Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Berdasarkan data World Health Organization (WHO) dan United Nations
International Children’s Emergency Fund (UNICEF), adapun presentase bayi Berat Badan
Lahir Rendah (BBLR) di negara berkembang (16,5 %) dua kali lebih besar dari pada negara
maju(7%). Tahun 2013 sekitar 22 juta bayi dilahirkan di dunia, dimana 16% diantaranya
lahir dengan berat badan lahir rendah (Septiani, R, 2015).
Menurut data Organization for Economic Co-operation and Development (OECD)
dan WHO, Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang memiliki peran penting
dalam perekonomian dunia, menempati urutan ketiga sebagai negara dengan prevalensi
BBLR tertinggi (11,1%), setelah India (27,6%) dan Afrika Selatan (13,2%).Selain itu,
Indonesia (11,1%) turut menjadi negara kedua dengan prevalensi BBLR tertinggi diantara
negara Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) lainnya, setelah Filipina (21,2%)
(OECD, dkk, 2013).
Menurut data WHO kematian bayi yang baru lahir atau neonatal mencakup 45%
kematian diantara anak-anak dibawah 5 tahun. Mayoritas dari semua kematian neonatal, 75%
terjadi pada minggu pertama kehidupandan antara 25% sampai 45% terjadi dalam 24 jam
pertama. Penyebab utama kematian bayi baru lahir adalah prematuritas 28% dari berat lahir
rendah, infeksi 36%, asfiksia23% dan trauma kelahiran. Penyebab ini menyebabkan hampir
80% kematian pada kelompok usia ini (WHO, 2016).
Kelahiran prematur adalah penyebab langsung kematian bayi yang paling umum.
Kelahiran prematur dan kecil usia gestasi penyebab Berat Badan Lahir Rendah (BBLR).
BBLR menyumbang 60% sampai 80% dari semua kematian neonatal. Prevalensi global
BBLR adalah 15,5% yang berjumlah sekitar 20 juta bayi BBLR yang lahir setiap tahun,
96,5% di negara-negara berkembang (WHO, 2016).
Berdasarkan data yang telah dikumpulkan oleh WHO (World Health Organization) pada
tahun 2008, AKN (Angka Kematian Neonatus) di dunia adalah 26 per 1.000 kelahiran hidup. Di
sisi lain, kelahiran dengan asfiksia menempati urutan ke-5, yaitu sebanyak 9% sebagai penyebab

Laporan Asuhan Kebidanan Kegawatdaruratan Pada Neonatus Dengan BBLR | 1


kematian anak tertinggi di dunia setelah penyakit lain, pneumonia, diare, dan kelahiran prematur
( WHO, 2010).
Menurut World Health Organization (WHO) 2012, setiap tahunnya 120 juta bayi
lahir di dunia, Kira-kira 3,6 juta (3%) dari 120 juta bayi mengalami asfiksia neonatorum,
hampir 1 juta (27,78%) bayi ini meninggal . Di Indonesia, Asfiksia pada pada bayi baru lahir
menjadi penyebab kematian 19% dari 5 juta kematian bayi baru lahir setiap tahun.
World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa angka kematian bayi sebagian
besar disebabkan oleh asfiksia (20-60%), infeksi (25-30%), bayi dengan berat lahir rendah
(25-30%), dan trauma persalinan (5-10%) di kawasan Asia Tenggara menempati urutan
kedua yang paling tinggi yaitu sebesar 142 kematian per 1000 kelahiran setelah Afrika.
Indonesia merupakan negara dengan AKB dengan asfiksia tertinggi kelima untuk negara
ASEAN pada tahun 2011 yaitu 35 kematian per 1000 kelahiran, dimana Myanmar 48
kematian per 1000 kelahiran, Laos dan Timor Laste 48 kematian per 1000 kelahiran,
Kamboja 36 kematian per 1000 kelahiran (Maryunani 2013). Data tersebut mengungkapkan
bahwa kira-kira 10% bayi baru lahir membutuhkan bantuan untuk mulai bernafas, dari
bantuan ringan sampai resusitasi lanjut yang ekstensif, 5% bayi pada saat lahir membutuhkan
tindakan resusitasi yang ringan seperti stimulasi untuk bernafas, antara 1% sampai 10% bayi
baru lahir dirumah sakit membutuhkan bantuan ventilasi dan sedikit saja yang membutuhkan
intubasi dan kompresi dada (Saifudin, 2012).
Pembangunan millennium atau Millenium Development Goals (MDGs) yang
dicetuskan pada tahun 2000 telah berakhir pada tahun 2015. Agenda pembangunan global
tersebut kemudian diteruskan dalam skema pembangunan multilateral terbaru yaitu Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs 2030) dan
memiliki makna yang penting karena setiap negara harus mengintegrasikan tujuan SDGs
tersebut ke dalam rencana nasionalnya, termasuk Indonesia (Seknas KPI, 2017). Agenda
SDGs memiliki 17 tujuan dengan 196 target, diantaranya pada tahun 2030 seluruh Negara
berusaha menurunkan Angka Kematian Neonatal setidaknya hingga 12 per 1000 KH dan
Angka Kematian balita 25 per 1000 KH (Kemenkes RI, 2015).
Berdasarkan hasil Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012,
Angka Kematian Neonatus (AKN) pada tahun 2012 sebesar 19 per 1.000 kelahiran hidup.

Laporan Asuhan Kebidanan Kegawatdaruratan Pada Neonatus Dengan BBLR | 2


Angka ini sama dengan AKN berdasarkan SDKI tahun 2007 dan hanya menurun 1 poin
dibanding SDKI tahun 2002-2003 yaitu 20 per 1.000 kelahiran hidup (Kemenkes RI, 2016).
Mortalitas dan morbiditas neonatus pada bayi preterm/prematur masih sangat
tinggi.Di Negara Barat sampai 80% dari kematian neonatus adalah akibat prematuritas, dan
pada bayi yang selamat 10% mengalami permasalahan jangka panjang. Penyebab persalinan
preterm seperti faktor pada ibu, faktor janin dan plasenta, ataupun faktor lain seperti seperti
sosioekonomik. Angka kejadian persalinan preterm pada umumnya adalah sekitar 6-10%.
Hanya 1,5% persalinan terjadi pada umur kehamilan kurang dari 32 minggu dan 0,5% pada
kehamilan kurang dari 28 minggu. Namun, kelompok ini merupakan duapertiga dari
kematian neonatal (Saifuddin, AB, dkk, 2014).
Profil kesehatan Indonesia tahun 2008 menunjukkan bahwa, pada tahun 2007 Indonesia
menempati posisi ke-3 untuk AKB (Angka Kematian Bayi) tertinggi di ASEAN (Association of
Southeast Asian Nations) yakni 34 per 1.000 kelahiran hidup. Sedangkan posisi pertama
ditempati oleh Laos dan Myanmar dengan AKB (Angka Kematian Bayi) sebesar 70 per 1.000
kelahiran hidup dan posisi kedua ditempati oleh Kamboja dengan AKB (Angka Kematian Bayi)
sebesar 67 per 1.000 kelahiran hidup.
Secara umum, AKB (Angka Kematian Bayi) di Indonesia telah mengalami penurunan.
Hasil SDKI (Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia) dalam profil kesehatan Indonesia tahun
2008 menunjukkan AKB (Angka Kematian Bayi) pada tahun 2007 sebesar 34 per 1000 kelahiran
hidup. Angka ini mengalami penurunan dibandingkan hasil SDKI (Survei Demografi dan
Kesehatan Indonesia) sepanjang tahun 2002-2003 yaitu sebesar 35 per 1000 kelahiran hidup
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2009).
Upaya dalam menurunkan angka kematian bayi baru lahir yang diakibatkan asfiksia
salah satunya dengan cara melakukan suatu pelatihan keterampilan resusitasi kepada para
tenaga kesehatan agar lebih terampil dalam melakukan resusitasi dan menganjurkan kepada
masyarakat ataupun ibu khususnya, agar setiap persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan
yang memiliki kemampuan dan keterampilan (Depkes RI, 2013).
AKB Provinsi NTB telah mengalami penurunan dalam kurun waktu 2003-2012,
namun masih diatas angka nasional. Menurut data dari Survei Demografi dan Kesehatan
Indonesia (SDKI) di Provinsi NTB pada tahun 2007 sebesar 72/1000 kelahiran hidup
mengalami penurunan menjadi sebesar 57/1000 kelahiran hidup sesuai data SDKI 2012.

Laporan Asuhan Kebidanan Kegawatdaruratan Pada Neonatus Dengan BBLR | 3


Berdasarkaan hasil rekapitulasi Badan Pusat Statistik ( BPS ) pada tahun 2017
kejadian BBLR dikabupaten Lombok Timur 978. (Dikes Provinsi NTB, 2017).
Berdasarkan uraian data diatas, maka penulis tertarik untuk mengangkat kasus BBLR
terutama BBLSR, sehingga penulis menggunakan pendekatan manajemen asuhan kebidanan
dengan judul ”M

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Agar mahasiswa mampu memberikan asuhan kebidanan dengan penerapan manajemen
kebidanan pada By Ny”V” dengan BBLR dengan menggunakan Manajemen SOAP di .
2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa diharapkan mampu melakukan pengkajian data pada Bayi dengan BBLR.
b. Mahasiswa diharapkan mampu melakukan analisa data pada klien dengan Bayi
dengan BBLR.
c. Mahasiswa diharapkan mampu melakukan identifikasi masalah dengan diagnosa
potensial pada Bayi dengan BBLR.
d. Mahasiswa diharapkan mampu melakukan tindakan segera kepada Bayi dengan
BBLR.
e. Mahasiswa diharapkan mampu merencanakan tindakan yang akan dilakukan pada
Bayi dengan BBLR.
f. Mahasiswa diharapkan mampu melaksanakan rencana tindakan yang sudah
ditentukan pada Bayi dengan BBLR.
g. Mahasiswa diharapkan mampu melaksanakan evaluasi atas tindakan yang akan
dilakukan pada Bayi dengan BBLR.
h. Mendokumentasikan hasil tindakan asuhan dalam bentuk catatan VARNEY.

C. Manfaat
1. Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai sumber referensi, sumber bahan bacaan dan bahan pengajaran terutama yang
berkaitan dengan asuhan kebidanan Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal
2. Bagi RSUD Dr. R. Soedjono Selong

Laporan Asuhan Kebidanan Kegawatdaruratan Pada Neonatus Dengan BBLR | 4


Diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi di RSUD Dr. R. Soedjono Selong dalam
rangka meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dan pelaksanaan Asuhan Kebidanan
Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal sesuai standar pelayanan sehingga dapat
mengoptimalkan penurunan angka kematian ibu dan bayi.
3. Bagi Mahasiswa
Mahasiswa mengerti mengenai penatalaksanan pada kasus Kegawatdaruratan Maternal
dan Neonatal, serta mahasiswa mampu menganalisa keadaan pada Bayi dengan BBLR.

Laporan Asuhan Kebidanan Kegawatdaruratan Pada Neonatus Dengan BBLR | 5


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Laporan Asuhan Kebidanan Kegawatdaruratan Pada Neonatus Dengan BBLR | 6

Anda mungkin juga menyukai