Anda di halaman 1dari 33

1.

UKS

https://eprints.uny.ac.id/26537/2/BAB%20I.pdf

Usaha kesehatan sekolah (UKS) adalah usaha yang dilakukan masyarakat yang dijalankan disekolah-
sekolah dengan anak didik beserta lingkungannya sebagai sasaran utama (Soenja Poernomo 2002 :
16). Dalam pengertian lain, UKS adalah usaha untuk membina dan mengembangkan kebiasaan dan
perilaku hidup sehat pada peserta didik usia sekolah yang dilakukan secara menyeluruh
(komprehensif) dan terpadu (integratif). Untuk optimalisasi program UKS perlu ditingkatkan peran
serta peserta didik sebagai subjek dan bukan hanya objek. Dengan UKS ini diharapkan mampu
menanamkan sikap dan perilaku hidup sehat pada dirinya sendiri dan mampu menolong orang lain.
Dari pengertian ini maka UKS dikenal pula dengan child to child programme. Program dari anak, oleh
anak, dan untuk anak yang bertujuan menciptakan anak yang berkualitas. Hidup sehat seperti yang
didefinisikan oleh badan kesehatan perserikatan bangsa-bangsa (PBB) World Health Organization
(WHO) adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan orang hidup
produktif secara sosial dan ekonomi. Sedangkan kesehatan jiwa adalah keadaan yang
memungkinkan perkembangan fisik, mental, intelektual, emosional, dan sosial yang optimal dari
seseorang. Dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 1992 pasal 45 tentang Kesehatan ditegaskan
bahwa : 2 ”Kesehatan Sekolah diselenggarakan untuk meningkatkan kemampuan hidup sehat
peserta didik dalam lingkungan hidup sehat sehingga peserta didik dapat belajar, tumbuh dan
berkembang secara harmonis dan optimal sehingga diharapkan dapat menjadikan sumber daya
manusia yang berkualitas”. Menurut Sumantri, M. (2007) peserta didik itu harus sehat dan orang tua
memperhatikan lingkungan yang sehat dan makan makanan yang bergizi, sehingga akan tercapai
manusia soleh, berilmu dan sehat (SIS). Dalam proses belajar dan pembelajaran materi
pembelajaran berorientasi pada head, heart dan hand, yaitu berkaitan dengan pengetahuan,
sikap/nilai dan keterampilan. Namun masih diperlukan faktor kesehatan (health) sehingga peserta
didik memiliki 4 H (head, heart, hand dan health). Usaha Kesehatan Sekolah adalah usaha yang
dijalankan di sekolahsekolah, dengan sasaran utama anak-anak sekolah dan lingkungannya. Secara
geris besar program UKS dapat dikelompokkan dalam 3 bidang atau disebut TRIAS UKS yaitu
pendidikan kesehatan, usaha pemeliharaan kesehatan sekolah, dan menciptakan lingkungan
kehidupan sekolah yang sehat. Usaha ini dijalankan mulai dari Sekolah Dasar (SD) sampai sekolah
lanjutan, sekarang pelaksanaannya diutamakan di sekolah-sekolah dasar. Hal ini disebabkan karena
SD merupakan komunitas (kelompok) yang sangat besar, rentan terhadap berbagai penyakit dan
merupakan dasar bagi pendidikan selanjutnya. Meskipun demikian bukan berarti mengabaikan
pelaksanaan selanjutnya di sekolah lanjutan. (Soenarjo R.J, 2002 : 4) 3 Sasaran pembinaan dan
pengembangan UKS meliputi peserta didik sebagai sasaran primer, guru pamong belajar/tutor orang
tua, pengelola pendidikan dan pengelola kesehatan serta Tim Pembina UKS di setiap jenjang sebagai
sasaran sekunder. Sedangkan sasaran tertier adalah lembaga pendidikan mulai dari tingkat pra
sekolah/TK sampai SLTA/MA, termasuk satuan pendidikan luar sekolah dan perguruan tinggi agama
serta pondok pesantren beserta lingkungannya. Sasaran lainnya adalah sarana dan prasarana
pendidikan kesehatan dan pelayanan kesehatan. Sasaran tertier lainnya adalah lingkungan yang
meliputi lingkungan sekolah, keluarga dan masyarakat sekitar sekolah. Untuk belajar dengan efektif
peserta didik sebagai sasaran UKS memerlukan kesehatan yang baik. Kesehatan menunjukkan
keadaan yang sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup
produktif secara sosial dan ekonomis. Kesehatan bagi peserta didik merupakan sangat menentukan
keberhasilan belajarnya di sekolah, karena dengan kesehatan itu peserta didik dapat mengikuti
pembelajaran secara terus menerus. Kalau peserta didik tidak sehat bagaimana bisa belajar dengan
baik.

2. Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat/UKBM  posyandu balita, posyandu lansia,

http://eprints.umpo.ac.id/957/2/BAB%20I.pdf

Posyandu lansia merupakan pusat kegiatan masyarakat dalam upaya pelayanan kesehatan
pada lanjut usia. Posyandu sebagai suatu wadah kegiatan yang bernuansa pemberdayaan
masyarakat, akan berjalan baik dan optimal apabila proses kepemimpinan terjadi proses
pengorganisasian, adanya anggota kelompok dan kader serta tersediannya pendanaan
(Azizah, 2011). Seiring dengan semakin meningkatnya populasi lanjut usia, pemerintah telah
merumuskan berbagai kebijakan pelayanan kesehatan lanjut usia ditujukan untuk
meningkatkan derajat kesehatan dan mutu kesehatan lanjut usia untuk mencapai masa tua
bahagia dan berguna dalam kehidupan keluarga dan masyarakat sesuai dengan
keberadaannya. Sebagai wujud nyata pelayanan sosial dan kesehatan pada lanjut usia,
pemerintah telah mencanangkan pelayanan pada lanjut usia melalui beberapa jenjang.
Pelayanan ditingkat masyarakat adalah Posyandu Lansia, pelayanan kesehatan lansia tingkat
dasar adalah Puskesmas, dan pelayanan kesehatan tingkat lanjutan adalah Rumah Sakit
(Fallen, 2011). Jumlah penduduk lanjut usia menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun.
Hal yang sejalan dengan meningkatnya usia harapan hidup serta menjadi tanda membaiknya
tingkat kesejahteraan masyarakat. Dari hasil Sensus Penduduk tahun 2010 menunjukkan
bahwa Indonesia termasuk lima besar negara dengan jumlah penduduk lanjut usia terbanyak
di dunia yaitu mencapai 18,1 juta jiwa pada 2010 atau 9,6 persen dari jumlah penduduk
(Abdi, 2013). Sedangkan di wilayah Jawa timur tahun 2010 lansia sebanyak 7.956.188 jiwa
dan 3.399.189 jiwa diantaranya (42,72%) telah mendapat pelayanan kesehatan (Profil
Kesehatan Profinsi Jawa Timur, 2010). Dari Badan pusat statistik (BPS) Kabupaten Magetan
terdapat penduduk lansia (60 tahun – 75+ tahun) sejumlah 620.442 jiwa di seluruh wilayah
Magetan, dengan jumlah lansia laki-laki sebanyak 302.208 jiwa dan jumlah lansia
perempuan sebanyak 318.234 jiwa. Oleh karena itu, Kementerian Kesehatan akan
menambah jumlah Puskesmas yang santun bagi lanjut usia karena bertambahnya jumlah
penduduk lansia akibat meningkatnya umur harapan hidup menyebabkan pelayanan
kesehatan yang ramah bagi kelompok tersebut semakin dibutuhkan. Dari Data Kementerian
Kesehatan, saat ini ada 528 Puskesmas Santun Lansia di 231 Kabupaten/Kota di Indonesia.
Jumlah kelompok lanjut Usia (Posyandu Lansia) yang memberikan pelayanan promotif dan
preventif ada 69.500 yang tersebar di semua provinsi di Indonesia. Namun, implementasi
posyandu lansia saat ini belum berjalan maksiamal (Kompas, 2013). Posyandu lansia
berkaitan dengan peningkatan sarana untuk mempertahankan kesehatan lansia, mencegah
gangguan kesehatan, mengobati penyakit dan upaya rehabilitasi bagi lansia dengan
program-program antara lain pengukuran tinggi badan dan berat badan, pemeriksaan
tekanan darah, pemeriksaan berkala dan pengobatan ringan, latihan fisik seperti olahraga
dan diberikan penyuluhan-penyuluhan tentang kesehatan. Sehingga lansia yang teratur
dalam memanfaatkan posyandu lansia akan terkontrol kesehatannya. Peran keluarga sangat
penting dalam meningkatkan derajat kesehatan dan kualitas hidup lansia, peran tersebut
meliputi peran perawatan keluarga, pendorong, inisiator-kontributor, penghubung keluarga
dan pencari nafkah. Selain itu, peran keluarga dapat dilakukan melalui perubahan perilaku
kearah perilaku hidup bersih dan sehat dalam tatanan keluarga, perbaikan lingkungan (fisik,
biologis, sosial-budaya, ekonomi), membantu penyelenggaraan yankes (promotif, preventif,
kuratif, rehabilitatif), dan Ikut dalam proses kontrol dan evaluasi pelaksanaan pelayanan bagi
lansia (Depkes, 2013). Oleh karenanya, peran keluarga dalam merawat lanjut usia sangat
penting untuk menjaga kesehatan dan kesejahteraan usia lanjut. Begitu juga dengan lansia,
dengan adanya peran keluarga yang baik dan mendukung akan memberikan motivasi dalam
diri lansia untuk menjaga kesehatannya dan teratur datang ke posyandu lansia. Dengan
demikian derajat kesehatan lansia akan meningkat sehingga tercapai masa tua yang bahagia
dan sejahtera. (Azizah, 2011)

3. Advokasi keluarga berniali IKS pra sehat/tidak sehat (1 baru, 2 lama)  jadi 1 latar belakang

http://repository.unissula.ac.id/16390/7/BAB%20I.pdf

Indeks Keluarga Sehat (IKS) adalah perhitungan kedua belas indikator keluarga sehat dari setiap
keluarga yang besarnya berkisar antara 0 sampai dengan 1. Keluarga yang tergolong dalam keluarga
sehat adalah keluarga dengan IKS > 0,8 (Kementrian Kesehatan RI, 2016). Capaian IKS masih
tergolong rendah untuk beberapa daerah di Indonesia, hasil perhitungan IKS dari 9 provinsi sasaran
awal yaitu Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa
Timur, Banten dan Sulawesi Selatan per 8 Juni 2017 didapatkan keluarga yang memiliki IKS di atas
0,8 sebesar 0,163 dari 570.326 keluarga (Pusdatin, 2018).

4. Penyuluhan UKS Gizi

http://repository.poltekkes-denpasar.ac.id/715/2/BAB%201.pdf

Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin (Hb) dalam darah kurang dari normal.
Faktor-faktor penyebab anemia gizi besi adalah status gizi yang dipengaruhi oleh pola makanan,
sosial ekonomi keluarga, lingkungan dan status kesehatan. Meskipun anemia disebabkan oleh
berbagai faktor, namun lebih dari 50 % kasus anemia yang terbanyak diseluruh dunia secara
langsung disebabkan oleh kurangnya masukan zat besi. Kekurangan zat besi dapat menimbulkan
gangguan atau hambatan pada pertumbuhan, baik sel tubuh maupun sel otak. Kekurangan kadar Hb
dalam darah dapat menimbulkan gejala lesu, lemah, letih, lelah dan cepat lupa. Akibatnya dapat
menurunkan prestasi belajar, olah raga dan produktifitas kerja. Selain itu anemia gizi besi akan
menurunkan daya tahan tubuh dan mengakibatkan mudah terkena infeksi (Masrizal, 2007). Anemia
dapat menyebabkan darah tidak cukup mengikat dan mengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh
tubuh. Kekurangan oksigen akan berakibat pada sulitnya berkonsentrasi sehingga prestasi belajar
menurun, daya tahan fisik rendah yang mengakibatkan mudah sakit karena daya tahan tubuh
rendah dan mengakibatkan jarang masuk sekolah atau bekerja. Akibat dari anemia ini jika tidak
diberi intervensi dalam waktu lama akan menyebabkan beberapa penyakit seperti gagal jantung
kongestif, penyakit infeksi kuman, thalasemia, gangguan sistem imun, dan meningitis (DILLA Nursari,
2010).

5. Penyuluhan Kesling

http://repository.poltekkes-denpasar.ac.id/283/3/BAB%20I.pdf
Kebersihan lingkungan sekolah merupakan aspek yang penting untuk menciptakan kesehatan
lingkungan sekolah. Karena bila lingkungan sehat maka semua makhluk hidup yang ada
disekelilingnya juga akan dapat bernafas dengan baik. Terutama siswa akan dapat menerima
pelajaran dengan baik. Karena bila ruangan kelas bersih maka udara akan sejuk. Oleh karena itu otak
akan menjalankan fungsi dan kegunaannya dengan sempurna (Sumiyati, 2015). Menurut UU No. 36
tahun 2009 tentang Kesehatan bahwa “kesehatan sekolah diselenggarakan untuk meningkatkan
kemampuan hidup sehat peserta didik dalam lingkungan hidup sehat, sehingga peserta didik dapat
belajar tumbuh dan berkembang secara harmonis dan setinggi-tingginya menjadi sumber daya
manusia yang berkualitas”. Lingkungan sekolah yang sehat sangat diperlukan guna mendukung
proses kegiatan belajar mengajar dan membiasakan perilaku hidup bersih dan sehat, tidak hanya
pada murid , guru dan staf sekolah lainya, akan tetapi meluas sampai masyarakat di luar lingkungan
sekolah. Diluar lingkungan sekolah, anak sekolah diharapkan dapat berperan sebagai agen
perubahan untuk menciptakan lingkungan sekolah yang sehat. Untuk itu diperlukan sarana dan
prasarana sekolah yang memadai, seperti penyediaan air bersih, pemanfaatan jamban, perilaku cuci
tangan pakai sabun dan sebagainya (Purba, 2010). Sekolah sebagai sarana pendidikan formal di
Negeri ini, sudah sepatutnya menjadi tempat yang nyaman untuk belajar agar ilmu dapat terserap
maksimal oleh siswa. Walaupun kebersihan sering kali dianggap tidak penting namun hal kecil
tersebut dapat berdampak besar terhadap proses belajar mengajar di sekolah. Sekolah yang kotor
maka kegiatan belajar mengajar akan terganggu, sekolah akan menjadi sarang penyakit, sekolah
ibarat rumah yang kedua apabila kebersihannya kurang maka warga sekolah akan terancam
kesehatannya (Sumiyati, 2015).

6. Penyuluhan P2P
7. Penyuluhan TB
8. Penyuluhan jiwa
9. Penyuluhan KIA

http://repository.poltekkes-denpasar.ac.id/7807/2/BAB%20I.pdf

Kehamilan risiko tinggi adalah keadaan yang dapat mempengaruhi keadaan ibu maupun janin pada
kehamilan yang dihadapi (Manuaba, 2012). Ibu hamil yang mengalami gangguan medis atau masalah
kesehatan akan dimasukan kedalam kategori risiko tinggi, sehingga kebutuhan akan pelaksanaan
asuhan pada kehamilan menjadi lebih besar (Robson dan Waugh, 2012).Adapun dampak yang dapat
ditimbulkan akibat ibu hamil dengan risiko tinggi sendiri dapat berdampak antara lainkeguguran,
partus macet, perdarahan antepartum, janin mati dalam kandungan (Intra Uterine Fetal Death),
keracunan dalam kehamilan, bayi lahir belum cukup bulan, dan bayi berat lahir rendah. Dampak dari
kehamilan risiko tinggi ini dapat dicegahmelaluipemeriksaan kehamilan (antenatal care) secara
teratur yang bertujuan untuk menjaga ibu agar sehat selama masa kehamilan, persalinan, dan nifas
serta mengusahakan bayi yang di lahirkan sehat, memantau kemungkinan adanya risiko kehamilan,
dan merencanakan penatalaksanaan yang optimal terhadap kehamilan risiko tinggi serta
menurunkan morbiditas dan mortalitas ibu dan bayi. Pelayanan antenatal dapat mendeteksidan
menangani kasus risiko tinggi secara memadai, pertolongan persalinan yang bersih dan aman,
sertapelayanan rujukan kebidanan/perinatal yang terjangkau. Pelayanan kesehatan ibu hamil harus
memenuhi frekuensi minimal di tiap trimester, yaitu minimal satu kali pada trimester pertama (usia
kehamilan 0-12 2 minggu), minimal satu kali pada trimester kedua (usia kehamilan 12-24 minggu),
dan minimal dua kali pada trimester ketiga (usia kehamilan 24 minggu sampai menjelang
persalinan). Standar waktu pelayanan tersebut dianjurkan untuk menjamin perlindungan terhadap
ibu hamil dan janin berupa deteksi dini faktor risiko, pencegahan, dan penanganan dini komplikasi
kehamilan (Kemenkes RI, 2020). Pentingnya Antenatal Care terpadu dalam pemeriksaan ibu hamil
resiko tinggi diharapkan dapatdilakukan sesuai standar minimal asuhan antenatalyang dilaksanakan
secara berkesinambungan dan menyeluruh sehingga mampu mendeteksi dan menangani risiko
tinggi pada ibu hamil. Salah satu indikator yang peka terhadap kualitas dan aksesibilitas fasilitas
pelayanan Kesehatan adalah Angka Kematian Ibu (AKI) (Kemenkes RI, 2020). Berdasarkan data
dariWorld Health Organization (WHO) menyatakan Angka Kematian Ibu (AKI) di dunia pada tahun
2015 adalah 216 per 100.000 kelahiran hidup atau diperkirakan jumlah kematian ibu adalah 303.000
kematian. Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2019 Angka Kematian Ibu (AKI) di
Indonesia masih sangat tinggi yaitu sebesar 305 per 100.000 kelahiran hidup (Kemenkes RI, 2020).
Menurut Kemenkes RI Tahun 2019, penyebab kematian ibu terbanyak adalah perdarahan (1.280
kasus), hipertensi dalam kehamilan (1.066 kasus), infeksi (207 kasus).

10. Penyuluhan KB

http://eprints.ums.ac.id/16102/3/03_BAB_I.pdf

Program keluarga berencana merupakan salah satu program pembangunan nasional yang sangat
penting dalam rangka mewujudkan keluarga Indonesia yang sejahtera. Sesuai dengan Undang–
Undang Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga
Sejahtera, disebutkan bahwa Program Keluarga Berencana (KB) adalah upaya peningkatan
kepedulian dan peran serta masyarakat melalui pendewasaan usia perkawinan, pengaturan
kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga serta peningkatan kesejahteraan keluarga untuk
mewujudkan keluarga kecil, bahagia dan sejahtera (UU 10/1992). Keluarga berencana juga berarti
mengontrol jumlah dan jarak kelahiran anak, untuk menghindari kehamilan yang bersifat sementara
dengan menggunakan kontrasepsi sedangkan untuk menghindari kehamilan yang sifatnya menetap
bisa dilakukan dengan cara sterilisasi (Ekarini, 2008). Peran program KB sangat besar pengaruhnya
terhadap kesehatan reproduksi seseorang, baik itu untuk kesehatan reproduksi wanita maupun
kesehatan reproduksi pria. Peran KB bagi kesehatan reproduksi wanita diantaranya yaitu
menghindari dari bahaya infeksi, eklamsia, abortus, emboli obstetri, komplikasi masa puerpureum
(nifas), serta terjadinya pendarahan yang disebabkan karena sering melakukan proses persalinan
(Depkes, 2007). Selain itu program KB juga bertujuan untuk mengatur umur ibu yang tepat 2 untuk
melakukan proses persalinan, sebab jika umur ibu terlalu muda atau terlalu tua ketika melakukan
persalinan, hal ini akan sangat beresiko mengakibatkan perdarahan serius yang bisa mengakibatkan
kematian bagi ibu maupun bayinya (Depkes, 2007). Di Indonesia Angka Kematian Ibu (AKI) mencapai
228 per 100.000 kelahiran hidup dan Angka Kematian Bayi (AKB) 34 per 1000 kelahiran hidup (SDKI,
2007). Hal ini membuktikan bahwa Indonesia masih berada pada posisi tertinggi di Asia untuk angka
kematian ibu. Angka tersebut juga masih jauh dari target Millenium Development Goals (MDGs)
2015 yaitu AKI 102 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB 24 per 1000 kelahiran hidup. Oleh karena
itu dengan program KB yang terus digalakan pemerintah, diharapkan nantinya MDGs 2015 dapat
tercapai sesuai target. Program KB juga berperan bagi kesehatan reproduksi suami antara lain untuk
mencegah terkena Penyakit Menular Seksual (PMS) seperti: sifilis, gonorhea, dan penyakit kelamin
lain yang diakibatkan oleh tidak menggunakan alat kontrasepsi (kondom) ketika melakukan
hubungan seksual dengan istrinya yang terkena PMS . Selain mencegah terkena penyakit menular
seksual Program KB juga dimaksudkan untuk membantu pria yang mengalami gangguan disfungsi
seksual serta membantu pasangan yang telah menikah lebih dari setahun tetapi belum juga memiliki
keturunan, hal ini memungkinkan untuk tercapainya keluarga bahagia (Suratun, dkk, 2008).
11. Membina rumah sehat  keluarga belum mempunyai air bersih, belum mempunyai jamban
keluarga, keluarga supaya tidak merokok, keluarga yang belum mempunyai pembuangan
sampah sementara

http://eprints.ums.ac.id/73640/1/BAB%20I.pdf

Rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau
hunian dan sarana pembinaan keluarga. Rumah harus sehat dan nyaman agar penghuninya dapat
berkarya untuk meningkatkan produktivitas. Rumah yang tidak sehat merupakan penyebab dari
rendahnya taraf kesehatan jasmani dan rohani yang memudahkan terjangkitnya penyakit dan
mengurangi daya kerja atau daya produktif seseorang. Rumah tidak sehat ini dapat menjadi
reservoir penyakit bagi seluruh lingkungan, jika kondisi tidak sehat bukan hanya pada satu rumah
tetapi pada kumpulan rumah (lingkungan pemukiman). Timbulnya permasalahan kesehatan di
lingkungan pemukiman pada dasarnya disebabkan karena tingkat kemampuan ekonomi masyarakat
yang rendah karena rumah dibangun berdasarkan kemampuan keuangan penghuninya
(Notoatmodjo, 2003). Tidak hanya faktor ekonomi saja yang menajadi satu kendala, tetapi ada
beberapa faktor lain seperti sanitasi lingkungan. Dengan sanitasi lingkungan yang buruk dan tidak
mendukung merupakan satu hambatan untuk meningkatkan derajat kesehatan, terutama untuk
menciptakan rumah sehat. Sanitasi lingkungan sudah selayaknya merupakan prioritas peningkatan
pelayanan publik mengingat sebagian besar penduduk Indoneisa belum menikmati sarana sanitasi
memadai, terutama masyarakat yang berada di lingkungan padat, kumuh dan ekonomi kebawah.
Akibat langsung dari kondisi 2 tersebut adalah masyarakat memaksakan untuk membuat tempat
tinggal mereka tanpa melihat kondisi sekitar yang sudah ramai bahkan padat. Salah satu penyebab
sanitasi disekitar rumah tidak memadai karena perilaku manusia yang terkadang tidak perduli akan
lingkungan sekitar, pengetahuan yang kurang tentang sanitasi ataupun rumah dan lain-lain. Menurut
Depkes RI (2012) bahwa rumah sehat merupakan rumah yang memenuhi kriteria minimal ; akses air
minum, akses jamban sehat, lantai, ventelasi dan pencahayaan Dalam pencapaian derajat kesehatan
terutama untuk meningkatkan perilaku penyehatan rumah, pengetahuan menjadi suatu pendukung
utama agar dapat menciptakan rumah sehat. Pengetahuan merupakan hasil proses dari usaha
manusia untuk tahu. Adapun menurut Maufur (2009), pengetahuan adalah sesuatu atau semua yang
diketahui dan dipahami atas dasar kemampuan kita berpikir, merasa, maupun mengindera, baik
diperoleh secara sengaja maupun tidak sengaja (Susanto, 2011). Selain pengetahuan, dalam perilaku
penyehatan rumah peran anggota juga merupakan salah satu unsur penting. Dalam perilaku
penyehatan rumah keluarga merupakan salah satu aspek pendukung dalam terciptanya keadaan
rumah yang sehat (Istiati, 2010). Setiap anggota keluarga baik itu kepala keluarga, ibu rumah tangga
serta anggota keluarga yang lain memiliki kewajiban untuk menjaga keadaan rumah agar tetap
bersih dan sehat serta anggota keluarga juga sangat diperlukan untuk menentukan dan membuat
keputusan dalam segala tindakan yang akan diambil pada penyehatan rumah. 3 Pencapaian rumah
sehat di Indonesia sebesar 68,69% lebih tinggi jika dibandingkan dengan target nasional yang
ditetapkan sebesar 60%. Pencapaian tertinggi rumah sehat terdapat di Provinsi Nusa Tenggara Barat
sebanyak 98,99%, Maluku sebesar 96,54% dan di Bali sebesar 85,11%. Capaian terendah rumah
sehat terdapat di Sulawesi Tenggara sebesar 18,35%, Kalimantan Tengah sebesar 35,1%, dan
Kalimantan Selatan sebesar 43% (Depkes RI, 2012).

12. ANC K1-K3


https://digilib.esaunggul.ac.id/public/UEU-Undergraduate-19451-BAB1.Image.Marked.pdf

Angka Kematian Ibu (AKI) dalam suatu negara atau daerah merupakan salah satu indikator
untuk melihat keberhasilan upaya kesehatan ibu. AKI adalah rasio kematian ibu selama masa
kehamilan, persalinan dan nifas yang disebabkan oleh kehamilan, persalinan, dan nifas atau
pengelolaannya tetapi bukan karena sebab-sebab lain seperti kecelakaan atau insidental di
setiap 100.000 kelahiran hidup. Indikator ini juga mampu menilai derajat kesehatan
masyarakat, karena sensitifitasnya terhadap perbaikan pelayanan kesehatan, baik dari sisi
aksesibilitas maupun kualitas (Kemenkes RI, 2019). World Health Organization (WHO)
menyebutkan pada tahun 2015 di seluruh dunia diperkirakan kematian ibu sebesar 303.000
jiwa atau sekitar 216/100.000 kelahiran hidup. Mortalitas dan morbiditas pada wanita hamil
dan bersalin merupakan masalah besar di negara berkembang, karena 99% kematian
maternal tersebut terjadi terutama di negara berkembang. Indonesia merupakan salah satu
negara yang termasuk dalam negara bekembang. Indonesia kini bahkan termasuk sebagai
satu dari 10 negara penyumbang AKI terbesar di dunia, dimana 10 negara ini menyumbang
sekitar 59% dari seluruh kematian ibu di dunia (WHO, 2015). Tingginya angka kematian ibu
di Indonesia terkait dengan banyak faktor salah satunya adalah faktor kehamilan, dimana
komplikasi saat kehamilan tidak terdeteksi dikarenakan ibu hamil yang tidak memanfaatkan
ANC pada pelayanan kesehatan sehingga kehamilannya berisiko tinggi (Kurniasari & Devi,
2016). Pada tahun 2019 penyebab kematian ibu terbanyak adalah perdarahan (1.280 kasus),
hipertensi dalam kehamilan (1.066 kasus) dan infeksi (207 kasus) (Kemenkes RI, 2019). Salah
satu upaya mempercepat penurunan Angka Kematian Ibu (AKI), Angka Kematian Bayi (AKB)
dan masalah kehamilan pada ibu ibu hamil adalah dengan melaksanakan pelayanan
antenatal. Antenatal Care (ANC) merupakan pelayanan yang diberikan kepada perempuan
selama kehamilannya. Pelayanan Antenatal dinilai sangat penting dalam memastikan bahwa
ibu maupun janin yang dikandungnya akan selamat baik selama kehamilan maupun saat
persalinan. Pemeriksaan kehamilan atau ANC bukan saja dinilai penting tetapi merupakan
suatu keharusan bagi perempuan selama proses kehamilannya. Melalui ANC yang rutin baik
ibu maupun tenaga kesehatan dapat mengetahui kondisi ibu hamil dan perkembangan janin
yang ada dalam kandungan dengan lebih detail, deteksi dini jika ditemukan suatu ganjalan
atau gangguan yang berkaitan dengan kehamilan tersebut dapat dicegah dan diatasi dengan
segera sebelum berpengaruh tidak baik terhadap kehamilan (Pattipeilohy, 2017). Pelayanan
Antenatal Care harus memenuhi frekuensi minimal di tiap trimester, yaitu minimal satu kali
pada trimester pertama (usia kehamilan 0-12 minggu), minimal satu kali pada trimester
kedua (usia kehamilan 12-24 minggu), dan minimal dua kali pada trimester ketiga (usia
kehamilan 24 minggu sampai menjelang persalinan). Standar waktu pelayanan tersebut
dianjurkan untuk menjamin perlindungan terhadap ibu hamil dan janin berupa deteksi dini
faktor risiko, pencegahan dan penanganan dini komplikasi kehamilan (Kemenkes RI, 2019).
Pentingnya kunjungan ANC ini belum menjadi prioritas utama bagi sebagian besar ibu hamil
di Indonesia. Berdasarkan teori Green, dalam Notoatmodjo terdapat faktor predisposisi,
faktor penguat dan faktor pemungkin yang dapat memengaruhi perilaku seseorang,
termasuk memengaruhi perilaku ibu hamil dalam melakukan kunjungan ANC. Faktor
predisposisi meliputi usia, pendidikan, pekerjaan, paritas, pengetahuan, dan sikap. Faktor
pemungkin meliputi jarak tempat tinggal, penghasilan keluarga dan media informasi. Faktor
penguat meliputi dukungan suami dan keluarga, serta dari petugas kesehatan yang ada
(Notoatmodjo, 2012). Kunjungan K1 pada pemeriksaan kali pertama yang meliputi,
memastikan usia kehamilan yang sebenarnya, pemeriksaan umum. Kunjungan K2
pemeriksaannya sama dengan sebelumnya, ditambah kewaspadaan khusus mengenai tanda
bahaya kehamilan, pengenalan komplikasi akibat kehamilan dan pengobatannya.
Pemeriksaan K3 trimester tiga ini dilakukan palpasi abdominal untuk mengetahui ada atau
tidaknya kehamilan ganda, deteksi letak bayi yang tidak normal atau kondisi lain yang
memerlukan kelahiran di rumah sakit. Ketidak patuhan melakukan kunjungan ANC sesuai
jadwal menyebabkan tidak terpantaunya berbagai komplikasi obstetri yang dapat
membahayakan kehidupan ibu dan janin sehingga dapat menyebabkan morbiditas dan
mortalitas yang tinggi. Dengan dilakukan pemeriksaan kehamilan secara teratur petugas
kesehatan dapat melakukan tindakan pencegahan dan penanganan seperti resiko
perdarahan, eklamsia, anemia, BBLR, tetanus neonatorum, kekurangan zat besi serta
terpantaunya pertumbuhan dan perkembangan janin (Saifuddin, 2009). Keberhasilan
pelayanan ANC dapat dilihat dengan hasil pencapaian program pelayanan kesehatan ibu
hamil dengan menggunakan indikator cakupan K1 dan K4 (Rahayu, 2016).

- Penimbangan berat badan badan


- Pengukuran tinggi badan
- Pengukuran tekanan darah
- Penilaian status gizi melalui pengukuran lingkar lengan atas (LiLA)
- Pengukuran tinggi fundus uteri, penentuan presentasi janin dan denyut jantung janin
- Skrining status imunisasi TT dan pemberian imunisasi TT sesuai status imunisasi ibu
- Pemberian tablet besi (90 tablet selama kehamilan)
- Pemeriksaan test lab sederhana (Golongan Darah, Hb, Glukoprotein Urin) dan
berdasarkan indikasi (HBsAg, Sifilis, HIV)
- Tata laksana kasus jika diperlukan
- Temu wicara atau konseling

13. KB suntik

http://repository2.unw.ac.id/1374/6/S1_152191207_BAB%20I%20-%20Kurnia%20Dwi
%20Pratiwi.pdf

Keluarga Berencana merupakan suatu program yang membantu pasangan suami istri untuk
mewujudkan keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera dengan cara perencanaan kehamilan dan
sebaliknya menghindari kehamilan yang tidak diinginkan, mendapatkan kelahiran yang memang
sangat diinginkan, mengatur interval diantara kehamilan, mengontrol waktu saat kelahiran dalam
hubungan dengan umur suami istri serta menentukan jumlah anak dalam keluarga (Setyaningrum,
2016). Berdasarkan data yang diperoleh dari Profil Kesehatan Indonesia tahun 2019 didapatkan
cakupan peserta Keluarga Berencana (KB) aktif di Indonesia yaitu sebanyak 24.196.151 peserta.
Perserta KB aktif menurut jenis kontrasepsi di Indonesia yaitu terdapat 301.436 (1,2%) menggunakan
kondom, KB suntik sebanyak 15.419.826 (63,7%), pil sebanyak 4.123.424 (17,0%), IUD/AKDR
sebanyak 1.790.336 (7,4%), MOP sebanyak 118.060 (0,5%), MOW sebanyak 661.431 (2,7%), Implan
sebanyak 1.781.638 (7,4%)(Profil Kesehatan Indonesia, 2019). Dari semua data yang diperoleh,
pengguna kontrasepsi yang paling banyak di minati oleh Pasangan Usia Subur (PUS) atau peserta KB
aktif adalah metode kontrasepsi jenis suntik, hal ini dapat dilihat dari perbandingan jumlah PUS
peserta kb aktif dengan minat kontrasepsi yang dipilih. Kontrasepsi suntik adalah kontrasepsi
hormonal jenis suntikan yang dibedakan menjadi dua macam yaitu DMPA (Depo Medroksi
Progresteron Asetat) dan kombinasi. Efek samping penggunaan kontrasepsi hormonal terutama
kontrasepsi suntik DMPA adalah kenaikan berat badan, gangguan haid, kekeringan vagina,
menurunnya libido, gangguan emosi, sakit kepala, nervotaksis dan jerawat (Anwar, 2011). Kenaikan
berat badan pada akseptor kontrasepsi Depo Medroxi Progesteron Asetat (DMPA) per tahun 2,3 –
2,9 kg. Terjadinya kenaikan berat badan tersebut disebabkan karena alat kontrasepsi mengandung
hormon progesteron. Hormon progesteron mempunyai efek samping yaitu merangsang pusat
pengendali nafsu makan di hipotalamus yang menyebabkan akseptor makan lebih banyak dari
biasanya serta menurunkan aktifitas fisik sehingga menyebabkan peningkatan berat badan (Irianto,
Gizi Seimbang dalam Kesehatan Reproduksi (Balanced, 2014). Beberapa studi penelitian didapatkan
peningkatan berat badan akibat penggunaan kontrasepsi DMPA berkaitan dengan peningkatan
lemak tubuh dan adanya hubungan dengan regulasi nafsu makan. Salah satu studi menemukan
peningkatan nafsu makan yang dilaporkan sendiri oleh wanita yang menggunakan kontrasepsi DMPA
setelah 6 bulan. Hal ini dapat dihubungkan dengan kandungan pada DMPA yaitu hormon
progesteron, yang dapat merangsang pusat pengendalian nafsu makan di hipotalamus sehingga
menyebabkan terjadinya peningkatan nafsu makan (Guyton dan Hall, 2007). Perubahan berat badan
ini bersifat sementara, tergantung reaksi tubuh wanita terhadap 4 metabolisme progesterone. Akan
tetapi perubahan berat badan yang berlebih dapat menyebabkan resiko buruk terhadap kesehatan
individu seperti obesitas, hipertensi, dan penyakit kronis lainnya, selain itu juga dapat menyebabkan
ketidaknyamanan terhadap diri wanita sendiri karena rasa tidak percaya diri ( Pinem, 2014 ). Tidak
sedikit akseptor kontrasepsi suntik 3 bulan yang mengeluhkan efek samping tersebut, yang dimana
akseptor KB tidak mengetahui secara jelas apakah kenaikan berat badannya dipengaruhi oleh KB
yang digunakan ataupun tidak, akhirnya banyak kejadian akseptor KB yang dropout atau berhenti
ber KB.

14. KB implan

http://repository.poltekkes-denpasar.ac.id/4304/2/BAB%20I.pdf

Dalam menekan laju dari pertumbuhan penduduk pemerintah melakukan upaya yaitu program
Keluarga Berencana (KB) yang ditujukan kepada Pasangan Usia Subur (PUS) dengan tujuan untuk
mencegah terjadinya kehamilan (BKKBN, 2014). Program tersebut dilakukan mengingat Indonesia
adalah negara yang masih menduduki peringkat keempat sebagai negara yang memiliki penduduk
terbanyak di dunia, setelah China, India, dan Amerika Serikat dimana menurut data yang
dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2018 yang berjudul Statistik Indonesia
2018 (Statistic Yearbook of Indonesia 2018) disebutkan bahwa jumlah penduduk Indonesia adalah
sebanyak 261.089.900 jiwa pada tahun 2017 dimana terjadi kenaikan dibandingkan dengan tahun
2016 yaitu lebih tinggi sekitar 1,2% atau sebanyak 3.186.000 jiwa yang artinya terjadi pertambahan
pertumbuhan penduduk. Keluarga Berencana (KB) merupakan suatu usaha yang digunakan untuk
mewujudkan keluarga yang berkualitas dalam mewujudkan hak-hak reproduksi membentuk
keluarga dengan usia kawin yang ideal, mengatur jumlah kehamilan yang diinginkan, dalam
mengatur jumlah anak, usia melahirkan anak yang ideal, dalam membina ketahanan juga
kesejahteraan anak (BKKBN, 2015). Keluarga Berencana (KB) menjadi suatu program yang
dicanangkan oleh pemerintah Indonesia dengan tujuan untuk menekan angka kelahiran yang
semakin bertambah dimana program ini dicanangkan untuk dapat menyeimbangkan antara jumlah 2
kebutuhan dengan jumlah penduduk di Indonesia ini. Rata-rata jenis kontrasepsi yang digunakan di
Indonesia khususnya di Bali adalah kontrasepsi jenis suntik, kondom, AKDR, dan Implant. Jenis
kontrasepsi implant adalah metode kontrasepsi yang berupa batang atau kapsul silastik yang berisi
hormon progesteron, pemasangan implant dilakukan dengan cara memasukkan alat yang berupa
batang atau kapsul silastik ini ke bawah kulit melalui insisi (Saifuddin, 2010). Implant atau susuk
kontrasepsi ini merupakan salah satu metode kontrasepsi hormonal yang berbentuk batang dengan
panjang 4 cm yang di dalamnya terdapat hormon progesteron, hormon tersebut akan dilepaskan
secara perlahan dimana akan bekerja dengan efektif sebagai alat 3 kontrasepsi selama 3-5 tahun,
kemudian dari mulai pemakaian sampai 1 minggu disarankan untuk menggunakan alat kontrasepsi
tambahan seperti kondom. Sama seperti alat kontrasepsi hormonal lainnya, implant juga dapat
mempengaruhi siklus menstruasi akseptor dan dapat menyebabkan kenaikan berat badan selama
penggunaanya, efek samping utama adalah adanya perdarahan bercak dan amenorhea. (BKKBN,
2016). Kontrasepsi implant memiliki keuntungan dibandingkan dengan metode kontrasepsi lainnya,
dimana implant merupakan kontrasepsi yang memiliki daya guna paling tinggi dengan kegagalan 0,3
per 100 tahun (Marliza, 2013). Kontrasepsi implant menjadi salah satu jenis kontrasepsi dimana
implant ini memiliki daya guna yang tinggi. Implant memiliki perlindungan jangka panjang dengan
pengembalian kesuburan yang cepat setelah dilakukan pencabutan, selain itu kontrasepsi implant
tidak mengganggu dalam kegiatan senggama, tidak diperlukan kontrol bila tidak adanya keluhan
selama pemakaian kontrasepsi, dan tidak dapat mengganggu produksi ASI. Dalam pemasangan
kontrasepsi implant ini tidak diperlukan pemeriksaan dalam dan pencabutannya pun dapat
dilakukan sesuai kebutuhan akseptor. Beberapa hal tersebut tidak dimiliki oleh metode kontrasepsi
jangka panjang yang lainnya dengan kontrasepsi implant, misalnya tidak mengganggu produksi ASI
sehingga kontrasepsi implant ini dapat digunakan oleh semua ibu dalam usia reproduksi (Saifuddin,
2010).

15. Pasang IUD

http://repository.poltekkes-denpasar.ac.id/9155/2/BAB%20I%20Pendahuluan.pdf

Indonesia merupakan Negara yang memiliki jumlah penduduk yang banyak. Jumlah penduduk di
dunia pada bulan Juli tahun 2020 adalah 7.684.292.383 jiwa. Indonesia adalah negara ke-4 dengan
jumlah penduduk terbanyak yaitu mencapai 267,026,366 jiwa (CIA World Factbook, 2020). Dengan
pertumbuhan penduduk yang sedemikian cepat dapat menyebabkan berbagai masalah pada
masyarakat. Dalam upaya menanggulangi pertumbuhan penduduk yang cukup cepat, pemerintah
menggalakan program Keluarga Berencana (KB). Keluarga Berencana (KB) adalah upaya untuk
mewujudkan keluarga yang berkualitas melalui promosi, perlindungan, dan bantuan dalam
mewujudkan hakhak reproduksi serta penyelenggaraan pelayanan, pengaturan dan dukungan yang
diperlukan untuk membentuk keluarga dengan usia kawin yang ideal, mengatur jumlah, jarak, dan
usia ideal melahirkan anak, mengatur kehamilan dan membina ketahanan serta kesejahteraan anak.
(Puji Ati dkk., 2019). IUD atau Spiral adalah salah satu alat kontrasepsi yang direkomendasikan pada
program Keluarga Berencana di Indonesia, merupakan salah satu jenis alat kontrasepsi jangka
panjang yang ideal dalam upaya mencegah kehamilan, terbuat dari plastik yang lentur, mempunyai
lilitan tembaga atau juga mengandung hormon dan dimasukan ke dalam rahim melalui vagina,
mempunyai beberapa jenis dan lama pemakaian. Alat kontrasepsi IUD sangat efektif untuk menekan
angka kematian ibu dan mengendalikan laju pertumbuhan penduduk karena 2 tingkat efektifitas
penggunaan sampai 99,4% dan IUD dapat digunakan untuk jangka waktu 3-5 tahun (jenis hormon)
dan 5-10 tahun (jenis tembaga). Data WHO menunjukan bahwa pengguna alat kontrasepsi Implant
di seluruh dunia masih di bawah alat kontrasepsi suntik, pil, kondom dan IUD, terutama di
Negaranegara berkembang. Presentasi penggunaan alat kontrasepsi suntik yaitu 35,3%, pil 30,5%,
IUD 15,2%, sedangkan Implant dibawah 10% yaitu 7,3%, dan alat kontrasepsi lainnya sebesar 11,7%.
Pada saat ini diperkirakan memakai IUD/AKDR, 30% terdapat di Cina, 13% di Eropa, 5% di Amerika
Serikat, 6,7% di Negara-negara berkembang lainnya (Nurmalita Sari dkk., 2020). Data Kemenkes RI
menyatakan pada tahun 2017 di Indonesia peserta KB aktif dengan penggunaan IUD sebesar 397.996
(7,75%), merupakan angka terendah dari jenis KB lainnya. Propinsi dengan persentase peserta KB
aktif tertinggi adalah Bengkulu 85.5%, Bali 85,1%, dan DKI Jakarta 82%. Strategi peningkatan
penggunaan IUD, terlihat kurang berhasil, terbukti dengan jumlah peserta KB IUD yang terus
mengalami penurunan dari tahun ke tahun (Salanti, 2020). Kepesertaan KB aktif pada bulan Maret
2020 terdapat penurunan jika dibandingkan pada bulan februari 2020 di seluruh Indonesia. KB IUD
pada februari 2020 dari 36.155 turun menjadi 23.383. Sedangkan implan dari 81.062 menjadi
51.536, suntik dari 524.989 menjadi 341.109, pil 251.619 menjadi 146.767, kondom dari 31.502
menjadi 19.583, MOP (vasektomi) dari 2.283 menjadi 1.196, dan MOW (tubektomi) dari 13.571
menjadi 8.093 (Listyawardani, 2020). Banyak Faktor yang mempengaruhi pemilihan alat kontrasepsi
IUD antara lain adalah usia wanita yang kurang dari 20 tahun dianjurkan untuk menunda kehamilan
dengan memakai pil, usia 20-35 tahun merupakan usia ideal untuk hamil dan melahirkan, pada
tahap ini dianjurkan agar pasangan usia subur yang mempunyai satu anak untuk memakai cara yang
efektif baik hormonal maupun non hormonal, dan usia diatas 35 tahun mempunyai resiko kehamilan
dan persalinan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kurun waktu reproduksi muda sehingga
dianjurkan untuk memakai alat kontrasepsi yang efektif seperti IUD. Pendidikan merupakan faktor
yang mempengaruhi pemilihan kontrasepsi. Makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah orang
tersebut untuk menerima 4 informasi, dengan pendidikan tinggi maka seseorang akan cenderung
mendapatkan banyak pengetahuan dan informasi. Jumlah anak, sebaiknya keluarga setelah
mempunyai 2 anak untuk tidak hamil lagi. Kondisi keluarga seperti ini dapat menggunakan
kontrasepsi yang mempunyai efektifitas tinggi, karena jika terjadi kegagalan, hal ini dapat
menyebabkan terjadinya kehamilan dengan resiko tinggi bagi ibu dan bayi, disamping itu jika
pasangan akseptor tidak mengharapkan untuk mempunyai anak lagi (Christiawan & Purnomo, 2018).

16. KB pil

http://eprints.ums.ac.id/30082/2/BAB_I.pdf

Pil KB merupakan salah satu kontrasepsi hormonal yang bertujuan untuk mencegah terjadinya
kehamilan yang ditambahkan ke dalam tubuh seorang wanita dengan cara diminum (pil) Tujuan dari
konsumsi pil KB adalah untuk mencegah, menghambat dan menjarangkan terjadinya kehamilan yang
memang tidak diinginkan. Untuk itu kepatuhan mengkonsumsi pil KB secara teratur sesuai dengan
dengan petunjuk tenaga kesehatan harus dilakukan. Kepatuhan mengkonsumsi pil KB bertujuan agar
manfaat konsumsi pil KB yaitu mencegah menghambat dan menjarangkan terjadinya kehamilan bisa
dirasakan. Ketidakpatuhan dalam mengkonsumsi pil KB tidak bisa menjamin bahwa akseptor pil KB
terhindar dari kehamilan. Hal ini dikarenakan pengkonsumsian yang tidak teratur emnjadikan pil KB
tidak bisa bekerja secara optimal. Akan tetapi fenomena di lapangan menunjukkan bahwa sering kali
akseptor pil KB tidak patuh dalam melakukan keteraturan mengkonsumsi pil KB. Ketidakpatuhan ini
disebabkan karena kurangnya pengetahuan mereka tentang pil KB. Mereka cenderung menghemat
pengkonsumsian dengan meminum pil KB dibawah ukuran yang disarankan. Kebiasaan ini
menyebabkan masih mungkin akseptor pil KB mengalami kehamilan yang tidak diinginkan (Depkes
RI, 2001). Menurut WHO, tahun 2009 hampir 380 juta pasangan menjalankan keluarga berencana
dan 65-75 juta diantaranya terutama di negeri berkembang menggunakan kontrasepsi hormonal
yaitu pil KB. Akan tetapi 5% dari jumlah tersebut penggunanya adalah tidak melakukan
pengkonsumsian secara teratur sehingga beresiko terjadinya kehamilan (Depkes RI, 2001). Pil KB
berisi kombinasi hormon estrogen dan progesteron untuk mencegah ovulasi (pelepasan telur selama
siklus bulanan). Seorang wanita tidak bisa hamil jika dia tidak berovulasi karena tidak ada telur untuk
dibuahi. Pil KB juga bekerja dengan menebalkan lendir di sekitar leher rahim, yang membuatnya sulit
bagi sperma untuk memasuki rahim dan mencapai setiap telur yang telah muncul. Hormon-hormon
dalam pil KB terkadang juga dapat mempengaruhi lapisan rahim, sehingga sulit bagi telur untuk
menempel ke dinding rahim.Pada jenis pil yang lain dapat mengubah periode menstruasi adalah pil
progesteron berdosis rendah, atau kadang-kadang disebut juga pil mini. Jenis pil KB ini berbeda dari
pil lain yang hanya berisi satu jenis hormon progesterone. Pil mini bekerja dengan mengubah lendir
serviks dan dinding rahim, dan terkadang juga mempengaruhi ovulasi juga.(Arum, D dan Sujiyatini,
2009) Ketidakteraturan pengkonsumsian pil KB menyebabkan hormon yang terkandung dalam pil KB
tidak bisa bekerja dengan maksimal. Sehingga memungkinkan akseptor pil KB terjadi kehamilan yang
tidak diinginkan. Kondisi ini bisa membuat akseptor pil KB panik hingga sehingga melakukan tindakan
aborsi yang beresiko tinggi (Depkes, 2002). Pendidikan turut menentukan mudah tidaknya seseorang
menyerap dan memahami tentang pil KB yang mereka ketahui berdasarkan kebutuhan dan
kepentingan keluarga (Kodyat, 1999). Rata-rata jumlah anak yang dilahirkan oleh wanita yang
berpendidikan rendah mencapai 4,1%, sedangkan kelompok berpendidikan tinggi hanya 2,7% per
keluarga. Hal itu dikarenakan wanita berpendidikan rendah cenderung mempunyai pola fikir yang
tidak ingin mencari informasi dan memahami tentang pentingnya melakukan keteraturan
pengkonsumsian pil KB (Ruslan, 2010). Pada wanita berpendidikan rendah, angka 3 kematian ibu
tinggi yaitu 228 kasus per seratus ribu kelahiran sedangkan kematian bayi 34 kasus dari seribu
kelahiran. Penduduk Indonesia 60% hanya tamatan SMA atau lebih rendah. Pengaruh antara wanita
berpendidikan tinggi dengan wanita berpendidikan rendah dalam melaksanakan program KB yaitu
dengan tingginya angka kelahiran pada wanita yang berpendidikan rendah (Wibowo, 2010). Wanita
yang mempunyai pengetahuan lebih baik tentang pil KB dan manfaatnya akan lebih mentaati aturan
penggunaan pil KB. Untuk menambah pengetahuan menjadi lebih baik bisa dilakukan dengan
kunjungan ke posyandu, baik dari buku atau media cetak lainnya atau melakukan konseling dengan
bidan desa tentang pil KB (Arum, D dan Sujiyatini, 2009). Permasalahan tentang rendahnya
pendidikan wanita Indonesia mengakibatkan rasa tidak ingin tahu tentang penggunaan pil KB
sehingga dapat menyebabkan mayarakat tidak teratur mengkonsumsi pil KB, hal ini mengakibatkan
kehamilan yang tidak diinginkan dan tingkat kelahiran yang cukup tinggi.

17. IMD dan ASI eksklusif

http://repository.poltekkes-denpasar.ac.id/9429/2/BAB%20I.pdf

Inisiasi Menyusu Dini (IMD) merupakan faktor yang terpenting sebagai penentu keberhasilan ASI
eksklusif. Dengan inisiasi menyusu dini produksi ASI akan terstimulasi sejak dini, juga dapat
merangsang pengeluaran plasenta dan mempercepat pengeluaran ASI. Cara bayi melakukan inisiasi
menyusu dini dinamakan the breast crawl atau merangkak mencari payudara setelah bayi
dikeringkan dan diletakkan pada perut ibu dengan kontak kulit ke kulit (Lau Y, 2015). Masalah angka
kematian bayi (AKB) di Indonesia masih cukup tinggi. Hasil SDKI tahun 2017 menunjukan bahwa
angka kematian bayi sebesar 24 per 1.000 kelahiran hidup (Zedadra dkk, 2019). Faktor penyebab
utama kematian bayi di Indonesia adalah kematian neonatal sebesar 46,2%, diare sebesar 15%,
pneumonia 12,7%, kelainan kongenital 5,7%, meningitis 4,5%, tetanus 1,7%, dan tidak diketahui
penyebabnya sebesar 3,7% (Zedadra dkk, 2019). Angka kematian bayi ini tidak berdiri sendiri,
melainkan terkait dengan faktor-faktor lain, terutama gizi. Status gizi ibu pada waktu melahirkan dan
gizi bayi itu sendiri sebagai faktor tidak langsung maupun langsung sebagai penyebab kematian bayi.
Oleh karena itu, pemenuhan kebutuhan gizi bayi sangat perlu mendapat perhatian yang serius. Gizi
untuk bayi yang paling sempurna dan paling murah adalah ASI atau Air Susu Ibu (Adelina, 2017).
Pemberian ASI pada satu jam pertama kelahiran atau yang sering disebut dengan Inisiasi Menyusu
Dini (IMD) merupakan awal keberhasilan dalam 2 pemberian ASI eksklusif. Program Inisiasi Menyusu
Dini dapat menyelamatkan sekurang-kurangnya 30.000 bayi Indonesia yang meninggal pada 1 jam
kelahiran (Heriani, 2017). Berdasarkan data Kementerian Kesehatan tahun 2019, angka kematian
bayi dan balita di Indonesia semakin meningkat. Setidaknya, tiap 6 menit bayi baru lahir di Indonesia
meninggal. Angka kematian bayi dan balita yang tinggi itu bisa ditekan dengan melakukan IMD dan
memberikan ASI Eksklusif. Kebijakan inisiasi menyusu dini telah disosialisasikan di Indonesia sejak
Agustus 2007. Penelitian Smith dkk di Tanzania mengungkapkan bahwa penundaan inisiasi menyusu
dini akan meningkatan resiko morbiditas pada awal kehidupannya. Cara mengurangi morbiditas bayi
pada awal kehidupan dengan melakukan inisiasi menyusu dini dilanjutkan dengan pemberian ASI
eksklusif selama 6 bulan dan diperpanjang hingga usia bayi 2 tahun (Smith dkk., 2017). Sementara
penelitian Rosyid dan Sumarmi tahun 2017 menyebutkan bahwa dengan melakukan IMD, ibu akan
semakin percaya diri untuk terus memberikan ASI secara eksklusif dan bayi akan merasa nyaman
saat terjadi kontak kulit dengan ibu. Pelaksanaan IMD di ruang bersalin pada fasilitas pelayanan
kesehatan kerap terkendala oleh beberapa faktor. Menurut Sirajuddin, Abdullah dan Lumula, faktor-
faktor yang berhubungan dengan pelaksanaaan IMD antara lain pendidikan ibu, pengetahuan ibu,
sikap ibu, tindakan bidan dan dukungan keluarga. Hal itu berarti diperlukan adanya kerja sama yang
baik antara petugas kesehatan dan pasien beserta keluarganya untuk dapat menyukseskan
pelaksanaan inisiasi menyusu dini pada bayi baru lahir. Namun dalam praktiknya, terkadang masih 3
ditemukan adanya petugas kesehatan yang tidak membantu ibu untuk mulai menyusui bayinya
segera setelah lahir, atau sebaliknya, ibu tidak ingin menyusui bayinya segera setelah lahir dengan
berbagai alasan. Pelaksanaan IMD masih rendah di Indonesia. Pelaksanaan inisiasi menyusu dini
tidak terlepas oleh faktor yang mendorongnya, diantaranya disebabkan oleh tingkat pendidikan,
dukungan keluarga, pengetahuan, sikap, pengalaman dan persepsi ibu yang kurang, serta
dipengaruhi oleh perilaku dan tindakan bidan yang tidak melakukan konseling mengenai IMD pada
masa kehamilan dan tidak mendukung penatalaksanaan IMD dalam Asuhan Persalinan Normal (APN)
(Mujur, dkk. 2014). Hasil dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 proporsi IMD di Indonesia pada
tahun 2018 yaitu sebesar 58,2%. Inisiasi menyusu dini sangat meningkatkan keberhasilan menyusu
ekslusif dan lama menyusu sampai 2 tahun. Sedangkan praktiknya banyak penghambat dalam
melakukan inisiasi menyusu dini sebagai contoh yaitu anggapan cairan kuning yang keluar pertama
kali itu tidak baik dan berbahaya bagi bayi, cairan kolostrum terlalu sedikit sehingga perlu cairan lain
supaya bayi tidak rewel, hal tersebut merupakan penghambat dalam inisiasi menyusu dini (Mujur,
dkk. 2014).

18. Monitoring bayi/anak sehat

https://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/
11617/944/2012_rk_endah_sudarmilah_bab_1.pdf?sequence=1&isAllowed=y

Kelompok balita memiliki proses pertumbuhan dan perkembangan bersifat unik, artinya memiliki
pola pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan motorik kasar),
kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual), sosio-emosional (sikap
dan perilaku serta agama), bahasa dan komunikasi yang khusus sesuai dengan tingkat pertumbuhan
dan perkembangan yang sedang dilalui oleh balita tersebut (Hadis F. A, et al, 2000). Stimulasi
perkembangan dan kelainan pertumbuhan perkembangan anak semakin marak dibicarakan
menyusul semakin banyak kasus yang ditemukan pada semua golongan. Sayangnya, kasus-kasus
yang ditemukan sudah terlambat bahkan amat terlambat. Hal ini berdampak negatif bagi masa
depan anak, beban bagi orang tua dan juga hilangnya pontensi tenaga kerja dimasa depan, oleh
karena itu pelayanan Stimulasi Deteksi Intervensi Dini Tumbuh Kembang (SDIDTK) saat ini menjadi
salah satu program yang dilakukan oleh Kementrian Kesehatan Indonesia. Pelayanan SDIDTK
menjadi sangat penting karena kelainan tumbuh kembang yang dideteksi secara dini akan
mendapatkan intervensi yang sesuai. Kelainan tumbuh kembang yang terlambat dideteksi dan
diintervensi dapat mengakibatkan kemunduran perkembangan anak dan berkurangnya efektivitas
terapi(Anonim, 2011). Peran tenaga medis terkait dengan isu ini harus mampu membantu orang tua
dalam memonitor perkembangan balita, agar balita tersebut dapat tumbuh dan berkembang dengan
baik dan normal sebagaimana mestinya. Hal tersebut dilakukan dengan cara memberikan solusi-
solusi dari permasalahan ibu terhadap pertumbuhan balitanya. Sehingga kelainan tumbuh kembang
dapat dideteksi dan diintervensi untuk meningkatkan efektivitas terapi pemulihan. 2 Informasi
pertumbuhan balita yang dimiliki pihak medis (puskesmas) saat ini didapatkan dari hasil pendataan
yang dilakukan secara manual dari setiap posyandu yang dikelola, keakuratan data sangat
tergantung pada kondisi pencatat data (kader posyandu) yang nilai efektivitasnya sangat jauh dari
yang diharapkan. Penggunaan sistem informasi di dunia medis sangat banyak, namun masih ada
yang belum memanfaatkan sistem informasi untuk membantu pekerjaan seorang tenaga medis,
khususnya dalam membantu dalam memberikan informasi dan monitoring pertumbuhan balita.

- Anamnesis keadaan bayi/balita


- Pengukuran TB dan BB
- KIE tumbuh kembang sesuai usia dan pentingnya monitoring tumbuh kembang

19. Deteksi dini stunting

http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/2179/2/BAB%20I.pdf

Stunting adalah kekurangan gizi pada balita yang berlangsung lama dan menyebabkan terhambatnya
perkembangan otak dan tumbuh kembang anak. Stunting disebabkan oleh kekurangan gizi pada
1.000 hari pertama kehidupan, dari janin hingga usia 24 bulan. Kondisi ini menyebabkan
perkembangan otak dan fisik terhambat, rentan terhadap penyakit, sulit berprestasi, dan saat
dewasa mudah menderita obesitas sehingga berisiko terkena penyakit jantung, diabetes, dan
penyakit tidak menular lainnya.1 Stunting merupakan keadaan tubuh yang sangat pendek hingga
melampaui defisit 2 SD dibawah median panjang atau tinggi badan populasi menurut Word Health
Organization (WHO). 2 Di Indonesia Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010 balita penderita
stunting sekitar 35,7 %. Sebanyak 18,5 % kategori sangat pendek dan 17,1 % kategori pendek,3
terjadi peningkatan pada Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menjadi 37,2% balita yang
mengalami stunting , dari jumlah presentase tersebut 19,2% anak pendek dan 18% sangat pendek, 4
dan pada Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 terjadi penurunan angka prevalensi stunting
menjadi 30,8 %.5 Dalam Rencana Pembangunan Menengah Nasional (RPJMN), menargetkan
penurunan prevalensi stunting (pendek dan sangat pendek) 2 pada anak baduta (dibawah 2 tahun)
adalah menjadi 28% (RPJMN, 2015 – 2019). Hasil Riskesdas 2013 menyebutkan kondisi konsumsi
makanan ibu hamil dan balita tahun 2016-2017 menunjukkan di Indonesia 1 dari 5 ibu hamil kurang
gizi, 7 dari 10 ibu hamil kurang kalori dan protein, 7 dari 10 Balita kurang kalori, serta 5 dari 10 Balita
kurang protein. Faktor lainnya yang menyebabkan stunting adalah terjadi infeksi pada ibu,
kehamilan remaja, gangguan mental pada ibu, jarak kelahiran anak yang pendek, dan hipertensi.
Selain itu, rendahnya akses terhadap pelayanan kesehatan termasuk akses sanitasi dan air bersih
menjadi salah satu faktor yang sangat mempengaruhi pertumbuhan anak. Gangguan pertumbuhan
ini terjadi akibat beberapa faktor diantaranya faktor sosial-ekonomi, faktor janin, dan faktor ibu.
Kekurangan gizi pada usia dini meningkatkan angka kematian bayi dan 3 anak, menyebabkan
penderitanya mudah sakit dan memiliki postur tubuh tak maksimal saat dewasa. Empat kelompok
rawan masalah gizi adalah bayi, anak usia bawah lima tahun, ibu hamil dan para usia lanjut. Ibu
hamil yang merupakan salah satu kelompok rawan gizi perlu mendapatkan pelayanan kesehatan
yang baik dan berkualitas agar ibu tersebut dapat menjalani kehamilannya dengan sehat (Kemenkes
RI, 2012). Kondisi kesehatan dan status gizi ibu saat hamil dapat mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan janin. Ibu yang mengalami kekurangan energi kronis atau anemia selama kehamilan
akan melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR). BBLR lahir rendah banyak
dihubungkan dengan tinggi badan yang kurang atau stunting.

20. Pemberian suplementasi gizi  PMT, TTD, vit A

http://repository.poltekkes-denpasar.ac.id/3092/2/BAB%20I.pdf

Masalah kesehatan dan gizi di Indonesia pada periode 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) menjadi
fokus perhatian karena tidak hanya berdampak pada angka kesakitan dan kematian pada ibu dan
anak, melainkan juga memberikan konsekuensi kualitas hidup individu yang bersifat permanen
sampai usia dewasa. Timbulnya masalah kesehatan pada anak usia di bawah dua tahun erat
kaitannya dengan persiapan kesehatan dan gizi seorang perempuan untuk menjadi calon ibu,
termasuk rematri (Kemenkes RI, 2018). Anemia merupakan masalah kesehatan yang sering ditemui
di negara maju dan berkembang. Keadaan kesehatan dan gizi kelompok usia 10-24 tahun di
Indonesia masih memprihatinkan. Data Riskesdas, 2013 menunjukkan bahwa prevalensi anemia
pada WUS usia 15 tahun ke atas sebesar 22,7 %, sedangkan pada remaja putri sebesar 37,1 %
(Balitbangkes, 2013). Data SKRT tahun 2001 menunjukkan bahwa prevalensi anemia pada remaja
putri (usia 10-19 tahun) sebesar 30 %. Data penelitian di berbagai daerah di Indonesia menunjukkan
bahwa prevalensi anemia pada remaja putri berkisar antara 32,4 – 61 % (Musliatun, 2009). Remaja
putri yang menderita anemia ketika menjadi remaja putri beresiko melahirkan Berat Bayi Lahir
Rendah (BBLR) dan stunting. Anemia gizi besi menjadi salah satu penyebab utama anemia,
diantaranya karena asupan makanan sumber zat 2 besi yang kurang. Hasil penelitian di Tangerang
tahun 2004 menunjukkan bahwa asupan total zat besi pada anak perempuan usia 10 – 12 tahun
yang menderita anemia hanya sebesar 5,4 mg/hari, lebih rendah dari pada kebutuhan perhari
sebesar 20 mg/hari sesuai Angka Kecukupan Gizi (AKG) 2013. Angka ini menunjukkan bahwa asupan
total zat besi pada remaja tersebut hanya sekitar 25 % dari AKG (Indriastuti, 2004) . Remaja putri
pada masa pubertas sangat berisiko mengalami anemia gizi besi. Hal ini disebabkan banyaknya zat
besi yang hilang selama menstruasi. Selain itu diperburuk oleh kurangnya asupan zat besi, dimana
zat besi pada remaja putri sangat dibutuhkan tubuh untuk percepatan pertumbuhan dan
perkembangan (Marudut, 2012). Pemberian Tablet Tambah Darah (TTD) merupakan salah satu
upaya yang dilakukan untuk mencegah dan menanggulangi anemia gizi besi pada remaja putri dan
wanita usia subur (WUS) dengan memprioritaskan pemberian TTD melalui institusi sekolah.
Pemberian Tablet Tambah Darah bertujuan untuk meningkatkan status gizi remaja putri, sehingga
dapat memutus mata rantai terjadinya stunting dan meningkatkan cadangan zat besi dalam tubuh
sebagai bekal dalam mempersiapkan generasi yang sehat, berkualitas dan produktif (Kemenkes RI,
2018). Program pemberian suplementasi zat besi atau Tablet Tambah Darah (TTD) pada remaja putri
diharapkan dapat berkontribusi memutus lingkaran malnutrisi antar generasi (WHO 2005).
Pemerintah Indonesia sejak tahun 1997 telah menjalankan program pencegahan dan
penanggulangan anemia gizi pada Wanita Usia Subur (WUS) dengan mengintervensi WUS lebih dini
lagi, yaitu sejak usia remaja. Program 3 ini bertujuan untuk mendukung upaya penurunan angka
kematian ibu dengan menurunkan risiko terjadinya perdarahan akibat anemia pada remaja putri.
Pemberian TTD pada remaja putri yaitu 1 tablet setiap minggu sepanjang tahun. Program
suplementasi zat besi telah diatur dalam buku Pedoman Penanggulangan Anemia Gizi untuk Remaja
Putri dan WUS dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2018 oleh Kementerian
Kesehatan RI. Meskipun sudah cukup jelas, program tersebut masih mengalami banyak kendala
terutama dalam hal kepatuhan. Kepatuhan merupakan salah satu faktor yang dianggap paling
berpengaruh dalam keberhasilan program suplementasi besi. Kepatuhan mengonsumsi TTD diukur
dari ketepatan jumlah tablet yang dikonsumsi dan frekuensi mengonsumsi tablet. Untuk bisa
meyakinkan bahwa TTD yang didistribusikan Guru kepada siswa diterima dan dikonsumsi perlu
tambahan alat bantu demi meyakinkan bahwa TTD yang dibagikan tersebut kepada siswa diterima
dan dikonsumsi oleh siswa, alat tersebut adalah berupa Kartu Monitoring yang berisi informasi dan
edukasi tentang anemia, aturan minum tablet tambah darah dan juga jumlah TTD yang di konsumsi
selama pemantauan (Maryani et al. 2006) . Hasil Riskesdas tahun 2013 menunjukkan 21,4% remaja
putri lupa mengonsumsi TTD. Pada remaja putri, belum terdapat data mengenai tingkat kepatuhan
konsumsi TTD karena kepatuhan konsumsi TTD merupakan indikator baru dalam program
pemberian TTD pada remaja putri (Kemenkes 2018). Salah satu upaya untuk meningkatkan
kepatuhan konsumsi TTD remaja putri dalam pelaksanaannya memerlukan bantuan dari pihak luar,
seperti guru. Penelitian Zavaleta et al. (2000) di Peru tentang efikasi dan penerimaan suplementasi
besi pada 4 remaja putri yang bersekolah, menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan konsumsi tablet
besi menjadi tinggi setelah adanya dukungan yang kuat dari guru. Dukungan guru merupakan faktor
penguat kepatuhan konsumsi TTD berdasarkan teori PRECEDEPROCEED. .Faktor-faktor penguat yang
dapat membantu melanjutkan motivasi dan merubah dengan memberikan umpan balik atau
penghargaan (Green & Kreuter 2005).

http://eprints.ums.ac.id/73325/3/BAB%20I.pdf

Penyebab perdarahan yang mengakibatkan kematian pada ibu setelah melahirkan salah satu faktor
resikonya disebabkan karena anemia yaitu 40,1%. Penyataan ini sesuai dengan hasil penelitian Chi,
dkk sebesar 70% angka kematian ibu yang menderita anemia dan 19,7% angka kematian ibu yang
tidak menderita anemia (Masrizal, 2007). Anemia adalah keadaan tubuh yang hanya memiliki jumlah
sel darah merah (eritrosit) yang sedikit yang dimana sel darah merah (eritrosit) mengandung
hemoglobin yang berfungsi untuk mengikat dan mengedarkan oksigen keseluruh tubuh (Proverawati
dan Wati,2011). Menurut World Health Organization (WHO) angka kejadian anemia pada ibu hamil
secara global sebesar 51%, sedangkan anemia yang terjadi pada wanita sebesar 35% (WHO, 2018)
Anemia pada ibu hamil dihubungkan dengan meningkatkan kelahiran prematur, kematian ibu dan
anak. Anemia defisiensi besi pada ibu dapat mempengaruhi pertumbuhan dan berkembangan
janin/bayi saat kehamilan maupun setelahnya. Di Indonesia anemia gizi merupakan salah satu
masalah 4 gizi utama disamping kurang kalori, protein, defisiensi vitamin A dan gondok endemik.
Riskesdas 2013 mendapatkan anemia terjadi pada 37,1% ibu hamil di Indonesia, 36,4% ibu hamil
diperkotaan dan 37,8% ibu hamil diperdesaan. Penyebab dari anemia pada ibu hamil yaitu
kurangnya. 2 pengetahuan ibu hamil tentang makanan baik untuk ibu hamil selain itu juga
rendahnya masukan makanan yang mengandung zat besi. Anemia pada ibu hamil juga dipengaruhi
oleh faktor-faktor lain seperti satatus gizi dan pola makan, fasilitas kesehatan dan juga kurangnya
asupan zat besi seperti tablet Fe pada masa hamil. Upaya pemerintah Indonesia untuk
menanggulangi masalah anemia pada ibu hamil dengan menberikan tablet tambah darah (TTD)
minimal 90 tablet selama kehamilan. Hasil PSG (2016) mendapatkan hanya 40,2% ibu hamil yang
mendapatkan TTD minimal 90 tablet lebih rendah dari target nasional tahun 2016 sebesar 85%
(KemenKes RI, 2017).Cakupan ibu hamil mendapat 90 tablet Fe di Provinsi Jawa Tengah pada tahun
2016 sebesar 88,12%, menurun bila dibandingkan dengan cangkupan tahun 2015 yaitu 92,13%
(Dinkes Jateng, 2016). Salah satu pelayanan pada ibu hamil adalah pemberian tablet zat besi.
Cakupan pemberian tablet zat besi. Fe 1 pada ibu hamil tahun 2017 99,56%, tahun 2016 sebesar
98,96% dan cakupan pemberian tablet Fe 3 tahun 2017 92,33% sedangkan tahun 2016 sebesar
94,32%. Pemberian tablet besi pada ibu hamil merupakan salah satu upaya untuk mencegah
timbulnya anemia pada ibu hamil, karena sebagian besar kematian ibu maternal salah satu
penyebab dasarnya adalah anemia (Dinkes Sukoharjo, 2017) Penurunan prevelensi anemia pada ibu
hamil untuk menentukan kinerja indikator yang sudah ditetapkan tidak hanya mengukur dari jumlah
3 tablet tambah darah yang diberikan tetapi perlu mengukur berapa banyak tablet tambah darah
yang sudah diminum ibu selama kehamilan. Perlu adanya upaya komunikasi, informasi dan edukasi
(KIE) terkait anemia dan manfaat mengkonsumsi tablet tambah darah selama masa kehamilan ibu
hamil agar ibu hamil mau untuk mengkonsumsi tablet tambah darah selama masa kehamilannya
(Departemen Kesehatan & Dasar 2016).

21. Vaksinasi Dasar/BIAS

http://repository.unika.ac.id/13451/2/14.C2.0023%20Susi%20Susanti%20BAB%20I.pdf

Pembangunan kesehatan di Indonesia memiliki beban ganda (double burden), dimana penyakit
menular masih masalah karena tidak mengenal batas wilayah administrasi sehingga tidak mudah
untuk memberantasnya. Salah satu upaya yang dilakukan untuk menurunkan angka kesakitan,
kematian, kecacatan dari penyakit menular dan penyakit tidak menular adalah imunisasi. Upaya
imunisasi telah diselenggarakan di Indonesia sejak tahun 1956. Mulai tahun 1977 upaya imunisasi
dikembangkan menjadi progam pengembangan imunisasi dalam rangka pencegahan penularan
terhadap penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) yaitu tuberculosis, difteria, pertussis,
campak, polio, tetanus dan hepatitis B.1 World Health Organization (WHO) mulai menetapkan
program imunisasi sebagai upaya global dengan Expanded Program on Immunization (EPI), yang
diresolusikan oleh World Health Assembly (WHA). Trobosan ini menempatkan EPI sebagai
komponen penting pelayanan kesehatan ibu dan anak, khususnya dalam pelayanan kesehatan
primer. Pada tahun 1981 mulai dilakukan imunisasi polio, 1 Departemen Kesehatan RI,2005,
Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi, Jakarta 2 tahun 1982 imunisasi campak, dan tahun 1997
imunisasi hepatitis mulai dilaksanakan. Pada akhir tahun 1988 diperkirakan bahwa cakupan
imunisasi di Indonesia cukup tinggi dibandingkan beberapa negara berkembang lainnya.2 Imunisasi
yang telah diperoleh dari bayi belum cukup untuk melindungi terhadap penyakit, sejak anak mulai
memasuki usia sekolah dasar terjadi penurunan terhadap tingkat kekebalan yang diperoleh saat
imunisasi ketika bayi, pada usia sekolah anak-anak mulai berinteraksi dengan lingkungan baru dan
bertemu dengan lebih banyak orang sehingga beresiko tertular atau menularkan penyakit, maka
pemerintah melalui kementerian kesehatan republik indonesia sejak tahun 1984 telah mulai
melaksanakan program imunisasi pada anak sekolah. Program ini kemudian dikenal dengan istilah
Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) yang diresmikan pada 14 November 1987 melalui surat
keputusan bersama dari Menteri Kesehatan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama,
dan Menteri Dalam Negeri. Sesuai dengan keputusan menteri kesehatan republik indonesia Nomor
1611/MENKES/SK/XI/2005 tentang pedoman penyelenggaraan imunisasi. Bulan imunisasi anak
sekolah yang selanjutnya disebut BIAS adalah bentuk operasional dari imunisasi lanjutan pada anak
sekolah yang dilaksanakan pada bulan tertentu 2 H. Kusnanto, SA. Wilopo, A. Surjono dan H. Rusito,
2009, Pencapaian Program Imunisasi pada anak usia 12-23 bulan dikabupaten purworejo.http://
www.chnrl.net/publikasi/pdf/IMUNKAB.pdf.diakses tanggal 14 desember 2009 3 setiap tahunnya
dengan sasaran semua anak kelas 1,2 dan 3 di seluruh Indonesia. Pemberian imunisasi atau vaksin
kepada anak sekolah ini merupakan kebijakan pemerintah pusat yang harus dilaksanakan di seluruh
Indonesia. Imunisasi adalah suatu cara untuk menimbulkan atau meningkatkan kekebalan seseorang
secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga bila kelak ia terpapar dengan penyakit tersebut tidak
akan menderita penyakit tersebut. Imunisasi lanjutan adalah imunisasi ulangan untuk
mempertahankan tingkat kekebalan di atas ambang perlindungan atau untuk memperpanjang masa
perlindungan. Pelaksanaan kegiatan Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) dilaksanakan oleh
puskesmas dan monitoring dilakukan oleh dinas kesehatan. Faktor penghambat pelaksanaan Bulan
Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
482/ MENKES/SK/VI/2010 tentang Gerakan Imunisasi Nasional yaitu konsekuensi dari penerapan
desentralisasi yang belum berjalan semestinya, kurangnya dana operasional imunisasi rutin di
kabupaten atau kota, banyaknya pemekaran daerah yang tidak didukung oleh tersedianya sarana
dan prasarana, kurangnya koordinasi lintas sektor (unit pelanyanan kesehatan swasta) terutama
mengenai pencatatan dan pelaporan, masih adanya keterlambatan dalam pendistribusian vaksin,
kekurangan jumlah, 4 kualitas, dan distribusi SDM dan kurangnya informasi yang lengkap dan akurat
tentang pentingnya imunisasi. Pada tahun 2002 sebanyak 777.000 di antaranya 202.000 berasal dari
Negara ASEAN, dan 15% dari kematian campak tersebut berasal dari Indonesia. Diperkirakan 30.000
anak Indonesia meninggal tiap tahunnya disebabkan komplikasi campak, artinya 1 anak meninggal
tiap 20 menit karena setiap tahunnya lebih dari 1 juta anak Indonesia belum terimunisasi campak.

Vaksinator COVID-19  opsional

Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh Severe
Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARSCoV-2). Menurut Rothan (2020) sumber penularan
kasus pertama COVID-19 dikaitkan dengan pasar ikan di Wuhan, Provinsi Hubei, China.(1) Sejak
kasus pertama muncul di Wuhan, peningkatan kasus COVID-19 terus terjadi di China setiap harinya,
kemudian memuncak pada akhir Januari hingga awal Februari 2020. Pada awalnya kebanyakan
laporan datang dari Hubei dan provinsi sekitarnya, kemudian bertambah hingga ke beberapa negara
di sekitar China.(1) Menurut data report World Health Organization (WHO) per 27 Desember 2020
tercatat jumlah kasus konfirmasi secara global sebanyak 79.062.802 dengan jumlah kematian
sebanyak 1.751.311 (CFR 2,2 %) di 222 negara terjangkit dimana 180 negara terjadi transmisi lokal.
Salah satu negara yang terjangkit yaitu negara Indonesia. Kasus COVID-19 pertama di Indonesia
dilaporkan pada tanggal 2 Maret 2020 sebanyak dua kasus.(2) Kasus meningkat dan menyebar
dengan cepat di seluruh wilayah Indonesia, hingga tanggal 27 Desember 2020 tercatat sebanyak
713.365 kasus konfirmasi, dengan jumlah kematian sebanyak 21.237 (CFR 3%). Berkaitan dengan
penanggulangan wabah penyakit menular, Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1984 tentang Wabah Penyakit Menular, Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1991 tentang
Penangulangan Wabah Penyakit Menular, dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
1501/Menkes/Per/X/2010 tentang Jenis Penyakit Menular tertentu yang dapat Menimbulkan
Wabah dan Upaya Penanggulangannya. Kemudian sebelum penyebaran kasus COVID-19 sampai ke
Indonesia, pada tanggal 4 Februari 2020 Menteri Kesehatan RI telah mengeluarkan Keputusan
Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/104/2020 tentang Penetapan Infeksi Novel
Coronavirus (Infeksi 2019-nCoV) sebagai Jenis Penyakit yang Dapat Menimbulkan Wabah dan Upaya
Penanggulangannya.(2) Sejak kemunculan COVID-19 di Indonesia, pemerintah telah melakukan
berbagai upaya pencegahan dan pengendalian. Dimana salah satu tata laksana 3 yang digencarkan
oleh pemerintah yaitu pelaksanaan vaksinasi sebagai upaya pencegahan dan penanggulangan
COVID-19. Vaksin COVID-19 diharapkan menjadi penentu dalam mengatasi pandemi ini, dimana di
seluruh negara di dunia juga melakukan upaya yang sama.(6) Vaksinasi adalah suatu tindakan
pemberian vaksin kepada seseorang dimana vaksin itu berisi satu atau lebih antigen. Tujuannya yaitu
apabila individu tersebut terpajan/terpapar dengan antigen yang sama, maka sistem imunitas yang
terbentuk akan menghancurkan antigen tersebut.(7) Menurut Ketua Komite Penasihat Ahli Imunisasi
Nasional atau Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI) Prof. Dr. dr. Sri Rezeki
Hadinegoro Sp. PD., bahwa vaksin menjadi upaya paling efektif dalam upaya pencegahan infeksi. Jika
sebagian besar masyarakat divaksinasi, maka kemampuan patogen untuk menyebar menjadi
terbatas, sehingga kelompok yang tidak mendapat imunisasi juga bisa tetap sehat. Jika banyak
masyarakat yang kebal, hal ini akan memutus mata rantai penularan kepada kelompok yang tidak
mendapatkan imunisasi seperti bayi kecil dan penderita imunokompromais.(8) Pemerintah
Indonesia telah mengambil kebijakan dalam pelaksanaan vaksinasi COVID-19 dengan dikeluarkannya
Perpres 99 tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka
Penanggulangan Pandemi COVID-19 (Corona Virus Disease 2019) yang ditandatangani oleh Presiden
Joko Widodo pada tanggal 5 Oktober 2019 di Jakarta.(9) Pada tanggal 3 Desember 2020 juga telah
ditandatangani Keputusan Menteri Kesehatan nomor 9860 tahun 2020 tentang Penetapan Jenis
Vaksin untuk Pelaksanaan Vaksinasi 4 COVID-19. Adapaun jenis vaksin yang ditetapkan yaitu vaksin
yang diproduksi oleh PT. Biofarma (Persero), Astra Zeneca, China Pharmaceutical Group Corporation
(Sinopharm), Moderna, Pfizer Inc and BioNTech, dan Sinovac Biotech Ltd.(10) Pada tanggal 6
Desember 2020 vaksin COVID-19 buatan Sinovac, yaitu perusahaan farmasi asal Tiongkok yang
bekerjasama dengan BUMN dan PT. Biofarma (Persero) telah tiba di Indonesia untuk tahap awal
pengiriman sebanyak 1,2 juta dosis, serta pada tanggal 31 Desember 2020 Pemerintah Indonesia
mendatangkan tambahan vaksin COVID-19 jenis sinovac sebanyak 1,8 juta dosis, sehingga
ketersediaan vaksin bentuk jadi asal Sinovac menjadi 3 juta dosis.(11) Sebelum vaksin digunakan,
pada tanggal 8 Januari 2021 MUI Pusat telah menetapkan bahwa vaksin COVID-19 produksi Sinovac
suci dan halal.(12) Kemudian didukung dengan penerbitan izin oleh BPOM pada tanggal 11 Januari
2020 berupa izin penggunaan darurat atau Emergency Use Authorization (EUA) terhadap vaksin
COVID-19 produksi sinovac, yang merupakan izin EUA yang pertama kalinya.(6) Hal itu menjadi dasar
dalam menjamin keamanan vaksinasi bagi seluruh masyarakat Indonesia. Pelaksanaan vaksinasi
COVID-19 di Indonesia dilakukan secara bertahap dengan menetapkan kriteria penerima vaksin
berdasarkan kajian ITAGI dan/atau Strategic Advisory Group of Experts on Immunization of the
World Health Organization (SAGE WHO). Vaksinasi COVID-19 petama kalinya di Indonesia
dilaksanakan pada tanggal 13 Januari 2021, dimana Presiden Republik Indonesia Bapak Joko Widodo
menjadi orang pertama yang menerima suntikan dosis vaksin 5 berupa vaksin produksi Sinovac.
Pelaksanaan vaksinasi tersebut digelar di Istana Merdeka, Jakarta. Hal itu tentunya bertujuan untuk
membuktikan bahwa vaksin COVID-19 yang akan digunakan di Indonesia terjamin keamanan dan
kehalalannya serta dapat membentuk kepercayaan dan menumbuhkan niat seluruh masyarakat
Indonesia untuk mengikuti vaksinasi COVID-19. Pelaksanaan vaksinasi COVID-19 akan berhasil jika
masyarakat Indonesia memiliki niat yang tinggi untuk mengikuti vaksinasi. Menurut Theory of
Planned Behavior (TPB) seseorang akan melakukan perilaku (behavior) jika mempunyai niat
(behavioral intention ) untuk melakukannya.(13) Niat merupakan hal yang ada didalam diri berupa
keinginan serta seberapa kuat keyakinan seseorang untuk melakukan suatu perilaku yang apabila
terdapat waktu dan kesempatan yang cocok akan direalisasikan dalam wujud tindakan. (14)
Termasuk dalam hal pelaksanaan vaksinasi COVID-19, masyarakat akan mengikuti vaksinasi jika
didorong oleh keyakinan atau niatnya. Berdasarkan hasil survei daring yang dilakukan oleh
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia bersama UNICEF dan ITAGI pada September 2020 terkait
penerimaan vaksin COVID-19 bagi masyarakat Indonesia yang diikuti lebih dari 115.000 responden
dari 34 provinsi, tercatat sekitar 65 persen responden menyatakan akan ikut program vaksinasi
COVID-19 jika disediakan Pemerintah, namun sebanyak 7,6 persen menolak divaksin COVID-19 dan
sebanyak 27,6 persen lainnya masih ragu.

22. Tracing penyakit menular  covid?

http://repository.poltekkes-denpasar.ac.id/7199/2/BAB%20I%20Pendahuluan.pdf

Dunia saat ini dihebohkan dengan sebuah kejadian yang membuat banyak masyarakat resah yaitu
adanya virus baru yang dikenal dengan nama Covid-19. WHO China Country Office melaporkan kasus
pneumonia yang tidak diketahui etiologinya di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Cina. Pada tanggal 7
Januari 2020, China mengidentifikasi kasus tersebut sebagai jenis baru Coronavirus. Pada tanggal 30
Januari 2020 WHO menetapkan kejadian tersebut sebagai Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang
Meresahkan Dunia (KKMMD)/Public Health Emergency of International Concern (PHEIC) dan pada
tanggal 11 Maret 2020, WHO sudah menetapkan Covid-19 sebagai pandemi. (Kemenkes RI, 2020)
Covid-19 (Coronavirus Disease 2019) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh Severe Acute
Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV2). SARS-CoV-2 merupakan Coronavirus jenis baru
yang belum pernah diidentifikasi sebelumnya pada manusia. Ada dua jenis Coronavirus yang
diketahui menyebabkan penyakit yang dapat menimbulkan gejala berat seperti Middle East
Respiratory Syndrome (MERS) dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS). Tanda dan gejala
umum infeksi Covid-19 antara lain gejala gangguan pernapasan akut seperti demam, batuk dan
sesak napas. Masa inkubasi rata-rata 5-6 hari dengan masa terpanjang 14 hari. Pada kasus Covid-19
yang berat dapat menyebabkan pneumonia, sindrom pernapasan akut, gagal ginjal, dan bahkan
kematian. (Kemenkes RI, 2020). 2 Berdasarkan data Worldometers tanggal 11 Januari 2021
mencatat, kasus Coronavirus dunia telah menembus angka 90.689.748 kasus dan angka kematian
mencapai 1.943.099 orang, sementara yang berhasil sembuh sebanyak 64.811.380 orang. (WHO,
2021) Kasus Covid-19 di Indonesia menurut Kompas didapatkan pemerintah mencatat, ada 6.839
pasien Covid-19 yang dinyatakan sembuh dalam 24 jam terakhir hingga tanggal 1 Januari 2021 pukul
12.00 WIB. Dengan penambahan itu, jumlah pasien Covid-19 yang telah dinyatakan sembuh menjadi
617.936 orang. Jumlah pasien Covid-19 yang dinyatakan meninggal dunia dalam 24 jam terakhir
bertambah 191 orang sehingga totalnya menjadi 22.329 orang. Selain itu, terdapat 68.418 kasus
suspek terkait Covid-19 di Indonesia. Adapun kasus Covid19 tersebar di 510 dari total 514
kabupaten/kota. Virus SARS-CoV-2 yang jadi penyebab Covid-19 sudah menjangkiti seluruh provinsi
di Indonesia (Kompas, 2021) Data Covid-19 Provinsi Bali data terbaru positif corona sebanyak 21.182
orang, sembuh sebanyak 18.326 orang, dan meninggal dunia sebanyak 590 orang. Secara kumulatif
pandemi Covid-19 sejak Maret 2020, jumlah positif Covid-19 di Jembrana mencapai 1.139 kasus. Dari
1.139 kasus itu, 926 orang telah berhasil sembuh, 33 orang meninggal, dan ada 180 orang masih
dirawat. Data tanggal 14 Januari 2021, ada tambahan 14 kasus baru positif Covid-19 dan 26 pasien
positif Covid-19 yang telah dinyatakan sembuh Satgas Covid-19 Jembrana, (2021). Menurut update
Covid-19 Kabupaten Jembrana, di Kecamatan Mendoyo terkonfirmasi pasien positif Covid-19
sebanyak 177 kasus dan dinyatakan sembuh sebanyak 165 kasus, dan di desa Yehembang Kauh
terkonfirmasi 17 masyarakat 3 yang positif Covid-19 namun setelah menjalani perawatan baik
perawatan di rumah sakit maupun menjalani isolasi mandiri. (Satgas Covid-19 Jembrana, 2021).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sari, dkk (2020) yang dimuat dalam jurnal yang berjudul
Perilaku Pencegahan Covid-19 di Tinjau dari Karakteristik Individu dan Sikap Masyarakat, yang
diketahui distribusi responden berdasarkan karakteristik meliputi usia, status pekerjaan, jenis
kelamin, sikap dan perilaku terhadap pencegahan Covid-19. Hasil penelitian yang diperoleh dari
1.170 orang masyarakat terdapat 3 golongan usia yaitu remaja (12-25 tahun) sebanyak 1.063 orang
(90,9%), dewasa (26-45 tahun) sebanyak 67 orang (5,7%), lansia (46-65 tahun) sebanyak 40 orang
(3,4%). Terdapat responden yang bekerja sebanyak 655 orang (56%) dan tidak bekerja sebanyak 515
orang (44%). Berdasarkan data penelitian jenis kelamin mayoritas responden adalah perempuan
yaitu sebanyak 811 orang (69,3%) dan laki-laki sebanyak 359 orang (30,7%). Sikap responden
terhadap pencegahan Covid-19 mayoritas positif yaitu sebanyak 1160 orang (99,15%) dan negatif
sebanyak 10 orang (0,85%). Kemudian perilaku pencegahan Covid-19 pada responden adalah
mayoritas baik yaitu sebanyak 1.055 orang (90,2%) dan tidak baik sebanyak 115 orang (9,8%).
Berdasarkan hasil survey awal pendahuluan yang dilakukan dengan metode wawancara pada 10
kepala keluarga di Banjar Pangkung Telepus diketahui sebanyak 6 kepala keluarga yang tidak patuh
terhadap protokol kesehatan 5M dengan rentang usia 30-60 tahun dengan alasan hanya bepergian
disekitar rumah jadi tidak perlu menggunakan masker, tidak menggunakan masker dengan baik dan
benar, tidak mencuci tangan saat datang dari bepergian, berkumpul dengan 4 banyak orang saat
melakukan suatu kegiatan. Sebanyak 1 kepala keluarga yang kurang patuh terhadap protokol
kesehatan 5M, 1 kepala keluarga yang cukup patuh terhadap protokol kesehatan 5M, 2 kepala
keluarga yang patuh terhadap protokol kesehatan 5M sesuai peraturan yang tersedia. Pada kasus
pandemi Covid-19 di Indonesia, pemahaman dan kepatuhan kepala keluarga terhadap protokol
kesehatan sangat diperlukan. Menurut (BKKBN), keluarga adalah dua orang atau yang dibentuk
berdasarkan ikatan perkawinan yang sah, memenuhi kebutuhan hidup spiritual dan material yang
layak, bertakwa kepada Tuhan, memiliki hubungan yang selaras, serasi dan seimbang antara anggota
keluarga dan masyarakat serta lingkungannya menurut Ariga, (2020). Dalam menunjukan perilaku
pencegahan Covid-19, kepala keluarga perlu mengetahui manajemen kesehatan keluarga, agar
mampu membedakan hal mana saja yang patut dilakukan guna mencegah peningkatan kasus positif
Covid-19 di Indonesia lebih banyak lagi. Manajemen kesehatan keluarga adalah proses mengatur
kegiatan pelayanan kesehatan keluarga dengan memberikan asuhan keperawatan sehingga
masalah-masalah yang terjadi di dalam keluarga tersebut dapat diselesaikan (Ariga, 2020)
Penanganan dan pencegahan kasus pandemi ini sudah dilakukan dengan berbagai cara, baik secara
global maupun nasional atau wilayah. Adapun strategi yang selama ini sudah dijalankan untuk
penanganan Covid-19 yaitu strategi pertama sebagai penguatan strategi dasar itu adalah dengan
gerakan masker untuk semua yang mengkampanyekan kewajiban memakai masker saat berada di
ruang publik atau di luar rumah. Strategi kedua adalah penelusuran kontak (racing) dari kasus positif
yang dirawat dengan menggunakan rapid test atau tes cepat, di 5 antaranya adalah orang terdekat,
tenaga kesehatan yang merawat pasien Covid-19, serta pada masyarakat di daerah yang ditemukan
kasus banyak. Strategi ketiga adalah edukasi dan penyiapan isolasi secara mandiri pada sebagian
hasil tracing yang menunjukkan hasil tes positif dari rapid test atau negatif dengan gejala untuk
melakukan isolasi mandiri. Isolasi ini bisa lakukan mandiri atau berkelompok seperti diinisiasi oleh
beberapa kelompok masyarakat. Strategi keempat adalah isolasi rumah sakit yang dilakukan kala
isolasi mandiri tidak mungkin dilakukan, seperti karena ada tanda klinis yang butuh layanan definitif
di rumah sakit, termasuk dilakukan isolasi di RS darurat (Widnyana, dkk., 2020) Bukti ilmiah Covid-19
dapat menular dari manusia ke manusia melalui percikan batuk/bersin (droplet), tidak melalui udara.
Orang yang paling berisiko tertular penyakit ini adalah orang yang kontak erat dengan pasien Covid-
19 termasuk yang merawat pasien Covid-19 Dirjen P2P Kemenkes RI, (2020). Tindakan pencegahan
dan mitigasi merupakan kunci penerapan di pelayanan kesehatan dan masyarakat. Langkah-langkah
pencegahan yang paling efektif di masyarakat meliputi : melakukan kebersihan tangan menggunakan
hand sanitizer jika tangan tidak terlihat kotor atau cuci tangan dengan sabun jika tangan terlihat
kotor; menghindari menyentuh mata, hidung dan mulut; terapkan etika batuk atau bersin dengan
menutup hidung dan mulut dengan lengan atas bagian dalam atau tisu, lalu buanglah tisu ke tempat
sampah; pakailah masker medis jika memiliki gejala pernapasan dan melakukan kebersihan tangan
setelah membuang masker; menjaga jarak (minimal 1 meter) dari orang yang mengalami gejala
gangguan pernapasan. (Dirjen P2P Kemenkes RI, 2020). 6 Coronavirus dapat dicegah dengan
melakukan kepatuhan diantaranya gerakan 5M yang sebagai pelengkap aksi 3M yaitu, memakai
masker, mencuci tangan pakai sabun dan air mengalir, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, serta
membatasi mobilisasi dan interaksi menurut Ramadhani, (2021). Implementasi protokol kesehatan
ini tidak akan maksimal apabila tidak didukung dengan partisipasi masyarakat, sehingga diperlukan
suatu usaha untuk meningkatkan kepatuhan masyarakat dalam mendukung berjalannya protokol-
protokol kesehatan yang ada. Menurut Novi Afrianti & Cut Rahmiati, (2021) kepatuhan adalah
perilaku sesuai anjuran terapi dan kesehatan dan dapat dimulai dari tindak mengindahkan setiap
aspek anjuran hingga mematuhi rencana. Kepatuhan adalah salah satu perilaku pemeliharaan
kesehatan yaitu usaha seseorang untuk memelihara kesehatan atau menjaga kesehatan agar tidak
sakit dan usaha penyembuhan apabila sakit. Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat
kepatuhan seseorang diantaranya adalah pengetahuan, motivasi serta dukungan dari keluarga.
(Anggreni dan Safitri, 2020).

23. Tracing penyakit menular  varicella?

https://eprints.umm.ac.id/92855/2/BAB%20I.pdf

Penyakit menular adalah penyakit infeksi yang dapat berpindah atau menyebar ke orang lain,
penyebaran penyakit disebabkan oleh mikroorganisme, seperti bakteri, virus, jamur, atau parasit
Darwin, (2018). Penyebaran penyakit menular menjadi suatu kegundahan juga menjadi suatu
ancaman bagi masyarakat, karena penyakit menular umumya bersifat dadakan tanpa disadari dan
dapat menyerang seluruh lapisan masyarakat dalam waktu tertentu, penyebaran penyakit menular
dapat ditularkan secara langsung maupun tidak langsung.(Ana Solikah, 2019). Varicella merupakan
salah satu penyakit yang dapat ditularkan melalui kontak langsung. Varicella juga disebut dengan
chickenpox, di Indonesia sendiri sering dikenal dengan sebutan cacar air. Menurut Theresia &
Hadinegoro, (2016) mengatakan bahwa cacar air termasuk jenis penyakit menular yang menjangkit
manusia, Varisela dapat mengenai semua kelompok umur termasuk neonatus, tetapi hampir 90%
kasus menyerang anak dibawah umur 10 tahun dan paling banyak pada umur 5 hingga 9 tahun tidak
terkecuali pada usia dewasa ada juga yang terjangkit penyakit varicella atau cacar air tersebut. Hal
tersebut disebabkan oleh Virus Varicella Zoster (VZV). Infeksi varicella sendiri biasanya memiliki
keparahan rendah. Prevalensi serologis meningkat dengan bertambahnya usia, mulai dari 86% di
antara anak-anak usia 6 hingga 11 tahun hingga 99,9% di antara orang dewasa yang berusia 40
tahun atau lebih (Margha & Wardhana, 2020) Cacar air disebabkan oleh infeksi suatu virus yang
bernama virus varicella zoster (VZV) yang dapat disebarkan oleh manusia melalui cairan, selain dari
cairan percikan ludah juga dari cairan yang berasal dari vesikel kulit orang yang menderita penyakit
cacar air. (Ana Solikah, 2019). Varicella Zoster Virus (VZV) termasuk bagian dari alphaherpes yang
merupakan sebagai jenis virus imunogenik, sehingga menjadi penyakit endemik akut yang umum
sering menyerang manusia (Sanglah et al., 2021). Freer & Pistello, (2018) menyatakan bahwa Infeksi
varisela bersifat pandemik dan sangat menular. Penularan dari droplet saluran pernafasan dari
seseorang yang 2 terinfeksi virus fase akut, virus yang bergabung dengan udara atau kontak
langsung dengan penderita melalui lesi pada kulit. Perkiraan beban penyakit tahunan global karena
varicella adalah substansial menurut WHO, (2014) memperkirakan beban penyakit varicella tiap
tahunnya mencapai 4,2 juta komplikasi, termasuk 4.200 kematian. Walaupun begitu, angka ini masih
lebih rendah dibandingkan kematian akibat penyakit menular lain seperti campak, pertussis, dan
rotavirus (Vos et al., 2020). Angka insidensi dan prevalensi serologis cacar air di Indonesia kurang
diperhatikan, sehingga Margha & Wardhana, (2020) dalam penelitiannya menyatakan bahwa
epidemiologis varicella di Indonesia penting dilakukan, hal tersebut disampaikan juga dalam
penelitian Sely et al., (2021) bahwa di Indonesia tidak banyak penelitian yang mencatat kasus
Varicella atau cacar air. Margha & Wardhana, (2020) menyatakan dalam penelitiannya di RSUP
Sanglah, Denpasar, Bali. Terdapat 56 orang yang terinfeksi varicella. Penyakit cacar air ditandai
dengan munculnya gejala yaitu sakit kepala, demam, kelelahan ringan kemudian diikuti dengan
munculnya ruam pada kulit dan rasa gatal (Wicaksono et al., 2019), dan munculnya fase prodromal
dengan klinis gejala demam dan malaise diikuti erupsi dan muncul rash/ruam yang khas (Rosyidah &
Anam, 2020). Theresia & Hadinegoro, (2016) mengatakan bahwa meskipun gejala klinis varisela tidak
berat namun pada remaja, orang dewasa dan anak dengan status imunitas menurun dapat
meningkatkan angka kesakitan hingga kematian. Sely et al., (2021) dalam penelitiinya menyatakan
bahwa sangat sedikit sekali angka kematian terjadi akibat penyakit cacar ini bahkan tergolong kecil,
kecuali adanya komplikasi. Rosyidah & Anam, (2020) menyebutkan bahwa kematian akibat penyakit
varicella atau cacar air dipengaruhi karena komplikasi yang timbul, komplikasi umum yaitu infeksi
sekunder oleh Staphylococcus atau Streptococcus, komplikasi lain bisa ke organ target karena infeksi
varisela bersifat sistemik, dan komplikasi akut dari varisela bisa berupa sepsis bakteri, pneumonia,
ensefalitis, dan komplikasi perdarahan, serta komplikasi berat bahkan dapat menyebabkan kematian
pada kondisi imun sangat rendah. Sehingga perlu pengendalian kusus untuk mengatasi penyeberan
penyakit varicell ata cacar air tersebut. Penularan kasus cacar air banyak menyerang terutama pada
anak-anak, sifat penularan yang begitu cepat sehingga dibutuhkan suatu cara pengendalian dalam 3
penyebaran penyakit cacar air supaya tidak menjadi wabah di masyarakat. Salah satu pengendalian
penularan cacar dengan pemberlakuan program vaksinasi, yang dimana pemberian vaksin dalam
tubuh bertujuan sebagai kekebalan aktif pada suatu penyakit. Menurut CDC, (2018) vaksinasi dapat
diberikan pada anak-anak yang berusia 12 bulan hingga 12 tahun, orang-orang yang berusia 13
tahun atau lebih yang belum mendapat vaksin ini sebelumnya, dan seseorang yang belum pernah
terjangkit cacar air, harus diberikan 2 dosis dengan jarak minimum 28 hari. Diketahui tidak
didapatkan risiko akibat pemberian vaksin cacar air seperti halnya vaksin yang lain.

24. Penapisan TB
http://eprints.umpo.ac.id/2651/2/BAB%20I.pdf

TB Paru masih menjadi masalah kesehatan yang mendunia. Tuberkulosis adalah penyakit menular
langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB
menyerang paru-paru, tetapi dapat juga menyerang organ atau bagian tubuh lainnya (misalnya:
tulang, kelenjar, kulit, dll). Sekitar 75 % pasien TB Paru adalah kelompok usia yang paling produktif
secara ekonomis (15-50 tahun). Pasien TB Paru 50% akan meninggal jika tanpa pengobatan
(Kemeneks RI, 2014). Sumber penularan adalah pasien TB Paru BTA positif melalui percikan dahak
yang dikeluarkannya. Namun, pasien TB Paru dengan BTA negatif juga masih memiliki kemungkinan
menularkan penyakit TB Paru. Infeksi akan terjadi apabila orang lain menghirup udara yang
mengandung percikan dahak yang infeksius tersebut. Pada waktu batuk atau bersin, pasien
menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei/percik renik). Sekali
batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak (Kemenkes RI, 2014). Mengingat mudahnya
TB Paru menular dan dapat menyebar ke organ tubuh lainnya, maka mencegah itu lebih baik dari
pada mengobati. Pemerintah sudah menyediakan fasilitas pengobatan bagi penderita TB Paru
dengan penerapan strategi DOTS, melalui Puskesmas dan Rumah Sakit. Pengetahuan masyarakat
tentang deteksi dini TB Paru sangat diperlukan untuk memberantas penyakit TB Paru. Pengetahuan
baik dapat menyadarkan masyarakat tentang deteksi dini TB Paru. Deteksi dini merupakan 2 suatu
meka nisme yang berupa pemberian informasi secara tepat waktu dan efektif, agar masyarakat/
individu di daerah rawan mampu mengambil tindakan menghindari atau mengurangi resiko dan
mampu bersiap-siap untuk merespon secara efektif. Berdasarkan Global Tuberkulosis Kontrol tahun
2011 angka prevalensi semua tipe TB Paru adalah sebesar 289 per 100.000 penduduk atau sekitar
690.000 kasus. Insiden kasus baru TB Paru dengan BTA positif sebesar 189 per 100.000 penduduk
atau sekitar 450.000 kasus. Kematian akibat TB Paru di luar HIV sebesar 27 per 100.000 penduduk
atau 182 orang per hari. Menurut laporan WHO tahun 2013, Indonesia menempati urutan ke tiga
jumlah kasus tuberkulosis setelah India dan China dengan jumlah sebesar 700 ribu kasus. Angka
kematian masih sama dengan tahun 2011 sebesar 27 per 100.000 penduduk, tetapi angka
insidennya turun menjadi 185 per 100.000 penduduk di tahun 2012 (Suharyo, 2013). Penderita TB
Paru di Indonesia pada tahun 2014 sebanyak 176.677 orang. Provinsi dengan peringkat 5 tertinggi
penderita TB Paru adalah Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara, dan DKI Jakarta.
Perkiraan kasus TB Paru BTA positif di Jawa Barat sebanyak 31.469 orang, Jawa Timur sebanyak
22,244 orang, Jawa Tengah sebanyak 16,079 orang, Sumatera Utara sebanyak 15,031 orang, dan DKI
Jakarta sebanyak 8,452 orang (Kementrian Kesehatan RI, 2015). Masyarakat yang sehat itu akan
selalu berupaya untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian dari berbagai sebab dan penyakit.
Kebanyakan penderita TB Paru adalah kalangan masyarakat yang tinggal di pedesaan. Ini
dikarenakan kurangnya pengetahuan masyarakat tentang deteksi dini TB Paru, dan kedekatan
masyarakat dengan sumber penularan (penderita TB Paru). Kebiasaan masyarakat desa adalah
sering berkumpul sesama tetangga untuk berbagi informasi ataupun saling bercerita pengalaman.
Masyarakat tidak tahu jika mereka berisiko untuk tertular penyakit TB Paru. TB Paru masih menjadi
masalah kesehatan masyarakat. Dampak yang muncul apabila masyarakat kurang mengetahui
tentang deteksi dini TB Paru adalah akan bertambahnya penderita TB Paru baru dan akan
meningkatkan angka kematian. TB Paru adalah salah satu penyebab kematian, yang sebenarnya
dapat dicegah. Karena kurangnya pengetahuan masyarakat tentang penyakit ini sehingga penyakit
TB Paru ini sangat mudah untuk tertularkan ke orang lain, akhirnya akan menambah jumlah
penderita tuberkulosis. 4 Sebenarnya, peningkatan jumlah penderita baru ini dikarenakan kurangnya
pengetahuan masyarakat tentang deteksi dini TB Paru dan dapat ditekan dengan meningkatkan
pengetahuan masyarakat, maka diperlukannya peran dari tim tenaga kesehatan untuk melakukan
penyuluhan dan promosi kesehatan tentang deteksi dini penyakit TB Paru. Bila masyarakat sudah
mengetahui tentang deteksi dini TB Paru, maka jumlah penderita TB Paru dapat kita tekan. Dalam
penanggulangan penyakit TB Paru tidak hanya cukup dengan menurunkan angka kesakitan,
kematian, dan penularan, akan tetapi tindakan yang paling efektif adalah memutuskan mata rantai
penularannya dengan cara mengetahui/ mengenali tanda dan gejala, penyebab, serta pemeriksaan
yang perlu dilakukan, sehingga angka kejadian TB Paru bisa diturunkan. Pengetahuan masyarakat
tentang deteksi dini TB Paru sangat diperlukan untuk memutus mata rantai penularan TB Paru.
Selain itu disarankan kepada masyarakat untuk mencari informasi lain dari TV, radio, media cetak
ataupun internet tentang deteksi dini TB Paru, sehingga masyarakat cepat bertindak apabila ada
deteksi dini yang mengarah ke TB Paru. Masyarakat dapat langsung berobat ke Puskesmas agar
cepat mendapat pengobatan, supaya TB Paru tidak semakin tersebar luas.
- pemberian KIE kecurigaan penyakit

- inform consent tindakan

- injeksi 0,1 ml 5 TU (tuberculin unit) PPD ke intrakutan lengan bawah

- pembacaan hasil dalam 48-72 jam

- inform hasil pemeriksaan

- pemberian KIE kecurigaan penyakit

- inform consent pemeriksaan dahak/sputum

- pemberian form pemeriksaan dan pot sputum

- inform cara pengumpulan dahak pagi

- penyetoran spesimen ke laboratorium

- pemeriksaan TCM

- inform hasil pemeriksaan jika sudah ada

25. Pengobatan Tuberkulosis

http://eprints.ums.ac.id/57377/3/BAB%20I.pdf

Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan yang besar di dunia. Dalam 20 tahun World
Health Organisation (WHO) dengan negara-negara yang tergabung di dalamnya
mengupayakan untuk mengurangi TB Paru. Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit infeksi
menular yang di sebabkan oleh infeksi menular oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis.
Sumber penularan yaitu pasien TB BTA positif melalui percik renik dahak yang
dikeluarkannya. Penyakit ini apabila tidak segera diobati atau pengobatannya tidak tuntas
dapat menimbulkan komplikasi berbahaya hingga kematian (Kemenkes RI, 2015). Menurut
WHO tuberkulosis merupakan penyakit yang menjadi perhatian global. Dengan berbagai
upaya pengendalian yang dilakukan, insiden dan kematian akibat tuberkulosis telah
menurun, namun tuberkulosis diperkirakan masih menyerang 9,6 juta orang dan
menyebabkan 1,2 juta kematian pada tahun 2014. India, Indonesia dan China merupakan
negara dengan penderita tuberkulosis terbanyak yaitu berturut-turut 23%, 10%, dan 10%
dari seluruh penderita di dunia (WHO, 2015). Pada tahun 2015 di Indonesia terdapat
peningkatan kasus tuberkulosis dibandingkan dengan tahun 2014. Pada tahun 2015 terjadi
330.910 kasus tuberkulosis lebih banyak dibandingkan tahun 2014 yang hanya 324.539 2
kasus. Jumlah kasus tertinggi terdapat di provinsi dengan jumlah penduduk yang besar yaitu
Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa tengah (Kemenkes RI, 2016). Data terakhir dinas
kesehatan Jawa Tengah menyebutkan, di Jawa Tengah pada tahun 2015 kasus TB BTA positif
sebesar 115,17 per 100.000 penduduk , penemuan kasus BTA positif pada tahun 2015
mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2014 yaitu 55,99 per 100.000 penduduk. Kota
dengan CNR tuberkulosis BTA positif di Sukoharjo sebesar 66,6 per 100.000 penduduk
(Dinkes Jateng, 2016). Peningkatan tuberkulosis paru di tanggulangi dengan beberapa
strategi dari Kementrian Kesehatan, salah satunya yaitu meningkatkan perluasan pelayanan
DOTS (Directly Observed Treatment Short-course). DOTS adalah salah satu strategi untuk
meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai TB paru melalui penyuluhan sesuai
dengan budaya setempat, mengenai TB paru pada masyarakat miskin, memberdayakan
masyarakat dan pasien TB paru, serta menyediakan akses dan standar pelayanan yang
diperlukan bagi seluruh pasien TB paru. TB paru merupakan penyakit yang sangat cepat
ditularkan. Cara penularan TB paru yaitu melalui percikan dahak (droplet nuclei) pada saat
pasien batuk atau bersin terutama pada orang di sekitar pasien seperti keluarga yang tinggal
serumah dengan pasien. Perilaku keluarga dalam pencegahan TB paru sangat berperan
penting dalam mengurangi resiko penularan TB paru. Meningkatnya penderita TB Paru di
Indonesia disebabkan oleh perilaku hidup yang tidak sehat. Hasil survey di Indonesia oleh
Ditjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (P2MPL) salah satu
penyebab 4 tingginya anka kejadian TB Paru di sebabkan oleh kurangnya tingkat
pengetahuan (Kemenkes, 2011).

- pemeriksaan keluhan
- anamnesis obat habis
- pemberian resep OAT lanjutan dan terapi simtomatis
- KIE kontrol ulang jika obat akan habis

26. Hipertensi dan Diabetes Melitus

http://repository.poltekkes-denpasar.ac.id/7336/2/BAB%20I%20Pendahuluan.pdf

Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu penyakit kronik yang ditandai


dengan adanya hiperglikemi sebagai akibat berkurangnya produksi insulin,
ataupun gangguan aktivitas dari insulin ataupun keduanya (ADA, 2012). Diabetes
Mellitus dikenal sebagai silent killer karena sering tidak disadari oleh
penyandangnya dan saat diketahui sudah terjadi komplikasi (Hari Nugroho, 2019).
Komplikasi sering terjadi pada penderita diabetes melitus apabila tidak dikelola
dengan baik sehingga penderita membutuhkan terapi pengobatan lama untuk
menurunkan kejadian komplikasi (ADA 2017).Penderita diabetes mellitus
memiliki kadar glukosa darah yang tinggi. Keadaan glukosa darah yang tinggi
dapat menyebabkan viskositas darah menjadi lebih kental, sehingga jantung
membutuhkan tekanan yang lebih besar untuk memompa darah keseluruh tubuh,
hal ini dapat menyebabkan keadaan hipertensi ( tekanan darah tinggi ).
Tekanan darah tinggi atau hipertensi merupakan suatu masalah kesehatan
masyarakat yang umum di negara berkembang, sechara khusus bagi masyarakat
Indonesia. Penderita DM Tipe 2 sering mempunyai tekanan darah lebih tinggi
atau sama dengan 150/90 mmHg. Penderita DM Tipe 2 mempunyai risiko
penyakit jantung dan pembuluh darah dua sampai empat kali lebih tinggi
dibandingkan orang tanpa diabetes, mempunyai risiko hipertensi dan dislipidemia
yang lebih tinggi dibandingkan orang normal. Kelainan pembuluh darah sudah
dapat terjadi sebelum diabetesnya terdiagnosis, karena adanya resistensi insulin
pada saat prediabetes (Arquitectura et al., 2015).
Penyebab utama kematian pasien dengan DMT2 adalah penyakit
kardiovaskular. Pasien dengan DMT2 memiliki risiko 10% lebih tinggi menderita
penyakit arteri koroner, 53% diantaranya mengalami infark miokard, 58%
mengalami stroke, dan 112% lebih berisiko menderita penyakit gagal jantung.
Pada tahun 2018, dari 4.549.481 orang yang menderita DMT2, 32,2% mengalami
komplikasi kardiovaskular, 29,1% mengalami aterosklerosis, 21,2% penyakit
arteri koroner, 14,9% gagal jantung, 14,6% angina, 10% infark miokard, dan 7,6%
stroke (Arquitectura et al., 2015).
Hipertensi berpengaruh pada penyakit vaskuler antara lain pada organ otak
( stroke, demensia ), jantung ( Infark miokard, gagal jantung, kematian mendadak,
atau ginjal ( gagal ginjal terminal ). Dengan demikian secara patofisiologis
dasarnya adalah kelainan pada dinding pembuluh darah merupakan awal kelainan
pada organ organ tersebut. Prevalensi hipertensi pada penderita Diabetes mellitus
secara keseluruhan adalah 70 %, Pada laki laki 32 %, wanita 45 %. Pada
masyarakat India Puma sebesar 49%, pada kulit putih sebanyak 37 % dan pada
orang asia sebesar 35%. Hal ini menggambarkan bahwa tekanan darah tinggi pada
DM akan sering ditemukan dibandingkan pada individu tanpa diabetes (Permana,
2012).
Hingga 14 Mei 2020, International Diabetes Federation (IDF) melaporkan
463 juta orang dewasa di dunia menyandang diabetes dengan prevalensi global
mencapai 9,3%. Namun, kondisi yang membahayakan adalah 50,1% penyandang
diabetes tidak terdiagnosis. Ini menjadikan status diabetes sebagai silent killer
3
masih menghantui dunia. Jumlah diabetes ini diperkirakan meningkat 45% atau
setara dengan 629 juta pasien per tahun 2045. Bahkan, sebanyak 75% pasien
diabetes pada tahun 2020 berusia 20-64 tahun. Negara di wilayah Arab-Afrika
Utara dan Pasifik Barat menempati peringkat pertama dan ke-2 dengan prevalensi
diabetes pada penduduk umur 20-79 tahun tertinggi diantara 7 regional di dunia,
yaitu sebesar 12,2 % dan 11,4%. Wilayah Asia Tenggara dimana Indonesia berada
menempati peringkat ke-3 dengan prevalensi sebesar 11,3%.
Indonesia berada di peringkat ke-7 di antara 10 negara dengan jumlah
penderita terbanyak, yaitu sebesar 10,7 juta. Indonesia menjadi satu-satunya
Negara di Asia Tenggara pada daftar tersebut, sehingga dapat diperkirakan
besarnya kontribusi Indonesia terhadap prevalensi kasus DM di Asia Tenggara.
Hipertensi lebih sering terjadi pada populasi DM di bandingkan populasi nondiabetes. Lebih
dari 75% pasien diabetes mempunyai tekanan darah lebih dari
130/80 mmHg atau mengkonsumsi obat-obatan anti hipertensi (Pusat Data Dan
Informasi Kemenkes RI, 2013). Hasil penelitian yang dilakukan di salah satu
rumah sakit di Aceh didapatkan pasien diabetes melitus tipe 2 yang juga
terdiagnosa hipertensi, proporsi paling banyak didapat pada kelompok usia 40-49
tahun (32.2%) dan pada kelompok usia 50-59 tahun 32.2% (Soares, 2013). Hasil
Persentase hipertensi pada penderita DM tipe 2 di RSUD dr. Chasbullah
Abdulmadjid Kota Bekasi adalah 46,57% ditemukan pasien diabetes mellitus
dengan hipertensi (Ayutthaya & Adnan, 2020).
Bali merupakan salah satu provinsi di Indonesia dengan kasus DM yang
cukup banyak.
Salah satu dari upaya yang sudah di lakukan untuk mencegah komplikasi
DM yaitu, edukasi promosi hidup sehat, terapi nutrisi medis (TNM), latihan
jasmani kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-5 hari
seminggu selama sekitar 30-45 menit , dengan total 150 menit perminggu, dengan
jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-turut dan intervensi farmakologis,
hal ini dapat langkah awal untuk meningkatkan kualitas hidup dengan penderita
DM (PERKENI, 2015). Pendidikan dan dukungan manajemen diri pasien yang
sedang berlangsung sangat penting untuk mencegah komplikasi akut dan
mengurangi risiko komplikasi jangka panjang pada Diabetes America Diabetes
Association (ADA, 2018).
Strategi manajemen tekanan darah pada diabetes yaitu berupa terapi non
farmakologi dan terapi farmakologi. Hal ini bertujuan mencegah terjadinya
kenaikan tekanan darah yang tidak terkendali dan meminimalkan tingkat
keparahan komplikasi. Penentuan target tekanan darah yang di harapkan yaitu
130/80 mmHg, target optimalisasik kontrol status glikemi dengan hemoglobin
5
A1c< 7% dan modifikasi gaya hidup untuk menurunkan risiko kardiovaskular.
Modifikasi gaya hidup yang meliputi penurunan berat badan, berhenti merokok,
mengurangi konsumsi garam, meningkatkan aktivitas latihan fisik, dan
mengurangi konsumsi alkohol, juga penggunaan obat antihipertensi yaitu obat
hipertensi bersifat renoprotektif, seperti penghambat ACE dan ARB akan
menurunkan tekanan darah serta penurunkan ekskresi protein dan menghindari
efek samping terapi terhadap kontrol glikemi America Diabetes Association
(ADA, 2018).

27. UKS

https://eprints.umm.ac.id/52050/2/BAB%20I.pdf

Setiap sekolah di Indonesia memiliki berbagai fasilitas salah satunya adalah UKS. UKS
merupakan satu hal yang penting yang harus ada di sekolah. UKS (Usaha kesehatan sekolah)
adalah upaya pendidikan dan pelayanan kesehatan yang terdapat di sekolah dengan siswa
dan lingkungan hidupnya sebagai sasaran utama. Menurut keputusan Menteri Kesehatan
828/MENKES/SK/IX/2008, Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) adalah upaya terpadu lintas
program dan lintas sektor dalam rangka meningkatkan kemampuan hidup sehat selanjutnya
membentuk perilaku hidup sehat anak usia sekolah yang berada di sekolah (Harmawan,
2015). Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) memiliki beberapa fungsi seperti, sebagai fungsi
pendidikan, menjaga dan memelihara pelayanan, pemeliharaan umum terhadap murid dan
warga sekolah, mencegah penyakit menular, pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K),
pengawasan kebersihan sekolah, peningkatan kesehatan siswa dan warga sekolah (Hidayat,
2017). Fungsi UKS tersebut dijalankan berdasarkan TRIAS UKS yaitu, pendidikan kesehatan,
pelayanan kesehatan, pembinaan lingkungan sekolah sehat (DepkesRI, 2017). Sedangkan
menurut Setiwan & Hidayat (2017), UKS juga memiliki berbagai fungsi seperti mejadikan UKS
sebagai fungsi pendidikan, menjaga dan memelihara pelayanan, pemeliharan umum
terhadap murid dan warga sekolah, pencegah penyakit menular, pertolongan pertama pada
kecelakaan (P3K), pengawasan kebersihan sekolah, peningkatan kesehatan siswa dan warga
sekolah. Pada survey Kementrian Kesehatan pada tahun 2015 yang disebutkan dalam
“Pedoman Aksel UKS 2016” pencapaian hasil pelaksanaan UKS mengalami perbedaan
disetiap Provinsi, bahkan antar Kabupaten/Kota dalam satu Provinsi juga mengalami
berbedaan. Untuk cakupan penjaringan kesehatan pada tingkat SD/MI pada tahun 2013
pencapaianya secara nasional 2 hanya sebesar 73,91%, dengan presentase disetiap provinsi
yang tidak merata, berkisar antara 13,68-100%. Pada tahun 2012 KemenKes juga
mendapatkan gambaran dari survey dari 10 provinsi terpilih yaitu : Sumatera Barat,
Bangka/Belitung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I Yogyakarta, Jawa Timur,
Bali dan Sulawesi Utara. Hasil evaluasi didapat berdasarkan tiga komponen yaitu sumber
daya manusia, manjemen, dan sarana/prasarana. Dari survey tersebut didapatkan SDM yang
kurang memdai seperti : masih banyak guru pembina UKS yang belum dilatih, masih banyak
yang belum memiliki kader dan dokter kecil. Dari segi manajemen ditemukan masih tidak
berfungsinya kelembagaan TP(Tim Pembina) UKS. Sarana dan Prasarana ditemukan masih
banyak sekolah yang belum mempunyai ruang UKS (KemenKes, 2015). Sedangkan menurut
Dapodik Kemendikbud tahun 2016 menunjukan tingginya jumlah peserta didik di Indonesia
yang mencapai 44.308.247 pada jenjang SD/MI, SMP/MTs dan SMA/SMK/MA (DepkesRI,
2017), maka masalah kesehatan yang dihadapi anak usia sekolah tentu sangat kompleks dan
bervariasi. Pada usia anak sekolah penyakit yang sering dihadapi biasanya berkaitan dengan
hidup bersih dan sehat seperti kebiasaan cuci tangan pakai sabun, potong kuku, gosok gigi,
membuang sampah sembarangan dan jajanan kurang sehat. Depkes juga mengatakan pada
Data Global School Health Survey (GSHS) 2015 menunjukan bahwa anak usia sekolah 22,2%
pernah merokok, 11,6% saat ini pernah merokok, 4,4% pernah mengkonsumsi alkohol.
Berdasarkan data diatas menunjukan bahwa masalah kesehatan yang dialami oleh anak
sekolah masih sangat tinggi. Masalah tersebut terjadi karena fungsi UKS tidak terlaksana
dengan baik disebagian besar sekolah di Indonesia. Manfaat UKS seharusnya bisa
meningkatkan kesehatan peserta didik di sekolah sesuai dengan UU 36 tahun 2009 Tentang
Kesehatan pasal 79 yaitu “kesehatan sekolah diselenggarakan untuk meningkatkan
kemampuan hidup sehat peserta didik dalam lingkungan hidup sehat sehingga peserta didik
dapat belajar, tumbuh, dan berkembang secara harmonis dan 3 setinggi-tingginya menjadi
sumber daya manusia yang berkualitas” (DepkesRI, 2017). Salah satu Fungsi UKS bertahan
dengan baik dapat dilakukan dengan beberapa strategi yang disebutkan oleh (KemenKes,
2015), diantaranya yaitu : Memperkuat dasar hukum, meningkatkan kemampuan, peran,
fungsi dan tanggung jawab kelembagaan TP UKS. Selain itu juga meningkatkan kuantitas dan
kualitas tenaga terlatih UKS, memantapkan peran aktif peserta didik dalam pelaksanaan
UKS, tidak terlepas dari peran guru, orang tua dan masyarakat sekolah. Memperkuat
kemitraan dan peran masyarakat juga merupakan strategi yang dapat menjadikan fungsi
UKS menjadi optimal.

28. Posyandu remaja

https://repo.poltekkesbandung.ac.id/1380/6/BAB%20I.pdf

Remaja sebagai generasi penerus bangsa memiliki peran penting dalam melanjutkan
pembangunan negara. Dari data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun
2017 tercatat penduduk Indonesia sebanyak 9,3% termasuk dalam rentang usia 10-14 tahun,
dan 8,3% dalam rentang usia 15-19 tahun. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa
kanak-kanak menuju masa dewasa. Dalam masa ini remaja menghadapi banyak tantangan
baik dari dalam dirinya maupun dari lingkungan luar. Apabila remaja tidak memiliki
kemampuan untuk menghadapi tantangan tersebut maka akan timbul sikap dan perilaku
yang menyimpang, sehingga muncul masalah-masalah yang kompleks terutama dalam
masalah kesehatan. Masalah kesehatan remaja salah satunya adalah fertilitas atau kelahiran
pada remaja yang merupakan isu penting karena berhubungan dengan tingkat kesakitan
serta kematian ibu dan anak. Ibu yang berumur remaja lebih beresiko untuk mengalami
masalah kesehatan dan kematian yang berkaitan dengan persalinan dibandingkan dengan
wanita yang lebih tua. Angka kelahiran menurut umur atau Age Specific Fertility Rate (ASFR)
pada perempuan muda usia 15-19 tahun di Indonesia terbilang tinggi yaitu mencapai 36 per
1.000 wanita (SDKI, 2017). Sebagai bentuk pencegahan dan upaya penanganan masalah
kesehatan remaja, sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 25 tahun 2014
bahwa setiap anak usia sekolah dan remaja harus diberikan pelayanan kesehatan.
Kementarian Kesehatan telah mengembangkan Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR)
di Puskesmas, tetapi pelayanan di dalam gedung yang diberikan oleh tenaga kesehatan
masih memiliki keterbatasan jumlah sarana dan hambatan terkait akses karena geografis
yang beragam, hal tersebut membutuhkan upaya memberdayakan masyarakat berupa turut
sertanya masyarakat secara mandiri dalam upaya promotif serta preventif, misalnya
kegiatan seperti posyandu remaja (Kemenkes RI, 2018). Melalui kegiatan Pembentukan
Posyandu Remaja diharapkan dapat menjadi tempat bagi para remaja untuk memiliki
pemahaman serta kemampuan dalam memecahkan permasalah kesehatannya. Tujuan awal
berdirinya Posyandu Remaja adalah memantau kesehatan dan memberikan informasi
kesehatan bagi remaja, menurunkan angka pernikahan dini, serta meningkatkan kapasitas
dan partisipasi remaja dalam pembangunan. Penelitian Dwi Lestari dkk (2018) menyebutkan
pengetahuan yang baik tentang reproduksi remaja akan merangsang minat remaja untuk
berperilaku sehat 3 dengan menghindari perilaku negatif. Untuk meningkatkan pengetahuan
remaja serta menjaga kesehatan reproduksinya maka perlu dibentuk suatu pelayanan
kesehatan bagi remaja yaitu dengan membentuk Posyandu Remaja. Upaya pembentukkan
Posyandu Remaja ini sangat membutuhkan dukungan dan minat remaja itu sendiri dan
untuk itu maka pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi harus baik.

29. HIV

http://eprints.ums.ac.id/47558/1/BAB%20I.pdf

Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus golongan Rubonucleat Acid (RNA)
yang spesifik menyerang sistem kekebalan tubuh/imunitas manusia dan menyebabkan
Aqciured Immunodeficiency Symndrome (AIDS) (DepKes RI, 2008). AIDS dapat diartikan
sebagai kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh
akibat infeksi oleh virus HIV yang termasuk famili Retroviridae. AIDS merupakan tahap akhir
dari inveksi HIV (Irianto, 2014). WHO (World Health Organization) sejak awal epidemi tahun
1981, hampir 78 juta orang telah terinfeksi virus HIV dan sekitar 39 juta orang telah
meninggal karena HIV. Secara global, 35 juta orang hidup dengan HIV pada akhir 2013.
Diperkirakan 0,8% dari orang dewasa berusia 15-49 tahun di seluruh dunia hidup dengan
HIV. Satu dari 20 orang dewasa hidup dengan HIV dengan total hampir 71% orang hidup
dengan HIV di seluruh dunia pada populasi kusus (WHO, 2013). Indonesia merupakan salah
satu dari negara di Asia yang memiliki kerentanan HIV akibat dampak perubahan ekonomi
dan kehidupan sosial. Penularan HIV umumnya terjadi akibat perilaku manusia, sehingga
menempatkan individu dalam situasi yang rentan terhadap infeksi (Kemenkes RI, 2013).
Menurut Kemenkes RI tahun 2014, Sejak pertamakali dilaporkan 2 tahun 1987 sampai tahun
2014 jumlah kumulatif kasus HIV sebanyak 150.296 orang. Jumlah kasus HIV mempunyai
kecenderungan peningkatan dari tahun 2012 sampai tahun 2013 sebanyak 7.526 kasus .
Sejak pertamakali dilaporkan tahun 2005 sampai tahun 2014 jumlah kumulatif kasus AIDS
sebanyak 55.799 orang. Jumlah kasus AIDS menunjukkan kecenderungan meningkat secara
lambat. Jumlah kasus AIDS mempunyai kecenderungan menurun dari tahun 2012 sampai
tahun 2013 sebanyak 2.481 kasus. Diperkirakan hal tersebut terjadi karena jumlah pelaporan
kasus AIDS dari daerah masih rendah (Kemenkes RI, 2014). Risiko penularan HIV sebenarnya
tidak hanya terbatas pada sub populasi yang berperilaku risiko tinggi, tetapi juga pada
pasangan atau istrinya, bahkan anaknya. Sebagian besar ibu tertular dari suaminya
(Kemenkes RI, 2013). Lebih 6,5 Juta perempuan di Indonesia menjadi populasi rawan tertular
dan menularkan HIV. Lebih dari 24.000 perempuan usia subur di Indonesia telah terinfeksi
HIV. Lebih dari 9.000 perempuan HIV positif hamil dalam setiap tahunnya di Indonesia dan
lebih dari 30% diantaranya melahirkan bayi yang tertular (Depkes RI, 2008). Persentase
kasus baru AIDS di Indonesia berdasarkan jenis kelamin tahun 2014 pada kelompok laki-laki
1,8 kali lebih besar dibandingkan pada kelompok perempuan. Penderita AIDS laki-laki
sebesar 61,6%, perempuan sebesar 34,4%, dan sisanya sebesar 4% penderita AIDS tidak
dilaporkan jenis kelaminnya . Beberapa kasus baru AIDS dari Provinsi DKI Jakarta dan Papua
Barat tidak dilaporkan jenis kelaminnya. Kasus baru AIDS berdasarkan 3 kelompok umur
menunjukkan sebagian besar kasus baru AIDS pada usia 20-29 tahun, 30-39 tahun, dan 40-
49 tahun. Kelompok umur tersebut masuk ke dalam kelompok usia produktif yang aktif
secara seksual dan termasuk kelompok umur yang menggunakan NAPZA suntik (Kemenkes
RI, 2015). Dalam Infodatin tahun 2014 jenis pekerjaan penderita AIDS di Indonesia tahun
1987 sampai dengan September 2014 paling banyak berasal dari kelompok ibu rumah
tangga sebanyak 6.539 kasus, diikuti wiraswasta sebanyak 6.203 kasus dan karyawan
sebanyak 5.638 kasus. Data Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, jumlah kasus HIV/AIDS
tahun 1993 sampai dengan 30 September 2015 sejumlah 12.814 kasus. Penderita HIV
sebanyak 6.945 kasus dan AIDS sebanyak 5.869 kasus. Memasuki fase AIDS, penderita
terlebih dulu dinyatakan sebagai HIV positif. Jumlah HIV positif yang ada di masyarakat
dapat diketahui melalui 3 metode, yaitu pada layanan Voluntary, Counseling, and Testing
(VCT), sero survei dan survei terpadu biologis dan perilaku (STBP) (Kemenkes RI, 2014). VCT
merupakan pembinaan dua arah yang berlangsung tak terputus antara konselor dan
kliennya dengan tujuan untuk mencegah penularan HIV, 5 memberikan dukungan moral,
informasi serta dukungan lainnya kepada orang dengan HIV/AIDS (ODHA), keluarga, dan
lingkungannya. VCT penting dilakukan karena untuk upaya pencegahan HIV/AIDS (Nursalam
dan Kurniawari, 2007). Tidak hanya pada kelompok risiko tinggi, seluruh masyarakat yang
mengalami gejala mirip HIV AIDS diharapkan untuk bisa aktif untuk melakukan VCT.

Sirkumsisi metode Guillotine

- inform consent pasien dan keluarga


- memasang duk
- asepsis-antisepsis sentripetal
- anestesi blok dorsal penis dengan inj lidocain 1,5 ml, infiltrasi kanan 0,5ml , kiri 0,5ml , inj
lidocain secara ventral penis SC 0,5 s/d 0,75 infiltrasi kiri dan kanan ventral penis
- pembersihan glans penis dari smegma dengan menggunakan kasa steril/klem bengkok
- memasang klem lurus halus pada jam 6 dan 12
- Memasang klem bengkok panjang secara diagonal tepat diatas glans penis, pastiran glans penis
tidak terjepit
- sirkumsisi: gunting preputium dengan gunting jaringan/ cauter/ mesh menyusuri atas klem
bengkok panjang, pastiran glans penis tidak terpotong
- eksplorasi sumber perdarahan: hemostasis dengan kasa steril 1-2 menit, klem bengkok, jahit
ligasi dengan simpul reef knot
- aproksimasi: jam 6 frenulum menggunakan jahitan 0 atau figure of 8; jahitan 0: mukosa-kulit-
kulit-mukosa, surgeon knot, ke arah kulit/ke luar, surgeon knot; jam 9, 12, 3, dan yang lainnya
meggunakan reef knot
- gunting frenulum di distal jahitan, lindungi jahitan degan klem
- eksplorasi perdarahan dan lakukan hemostasis
- balut dengan kasa steril yang sudah diolesi degan antibiotik salep
edukasi orang tua dan pasien tentang cara minum obat: antinyeri dan antibiotik, kontrol 3-5 hari

- Buka selang kateter dari bungkus, dan letakan di area steril diantara kedua
kaki pasien

- Siapkan cairan povidone iodine, dengan kapas steril. Buka aplikator lubrikan
lidokain 2% dan letakan di area steril

- Cuci kedua tangan dengan menggunakan sabun dan air mengalir, lalu
kenakan sarung tangan steril

- Pegang penis pasien dengan tangan nondominan dan jika terdapat


preputium, tarik ke arah belakang. Tangan yang menarik preputium adalah
tangan nonsteril, yang akan memegang penis selama prosedur berlangsung

- Dengan menggunakan forceps steril, lakukan asepsis dan antisepsis


menggunakan kapas steril yang sudah diberikan povidone iodine dengan
gerakan memutar ke arah luar mulai dari uretra, glans penis, batang penis
dan kulit sekitarnya
- Pasang duk steril yang sudah disiapkan
- Dengan menggunakan spuit 5–10 mL tanpa jarum, atau aplikator yang sudah
berisi Lidokain gel 2%, masukan gel ke dalam uretra dengan tangan nonsteril
menahan posisi penis. Segera tutup lubang uretra dengan menggunakan
ujung jari untuk menahan keluarnya gel. Tunggu selama 2-3 menit sebelum
pemasangan kateter dilakukan

- Pegang kateter dengan tangan steril, lalu berikan lubrikan nonanestetik, yang
biasa disediakan di set kateter, di sepanjang selang kateter. Perhatikan
lubrikan yang diberikan jangan sampai menutupi ujung distal dari selang
kateter, karena akan menyumbat kateter

- Posisikan batang penis 90 derajat ke arah kepala pasien, dan sedikit ditarik
ke arah atas untuk menjaga saluran uretra berada pada posisi lurus. Secara
perlahan, masukan selang kateter ke dalam lubang uretra. Masukan selang
uretra hingga mencapai bagian ujung kateter atau bentuk Y

- Tunggu sejenak untuk melihat apakah urin dapat mengalir dari selang kateter,
untuk memastikan posisi ujung kateter sudah masuk ke dalam kandung
kemih
- Ketika urin sudah terlihat mengalir keluar dari ujung selang kateter,
hubungkan dengan selang yang terhubung ke kantong urin

- Kembangkan balon ujung kateter dengan menyuntikkan 5–10 mL larutan


normal saline/ NaCl 0,9% melalui katup pengembang yang berada di ujung
kateter
- Secara perlahan, tarik selang kateter ke arah luar hingga terasa adanya
tahanan. Posisikan kateter ke paha pasien lalu fiksasi dengan menggunakan
isolasi

- Bereskan kembali alat dan bahan yang sudah digunakan, cuci tangan kembali
dengan sabun dan air mengalir

- Dokumentasikan atau catat tindakan

Anda mungkin juga menyukai