Anda di halaman 1dari 4

Bab 1

Pendahuluan

Menurut World Health Organizatio (WHO), berat badan lahir rendah (BBLR) yaitu berat
badan lahir 20 juta kelahiran per tahun. Sebagian besar kelahiran dengan BBLR terjadi di
Negara berpenghasilan rendah dan menengah dan terutama terjadi di populasi yang paling
rentan (WHO,2014).
Kasus BBLR di Indonesia menduduki peringkat ke-10 se kawasan Asia-Pasifik pada tahun
2011. Sebanyak 18% bayi dengan BBLR berada di kawasan Asia. Indonesia mengalami
fluktuasi angka bayi dengan BBLR pada tahun 2002 hingga 2017. Pada tahun 2002,
presentase bayi dengan BBLR mencapai 7.6% dan menurun pada tahun 2007 (6.7%) Namun,
angka bayi dengan BBLR meningkat kembali pada tahun 2012 mencapai presentase 7.3%.
Kasus tersebut kembali meningkat pada tahun 2013 yang menunjukkan presentase 10.2%
kelahiran bayi hidup. Namun, jumlah bayi dengan BBLR menurun pada tahun 2016 dan 2017
masing-masing 6.9% dan 7.1%.

Berdasarkan data Profil Kesehatan Indonesia tahun 2020, AKB pada tahun 2019 mencapai
29.322 kematian. Penyebab AKB tertinggi adalah kondisi berat badan lahir rendah (BBLR)
dengan jumlah 7.150 kematian atau 35,3%. Menurut hasil dari Survey Demografi Kesehatan
Indonesia atau SDKI pada tahun 2017 menunjukkan bahwa jumlah AKB sebesar 24 per
1.000 kelahiran hidup. AKB diharapkan akan terus mengalami penurunan melalui intervensi
yang dapat mendukung kelangsungan hidup anak yang ditujukan untuk dapat menurunkan
AKB menjadi 16 per 1000 kelahiran hidup di tahun 2024 (Kemenkes RI, 2020). Berdasarkan
data Riskesdas tahun 2018, proporsi BBLR di Indonesia mencapai 6,2 %, dimana provinsi
tertinggi angka kejadian BBLR adalah Sulawasi Tengah yaitu 8,9 % dan angka BBLR
terendah terdapat di provinsi Jambi yaitu 2,6 % (Riskesdas, 2018).

World Health Assembly (WHA) menargetkan pengurangan kejadian BBLR pada tahun 2025
sebesar 30%. Hal ini akan menghasilkan pengurangan relatif sebesar 3,9% per tahun antara
2012-2025. Maka dari itu untuk mengurangi angka kematian dan kesakitan pada neonatal dan
perinatal, sangat penting memiliki data prevalensi yang akurat pada populasi dan faktor risiko
BBLR yang dapat digunakan sebagai perencanaan pola perawatan khusus untuk pencegahan
dan pengelolaan pada bayi BBLR (WHO, 2014).
Penyebab terjadinya BBLR adalah kelahiran premature. Faktor ibu yang lain adalah umur,
paritas dan lain-lain. Faktor plasenta seperti penyakit vaskuler, kehamilan kembar/ganda,
serta faktor janin juga merupakan penyebab terjadinya BBLR (Nelwan, 2019).

Tidak semua bayi BBLR dapat memperoleh pelayanan kesehatan dengan teknologi maju
karena hambatan biaya, geografis, transportasi, dan komunikasi. Oleh karena itu diperlukan
cara alternatif yang efektif dan ekonomis sebagai pengganti inkubator (WHO, 2002). Salah
satu upaya yang dilakukan untuk mengatasi berbagai permasalahan pada bayi dengan BBLR
yaitu menggunakan perawatan metode kanguru (PMK). PMK sangat dianjurkan bagi negara-
negara berkembang mengingat terbatasnya fasilitas pelayanan kesehatan, terutama di daerah
pedesaan. PMK adalah perawatan kontak kulit ke kulit dengan cara merawat bayi dalam
keadaan telanjang (hanya memakai popok dan topi), yang diletakkan secara tegak/vertikal
didada antara kedua payudara ibu kemudian diselimuti (Merenstein & Gardner, 2002). PMK
adalah cara yang efektif dalam memenuhi kebutuhan bayi untuk kehangatan, menyusui,
perlindungan dari infeksi, stimulasi, keamanan, dan kasih sayang (WHO, 2003). Hal ini
didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Priya (2004) tentang PMK untuk bayi
berat lahir rendah. Penelitian ini menunjukkan bahwa PMK adalah salah satu intervensi untuk
bayi BBLR. Fisiologis dan perilaku bayi BBLR ditemukan mengalami kemajuan selama
PMK. PMK ini sangat bermanfaat bagi bayi, ibu, keluarga, dan juga institusi yang
melaksanakan PMK.

PMK dapat mengurangi risiko terjadinya hipotermia karena tubuh ibu dapat memberikan
kehangatan kepada bayinya secara terus menerus dengan cara kontak langsung antara kulit
ibu dengan kulit bayi. Bayi juga akan tidur lebih nyenyak dan lebih tenang. Selain itu PMK
juga memudahkan ibu dalam memberikan ASI sehingga kebutuhan nutrisi bayi tetap
terpenuhi juga dapat meningkatkan ikatan kasih sayang antara ibu dan bayi, serta
mempersingkat masa perawatan di rumah sakit sehingga dapat mengurangi biaya perawatan.
Hal ini didukung dengan hasil penelitian Moniem dan Morsy (2011) tentang efektifitas teknik
kanguru terhadap BBLR yang menunjukkan bahwa metode kanguru dapat meningkatkan
hubungan ibu dan bayi serta memiliki efek positif terhadap berat badan bayi.
Dapus

Revisi Jurnal (Ibu Terry-Alfira-Mila).doc

https://opendata.jabarprov.go.id/id/dataset/persentase-bayi-berat-badan-lahir-rendah-bblr-
berdasarkan-kabupatenkota-di-jawa-barat

The Effectiveness of Early Ambulation Against the Amount of Postpar https://ejournal.poltekkes-


smg.ac.id/ojs/index.php/jrk/article/viewFile/3213/874

https://journal.fkm.ui.ac.id/kesmas/article/view/131/132

https://journal.ipm2kpe.or.id/index.php/JOTING/article/view/3377/2373

Untuk bab 2

Sedangkan di jawa barat di dapati data angka kelahiran BBLR tahun 2019-2020
Berdasarkan data tersebut BBL tertinngi di dapat di jawa barat di daerah Kabupaten
Kuningan sebanyak 5,9% di tahun 2019 sedangkan di tahun 2022 terjadi peningkatan
menjadi 6,5% di kabupaten kuningan. Untuk jumlah BBLR terendah di Jawa Barat
terdapat di daerah Kabupaten bekasi dan Kota bekasi keduanya sebanyak 0,6% di
tahun 2019 untuk di tahun 2020 Kabupaten Bekasi turun menjadi sebanyak 0,5%.
Bayi berat lahir rendah (BBLR) di definisikan sebagai bayi dengan berat lahir
kurang dari 2.500 gram (Setyarini and Suprapti, 2016). Definisi WHO tahun 2017
terkait BBLR yaitu sebagai bayi yang lahir dengan berat ≤ 2500 gr. WHO
mengelompokkan BBLR menjadi 3 macam, yaitu BBLR (1500–2499 gram), BBLR
(1000- 1499 gram), BBLR (< 1000 gram).
Berdasarkan data Profil Kesehatan Indonesia tahun 2020, AKB pada tahun 2019
mencapai 29.322 kematian. Penyebab AKB tertinggi adalah kondisi berat badan lahir
rendah (BBLR) dengan jumlah 7.150 kematian atau 35,3%. Menurut hasil dari Survey
Demografi Kesehatan Indonesia atau SDKI pada tahun 2017 menunjukkan bahwa
jumlah AKB sebesar 24 per 1.000 kelahiran hidup. AKB diharapkan akan terus
mengalami penurunan melalui intervensi yang dapat mendukung kelangsungan hidup
anak yang ditujukan untuk dapat menurunkan AKB menjadi 16 per 1000 kelahiran
hidup di tahun 2024 (Kemenkes RI, 2020).
Pelaksanaa PMK di pengaruhu oleh Perawat adalah profesi yang berhubungan
dengan pasien selama 24 jam. Interaksi antara perawat dengan pasien di perlukan
pengetahuan,keterampilan dan kompetensi perawat untuk meningkatkan kualitas
perawatan pasien.
Mengingat pentingnya PMK terhadap BBLR, maka dibutuhkan pengetahuan
dan keterampilan perawat dalam memberikan pendidikan dan konseling kepada
keluarga agar keluarga mampu melakukan PMK terhadap bayi mereka. Pengetahuan,
keterampilan, dan kompetensi perawat sangat penting untuk meningkatkan kualitas
pelayanan yang diberikan kepada pasien. Perawat diharapkan mempunyai
pengetahuan dan keterampilan terkini dalam memberikan perawatan yang seseuai
dengan kebutuhan pasien (Gordon & Watts, 2011) UNTUK SARAN.

Dengan PMK cukup sederhana dapat di lakukan di Rumah sakit yang memiliki
fasilitas yang kurang, tetapi metode PMK juga memerlukan tenaga perawat yang
memiliki pelatihan PMK sehingga bisa memberikan konseling pada orangtua bayi.
Oleh karena itu saya sebagai peneliti tertarik meneliti Gambaran Tingkat
Pengetahuan Perawat Tentang PMK pada bayi BBLR di RSIA Nuraida.

Anda mungkin juga menyukai