah stroke (15,4%) dan tuberculosis
(7,5%) (Depkes, 2008).
Prevalensi hipertensi berdasarkan hasil pengukuran pada penduduk usia ≥18 tahun
sebesar 34,1%, tertinggi di Kalimantan Selatan (44.1%), sedangkan terendah di Papua sebesar
(22,2%). Estimasi jumlah kasus hipertensi di Indonesia sebesar 63.309.620 orang, sedangkan
angka kematian di Indonesia akibat hipertensi sebesar 427.218 kematian. Hipertensi terjadi
pada kelompok umur 31-44 tahun (31,6%), umur 45-54 tahun (45,3%), umur 55-64 tahun
(55,2%). Dari prevalensi hipertensi sebesar 34,1%  diketahui bahwa sebesar  8,8% terdiagnosis
hipertensi dan 13,3% orang yang terdiagnosis hipertensi tidak minum obat serta 32,3% tidak
rutin minum obat. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar penderita Hipertensi tidak
mengetahui bahwa dirinya  Hipertensi sehingga tidak mendapatkan pengobatan (RISKESDAS,
2018).
Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan jumlah penderita hipertensi akan terus
meningkat seiring dengan jumlah penduduk yang bertambah pada 2025 mendatang
diperkirakan sekitar 29% warga dunia terkena hipertensi. WHO menyebutkan negara ekonomi
berkembang memiliki penderita hipertensi sebesar 40% sedangkan negara maju hanya 35%,
kawasan Afrika memegang posisi puncak penderita hipertensi, yaitu sebesar 40%. Kawasan
Amerika sebesar 35% dan Asia Tenggara 36%. Kawasan Asia penyakit ini telah membunuh 1,5
juta orang setiap tahunnya. Hal ini menandakan satu dari tiga orang menderita hipertensi.
Sedangkan di Indonesia cukup tinggi, yakni mencapai 32% dari total jumlah penduduk
(Widiyani, 2013).
Faktor yang memicu terjadinya hipertensi dibagi menjadi dua yaitu faktor pemicu yang
tidak dapat terkontrol (seperti halnya keturunan, umur, dan jenis kelamin), dan faktor pemicu
yang dapat dikontrol (kegemukan, merokok, kurang olah raga, konsumsi alkohol, dan konsumsi
garam berlebihan). Meningkatnya tekanan darah dapat juga dipengaruhi banyak jenis makanan
yang siap saji, serta kurangnya mengkonsumsi makanan yang berserat seperti buah dan sayur.
Faktor lain yang yang bisa memicu meningkatnya tekanan darah yaitu bertambahnya tingkat
kehidupan diperkotaan, seperti tingginya pengangguran, kemiskinan, kepadatan pemukiman
yang mengakibatkan gangguan mental, emosi, dan stress yang cukup tinggi (Julianti, 2010).
Air susu ibu (ASI) eksklusif berdasarkan peraturan pemerintah nomor 33 tahun 2012
adalah ASI yang diberikan kepada bayi sejak dilahirkan selama 6 bulan, tanpa menambahkan
dan atau mengganti dengan makanan atau minuman lain (kecuali obat, vitamin, dan mineral)
(Profil Kemenkes RI, 2012).
ASI mengandung kolostrum yang kaya akan antibodi karena mengandung protein untuk
daya tahan tubuh dan pembunuh kuman dalam jumlah tinggi sehingga pemberian ASI eksklusif
dapat mengurangi resiko kematian bayi. Kolostrum berwarna kekuningan dihasilkan pada hari
pertama sampai hari ketiga. Hari keempat sampai hari kesepuluh ASI mengandung
immunoglobin, protein, dan laktosa lebih sedikit dibandingkan kolostrum tetapi lemak dan kalori
lebih tinggi dengan warna susu lebih putih. Selain mengandung zat-zat makanan, ASI juga
mengandung zat penyerap berupa enzim tersendiri yang tidak akan mengganggu enzim di
usus. Susu formula tidak mengandung enzim sehingga penyerapan makanan tergantung pada
enzim yang terdapat di usus bayi (Kemenkes, 2014).

Anda mungkin juga menyukai