Anda di halaman 1dari 87

MAKALAH

ISUE DAN SITUASI TERKINI PELAYANAN KESEHATAN BAYI,


BALITA DAN ANAK PRA SEKOLAH

Ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah

Asuhan Kebidanan Neonatus, Bayi, Balita, & Anak Pra Sekolah II

Disusun oleh :

Kelompok 3
Endah Ratri Feranisa 2250347029 Ivva Nusrisal 2250347041
Fanny Clara Shinta S 2250347030 Tuti Herawati 2250347042
Vina Yurnita 2250347036 Kokom Komariah 2250347043
Ratna Dwi Mulyati 2250347037 Retha Argetha 2250347044
Atik Kartika 2250347038 Erna Mulyani 2250347046
Yesi Mei Santi 2250347040

Dosen Pengampu :

Sri Yuniarti, SST., M.Kes

PROGRAM STUDI KEBIDANAN S1 LINTAS JALUR

FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI CIMAHI

2023
KATA PENGANTAR

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat rahmat serta
kasih-Nya sehingga dapat terselesaikan Makalah Asuhan Kebidanan Neonatus,
Bayi, Balita, dan Anak Pra Sekolah II. Tujuan penulisan Makalah ini untuk
memenuhi salah satu tugas mata kuliah Asuhan Kebidanan Neonatus, Bayi,
Balita, dan Anak Pra Sekolah II. Dalam penyusunan laporan makalah ini, terdapat
beberapa hambatan yang penyusun hadapi. Untuk itu pada kesempatan ini
penyusun ucapkan rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
dalam penyelesaian makalah ini.

Penyusun menyadari dalam penyusunan makalah ini masih banyak


kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Untuk itu kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat diharapkan penyusun guna perbaikan pada masa yang akan
datang.

Sukabumi, Januari 2023

Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Upaya peningkatan derajat kesehatan ibu dan bayi merupakan salah satu
bentuk investasi di masa depan. Keberhasilan upaya kesehatan ibu dan bayi,
diantaranya dapat dilihat dari Indikator Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka
Kematian Bayi (AKB). Menurut World Health Organization (WHO), setiap
hari pada tahun 2017 sekitar 810 wanita meninggal, pada akhir tahun mencapai
295.000 orang dari 94% diantaranya terdapat di negara berkembang. (WHO,
2019). Pada tahun 2018 angka kematian bayi baru lahir sekitar 18 kematian per
1.000 kelahiran hidup. Tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka
Kematian Bayi (AKB) disebabkan oleh komplikasi pada kehamilan dan
persalinan. (UNICEF 2019). Menurut Kemenkes RI (2018), Angka Kematian
Ibu di Indonesia secara umum terjadi penurunan dari 390 menjadi 305 per
100.000 kelahiran hidup, walau sudah cenderung menurun namun belum
berhasil mencapai target MDGs. Pada tahun 2015, MDGs menargetkan angka
kematian ibu 110 kematian per 100.000 kelahiran.. Angka Kematian Ibu (AKI)
di Provinsi Bali dalam 6 tahun terakhir berada di bawah angka nasional dan
dibawah target yang ditetapkan 100 per 1000 kelahiran hidup, namun setiap
tahunnya belum bisa diturunkan secara signifikan. Pada tahun 2018 AKI di
Provinsi Bali mencapai angka 52,2 per 100.000 kelahiran hidup, tahun ini
merupakan angka yang paling rendah dalam empat tahun terakhir (Dinkes
Provinsi Bali, 2018). 2 Menurut WHO Angka Kematian Ibu (AKI) disebabkan
oleh komplikasi selama dan setelah kehamilan dan persalinan. Komplikasi
utama yang menyebabkan hampir 75% dari semua kematian ibu yaitu
perdarahan, infeksi, tekanan darah tinggi selama kehamilan (pre-eklamsia dan
eklamsia), komplikasi dari persalinan aborsi yang tidak aman dan sisanya
disebabkan oleh kondisi kronis seperti penyakit jantung dan diabetes (WHO,
2019). Penyebab utama kematian ibu di Indonesia termasuk Provinsi Bali
didominasi oleh tiga faktor yaitu perdarahan, hipertensi dalam kehamilan, dan
infeksi (Kemenkes RI, 2014). Secara nasional penyebab kematian ibu
terbanyak didominasi oleh perdarahan, kondisi yang paling sulit diatasi pada
kasus plasenta previa dan plasenta akreta. (Dinas Kesehatan Provinsi Bali,
2018) Upaya percepatan penurunan AKI dan AKB pemerintah telah membuat
kebijakan agar setiap ibu mampu mengakses pelayanan kesehatan yang
berkualitas, pada ibu hamil mendapatkan pelayanan Antenatal Care yang
berkualitas dan terpadu (10 T) dan diberikan Program Perencanaan Persalinan
dan Pencegahan Komplikasi (P4K) (Kemenkes RI, 2017). Pada Ibu bersalin,
ibu diberikan asuhan persalinan sesuai dengan standar Asuhan Persalinan
Normal (APN) berdasarkan Lima Benang Merah. Upaya penurunan AKI pada
ibu nifas dengan memberikan asuhan sesuai dengan standar yang dilakukan 3
kali jadwal kunjungan nifas (KF) yaitu KF 1, KF 2 dan KF 3 pasca persalinan.
Upaya untuk mengurangi Angka Kematian Bayi (AKB) dengan memberikan
asuhan sesuai dengan standar asuhan yang dilakukan 3 kali jadwal kunjungan
neonatus (KN) yaitu KN 1, KN 2, KN 3 setelah lahir, selain itu untuk
mencegah peningkatan 3 AKI dan AKB pemerintah juga menyedikan rumah
sakit PONEK untuk pasien yang mengalami kegawatdaruratan (Kemenkes RI,
2017). Sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
369/Menkes/SK/III/2007 tentang Standar Profesi Bidan, Bidan merupakan
salah satu tenaga kesehatan yang memiliki posisi penting dan strategis terutama
dalam penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kesakitan dan
Kematian Bayi (AKB). Bidan mememberikan pelayanan kebidanan yang
berkesinambungan dan paripuna berfocus pada aspek pencegahan, promosi dan
berlandaskan kemitraan dan pemberdayaan masyarakat bersama-sama dengan
tenaga kesehatan lainnya untuk senantiasa siap melayani siapa saja yang
membutuhkannya. Dalam memberikan asuhan kebidanan proses pengambilan
keputusan dan tindakan yang dilakukan oleh bidan sesuai dengan wewenang
dan ruang lingkup praktik. Kewenangan bidan tercantum dalam Permenkes RI
Nomer 28 tahun 2017 tentang izin dan penyelenggaraaan praktik dalam
memberikan asuhan pada kasus fisiologis dan kegawatdaruratan yang
dilanjutkan dengan perujukan.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Profil Kesehatan Neonatus, Bayi, Balita Dan Anak Pra Sekolah


Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2017
menunjukkan AKN sebesar 15 per 1.000 kelahiran hidup, AKB 24 per
1.000 kelahiran hidup, dan AKABA 32 per 1.000 kelahiran hidup.
Meskipun demikian, angka kematian neonatus, bayi, dan balita diharapkan
akan terus mengalami penurunan. Intervensi-intervensi yang dapat
mendukung kelangsungan hidup anak ditujukan untuk dapat menurunkan
AKN menjadi 10 per 1000 kelahiran hidup dan AKB menjadi 16 per 1000
kelahiran hidup di tahun 2024. Sementara, sesuai dengan Target
Pembangunan Berkelanjutan, AKABA diharapkan dapat mencapai angka
18,8 per 1000 kelahiran hidup di tahun 2030.
1. AKN, AKB, AKBA
a. Angka Kematian Neonatal (AKN)
Pada masa neonatal (0-28 hari) terjadi perubahan yang
sangat besar dari kehidupan di dalam rahim dan terjadi pematangan
organ hampir pada semua sistem. Bayi hingga usia kurang satu
bulan merupakan golongan umur yang memiliki risiko gangguan
kesehatan paling tinggi dan berbagai masalah kesehatan bisa
muncul, sehingga tanpa penanganan yang tepat, bisa berakibat
fatal.
Kematian neonatal adalah kematian yang terjadi sebelum
bayi berumur 28 hari. Angka Kematian Neonatal adalah jumlah
kelahiran hidup yang meninggal dalam 28 hari pertama kehidupan,
per 1.000 kelahiran hidup pada tahun tertentu.
Kematian neonatal terdiri atas kematian neonatal dini dan
kematian neonatal lanjut. Kematian neonatal dini merupakan
kematian seorang bayi yang dilahirkan hidup dalam 7 hari setelah
kelahiran, sedangkan kematian neonatal lanjut merupakan
kematian seorang bayi yang dilahirkan hidup lebih dari 7 hari
sampai kurang 29 hari. Kematian neonatal dini/perinatal (bayi
umur 0–7 hari) merupakan 2/3 dari kematian neonatal. Untuk
mengurangi risiko kematian Neonatal, perlu diketahui profi l
kematian neonatal berdasar sosio demografi ibu saat hamil.
Penyebab kematian neonatal terbanyak adalah komplikasi
kejadian intrapartum (28,3%), gangguan respiratori dan
kardiovaskuler (21,3%), BBLR dan prematur (19%), kelainan
kongenital (14,8%), dan infeksi (7,3%). Kematian neonatal dan
balita juga paling banyak terjadi di rumah sakit yaitu 68% untuk
kematian neonatal dan 62,8% untuk kematian balita (SRS 2016).
b. Angka Kematian Bayi (AKB)
Kematian bayi menjadi salah satu masalah kesehatan yang
besar di Dunia. Sebagian besar kematian bayi dapat dicegah,
dengan intervensi berbasis bukti yang berkualitas tinggi berupa
data. Berdasarkan hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia
(SDKI) kematian bayi pada tahun 2017 adalah sebesar 24/1.000
KH dengan kematian neonatal 15/1.000. Terjadi penurunan angka
kematian bayi (AKB) pada tahun 2017, dibandingkan AKB pada
tahun 2012 yang berjumlah 32/1.000 KH dan 19/1.000 KH
neonatal, dan tetap sama dengan angka kematian neonatal pada
tahun 2007 dengan angka kematian bayi 35/1.000 KH yang
terdapat penurunan dibandingkan pada tahun 2002 (kematian bayi
44/1.000 KH serta 23/1.000 kematian neonatal). Bisa disimpukan
dari data kematian bayi di Indonesia bahwa telah terjadi penurunan
angka kematian bayi, tetapi belum memenuhi standar angka
kematian bayi yang ditentukan.
Angka kematian bayi (AKB) adalah banyaknya bayi yang
meninggal sebelum mencapai umur 1 tahun pada waktu tertentu
per 1.000 kelahiran hidup pada periode waktu yang sama.
Angka kematian bayi (AKB) merupakan salah satu
indikator derajat kesehatan dalam Sustainable Development Goal
(SDGs) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) 2015-2019. Goal SDGs ke tiga yaitu Good Health and
Well-being menjelaskan bahwa salah satu dampak yang diharapkan
yaitu dituntaskannya kematian bayi yang dapat dicegah, yang
ditargetkan pada tahun 2030. Semua negara diharapkan
berpartisipasi untuk menekan angka kematian bayi menjadi
12/1.000 KH.
Penyebab utama kematian bayi adalah gangguan yang
terjadi pada masa perinatal (49,8%), kelainan kongenital dan
genetik (14,2%), pneumonia (9,2%), diare dan infeksi
gastrointestinal lainnya (7%), viral hemorrhagic fever (2,2%),
meningitis (2%), gangguan undernutrisi dan metabolik (1,3%)
c. Angka Kematian Balita (AKABA)
Angka Kematian Balita (AKABA), menurut definisi
AKABA adalah banyaknya kematian bayi berusia di bawah lima
tahun, per 1000 kelahiran hidup pada satu tahun tertentu. AKABA
di Indonesia masih tertinggi di antara negara ASEAN. Berdasarkan
SUPAS atau Survei Penduduk Antar Sensus tahun 2015, nilai
AKABA sebesar 26,29 per 1000 kelahiran hidup.
Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi AKABA
antara lain faktor ibu, faktor bayi, ketersediaan pelayanan
kesehatan dan kondisi sosial ekonomi. penyebab kematian Balita di
Indonesia yang nantinya dapat dipergunakan sebagai landasan
dalam menyusun strategi intervensi yang tepat untuk menekan
angka kematian Balita di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk
mengidentifikasi determinant factor-faktor yang menjadi penyebab
kematian Balita di Indonesia yang melihat dari persepektif level
masyarakat, sosial-ekonomi dan Individu.
Faktor yang menjadi penyebab kematian Balita di
Indonesia berdasarkan temuan penelitian ini adalah usia ibu saat
melahirkan, berat badan lahir, jenis kelamin anak, frekuensi Ibu
menggunakan internet, Daerah tempat tinggal, dan jarak kelahiran
anak. Berat badan lahir anak berpengaruh paling signifikan
terjadap kematian Balita dibandigkan dengan factor lainnya. Anak
yang lahir dengan berat badan lahir berat kurang dari 2.500 gram
atau berat badan lahir rendah (BBLR) memiliki risiko kematian
yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang lahir dengan berat
badan normal (lebih dari 2.500 gram).
2. Prevalensi penyakit- penyakit yang menyebabkan kematian pada
neonatus, bayi, dan balita.
Kesehatan dan kelangsungan hidup bayi baru lahir sangat penting
untuk menjamin optimalitas pertumbuhan dan perkembangan anak-
anak. Angka Kematian Bayi adalah salah satu indikator untuk
mengukur tingkat kesehatan ibu dan anak. Semakin rendah angka
kematian bayi di suatu wilayah mengindikasikan semakin baiknya
program kesehatan mereka.
Berdasarkan data Bank Dunia, angka kematian bayi neonatal (usia
0-28 hari) Indonesia sebesar 11,7 dari 1.000 bayi lahir hidup pada
2021. Artinya, terdapat antara 11 sampai 12 bayi neonatal yang
meninggal dari setiap 1.000 bayi yang terlahir hidup.
Angka tersebut menunjukkan perbaikan dibanding tahun
sebelumnya yang masih 12,2 dari 1.000 bayi lahir hidup. Dalam satu
dekade terakhir angka kematian bayi neonatal Indonesia juga
menunjukkan tren turun dan selalu di bawah rata-rata dunia. Pada
2021, angka kematian bayi neonatal secara global sebesar 17 dari
1.000 bayi lahir hidup. Namun, jika dibandingkan dengan negara-
negara kawasan Asia Tenggara (Association of Southeast Asian
Nations/ASEAN), angka kematian bayi Indonesia berada di urutan ke-
5 tertinggi dari 10 negara. Angka kematian bayi neonatal Indonesia
jauh lebih tinggi dari Singapura yang hanya 0,8 dari 1.000 bayi lahir
hidup pada 2021. Artinya, hanya ada kira-kira 1 bayi neonatal yang
meninggal dari 1.000 bayi yang terlahir hidup di Negeri Singa tersebut.
Adapun Kematian bayi berusia di bawah lima tahun (balita) di
Indonesia mencapai 28.158 jiwa pada 2020. Dari jumlah itu, sebanyak
20.266 balita (71,97%) meninggal dalam rentang usia 0-28 hari
(neonatal). Sebanyak 5.386 balita (19,13%) meninggal dalam rentang
usia 29 hari-11 bulan (post-neonatal). Sementara, 2.506 balita (8,9%)
meninggal dalam rentang usia 12-59 bulan. Mayoritas atau 35,2%
kematian balita neonatal karena berat badan lahir rendah. Kematian
balita neonatal akibat asfiksia sebesar 27,4%, kelainan kongenital
11,4%, infeksi 3,4%, tetanus neonatorium 0,03%, dan lainnya 22,5%.
Kematian balita post-neonatal paling banyak karena pneumonia,
yakni 14,5%. Ada pula kematian balita post-neonatal akibat diare
sebesar 9,8%, kelainan kongenital lainnya 0,5%, penyakit syaraf 0,9%,
dan faktor lainnya 73,9%. Sementara, 42,83% kematian balita dalam
rentang usia 12-59 bulan karena infeksi parasit. Ada pula kematian
balita dalam rentang usia tersebut karena pneumonia sebesar 5,05%,
diare 4,5%,  tenggelam 0,05%, dan faktor lainnya 47,41%.
Demi mencegah kematian balita, perlu upaya kesehatan anak
secara terpadu, menyeluruh, dan berkesinambungan. Bahkan,
pemerintah mengupayakan kesehatan anak dilakukan sejak janin dalam
kandungan hingga anak berusia 18 tahun. Penyebab kematian bayi
baru lahir di Indonesia.
a. Asfiksia
Asfiksia merupakan salah satu komplikasi persalinan yang
penyebab kematian bayi baru lahir yang paling utama di Indonesia.
Kondisi ini terjadi saat bayi kekurangan oksigen sebelum
atau selama kelahiran. Hal ini ditandai dengan kulit bayi yang
membiru, sesak napas, detak jantung menurun, dan lemah otot.
Biasanya, asfiksia disebabkan karena persalinan macet, bayi tidak
keluar-keluar saat persalinan. Kondisi ini juga bisa terjadi karena
bayi sudah hampir keluar, tapi terhambat di tengah jalan. Hal inilah
salah satu kondisi yang paling sering jadi penyebab kematian bayi
baru lahir.
b. Infeksi
Menurut WHO, infeksi menjadi salah satu penyebab kematian
bayi baru lahir paling umum di dunia. Ada banyak hal yang bisa
memicu terjadinya infeksi pada bayi baru lahir, di antaranya
sebagai berikut.
1) sepsis,
2) tetanus,
3) tetanus neonatorum,
4) diare, dan
5) pneumonia.
Selain itu, infeksi pada bayi baru lahir cukup sering terjadi di
daerah-daerah yang fasilitas persalinannya belum optimal. Ambil
contoh, pada kasus persalinan, alat-alat bersalin yang dibutuhkan
tentu harus dalam kondisi steril. Jika tidak, alat-alat tersebut rentan
terpapar mikroorganisme yang dapat memicu infeksi pada ibu
hamil dan bayi baru lahir. Begitu juga dengan perawatan tali pusat,
alat-alat yang digunakan juga harus bersih dan steril. Sebab jika
tidak, bayi akan rentan terkena infeksi dan penyakit lainnya atau
bahkan menyebabkan kematian.
c. Berat badan lahir rendah
Bayi dikatakan memiliki berat badan lahir rendah apabila
berat badannya kurang dari 2.500 gram atau 2,5 kilogram (kg).
Berat badan lahir rendah ini dapat meningkatkan kejadian kematian
neonatal, karena menurut World Health Organization bahwa Berat
Badan Lahir Rendah (BBLR) merupakan suatu angka kejadian
kematian neonatal pertama di dunia, karena bayi BBLR memiliki
resiko kematian 20 kali lipat lebih besar dibandingkan dengan bayi
yang lahir dengan berat badan normal. Dalam kejadian BBLR
(Berat Badan Lahir Rendah) sering ditemukan pada negara-negara
berkembang contohnya diIndonesia. Adapun penyebab dari BBLR
ini disebabkan karena usia kehamilan yang pendek (prematuritas),
IUGR (Intra Uterine Growth Restriction). Adapun Komplikasi
yang dapat terjadi terhadap kejadian Berat Badan Lahir Rendah
adalah terjadinya gangguan perkembangan pada pernafasan bayi ,
Hipotermi, Infeksi
Faktor- faktor penyebab terjadinya Persalinan preterm
dapat menyebabkan komplikasi terjadinya Persalinan preterm
sehingga dapat menyebabkan kelahiran BBLR pada bayi, serta
resiko komplikasi lainnya(Mochtar 2010) adapun faktor penyebab
terjadinya persalinan preterm seperti disebabkan oleh sosial
ekonomi rendah, gizi kurang, anemia, trauma fisik, perokok/
kecanduan obat, hipertensi/ preeklamsi, diabetes militus, infeksi
saluran kemih, serviks inkompletus, kelainan rahim, infeksi
intrauterine, bakterial vaginosis, kehamilan ganda, riwayat
persalinan preterm sebelumnya, usia ibu < 18 tahun atau > 40
tahun, faktor fisik, stress psikologik, kehamilan di luar nikah,
perdarahan ante partum ( solusio plasenta, plasenta previa, ketuban
pecah dini ), cacat bawaan janin, polihidramnion, gemeli, dan
oligohidramnion. Persalinan preterm sulit di duga dan sulit dicari
penyebabnya, sehingga sukar dapat di terapkan dengan pasti.
Upaya Pencegahan kematian pada bayi
 Menjaga kesehatan selama kehamilan
Selain dengan meningkatkan kualitas layanan kesehatan, upaya
menjaga keselamatan bayi baru lahir juga ditentukan oleh
kesehatan ibunya sendiri. Supaya berat badan bayi saat lahir
normal, dalam artian tidak kurang maupun tidak lebih, ibu
wajib menjaga pola makannya saat hamil. Contohnya dengan
memperbanyak makan sayur dan buah, makanan tinggi serat,
asam folat, dan jenis makanan sehat lainnya. Semakin
terpenuhi kebutuhan gizi ibu saat hamil, maka kesehatan ibu
dan bayinya pun akan semakin optimal.
 Pencegahan untuk asfiksia dan infeksi pada bayi baru lahir
Begitu juga dengan asfiksia dan infeksi pada bayi baru
lahir, kedua masalah kesehatan ini juga bisa dicegah sedini
mungkin. Sementara untuk mencegah asfiksia pada bayi,
sebenarnya bisa dicegah sejak awal. Misalnya jika sudah tahu
persalinannya macet, maka bisa segera dilakukan operasi
caesar. Jadi, bayi tidak perlu lama-lama di jalan lahir yang bisa
membuat bayi kehabisan oksigen atau bahkan bayi lahir mati
(stillbirth).
Pada upaya mencegah infeksi, pastikan fasilitas
kesehatannya bersih dan higienis. Mulai dari alat-alat hingga
ruang bersalin, pastikan semuanya dalam kondisi yang bersih
dan steril sehingga bayi dapat terhindar dari risiko infeksi.
Kecuali jika bayi lahir prematur, tentu kita tidak bisa mencegah
berat bayi lahir rendah. Artinya, tidak semua bisa dicegah, tapi
kebanyakan penyebab kematian bayi baru lahir bisa dicegah
sedini mungkin.
 Usaha pemerintah dalam mencegah masalah kematian bayi
baru lahir terlihat dari adanya beberapa program yang
telah direncanakan, salah satunya adalah program pelayanan
ANC (Antenatal Care). Pemeriksaan medis dalam
pelayanan antenatal meliputi anamnesis, pemeriksaan
fisik, diagnosis, pemeriksaan obstetrik dan
pemeriksaan diagnosis penunjang.
 Bidan harus dapat melakukan penatalaksanaan asuhan
kebidanan dalam upaya deteksi seperti melakukan pengkajian
data Subjektif, Objektif dengan benar, sehingga bidan dapat
membuat keputusan untuk melakukan tatalaksana sesuai
dengan SOP. Dengan tindakan tersebut bidan dapat
meminimalkan kejadian kesakitan maupun kematian pada bayi
yang dilahirkan karena Persalinan preterm, dan penanganan
rujukan dengan tepat dan cepat sehingga kejadian Persalinan
preterm dengan bayi dalam kondisi premature dan BBLR dapat
tertangani dengan baik pada fasilitas kesehatan yang lebih
memadai.
3. Penyakit-penyakit yang sering terjadi pada bayi, balita dan anak
pra sekolah
1) Anemia
a) definisi
Anemia defisiensi adalah anemia akibat kekurangan
zat besi sehingga konsentrasi hemoglobin menurun di
bawah 95% dari nilai hemoglobin rata-rata dari umur dan
jenis kelamin yang sama Zat besi merupakan salah satu
nutrisi penting yang dibutuhkan oleh bayi pada masa
tumbuh kembang 
b) Natural History
 Iron depletion/store iron deficiency yang ditandai
dengan berkurangnya cadangan besi, absorpsi besi non
heme naik, dan ferritin serum turun
 Iron deficient erythropoietin/iron limited erythropoiesis 
didapatkan suplai besi tidak cukup untuk menunjang
eritropoisis. Besi serum turun, saturasi transferrin turun,
TIBC naik, FEP naik
 Iron deficiency anemia
 hal ini terjadi bila besi yang menuju eritoid sumsum
tulang tidak cukup shg Hb turun
c) Etiologi
 Kebutuhan zat gizi yang meningkat
 Kurangnya zat gizi yang diserap
 Infeksi
 Perdarahan
 Gangguan produksi eritrosit
 Meningkatnya hemolisis
 Transfusi fetomaternal
 Hemoglobinuria
 Iatrogenic blood loss
 Idiopathic pulmonary hemosiderosis
d) Tanda Gejala
 Kulit Pucat
 Rentan Terkena Infeksi
 Respon Lambat dan Sulit Mengendalikan Diri
 Lemah dan Letih
 Berat Badan Stagnan dan Sulit Naik
 Tangan dan Kaki Dingin
 Mata Menguning
 Koilonychias
 Atropi lidah
 Angular cheilitis
 Disfagia
e) Tatalaksana
 Memberikan Makanan Kaya Zat Besi
 Pemberian Suplemen Zat Besi
 Pemberian Obat Cacing
 Transfusi Darah
2) Otitis Media Akut
a) Definisi
 3 bakteri patogen yang paling sering pada otitis media
akut (streptococcus pneumoniae, haemophilus
influenzae, moraxella catarrahalis) yang berkolonisasi
pada nasofaring 
 Adanya virus pada infeksi saluran pernafasan atas
 Inflamasi pada nasofaring, yang menyebabkan
perubahan pada sifat kepatuhan bakteri dan kolonisasi,
dan gangguan fungsi dari tuba Eusthacius
 Adanya modifikasi fungsi imunitas dan mengganggu
aktivitas antibiotik. Virus juga merubah jaringan mukus
dan menghilangkan pembersihan pada mukosiliar yang
melapisi sel epitel dengan cara mengurangi produksi
dari zat anti bakteri pada nasofaring, tuba Eusthaius,
dan rongga telinga tengah
 Tersumbatnya tuba Eusthacius dan terjadi tekanan
negatif pada telinga tengah
 Bakteri dan virus patogen masuk ke dalam rongga
telinga tengah menyebabkan inflamasi telinga tengah,
akumulasi cairan telinga tengah, dan gejala otitis media
akut
b) Gejala Klinis
 Telinga berair
 Berkurangnya mobilitas membran timpani
 Penemuan Otoskop 
 Hilangnya reflex cahaya
 Hilangnya bentuk (contour) normal
 Mengembung (bulging) dari membran timpani
 Sakit pada telinga 
 Perforasi membran timpani
 Efusi telinga tengah 
c) Penatalaksanaan
 Umur <6 bulan harus terapi antibakteri tanpa
memperhatikan diagnosis otitis media akut
 Terapi antibakteri anak umur 6 bulan-2 tahun diberikan
saat diagnosis sudah pasti
 Terapi antibakteri anak >2 tahun direkomendasikan saat
diagnosis sudah pasti dan penyakitnya parah
 Observasi dianggap cocok saat pasien dimonitor
perkembangan dan terapi antibakteri dapat dimulai saat
gejala tetap atau memburuk
 Pemberian Antibiotik
Amoksisilin, pada dosis tinggi (80-90mg/kg/hari
Makrolida (Azitromisin dan Klaritromisin)
Cephalosporin, cefdinir, cefpodoxime dan cefuxime
Cefriaxone secara intramuskular dosis tunggal 
Clindamycin
3) Mastoiditis
a) Definisi : Infeksi bakteri pada tulang mastoid. Biasanya
didahului oleh Ostitis Media Akut yang tidak mendapatkan
pengobatan adekuat karena mastoid bedekatan dengan
celah telinga tengah. 
b) Klasifikasi
 Mastoiditis Akut : Purulensi rongga mastoid dan
penipisan sekat tulang antara sel tulang udara mastoid
(mastoid air cell)
 Mastoiditis Subakut
Persistensi dan infeksi telinga dan mastoid tingkat
rendah, menyebabkan kerusakan septa tulang.
 Mastoiditis Kronis
 Infeksi supuratif sel udara mastoid berkepanjangan
c) Natural History
Infeksi dari bakteri nasofarig menyebakan Ostitis
Media Akut (OMA) Jika pengobatan tidak benar/ gagal
maka Bakteri berinvasi ke sistem darah terdekat dan
sirkulasi
 Stadium 1: Hiperemia lapisan mukosa sel udara
mastoid
 Stadium 2: Transudasi dan eksudasi cairan nanah di
dalam sel
 Stadium 3: Nekrosis tulang karena hilangnya
vaskularisasi septa
 Stadium 4: Hilangnya dinding sel dan
penggabungan ke rongga abses
 Stadium 5: Perpanjangan infalamasi ke daerah lain
d) Tanda Gejala
 Demam dan malaise
 Nyeri dibelakang telinga
 Cairan atau kotoran yang keluar dari telinga
 Daun telinga terdorong kedepan
 Eritema dan edema jaringan lunak mastoid
 sagging of posterosperior meatal wall
 perforation of tympanic membrane
 Hearing Loss
 Mastoid tenderness
 Limfadenopati local
e) Tatalaksana
Pengobatan dengan obat-obatan antibiotik, anti
nyeri, anti peradangan merupakan lini pertama dalam
pengobatan mastoiditis.
f) Lanjutan Tatalaksana
 Antibiotik
Antibiotik intravena seperti pennisilin,
cefriaxone(rhosepin ) dan metronidazole (folgil) selama
14 hari

 Mastoidektomy
Tindakan ini menghilangkan sel-sel tulang mastoid
yang terinfeksi dan untuk mengalirkan nanah
 Tympanoplasty
Pembedahan rekontruksi telinga bagian tengah untuk
memelihara pendengaran.
 Mastoidektomy Radikal
Radang mastoid kronis mebuthkan tindakan
menghilangkan dinding posterior dari kanal telinga
disisakannya gendang telinga dan dua tulang telinga
4) Otitis Media Supuratif Kronik
a) Definisi
 Sequele atau komplikasi otitis media akut (OMA) yang
mengalami perforasi, komplikasi pemasangan pipa
timpanostomi (pipa gromet) pada kasus otitis media
efusi (OME)
 Perforasi membran timpani gagal untuk menutup
spontan, terjadi infeksi berulang dari telinga luar atau
paparan alergen dari lingkungan, sehingga
menyebabkan otorea yang persisten.
 Peradangan pada membran timpani menyebabkan
proses kongesti vaskuler, yang bila disertai tekanan
akibat penumpukan discaj dalam rongga timpani dapat
mempermudah terjadinya perforasi membran timpani
 Kuman dari kanalis auditorius eksternus dan dari udara
luar dapat dengan bebas masuk ke dalam rongga
timpani, infeksi berulang
 Mukosa mengalami proses pembentukan jaringan
granulasi dan atau polip. Jaringan patologis dapat
menutup membran timpani, sehingga menghalangi
drainase,menyebabkan penyakit menjadi persisten
 Pertumbuhan epitel skuamus masuk ke telinga tengah,
kemudian terjadi proses deskuamasi yang akan mengisi
telinga tengah dan antrum mastoid, membentuk
kolesteatoma akuisita sekunder
 Kolesteatoma ini mampu menghancurkan tulang di
sekitarnya termasuk rangkaian tulang pendengaran oleh
reaksi erosi dari ensim osteolitik atau kolagenase yang
dihasilkan oleh proses kolesteatom dalam jaringan ikat
subepitel.
b) Gejala Klinis
 Tipe jinak / Benigna
Telinga berair (Otorrhoe)
Gangguan pendengaran
Nyeri telinga (Otalgia)
Vertigo
 Tipe atikoantral / tulang
Abses atau fistel retroaurikuler
Polip atau jaringan granulasi
Terlihat kolesteatoma
Sekret berbentuk nanah dan berbau khas
c) Penatalaksanaan
 Tipe Benigma

Fase tenang
Fase aktif

 Antibiotika yang dipakai 

Polimiksin B atau polimiksin E


Neomisin
Chloramphenicol 1%

4. Masalah tumbuh kembang bayi, balita, dan anak pra sekolah


Masalah yang sering timbul dalam pertumbuhan dan
perkembangan anak meliputi gangguan pertumbuhan fisik,
perkembangan motorik, bahasa, emosi, dan perilaku.
a. Gangguan Pertumbuhan Fisik
Gangguan pertumbuhan fisik meliputi gangguan
pertumbuhan di atas normal dan gangguan pertumbuhan di bawah
normal. Pemantauan berat badan menggunakan KMS (Kartu
Menuju Sehat) dapat dilakukan secara mudah untuk mengetahui
pola pertumbuhan anak. Menurut Soetjiningsih (2003) bila grafik
berat badan anak lebih dari 120% kemungkinan anak mengalami
obesitas atau kelainan hormonal. Sedangkan, apabila grafik berat
badan di bawah normal kemungkinan anak mengalami kurang gizi,
menderita penyakit kronis, atau kelainan hormonal. Lingkar kepala
juga menjadi salah satu parameter yang penting dalam mendeteksi
gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak. Ukuran lingkar
kepala menggambarkan isi kepala termasuk otak dan cairan
serebrospinal. Lingkar kepala yang lebih dari normal dapat
dijumpai pada anak yang menderita hidrosefalus, megaensefali,
tumor otak ataupun hanya merupakan variasi normal. Sedangkan
apabila lingkar kepala kurang dari normal dapat diduga anak
menderita retardasi mental, malnutrisi kronis ataupun hanya
merupakan variasi normal. Deteksi dini gangguan penglihatan dan
gangguan pendengaran juga perlu dilakukan untuk mengantisipasi
terjadinya gangguan yang lebih berat. Jenis gangguan penglihatan
yang dapat diderita oleh anak antara lain adalah maturitas visual
yang terlambat, gangguan refraksi, juling, nistagmus, ambliopia,
buta warna, dan kebutaan akibat katarak, neuritis optik, glaukoma,
dan lain sebagainya. (Soetjiningsih, 2003). Sedangkan ketulian
pada anak dapat dibedakan menjadi tuli konduksi dan tuli
sensorineural. Menurut Hendarmin (2000), tuli pada anak dapat
disebabkan karena faktor prenatal dan postnatal. Faktor prenatal
antara lain adalah genetik dan infeksi TORCH yang terjadi selama
kehamilan. Sedangkan faktor postnatal yang sering mengakibatkan
ketulian adalah infeksi bakteri atau virus yang terkait dengan otitis
media.
b. Gangguan perkembangan motorik
Perkembangan motorik yang lambat dapat disebabkan oleh
beberapa hal. Salah satu penyebab gangguan perkembangan
motorik adalah kelainan tonus otot atau penyakit neuromuskular.
Anak dengan serebral palsi dapat mengalami keterbatasan
perkembangan motorik sebagai akibat spastisitas, athetosis,
ataksia, atau hipotonia. Kelainan sumsum tulang belakang seperti
spina bifida juga dapat menyebabkan keterlambatan perkembangan
motorik. Penyakit neuromuscular sepeti muscular distrofi
memperlihatkan keterlambatan dalam kemampuan berjalan.
Namun, tidak selamanya gangguan perkembangan motorik selalu
didasari adanya penyakit tersebut. Faktor lingkungan serta
kepribadian anak juga dapat mempengaruhi keterlambatan dalam
perkembangan motorik. Anak yang tidak mempunyai kesempatan
untuk belajar seperti sering digendong atau diletakkan di baby
walker dapat mengalami keterlambatan dalam mencapai
kemampuan motorik.
c. Gangguan perkembangan bahasa
Kemampuan bahasa merupakan kombinasi seluruh system
perkembangan anak. Kemampuan berbahasa melibatkan kemapuan
motorik, psikologis, emosional, dan perilaku. Gangguan
perkembangan bahasa pada anak dapat diakibatkan berbagai faktor,
yaitu adanya faktor genetik, gangguan pendengaran, intelegensia
rendah, kurangnya interaksi anak dengan lingkungan, maturasi
yang terlambat, dan faktor keluarga. Selain itu, gangguan bicara
juga dapat disebabkan karena adanya kelainan fisik seperti bibir
sumbing dan serebral palsi. Gagap juga termasuk salah satu
gangguan perkembangan bahasa yang dapat disebabkan karena
adanya tekanan dari orang tua agar anak bicara jelas (Soetjingsih,
2003)
d. Gangguan Emosi dan Perilaku
Selama tahap perkembangan, anak juga dapat mengalami
berbagai gangguan yang terkait dengan psikiatri. Kecemasan
adalah salah satu gangguan yang muncul pada anak dan
memerlukan suatu intervensi khusus apabila mempengaruh
interaksi sosial dan perkembangan anak. Contoh kecemasan yang
dapat dialami anak adalah fobia sekolah, kecemasan berpisah,
fobia sosial, dan kecemasan setelah mengalami trauma. Gangguan
perkembangan pervasif pada anak meliputi autisme serta gangguan
perilaku dan interaksi sosial. Menurut Widyastuti (2008) autism
adalah kelainan neurobiologis yang menunjukkan gangguan
komunikasi, interaksi, dan perilaku. Autisme ditandai dengan
terhambatnya perkembangan bahasa, munculnya gerakan-gerakan
aneh seperti berputar-putar, melompat-lompat, atau mengamuk
tanpa sebab.
e. Kewenangan Bidan menurut aturan yang berlaku dalam
pemberian asuhan kebidanan neonates, bayi, balita dan anak
pra sekolah
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2019
paragraf 2 tentang pelayanan kesehatan anak pasal 50 yang berisi
Dalam menjalankan tugas memberikan pelayanan kesehatan anak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) huruf b, Bidan
berwenang:
a. memberikan Asuhan Kebidanan pada bayi baru lahir, bayi,
balita, dan anak prasekolah;
b. memberikan imunisasi sesuai program Pemerintah Pusat;
c. melakukan pemantauan tumbuh kembang pada bayi, balita, dan
anak prasekolah serta deteksi dini kasus penyulit, gangguan
tumbuh kembang, dan rujukan;

B. Isuse pelayanan Kesehatan terkini pada neonatus, bayi, balita dan


anak pra sekolah
1. Tatalaksana dan rujukan kekerasan pada anak
a. Definisi Kekerasan Terhadap Anak
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun
(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih di dalam
kandungan. Hak asasi anak merupakan bagian dari Hak asasi
manusia yang termuat di dalam UUD 1945, Konvensi Hak Anak
dan UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Oleh
karena itu, orang tua, keluarga, dan masyarakat bertanggung
jawab untuk menjaga dan memelihara hak asai tersebut sesuai
kewajiban yang dibebankan oleh hukum. Negara dan pemerintah
juga turut bertanggung jawab menyediakan fasilitas dan
aksesibilitas bagi anak, terutama dalam menjamin pertumbuhan
dan perkembangannya secara optimal dan terarah. Perlindungan
anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak
dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan
berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi. Perlindungan anak sendiri sudah tercantum di dalam
UUD 1945, Konvensi Hak Anak yang telah disetujui oleh Majelis
Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 200 November
1989 serta di UU No. 35 tahun 2015 tentang Perubahan atas
UndangUndang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Anak juga berhak mendapatkan perlindungan khusus untuk
melindungi dalam situasi khusus, anak yang berhadapan dengan
hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak
tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang
diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan
narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya, anak
korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban
kekerasan fisik dan/atau mental, anak penyandang cacat, dan
korban perlakuan salah dan penelantaran. Bagi anak yang
berhadapan/yang menjadi korban tindak pidana juga mendapatkan
perlindungan khusus yang diatur di dalam pasal 64 UU No. 35
tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak.
Kekerasan terhadap anak adalah semua bentuk
tindakan/perlakuan yang menyakitkan secara fisik, psikis, seksual
atau penelantaran, yang mengakibatkan atau dapat mengakibatkan
cedera/kerugian nyata terhadap kesehatan anak, kelangsungan
hidup anak, tumbuh kembang anak atau martabat anak. Kekerasan
terhadap Anak meliputi :
a) Kekerasan Fisik pada anak merupakan kekerasan yang
mengakibatkan cedera fisik nyata atau potensial terhadap anak
sebagai akibat dari interaksi atau tidak adanya interaksi yang
layaknya ada dalam kendali orang tua atau orang dalam
hubungan posisi tanggung jawab, kepercayaan atau
kekuasaan. Anak korban kekerasan terhadap anak (KtA)
berupa kekerasan fisik dapat diduga dengan ditemukannya
luka atau cedera pada tubuh anak yang ciri, letak dan sifatnya
bukan akibat suatu kecelakaan.
b) Kekerasan psikis pada anak merupakan suatu perbuatan
terhadap anak yang mengakibatkan atau sangat mungkin akan
mengakibatkan gangguan kesehatan atau perkembangan fisik,
mental, spiritual, moral dan sosial. Kekerasan tersebut dapat
berupa pembatasan gerak, sikap tindak yang meremehkan,
mencemarkan, mengkambinghitamkan, mengancam, menakut-
nakuti, mendiskriminasi, mengejek atau menertawakan anak,
atau perlakuan kasar lain atau penolakan. Pada anak korban
yang diduga mengalami kekerasan psikis dapat ditemukan
adanya perubahan emosi dan perilaku serta terhambatnya
perkembangan fungsi fisik, mental dan sosial.
c) Kekerasan seksual merupakan pelibatan anak dalam kegiatan
seksual, dimana ia sendiri tidak sepenuhnya memahami atau
tidak mampu memberi persetujuan, yang ditandai dengan
adanya aktivitas seksual antara anak dengan orang dewasa
atau anak lain dengan tujuan untuk memberikan kepuasan bagi
orang tersebut. Hal tersebut dapat diduga dengan
ditemukannya riwayat dan/atau tanda penetrasi, persetubuhan,
pengakuan adanya pelecehan seksual atau bentuk kekerasan
lainnya.
Penelantaran anak merupakan kegagalan dalam
menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk tumbuh
kembang anak yang bukan disebabkan oleh karena keterbatasan
sumber daya. Penelantaran tersebut dapat berupa kegagalan
memenuhi kebutuhan kesehatan, pendidikan, perkembangan
emosional, nutrisi, rumah atau tempat bernaung, serta keadaan
hidup yang aman dan layak. Hal tersebut dapat diduga dengan
ditemukannya riwayat dan/atau tanda penelantaran.
b. Faktor Penyebab Kekerasan Terhadap Anak
1) Faktor Interna
a) Faktor Anak
Anak dengan gangguan tumbuh kembang akan rentan
terhadap risiko kekerasan, antara lain bayi berat lahir
rendah (BBLR) dengan gangguan perkembangan, penyakit
kronis, cacat fisik, gangguan perilaku atau gangguan mental
emosional akan lebih rentan mengalami kekerasan.
b) Faktor Orang Tua/ Situasi Keluarga

Dalam hal ini yang sering terjadi akibat kurangnya


pemahaman tentang agama, riwayat orang tua dengan
kekerasan fisik atau seksual pada masa kecil adanya
riwayat stress berkepanjangan, depresi, dan masalah
kesehatan mental lainnya (ansietas,schizophrenia, dll),
penggunaan NAPZA, berperan sebagai orang tua tunggal,
orang tua dengan usia masih remaja, pendidikan orang tua
yang rendah, sosial ekonomi yang rendah, dan juga dapat
dikarenakan kehamilan yang tidak diinginkan.
2) Faktor Eksterna
Problema yang ada di masyarakat yang sering menjadi faktor
penyebab terhadap tindak kekerasan pada anak antara lain :
lingkungan sosial dengan tingkat kriminalitas yang tinggi,
kemiskinan, kebiasaan atau budaya yang salah di masyarakat
dalam pengasuhan anak salah satunya dengan melakukan
penghukuman fisik pada anak, serta pengaruh negatif media massa.
c. Dampak Kekerasan terhadap Anak
Kekerasan terhadap anak dapat menimbulkan berbagai dampak
yang dapat digolongkan menjadi dua yaitu :
1) Dampak Jangka Pendek
Dampak jangka pendek terutama berhubungan dengan masalah
fisik, antara lain : memar, lecet, luka bakar, patah tulang,
kerusakan organ,robekan selaput dara, keracunan, gangguan
susunan syaraf pusat. Di samping itu seringkali terjadi
gangguan emosi atau perubahan perilaku seperti pendiam,
menangis, menyendiri.
2) Dampak Jangka Panjang
Dampak jangka panjang dapat terjadi pada kekerasan fisik,
seksual, maupun emosional.
a) Dampak Fisik
Kecacatan yang dapat mengganggu fungsi tubuh.
b) Dampak Seksual
Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD), Infeksi Menular
Seksual (IMS) termasuk HIV/AIDS, gangguan/ kerusakan
organ reproduksi.
c) Dampak Emosional
Anak yang mengalami kekerasan dapat mengalami depresi,
baik ringan, sedang maupun berat. Pada depresi ringan anak
akan menjadi resisten terhadap lingkungan misal anak
menjadi lebih pendiam dalam bergaul dengan temannya.
Anak yang mengalami depresi sedang menjadi lebih
menutup diri dengan lingkungan, menghindar dari
pergaulan, dan lebih suka menyendiri. Sedangkan pada
tahap depresi berat anak yang mengalami kekerasan akan
merasa putus asa dalam hidupnya atau merasa hidupnya
tidak berguna sehingga mulai muncul keinginan untuk
mengakhiri hidupnya, pada tahap depresi berat ini anak
dapat melakukan tindakan bunuh diri.
d. Alur Pelaporan Kasus Kekerasan Terhadap Anak
Kekerasan terhadap anak merupakan tindak pidana yang
melanggar hak asasi manusia yang apabila dibiarkan dapat
memberikan dampak negatif bagi tumbuh kembang anak dan
kesehatan serta mengancam kualitas hidup dan masa depannya.
Sebagai tenaga kesehatan wajib ikut bertanggung jawab terhadap
upaya penyelenggaraan perlindungan anak. Selain itu, tenaga
kesehatan sering menjadi tangan pertama yang menerima korban
kekerasan terhadap anak dan memiliki potensi untuk mencegah
atau memperkecil dampak negatif terhadap kesehatan anak, baik
fisik maupun mental, serta aspek hukum dan sosial, sehingga
pelayanan yang dilakukan melalui pendekatan multidisiplin. Agar
korban KtA dapat memperoleh pelayanan secara komprehensif,
maka tenaga kesehatan di bawah tanggung jawab pimpinan
fasilitas pelayanan kesehatan memiliki kewajiban melapor
Dugaan kasus Kekerasan terhadap Anak. Pemberi layanan
kesehatan yang dalam melakukan pelayanannya menemukan
adanya dugaan kekerasan terhadap anak, maka wajib
memberitahukan kepada orang tua dan/atau pendamping anak
tersebut, disertai anjuran untuk melaporkan dugaan kekerasan
terhadap anak tersebut kepada kepolisian. Anjuran-anjurannya
paling sedikit berisi :
 Dampak yang merugikan kesehatan anak
 Dampak sosial terhadap anak, dan
 Tindakan sanksi hukum yang memberi efek jera bagi
pelaku.
Apabila orang tua atau pendamping anak korban KtA menolak
dilakukan pelaporan, tenaga kesehatan memberikan informasi
kepada kepolisian sesegera mungkin yang dapat dilakukan secara
lisan atau tertulis. Pemberi layanan kesehatan yang memberikan
informasi adanya dugaan anak korban KA berkedudukan hanya
sebagai pemberi informasi bukan sebagai saksi pelapor dan
berhak mendapatkan perlindungan hukum.
Pemberian informasi anak yang diduga sebagai korban KtA
paling sedikit berisi :
 Umur dan jenis kelamin korban
 Nama dan alamat pemberi pelayanan kesehatan, dan/atau
 Waktu pemeriksaan kesehatan.
Perlu diperhatikan beberapa ciri-ciri korban kekerasan yaitu :
1. Anak korban kekerasan meliputi kekerasan fisik, psikis,
seksual dan penelantaran.
2. Anak korban dugaan kekerasan fisik memiliki ciri luka atau
cedera pada tubuh anak yang bukan akibat suatu kecelakaan
yang memiliki bentuk dan pola tertentu yang khas, misalnya
tramline hematome, luka bakar khas seperti luka akibat
sundutan rokok, memar berbentuk telapak tangan dan lain-
lain.
3. Anak korban kekerasan psikis dapat diketahui melalui
wawancara langsung kepada korban (autoanamnesis) atau
wawancara dengan orang tua/pendamping (aloanamnesis)
tentang adanya riwayat kekerasan psikis, adanya perubahan
ekspresi wajah, sikap dan perilaku anak sebelum kejadian
seperti anak takut berpisah dari orang tua, menyendiri, tidak
mau bergaul, mengompol, mimpi buruk, dan lainlain
4. Anak korban dugaan kekerasan seksual dapat diketahui
melalui identifikasi kasus anak yang datang dengan keluhan
nyeri atau pendarahan pada saat buang air kecil atau buang air
besar; riwayat penyakit infeksi menular seksual atau adanya
infeksi berulang (rekuren) pada kemaluan; adanya tanda-tanda
kehamilan pada remaja, ditemukan cairan mani pada semen di
sekitar mulut, genitali, anus atau pakaian; gangguan
pengendalian buang air besar dan buang air kecil; adanya
robekan atau bercak darah pada pakaian dalam anak, adanya
cedera atau perlukaan pada buah dada, bokong, perut bagian
bawah, paha, sekitar alat kelamin atau dubur, adanya tanda-
tanda penetrasi dan atau persetubuhan, atau bentuk kekerasan
seksual lainnya.
5. Anak korban penelantaran dapat diketahui melalui adanya
kegagalan tumbuh fisik maupun mental; malnutrisi tanpa dasar
penyakit organik yang sesuai; luka atau penyakit yang
dibiarkan tidak diobati; tidak memperoleh imunisasi dasar;
ditemukannya anak dengan tandatanda kulit kotor, rambut
kotor, gimbal, tidak terawat dan berkutu; gigi tidak bersih,
bau; keadaan umum lemah, letargik dan lelah berkepanjangan.

e. Pemeriksaan Korban Kekerasan pada Anak


Adapun tata cara pemeriksaan terhadap korban kekerasan
terhadap anak meliputi langkah-langkah sebagai berikut :
1) Melakukan persetujuan/penolakan untuk dilakukan
pemeriksaan medis (informed consent/informed refusal) untuk
menjelaskan kepada anak maupun orang tua tentang maksud,
tujuan, proses dan lama pemeriksaan.
2) Anamnesis baik autoanamnesis maupun alloanamnesis dan
bila perlu menggunakan alat bantu seperti boneka, alat tulis
dan alat gambar. Anamnesa terhadap anak yang diduga
sebagai korban dan pengantar sebaiknya dilakukan terpisah.
Menilai adanya kemungkinan ketidaksesuaian yang muncul
antara penuturan orang tua/pengantar dan anak dengan temuan
medis.
3) Pemeriksaan fisik memeriksa keadaan umum meliputi
kesadaran dan tanda vital, memperhatikan apakah ada luka
lama dan baru yang sesuai dengan urutan peristiwa kekerasan
yang dialami. Apabila dalam pemeriksaan ditemukan adanya
memar/jejas pada daerah yang tidak lazim terkena kecelakaan
seperti pipi, lengan atas, paha, bokong dan genital; perlukaan
multipel dengan berbagai tingkat penyembuhan, memiliki
gambaran atau pola luka sesuai jari tangan, tali atau kabel,
kepalan, ikat pinggang bahkan gigi orang dewasa; patah tulang
pada anak usia dibawah tiga tahun, patah tulang baru dan lama
yang ditemukan bersamaan, patah tulang ganda, patah tulang
bentuk spiral pada tulang panjang lengan dan tungkai, patah
tulang kepala, rahang dan hidung serta patahnya gigi; luka
bakar seperti bekas sundutan rokok, luka bakar pada angan,
kaki atau bokong akibat kontak bagian-bagian tubuh tersebut
dengan benda panas, dan bentuknya sesuai dengan benda
panas yang digunakan; cedera pada kepala seperti hematoma
subkutan atau subdural, bercak/area kebotakan akibat
tertariknya rambut, baik yang baru atau berulang; dislokasi
sendi bahu atau pinggul. Pada kasus kekerasan seksual, perlu
diperhatikan adanya tanda-tanda perlawanan seperti pakaian
yang robek, bercak darah pada pakaian dalam, gigitan,
cakaran, ekimosis, hematoma, serta diperiksa adanya tanda-
tanda persetubuhan serta perlu diperiksa adanya luka di daerah
sekitar paha, vulva dan perineum.
4) Pemeriksaan status mental perlu dilakukan karena dampak
dari kekerasan dapat menimbulkan distres serta gejala-gejala
paska trauma. Gejala yang muncul antara lain ketakutan, siaga
berlebihan (mudah kaget, curiga), panik dan berduka
(perasaan sedih terus menerus).
5) Pemeriksaan penunjang dapat meliputi pemeriksan Rontgen
dan USG, pemeriksaan laboratorium darah dan urin rutin.
Pada kasus kekerasan seksual dapat ditambah pemeriksaan
penapisan (screening) penyakit menular seksual, test
kehamilan, pemeriksaan mikroskopis sperma serta
pemeriksaan toksikologi.

f. Rujukan Kekerasan pada Anak


Pada kasus kekerasan terhadap anak dapat dilakukan rujukan yang
berupa :
1) Rujukan medis : dilakukan dari puskesmas ke Rumah Sakit
Umum Daerah (RSUD), Rumah Sakit Umum Pusat atau
Rumah Sakit Bhayangkara
2) Rujukan non medis dilakukan untuk memperoleh bantuan
pendampingan psikososial dan bantuan hukum antara lain ke
Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak
(P2TP2A), Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA),
rumah aman/shelter atau Rumah Perlindungan Sosial Anak
(RPSA) atau Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA).
Penanganan rujukan non medis di rumah sakit dilakukan
melalui pelayanan terpadu atau one stop service atau Pusat
Pelayanan Terpadu (PPT) atau Pusat Krisis Terpadu.

2. Pencegahan praktik P2GP


a. Definisi
Pemotongan/Perlukaan Genetalia Perempuan (P2GP)
merupakan fenomena yang sudah ada di indonesia sejak jaman
dulu. Di dunia internasional , P2GP dikenal dengan Female Genital
Mutilation/Cutting (FGM/C) sebagai prosedur pemotongan
sebagian atau semua bagian untuk alasan non medis (WHO,2012).
FGM Sebagai Perhatian Global Mutilasi genital perempuan (FGM)
terdiri dari semua prosedur yang melibatkan pengangkatan
sebagian atau keseluruhan genitalia eksternal, atau cedera lain pada
organ kelamin perempuan untuk alasan non-medis.Praktek ini
sebagian besar dilakukan oleh penyunat tradisional, yang sering
memainkan peran sentral lainnya di masyarakat, seperti menghadiri
persalinan. Terdapat keyakinan yang salah tentang praktik sunat
pada perempuan di masyarakat. WHO sangat mendesak kepada
profesional kesehatan untuk tidak melakukan prosedur semacam
itu. FGM atau P2GP diakui secara internasional sebagai
pelanggaran hak asasi anak perempuan dan perempuan. Ini
mencerminkan ketidaksetaraan yang mengakar di antara jenis
kelamin, dan merupakan bentuk ekstrem diskriminasi terhadap
perempuan. Hampir selalu dilakukan pada anak di bawah umur dan
merupakan pelanggaran terhadap hak anak-anak. Praktek ini juga
melanggar hak seseorang atas kesehatan, keamanan dan integritas
fisik, hak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan kejam, tidak
manusiawi atau merendahkan martabat, dan hak untuk hidup.
b. Jenis dan Type FGM
1) Tipe I
Penghapusan sebagian atau total klitoris dan/atau kulup
(klitoridektomi). Ketika penting untuk membedakan variasi
utama dari mutilasi Tipe I, subdivisi berikut ini diusulkan:
a) Tipe Ia, pengangkatan kap klitoris atau hanya prepuce;
b) Tipe Ib, pengangkatan klitoris dengan preputium.
2) Tipe II Penghapusan sebagian atau seluruh klitoris dan labia
minora, dengan atau tanpa eksisi labia majora (eksisi). Ketika
penting untuk mem bedakan antara variasi utama yang telah
didokumentasikan, sub divisi berikut diusulkan:
a) Tipe IIa, pengangkatan labia minora saja;
b) Tipe IIb, Pengangkatan klitoris parsial atau total dan labia
minora; •
c) Pengangkatan klitoris tipe IIc, parsial atau total, labia
minora dan labia majora.
3) Tipe III Penyempitan ori!isium vagina dengan pembuatan segel
penutup de ngan memotong dan mengaplikasikan labia minora
dan/atau la bia mayora, dengan atau tanpa eksisi klitoris (in!
ibulasi). Ketika pen ting untuk membedakan variasi in!ibulasi,
subdivisi berikut diusulkan: •
a) Tipe IIIa, pengangkatan dan aposisi labia minora;
b) Tipe IIIb, pengangkatan dan aposisi labia majora.
4) Tipe IV Semua prosedur berbahaya lainnya ke alat kelamin
perempuan un tuk tujuan non-medis, misalnya: menusuk,
menorehkan, menggores dan membakar. Khitan pada
perempuan memiliki 4 tahapan tergantung beratnya per lukaan
yang dilakukan pada organ genital tersebut. Tindakan yang
bersifat melukai dari goresan, penindikan hingga tatoo di dae
rah tersebut diklasifikasi FGM.
c. Dampak Mutilasi Genital pada Kesehatan Perempuan
Khitan pada perempuan mencakup pengirisan hingga
pemotongan sebagian atau keseluruhan dari organ genitalia
external dan/atau secara sengaja melakukan tindakan yang melukai
bagian terluar genitalia perempuan tanpa adanya indikasi medis.
Khitan pada perempuan biasanya dilakukan oleh mantri (bukan
tenaga medis) yang biasanya dianggap memiliki keahlian di bidang
tersebut walaupun tanpa izin kompetensi. Dalam dunia ke dok
teran,apabila tidak memiliki surat izin kompetensi, maka tenaga
medis tersebut tidak memiliki wewenang melakukan praktik
tersebut sehingga dapat dipidanakan. Menurut UNICEF, tindakan
khitan perempuan di Indonesia bahkan dilakukan oleh tenaga
medis yang bersertifikat namun dipastikan tidak memiliki
kompetensi dalam melakukan operasi di daerah tersebut.Anatomi
kelamin pria berbeda dengan anatomi kelamin perempuan sehingga
khitan pada kedua jenis kelamin ini berbeda dampaknya. Khitan
pada pria menghilangkan preputium ataupun kulit yang menutupi
gland penis dimana kulit tersebut dapat menghambat saluran
berkemih dan terdapat sisa urine di kulit tersebut yang dapat
menyebabkan infeksi saluran kemih. Artinya, khitan pada pria
berdampak positif terhadap kesehatan kelaminnya. Sementara
anatomi kelamin perempuan memiliki saluran kemih yang tidak
tertutupi oleh preputium sehingga saluran kemih tidak terhambat
dan hygenitas yang baik lebih gampang. Ini artinya, secara medis
khitan perempuan tidak diperlukan (karena tidak ada yang
menutupi saluran kemihnya), bahkan tindakan menyunat hanya
menyakiti dan merusak kelaminnya.
d. Risiko dan Komplikasi Khitan Perempuan
1) Nyeri
Organ genitalia external perempuan memiliki saraf dan pem
buluh darah yang banyak, terutama di daerah klitoris. Apabila
dilakukan penyayatan hingga pemotongan di daerah tersebut
tanpa menggunakan pembiusan yang benar, maka nyeri hebat
akan timbul hingga dapat menyebabkan kematian.
2) Perdarahan
Pengirisan hingga pemotongan bagian dari kemaluan
perempuan akan mengakibatkan pendarahan terutama bagian
klitoris. Klitoris adalah bagian yang paling sensitif dikarenakan
memiliki pembuluh darah yang banyak dan pusatnya ujung
saraf.Apabila terdapat perlukaan pada klitoris, maka
pendarahan akan sulit untuk dihentikan tanpa memiliki
pengetahuan yang khusus. Apa bila pendarahan tidak dapat
ditangani secara cepat dan tepat maka akan dapat menyebabkan
kematian.
3) Infeksi daerah sayatan
Dengan melukai bagian dari anggota tubuh tanpa melakukan
antisepsis yang baik dan benar di bagian tersebut maka risiko
untuk kuman dapat masuk ke dalam tubuh hingga
menyebabkan infeksi dan sepsis. Di luar itu, instrumen ataupun
alat-alat yang digunakan apabila tidak steril, meningkatkan
risiko infeksi yang lebih besar hingga menyebabkan penularan
penyakit yang tidakdiinginkan.
4) Infeksi saluran kemih
Saluran kemih pada perempuan letaknya sangat dekat dengan
klitoris dan memiliki saluran lebih pendek diban dingkan
saluran kemih pria, maka resiko infeksi saluran kemih pada
perempuan lebih tinggi. Apabila terdapat infeksi daerah muara
saluran kemih, maka infeksi tersebut akan naik hingga ke kan
dung kemih yang menyebabkan risiko infeksi saluran kemih
yang lebih serius. Retensi urin: Dengan adanya infeksi saluran
kemih dan nyeri yang berlebihan, maka perempuan tersebut
akan lebih enggan dan khawatir untuk berkemih. Hal ini
berdampak untuk sulit berkemih dan urine tertahan di dalam
tubuh.
5) Dyspareunia/nyeri saat berhubungan
Luka yang tidak sembuh dengan baik, maka dapat
mengakibatkan terbentuknya keloid. Hal ini dapat
menimbulkan nyeri bila tersentuh.
e. Faktor-Faktor Pendukung dan Peluang: Pencegahan dan Penghapusan
Praktik P2GP
P2GP terus bertahan dan lestari di beberapa wilayah karena adnya faktor-
faktor pendukung dari budaya dan agama, yang saling berkaitan
1. Kerja Aksi Bersama Jangka Pendek
Lintas Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
a) Membangun dialog dengan tokoh-tokoh agama dan adat yang
melestarikan P2GP secara bertahap bersama tokoh yang progresif.
b) Menginternalisasi pemahaman penghapusan praktik P2GP di
masing-masing kementerian dalam penguatan kapasitas dan
penyebaran pemahaman P2GP dari perspektif Agama, Budaya dan
Kesehatan di lingkungan Kementerian Agama dan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan.
c) Strategi komunikasi melalui internet dan media sosial serta
pengembangan bahan-bahan informasi dan pe ngetahuan tentang
praktik P2GP yang membahayakan Pe rempuan dan Anak
Perempuan dari Perspektif Agama, Budaya dan Kesehatan.
2. Area Prioritas Kerja Jangka Pendek
Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan
Komnas Perempuan
1) Kementerian Agama
a) Pencegahan dan Penghapusan Praktik P2GP masuk dalam
Rencana Strategis dan Rencana Kerja Kementerian Agama tahun
2019-2024;
b) Membangun tafsir ulang agama dalam Pencegahan dan Peng
hapusan P2GP;
c) Pemetaan situasi dan kondisi masyarakat dan stakeholder terkait;
Pemetaan ini untuk mengetahui tingkat pelestarian praktik P2GP
di suatu wilayah, termasuk memetakan aktor progresif dalam
pencegahan dan penghapusan P2GP versus pelestarian P2GP.
Dalam pemetaan ini akan melihat dan menganalisa pemahaman
P2GP secara mendalam yang ada di masyarakat dan tokoh
agama, dan dasar pengetahuan agama yang mempengaruhi
Membangun strategi pencegahan dan penghapusan secara
bertahap, mengikuti peta situasi dan kondisi masyarakat dan
aktor progresif; Melibatkan perempuan ibu dan calon ibu dalam
pencegahan dan penghapusan P2GP melalui kursus perkawinan
secara intensif, materi-materidalam kegiatan keagamaan dan
sosial lainnya.
2) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
a) Pencegahan dan Penghapusan Praktik P2GP masuk dalam
Rencana Strategis dan Rencana Kerja Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan tahun 2019 – 2024;
b) Melakukan kajian tentang Kekerasan terhadap Perempuan
berbasis Budaya serta Pelestarian Adat P2GP dalam Pen cegahan
dan Penghapusan P2GP;
c) Pemetaan situasi dan kondisi masyarakat dan stakeholder terkait.
Pemetaan ini untuk mengetahui tingkat pelestarian praktik P2GP
di suatu wilayah, termasuk memetakan aktor progresif dalam pen
cegahan dan penghapusan P2GP versus Pelestarian P2GP. Dalam
pemetaan ini akan melihat dan menganalisa pemahaman P2GP
secara mendalam yang ada di masyarakat, tokoh adat, dan dasar
pengetahuan budaya yang mempengaruhi.
d) Membangun strategi pencegahan dan penghapusan secara
bertahap, mengikuti peta situasi dan kondisi masyarakat dan
aktor progresif;
e) Penguatan Kapasitas Aktor Diseminasi dan Penyebaran Pe
mahaman P2GP dan Dampaknya kepada Anak-anak dan Remaja
melalui pendidikan formal dan informal. Pada pen didikan formal
direncanakan dengan membangun dan meng integrasikan
Pencegahan dan Penghapusan P2GP dalam muatan kurikulum
(intrakurikuler) dan melalui kegiatan keagamaan/Rohis (kegiatan
ekstrakulikuler), dan pertemuan dengan orangtua murid. Pada
pendidikan nonformal, seperti Paud, Pendidikan Masyarakat
(Dikmas) dan Bindikel, dengan Pendidikan Ibu dan Nenek
tentang Kesehatan Perempuan, Majelis Taklim dan Pengajian,
Tradisi Diubah Melalui Pertanyaan Kritis Melalui Berbagai
Media, dan Pendekatan Terhadap Jaringan Sosial Para Dukun
Bayi, Tokoh Masyarakat dan Tokoh Agama;
f) Membangun strategi pendekatan mengikuti peta kondisi dan
situasi masyarakat dalam memahami P2GP, dan bertahap
mengenal praktik ‘substitusi’ atau alternatif lainnya.
3) Komnas Perempuan
a) Pencegahan dan Penghapusan Praktik P2GP masuk dalam
Rencana Strategis dan Rencana Kerja Komnas Perempuan 2019 –
2024;
b) Bersama dan Membantu Kementerian Agama dan Ke menterian
Pendidikan dan Kebudayaan membangun tafsir ulang agama dan
budaya terkait pencegahan dan penghapusan Praktik P2GP;
c) Bersama dan Membantu Kementerian Agama dan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan memetakan situasi dan kondisi
masyarakat dan stakeholder terkait dan membangun strategi
pencegahan dan penghapusan P2GP secara bertahap sesuai hasil
peta situasi dan kondisi masyarakat;
d) Menajamkan bahan materi bersama IDI (Ikatan Dokter Indo
nesia) dan IBI (Ikatan Bidan Indonesia) bekerjasama dengan
Kementerian Kesehatan;
e) Membangun Konsorsium lintas Kementerian dan para pakar
dalam pencegahan dan penghapusan Praktik P2GP.
4) Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Jangka Menengah dan Panjang
1) Membangun dan Menguatkan Kebijakan yang ada di Kemen
terian Agama dan Kementerian Pendidikan dan Kebuda yaan
dalam Pencegahan dan Penghapusan P2GP;
2) Menjadi Program Kerja Pembangunan di masing-masing Ke
menterian dalam Pencegahan dan Penghapusan P2GP;
3) Khusus Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Penguatan
Program Pemahaman P2GP dilaksanakan melalui pen didikan
formal dan informal. Pada pendidikan formal, muatan kurikulum
(intrakurikuler) dan melalui kegiatan keagamaan/Rohis (kegiatan
ekstrakulikuler), dan pertemuan dengan orangtua murid terus
berlanjut dan dikuatkan. Pada pendidikan non-formal, seperti
Paud, Pendidikan Masya rakat (Dikmas) dan Bindikel, dengan
Pendidikan Ibu Dan Nenek tentang Kesehatan Perempuan,
Majelis Taklim dan Pengajian, Pertanyaan Kritis Melalui
Berbagai Media,dan Pendekatan Terhadap Jaringan Sosial Para
Dukun Bayi, Tokoh Masyarakat dan Tokoh Agama juga
dikuatkan dan meluas ke seluruh wilayah di Indonesia.
5) Komnas Perempuan
1) Bersama dan membantu Kementerian Agama dan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan dalam membangun dan menguatkan
kebijakan Pencegahan dan Penghapusan P2GP;
2) Menguatkan konsorsium yang dibangun dan meluaskan
kementerian dan para pakar yang terlibat di dalamnya dalam
rangka pencegahan dan penghapusan P2GP.

3. Pencegahan dan Isoman COVID-19 pada anak


a. Menerapkan Protokol Kesehatan
1. Menggunakan masker, mencuci tangan dengan sabun dan air
mengalir atau menggunakan hand sanitizer, menjaga jarak,
menghindari keluar rumah apalagi tempat keramaian
2. Anggota keluarga yang keluar rumah, segera mandi, cuci
rambut, ganti baju ketika sampai rumah
3. Orang yang bukan pengasuh anak hindari kontak langsung
dengan bayi balita
b. Pemberian Vaksin Covid-19
Sesuai anjuran pemerintah, anak usia 12-17 tahun saat ini sudah
dapat divaksinasi COVID-19, namun anak-anak dengan kondisi
khusus dibawah ini, vaksinasi sebaiknya ditunda terlebih dahulu
dan berkonsultasi dengan petugas kesehatan:
1. Demam 37.5oC atau lebih
2. Sembuh dari COVID-19 kurang dari 3 bulan
3. Pasca imunisasi lain kurang dari 1 bulan
4. Hipertensi, Diabetes Melitus, penyakit-penyakit menahun,
kelainan bawaan, defisiensi imun primer, penyakit autoimun
5. Penyakit Sindrom Gullian Barre, Mielitis Transversa, Acute
Demyelinating Encephalomyelitis
6. Anak dengan kanker yang sedang menjalani kemoterapi/
radioterapi
7. Sedang mendapat pengobatan imunosupresan/ sitostatika bera
c. Isolasi Mandiri Anak dengan Covid -19
1. Kontak erat
a. Jika seseorang berdekatan dengan kasus COVID-19 atau
yang memiliki gejala COVID-19 dalam jarak 1 meter
selama 15 menit atau lebih
b. Seseorang bersentuhan fisik langsung dengan kasus
COVID-19 atau yang memiliki gejala COVID-19 (seperti
bersalaman, berpegangan tangan, berpelukan, gendong, dll)
Yang harus dilakukan jika anak saya kontak erat dengan
penderita covid-19 :
a. Anak segera ISOLASI MANDIRI
b. Lapor ke Puskesmas setempat
c. Puskesmas akan menganjurkan untuk segera melakukan
pemeriksaan swab PCR atau swab antigen. Anda dapat juga
membawa anak ke laboratorium/fasilitas yang menyediakan
pemeriksaan swab PCR/swab antigen:
- Jika hasil NEGATIF, lanjutkan ISOLASI MANDIRI
- Jika hasil POSITIF, lanjutkan ISOLASI MANDIRI
sesuai arahan dari puskesmas/petugas kesehatan
setempat.
d. Setiap hasil positif laporkan kembali ke Puskesmas dan
tetap lanjutkan isolasi mandiri
2. Waktu yang tepat untuk melakukan isolasi mandiri
a. Anak yang masuk kriteria kontak erat.
b. Anak positif COVID- 19 yang tidak bergejala.
c. Anak positif COVID-19 yang bergejala ringan: demam,
batuk, nyeri tenggorokkan, sakit kepala, mual muntah,
diare, lemas, anosmia/kehilangan indera penciuman,
ageusia / kehilangan indera pengecapan, ruam-ruam,
saturasi oksigen ≥ 95%.
d. Anak positif COVID-19 yang tidak memiliki komorbid
(penyakit penyerta) seperti: obesitas, kanker, ginjal
menahun, autoimun, kelainan bawaan, jantung, kencing
manis/diabetes melitus, penyakit paru menahun, sesuai
diagnosa tenaga kesehatan.*
Anak dengan positif COVID 19 isolasi di sentra isolasi/RS bila
a. ada ibu hamil
b. ada lansia
c. dengan komorbid
d. kondisi rumah tidak memungkinkan untuk isolasi mandiri
e. tidak dapat memenuhi persyaratan lainnya
f. sulit akses ke fasilitas kesehatan baik komunikasi maupun
jarak tempuh

3. Persiapan isolasi mandiri


a. Ruang isolasi mandiri
1) Ventilasi atau aliran udara dan pencahayaan baik
2) Kamar mandi terpisah, jika tidak memungkinkan,
lakukan disinfeksi rutin
3) Alat mandi tersendiri
4) Alat makan tersendiri
5) Tempat tidur terpisah, diberi jarak minimal 2 meter dari
pengasuh yang tidak terinfeksi
6) Gunakan tempat sampah tertutup
7) Fasilitas cuci tangan
8) Masker dalam jumlah yang cukup
b. Alat kesehatan
1) Pengukur suhu tubuh (termometer)
2) Pengukur saturasi oksigen (oximeter)
3) Pengukur frekuensi nafas (jam)
c. Obat-obatan
1) Obat demam : paracetamol
2) Multivitamin : Vitamin C, D3, Zinc
d. Pengasuh saat isolasi mandiri
1) Orang tua atau pengasuh negatif COVID-19 bisa
mengasuh anak dengan memerhatikan protokol
kesehatan.
2) Disarankan orang tua atau pengasuh bukan kelompok
lanjut usia/tidak memiliki komorbid
3) Jika ada anggota keluarga yang positif, maka dapat
diisolasi bersama
4) Berikan dukungan psikologis pada anak
5) Jika orang tua dan anak berbeda status COVID-19,
disarankan berikan jarak tidur 2 meter di kasur terpisah
6) Orang tua atau pengasuh ikut isolasi dan disarankan
untuk tidak berganti orang
e. Konsultasi saat isolasi mandiri
Jika anak Anda saat ini sedang isolasi mandiri dan belum
mendapatkan pengobatan, dapat melakukan telekonsultasi
dengan tenaga kesehatan (Puskesmas atau RS terdekat)
atau melalui layanan daring melalui
https://isoman.kemkes.go.id/index.html atau link lainnya.
Referensi untuk telekonsultasi dapat dilihat dalam aplikasi
PeduliLindungi
4. Peran pengasuh saat anak isolasi mandiri
a. Pemantauan
Lakukan pemantauan suhu tubuh, frekuensi nafas, saturasi
oksigen, dan gejala yang muncul serta kenali tanda bahaya
saat isolasi mandiri. Jika terdapat salah satu gejala tanda
bahaya segera menuju RS/ pelayanan kesehatan terdekat
yang menyediakan layanan untuk COVID-19 atau
konsultasikan gejala tersebut melalui layanan
telekonsultasi.
Tanda bahaya saat isolasi mandiri :
1) Anak banyak tidur, kurang aktif seperti biasanya,
kesadaran menurun, dan atau
2) Terlihat sesak/sulit bernapas: napas cepat, tersengal-
sengal, hidung kembang kempis dan atau
3) Saturasi oksigen (<95%) atau
4) Kejang dan atau
5) Mata merah, ruam, leher bengkak dan atau
6) Demam > 39oC atau > 7 Hari dan atau
7) Tidak bisa makan dan minum dan atau
8) Mata cekung dan atau
9) Buang air kecil berkurang dan pekat 10. Bagi anak yang
masih menyusu, anak tidak dapat menyusu/minum

b. Pemberian obat-obatan
1) Obat demam: parasetamol
a) Bila anak demam Parasetamol dapat diberikan
dengan dosis 10-15 mg/kg/ kali setiap 4-6 jam
sekali, bila anak demam. Dosis maksimal
75mg/kg/hari dan tidak diberikan lebih dari 4000
mg/ hari.
b) Jangan lupa perhatikan bentuk sediaan obat yang
ada: drop, sirup, sirup forte, dan tablet.
c) Pemberian obat dapat menggunakan pipet, spuit
khusus obat, sendok takar.
2) Multivitamin
a) Vitamin C
 3 tahun: max 400 mg/ hari
 4-8 tahun: max 600 mg/ hari
 9- 13 tahun: max 1200 mg/hari
 14-18 tahun: max 1800 mg/hari
 Durasi 10-14 hari
b) Vitamin D3
 < 3tahun : 400 U/hari
 Anak: 1000 U/hari
 Durasi 10-14 hari
c) Zinc
 20 mg/hari selama durasi 10-14 hari
d) Obat lain yang jenis dan dosisinya sesuai anjuran
dokter

3) Aktivitas/rutinitas
4) Pencegahan infeksi
a) Gunakan masker
 Anak usia 2 tahun ke atas atau yang sudah dapat
menggunakan dan melepaskan masker,
dianjurkan menggunakan masker
 Ajarkan anak menggunakan dan melepas
masker dengan benar
 Berikan "istirahat masker" jika anak berada di
ruangan sendiri atau ada jarak 2 meter dari
pengasuh
 Masker tidak perlu digunakan saat anak tidur
 Pengasuh yang berada di dalam ruangan yang
sama harus menggunakan masker atau
pelindung mata bila memungkinkan
b) Cuci tangan
c) Etiket batuk dan bersin
 Tutup mulut dan hidung dengan tisu
 Tutup mulut dan hidung dengan lengan atas
bagian dalam
d) Disinfeksi ruangan
 Pastikan rutin membersihkan area rumah yang
sering disentuh seperti: gagang pintu, keran,
toilet, wastafel, sakelar, meja, kursi
 Pembersihan dilakukan dengan menggunakan:
- Campuran air dan sabun/deterjen ATAU
- Cairan desinfektan khusus
e) Mencuci peralatan makanan penderita covid-19
 Siapkan air hangat
 Campurkan sabun pencuci piring
 Rendam peralatan makan 2-3 menit
 Cuci seperti biasa
 atau gunakan peralatan makan sekali pakai
f) Mencuci pakaian penderita covid-19
 Siapkan air hangat
 Campurkan deterjen ke dalam air
 Rendam pakaian
 Cuci seperti biasa
 Bila menggunakan mesin cuci maka pisahkan
pakaian penderita dan yang sehat
g) Membuang sampah penderita covid-19
 Sampah dibuang dalam plastik yang terikat dan
dipastikan tertutup rapat
5) Perhatikan kesehatan mental anak
Cara berkomunikasi pada balita/anak
a) Ceritakan pada anak alasan isolasi mandiri, misal:
“agar semua keluarga tetap sehat”, “anak adalah
“pahlawan” yang melindungi orang lain dari
COVID-19 saat isolasi mandiri”
b) Tenangkan anak jika merasa gelisah dan diskusikan
mengenai kekhawatiran-kekhawatiran anak
c) Orang tua tetap mengasuh anak namun hindari
paparan dengan air liur, cairan tubuh lainnya dan
hindari mencium
 Tetap boleh menggendong anak, cuci tangan
dengan sabun sesering mungkin
 Jika memungkinkan gunakan sarung tangan jika
harus mengganti diapers atau popok anak
d) Jika anak sudah bisa mandiri, carikan aktivitas yang
bisa dikerjakan sendiri
e) Jika di rumah ada halaman atau balkon, lakukan
aktivitas di luar rumah untuk mengganti suasana
c. Pasca isolasi mandiri
Isolasi mandiri bagi pasien covid-19 dianggap selesai
adalah sebagi berikut :
1) Umumnya gejala akan hilang 14 hari
2) Selesainya masa isolasi dapat ditentukan melalui dua
cara:
a) Berdasarkan hasil pemeriksaan
 Isolasi mandiri dinyatakan selesai jika
pemeriksaan swab ulang menunjukkan hasil
negatif:
- 10 hari setelah munculnya gejala bagi yang
bergejala atau
- 10 hari setelah swab pertama positif
b) Berdasarkan gejala
 Apabila tidak bergejala selama isolasi mandiri,
maka isolasi mandiri dinyatakan selesai dalam
10 hari.
 Apabila bergejala ringan/sedang, isolasi mandiri
dinyatakan selesai setelah 10 hari + 3 hari
setelah bebas gejala.
 Apabila bergejala berat atau pasien kronik,
umumnya masa menular lebih panjang, sehingga
dokter yang akan menentukan kapan selesai
isolasi.
Yang harus diwaspadai setelah selesai isolasi
mandiri:
Gejala infeksi COVID masih dirasakan > 12
minggu setelah terinfeksi COVID
1) Kelelahan yang ekstrim (fatigue)
2) Sesak nafas • Nyeri atau rasa kencang di dada
3) Gangguan pada konsentrasi dan memori (“brain
fog”)
4) Gangguan tidur (insomnia)
5) Jantung berdebar
6) Pusing
7) Kesemutan
8) Nyeri sendi
9) Depresi dan cemas
10) Tinitus, nyeri telinga
11) Merasa tidak enak badan, diare, nyeri perut,
gangguan nafsu makan
12) Suhu tubuh meningkat, batuk, nyeri kepala,
nyeri tenggorokkan, perubahan indera perasa
dan penciuman
13) Ruam
14) Gejala dirasakan memberat setelah aktivitas
(ikatan dokter anak indonesia, 2022)

4. Pelayanan BBL di Era Adaptasi Kebiasaan Baru


a. Pelayanan Bayi Baru Lahir secara Umum
1. Penularan COVID-19 secara vertikal melalui plasenta belum
terbukti sampai saat ini. Oleh karena itu, prinsip pertolongan
bayi baru lahir diutamakan untuk mencegah penularan virus
SARS-CoV-2 melalui droplet atau udara (aerosol generated).
2. Penanganan bayi baru lahir ditentukan oleh status kasus
ibunya. Bila dari hasil skrining menunjukkan ibu termasuk
suspek, probable, atau terkonfirmasi COVID-19, maka
persalinan dan penanganan terhadap bayi baru lahir dilakukan
di Rumah Sakit.
3. Bayi baru lahir dari ibu yang BUKAN suspek, probable, atau
terkonfirmasi COVID-19 tetap mendapatkan pelayanan
neonatal esensial saat lahir (0 – 6 jam), yaitu pemotongan dan
perawatan tali pusat, Inisiasi Menyusu Dini (IMD), injeksi
vitamin K1, pemberian salep/tetes mata antibiotik, dan
imunisasi Hepatitis B.
4. Kunjungan neonatal dilakukan bersamaan dengan kunjungan
nifas sesuai dengan yang tercantum pada Bab V bagian
Pelayanan Pasca Salin (lihat halaman 44-46). KIE yang
disampaikan pada kunjungan pasca salin (kesehatan bayi baru
lahir) :
 ASI eksklusif.
 Perawatan tali pusat, menjaga badan bayi tetap hangat, dan
cara memandikan bayi.
 Khusus untuk bayi dengan berat badan lahir rendah
(BBLR) : apabila ditemukan tanda bahaya atau
permasalahan, bayi harus segera dibawa ke Rumah Sakit.
 Tanda bahaya pada bayi baru lahir (sesuai yang tercantum
pada buku KIA) : apabila ditemukan tanda bahaya pada
bayi baru lahir, bayi harus segera dibawa ke Fasilitas
Pelayanan Kesehatan.
5. Pelayanan Skrining Hipotiroid Kongenital tetap dilakukan.
Idealnya, waktu pengambilan spesimen dilakukan pada 48 – 72
jam setelah lahir dan masih dapat diambil sampai usia bayi 14
hari. Bila didapatkan hasil skrining dan tes konfirmasinya
positif hipotiroid, maka diberikan terapi sulih hormon sebelum
bayi berusia 1 bulan. Untuk pengambilan spesimen dari bayi
lahir dari ibu suspek, probable, atau terkonfimasi COVID-19,
tenaga kesehatan menggunakan APD untuk pencegahan
penularan droplet. Tata cara penyimpanan dan pengiriman
spesimen sesuai dengan Pedoman Skrining Hipotiroid
Kongenital (Kemenkes RI, 2018). Apabila terkendala dalam
pengiriman spesimen dikarenakan situasi pandemi COVID-19,
spesimen dapat disimpan selama maksimal 1 bulan pada suhu
kamar

b. Pelayanan Bayi Baru Lahir di Rumah Sakit


Komunikasi, informasi, dan edukasi semua prosedur pelayanan
pada bayi baru lahir sudah diberikan saat sebelum dilakukan
tindakan terminasi kehamilan, atau saat bayi baru lahir masuk
ruang rawat Rumah Sakit, yang dikuatkan dengan informed
consent. Pelayanan bayi baru lahir yang dilakukan adalah :
1. Bayi yang lahir dari ibu suspek, probable, dan terkonfirmasi
COVID-19 termasuk dalam kriteria suspek, sehingga
penentuan status terinfeksi virus SARS-CoV-2 dan kondisi
bayi baru lahir harus segera dilakukan.
a. Pembuktian virus SARS-CoV-2 dengan swab
nasofaring/orofaring segera dilakukan idealnya dua kali
dengan interval waktu minimal 24 jam.
b. Hasil satu kali positif menunjukkan bahwa bayi baru lahir
terinfeksi virus SARS-CoV-2
2. Prosedur Klinis pada Bayi Baru Lahir dari Ibu dengan Status
Suspek, Probable, dan Terkonfirmasi COVID-19.
a. Bayi baru lahir dari ibu suspek, probable, dan terkonfirmasi
COVID-19 dianggap sebagai bayi COVID-19 sampai hasil
pemeriksaan RT-PCR negatif. Tindakan yang dilakukan
pada bayi baru lahir tersebut disesuaikan dengan periode
continuum of care pada neonatus.
b. Tindakan resusitasi, stabilisasi dan transportasi (aerosol
generated).
 Tindakan dilakukan pada 30 detik pasca persalinan
apabila pada evaluasi bayi terdiagnosa tidak bugar
(tidak bernapas dan tidak bergerak).
 Isolasi dan APD sesuai prosedur pencegahan penularan
udara (aerosol generated).
c. Prosedur klinis pada bayi baru lahir tanpa gejala :
 Periode 30 detik – 90 menit pasca lahir pada bayi baru
lahir tanpa gejala:
o Penundaan penjepitan tali pusat (Delayed Cord
Clamping) tidak dilakukan, sebagai upaya
pencegahan penularan baik secara droplet maupun
aerosol (udara) serta untuk mempercepat pemisahan
ibu dan bayi baru lahir ke ruang/area khusus untuk
prosedur stabilisasi selanjutnya.
o Inisiasi Menyusu Dini (IMD)
- Tenaga kesehatan harus melakukan konseling
terlebih dahulu mengenai bahaya dan risiko
penularan COVID-19 dari ibu ke bayi, manfaat
IMD, serta manfaat menyusui (dilakukan pada
saat antenatal atau menjelang persalinan).
- IMD dilakukan atas keputusan bersama orang
tua.
- IMD dapat dilakukan apabila status ibu adalah
kontak erat/suspek, dan dapat dipertimbangkan
pada ibu dengan status probable/ konfirmasi
tanpa gejala/gejala ringan dan klinis ibu maupun
bayi baru lahir dinyatakan stabil.
- Apabila pilihan tetap melakukan inisiasi
menyusu dini, wajib dituliskan dalam informed
consent, dan tenaga kesehatan wajib
memfasilitasi dengan prosedur semaksimal
mungkin untuk mencegah terjadinya penularan
droplet.
- Ibu harus melakukan protokol/ prosedur untuk
pencegahan penularan COVID-19 dengan
menggunakan masker bedah, mencuci tangan,
dan membersihkan payudara
 Periode 90 menit – 6 jam pasca lahir (golden minutes –
hours / periode transisi intra ke ekstra uteri):
o Dilakukan pemeriksaan swab nasofaring/orofaring
untuk pembuktian virus SARS-CoV-2.
o Perawatan neonatal esensial :
- Pemeriksaan fisik
- Identifikasi tanda bahaya
- Antropometri
- Injeksi Vitamin K1
- Pemberian salep / tetes mata antibiotik
- Imunisasi Hepatitis B0
o Bayi baru lahir dapat segera dimandikan setelah
keadaan stabil, tidak menunggu setelah 24 jam.
o Apabila bayi berhasil beradaptasi pada kehidupan
ekstra uteri, neonatus dinyatakan sehat dan dapat
dilakukan rawat gabung. Prosedur rawat gabung
akan dijelaskan pada bagian rawat gabung.*)
 Periode 6 – 48 jam pasca lahir (golden days) di Rumah
Sakit atau Kunjungan Neonatal 1 :
o Dapat dilakukan Rawat Gabung*) dengan prosedur
rawat gabung dilaksanakan berdasarkan tingkat
keparahan gejala ibu penderita COVID-19 (suspek,
probable, atau terkonfirmasi) serta kapasitas ruang
rawat gabung isolasi COVID19 dan non-COVID-19
di RS.
o Neonatus tanpa gejala yang lahir dari ibu suspek,
probable, atau terkonfirmasi COVID-19 tanpa
gejala atau gejala ringan, dapat rawat gabung dan
menyusu langsung dengan mematuhi pencegahan
penularan melalui droplet, di ruang rawat gabung
isolasi khusus COVID-19.
*) Rawat gabung dapat dilakukan apabila memenuhi
persyaratan sebagai berikut :
 Fasilitas kesehatan mempunyai kamar rawat
gabung perorangan (1 kamar hanya ditempati 1
orang ibu dan bayinya).
 Perawatan harus memenuhi protokol kesehatan
ketat, yaitu jarak antara ibu dengan bayi
minimal 2 meter saat tidak menyusui. Bayi
dapat ditempatkan di inkubator atau tempat tidur
bayi (cots) yang dipisahkan dengan tirai.
 Ibu rutin dan disiplin mencuci tangan sebelum
dan sesudah memegang dan menyusui bayi.
 Ibu mempraktikkan perilaku hidup bersih dan
sehat.
 Ibu harus memakai masker bedah.
 Ruangan rawat gabung memiliki sirkulasi baik.
 Lingkungan di sekitar ibu juga harus rutin
dibersihkan dengan cairan disinfektan.
 Konseling, edukasi dan informasi tentang cara
pencegahan penularan virus SARS-CoV-2.
Rawat gabung tidak dianjurkan bila :
 Ruang rawat gabung berupa ruangan/bangsal
bersama pasien lain.
 Ibu sakit berat sehingga tidak dapat merawat
bayinya.

o Perawatan yang diberikan saat rawat gabung


adalah :
 Pemberian ASI (akan dijelaskan pada bagian
manajemen laktasi, dapat dilihat pada halaman
69).
 Observasi fungsi defekasi, diuresis,
hiperbilirubinemia, dan timbulnya tanda bahaya
kegawatan saluran cerna, (perdarahan, sumbatan
usus atas dan tengah), infeksi, dan kejang.
 Pengambilan spesimen darah untuk pemeriksaan
skrining hipotiroid kongenital sesuai Pedoman
SHK.
 Prosedur pemulangan bayi
 Periode 3 – 7 hari pasca lahir (golden days) atau
Kunjungan Neonatal 2 :
o Bayi baru lahir yang sudah dipulangkan dari Rumah
Sakit, pemantauan tetap dilakukan oleh Rumah
Sakit melalui media komunikasi, dan berkoordinasi
dengan Puskesmas wilayahnya untuk ikut
melakukan pemantauan.
 Periode 8 – 28 hari pasca lahir (golden weeks) atau
Kunjungan Neonatal 3 :
o Bayi baru lahir yang sudah dipulangkan dari Rumah
Sakit, pemantauan tetap dilakukan oleh Rumah
Sakit melalui media komunikasi, dan berkoordinasi
dengan Puskesmas wilayahnya untuk ikut
melakukan pemantauan.
d. Prosedur klinis pada bayi baru lahir dengan gejala :
Tindakan pasca resusitasi, stabilisasi, dan transportasi bayi
baru lahir dengan gejala.
o Bayi baru lahir bergejala yang tidak memerlukan
tindakan medik dan pemantauan secara intensif dan
high care pada jalan nafas, sistem respirasi,
kardiosirkulasi, dan sistem lain yang berakibat
terjadinya kegawatdaruratan, akan dirawat di ruang
rawat khusus isolasi COVID-19 sampai hasil
pembuktian RT-PCR negatif minimal satu kali
(pada fasilitas yang menyediakan follow up swab).
Ruang rawat isolasi khusus diperuntukkan untuk
pencegahan penularan COVID-19 melalui droplet.
o Bayi baru lahir bergejala yang memerlukan tindakan
medik dan pemantauan secara intensif dan high care
pada jalan nafas, sistem respirasi, kardiosirkulasi,
dan sistem lain yang berakibat terjadinya
kegawatdaruratan, akan dirawat di ruang rawat
khusus isolasi COVID-19 sampai hasil pembuktian
RT-PCR negatif minimal satu kali. Ruang rawat
isolasi khusus diperuntukan untuk pencegahan
penularan COVID-19 melalui udara (aerosol
generated)
3. Bayi baru lahir dari ibu dengan HbsAg reaktif dan
terkonfirmasi COVID-19 :
a. Bayi dalam keadaan klinis baik (bayi bugar) tetap
mendapatkan pelayanan injeksi vitamin K1 dan tetap
dilakukan pemberian imunisasi Hepatitis B serta pemberian
HbIg (Hepatitis B immunoglobulin) kurang dari 24 jam.
b. Bayi dalam keadaan klinis sakit (bayi tidak bugar atau
tampak sakit) tetap mendapatkan pelayanan injeksi vitamin
K1 dan tetap dilakukan pemberian HbIg (Hepatitis B
immunoglobulin) kurang dari 24 jam. Pemberian vaksin
Hepatitis B ditunda sampai keadaan klinis bayi baik
(sebaiknya dikonsultasikan pada dokter anak untuk
penatalaksanaan vaksinasi selanjutnya).
4. Bayi baru lahir dari ibu dengan HIV dan terkonfirmasi
COVID-19 tetap mendapatkan ARV profilaksis, dan pada usia
6-8 minggu dilakukan pemeriksaan Early Infant Diagnosis
(EID) bersamaan dengan pemberian imunisasi DPT-HepB-Hib
pertama melalui janji temu.
5. Bayi yang lahir dari ibu menderita sifilis dan terkonfirmasi
COVID-19 diberikan injeksi Benzatil Penisilin sesuai Pedoman
Program Pencegahan Penularan HIV, Sifilis, dan Hepatitis B
dari Ibu ke Anak
6. Manajemen Laktasi
a. Menyusui sangat bermanfaat bagi kesehatan dan
kelangsungan hidup anak. Efek perlindungan ASI sangat
kuat dalam melawan infeksi penyakit melalui peningkatan
daya tahan tubuh anak.
b. ASI merupakan makanan terbaik bagi bayi baru lahir sehat
maupun sakit. Sampai saat ini, penularan COVID-19
melalui ASI masih belum diketahui secara pasti. Namun,
harus diperhatikan risiko utama saat bayi menyusu adalah
kontak dekat dengan ibu, yang cenderung terjadi penularan
melalui droplet.
c. Apabila ibu dan keluarga menginginkan untuk menyusui
dan dapat patuh melakukan pencegahan penularan COVID-
19, maka tenaga kesehatan akan membantu melalui edukasi
dan pengawasan terhadap risiko penularan COVID-19.
Menyusui langsung dapat dilakukan bila klinis ibu tidak
berat dan bayi sehat.
d. Terkait cara pemberian nutrisi bagi bayi baru lahir dari Ibu
Suspek, Probable, dan Terkonfirmasi COVID-19
ditentukan oleh klinis ibunya.
 Pada kondisi klinis ibu berat sehingga tidak
memungkinkan ibu memerah ASI dan terdapat sarana-
prasarana fasilitas pelayanan kesehatan yang memadai:
o Keluarga dan tenaga kesehatan memilih mencegah
risiko penularan, dengan melakukan pemisahan
sementara antara ibu dan bayi.
o Makanan pilihan bagi bayi adalah ASI donor yang
layak (dipasteurisasi) atau susu formula.
 Pada kondisi klinis ibu ringan/sedang di mana keluarga
dan tenaga kesehatan memilih mengurangi risiko
penularan dan mempertahankan kedekatan ibu dan
bayi, maka pilihan nutrisinya adalah ASI perah.
o Ibu memakai masker medis selama memerah dan
harus mencuci tangan menggunakan air dan sabun
selama minimal 20 detik sebelum memerah. Ibu
harus membersihkan pompa serta semua alat yang
bersentuhan dengan ASI dan wadahnya setiap
selesai digunakan. ASI perah diberikan oleh tenaga
kesehatan atau keluarga yang tidak menderita
COVID-19.
o Fasilitas kesehatan harus dapat menjamin agar ASI
perah tidak terkontaminasi. Apabila fasilitas
kesehatan tidak dapat menjamin ASI perah tidak
terkontaminasi, maka ASI harus dipasteurisasi
terlebih dahulu sebelum diberikan kepada bayi.
o Bayi dapat diberikan ASI perah selama ibu tidak
mendapatkan obat – obatan yang dapat keluar dari
ASI dan belum terjamin keamanannya bagi bayi.
Keamanan obat yang dikonsumsi oleh ibu
menyusui. Untuk tetap mempertahankan produksi
ASI, ibu dapat tetap memerah namun tidak
diberikan kepada bayi.
 Pada kondisi klinis ibu tidak bergejala/ringan maka ibu
dapat memilih memberikan ASI dengan cara menyusui
langsung.
o Ibu menggunakan masker bedah dan harus
mencuci tangan dan membersihkan payudara
dengan sabun dan air.
o Ibu dapat menyusui bayinya, namun diberikan
edukasi bahwa bayi berisiko tertular walaupun
belum diketahui secara pasti.
o Untuk mengurangi risiko penularan pada pilihan
ini, jika memungkinkan ibu harus menjaga jarak 2
meter dengan bayinya pada saat tidak menyusui
e. Ibu dapat menghubungi tenaga kesehatan untuk
mendapatkan layanan konseling menyusui, dukungan dasar
psikososial dan dukungan Praktik Pemberian Makan Bayi
dan Anak (PMBA) dan lainnya melalui telepon atau media
komunikasi lainnya.
f. Apabila ibu tidak mampu memerah ASI, maka :
 Ibu dapat menghubungi tenaga kesehatan untuk
berkonsultasi tentang keadaannya melalui media
komunikasi yang tersedia
 Pemberian ASI melalui donor ASI hanya disarankan
jika dalam pengawasan tenaga kesehatan.
 Bayi dapat diberikan pengganti ASI dengan
pengawasan tenaga kesehatan.
7. Pemulangan / Alih Rawat Non Isolasi Bayi Terkonfirmasi
COVID-19 (hasil pemeriksaan swab RT-PCR pertama positif)
Kriteria pemulangan didasari pada keterbatasan kapasitas rawat
inap di Rumah Sakit dengan mempertimbangkan status
kekebalan bayi baru lahir, gejala infeksi yang tidak jelas pada
bayi baru lahir, dan risiko penularan droplet pada lingkungan
sekitarnya.
8. Pengasuhan Bayi di Rumah
a. Selama ibu tidak diperbolehkan merawat bayinya,
sebaiknya pengasuhan bayi dilakukan oleh orang yang
sehat dan tidak menderita COVID-19 serta ibu tetap
menjaga jarak 2 meter dari bayinya. Dukungan keluarga
sangat penting untuk memberikan semangat pada saat ibu
memulai menyusui atau relaktasi.
b. Ibu dapat mengasuh bayinya kembali bila klinis baik dan
setelah dinyatakan selesai isolasi sesuai Pedoman
Pencegahan dan Pengendalian COVID-19 revisi 5. Ibu
tetap mempraktikkan perilaku hidup bersih dan sehat serta
tetap menggunakan masker (Kemenkes RI, 2020)

5. Pelayanan Kesehatan balita pada Masa Pandemi Covid-19


1. Pasien anak dan pengantar pasien diwajibkan menggunakan
masker
2. Tenaga kesehatan menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) yang
sesuai.

3. Menerapkan triage dan memisahkan ruang tunggu dan klinik


pemeriksaan,
sebagaiberikut:
a. Anak memiliki riwayat kontak dengan anggota keluarga/
tetangga/ kerabat
yang dicurigai/ menderita COVID-19, atau ada keluhan batuk,
pilek, sakit
tenggorok,demam.
b. Tidak ada riwayat kontak atau tidak ada keluhan batuk, pilek,
sakit
tenggorok,dan,demam.
4. Menetapkan triage, memisahkan ruang tunggu dan ruang
pemeriksaan sebagai berikut :
a. anak dengan gejala batuk/pilek/sakit tenggorokan/demam dari
b. anak tidak ada gejala batuk/pilek/sakit tenggorokan/demam
5. Alur pelayanan untuk menghindari penumpukan pasien.
6. Memastikan akses pasien terhadap fasilitas cuci tangan (air bersih
dan sabun,
atau hand sanitizer dengan kandungan alkohol 70%) selama berada
di
Puskesmas
7. Mengatur meja pelayanan tidak berdekatan (petugas berjarak
minimal 1 m).
Catatan:
Tenaga kesehatan dalam tatalaksana pasien anak harus lebih
waspada, terutama pada kasus yang,perburukannya cepat
a. PDP
 Lapor ke Dinas Kesehatan setempat/hotline COVID 19.
 Koordinasi dengan tim penanganan COVID 19 untuk :
- survelians selama 14 hari sejak mulai munculnya gejala
- pengambilan specimen pada hari ke 1 dan ke 2 untuk
pemeriksaan RT PCR. Jika tidak tersedia fasilitas
pemerintah RT PCR, dilakukan pemeriksaan rapid test.
 Apabila hasil pemeriksaan Rapid test pertama menunjukan
hasil :
- Negatif, tatalaksana selanjutnya sesuai kondisi : ringan
( isolasi mandiri di rumah), sedang (rujuk ke RS darurat),
berat (rujuk ke RS Rujukan), pemeriksaan ulang pada 10
hari berikutnya
- Positif, maka dilanjutkan dengan pemeriksaan RT PCR
sebanyak 2 kali selama 2 hari berturut-turut di laboratorium
yang mampu melakukan pemeriksaan PCR
 Pasien PDP dengan gejala ringan: isolasi mandiri di rumah
Apabila PDP yang terkonfirmasi menunjukkan gejala
perburukan maka:
Jika gejala ringan berubah menjadi sedang, dilakukan
isolasi di RS
darurat
 Jika gejala sedang berubah menjadi berat, dilakukan
isolasi di RS
rujukan.
 Untuk daerah endemis tinggi malaria, koordinasi dengan
petugas Malaria
untuk melakukan pemeriksaan darah malaria dengan RDT.
Balita yang hasil
pemeriksaan RDT positif malaria maka di obati sesuai
dengan pedoman
tatalaksana malaria atau sebagaimana lampiran KMK
No.556/2019 tentang
PNPK Tatalaksana Malaria. Ingatkan juga untuk tidur
dengan kelambu anti
nyamuk.
b. ODP
Lapor ke Dinas Kesehatan setempat/hotline COVID-19
Bila gejala ringan, anak ODP harus diisolasi di rumah dengan
tetap
menerapkan PHBS, memperhatikan lingkungan yang child
friendly (ramah
anak) dan asupan gizi yang cukup.
 Koordinasi dengan tim penanganan COVID-19 untuk
pemeriksaan specimen
pada hari ke-1 dan ke-2 untuk pemeriksaan RT PCR.
Jika tidak tersedia fasilitas pemeriksaan RT PCR, dilakukan
pemeriksaan
Rapid Test. Apabila hasil pemeriksaan Rapid Test pertama
menunjukkan
hasil:
Negatif, tatalaksana selanjutnya adalah isolasi diri di rumah;
pemeriksaan
ulang pada 10 hari berikutnya. Jika hasil pemeriksaan ulang
positif,
maka dilanjutkan dengan pemeriksaan RT PCR sebanyak 2 kali
selama 2
hari berturut-turut, di laboratorium pemeriksa yang mampu
melakukan
pemeriksaan RT PCR.
 Positif, tatalaksana selanjutnya adalah isolasi diri di rumah;
pada
kelompok ini juga akan dikonfirmasi dengan pemeriksaan RT
PCR
sebanyak 2 kali selama 2 hari berturut-turut,di laboratorium
pemeriksa
yang mampu melakukan pemeriksaan RT PCR.
Koordinasi dengan tim penanganan COVID-19 untuk
melakukan pemantauan
SETIAP HARI selama selama 14 hari untuk mengevaluasi
perburukan gejala
(menggunakan form pemantauan). Apabila ODP yang
terkonfirmasi menun-
jukkan gejala perburukan maka:
 Jika gejala sedang, dilakukan isolasi di RS darurat
 Jika gejala berat, dilakukan isolasi di RS rujukan
Orangtua/pengasuh dengan anak yang dirawat harus tinggal di
ruangan
setiap saat sampai boleh pulang atau hasil tes negatif. Baik
anak dan
orangtua harus mengenakan masker bedah/surgical mask saat
pergi keluar
ruangan dengan alasan apapun. Upaya pencegahan penularan
lainnya juga
tetap dilakukan.
 Untuk daerah endemis tinggi malaria, koordinasi dengan
petugas Malaria
untuk melakukan pemeriksaan darah malaria dengan RDT.
Balita yang hasil
pemeriksaan RDT positif malaria maka di obati sesuai dengan
pedoman
tatalaksana malaria atau sebagaimana lampiran KMK
No.556/2019 tentang
PNPK Tatalaksana Malaria. Ingatkan juga untuk tidur dengan
kelambu anti
nyamuk.
c. OTG
Karantina mandiri 14 hari
 Koordinasi dengan tim penanganan COVID-19 terhadap
semua anak OTG
dilakukan:
 pemantauan selama 14 hari sejak kontak terakhir dengan
kasus positif
COVID-19
 pengambilan specimen pada hari ke-1 dan ke-14 untuk
pemeriksaan RT
PCR.
 pemeriksaan Rapid Test apabila tidak tersedia fasilitas
pemeriksaan RT
PCR, apabila hasil pemeriksaan pertama menunjukkan hasil:
 NEGATIF, tatalaksana selanjutnya adalah karantina mandiri
dengan
menerapkan PHBS dan physical distancing, dan pemeriksaan
ulang
pada 10 hari berikutnya. Jika hasil pemeriksaan ulang positif,
maka
dilanjutkan dengan pemeriksaan RT PCR sebanyak 2 kali
selama 2
hari berturut-turut di laboratirum pemeriksa yang mampu
melakukan pemeriksaan RT PCR
 POSITIF, selanjutnya dilakukan karantina mandiri dengan
menerapkan PHBS dan physical distancing dan pemeriksaan
RT PCR
sebanyak 2 kali selama 2 hari berturut-turut di laboratorium
yang
mampu melakukan pemeriksaan RT PCR.
 Koordinasi dengan tim penanganan COVID-19 terhadap
OTG dilakukan
pemantauan berkala untuk mengevaluasi perburukan gejala
selama 14 hari
(menggunakan form pemantauan). Apabila OTG yang
terkonfirmasi positif
menunjukkan gejala demam (≥38⁰C)/batuk/pilek/nyeri
tenggorokan ATAU
OTG mengalami mengalami gejala/tanda berikut, maka:
 Ringan: Isolasi mandiri di rumah
 Sedang: Rawat di Rumah Sakit (RS) Darurat
 Berat: Rawat di RS Rujukan
d. Anak yang tidak tidak termasuk kategori ODP atau PDP
diberikan pelayanan
kesehatan sesuai standar praktik kedokteran yang berlaku.
Apabila tidak ada
dokter di Puskesmas, maka pelayanan kesehatan anak harus
dilaksanakan
menggunakan pendekatan MTBS, Jika timbul pneumonia, ikuti
alur PDP.
Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)
 APD untuk lingkungan orang sehat: masker kain
 Cara penggunaan: menutupi hidung-dagu, tidak longgar,
diganti setiap 4
jam, melepas masker dengan menyentuh bagian tali dan
langsung dicuci
dengan sabun
 APD untuk tenaga kesehatan yang melakukan triase:
 Pasien tanpa gejala saluran pernapasan dan atau tidak ada
riwayat kontak/
bepergian ke wilayah transmisi local dalam 14 hari terakhir:
masker kain
dengan menjaga jarak 1-2 meter, atau menggunakan masker
bedah jika di-
perlukan jarak kurang dari 1 meter.
Pasien dengan gejala saluran pernapasan dan atau riwayat
kontak/ bepergian
ke wilayah transmisi lokal dalam 14 hari terakhir:
 Mengenakan masker bedah dan menjaga jarak minimal 1 m
 Bagi tenaga kesehatan yang melakukan pemeriksaan fisik
langsung:
-Maskerbedah
-Gaun/Gown
-Sarung,tangan
-Pelindung mata dan atau Pelindung wajah (face shield )
-Pelindung,kepala
-Sepatu,pelindung
Hal yang perlu diperhatikan pada penggunaan APD:
Menggunakan baju kerja (scrub suit)
Melakukan kebersihan tangan sebelum dan sesudah
menggunakan APD
Melakukan kebersihan tangan setiap melepaskan item APD
 Mandi setelah selesai menggunakan APD.

6. Penggunaan buku KIA Bagian Anak


7. Pelaksanaan Kelas bayi-Balita pada masa pandemic COVID-19

Pelayanan rutin Balita sehat mengikuti kebijakan Pemerintah yang


berlaku di wilayah kerja dan mempertimbangkan transmisi local virus
Corona.

Pelayanan Kesehatan luar Gedung


Wilayah kerja tidak ada kebijakan pembatasan sosial berskala besar
mobilisasi. Penduduk antar wilayah sangat minimal, dan belum ada
transmisi local virus corona, maka pelayanan Kesehatan rutin Balita
Sehat dapat diselenggarakan dengan mematuhi prinsip pencegahan
infeksi dan physical distancing. Fasilitas Kesehatan UKBM
mempersiapkan penyelenggaraan pelayanan dengan persyaratan ketat
sebagai berikut
1. Masyarakat petugas kader dan anak serta orang tua/pengasuh
dalam keadaan sehat dan tidak menunjukan gejala batuk, pilek,
demam. Kader membantu memastikan hal tersebut dengan
menskrining suhu tubuh yang diperkenankan ≤ 37,5’C.
2. Menjadwalkan pelayanan dengan membagi balita dan jam
pelayanan (misalnya : sasaran balita RT A jam 09.00-10.00, RT B
10.00-11.00, dst) serta memastikan jadwal diterima masyarakat dan
pembuatan janji temu sebelum hari pelayanan.
3. Pelayanan dilakukan dalam ruangan cukup besar dengan sirkulasi
udara dua arah yang baik.
4. Memastikan area tempat pelayanan posyandu bersih sebelum dan
sesudah pelayanan sesuai dengan prinsip pencegahan penularan
infeksi.
5. Menyediakan sarana untuk mencuci tangan atau cairan desinfektan
bagi tenaga Kesehatan, kader, dan sasaran anak seta pengantar di
pintu masuk dan di area pelayanan.
6. Mengatur jarak meja pelayanan agar petugas tidak duduk
berdekatan (antar petugas berjarak min 1-2 meter).
7. Mengatur alur masuk keluar anak dan pengantar ke area pelayanan
sehingga tidak banyak orang berkumpul dalam satu ruangan
( pastikan jaga jarak 1-2m antar petugas dan sasaran).
8. Mewajibkan tenaga Kesehatan, kader, dan sasaran serta
pendamping menggunakan masker (min masker kain atau
pelindung mulut dan hidung).
9. Pelayanan Kesehatan yang diberikan dibatasi imunisasi dasar
lengkap dan lanjutan

Balita yang telah mendapatkan layanan imunisasi, anak dan


pengantar diminta menunggu di sekitar atau luar area pelayanan di
tempat terbuka (selama 30 menit sesuai prinsip safety injection)
dengan tetap menjalankan prinsip physical distancing (jumlah
maksimal anak dan pengantar menyesuaikan kapasitas ruangan
dengan memastikan jarak antar orang minimal 1-2 meter)
10. Pelayanan pemantauan pertumbuhan dan perkembangan dilakukan
oleh orang tua/ keluarga secara mandiri di rumah mengacu
informasi pada Buku KIA. Balita berisiko (balita dengan hasil
penimbangan < -2 SD, balita hasil perkembangan belum bisa
sesuai umurnya) dapat melakukan konsultasi dalam jaringan/ janji
temu/ kunjungan rumah oleh tenaga Kesehatan dibantu kader.
Pastikan tenaga Kesehatan/ kader dan sasaran serta pendampingnya
dalam keadaan sehat dan menggunakan masker (minimal masker
kain atau pelindung mulut dan hidung),
lakukan pelayanan di tempat terbuka atau sirkulasi udara baik.
Wilayah kerja terdapat kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar
atau terdapat positif COVID-19, maka pelayanan kesehatan balita tidak
dilakukan di Posyandu, sebagai
berikut:
a. Pemantauan pertumbuhan dan perkembangan dilakukan mandiri di
rumah dengan
buku KIA
 Balita yang belum mendapatkan Buku KIA, bisa mengunduh di
(http://
kesga.kemkes.go.id/images/pedoman/BUKU%20KIA
%202019.pdf)
 Pemenuhan asupan gizi seimbang sesuai umur anak mengacu
informasi pada
BukuKIA.
Konseling menyusui, dukungan psikosial dasar dan dukungan
praktek
pemberian makan harus diberikan kepada semua ibu yang
mempunyai anak,
termasuk Ibu sebagai ODP, PDP atau OTG.
 Inisiasi Menyusu Dini/ IMD (hal 33). Inisiasi menyusu dini
(IMD) diupayakan
tetap dilakukan, sambil melakukan upaya pencegahan penularan
infeksi.
Sebaiknya tetap berkonsultasi dengan tenaga kesehatan. Ibu
dengan status
PDP tidak dianjurkan IMD atau menyusui langsung
Bayi baru lahir sampai 6 bulan diberikan Air Susu Ibu Eksklusif
(halaman 33)
 Bayi umur 6 bulan sampai 2 tahun lanjutkan ASI ditambah
Makanan
Pendamping ASI (MP-ASI) sesuai umur anak (halaman 53
sampai 57 dan
59)
 Anak umur 2 tahun keatas diberikan makanan keluarga yang
memenuhi
gizi seimbang (halaman 56)
 Semua ibu balita, ibu menyusui, baik dalam kondisi sehat
maupun sedang
sakit batuk pilek, terlepas dari apakah ibu tertular COVID-19
atau tidak
adalah agar tetap menyusui sambil melakukan upaya
pencegahan infeksi
(menggunakan masker, cuci tangan sebelum dan setelah
bersentuhan
dengan bayi, dan rutin membersihkan area permukaan tempat
terjadinya
kontak mencuci tangan dan alat-alat pemberian minum lain
dengan
seksama).
Apabila ibu sedang sakit dan tidak mampu menyusui langsung,
pemberian
ASI perah dapat dilakukan oleh anggota keluarga lain dengan
tetap
melakukan upaya pencegahan infeksi.
 Bayi yang lahir dari ibu terkonfirmasi COVID-19 atau PDP
harus dilakukan
swab segera dan dipisahkan sementara dari ibu dan diberikan
ASI perah
sampai ibu terbukti negative.
Stimulasi perkembangan dilakukan keluarga setiap saat dalam
suasana
menyenangkan, dan pemantauan (deteksi) perkembangan dilakukan
keluarga setiap
bulan sesuai umur anak, mengacu informasi pada Buku KIA

b. Pemantauan balita berisiko, pelayanan imunisasi, Vitamin A, Obat


Cacing dilakukan
dengan janji temu/ konsultasi dalam jaringan/ kunjungan rumah.
 Anak yang beresiko berat badan kurang (BB/U di bawah -2SD)
perlu dipantau pertumbuhannya oleh tenaga Kesehatan/ kader.
Pastikan pemenuhan asupan gizi seimbang dan pemantauan
status gizi di rumah sesuai anjuran petugas Kesehatan. Petugas
Kesehatan dibantu kader menjadwalkan kunjungan rumah untuk
melakukan pemantauan maupun penanganan selanjutnya.
Prioritas kunjungan dilakukan pada Baduta. Petugas
Kesehatan/kader dan orang tua Bersama-sama memastikan
bahwa pemantauan pertumbuhan tercatat dengan baik dan
memastikan jadwal kunjungan berikutnya untuk balita beresiko.
 Anak gizi buruk (BB/TB di bawah -3SD), harus tetap dilakukan
pelayanan sesuai tata laksana gizi buruk (dengan
memperhatikan beberapa pembatasan pertemuan/ kontak
(periode pertemuan/control) dan sosial distancing).
 Distribusi makanan tambahan dapat terus dilakukan sesuai
dengan kebutuhan
balita melalui petugas kesehatan dibantu oleh kader sebagai
suplementasi untuk
mempertahankan kecukupan gizi balita (tetap memperhatikan
pembatasan kontak/social distancing).
 Jika Anak mengalamipenurunan nafsu makan, mengalami
penurunan berat badan atau mengalami gangguan Kesehatan
lainya seperti diare, batuk pilek, demam segera hubungi kader
atau mendatangi fasilitas pelayanan Kesehatan terdekat.
 Anak dengan gangguan perkembangan yang telah dilakukan
stimulasi di rumah selama 2 minggu namun tetap belum bisa
melakukan tahapan perkembangan sesuai umurnya.
 Jika janji temu disepakati di fasilitas Kesehatan, maka persiapan
sebagai berikut :
1. Janji temu telah disepakati sebelum hari pelayanan.
2. Pemisahan ruang pelayanan.
3. Tenaga Kesehatan dan sasaran serta pendamping
menggunakan masker (min masker kain atau pelindung mulut
dan hidung)

C. Evidance based asuhan pada neonatus, bayi, balita, dan anak pra
sekolah
EBM didirikan oleh RCM dalam rangka untuk membantu
mengembangkan kuat profesional dan ilmiah dasar untuk pertumbuhan
tubuh bidan berorientasi akademis. RCM Bidan Jurnal telah
dipublikasikan dalam satu bentuk sejak 1887 (Rivers, 1987), dan telah
lama berisi bukti yang telah menyumbang untuk kebidanan pengetahuan
dan praktek. Pada awal abad ini, peningkatan jumlah bidan terlibat dalam
penelitian, dan dalam membuka kedua atas dan mengeksploitasi baru
kesempatan untuk kemajuan akademik. Sebuah kebutuhan yang
berkembang diakui untuk platform untuk yang paling ketat dilakukan dan
melaporkan penelitian. Ada juga keinginan untuk ini ditulis oleh dan
untuk bidan. EBM secara resmi diluncurkan sebagai sebuah jurnal mandiri
untuk penelitian murni bukti pada konferensi tahunan di RCM Harrogate,
Inggris pada tahun 2003 (Hemmings et al, 2003). Itu dirancang 'untuk
membantu bidan dalam mendorong maju yang terikat pengetahuan
kebidanan dengan tujuan utama meningkatkan perawatan untuk ibu dan
bayi '(Silverton, 2003).
EBM mengakui nilai yang berbeda jenis bukti harus berkontribusi
pada praktek dan profesi kebidanan. Jurnal kualitatif mencakup aktif serta
sebagai penelitian kuantitatif, analisis filosofis dan konsep serta tinjauan
pustaka terstruktur, tinjauan sistematis, kohort studi, terstruktur, logis dan
transparan, sehingga bidan benar dapat menilai arti dan implikasi untuk
praktek, pendidikan dan penelitian lebih lanjut.
1. Contoh EBM Pada Asuhan Bayi Baru Lahir Dan Neonatus
a. Memulai Pemberian Asi Dini dan Ekslusif
Berdasarkan evidence based yang up to date, upaya untuk
peningkatan sumber daya manusia antara lain dengan jalan
memberikan ASI sedini mungkin (IMD) yang dimaksudkan untuk
meningkatkan kesehatan dan gizi bayi baru lahir yang akhirnya
bertujuan untuk menurunkan Angka Kematian Bayi (AKB).
Inisiasi Menyusui Dini (IMD) adalah proses bayi menyusu
segera setelah dilahirkan, di mana bayi dibiarkan mencari puting
susu ibunya sendiri (tidak disodorkan ke puting susu).
Pada prinsipnya IMD merupakan kontak langsung antara kulit ibu
dan kulit bayi, bayi ditengkurapkan di dada atau di perut ibu
selekas mungkin setelah seluruh badan dikeringkan (bukan
dimandikan), kecuali pada telapak tangannya. Kedua telapak
tangan bayi dibiarkan tetap terkena air ketuban karena bau dan rasa
cairan ketuban ini sama dengan bau yang dikeluarkan payudara
ibu, dengan demikian ini menuntun bayi untuk menemukan puting.
Lemak (verniks) yang menyamankan kulit bayi sebaiknya
dibiarkan tetap menempel. Kontak antar kulit ini bisa dilakukan
sekitar satu jam sampai bayi selesai menyusu. Selain mendekatkan
ikatan kasih sayang (bonding) antara ibu dan bayi pada jam-jam
pertama kehidupannya, IMD juga berfungsi menstimulasi hormon
oksitosin yang dapat membuat rahim ibu berkontraksi dalam proses
pengecilan rahim kembali ke ukuran semula. Proses ini juga
membantu pengeluaran plasenta, mengurangi perdarahan,
merangsang hormon lain yang dapat meningkatkan ambang nyeri,
membuat perasaan lebih rileks, bahagia, serta lebih mencintai bayi.
Tatalaksana inisiasi menyusu dini:
1) Inisiasi dini sangat membutuhkan kesabaran dari sang ibu, dan
rasa percaya diri yang tinggi dan membutuhkan dukungan yang
kuat dari sang suami dan keluarga, jadi akan membantu ibu
apabila saat inisiasi menyusu dini suami atau keluarga
mendampinginya.
2) Obat-obatan kimiawi, seperti pijat, aroma therapi, bergerak,
hypnobirthing dan lain sebagainya coba untuk dihindari.
3) Ibulah yang menentukan posisi melahirkan, karena dia yang
akan menjalaninya.
4) Setelah bayi dilahirkan, secepat mungkin keringkan bayi tanpa
menghilangkan vernix yang menyamankan kulit bayi.
5) Tengkurapkan bayi di dada ibu atau perut ibu dengan skin to
skin contact, selimuti keduanya dan andai memungkinkan dan
dianggap perlu beri si bayi topi.
6) Biarkan bayi mencari puting ibu sendiri. Ibu dapat merangsang
bayi dengan sentuhan lembut dengan tidak memaksakan bayi
ke puting ibunya.
7) Dukung dan bantu ibu untuk mengenali tanda-tanda atau
perilaku bayi sebelum menyusu (pre-feeding) yang dapat
berlangsung beberapa menit atau satu jam bahkan lebih,
diantaranya:
a) Istirahat sebentar dalam keadaan siaga, menyesuaikan
dengan lingkungan.
b) Memasukan tangan ke mulut, gerakan mengisap, atau
mengelurkan suara.
c) Bergerak ke arah payudara.
d) Daerah areola biasanya yang menjadi sasaran.
e) Menyentuh puting susu dengan tangannya
f) Menemukan puting susu, reflek mencari puting (rooting)
melekat dengan mulut terbuka lebar.
g) Biarkan bayi dalam posisi skin to skin contact sampai
proses menyusu pertama selesai.
8) Bagi ibu-ibu yang melahirkan dengan tindakan seperti oprasi,
berikan kesempatan skin to skin contact.
9) Bayi baru dipisahkan dari ibu untuk ditimbang dan diukur
setelah menyusu awal. Tunda prosedur yang invasif seperti
suntikan vit K dan menetes mata bayi.
10) Dengan rawat gabung, ibu akan mudah merespon bayi.
Andaikan bayi dipisahkan dari ibunya, yang terjadi kemudian
ibu tidak bisa merespon bayinya dengan cepat sehingga
mempunyai potensi untuk diberikan susu formula, jadi akan
lebih membantu apabila bayi tetapi bersama ibunya selama 24
jam dan selalu hindari makanan atau minuman pre-laktal.

Setelah pemberian Inisiasi Menyusu Dini (IMD), selanjutnya


bayi diberikan ASI secara eksklusif. Yang dimaksud dengan
pemberian ASI secara eksklusif di sini adalah pemberian ASI tanpa
makanan dan minuman tambahan lain pada bayi berumur 0 - 6
bulan. Setelah bayi berumur 6 bulan, baru ia mulai diperkenalkan
dengan makanan padat, sedangkan ASI dapat terus diberikan
sampai bayi berusia 2 tahun atau lebih. ASI eksklusif sangat
penting untuk peningkatan SDM di masa yang akan datang,
terutama dari segi kecukupan gizi sejak dini. Memberikan ASI
secara eksklusif sampai bayi berusia 6 bulan akan menjamin
tercapainya pengembangan potensial kecerdasan anak secara
optimal. Hal ini karena ASI merupakan nutrien yang ideal dengan
komposisi yang tepat serta disesuaikan dengan kebutuhan bayi. 

b. Baby Friendly
Baby friendly atau dikenal dengan Baby Friendly Initiative
(inisiasi sayang bayi) adalah suatu prakarsa internasional yang
didirikan oleh WHO/ UNICEF pada tahun 1991 untuk
mempromosikan, melindungi dan mendukung inisiasi dan
kelanjutan menyusui. Program ini mendorong rumah sakit dan
fasilitas bersalin yang menawarkan tingkat optimal perawatan
untuk ibu dan bayi. Sebuah fasilitas Baby Friendly Hospital/
Maternity berfokus pada kebutuhan bayi dan memberdayakan ibu
untuk memberikan bayi mereka awal kehidupan yang baik. Dalam
istilah praktis, rumah sakit sayang bayi mendorong dan membantu
wanita untuk sukses memulai dan terus menyusui bayi mereka dan
akan menerima penghargaan khusus karena telah melakukannya.
Sejak awal program, lebih dari 18.000 rumah sakit di seluruh dunia
telah menerapkan program baby friendly. Negara-negara industri
seperti Australia, Austria, Denmark, Finlandia, Jerman, Jepang,
Belanda, Norwegia, Spanyol, Swiss, Swedia, Inggris, dan Amerika
Serikat telah resmi di tetapka sebagai rumah sakit sayang bayi.
Dalam rangka mencapai program Baby Friendly Inisiative, semua
provider rumah sakit dan fasilitas bersalin akan:
1) Memiliki kebijakan tertulis tentang menyusui secara rutin dan
dikomunikasikan kepada semua staf tenaga kesehatan.
2) Melatih semua staf tenaga kesehatan dalam keterampilan yang
diperlukan untuk melaksanakan kebijakan ini.
3) Memberitahu semua ibu hamil tentang manfaat dan
penatalaksanaan menyusui
4) Membantu ibu untuk memulai menyusui dalam waktu setengah
jam kelahiran.
5) Tampilkan pada ibu bagaimana cara menyusui dan cara
mempertahankan menyusui jika mereka harus dipisahkan dari
bayi mereka.
6) Berikan ASI pada bayi baru lahir, kecuali jika ada indikasi
medis.
7) Praktek rooming-in agar memungkinkan ibu dan bayi tetap
bersama-sama
8) Mendorong menyusui on demand
9) Tidak memberikan dot kepada bayi menyusui
10) Mendorong pembentukan kelompok pendukung menyusui dan
menganjurkan ibu menghubungi mereka setelah pulang dari
rumah sakit atau klinik.
c. Regulasi Suhu Bayi Baru Lahir dengan Kontak Kulit ke Kulit
Bayi baru lahir belum dapat mengatur suhu tubuhnya,
sehingga akan mengalami stress dengan adanya perubahan
lingkungan dari dalam rahim ibu ke lingkungan luar yang suhunya
lebih tinggi. Suhu dingin ini menyebabkan air ketuban menguap
lewat kulit pada lingkungan yang dingin, pembentukan suhu tanpa
mekanisme menggigil merupakan usaha utama seorang bayi untuk
mendapatkan kembali panas tubuhnya. Kontak kulit bayi dengan
ibu dengan perawatan metode kangguru dapat mepertahankan suhu
bayi dan mencegah bayi kedinginan/ hipotermi. Keuntungan cara
perawatan bayi dengan metode ini selain bisa memberikan
kehangatan, bayi juga akan lebih sering menetek, banyak tidur,
tidak rewel dan kenaikan berat badan bayi lebih cepat. Ibu pun
akan merasa lebih dekat dengan bayi, bahkan ibu bisa tetap
beraktivitas sambil menggendong bayinya. Cara melakukannya:
 Gunakan tutup kepala karena 25% panas hilang pada bayi baru
lahir adalah melalui kepala.
 Dekap bayi diantara payudara ibu dengan posisi bayi telungkup
dan posisi kaki seperti kodok serta kepala menoleh ke satu sisi.
 Metode kangguru bisa dilakukan dalam posisi ibu tidur dan
istirahat
 Metode ini dapat dilakukan pada ibu, bapak atau anggota
keluarga yang dewasa lainnya. Kontak kulit ke kulit sangat
berguna untuk memberi bayi kesempatan dalam menemukan
puting ibunya, sebelum memulai proses menyusui untuk
pertama kalinya. Inilah kunci dari inisiasi menyusui dini yang
akan sangat berpengaruh dalam proses ASI Eksklusif selama 6
bulan setelahnya.
d. Pemotongan Tali Pusat
Berdasarkan evidence based, pemotongan tali pusat lebih
baik ditunda karena sangat tidak menguntungkan baik bagi bayi
maupun bagi ibunya. Mengingat fenomena yang terjadi di
Indonesia antara lain tingginya angka morbiditas ataupun
mortalitas pada bayi salah satunya yang disebabkan karena
Asfiksia Hyperbillirubinemia/icterik neonatorum, selain itu juga
meningkatnya dengan tajam kejadian autis pada anak-anak di
Indonesia tahun ke tahun tanpa tahu pemicu penyebabnya.
Ternyata salah satu asumsi sementara atas kasus fenomena di atas
adalah karena adanya ICC (Imediettly Cord Clamping) di langkah
APN yaitu pemotongan tali pusat segera setelah bayi lahir. Benar
atau tidaknya asumsi tersebut, beberapa hasil penelitian dari jurnal-
jurnal internasional di bawah ini mungkin bisa menjawab
pertanyaan di atas. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Kinmond, S. et al. (1993) menunjukkan bahwa pada bayi prematur,
ketika pemotongan tali pusat ditunda paling sedikit 30 menit atau
lebih, maka bayi akan:
 Menunjukkan penurunan kebutuhan untuk tranfusi darah
 Terbukti sedikit mengalami gangguan pernapasan
 Hasil tes menunjukkan tingginya level oksigen
 Menunjukkan indikasi bahwa bayi tersebut lebih viable
dibandingkan dengan bayi yang dipotong tali pusatnya segera
setelah lahir
 Mengurangi resiko perdarahan pada kala III persalinan
 Menunjukkan jumlah hematokrit dan hemoglobin dalam darah
yang lebih baik.

Dalam jurnal ilmiah yang dilakukan oleh George Marcom


Morley (2007) dikatakan bahwa seluruh proses biasanya terjadi
dalam beberapa menit setelah kelahiran, dan pada saat bayi mulai
menangis dan kulitnya berwarna merah muda, menandakan
prosesnya sudah komplit. Menjepit dan memotong tali pusat pada
saat proses sedang berlangsung, dari sirkulasi oksigen janin
menjadi sistem sirkulasi bayi sangat menggangu sistem pendukung
kehidupan ini dan bisa menyebabkan penyakit serius. Dalam
penelitian ini dikatakan bahwa saat talipusat dilakukan
pengekleman, pulse rate dan cardiac out put berkurang 50% karena
50% dari vena yang kembali ke jantung telah dimatikan (clamped
off). Banyak sekali akibat yang tidak menguntungkan pada
pemotongan tali pusat segera setelah bayi lahir dan dalam
penelitian ini dikatakan resiko untuk terjadinya brain injury,
cerebral palsy, asfiksia, autis, kejadian bayi kuning bahkan anemia
pada bayi sangatlah banyak. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Eillen K. Hutton (2007) bahwa dengan penundaan
pemotongan tali pusat dapat:

 Peningkatan kadar hematokrit dalam darah


 Peningkatan kadar hemoglobin dalam darah
 Penurunan angka Anemia pada bayi
 Penurunan resiko jaudice/ bayi kuning

Mencermati dari hasil-hasil penelitian di atas, dapat


disimpulkan bahwa pemotongan tali pusat segera setelah bayi lahir
sangat tidak menguntungkan baik bagi bayi maupun bagi ibunya.
Namun dalam praktek APN dikatakan bahwa pemotongan tali
pusat dilakukan segera setelah bayi lahir. Dari situ kita bisa lihat
betapa besarnya resiko kerugian, kesakitan maupun kematian yang
dapat terjadi.

e. Perawatan Tali Pusat


Saat bayi dilahirkan, tali pusar (umbilikal) yang
menghubungkannya dan plasenta ibunya akan dipotong meski
tidak semuanya. Tali pusar yang melekat di perut bayi, akan
disisakan beberapa senti. Sisanya ini akan dibiarkan hingga pelan-
pelan menyusut dan mengering, lalu terlepas dengan sendirinya.
Agar tidak menimbulkan infeksi, sisa potongan tadi harus dirawat
dengan benar. Cara merawatnya adalah sebagai berikut:
1) Saat memandikan bayi, usahakan tidak menarik tali pusat.
Membersihkan tali pusat saat bayi tidak berada di dalam bak
air. Hindari waktu yang lama bayi di air karena bisa
menyebabkan hipotermi.
2) Setelah mandi, utamakan mengerjakan perawatan tali pusat
terlebih dahulu.
3) Perawatan sehari-hari cukup dibungkus dengan kasa steril
kering tanpa diolesi dengan alkohol. Jangan pakai betadine
karena yodium yang terkandung di dalamnya dapat masuk ke
dalam peredaran darah bayi dan menyebabkan gangguan
pertumbuhan kelenjar gondok.
4) Jangan mengolesi tali pusat dengan ramuan atau menaburi
bedak karena dapat menjadi media yang baik bagi tumbuhnya
kuman.
5) Tetaplah rawat tali pusat dengan menutupnya menggunakan
kasa steril hingga tali pusat lepas secara sempurna.
f. Stimulasi Pertumbuhan dan Perkembangan Bayi dan Balita
Istilah tumbuh kembang sebenarnya mencakup dua
peristiwa yang sifatnya berbeda, tetapi saling berkaitan dan sulit
dipisahkan, yaitu pertumbuhan dan perkembangan. Menurut
Soetjiningsih, pertumbuhan (growth) berkaitan dengan masalah
perubahan dalam besar jumlah, ukuran atau dimensi tingkat sel,
organ maupun individu, yang bisa diukur dengan ukuran berat
(gram, pound, kilogram), ukuran panjang (cm, meter). Sedangkan
perkembangan (development) adalah bertambahnya kemampuan
(skill) dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam
pola yang teratur dan dapat diramalkan sebagai hasil dari proses
pematangan. Stimulasi pertumbuhan dan perkembangan bayi dan
balita adalah rangsangan yang dilakukan sejak bayi baru lahir yang
dilakukan setiap hari untuk merangsang semua sistem indera
(pendengaran, penglihatan perabaan, pembauan, dan pengecapan).
Selain itu harus pula merangsang gerak kasar dan halus kaki,
tangan dan jari-jari, mengajak berkomunikasi serta merangsang
perasaan yang menyenangkan dan pikiran bayi dan balita.
Rangsangan yang dilakukan sejak lahir, terus menerus, bervariasi
dengan suasana bermain dan kasih sayang akan memicu
kecerdasan anak.
Waktu yang ideal untuk stimulasi adalah saat bayi bangun
tidur/ tidak mengantuk, tenang, siap bermain dan sehat. Gunakan
peralatan yang aman dan bersih antara lain tidak mudah pecah,
tidak mengandung racun/ bahan kimia, tidak tajam dan sebagainya.
Stimulasi dilakukan setiap ada kesempatan berinteraksi
dengan bayi atau balita setiap hari, terus-menerus, bervariasi, dan
disesuaikan dengan umur perkembangan kemampuannya.
Stimulasi juga harus dilakukan dalam suasana yang menyenangkan
dan kegembiraan antara pengasuh dan bayi/ balitanya. Jangan
memberikan stimulasi yang terburu-buru dan tidak memperhatikan
minat atau keinginan bayi/ balita, atau bayi sedang mengantuk,
bosan atau ingin bermain yang lain. Pengasuh yang sering marah,
bosan, sebal, maka tanpa disadari pengasuh justru memberikan
rangsangan emosional yang negatif. Karena pada prinsipnya semua
ucapan, sikap dan perbuatan pengasuh merupakan stimulasi yang
direkam, diingat dan akan ditiru atau justru menimbulkan
ketakutan bagi bayi/ balitanya.
2. Contoh Evidenced Based Anak Pra Sekolah :
a. Stimulasi Tumbuh Kembang Anak Pra Sekolah
Stimulasi adalah kegiatan merangsang kemampuan dasar
anak usia 60-72 bulan agar anak tumbuh dan berkembang secara
optimal
b. Deteksi Dini Tumbuh Kembang anak
Deteksi dini tumbuh kembang adalah kegiatan atau
pemeriksaan untuk menemukan secara dini adanya penyimpangan
tumbuh kembang pada balita dan anak prasekolah. Jika
penyimpangan atau masalah tumbuh kembang ditemukan secara
dini, intervensi akan mudah dilakukan. Tenaga Kesehatan juga
mempunyai waktu dalam membuat rencana Tindakan yang tepat,
terutama untuk melibatkan ibu dan keluarga.
Kegiatan stimulasi deteksi dan intervensi dini
penyimpangan tumbuh kembang balita yang menyeluruh dan
terkoordinasi diselenggatakan dalam bentuk kemitraan antara
keluarga (orang tua, pengasuh anak dan anggota keluarga lainnya),
masyarakat (kader, tokoh masyarakat, Lembaga swadaya
masyarakat) dan tenaga professional (Kesehatan, Pendidikan dan
social)

Table jadwal dan jenis deteksi dini pertumbuhan dan


perkembangan pada balita dan anak prasekolah

Jenis Kegiatan Deteksi Dini Pertumbuhan Perkembangan


Umur Pertumbuhan Perkembangan Mental emosional
BB/TB LK KPSP TDD TDL KMME CHAT GPPH
60
√ √ √ √ √ √
bln
66
√ √ √ √ √
bln
72
√ √ √ √ √ √
bln
Keterangan
BB/TB : Berat Badan Terhadap Tinggi Badan
LK : Lingkar Kepala
KPSP : Kuesioner Praskrining Perkembangan
TDD : Tes Daya Dengar
TDL : Tes Daya Lihat
KMME : Kuesioner Masalah Mental Emosional
CHAT : Ceklist For Autism In Toodler
GPPH : Gangguan Pemusatan Perhatian Dan Hiperaktivitas

Jadwal dan jenis deteksi dini tumbuh kembang dapat berubah sewaktu-
waktu pada keadaan kasus rujukan. Misalnya ada anak yang dicurigai
mempunyai penyimpangan pertumbuhan atau ada keluhan anak
mempunyai masalah tumbuh kembang

c. Deteksi dini penyimpangan pertumbuhan


Deteksi dini penyimpangan pertumbuhan dilakukan untuk
mengetahui atau menemukan status gizi kurang atau gizi buruk dan
mikro atau makrosefali. Jenis kegiatan yang dilaksanakan meliputi
pengukuran berat badan terhadap tinggi badan (BB/TB) dan
pengukuran Lingkar Kepala Anak (LKA). (Depkes,2012:41)
Deteksi dini penyimpangan pertumbuhan dilakukan
disemua tingkat pelayanan. Adapun pelaksana dan alat yang
digunakan sebagai berikut :
Table pelaksana dan alat yang digunakan dalam deteksi dini
penyimpangan pertumbuhan

Tingkat pelayanan Pelaksana Alat yang digunakan


Keluarga dan - Orang tua - KMS
masyarakat - Kader Kesehatan - Timbang dacin
- Petugas PAUD,
BK, TPA dan guru
TK
Puskesmas - Dokter - Table BB/TB
- Bidan - Grafik LK
- Perawat - Timbangan
- Alat ukur tinggi
badan
- Pita pengukur
lingkar kepala
Masa tumbuh kembang anak membutuhkan zat gizi lengkap seperti
protein, karbohidrat, lemak, mineral, vitamin, dan mineral. Kebutuhan
diatas jika tidak terpenuhi akan menghambat proses tumbuh kembang
pada tahap selanjutnya. Kebutuhan kalori dan protein harian yang
dianjurkan bagi bayi hingga remaja akan memperjelas kebutuhan
pemenuhan gizi seimbang bagi anak.

d. Kebutuhan Perawatan Kesehatan Dasar


Perawatan kesehatan anak merupakan suatu tindakan yang
berkesinambungan dan terdiri dari pencegahan primer, sekunder,
dan tersier. Tindakan pencegahan primer dilakukan untuk
mencegah risiko tinggi terkena penyakit, seperti melakukan
imunisasi dan penyuluhanpada orang tua tentang diare. Kebutuhan
Perawatan Kesehatan Dasar tersebut meliputi:
1) Pelayanan Kesehatan Anak perlu dipantau/diperiksa
kesehatannya secara teratur. Penimbangan anak minimal 8 kali
setahun dan dilakukan SDIDTK (Stimulasi Deteksi Intervensi
Dini Tumbuh Kembang) minimal 2 kali setahun. Pemberian
kapsul vitamin A dosis tinggi setiap bulan Februari dan
Agustus. Tujuan pemantauan yang teratur untuk mendeteksi
secara dini dan menanggulangi bila ada penyakit dan gangguan
tumbuh kembang, mencegah penyakit serta memantau
pertumbuhan dan perkembangan anak.
2) Imunisasi
Anak perlu diberikan imunisasi dasar yang lengkap yaitu
BCG, Polio, DPT, Hb dan Campak agar terlindung dari
penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Pemberian
Imunisasi pada bayi dan anak sangat penting untuk mengurangi
morbiditas dan mortalitas terhadap penyakit yang bisa dicegah
dengan imunisasi. Dengan melaksanakan imunisasi yang
lengkap maka diharapkan dapat mencegah timbulnya penyakit
yang menimbulkan kesakitan dan kematian.
3) Morbiditas/Kesakitan
Kesehatan anak harus mendapat perhatian dari para orang
tua, yaitu dengan cara membawa anaknya yang sakit ke tempat
pelayanan kesehatan terdekat. Jangan sampai penyakit
ditunggu menjadi parah, sebab bisa membahayakan jiwanya.
Perlu diajarkan ke orang tua cara membuat larutan oralit untuk
penderita diarhe atau obat panas untuk anak demam.
Demikian juga penyakit ISPA yang sering memberi
dampak pada tumbuh kembang anak harus ditanggulangi sedini
mungkin. Anak yang sehatumumnya akan tumbuh dengan baik,
dan berbeda dengan anak yang sering sakit karena
pertumbuhan akan terganggu. Perlu memberikan makanan
ekstra pada setiap anak sesudah menderita suatu penyakit.
Kebersihan, baik kebersihan perseorangan maupun lingkungan
memegang peranan penting pada tumbuh kembang anak.
Kebersihan perorangan yang kurang akan memudahkan
terjadinya penyakit-penyakit kulit dan saluran perncernaan
seperti: diarhe, cacingan dll, sedangkan kebersihan lingkungan
erat hubungannya dengan penyakit saluran pernafasan,
percernaan serta penyakit akibat nyamuk. Pendidikan
kesehatan kepada masayarakat harus ditunjukkan bagaimana
membuat lingkungan menjadi layak untuk tumbuh kembang
anak, sehingga meningkatkan rasa aman bagi ibu/pengasuh
anak dalam menyediakan kesempatan bagi anaknya untuk
mengeksplorasi lingkungan.
Kesadaran tentang kebersihan lingkungan yang terdiri dari
kebersihan diri (personal hygiene) dan sanitasi lingkungan
yangmasih kurang menjadi salah satu penyebab kekurangan
gizi di negara berkembang seperti Indonesia. Kebutuhan
sanitasi lingkungan yang sehat akan mencegah anak terinfeksi
dari kuman yang masuk melalui lingkungan yang tidak baik.
Lingkungan yang bersih akan membantu mewujudkan hidup
sehat, sehingga anak tidak akan mengalami gangguan dalam
pertumbuhan dan perkembangan.

BAB III
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang No. 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas UndangUndang
Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Buku Pedoman Deteksi Dini, Pelaporan dan Rujukan Kasus Kekerasan dan
Penelantaran Anak.
Peraturan Menteri Kesehatan No. 68 tahun 2013 tentang Kewajiban Pemberi
Layanan Kesehatan untuk Memberikan Informasi atas adanya dugaan
kekerasan terhadap anak.

Ahmad Luthfi Fathullah, Fiqh Sunat Perempuan, al- Mughni Pree dan Mitra
Foundation, Jakarata, 2006.

Alwi Shihab, Islam Inklusif, Mizan, Bandung, 2001

Husein Muhammad, Khitan Perempuan: Untuk Apa Disampaikan dalam Seminar


Pra Muktamar NU 32 di Makassar, 22-27 Maret 2010, diselenggarakan
oleh PP. Fatayat NU bekerjasama dengan UNFPA.

Jurnalis Udin dkk, Khitan perempuan dalam Sudut Sosial, Budaya, Ke sehatan,
dan Agama, Kerjasama dengan Universitas Yarsi dan PP Fatayat, 2010.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 40 Tanya Jawab


Sunat Perempuan Menuju Kemaslahatan Keluarga, Jakarta, 2018.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Panduan


Advokasi dan Sosiolisasi Jakarta: al- Mughni Pree dan Mitra Foundation),
2006.

ikatan dokter anak indonesia. (2022). Panduan bagi keluarga dan masyarakat
pencegahan dan isolasi mandiri anak dan remaja bagi dengan COVID-19. In
Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Kemenkes RI. (2020). Pedoman pelayanan antenatal, persalinan, nifas, dan bayi
baru lahir di Era Adaptasi Baru.

Anda mungkin juga menyukai