Anda di halaman 1dari 52

FAKTOR RESIKO ANGKA BBLR DI PUSKESMAS DUSUN CURUP

KABUPATEN BENGKULU UTARA


TAHUN 2023

PROPOSAL

Oleh :
Atika Andraini
NPM: 21270053P

PROGRAM STUDI KEBIDANAN PROGRAM SARJANA


FAKULTAS ILMU KESEHATAN (FIKES)
UNIVERSITAS DEHASEN BENGKULU
TAHUN 2023
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan indikator pertama dalam
menentukan derajat kesehatan anak. Selain itu, angka kematian bayi juga
merupakan cerminan dari status kesehatan masyarakat. Sebagian besar
penyebab kematian bayi dan balita adalah masalah yang terjadi pada bayi
baru lahir/neonatal (umur 0-28 hari). Masalah neonatal ini meliputi asfiksia
(kesulitan bernafas saat lahir), Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) dan infeksi
(Depkes, 2011).
Kematian neonatal terdiri atas kematian neonatal dini dan kematian
neonatal lanjut. Kematian neonatal dini merupakan kematian seorang bayi
yang dilahirkan hidup dalam 7 hari setelah kelahiran, sedangkan kematian
neonatal lanjut merupakan kematian seorang bayi yang dilahirkan hidup lebih
dari 7 hari sampai kurang 29 hari. Angka kematian neonatal adalah jumlah
kematian neonatal per 1.000 kelahiran hidup. BBLR merupakan salah satu
faktor risiko yang mempunyai konstribusi terhadap kematian bayi
khususnya pada masa neonatal (Raharni dkk, 2010).
Menurut UNICEF dan WHO (2004), penurunan kejadian BBLR
merupakan salah satu kontribusi penting dalam Millennium Development
Goal (MDGs) untuk menurunkan kematian bayi. Pencapaian tujuan dari
MDGs dicapai dengan memastikan kesehatan anak pada awal kehidupannya.
Oleh karena itu, BBLR merupakan masalah kesehatan yang perlu
mendapatkan perhatian mengingat BBLR merupakan salah satu indikator
untuk menilai kemajuan dari tujuan MDGs ini.
BBLR didefinisikan sebagai bayi dengan berat lahir kurang dari
2.500gr dengan tidak memandang masa kehamilan (WHO, 2011). BBLR
memberikan kontribusi sebesar 60-80% dari semua kematian neonatal.
Prevalensi global BBLR adalah 15,5%, yang berjumlah sekitar 20 juta BBLR
lahir setiap tahun dan 96,5% dari mereka berasal dari negara berkembang.
Ada variasi yang signifikan dari prevalensi BBLR di beberapa negara,
dengan insiden tertinggi di Asia Tengah (27,1%) dan terendah di Eropa
(6,4%). BBLR dapat disebabkan karena kelahiran prematur (kelahiran
sebelum 37 minggu umur kehamilan) (WHO, 2013).
Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 menunjukan bahwa
kejadian BBLR di Indonesia memiliki prevalensi sebesar 10,2% sedangkan
Banten sendiri memiliki prevalensi BBLR sebesar 10,1%, angka ini hampir
mendekati prevalensi BBLR secara nasional. Jika dibandingkan dengan
provinsi lain, Banten memiliki proporsi BBLR yang lebih tinggi. Hal ini
dapat dilihat dari prevalensi BBLR di Yogyakarta sebesar 9,9% dan DKI
Jakarta sebesar 9,5%. Sedangkan kasus BBLR tertinggi terdapat di Sulawesi
Tengah sebesar 18,2% dan terendah di Sumatra Utara sebesar 7,5%.
Disamping adanya peningkatan kejadian BBLR dari tahun ke tahun,
pada tahun 2021-2023 terdapat penambahan sistim dalam pencatatan dan
pelaporan kasus BBLR di Kota Tangerang Selatan. Pada tahun 2021 dan
sampai saat ini terdapat pelacakan BBLR sehingga jika ditemukan kasus di
wilayah kerja puskesmas, maka akan langsung dilaporkan ke Dusun Curup
Kabupaten Bengkulu Utara.
Bayi dengan berat <2.500gr mempunyai risiko 20 kali untuk
mengalami kematian jika dibandingkan dengan bayi dengan berat badan
normal (WHO, 2004). BBLR menyebabkan berbagai masalah kesehatan,
salah satunya masalah kesehatan jangka panjang. BBLR memiliki risiko lebih
tinggi untuk mengalami keterbelakangan pada awal pertumbuhan, mudah
terkena penyakit menular, dan mengalami kematian selama masa bayi dan
masa anak-anak (WHO, 2011).
Faktor risiko kejadian BBLR di Indonesia yaitu ibu hamil yang
berumur <20 atau >35 tahun, jarak kehamilan terlalu pendek, ibu mempunyai
riwayat BBLR sebelumnya, mengerjakan pekerjaan fisik yang berat,
mengerjakan pekerjaan fisik beberapa jam tanpa istirahat, sangat miskin,
beratnya kurang dan kurang gizi, merokok, konsumsi obat-obatan terlarang,
konsumsi alkohol, anemia, pre-eklampsi atau hipertensi, infeksi selama
kehamilan, kehamilan ganda, bayi dengan cacat bawaan dan infeksi selama
dalam kandungan (Depkes RI, 2009).
Sedangkan menurut WHO (2004), faktor risiko kejadian BBLR yaitu
status gizi, status ekonomi, pendidikan, komplikasi kehamilan, pekerjaan
berat, umur kehamilan, umur ibu, riwayat BBLR sebelumnya, alkohol,
merokok, obat-obatan terlarang, riwayat penyakit, kehamilan ganda, tinggi
badan dan tinggal di daerah ketinggian.
Penelitian yang dilakukan oleh Festy (2009) di Kabupaten Sumenep
(Jawa Timur) menemukan bahwa variabel yang berhubungan dengan BBLR
adalah kadar Hb ibu, LILA (Lingkar Lengan Atas) ibu, penambahan berat
badan selama kehamilan dan pendidikan ibu. Penelitian yang dilakukan
Trihardiani (2011) di Kabupaten Singkawang (Kalimantan Barat)
menemukan bahwa indeks masa tubuh ibu, anemia kehamillan, LILA,
penambahan berat badan ibu pada masa kehamilan, berhubungan dengan
BBLR. Variabel yang berhubungan dengan kejadian BBLR menurut
penelitian yang dilakukan oleh Nurfilaila (2012) di Aceh yaitu umur ibu.
Penelitian yang dilakukan oleh Surtiati (2002) di Bogor menunjukan
bahwa umur kehamilan berhubungan dengan BBLR. Penelitian yang
dilakukan oleh Nurrohmah (2002) di Magelang (Jawa Tengah) menunjukan
bahwa faktor umur ibu, status gizi ibu, anemia, riwayat penyakit dan
pendidikan berhubungan dengan kejadian BBLR.
Berbagai penelitian yang dikemukakan diatas menyebutkan bahwa
faktor anemia, LILA, penambahan berat badan, pendidikan, umur ibu, umur
kehamilan, riwayat penyakit memiliki hubungan dengan kejadian BBLR dan
lokasi penelitian tersebut banyak dilakukan di rumah sakit atau hospital
based. Oleh karena itu, penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui faktor-
faktor yang berisiko terhadap kejadian BBLR dengan lokasi penelitian
berdasarkan komunitas. Selain itu, dengan meningkatnya kasus BBLR di
Kota Tangerang Selatan dari tahun ke tahun menjadi alasan peneliti tertarik
untuk melakukan penelitian ini. Dengan mengetahui faktor-faktor yang
berisiko terhadap kejadian BBLR, maka dapat dilakukan kegiatan intervensi
yang tepat sasaran yaitu pada kelompok-kelompok yang berisiko tinggi. Pada
akhirnya program tersebut dapat mengurangi insiden BBLR dan angka
kematian neonatus di Kota Tangerang Selatan.
B. Rumusan Masalah
BBLR merupakan masalah kesehatan yang perlu ditangani secara serius
karena BBLR berkontribusi terhadap kematian neonatus dan kematian
neonatus merupakan indikator yang menentukan derajat kesehatan
masyarakat suatu bangsa. BBLR memiliki risiko 20 kali untuk mengalami
kematian dibandingkan dengan bayi normal. Selain itu, BBLR juga memiliki
risiko untuk mengalami keterbelakangan pada masa awal pertumbuhan, mudah
terserang penyakit menular dan mengalami kematian selama masa bayi dan
anak-anak.
Banyak faktor risiko kejadian BBLR diantaranya yaitu umur ibu,
pendidikan, pekerjaan, umur kehamilan, status gizi ibu, tinggi badan, penyakit
yang diderita ibu, anemia, komplikasi kehamilan dan penambahan berat
badan ibu. Walaupun adanya penurunan jumlah kematian yang disebabkan
oleh BBLR, namun kasus BBLR mengalami peningkatan setiap tahunnya di
Dusun Curup Kabupaten Bengkulu Utara. Maka berdasarkan latar belakang
tersebut, dapat dirumuskan masalah, yaitu “Apakah Faktor-Faktor Yang
Berisiko Terhadap Kejadian BBLR Di Dusun Curup Kabupaten Bengkulu
Utara”.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor risiko kejadian BBLR di Wilayah Kerja
Puskesmas Dusun Curup Kabupaten Bengkulu Utara.
2. Tujuan Khusus
1. Mengetahui umur ibu yang berisiko terhadap kejadian BBLR di
Wilayah Kerja Puskesmas Dusun Curup Kabupaten Bengkulu Utara
tahun 2021 sampai dengan 2023.
2. Mengetahui penambahan berat badan ibu yang berisiko terhadap
kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Dusun Curup Kabupaten
Bengkulu Utara tahun 2021 sampai dengan 2023.
3. Mengetahui risiko anemia terhadap kejadian BBLR di Wilayah Kerja
Puskesmas Dusun Curup Kabupaten Bengkulu Utara tahun 2021
sampai dengan 2022.
4. Mengetahui risiko kehamilan ganda terhadap kejadian BBLR di
Wilayah Kerja Puskesmas Dusun Curup Kabupaten Bengkulu Utara
tahun 2021 sampai dengan 2023.
5. Mengetahui tingkat pendidikan ibu yang berisiko terhadap kejadian
BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Dusun Curup Kabupaten Bengkulu
Utara tahun 2021 sampai dengan 2023.
6. Mengetahui status bekerja ibu yang berisiko terhadap kejadian BBLR
di Wilayah Kerja Puskesmas Dusun Curup Kabupaten Bengkulu Utara
tahun 2021 sampai dengan 2023.
D. Manfaat
1. Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi suatu referensi dan menjadi
media informasi yang berkaitan dengan kejadian BBLR
2. Praktis
a. Bagi institusi
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan
referensi untuk pengembangan penelitian lanjutan yang berkiatan
dengan kejadian BBL
b. Bagi masyarakat
Bagi masyarakat diharapkan dapat menjadi media informasi
mengenai Faktor-faktor yang mempengaruhi angka kejadian BBLR di
Puskesmas Dusun Curup Kabupaten Bengkulu Utara Tahun 2023.
c. Bagi Puskesmas Dusun Curup Kabupaten Bengkulu Utara
Dapat dijadikan referensi situasi lapangan tentang kejadian
BBLR yang dapat menjadi referensi yang dapat membantu dalam
pembentukan suatu program pengatasan BBLR
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR)


Berat badan merupakan ukuran antropometri yang sangat penting dan
paling sering di gunakan pada bayi baru lahir (neonatus). Berat badan
digunakan untuk mendiagnosa bayi normal atau BBLR. Bayi Berat Lahir
Rendah (BBLR) adalah bayi yang baru lahir dengan berat badan saat lahir
kurang dari 2500gr. BBLR dibedakan dalam dua kategori, yaitu bayi berat lahir
rendah karena premature (umur kandungan kurang dari 37 minggu) atau
BBLR karena Intrauterine Growth Retardation (IUGR) yaitu bayi cukup bulan
tetapi berat badan kurang untuk umurnya (Depkes RI, 2003).
Definisi BBLR menurut World Health Organization (WHO) yaitu berat
badan saat lahir <2.500gr (5,5 pon). Berdasarkan pengamatan epidemiologi,
bayi dengan berat <2.500gr mempunyai risiko 20 kali untuk mengalami
kematian dibandingkan dengan bayi yang berat badanya normal. BBLR lebih
banyak terjadi di negara berkembang jika dibandingkan dengan negara-negara
maju (WHO, 2004).
Menurut Manuaba (2010) istilah prematuritas telah diganti dengan
BBLR karena terdapat dua bentuk penyebab kelahiran bayi dengan
berat badan lahir <2.500gr, yaitu karena umur kehamilan <37 minggu, berat
badan lebih rendah dari semestinya sekalipun umur cukup atau karena
kombinasi keduanya. Pilliteri (1986) menyebutkan BBLR merupakan
neonatus atau bayi baru lahir dengan berat badan lahir rendah adalah bayi
dengan berat lahirnya <2.500gr
BBLR adalah bayi yang lahir dengan berat badan kurang <2500gr tanpa
memandang masa kehamilan. Berat lahir adalah berat bayi yang ditimbang
dalam 1 jam setelah lahir. Penyebab BBLR sangat kompleks. BBLR dapat
disebabkan oleh kehamilan kurang bulan, bayi kecil untuk masa kehamilan
atau kombinasi keduanya. Bayi kurang bulan adalah bayi yang lahir sebelum
umur kehamilan 37 minggu. Sebagian bayi kurang bulan belum siap hidup di
luar kandungan dan mendapatkan kesulitan untuk mulai bernafas, menghisap,
melawan infeksi dan menjaga tubuhnya agar tetap hangat (Depkes RI, 2009).
Bayi kecil masa kehamilan (KMK) adalah bayi yang tidak tumbuh
dengan baik dalam kandungan selama kehamilan. Ada 3 kelompok bayi yang
termasuk KMK yaitu KMK lebih bulan, KMK cukup bulan, KMK kurang
bulan. Bayi KMK cukup bulan kebanyakan mampu bernafas dan menghisap
dengan baik. Sedangkan bayi KMK kurang bulan kadang kemampuan bernafas
dan menghisap lemah (Depkes RI, 2009).
B. Klasifikasi BBLR
BBLR dapat digolongkan menjadi (Maryunani, 2013):
1. Firmansjah (1998) dalam Maryunani (2013) menyebutkan bahwa ada
beberapa istilah bayi prematur atau bayi lahir rendah yang harus diketahui
karena berhubungan dengan prognosis dan penatalaksanaanya. Menurut
Firmansjah neonatus dengan berat badan lahir rendah adalah bayi yang
kurang dari 2.500gr. Dalam hal ini disebutkan juga oleh firmansjah bahwa
Neonatus yang termasuk dalam BBLR mungkin termasuk salah satu dari
beberapa keadaan, yaitu :
1) NKB SMK (neonatus kurang bulan-sesuai masa kehamilan) adalah
bayi prematur dengan berat badan lahir yang sesuai dengan masa
kehamilan
2) NKB KMK (neonatus kurang bulan-kecil masa kehamilan) adalah
bayi prematur dengan berat badan lahir kurang dari normal menurut
umur kehamilan.
3) NCB KMK (neonatus cukup bulan-kecil untuk masa kehamilan)
adalah bayi yang lahir cukup bulan dengan berat badan lahir kurang
dari normal.
2. Selain itu sesuai dengan kemajuan teknologi kedokteran, BBLR dibagi
lagi menurut berat badan lahir, yaitu :
1) Bayi yang berat lahirnya kurang dari 2500gr, disebut bayi berat lahir
rendah (BBLR)
2) Bayi dengan berat lahir sangat rendah (BBLSR) atau very low birth
weight (VLBW) adalah bayi yang lahir dengan berat badan lahir antara
1500gr.
3) Bayi berat lahir amat sangat rendah (BBLASR) adalah bayi dengan
berat lahir kurang dari 1000gr.
3. Menurut persentil, BBLR dibagi sebagai berikut:
a. BBLR (berat badan lahir rendah) yaitu bayi dengan berat badan
lahir absolut <2500gr tanpa memandang umur kehamilan.
b. KMK (kecil masa kehamilan) yaitu berat badan <10 persentil dari
berat badan berdasarkan umur gestasi.
c. BMK (besar masa kehamilan) yaitu berat badan lahir >90 persentil
dari berat badan berdasarkan umur gestasi.
C. Faktor Risiko Kejadian BBLR
Menurut WHO (2004), bayi dengan berat badan rendah saat lahir
adalah salah satu hasil dari kelahiran prematur (sebelum 37 minggu
kehamilan ) atau pembatasan pertumbuhan janin (intrauterine). Berat lahir
rendah sangat erat kaitannya dengan mortalitas dan morbiditas janin dan
neonatal, menghambat pertumbuhan dan perkembangan kognitif dan penyakit
kronis. Banyak faktor yang mempengaruhi durasi kehamilan dan
pertumbuhan janin yang akan berpengaruh pada berat lahir bayi. Faktor-
faktor tersebut berhubungan untuk bayi, ibu atau lingkungan fisik dan
memainkan peran penting dalam menentukan berat lahir bayi dan
perkembangan kesehatanya. Faktor-faktor tersebut antara lain:
a. Untuk umur kehamilan yang sama, berat badan anak perempuan lebih
kurang dari pada anak laki-laki, bayi sulung lebih ringan dari
bayi berikutnya (riwayat BBLR), dan kehamilan ganda.
b. Berat lahir dipengaruhi oleh pertumbuhan janin ibu sendiri dan diet
selama masa kelahiran dengan kehamilan
c. Wanita muda memiliki bayi yang lebih kecil, nutrisi ibu hamil, gaya
hidup (misalnya, alkohol, merokok atau penyalahgunaan obat) dan
eksposur lainnya (misalnya, malaria, HIV atau sifilis), atau komplikasi
seperti hipertensi dapat mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan janin serta durasi kehamilan
d. Ibu dengan kondisi sosial-ekonomi rendah sering memiliki bayi berat
lahir rendah. Berat lahir rendah terutama terjadi disebabkan oleh status
gizi ibu yang buruk dan status kesehatan selama jangka waktu yang
panjang, termasuk selama kehamilan, tingginya prevalensi infeksi
spesifik dan non - spesifik, atau dari kehamilan komplikasi didukung
oleh kemiskinan. secara jasmani menuntut kerja selama kehamilan
juga berkontribusi untuk pertumbuhan janin yang buruk.
Penyebab BBLR umumnya tidak hanya satu, sehingga kadang sulit
untuk dilakukan tindakan pencegahan. Faktor risiko kejadian BBLR
diantaranya ibu hamil yang berumur kurang dari 20 tahun atau lenih dari 35
tahun, jarak kehamilan terlalu pendek, ibu mempunyai riwayat BBLR
sebelumnya, mengerjakan pekerjaan fisik, mengerjakan pekerjaan fisik
beberapa jam tanpa istirahat, sangat miskin, beratnya kurang dan kurang gizi,
perokok, pengguna obat terlarang, alkohol,anemia, pre-eklampsi atau
hipertensi, infeksi selama kehamilan, kehamilan ganda, bayi dengan cacat
bawaan dan infeksi selama dalam kandungan (Depkes RI, 2009).
Menurut Manuaba (2010), faktor risiko kejadian BBLR yaitu terdiri
dari faktor ibu berupa KEK (Kekurangan Energi Kronik), usia ibu<20 dan
>35 tahun, jarak hamil dan bersalin terlalu dekat, penyakit menahun :
hipertensi, jantung, gangguan pembuluh darah dan pekerjaan yang terlalu
berat. Kemudian faktor kehamilan berupa hamil dengan hidramnion, hamil
ganda, pendarahan antepartum, komplikasi kehamilan: preeklamsi/eklamsi dan
KPD (Ketuban Pecah Dini) dan faktor janin yang terdiri dari cacat bawaan dan
infeksi dalam rahim.
Faktor risiko kejadian BBLR menurut WHO (2004), Depkes (2009)
dan Manuaba (2010) antara lain:
a. Faktor ibu
1) KEK (Kekurangan Energi Kronik)
Masalah gizi yang sering dihadapi ibu hamil yaitu
Kekurangan Energi Kronik (KEK). KEK berdampak negatif
terhadap ibu hamil dan janin yang dikandung berupa peningkatan
kematian ibu, sedangkan bayi berisiko mengalami BBLR, kematian
dan gangguan tumbuh kembang. Kematian bayi merupakan indikator
status kesehatan masyarakat yang penting berhubungan dengan anak
sebagai investasi bangsa. Ibu hamil yang KEK sebaiknya
mendapatkan makanan tambahan dan peyuluhan yang berkualitas
(Festy, 2009).
KEK disebabkan oleh kekurangan energi dalam jangka
waktu yang cukup lama. KEK pada wanita di negara berkembang
merupakan hasil kumulatif dari keadaan kurang gizi sejak masa janin,
bayi dan anak-anak serta berlanjut hingga dewasa. Secara spesifik,
penyebab KEK pada ibu hamil adalah akibat dari ketidakseimbangan
antara asupan untuk pemenuhan kebutuhan dan pengeluaran energi.
Yang sering terjadi adalah adanya ketidaktersediaan pangan secara
musiman atau secara kronis di tingkat rumah tangga, distribusi
didalam rumah tangga yang tidak proporsional dan beratnya beban
kerja ibu hamil (Albugis, 2008).
Energi yang tersembunyi dalam protein ditaksir sebanyak
5180Kkal, dan lemak 36.337Kkal. Agar energi ini bisa ditabung
masih dibutuhkan tambahan energi sebanyak 26.224Kkal, yang
digunakan untuk mengubah energi yang terikat dalam makanan
menjadi energi yang bisa dimetabolisir. Dengan demikian jumlah total
energi yang harus tersedia selama kehamilan adalah 74.537Kkal,
dibulatkan menjadi 80.000Kkal. Untuk memperoleh besaran energi
per hari, hasil penjumlahan ini kemudian dibagi dengan angka 250
(perkiraan lamanya kehamilan dalam hari) sehingga diperoleh angka
300Kkal (Marie, 2002).
Mekanisme terjadinya BBLR akibat Kekurangan Energi
Kronik (KEK) pada ibu hamil yaitu diawali dengan ibu hamil yang
menderita KEK yang menyebabkan volume darah dalam tubuh ibu
menurun dan cardiac output ibu hamil tidak cukup, sehingga
meyebabkan adanya penurunan aliran darah ke plasenta. Menurunya
aliran darah ke plasenta menyebabkan dua hal yaitu berkurangnya
transfer zat-zat makanan dari ibu ke plasenta yang dapat menyebabkan
retardasi pertumbuhan janin dan pertumbuhan plasenta lebih kecil
yang menyebabkan bayi dengan berat lahir rendah (BBLR)
(Soetjiningsih, 1995 dalam Kemar 2008).
Kondisi kesehatan bayi yang dilahirkan sangat
dipengaruhi oleh keadaan gizi ibu selama hamil. KEK pada ibu hamil
perlu diwaspadai kemungkinan ibu melahirkan bayi BBLR,
pertumbuhan dan perkembangan otak janin terhambat sehingga
mempengaruhi kecerdasan anak dikemudian hari dan kemungkinan
premature (Depkes, 2001 dalam Mulyaningrum, 2009).
LILA merupakan indikator status gisi ibu hamil. LILA
diasumsikan ukuran yang tidak terpengaruh dengan berat badan ibu
dan bayi dalam kandungan. Di Indonesia batas ambang LILA
normal adalah 23,5cm. Ibu hamil dengan ukuran LILA kurang 23,5cm
berisiko menderita Kekurangan Energi Kronik (KEK) yang dapat
menyebabkan prematuritas dan risiko Berat Badan Bayi Rendah
(Festy, 2009).
Pengukuran Lingkar Lengan Bagian Atas (LILA) ibu pada
saat hamil sangat penting. Tujuan dilakukan pengukuran LILA untuk
mengetahui secara dini status gizi ibu hamil, apabila ukuran LILA
<23,5cm maka kemungkinan ibu hamil untuk melahirkan bayi dengan
BBLR lebih besar. Sedangkan apabila ukuran LILA >23,5cm
maka ibu akan melahirkan bayi yang sehat, cukup bulan dengan berat
badan normal. Hal ini disebabkan setiap ibu hamil memerlukan
tambahan kalori dan nutrisi sehari-hari karena selama kehamilannya
mereka harus memasok energi untuk pertumbuhan dan perkembangan
janinnya (Puji, 2009).
2) Umur ibu <20 dan >35 tahun
Menurut Depkes (2001) dalam Mulyaningrum (2009) pada
ibu hamil dengan umur >20 tahun, rahim dan panggul sering kali
belum tumbuh mencapai ukuran dewasa. Akibatnya, ibu hamil pada
umur itu mungkin mengalami persalinan lama/macet, atau gangguan
lainya karena ketidaksiapan ibu untuk menerima tugas dan tanggung
jawabnya sebagai orang tua. Sedangkan pada umur >35 tahun,
kesehatan ibu sudah menurun, akibatnya ibu hamil pada umur itu
mempunyai kemungkinan lebih besar untuk mempunyai anak cacat,
persalinan lama dan pendarahan.
Kehamilan pada masa remaja (umur >20 tahun)
menimbulkan tantangan bagi remaja itu sendiri dan bagi janin yang
dikandungnya yang berhubungan dengan meningkatnya risiko
terhadap komplikasi kehamilan dan luaran perinatal yang buruk
seperti preeklamsi, berat lahir janin rendah dan prematuritas.
Kehamilan pada umur remaja berdampak pada pertumbuhan yang
kurang optimal karena kebutuhan zat gizi pada masa tumbuh kembang
remaja sangat dibutuhkan oleh tubuhnya sendiri, (Simbolon & Aini,
2013).
Masalah gizi yang sering dihadapi ibu hamil, terutama bagi
ibu hamil di umur remaja yaitu Kurang Energi Kronik (KEK), anemia
tablet Fe, pertambahan berat badan kurang selama hamil, dan tinggi
badan berisiko. Status gizi ibu hamil berpengaruh terhadap berat
badan lahir bayi yang ternyata sangat erat hubungannya dengan
tingkat kesehatan bayi selanjutnya dan angka kematian bayi.
Kehamilan di umur remaja memperburuk pemenuhan kebutuhan
energi, karena remaja sendiri juga membutuhkan energi untuk
pertumbuhannya yang masih terus berjalan dan harus bersaing
dengan pertumbuhan janin. (Simbolon & Aini, 2013).
Meski kehamilan dibawah umur sangat berisiko tetapi
kehamilan >35 tahun juga tidak dianjurkan dan sangat berbahaya.
Mengingat mulai umur ini sering muncul penyakit seperti hipertensi,
tumor jinak peranakan, atau penyakit degeneratif pada persendian
tulang belakang dan panggul. Menurut Sitorus (1999) dalam
Setianingrum (2005) menyatakan bahwa Kesulitan lain kehamilan
>35 tahun ini yakni bila ibu ternyata mengidap penyakit seperti
diatas yang ditakutkan bayi lahir dengan membawa kelainan. Dalam
proses persalinan sendiri, kehamilan di umur lebih ini akan
menghadapi kesulitan akibat lemahnya kontraksi rahim serta sering
timbul kelainan pada tulang panggul tengah. Mengingat bahwa faktor
umur memegang peranan penting terhadap derajat kesehatan dan
kesejahteraan ibu hamil serta bayi, maka sebaiknya merencanakan
kehamilan pada umur antara 20-35 tahun.
Selain itu semakin muda dan semakin tua umur seorang ibu
yang sedang hamil, akan berpengaruh terhadap kebutuhan gizi yang
diperlukan. Umur yang muda perlu tambahan gizi yang banyak
karena selain digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan
dirinya sendiri juga harus berbagi dengan janin yang dikandungnya.
Sedangkan umur yang tua perlu energi yang besar juga karena fungsi
organ yang semakin melemah dan diharuskan untuk bekerja maksimal
maka memerlukan tambahan energi yang cukup guna mendukung
kehamilan yang sedang berlangsung (Kristyanasari, 2010, dalam
Muazizah, 2011).
Umur ibu erat kaitannya dengan berat bayi lahir. Kehamilan
pada umur >20 tahun merupakan kehamilan berisiko tinggi, 2-4 kali
lebih tinggi di bandingkan dengan kehamilan pada wanita yang
cukup umur. Pada umur yang masih muda, perkembangan organ-
organ reproduksi dan fungsi fisiologinya belum optimal. Selain itu
emosi dan kejiwaannya belum cukup matang, sehingga pada saat
kehamilan ibu tersebut belum dapat menanggapi kehamilannya secara
sempurna dan sering terjadi komplikasi (Nurfilaila, 2012).
Umur reproduksi optimal bagi seorang ibu adalah antara
umur 20-35 tahun, dibawah atau diatas umur tersebut akan
meningkatkan risiko kehamilan dan persalinannya (Depkes RI, 2003).
Menurut Surtiati (2003), ibu yang berumur <20 dan >35 tahun
memiliki risiko 3,18 kali lebih besar untuk melahirkan bayi BBLR
dibandingkan dengan ibu yang melahirkan pada umur 20-35 tahun.

3) Penyakit
Kesehatan dan pertumbuhan janin dipengaruhi oleh kesehatan
ibu. Bila ibu mempuyai penyakit yang berlangsung lama atau
merugikan kehamilanya, maka kesehatan dan kehidupan janin pun
terancam. Beberapa penyakit yang mempengaruhi kehamilan yaitu
penyakit Jantung, anemia berat, TBC, Malaria, HIV dan infeksi. Ibu
dengan keadaan tersebut harus diperiksa dan mendapat pengobatan
secara teratur oleh dokter (KEMENKES RI, 2011).
Penyakit dalam kehamilan terdiri dari adanya riwayat penyakit
kronis seperti hipertensi, penyakit jantung, diabetes melitus, penyakit
hati, penyakit ginjal dan toksemia, adanya penyakit infeksi seperti
malaria kongenital, penyakit kelamin, kandung kemih, malaria
kongenital serta infeksi vagina dan rubella. Selain itu, adanya ketidak
seimbangan hormonal pada ibu hamil. Disamping dapat menyebabkan
keguguran setelah kandungan besar, ketidakseimbangan hormonal
juga dapat menyebabkan kelahiran prematur dan BBLR. Dengan
melakukan penggantian hormon dapat mencegah kelahiran prematur
dan BBLR yang diakibatkan ketidakseimbangan hormonal (Maryunani,
2013).
Asma bronkial adalah suatu keadaan dimana saluran napas
mengalami penyempitan karena hiperaktivitas terhadap rangsangan
tertentu yang menyebabkan peradangan dan penyempitan yang bersifat
sementara. Pada penderita asma, penyempitan saluran pernapasan
merupakan respons terhadap rangsangan, yang pada paru-paru normal
tidak akan mempengaruhi saluran pernapasan. Penyempitan ini dapat
dipicu oleh berbagai rangsangan seperti serbuk sari, debu, bulu
binatang, asap, udara dingin dan olahraga (Junaidi, 2010).
Wanita yang hamil bernapas untuk dua orang, karena itu
penting untuk mengendalikan asmanya. Kesulitan bernapas yang
dialami wanita hamil mempengaruhi sang janin karena adanya
kompromi terhadap suplai oksigen. Jika asmanya terkendali, wanita
penderita asma tidak akan mengalami komplikasi selama kehamilan
dan bisa melahirkan sebagaimana wanita yang non- asmatik. Namun,
asma yang tak terkendali selama kehamilan bisa mengakibatkan
masalah kehamilan dan komplikasi pada sang janin seperti kelahiran
prematur, bayi yang lahir kurang berat badan lahir rendah (BBLR),
perubahan tekanan darah “maternal” (seperti eklampsia) (Chaitow,
2005).
Serangan yang akut membahayakan janin dalam kandungan
ibu hamil, karena berkurangnya pasokan oksigen yang diterima. Cara
mencegah terjadinya serangan selama kehamilan dan proses melahirkan
dengan strategi tiga jalur pertahanan terhadap asma yaitu aturlah
lingkungan hidup penderita asma (kendalikan pemicu asma di
lingkungan sekitarnya), aturlah kesejahteraan saluran pernapasanya
agar saluran napas tersebut kurang sensitive, sehingga lebih kecil
kemungkinanya bereaksi dengan menimbulkan gejala asma dan
aturlah serangan asma (kenali gejala datangnya serangan secara dini
dan bertindak untuk menghentikanya sebelum berkembang menjadi
masalah yang lebih besar) (Chaitow, 2005).
Oleh sebab itu mengontrol asma selama kehamilan sangat
penting untuk mencegah keadaan yang tidak dimungkinkan baik pada
ibu maupun pada janinya. Pada umumnya semua obat asma dapat
diminum selama kehamilan kecuali komponen adrenergik,
bromfeniramin dan epinefrin. Kortikosteroid inhalasi sangat bermanfaat
untuk mengontrol asma dan mencegah serangan akut terutama saat
kehamilan. Bila terjadi serangan harus segera ditanggulangi secara
agresif yaitu pemberian inhalasi agonis beta- 2, oksigen dan
kortikosteroid sistemik (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2004).
Penyakit batu saluran kemih (batu ginjal) adalah terbentuknya
batu yang disebabkan oleh pengendapan substansi yang terdapat dalam
air kemih yang jumlahnya berlebihan atau karena faktor lain yang
mempengaruhi daya larut substansi (Lina, 2008). Pada batu yang masih
berukuran kecil dapat tidak memberikan gejala. Namun, pada batu
yang berukuran lebih besar, maka dapat memberikan keluhan seperti
nyeri kolik (nyeri yang disebabkan karena usaha untuk mengeluarkan
batu, namun tersangkut di saluran kemih), hematuria (ada darah di
urin), nyeri saat berkemih, terutama saat batu bergerak, buang air kecil
sedikit, yang disebabkan tersumbatnya saluran kemih oleh batu, mual
dan muntah (Gopar, 2009).
Saat hamil, terkadang ibu hamil tidak berselera makan, mual
dan muntah (emesis gravidarium) akibat pengaruh hormone chorionic
gonadotropin. Karena perut sering tidak terisi, maka sakit maag akan
muncul. Penyakit maag yang diderita sebelumnya dapat memperburuk
masa mengidam ibu hamil, yaitu mual dan muntah berlebih
(hiperemesis gravidarum) pada ibu hamil rentan sakit maag. Biasanya,
keluhan pada daerah sekitar lambung baik itu mual, muntah (emesis
gravidarum), heart burn (rasa panas di ulu hati, bahkan sampai mual
dan muntah yang berlebihan (hiperemesis gravidarium) (Bambang,
2011).
Berdasarkan penelitian, obat yang dijual bebas untuk
mengatasi keluhan maag relatif aman untuk dikonsumsi oleh ibu hamil,
tetapi sesuai dosis. Karena tidak ditemukan efek teratogenik,
malformasi (kecacatan) pada bayi. Namun sebelum itu terlebih dahulu
berkonsultasi ke dokter agar lebih tepat jenis obat dan dosis sesuai
dengan kebutuhan. Berikut ada 2 cara untuk mengatasi gejala saluran
pencernaan, antara lain farmakologis yaitu dengan menggunakan obat
(vitamin B6, B12, anti histaine, antasida, H2 reseptor antagonist dan
proton pump inhibitor) dan non farmakologis yaitu tanpa
menggunakan obat seperti jahe (bentuk permen, sirup, atau kapsul),
akupuntur atau dengan cara mengoleskan minyak kayu putih pada
tubuh juga dapat mengurangi gas berlebih pada tubuh (Bambang,
2011).
4) Jarak kehamilan
Jarak kehamilan ibu hamil sangat mempengaruhi berat bayi yang
dilahirkan. Seorang ibu yang jarak kehamilannya dikatakan berisiko
apabila hamil dalam jangka kurang dari dua tahun, dan hal ini jelas
menimbulkan gangguan pertumbuhan hasil konsepsi, sering terjadi
immaturitas, prematuritas, cacat bawaan, atau janin lahir dengan berat
badan yang rendah. Keadaan ini disebabkan karena kurangnya suplai
darah nutrisi akan oksigen pada placenta yang akan berpengaruh pada
fungsi plesenta terhadap janin (Depkes RI, 2003).
Jarak kehamilan yang pendek akan menyebabkan seorang ibu
belum cukup waktu untuk memulihkan kondisi tubuhnya setelah
melahirkan sebelumnya. Ibu hamil dalam kondisi tubuh kurang sehat
inilah yang merupakan salah satu faktor penyebab kematian ibu dan
bayi yang dilahirkan serta risiko terganggunya sistem reproduksi.
Sistem reproduksi yang terganggu akan menghambat pertumbuhan dan
perkembangan janin yang dikandungnya sehingga berpengaruh
terhadap berat badan lahir. Ibu hamil yang jarak kehamilanya kurang
dari dua tahun, kesehatan fisik dan kondisi rahimnya masih butuh
istirahat yang cukup (Trihardiani, 2011).
Penelitian yang dilakukan oleh Nurfilalila (2011) menemukan
bahwa adanya hubungan antara jarak kehamilan dengan kejadian
BBLR. Hubungan ini disebabkan karena jarak kehamilan berpengaruh
terhadap proses petumbuhan janin dalam rahim, sehingga bila jarak
kehamilan seseorang sangat dekat atau dalam jangka kurang dari dua
tahun, maka mungkinkan terjadinya BBLR. Sedangkan penelitian yang
dilakukan oleh Trihardiani (2011) menunjukan bahwa tidak ada
hubungan antara jarak kehamilan dengan berat badan lahir. Hal ini
dikarenakan sebagian besar subyek pada penelitian ini, yaitu sebesar
90,8% memiliki jarak kelahiran lebih dari sama dengan dua tahun.
5) Pekerjaan
Pekerjaan dalam arti luas adalah aktivitas utama yang
dilakukan oleh semua umur. Dalam arti sempit, istilah pekerjaan
digunakan untuk suatu tugas atau kerja yang menghasilkan uang bagi
seseorang. Pekerjaan adalah sesuatu yang dikerjakan untuk
mendapatkan nafkah atau pencaharian masyarakat yang sibuk dengan
kegiatan atau pekerjaan sehari-hari yang akan memiliki waktu yang
lebih untuk memperoleh informasi (Depkes RI, 2001).
Benerjee (2009) dalam Sujoso (2011) mengemukakan bahwa
wanita bekerja yang sedang hamil membutuhkan perlindungan khusus.
Perlindungan khusus ini diperlukan karena beberapa alasan. Pertama,
pada fase perkembangan embrio lebih rentan terhadap agen toksik
dibandingkan dengan ibu yang terpapar. Kedua, pada beberapa jenis
pekerjaan dirasa kurang sesuai dikerjakan oleh seorang wanita. Ketiga,
kehamilan mungkin menurunkan kapasitas kemampuan menangani
permasalahan kerja. Keempat, wanita cenderung kurang
memperhatikan dirinya dibandingkan dengan pria.
Substansi bahaya di tempat kerja dapat masuk pada pekerja
melalui tiga cara yaitu pernafasan, kontak melalui kulit dan melalui
pencernaan. Wanita pekerja yang sedang hamil harus lebih berhati- hati
mengenai bahaya pada kesehatan reproduksi. Beberapa bahan kimia
dapat beredar di dalam darah ibu, melalui plasenta dan menjangkau
perkembangan janin. Agen berbahaya lainya yaitu agen biologi seperti
bakteri, virus, cacing yang dapat mempengaruhi secara keseluruhan
pada kesehatan wanita dan mengurangi transport makanan ke janin
sehingga menyebabkan bayi dengan berat lahir rendah (Sujoso, 2011).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hartikainen dalam Sujoso
(2011) terhadap kelompok wanita pekerja yang hamil, terpapar dan
tidak terpapar kebisingan. Batas paparan yang diterima 78db. Tidak ada
perbedaan dalam kelompok. Namun hasil penelitian menyimpulkan
bahwa bila wanita yang sedang hamil menerima paparan kebisisngan
90db atau lebih, akan mengakibatkan bayi yang dilahirkan
mempunyai berat badan lahir rendah. Selain itu, paparan radiasi bagi
ibu hamil di tempat kerja dapat mengakibatkan mutasi genetik dan
kelainan kongenital serta radiasi ionisasi, misalnya sinar x dan sinar
gamma dapat menyebabkan gangguan kesuburan, kelahiran cacat, bayi
berat badan lahir rendah dan gangguang perkembangan mental.
Beban fisiologis pada pekerja juga dapat mengakibatkan
gangguan kehamilan. Menurut Benerjee (2009) dalam Sujoso (2011)
pekerjaan yang paling berisiko terpajan faktor fisiologis untuk wanita
hamil adalah industri tekstil. Sumber bahaya fisiologis yang sering
ditemukan adalah jam kerja panjang, shift kerja yang pengaturanya
tidak ergonomis, jam kerja seminggu yang melebihi 35 jam, waktu
memutuskan cuti kerja sampai dengan menjelang minggu ke 32, posisi
kerja berdiri terlalu lama, membawa beban yang berat. Sedangkan
yang berkaitan dengan sumber masalah psikis yang dialami pekerja
wanita dalam kondisi hamil adalah tuntutan pekerjaan, pengawasan
pekerjaan, pengerahan tenaga fisik.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Yuliva, dkk (2009)
menunjukan bahwa rata-rata berat lahir bayi berdasarkan jenis
pekerjaan dengan aktivitas fisik berat pada kelompok ibu bekerja lebih
rendah dibandingkan dengan rata-rata berat lahir bayi ibu tidak
bekerja dengan aktivitas berat. Seorang wanita yang bekerja apabila
mengalami stres terutama pada saat hamil secara tidak langsung akan
mempengaruhi perilaku wanita tersebut terhadap kehamilannya,
misalnya dalam melakukan perawatan kehamilannya.Wanita hamil
yang berada dalam keadaan stres akan mempengaruhi perilakunya
dalam hal pemenuhan intake nutrisi untuk diri dan janin yang
dikandungnya. Nafsu makan yang kurang menyebabkan intake nutrisi
juga berkurang, sehingga terjadi gangguan pada sirkulasi darah dari
ibu ke janin melalui plasenta. Hal ini akan dapat mempengaruhi berat
lahir bayi yang akan dilahirkan.
Pekerjaan terkait pada status sosial ekonomi dan aktifitas fisik
ibu hamil. Dengan keterbatasan status sosial ekonomi akan berpengaruh
terhadap keterbatasan dalam mendapatkan pelayanan antenatal yang
adekuat, pemenuhan gizi, sementara itu ibu hamil yang bekerja
cenderung cepat lelah sebab aktifitas fisiknya meningkat karena
memiliki pekerjaan/kegiatan diluar rumah (Depkes RI, 2003).
Menurut penelitian Alisyahbana (1990) dalam Surtiati (2003),
menyatakan bahwa ibu yang bekerja memiliki risiko melahirkan BBLR
sebesar 1,58 kali bila dibandingkan dengan ibu yang tidak bekerja. Hal
ini disebabkan karena pekerjaan fisik ibu juga berhubungan dengan
keadaan sosial ekonomi. Pada ibu yang berasal dari strata sosial
ekonomi rendah banyak terlibat dengan pekerjaan fisik yang lebih
berat.
Penelitian yang dilakukan oleh Trihardiani (2011)
menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil ibu (11,2%) yang bekerja.
Masyarakat cenderung memiliki persepsi bahwa suami merupakan
tulang punggung keluarga yang berkewajiban mencari nafkah dengan
bekerja diluar rumah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa status
pekerjaan tidak memiliki hubungan terhadap berat badan lahir. Hal ini
dapat terjadi karena sebagian besar (88,8%) subyek tidak bekerja, dan
juga ada kemungkinan dikarenakan sebagian besar ibu yang bekerja
memiliki pekerjaan yang tidak membahayakan kesehatan janin, selain
itu ibu yang bekerja mempunyai pendidikan tinggi sehingga mereka
dapat mengurangi faktor risiko dari pekerjaan mereka dengan
melakukan pencegahan secara dini.
6) Status Ekonomi rendah
Keadaan sosial, ekonomi dan demografi merupakan tolak ukur
kualitas rumah tangga. Karena keadaan tersebut erat kaitannya dengan
ketahanan pangan, keadaan gizi, pendidikan dan kesehatan rumah
tangga. Bayi berat lahir rendah (BBLR) merupakan tolak ukur yang
sering digunakan dalam berbagai penelitian untuk menemukan
hubungannya dengan banyak masalah kesehatan dan gizi (Subarkah,
2003).
a) Penambahan berat badan <10kg
Peningkatan berat badan dalam kehamilan terjadi karena
adanya pertumbuhan janin dan perubahan beberapa tempat dari
tubuh ibu. Sebagai respon terhadap pertumbuhan janin dan plasenta
yang cepat serta kebutuhan-kebutuhan yang semakin meningkat,
wanita hamil mengalami perubahan metabolik. Sebagian besar
pertambahan berat badan selama hamil dihubungkan dengan uterus
dan isinya, payudara, berubahnya volume darah serta cairan
ekstrasel ekstravaskuler. Penambahan berat badan yang lebih kecil
adalah akibat perubahan metabolik yang menyebabkan
bertambahnya air dalam sel dan penumpukan lemak dan protein
baru. Lemak bawah kulit pada umumnya tertimbun dibagian
perut serta bagian depan dan belakang paha terutama pada
trimester pertama dan kedua (Puspitasari, dkk, 2011).
Pertambahan berat badan ibu merupakan pencerminan
dari status gizi ibu hamil. Bertambahnya berat badan ibu sangat
berarti sekali bagi kesehatan ibu dan janin. Pada ibu yang
menderita kekurangan energi dan protein (status gizi kurang) maka
akan menyebabkan ukuran plasenta lebih kecil dan suplai nutrisi
dari ibu ke janin berkurang, sehingga terjadi reterdasi
perkembangan janin intra utera dan bayi dengan Bayi Berat Lahir
Rendah (BBLR) (Samsudin dan Arjatmo Tjokronegoro, 1986
dalam Setianingrum, 2005).
Bila berat badan ibu sebelum hamil normal, maka perlu
ditambah minimal 10kg pada masa kehamilanya. Sedangkan bila
berat badan kurang sebelum hamil, perlu ditambah hingga
mendekati 15kg (Maryunani, 2013). Menurut WHO penambahan
berat badan ibu hamil yang normal yaitu ≥10kg sampai dengan
<15kg. Defisiensi mikronutrien selama kehamilan serta
penambahan berat badan yang tidak memadai memiliki dampak
terhadap neonatal dan bayi yaitu berupa kelahiran prematur, berat
lahir rendah (BBLR) dan kelahiran cacat (WHO, 2014). Sedangkan
untuk kehamilan kembar penambahan berat badan ibu antara 18-
23kg selama kehamilanya (Gopar, 2009).
Berat badan ibu hamil harus memadai, bertambah sesuai
dengan umur kehamilan. Berat badan rendah sebelum hamil, serta
pertambahan berat badan yang tidak adekuat merupakan penilaian
langsung yang dapat digunakan untuk memperkirakan laju
pertumbuhan janin. Pertambahan berat badan yang sesuai
menggambarkan terpenuhinya kebutuhan ibu dan janin yang dapat
mendukung pertumbuhan janin dalam rahim. Pertambahan berat
badan ibu yang tidak sesuai akan memungkinkan terjadinya
keguguran, kelahiran prematur, BBLR, dan perdarahan setelah
persalinan. Sebagian besar BBLR terjadi pada ibu yang mengalami
kenaikan berat badan selama hamilnya <10kg (Trihardiani, 2011).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Surtiati
(2003), Ibu yang mengalami penambahan berat badan <10kg
memiliki risiko 3,34 kali lebih besar untuk mengalami bayi BBLR
dibandingkan dengan ibu yang mengalami penambahan ≥10kg
pada saat kehamilanya. Hasil penelitian dilakukan oleh Festy
(2010) di Kabupaten Sumenep menyatakan bahwa penambahan
berat badan ibu berisiko 8,264 kali menyebabkan BBLR. Selain
itu, penelitian yang dilakukan oleh Darmayanti (2010) di RSUD
Ulin Banjarmasin juga menyatakan bahwa penambahan berat
badan ibu berisiko 7,1 kali menyebabkan BBLR.
b) Tinggi badan
Tinggi badan ibu hamil yang berisiko BBLR adalah kurang
dari sama dengan 145cm. Hasil penelitian Budiman, (2011),
menunjukkan bahwa makin tinggi badan ibu hamil maka makin
besar juga berat bayi yang dilahirkan. Hasil ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan Kate dkk dalam Budiman (2011) bahwa
ibu yang memiliki postur pendek memiliki risiko melahirkan bayi
dengan berat lahir lebih rendah karena diperkirakan postur pendek
mencerminkan keadaan status gizi yang kurang baik di masa
lampau.
Sebuah studi dari India melaporkan tingginya insiden bayi
BBLR pada ibu dengan tinggi badan <145cm dari pada ibu dengan
tinggi badan >145cm. Ibu yang memiliki tinggi badan <145cm
berisiko 1,32 kali melahirkan BBLR dibandingkan dengan ibu yang
memiliki tinggi badan >145cm. Beberapa penelitian lain telah
melaporkan bahwa ibu bertubuh pendek memiliki risiko lebih besar
untuk memperoleh hasil kehamilan yang merugikan. Penelitian ini
memberikan bukti kuat bahwa tinggi ibu memiliki dampak
terhadap ukuran bayi baru lahir (berat lahir dan panjang lahir).
Pengerdilan (stunting) merupakan konsekuensi dari asupan nutrisi
jangka panjang yang buruk dan merupakan indikator utama dalam
menurunkan pertumbuhan pada anak-anak. Pengerdilan juga telah
dikaitkan dengan kelangsungan siklus gizi dengan menyebabkan
berat badan lahir rendah di antara keturunan dari ibu yang
terhambat (Bisai, 2003).
Penelitian yang dilakukan oleh Festy (2009) menyatakan
bahwa tidak adanya hubungan antara tinggi badan ibu dengan
kejadian BBLR. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh
Trihardiani (2011) juga menyebutkan bahwa tidak adanya
hubungan antara tinggi badan dengan kejadian BBLR. Hal ini
dikarenakan sebagian besar subyek (98,2%) memiliki tinggi badan
lebih dari 145cm.
Proverawati (2009) dalam Simbolon & Aini (2013)
menjelaskan bahwa tinggi badan ibu hamil terlalu pendek dan
kurang dari 145cm merupakan salah satu golongan risiko tinggi.
Perbaikan tinggi badan perempuan berupa intervensi gizi dan
kesehatan perempuan di negara-negara maju terbukti memberi
pengaruh yang signifikan pada penurunan angka kejadian BBLR.
Tingginya risiko ibu pendek melahirkan bayi BBLR, menunjukkan
perlunya intervensi gizi dan kesehatan yang segera dilakukan bagi
para perempuan Indonesia yang dimulai dari perbaikan status gizi
sejak dini sebagai upaya penurunan angka kejadian BBLR.
c) Riwayat Kelahiran Prematur dan BBLR
Penyebab kelahiran prematur dan BBLR yang telah
diketahui dapat diperbaiki dengan perawatan pralahir yang
sempurna, pengurangan faktor risiko lainya serta pembatasan
kegiatan dapat membantu mencegah hal tersebut terulang
kembali. Bila penyebab kelahiran prematur dan BBLR tidak dapat
dicegah atau diperbaiki maka kelaahiran prematur dan BBLR dapat
ditunda. Pengunduran waktu sejenak dapat bermanfaat, dimana
setiap hari tambahan nutrisi bayi yang berada dalam uterus akan
meningkatkan kesempatan untuk selamat (Maryunani, 2013).
d) Anemia Kehamilan
Sebagian besar penyebab anemia pada ibu hamil adalah
kekurangan zat besi yang diperlukan untuk pembentukan
hemoglobin. Anemia gizi besi terjadi karena tidak cukupnya zat
gizi besi yang diserap dari makanan sehari-hari guna pembentukan
sel darah merah sehingga menyebabkan ketidakseimbangan antara
pemasukan dan pengeluaran zat besi dalam tubuh. Hal ini dapat
menyebabkan distribusi oksigen ke jaringan akan berkurang yang
akan menurunkan metabolisme jaringan sehingga pertumbuhan
janin akan terhambat, dan berakibat berat badan lahir bayi rendah
(Trihardiani, 2011).
Bondevik (2001) dalam Simbolon dan Aini (2013)
menjelaskan bahwa anemia pada ibu hamil dapat menganggu
pertumbuhan janin dalam kandungan, sehingga ibu hamil dengan
anemia bisa melahirkan bayi prematur dan BBLR. Kekurangan zat
besi dapat menimbulkan gangguan atau hambatan pada
pertumbuhan janin baik sel tubuh maupun otak. Secara fisiologis,
penurunan kadar hemoglobin selama kehamilan terjadi karena
ketidakseimbangan jumlah sel darah merah dan plasma darah.
Ketidakseimbangan ini akan terlihat dalam bentuk penurunan
kadar hemoglobin. Peningkatan jumlah eritrosit juga menyebabkan
peningkatan kebutuhan zat besi selama kehamilan sekaligus untuk
pertumbuhan janin. Anemia pada ibu hamil mengakibatkan
gangguan nutrisi dan oksigenasi utero plasenta, sehingga ibu hamil
yang mengalami anemia akan berdampak pada gangguan
pertumbuhan hasil konsepsi, sering terjadi immaturitas,
prematuritas, cacat bawaan, atau janin lahir dengan BBLR.
Kadar Hb ibu hamil normal adalah 11gr/dl , kadar Hb ini
tergantung pada asupan nutrisi ibu selama hamil. Hb <11gr/dl
berisiko menderita anemia zat besi yang dapat berakibat pada
terjadinya kelahiran dengan berat badan lahir rendah. Anemia pada
ibu hamil dapat mengakibatkan kekurangan suplai oksigen ke
jaringan sehingga mengganggu pertumbuhan janin. Untuk itu ibu
hamil yang menderita anemia perlu mendapatkan perhatian yang
lebih serius. Petugas kesehatan hendaknya memeriksa Hb sedini
mungkin (Festy, 2009).
Penelitian yang dilakukan oleh Aristyawati (2011)
menyatakan bahwa kejadian BBLR 3,57 kali lebih besar pada ibu
hamil yang menderita anemia dibandingkan dengan ibu hamil yang
tidak menderita anemia. Selain itu, penelitian lainya dilakukan oleh
Trihardiani (2011), menyatakan bahwa faktor penyebab anemia
pada ibu hamil diantaranya kurang gizi, penyakit kronis (infeksi
dan non infeksi), kemiskinan, keterbelakangan, dan tingkat
pendidikan dan pengetahuan yang rendah. Selain itu faktor
ketidaktahuan ibu terhadap kebiasaan konsumsi bahan
makanan/minuman tertentu yang dapat menghambat penyerapan
zat besi oleh tubuh, yaitu antara lain ibu tidak mengetahui bahwa
tablet besi tidak boleh dikonsumsi dengan teh (karena mengandung
fitat) dapat menghambat penyerapan zat besi oleh tubuh.
Anemia terjadi apabila kadar hemoglobin dalam darah
lebih rendah dari pada nilai normal. Kadar hemoglobin dapat
dijadikan sebagai indikator tentang keadaan gizi pada umumnya.
Batas Hb normal untuk wanita hamil adalah 11gr% atau lebih.
Penelitian yang dilakukan oleh Puji (2007) menunjukkan bahwa
terdapat hubungan antara kadar Hb ibu dengan kejadian BBLR.
Hal ini disebabkan karena apabila ibu hamil mengalami anemia
maka pasokan O2 untuk jaringan menurun dan pengangkutan
CO2 dari jaringan menjadi terhambat sehingga dapat
menghambat pertumbuhan jaringan baik pada janin maupun pada
plasenta sehingga dapat mengakibatkan kematian janin dalam
kandungan, abortus, cacat bawaan, partus premature, partus lama
dan lain-lain.
b. Faktor kehamilan
1) Komplikasi kehamilan
Kehamilan ganda yaitu kehamilan dimana jumlah janin yang
dikandung lebih dari satu (Maryunani, 2013). Laju morbiditas dan
mortalitas meningkat secara signifikan pada kehamilan dengan janin
ganda. Laju mortalitas perinatal lebih tinggi dan adanya peningkatan
risiko persalinan preterm dengan masalah yang berhubungan dengan
prematuritas. Kehamilan ganda meningkatkan insidensi IUGR, kelainan
kongenital dan presentasi abnormal. Bagi ibu kehamilan ganda dapat
menyebabkan peningkatan rasa ketidaknyamanan fisik selama
kehamilan, seperti pernapasan pendek, sakit punggung, edema kaki
juga terjadi peningkatan insidensi PIH (Pregnancy Induced
Hypertension), anemia serta plasenta previa (Ladewig et all, 2013).
Kehamilan ganda adalah kehamilan dengan dua janin atau lebih.
Kehamilan ganda dapat memberikan risiko yang lebih tinggi terhadap
bayi dan ibu. Oleh karena itu, dalam menghadapi kehamilan ganda
harus dilakukan pengawasan hamil yang lebih intensif. Kebutuhan
untuk pertumbuhan hamil ganda lebih besar sehingga apabila terjadi
difisiensi nutrisi seperti anemia hamil dapat mengganggu pertumbuhan
janin dalam rahim (Lubis, 2011).
Kehamilan ganda (multifetus) adalah kehamilan yang terdiri
dari dua janin atau lebih. Kehamilan ganda dapat menghasilkan anak
ganda dua, ganda tiga (triplet) ganda empat (quadruplet), ganda lima
(quintriplet), dan ganda enam (sextuplet). Pertumbuhan janin ganda dan
tunggal menunjukkan perbedaan yang cukup berarti. Berat badan satu
janin ganda rata-rata lebih ringan 1000gr dari janin tunggal. Berat
badan bayi ganda dua dan tiga yang baru lahir kurang dari 2500gr dan
ganda lima kurang dari 1000gr. Berat badan janin dari kehamilan ganda
tidak sama. Umumnya, terjadi perbedaan antara 50-1000gr. Selain itu,
terjadi pembagian sirkulasi darah yang tidak sama. Akibatnya.
pertumbuhan kedua janinnya pun berbeda (Departemen Obstetri dan
Ginekologi FK UI RSCM, 2014 ).
Berat badan janin pada kehamilan kembar lebih ringan dari pada
janin pada kehamilan tunggal pada umur kehamilan yang sama. Sampai
kehamilan 30 minggu kenaikan berat badan janin kembar sama dengan
janin kehamilan tunggal. Setelah itu, kenaikan berat badan lebih kecil,
karena regangan yang berlebihan menyebabkan peredaran darah
plasenta mengurang. Berat badan satu janin pada kehamilan kembar
rata-rata 1000gr lebih ringan dari pada janin kehamilan tunggal. Berat
badan bayi yang baru lahir umumnya pada kehamilan kembar <2500gr
(Wulandari, 2011).
Pengaruh kehamilan ganda pada janin yaitu mortalitas janin naik
sampai empat kali dibandingkan dengan kehamilan tunggal. Mortalitas
keseluruhan bervariasi antara 9-14%. Meskipun malpresentasi dan
anomaly kongenital mempunyai peranan, sebab kematian terbesar
adalah prematuritas. Berat lahir merupakan faktor penting, agaknya
2000gr merupakan titik kritis. Sementara berat masing-masing anak
lebih kecil dari rata-rata, berat totalnya lebih besar dari bayi tunggal.
Salah satu anak dapat lebih berat 50-1000gr dari lainya. Separoh kasus
anaknya mempunyai berat badan cukup bulan. Seperdelapan kehamilan
kedua bayinya dibawah 1500gr. Tiga perdelapan sisanya antara 1500-
2500gr (Oxorn & Forte, 2010).
2) Komplikasi Kehamilan
Komplikasi kehamilan seperti pendarahan, pre eklampsia/
eklampsia, ketuban pecah dini. Perdarahan dibedakan dalam dua
kelompok utama yaitu perdarahan antepartum dan perdarahan
postpartum. Perdarahan antepartum adalah perdarahan pervaginam
yang terjadi sebelum bayi lahir. Perdarahan yang terjadi sebelum
kehamilan 28 minggu seringkali berhubungan dengan aborsi atau
kelainan. Perdarahan kehamilan setelah 28 minggu dapat disebabkan
karena terlepasnya plasenta secara prematur, trauma, atau penyakit
saluran kelamin bagian bawah (Depkes RI, 2000 dalam Parhusip,
2010).
Pre-eklampsia/eklampsia yaitu kondisi ibu hamil dengan
tekanan darah meningkat keadaan ini sangat mengancam jiwa ibu dan
bayi yang dikandung (Maryunani, 2013). Per-eklamsi adalah penyakit
dengan tanda-tanda hipertensi, edema, dan proteinuria yang timbul
karena kehamilan yang dapat menyebabkan kematian pada ibu dan
janinnya. Penyakit ini pada umumnya terjadi dalam triwulan ke-3
kehamilan dan dapat terjadi pada waktu antepartum, intrapartum, dan
pasca persalinan (Prawirohardjo, 1999 dalam Parhusip, 2010).
Hipertensi biasanya timbul lebih dahulu dari pada tanda-tanda
yang lain. Untuk menegakkan diagnosis pre-eklamsi, kenaikan tekanan
sistolik harus 30mmHg atau lebih di atas tekanan yang biasanya
ditemukan, atau mencapai 140mmHg atau lebih dan tekanan diastolik
naik dengan 15mmHg atau lebih atau menjadi 90mmHg maka
diagnosis hipertensi dapat ditegakkan (Manuaba, 2008).
Hipertensi bisa didapati sebelum kehamilan (1-5%) dan menetap
semasa kehamilan atau dapat terjadi pada saat kehamilan. Karena
sistemik vascular resisted yang menurun pada awal kehamilan, maka
hipertensi ini sering tidak didapati hingga pertengahan kedua
kehamilan. Keadaan ini disebut dengan pregnancy-induced atau
gestational hypertension atau toxemia. Bila disertai dengan proteinuria,
edema kaki, iritabilitas SSP, peningkatan enzim hati, gangguan
koagulasi, maka sindroma hipertensi ini disebut preeklamsi. Jika
disertai konvulsi maka disebut eklamsi. Preeklamsi meningkatkan
resiko pada ibu (kira-kira 1-2% perubahan perdarahan SSP, konvulsi
atau penyakit sistemik berat lainnya) dan retardasi perkembangan janin
(10-15%) (Bahri, 2004).
Hipertensi dalam kehamilan adalah komplikasi serius pada
trimester kedua-ketiga dengan gejala klinis seperti edema, hipertensi,
proteinuria, kejang sampai koma. Dengan terjadinya hipertensi, maka
terjadi spasme pembuluh darah, sehingga terjadi gangguan fungsi
plasenta, maka sirkulasi uteroplasenter akan terganggu, pasokan nutrisi
dan O2 akan tergangu sehingga janin akan mengalami pertumbuhan
janin yang terganggu dan bayi akan lahir dengan berat bayi lahir rendah
(Wijayarini, 2002 dalam Kurniawati, 2010).
Terapi non farmakologi bisa dilakukan untuk menangani
hipertensi, walaupun tidak memberikan dampak yang berarti. Meskipun
bed rest yang ketat dapat menurunkan tekanan darah, tetapi umumnya
keadaan ini tidak direkomendasikan. Membatasi aktifitas fisik dan
mengurangi stress selalu dianjurkan. Membatasi masukan garam tidak
dianjurkan, kecuali pada penderita yang jelas diketahui sebelumnya
mempunyai hipertensi sensitive terhadap garam (salt-sensitive
hypertension), karena wanita hamil dengan hipertensi mempunyai
volume plasma yang lebih rendah dibanding wanita dengan normotensi.
Jika diperlukan pengobatan farmakologik, methyldopa dapat menjadi
pilihan. Sebaliknya penggunaan antihipertensi tidak selalu
menunjukkan peningkatan survival pada janin dan menghasilkan anak
dengan mental dan perkembangan fisik yang normal. Penggunaan obat-
obat anti hipertensi lain akan mempunyai hasil yang sama, tetapi
belum diteliti dengan sempurna. Termasuk terapi awal dengan beta
bloker β1 selektif atau diuretic. Calcium channel blocker terbukti telah
efektif dan penggunaan ACE inhibitor tidak boleh digunakan dan
keamanan penggunaan angiotensin II blocking agent belum diketahui
(Anwar, 2004).
Edema ialah penimbunan cairan secara umum yang berlebihan
dalam jaringan tubuh, dan biasanya dapat diketahui dari kenaikan berat
badan serta pembengkakan kaki, jari tangan, dan muka. Kenaikan berat
badan ½kg setiap minggu dalam kehamilan masih dapat dianggap
normal tetapi bila kenaikan 1kg seminggu beberapa kali, hal ini perlu
menimbulkan kewaspadaan (Manuaba, 2008).
Proteinuria merupakan komplikasi lanjutan dari hipertensi dalam
kehamilan, dengan kerusakan ginjal sehingga beberapa bentuk protein
lolos dalam urine. Normal terdapat sejumlah protein dalam urine, tetapi
tidak melebihi 0,3gr dalam 24 jam. Proteinuria menunjukkan
komplikasi hipertensi dalam kehamilan lanjut sehingga memerlukan
perhatian dan penanganan segera (Manuaba, 2008).
Ketuban pecah dini adalah kondisi dimana air ketuban keluar
sebelum waktunya dan biasanya faktor penyebab paling sering adalah
terjadinya benturan pada kandungan (Maryunani, 2013).
3) Umur kehamilan
Umur kehamilan ibu umumnya berlangsung 40 minggu atau
280 hari. Umur kehamilan ibu adalah batas waktu ibu mengandung,
yang dihitung mulai dari hari pertama haid terakhir (HPHT). Umur
kehamilan normal adalah 40 minggu atau 280 hari seperti kebiasaan
orang awam 9 bulan 10 hari. Disebut matur atau cukup bulan adalah
rentang 37-42 minggu, bila <37 minggu disebut prematur atau kurang
bulan, bila >42 minggu disebut post-matur atau serotinus. Hubungan
antara umur kehamilan dengan berat bayi lahir mencerminkan
kecukupan pertumbuhan intrauterine. Menurut hubungan berat
lahir/umur kehamilan maka berat bayi lahir dikelompokkan menjadi
Sesuai Masa Kehamilan (SMK), Kecil Masa Kehamilan (KMK) dan
Besar Masa Kehamilan (BMK) (Ahmad, 2012).
Pada setiap tahap kehamilan, seorang ibu hamil membutuhkan
makanan dengan kandungan zat-zat gizi yang berbeda dan disesuaikan
dengan kondisi tubuh dan perkembangan janin. Masa kehamilan ibu
dibagi dalam tiga tahapan atau trismester. Trismester pertama, saat
kehamilan mencapai umur 1-3 bulan, adalah masa penyesuaian tubuh
ibu terhadap awal kehamilanya. Karena pada tiga bulan pertama ini
pertumbuhan janin masih lambat, penambahan kebutuhan zat-zat
gizinyapun masih relative kecil. Pada tahap ini ibu hamil memasuki
masa untuk menyimpan zat gizi sebanyak-banyaknya dari makanan
yang disantap setiap hari untuk cadangan persediaan pada trismester
berikutnya (Albugis, 2008).
Memasuki trismester kedua, saat kehamilan berumur 4-6
bulan, janin mulai tumbuh pesat dibandingkan dengan sebelumnya.
Kecepatan pertumbuhan itu mencapai 10gr per hari. Tubuh ibu juga
mengalami perubahan dan adaptasi, misalnya pembesaran payudara dan
mulai berfungsinya rahim serta plasenta. Untuk itu, peningkatan
kualitas gizi sangat penting karena pada tahap ini ibu mulai menyimpan
lemak dan zat gizi lainya untuk cadangan sebagai bahan pembentuk
ASI saat menyusui nanti (Albugis, 2008).
Sedangkan pada tahap terakhir atau trismester ketiga, ketika
umur kehamilan mencapai 7-9 bulan, dibutuhkan vitamin dan
mineral untuk mendukung pesatnya pertumbuhan janin dan
pembentukan otak. Kebutuhan energi janin didapat dari cadangan
energi yang disimpan ibu selama tahap sebelumnya (Albugis, 2008).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Surtiati (2003), ibu yang
melahirkan pada umur kehamilan kurang dari 37 minggu memiliki
risiko 10 kali lebih besar untuk mengalami BBLR dibandingkan
dengan ibu yang melahirkan pada umur kehamilan ≥37 minggu.
D. Kerangka Teori
Terdapat sejumlah faktor risiko terhadap kejadian BBLR. Namun
demikian, beberapa faktor risiko tersebut dapat dikendalikan sebagian maupun
sepenuhnya serta meningkatkan kesempatan bagi ibu untuk melahirkan bayi
dengan berat lahir normal. Menurut Depkes RI (2009), faktor risiko kejadian
BBLR diantaranya ibu hamil yang berumur <20 dan >35 tahun, jarak
kehamilan terlalu pendek, ibu mempunyai riwayat BBLR sebelumnya,
mengerjakan pekerjaan fisik, mengerjakan pekerjaan fisik beberapa jam tanpa
istirahat, sangat miskin, beratnya kurang dan kurang gizi, perokok, pengguna
obat terlarang, alkohol, anemia, pre-eklampsi atau hipertensi, infeksi selama
kehamilan, kehamilan ganda, bayi dengan cacat bawaan dan infeksi selama
dalam kandungan.
Menurut WHO (2004), faktor risiko kejadian BBLR yaitu status gizi,
status ekonomi, pendidikan, komplikasi kehamilan, pekerjaan berat, umur
kehamilan, umur ibu, riwayat BBLR sebelumnya, alkohol, merokok, obat-
obatan terlarang, riwayat penyakit, kehamilan ganda, tinggi badan dan
tinggal di daerah ketinggian. Sedangkan menurut Manuaba (2010), faktor
risiko kejadian BBLR yaitu terdiri dari faktor ibu berupa KEK
Faktor Ibu

- Umur ibu
Faktor Kehamilan
- Jarak Kehamilan
- KEK (Kekurangan Energi Kronik) - Umur kehamilan
- Penambahan Berat Badan - Komplikasi kehamilan
- Anemia - Kehamilan ganda
- Merokok
- Konsumsi Alkohol
- Konsumsi Obat-Obatan terlarang
- Tinggi Badan
- Status bekerja
- Pendidikan
- Status ekonomi
BBLR
- Riwayat Kelahiran BBLR
- Penyakit Ibu
BAB III
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL, HIPOTESIS
A. Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian dirumuskan berdasarkan kerangka teori
yang bertujuan untuk memperoleh gambaran secara jelas mengenai jalannya
penelitian dan untuk mengarahkan peneliti dalam mencari data yang
dibutuhkan. Menurut Notoatmodjo (2010) kerangka konsep penelitian
adalah suatu uraian dan visualisasi konsep-konsep serta variabel-variabel yang
diukur/diteliti.
Tidak semua faktor risiko yang terdapat dalam kerangka teori dijadikan
sebagai variabel penelitian karena bergantung pada ketersediaan variabel yang
ada dalam sumber data sekunder sehingga variabel dependen yang bisa
diteliti adalah kejadian Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) dan Bayi Berat Lahir
Normal (BBLN) dan variabel independen adalah status bekerja ibu, umur ibu,
KEK, pendidikan, penyakit ibu, anemia, kehamilan ganda, umur kehamilan,
tinggi badan, penambahan berat badan dan komplikasi kehamilan.
Variabel seperti konsumsi obat-obatan terlarang, merokok, konsumsi
alkohol dan status ekonomi tidak diteliti oleh peneliti karena variabel tersebut
tidak tersedia dalam data sekunder. Sedangkan cacat bawaaan juga tidak diteliti
dikarenakan cacat bawaan (kelainan kongenital) merupakan salah satu
kriterian eksklusi baik pada kelompok
Faktor Ibu

- Umur ibu
- KEK (Kekurangan Energi
Kronik) BBLR
- Penambahan Berat Badan
- Anemia
- Tinggi Badan
- Status bekerja
- Pendidikan
- Penyakit Ibu

Faktor Kehamilan

- Umur kehamilan
- Komplikasi kehamilan
- Kehamilan ganda

Gambar 2 Kerangka Konsep Penelitian


C. Definisi Operasional
Definisi operasional pada penelitian ini akan dijelaskan sebagai berikut:
Tabel 1
Definisi Operasional Penelitian

No Variabel Defenisi Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala


Operasional
1 BBLR Berat badan bayi Timbangan bayi Penimbangan 0. Kasus : <2500gr Ordinal
saat dilahirkan < (hasil data diperoleh berat badan bayi 1. Kontrol : ≥2500gr
2500gr dari kartu ibu) oleh petugas (Depkes RI, 2003 dan WHO,
puskesmas 2004)

2 Umur Ibu Umur pada saat Kartu ibu Wawancara oleh 0. Berisiko (<20 dan >35 Ordinal
melahirkan yang petugas tahun)
tercantum dalam kesehatan 1. Tidak berisiko (20-35
rekam medis tahun) (Depkes RI, 2003)
puskesmas
3 Status Bekerja Ibu Bekerja merupakan Kartu ibu Wawancara oleh
0. Berisiko (bekerja) Ordinal
suatu tugas atau petugas 1. Tidak berisiko (tidak
kerja yang kesehatan bekerja)

37
menghasilkan uang (Surtiati, 2003)
bagi seseorang.
4 KEK KEK pada ibu Pita LILA ( hasil Pengukuran 0. Ya (KEK) Ordinal
hamil yang dilihat data diperoleh dari LILA oleh 1. Tidak (tidak KEK) (Festy,
melalui kartu ibu) petugas 2009)
pengukuran puskesmas
Lingkar Lengan
Atas (LILA)
<23,5cm, diukur
oleh tenaga
kesehatan dan
tercantum dalam
rekam medis
puskesmas.
5 Komplikasi Adalah komplikasi Tensimeter (hasil Pengukuran 0. Ya (mengalami Ordinal
Kehamilan yang terjadi selama data diperoleh dari tekanan darah Komplikasi kehamilan )
kehamilan berupa kartu ibu) oleh petugas 1. Tidak (tidak mengalami
hipertensi dalam puskesmas komplikasi kehamilan )
kehamilan (HDK). (Depkes RI, 2000)
6 Anemia Kadar Hb ibu Alat pengukur Hb Pengukuran 0. Ya (anemia) Ordinal
38
hamil yang kurang dengan metode kadar Hb oleh1. Tidak (tidak anemia)

39
dari 11gr cyanmethemoglobin petugas (Festy, 2009)
yakni,pipet Hb, puskesmas
jarum, tabung
reaksi, larutan
drabskin,
spektrofotometer
(hasil data diperoleh
dari kartu ibu)
8 Penyakit Ibu Penyakit yang Tes laboratorium Melihat hasil tes 0. Ya (Memiliki penyakit) Ordinal
diderita ibu hamil (hasil data diperoleh laboratorium 1.Tidak (tidak memiliki
yang bersifat dari kartu ibu) kemudian penyakit)
kronis seperti memindahkanya
asma, magh dan ke kartu ibu (Maryunani, 2013)
batu ginjal. yang dilakukan
oleh petugas
puskesmas
9 Pendidikan Ibu Pendidikan formal Kartu ibu Wawancara oleh
0. Berisiko( rendah) Ordinal
terakhir yang petugas 1. Tidak berisiko (tinggi)
pernah dijalani ibu puskesmas (Simarmata,2010)
sampai saat
40
persalinan terakhir.
10 Umur Kehamilan Penentuan umur Kalkulator Menggunakan 0. Berisiko (partus prematurus Ordinal
kehamilan yang kehamilan (hasil metode neagele yaitu 28-37 minggu)
ditentukan data diperoleh dari yang dilakukan 1. Tidak berisiko (partus
berdasarkan hari kartu ibu) oleh petugas matures yaitu >37 minggu)
pertama mens puskesmas (Ahmad, 2012)
terakhir (HPMT)
hingga waktu
partus yang
dinyatakan dalam
minggu.
11 Tinggi Badan Ibu Tinggi badan ibu Microtoise yang Pengukuran 0. Berisiko (<145cm) Ordinal
pada saat (hasil data diperoleh tinggi badan oleh
1. Tidak berisiko (>145cm)
kehamilan dari kartu ibu) petugas
kesehatan
12 Kehamilan Ganda Kehamilan dimana Ultrasonografi Tes USG yang 0. Ya (kehamilan ganda) Ordinal
jumlah janin yang (hasil data diperoleh dilakukan oleh 1. Tidak (kehamilan tunggal)
dikandung lebih dari kartu ibu) petugas (Departemen Obstetri dan
dari satu. puskesmas Ginekologi FK UI RSCM,
2014)
41
13 Penambahan Berat Penambahan berat Timbangan injak Penimbangan 0. Berisiko (<10 kg) Ordinal
Badan Ibu badan ibu pada (hasil diperoleh dari berat badan ibu 1. Tidak berisiko (≥10kg)
akhir kehamilan kartu ibu) yang dilakuka (WHO, 2014)
dikurang berat oleh petugas
badan ibu sebelum puskesmas
kehamilan.

42
D. HIPOTESIS
1. Umur ibu <20 dan >35 tahun berisiko terhadap kejadian BBLR di Wilayah
Kerja Puskesmas Dusun Curup Kabupaten Bengkulu Utara tahun 2021
sampai dengan 2023
2. Tinggi badan ibu <145cm berisiko terhadap kejadian BBLR di Wilayah
Kerja Puskesmas Dusun Curup Kabupaten Bengkulu Utara
3. Penambahan berat badan ibu <10kg berisiko terhadap kejadian BBLR di
Wilayah Kerja Puskesmas Dusun Curup Kabupaten Bengkulu Utara
4. Umur kehamilan <37 minggu berisiko terhadap kejadian BBLR di
Wilayah Kerja Puskesmas Dusun Curup Kabupaten Bengkulu Utara?
5. BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Dusun Curup Kabupaten Bengkulu
Utara?
6. Anemia pada ibu berisiko terhadap kejadian BBLR di Wilayah Kerja
Puskesmas Dusun Curup Kabupaten Bengkulu Utara?
7. Kehamilan ganda berisiko terhadap kejadian BBLR di Wilayah Kerja
Puskesmas Dusun Curup Kabupaten Bengkulu Utara tahun 2021 sampai
dengan 2023?
8. Tingkat pendidikan ibu yang rendah berisiko terhadap kejadian BBLR di
Wilayah Kerja Puskesmas Dusun Curup Kabupaten Bengkulu Utara tahun
2021 sampai dengan 2023?
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian epidemiologi analitik dengan
rancangan penelitian case control unmatched. Studi kasus kontrol adalah
rancangan studi epidemiologi yang mempelajari hubungan antara paparan
(faktor penelitian) dan penyakit, dengan cara membandingkan kelompok kasus
dan kelompok kontrol berdasarkan status paparannya (Murti, 1997). Dalam
penelitian ini, dibagi menjadi dua kelompok meliputi kelompok kasus adalah
BBLR (Bayi Berat Lahir Rendah) dan kelompok kontrol adalah BBLN (Bayi
Berat Lahir Normal). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui besar risiko
dari faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian BBLR di Wilayah
Kerja Puskesmas Dusun Curup Kabupaten Bengkulu Utara tahun 2021 sampai
dengan 2023.

Faktor risiko (-)

Retrospektif Efek (+)/ kasus


Faktor risiko (+)

Faktor risiko (-)

Retrospektif Efek (-)/ kontrol


Faktor risiko (-)

Gambar 3
Rancangan Penelitian Kasus Kontrol
B. Tempat Penelitian dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Puskesmas Dusun Curup
Kabupaten Bengkulu Utara .
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan April - Mei tahun 2023.
C. Populasi Sempel
1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian yang akan diteliti.
Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu yang memiliki bayi dengan
total populasi sebesar 71
2. Sampel
Sampel adalah bagian dari sejumlah karakteristik yang dimiliki
oleh populasi yang digunakan oleh peneliti (Anggita, 2018). Dalam
penelitian ini menggunakan Teknik case control unmatched yang mana
sampel yang diperoleh secara kebetulan dengan memenuhi kriteria inklusi
dan eklusi penelitian. Perhitungan sampel mengunakan rumus slovin yang
merupakan rumus perhitungan sampel non probalitas.
D. Perhitungan Besar Sampel Penelitian
Besar sampel dalam penelitian ini dengan menggunakan rumus :
Rumus besar sampel

Zα√2PQ + Zβ√P1Q1 + P2Q2


𝑛1 = 𝑛2 = ( )²

P1 − P2
Keterangan :
Zα = Deviat baku alpha
Zβ = Deviat baku beta
P2 = Proporsi pada kelompok yang sudah diketahui nilainya
Q2 = 1 – P2
Q1 = 1-P1
P1 = Proporsi pada kelompok yang lainya ( judgement penelitian )
Q1 = 1-P1
P1-P2 = Proporsi minimal yang di anggap bermakna
P = Proporsi total
Q = 1-p
Besaran sempel dalam penelitian ini berdasarkan uji hipotesis two
taul, dengan tingkatan kemaknaan (Z1-a) 5% dan kekuatan (Z1-β) sebesar
20% berdasaarkan proposi pemaparan pada kelompok kontrol dari penelitian
terdahulu.
Tabel 2 Perhitungan Besar Sampel

NoVariabel P1 P2 OR n Sumber

1 KEK 54,7 13,4 6,30789,11Festy (2009)


2 Umur 0,6520,3044,28 19,21Sistriani (2008)
3 Penyakit0,6080,3472,91 44,42Sistriani (2008)
4 Anemia 51,6 11 3,36612,32Festy (2009)
Jumlah sampel yang diambil adalah dari variabel status KEK
(Kekuragan Energi Kronis) yaitu 89,11 sehingga jumlah sampel
berjumlah 71 orang. Penelitian ini menggunakan perbandingan kasus dan
kontrol 1:2, maka jumlah sampel secara keseluruhan yaitu 285 sampel.
E. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan secara sekunder yaitu diambil dari kartu
ibu dan form pelacakan kasus BBLR yang ada di Puskesmas. Data yang
diperoleh adalah identitas ibu (umur, pendidikan dan pekerjaan) dan catatan
kesehatan ibu hamil (umur kehamilan, status gizi ibu, penambahan berat badan,
riwayat penyakit,, anemia, tinggi badan, kehamilan ganda dan komplikasi
kehamilan).
D. Pengolahan Data
Pengolahan data pada penelitian ini meliputi tahapan sebagai berikut :
a. Editing, yaitu mengkaji dan meneliti data yang telah terkumpul.
b. Coding, yaitu memberikan kode pada data untuk memudahkan dalam
memasukkan data ke program komputer.
c. Entry, yaitu memasukkan data dalam program komputer untuk dilakukan
analisis lanjut.
d. Cleaning data, yaitu melihat kembali data yang telah dimasukkan atau
sudah dibersihkan dari kesalahan, baik dalam pengkodean atau pada entry
data.
e. Tabulating, yaitu setelah data tersebut masuk kemudian direkap dan
disusun dalam bentuk tabel agar dapat dibaca dengan mudah.
F. Analisis Data
1. Analisis Univariat
Analisis Univariat dimaksudkan untuk melihat gambaran distribusi
frekuensi setiap variabel penelitian. Data hasil analisis univariat dβisajikan
dalam tabel dan grafik.
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dimaksudkan untuk menguji hipotesis penelitian.
Untuk melihat besar risiko variabel independen terhadap kejadian variabel
dependen, dilakukan uji statistik dengan menggunakan uji Odds Rasio
(OR). Odds ratio (OR) merupakan ukuran relatif studi kasus kontrol yang
menunjukkan berapa banyak kemungkinan paparan (odds exposure) antara
kelompok kasus (case) dibandingkan dengan kelompok kontrol (non
case). Kriteria odds ratio, yaitu (Paul, 2012
(1) Nilai OR=1, bukan merupakan faktor risiko terjadinya penyakit.
(2) Nilai OR >1, merupakan faktor risiko terjadinya penyakit.
(3) Nilai OR <1, merupakan faktor protektif terjadinya penyakit.
Rumus dari Odds Ratio adalah:
𝑎/𝑏 𝑎𝑑
𝑂𝑅 = =

𝑐/𝑑 𝑏𝑐
Keterangan:
OR : Odds ratio risiko terhadap kejadian BBLR
𝑎/𝑏 : Rasio antara banyaknya kasus yang terpapar dan kasus yang tak
terpapar
𝑐/𝑑 : Rasio antara banyaknya kontrol yang terpapar dan kontrol yang
tak terpapa
Adapun signifikansi nilai OR dalam interpretasi CI (Confidence
Interval) 95% terhadap nilai OR yaitu jika pada CI 95% rentan nilai lower
dan upper limit tidak terdapat nilai 1 maka disimpulkan nilai OR bermakna.
Sedangkan jika CI 95% dan OR terdapat nilai 1, maka disimpulkan
bahwa nilai OR tidak bermakna(Susant, 2007).
DAFTAR PUSTAKA
Albugis, Djamilah. 2008. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kekurangan Energi
Kronik (KEK) pada Ibu Hamil di Wilayah Puskesmas Jembatan Serong
Kecamatan Pancoran Mas Depok Jawa Barat. Depok: Program Sarjana
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Anwar, Bahri. 2004. Wanita Kehamilan dan Penyakit Jantung. Bagian Kardiologi
dan Kedokteran Vaskuler Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara.
Atriyanto, Primades. 2006. Pengaruh Kualitas Pelayanan Anternatal (Berdasarkan
Frekuensi Pelayanan, Jadwal Pelayanan, dan Konseling) Terhadap
Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) di Indonesia: Analisis Data
SDKI 2002-2003. Tesis. Depok: Program Pasca Sarjana Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan . 2010. Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS). Jakarta : Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
Bisai, Samiran. 2003. Maternal Height As An Independent Risk Factor For
Neonatal Size Among Adolescent Bengalees In Kolkata, India. Ethiophian
Journal Of Health Science. 2010; 20(3): 153–158.
Budiman. 2011. Korelasi Antara Berat Badan Ibu Hamil dengan Berat Lahir
Bayi di RSUP dr. Kariadi. Semarang: Program Pendidikan Sarjana
Kedokteran Universitas Diponegoro.
CDC. 2011. Maternal Health Indicators. Diakses pada tanggal 27 Desember 2013
dariHttp://Www.Cdc.Gov/Pednss/What_Is/Pnss_Health_Indicators.Htm
Chaitow, Leon. 2005. Asma and Hay Fever. Jakarta : Penerbit Bumi Aksara.
Danusantoso, Halim, 2000. Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: Hipokrates
Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo. 2014. Kehamilan Ganda (Lebih
dari Satu Janin Atau Multifetus).
Depkes RI. 2003. Program Penanggulangan Gizi pada Wanita Umur Subur
(WUS), Direktorat Gizi Masyarakat & Binkesmas. Jakarta : Departemen
kesehatan Republik Indonesia
Depkes RI. 2003. Penyakit Penyebab Kematian Bayi Baru Lahir (Neonatal) dan
Sistem Pelayanan Kesehatan Berkaitan di Indonesia. Jakarta: Departemen
kesehatan Republik Indonesia
Depkes RI, 2009. Kumpulan Buku Acuan Kesehatan Bayi Baru Lahir.
Festy, Pipit. 2010. Analisis Faktor Risiko pada Kejadian Berat Badan Lahir
Rendah di Kabupaten Sumenep. Surabaya: Program Studi Ilmu
Keperawatan Universitas Muhammadiyah Surabaya.
Gopar, Adul. 2009. Kehamilan kembar. Di akses Pada Tanggal 11 April 2014 dari
http://adulgopar.files.wordpress.com/2009/12/kehamilan-kembar.pdf
Haws, S Paulette. 2007. Asuhan Neonatus Rujukan Cepat. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC
Huwae, Irene Ratridewi, Putri, Awliyana Risla, Fitri, Loeki Enggar. 2012.
Hubungan Antara Infeksi Malaria pada Ibu Hamil dengan Kejadian Berat
Badan Lahir Rendah dan Kejadian Malaria Kongenital di Rumah Sakit
Umum Daerah Lewoleba Lembata. Malang: Universitas Brawijaya.
Junaidi, Iskandar. 2010. Penyakit Paru dan Saluran Napas. Jakarta : PT Bhuana
Ilmu Popular.
Kemar, Ratna Prihastuti. 2008. Hubungan Status Gizi Ibu Hamil Trisemster III
dengan Kejadian BBLR. Universitas Muhammadiyah Semarang.
Kramer. 1987. Determinants Of Low Birth Weight: Methodological Assessment
And Meta-Analysis. WHO: 1987;65(5):663-737
Manuaba, dkk. 2008. Buku ajar Patologi obstetri untuk Mahasiswa
Kebidanan. Jakarta : EGC
Maryunani, Anik. 2013. Asuhan Bayi Dengan Berat Badan Lahir Rendah. Jakarta:
Trans Info Media.
Muazizah. 2011. Hubungan Antara Kadar Hemoglobin Ibu Hamil Dengan Berat
Bayi Lahir di RS Permata Bunda Kabupaten Grobogan. Skripsi.
Universitas Muhammadiyah Semarang.
Murti, Bisma. 1997. Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi. Yogyakarta : Gajah
Mada University Press.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka
Cipta.
Nurfilaila. 2012. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya BBBLR Periode
Januari Sampai Desember 2012 Di Rumah Sakit Umum Daerah Dr.
Zainoel Abidin. Jurnal Karya Tulis Ilmiah: STIKKes Ubudiyah Banda
Aceh.
Oxorn H & Forte R William. 2010. Ilmu kebidanan: patologi & fisiologi
persalinan. Yogyakarta : yayasan essential medika (YEM).
Paul. 2012. Modul 5: Calculating Measures of Association.
Parhusip, Deliana.2010. Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Tindakan Mencegah
dan Mengatasi Komplikasi Kehamilan Oleh Bidan Desa. Skripsi. Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
Pelletier, Tiffany.2008. Long Term Effects of Low-Birth Weight. The Maternal
Substance Abuse And Child Development Project, Emory University
School Of Medicine, Department Of Psychiatry And Behavioral Sciences.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2004. Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan Asma di Indonesia. Jakarta : Balai Penerbit FKUI
Pilliteri, Adele. 2002. Perawatan Kesehatan Ibu dan Anak. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Pramono & Muzakiroh. 2011. Pola Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah dan Faktor
yang Mempengaruhinya di Indonesia Tahun 2010. Buletin Penelitian
Sistem Kesehatan. Vol. 14, No. 3, Juli, 2011.
Profil Kesehatan Indonesia. 2008. Jakarta : Departemen Kesehatan Epublik
Indonesia
Puji, Widiyastuti. 2009. Faktor-Faktor Risiko Ibu Hamil yang Berhubungan
dengan Kejadian BBLR Studi Kasus di Wilayah Kerja Puskesmas Ampel I
Boyolali Tahun 2008. Skirpsi. Universitas Negeri Semarang.\
Puspitasari, Cinde, Dkk. 2011. Hubungan Antara Kenaikan Berangt Badan
Selama Kehamilan dengan Berat Bayi Baru Lahir Di Wilayah Kerja
Puskesmas Rawalo Kabupaten Banyumas Tahun 2009-2010. Jurnal
Ilmiah Kebidanan, Vol. 2 No. 1 Edisi Juni 2011.
Rasyid, S Puspita, Dkk. 2012. Faktor Risiko Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah di
RSUD Prof. Dr. H. Aloei Saboe Kota Gorontalo Provinsi Gorontalo.
Jurnal Masyarakat Epidemiologi Indonesia. Volume 2 No. 2; Hal. 135.
Roeshadi, Haryono. 2004. Gangguan dan Penyulit dalam Masa Kehamilan.
Bagian Kebidanan dan Penyakit Kandungan Fakultas Kedokteran
Unversitas Sumatera Utara.
Santoso, G.,2004, Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Jakarta,
Penerbit : Prestasi Pustaka.
Setianingrum, Susiana Iud Winanti. 2005. Hubungan Antara Kenaikan Berat
Badan, Lingkar Lengan Atas, dan Kadar Hemoglobin Ibu Hamil
Trimester III dengan Berat Bayi Lahir di Puskesmas Ampel I Boyolali.
Program Sarjana Kesehatan Masyarakat Universitas Negeri Semarang.
Sinatra, M.T, Dkk. 2009. Perbedaan Prevalensi Anemia Defisiensi Besi pada
Perempuan Hamil di Daerah Pantai dan Pegunungan di Wilayah
Semarang. Majalah Obstetri Ginekologi Indonesia. Volum 33, No 2. April
2009.
Simbolon, Demsa dan Aini, Nur. 2013. Kehamilan Umur Remaja Prakondisi
Dampak Status Gizi Terhadap Berat Lahir Bayi di Kabupaten Rejang
Lebong Propinsi Bengkulu. Program Sarjana Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Jember.
Subarkah & Yudarini. 2003. Hubungan Kondisi Sosial, Ekonomi dan Demografi
Rumah Tangga dengan Berat Lahir (Studi di Indramayu, Jawa Barat (2001-
2003). Tesis. Universitas Indonesia
Sujoso, Dewi Prahastuti & Anita. 2011. Tempat Kerja dan Bahaya
Reproduksi. Program Sarjana Kesehatan Masyarakat Universitas Jember.

Anda mungkin juga menyukai