Anda di halaman 1dari 8

SISTEM INFORMASI KESEHATAN

Angka Kematian Bayi (AKB) (per 1000 kelahiran hidup)


Angka Kematian Neonatal (AKN) (per 1000 kelahiran hidup)
Prevalensi stunting (pendek dan sangat pendek) pada balita (persen)
Prevalensi wasting (kurus dan sangat kurus) pada balita (persen)

DISUSUN OLEH
RAHMA ESYA PUTRI
G1D122204

DOSEN PENGAMPU:
Rizalia Wardiah, SKM., MKM.

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2023
INDIKATOR RPJMN 2020-2022 TARGET CAPAIAN
2020 2021 2022 2020 2021 2022
Angka Kematian Bayi (AKB) 20,6 19,5 18,6 17,6 17,2 16,9
(per 1000 kelahiran hidup)
Angka Kematian Neonatal 12,9 12,2 11,6 11,7 11,7 9,30
(AKN) (per 1000 kelahiran
hidup)
Prevalensi stunting (pendek 24,1 21,1 18,4 26,9% 24,4% 21,6%
dan sangat pendek) pada
balita (persen)
Prevalensi wasting (kurus dan 8,1 7,8 7,5 7,4% 7,1% 7,7%
sangat kurus) pada balita
(persen)

A. Interprestasi
a. Angka Kematian Bayi (AKB) (per 1000 kelahiran hidup)
Angka Kemayian Bayi mengacu pada jumlah kematian bayi di suatu populasi tertentu
yang diukur dalam per 1.000 kelahiran hidup. Perubahan angka kematian bayi dari tahun
2020, 2021, 2022 menunjukkan penurunan yang berangsur dan angka ini jauh lebih baik
dibanding target nasional menunjukkan perbaikan dalam kesehatan dan perawatan bayi.
Untuk penyebab terjadinya kematian bayi disebabkan oleh 2 hal, yaitu penyebab
endogen dan eksogen. Penyebab endogen merupakan penyebab kematian bayi oleh faktor-
faktor internal, yaitu faktor dari sang ibu saat masa konsepsi, sedangkan penyebab eksogen
merupakan penyebab kematian bayi oleh faktor lingkungan luar. Angka Kematian Bayi ini
juga memiliki peran penting dalam mewujudkan derajat kesehatan sebuah negara.
b. Angka Kematian Neonatal (AKN) (per 1000 kelahiran hidup)
Angka kematian neonatal yang diukur per 1.000 kelahiran hidup menunjukkan angka
11,7 ditahun 2020 dan 2021, dimana angka tersebut berada dibawah target yang ditentukan.
Hal ini berarti lebih baik karna tidak melebihi target. Sedangkan pada tahun 2022, AKN
kembali mengalami penurunan dengan capaian 9,30/1.000 kelahiran hidup. Dimana hal ini
menunjukkan pencapaian yang lebih baik terhadap angka kematian neonatal.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kematian neonatal antara lain, usia
kehamilan kurang dari 37 minggu, jarak persalinan kurang dari 2 tahun, berat bayi lahir
kurang dari 2.500 Gram. Selain itu, karakteristik ibu juga berhubungan dengan kematian
neonatal antara lain ibu mempunyai riwayat hipertensi dan anemia, mempunyai riwayat
abortus, usia >35 tahun, dan menjalani section cessaria
c. Prevalensi stunting (pendek dan sangat pendek) pada balita (persen)
Prevalensi stunting pada balita dari tahun 2020, 2021, dan 2022 menunjukkan
penurunan. Penurunan dari 26,9 menjadi 24,4 menunjukkan langkah-langkah atau program-
program yang dilakukan telah menghasilkan dampak positif dalam mengurangi jumlah anak
yang mengalami stunting, penurun lebih lanjut dari 24,4 menjadi 21,6 mengindikasikan
bahwa tindakan lebih lanjut telah di ambil atau ditingkatkan, yang mengarah pada perbaikan
yang lebih besar dalam status gizi anak.
Meskipun mengalami penurunan capaian ini sudah melebihi target yang ditentukan.
Beberapa faktor yang menyebabkan stunting seperti berat badan lahir, diare, pengetahuan
dan tingkat pendidikan ibu, pendapatan keluarga, dan sanitasi. Pengetahuan tenaga
kesehatan dan masyarakat terhadap faktor penyebab stunting merupakan hal penting karena
diharapkan dapat berkontribusi untuk mencegah terjadinya stunting dan menurunkan angka
stunting di masyarakat. Literatur tentang faktor penyebab stunting dari aspek pengetahuan
ibu, pola asuh orang tua, status nutrisi dan berat badan lahir rendah, serta status ekonomi
keluarga.
d. Prevalensi wasting (kurus dan sangat kurus) pada balita (persen)
Prevalensi wasting pada tahun 2020, 2021 mengalami sedikit penurunan. Penurunan
dari 7,4% menuju 7,1% hal ini menunjukkan prpgram – program atau langkah – langkah yang
telah dilakukan mengalami dampak positif yang berakibat dapat menurunkan prevalensi
wasting pada tahun 2020 – 2021. Namun, pada tahun 2022 wasting kembali mengalami
peningkatan dari 7,1% menjadi 7,7%, hal ini menunjukkan bahwa pada tahun 2022 program
atau langkah – langkah yang dilakukan lebih ditingkatkan dari tahun sebelumnya.
B. Faktor – faktor penyebab
a. Angka Kematian Bayi (AKB) (per 1000 kelahiran hidup)
1. 1. Usia bayi
Usia bayi merupakan umur dimana anak memiliki risiko paling tinggi terjadi
gangguan kesehatan, yang bisa berakibat fatal tanpa penanganan. Berbagai upaya
dilakukan untuk menangani masalah kesehatan ini, diantaranya agar tenaga
kesehatan di fasilitas kesehatan yang menangani persalinan, serta menjamin
tersedianya pelayanan.
2. Pemeriksaan ANC
Pemeriksaan kehamilan merupakan salah satu bentuk layanan kesehatan dengan
tujuan mengawasi pertumbuhan dan perkembangan janin dalam rahim untuk
mencegah kesakitan dan kematian. Pelaksanaan Antenatal Care (ANC) dilakukan di
puskesmas, puskesmas pembantu, pondok bersalin desa (polindes) dan pos
pelayanan terpadu (posyandu).
3. Berat Badan Bayi
Berat badan lahir rendah pada bayi dibagi atas : 1) Berat lahir cukup yaitu bayi
dengan berat lahir ≤ 2500 gram, 2) Bayi berat lahir rendah (BBLR) yaitu bayi dengan
berat badan lahir antara 1500 – 2500 gram, 3) Bayi berat lahir sangat rendah (BBLSR)
yaitu bayi dengan berat badan lahir 1000 – 1500 gram, 4) Bayi berat lahir amat
sangat rendah (BBLASR) yaitu bayi lahir hidup dengan berat badan lahir kurang dari
1000 gram.
4. Jenis Kelamin Bayi
Jenis kelamin merupakan salah satu yang dapat memberikan perbedaan angka
kejadian pada pria dan wanita. Karakteristik jenis kelamin mempunyai hubungan
tersendiri yang cukup erat dengan sifat keterpaparan dan kerentanan terhadap
penyakit tertentu.
5. Bayi Kembar
Kembar berisiko tinggi kematian bayi karena mereka dilahirkan dengan berat lahir
rendah. Kelahiran kembar adalah salah satu faktor risiko kematian bayi, 6 kali lipat
dibandingkan kelahiran tunggal. Kemungkinan peningkatan angka kelahiran kembar,
dan risiko tinggi yang ditimbulkan, dapat berkontribusi negatif terhadap upaya untuk
mengurangi kematian neonatal di Indonesia.
6. Umur Ibu
Usia ideal seorang wanita untuk menikah dan melahirkan adalah pada rentang umur
21 – 35 tahun. Ibu dengan usia ideal memiliki keterampilan yang lebih dalam
mengurus bayi pada saat bayi lahir, dari pada ibu diluar usia ideal.

7. Pendidikan Ibu
Tindakan seseorang dapat di pengaruhi oleh pengetahuan dan keterampilan yang
berdasarkan pendidikan. Ibu dengan pendidikan lebih tinggi melakukan pemeriksaan
setelah kehamilan, dibandingkan ibu yang tidak memiliki pendidikan. Manfaat
pendidikan pada wanita sangat banyak, dan salah satu yang utama adalah
menghasilkan anak yang lebih sehat.
8. Status Pekerjaan Ibu
Pekerjaan lebih banyak dilihat dari kemungkinan keterpaparan khusus dan
tingkat/derajat keterpaparan tersebut serta besarnya resiko menurut sifatpekerjaan,
lingkungan kerja, sifat sosio ekonomi karyawan pada pekerjaan tertentu dan situasi
pekerjaan yang membuat stress.
9. Tempat Tinggal
Tempat tinggal dapat menunjukan terjadinya perbandingan kejadian penyakit dalam
suatu daerah terutama pada daerah pedesaan dan perkotaan. Hal yang dapat
menjadi penyebab terjadinya perbedaan frekuensi penyakit dan kematian antara
daerah pedesaan dan perkotaan karena perbedaan kepadatan penduduk dan
komposisi umur penduduk, perbedaan pekerjaan dan kebiasaan hidup, konsep sehat
dan sakit, perbedaan lingkungan hidup dan keadaan sanitasi penduduk.
10. Indeks Kekayaan
Indeks kekayaan suatu rumah tangga dapat berpengaruh terhadap biaya kesehatan,
dimana rumah tangga dengan status miskin lebih rendah dalam berupaya
menggunakan tenaga kesehatan saat melahirkan, dibandingkan rumah tangga
dengan status kaya. Rumah tangga dengan indeks kekayaan menengah-bawah dapat
memenuhi kebutuhan dasar, rumah tangga menengah dapat memenuhi kebutuhan
dasar dan kebutuhan pengembangan secara minimal, rumah tangga dengan indeks
kekayaan menengah-atas dapat memenuhi kebutuhan dasar, kebutuhan sosial
psikologis, kebutuhan pengembangan tapi belum dapat memberikan sumbangan
kepada masyarakat, rumah tangga dengan indeks kekayaan teratas, dapat memenuhi
kebutuhan dasar, kebutuhan sosial psikologis tapi belum dapat memberikan
kebutuhan pengembangan, serta dapat memberikan sumbangan nyata dan
berkelanjutan untuk masyarakat, rumah tangga dengan indeks kekayaan terbawah,
dengan kondisi kekurangan dalam memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan
serta pelayanan kesehatan dasar.
11. Biaya Kesehatan
Seseorang yang mengalami kesulitan dalam biaya kesehatan menyebabkan tidak
mempunyai cukup uang untuk membeli obat dan membayar transport untuk menuju
fasilitas kesehtan. Banyak orang yang karena pertimbangan kurangnya atau tidak ada
biaya kesehatan menyebabkan,mengabaikan untuk melakukan pemeriksaan dokter.
12. Akses Fasilitas Kesehatan
Fasilitas Kesehatan adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang digunakan untuk
menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan perorangan, baik promotif, preventif,
kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah,
dan/atau Masyarakat.
b. Angka Kematian Neonatal (AKN) (per 1000 kelahiran hidup)
Penyebab utama kematian bayi pada minggu pertama kehidupan adalah komplikasi
kehamilan dan persalinan seperti asfiksia, sepsis, dan komplikasi berat lahir rendah. Asfiksia
neonatorum merupakan keadaan bayi baru lahir gagal bernapas spontan dan teratur segera
setelah lahir. Penyebabnya adalah hipoksia janin dalam rahim yang berhubungan dengan
berbagai faktor selama kehamilan, persalinan, dan segera setelah lahir. Status gizi
ibu sebelum dan selama hamil dapat memengaruhi pertumbuhan janin yang sedang
dikandung.3 Penelitian inibertujuan untuk mengetahui faktor-faktor antenatal care(ANC),
status imunisasi Tetanus Toxoid (TT) ibu hamil,anemia pada saat hamil, berat lahir, status
paritas, danstatus hipotermia terhadap kematian neonatal. Kegiatan preventif akan
membutuhkan biaya yang lebih sedikit. Salah satu langkah preventif ini adalah melalui
pemberian ASI saja segera setelah bayi lahir (Lawnet al., 2000). Faktor medis penyebab
langsung kematian neonatal masih didominasi oleh asfiksia, prematuritas dan infeksi
(Lawnet al., 2000). Faktor tidak langsung, seperti karakteristik maternal, lingkungan dan
sosial-ekonomi juga memberikan pengaruh pada kematian bayi (Mosley and Chen, 1984).
Angka kematian neonatal yang tinggi merupakan cermin dari kualitas pelayanan
kesehatan ibu dan bayi baru lahir yang buruk. Diperlukan penetapan strategi untuk
menurunkan angka kematian neonatal. Dalam hal penetapan strategi ini sangat perlu untuk
memahami hubungan dari berbagai intervensi teknis dasar untuk meningkatkan kesehatan
ibu dan anak dan perhatian bahwa penyebab utama kematian neonatal berkaitan
dengan permasalahan selama masa kehamilan, persalinan dan perawatan bayi baru
lahir.
Determinan dekat yang berkontribusi terhadap risiko kematian neonatus
meliputi faktor maternal, pra persalinan, neonatal, persalinan dan faktor pasca
kelahiran (Titaleyet al., 2008, Singhet al., 2013).Faktor maternal yang dimaksud adalah
usia ibu saat melahirkan. Semakin bertambahnya usia ibu saat melahirkan, maka akan
menurunkan risiko kematian neonatal. Risiko kematian neonatal menurun pada ibu yang
melahirkan pada usia >20 tahun. Ibu yang melahirkan pada usia ini lebih
bertanggungjawab terhadap bayinya dibandingkan pada ibu yang melahirkan pada usia
muda. Ibu yang melahirkan pada usia yang cukup tidak hanya memiliki pengetahuan
yang lebih baik tentang kehamilan dan persalinan, namun mereka juga telah memiliki
tingkat otonomi dan kenyamanan dalam merawat bayi pada periode neonatal yang lebih
baik (Singhet al., 2013).
Kunjungan ibu untuk melakukan antenatal care (ANC) memiliki hubungan
dengan kematian neonatal. Ibu yang tidak melakukan kunjungan ANC selama kehamilan
memiliki risiko kematian neonatal 3 kali lebih tinggi daripada ibu yang melakukan
kunjungan ANC sedikitnya 1 kali kunjungan. Lebih jauh lagi, ibu yang tidak melakukan
kunjungan ANC dan melahirkan di rumah memiliki risiko kematian neonatal 4 kali lebih tinggi
(Målqvist, 2011). ANC yang sesuai dapat memberikan pendidikan kepada ibu dan
keluarga dalam mengenali dan menerima komplikasi, sehingga memberikan
kemampuanuntuk mencari perawatan kesehatan yang baik yang pada akhirnya
menghasilkan kondisi yang lebih baik pada kesehatan ibu dan bayi (Titaleyet al.,
2008). WHO merekomendasikan jumlah kunjungan ANC adalah sedikitnya 4 kali selama
kehamilan (World Health Organization, 2003). Kunjungan ANC ini dilakukan minimal
sekali pada kehamilan trimester pertama, minimal sekali pada kehamilan trimester
kedua, dan dilakukan minimal 2 kali pada kehamilan trimester ketiga (Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 2010).
Bayi yang dilahirkan dengan ukuran lahir lebih kecil dari rata-rata memiliki risiko
kematian neonatal tertinggi daripada bayi yang dilahirkan dengan ukuran rata-rata dan
lebih besar dari rata-rata. Bayi yang dilahirkan dengan berat badan lahir rendah (BBLR)
merupakan prediktor yang kuat terjadinya kematian neonatal (Titaleyet al., 2008).
Ketersediaan data berat lahir bayi di dalam data SDKI meliputi dua jenis, yakni berasal
dari Kartu Menuju Sehat (KMS) dan jika tidak ada data di KMS maka data berat lahir
bayi diperoleh berdasarkan ingatan ibu (United States Agency for International
Development, 2013). Penelitian ini menggunakan data ukuran lahir bayi sebagai persepsi ibu
terhadap ukuran lahir dari bayinya, dimana hal ini juga dilakukan dalam analisis
penelitian Edmondet al.(2006), bahwa persepsi ibu ini memiliki sensitifitas 80-95%
dalam mendeteksi berat lahir terutama <2 kilogram.
c. Prevalensi stunting (pendek dan sangat pendek) pada balita (persen)
1. Asupan Makanan
Stunting pada anak balita seringkali merupakan akibat dari banyak faktor yang
berhubungan dengan kemiskinan. Ini termasuk pola makan yang buruk, kesehatan,
kebersihan dan lingkungan (Kemenkes, 2018). Manusia membutuhkan makanan
untuk bertahan hidup. Pangan merupakan sumber energi yang sangat dibutuhkan
untuk menunjang segala aktivitas manusia. Jika seseorang tidak mendapatkan cukup
energi dari makanan, ia mungkin harus meminjam atau menggunakan cadangan
energi dalam tubuh untuk menutupi perbedaan. Namun, kebiasaan meminjam ini
dapat menimbulkan masalah serius, seperti kekurangan gizi, terutama energi. Nutrisi
sangat penting untuk kesehatan dan pertumbuhan. Gizi yang baik dikaitkan dengan
peningkatan kesehatan bayi, anak dan ibu, dengan sistem kekebalan yang kuat,
kehamilan dan persalinan yang aman, dan pengurangan risiko penyakit tidak
menular yang mengarah pada umur yang lebih panjang (Vaivada et al., 2020)
2. Penyakit Infeksi
Sanitasi dan kebersihan lingkungan yang buruk memicu gangguan pencernaan dan
mengalihkan energi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan ke dalam daya tahan
tubuh terhadap infeksi. Sebuah penelitian menemukan bahwa semakin sering
seorang anak mengalami diare, semakin tinggi risikonya untuk mengalami stunting
(Manggala & Kenwa, 2018). Selain itu, ketika anak sakit biasanya nafsu makannya
berkurang, sehingga asupan makanannya kurang, pertumbuhan sel otak yang
seharusnya sangat pesat pada 2 tahun pertama kehidupan anak menjadi terhambat.
Akibatnya, anak berisiko mengalami stunting yang berujung pada gangguan
pertumbuhan mental dan fisik, sehingga potensinya tidak dapat berkembang secara
maksimal.
3. Pola Asuh
Pola asuh yang baik untuk mencegah stunting dapat ditemukan dalam praktik
pemberian makan. Nutrisi yang tepat dapat mempengaruhi pertumbuhan,
perkembangan dan kecerdasan anak sejak usia dini. Model nutrisi bagi orang tua
yang direkomendasikan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2016
adalah dengan menyediakan makanan sehari-hari yang memenuhi kebutuhan gizi
anak seperti sumber energi dari beras, umbi-umbian, dll. Sumber bahan pembangun
adalah zat-zat terkontrol seperti ikan, daging, telur, susu, kacangkacangan, serta
buah-buahan dan sayuran yang digunakan selama pertumbuhan dan perkembangan
bayi untuk menghindari masalah gizi seperti stunting. Mengandung banyak vitamin
serta mineral yang berperan dalam pertumbuhan.
4. Pelayanan Kesehatan dan Sanitasi Lingkungan
Kebersihan yang baik mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak.
Kebersihan dan keamanan pangan dapat meningkatkan risiko penyakit menular
(Kemenkes, 2018). Kondisi lingkungan sanitasi yang buruk dapat memungkinkan
berbagai bakteri masuk ke dalam tubuh dan menyebabkan berbagai penyakit seperti
diare, parasit usus, demam, malaria, dan banyak penyakit lainnya. Infeksi dapat
mengganggu penyerapan nutrisi, menyebabkan malnutrisi dan pertumbuhan
terhambat.
5. Faktor Ekonomi
Pendapatan keluarga merupakan faktor yang berhubungan dengan stunting pada
anak di bawah usia 5 tahun. Berdasarkan karakteristik pendapatan keluarga, krisis
ekonomi merupakan salah satu penyebab utama yang mempengaruhi keterlambatan
tumbuh kembang anak dan berbagai masalah gizi. Sebagian besar anak stunting
berasal dari latar belakang ekonomi yang kurang mampu. Status ekonomi yang
rendah mempengaruhi kemungkinan terjadinya insufisiensi dan kualitas pangan
akibat rendahnya daya beli masyarakat. Kondisi ekonomi yang demikian membuat
anak stunting sulit mendapatkan asupan gizi yang cukup, sehingga tidak dapat
mengejar ketertinggalan dengan baik (Mary, 2018).
6. Faktor Sosial Budaya
Faktor sosial budaya dapat mempengaruhi terjadinya stunting pada anak. Beberapa
budaya atau perilaku masyarakat yang berhubungan dengan masalah kesehatan,
terutama gizi buruk pada anak, menentukan cara makan, penyajian, penyiapan, dan
jenis makanan apa yang boleh dikonsumsi. Hal ini dapat mengganggu tabu tentang
makan makanan tertentu. Upaya pencegahan perlu dilakukan melalui edukasi
tentang pengaruh kebiasaan makan yang tidak benar dan perubahan perilaku untuk
mencegah malturasi sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatan dan
mempertahankan kebiasaan baru dengan tetap menjaga pengendalian kebiasaan
makan (Atmarita dan Zahraini, 2018).
7. Faktor Pendidikan
Pendidikan adalah tingkat akhir yang dicapai oleh seseorang, dimana pendidikan
adalah sarana untuk bertindak secara ilmiah. Pendidikan merupakan salah satu
faktor kunci yang mempengaruhi perkembangan gizi buruk, karena berkaitan dengan
kemampuan seseorang untuk menerima dan memahami sesuatu, karena tingkat
pendidikan dapat mempengaruhi kebiasaan konsumsi makanan melalui bagian dari
sistem pangan pada balita. Pelatihan ibu muncul sebagai prediktor terkuat dari
stunting, sebagai faktor keluarga yang dapat dimodifikasi, dengan hubungan yang
kuat dan konsisten dengan gizi buruk (Hagos et al. 2017).
8. Faktor Lingkungan
Berkaitan dengan lingkungan, kebiasaan makan mempengaruhi pembentukan
perilaku makan berupa lingkungan keluarga melalui promosi, media elektronik dan
media cetak. Lingkungan rumah dan lingkungan sekolah akan menentukan pola
makan mereka. Promosi iklan makanan juga akan menarik seseorang yang akan
mempengaruhi konsumsi makanan tersebut sehingga dapat mempengaruhi
kebiasaan makan seseorang (Atmarita dan Zahraini, 2018).
d. Prevalensi wasting (kurus dan sangat kurus) pada balita (persen)
Faktor langsung dan tidak langsung yang berhubungan dengan kejadian
wasting di Indonesia antara lain adalah kurangnya asupan energi, karbohidrat, dan
lemak, pola pemberian ASI yang tidak baik,infeksi yang dapat menurunkan nafsu makan
pada balita, kurangnya pendidikan ibu mengenai gizi dan pangan, pola asuh ibu yang
kurang baik, banyaknya jumlah balita dalam satu keluarga, ketahanan pangan yang
buruk dan penghasilan rumah tangga yang sedikit.
Faktoryang menyebabkan wasting telah dijelaskan oleh United Nations
International Children Emergency Fund(UNICEF) dan telah digunakan secara
internasional. Pertama, penyebab langsung adalah asupan makanan atau infeksi, atau
kombinasi keduanya. Kedua, faktor penyebab tidak langsung yaitu ketersediaan pangan
tingkat keluarga, pola asuh, dan pelayanan kesehatan serta lingkungan. Ketiga, masalah
utama yaitu kemiskinan, karakteristik keluarga, dan sosiodemografi. Keempat, masalah dasar,
yaitu krisis politik dan ekonomi.
Pemberian ASI eksklusif mempengaruhi status gizi anak. Penelitian yang
dilakukan Aguayo, Badgaiyan, dan Dzed di Nepal, menunjukkan bahwa terdapat
hubungan antara pemberian ASI eksklusif dengan kejadian wasting. Hasil yang berbeda
ditunjukkan pada penelitian yang dilakukan Menon, Apurva, Ali, Mohamed, dan Victor
di Uganda yang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara pemberian
ASI eksklusif dengan kejadian wasting.
Selain ASI eksklusifpekerjaan ibu juga dianggap berhubungan dengan
kejadian wasting, sebabibu yang tidak bekerja dinilai akanmempunyai waktu yang
banyak untuk mengasuh dan memperhatikan anaknya. Asupan gizi anaknya juga
diperhatikan. Namun, penelitian lain di Indonesia menyebutkan hal yang berbeda, yaitu
kejadian wasting tidak dipengaruhi oleh ibu yang bekerja. Riset lain menunjukkan bahwa
tingkat ekonomi keluarga anak yang mempunyai dampak signifikan pada pertumbuhan dan
perkembangan. Pada semua usia anak dari keluarga kelas atas dan menengah mempunyai
berat badan lebih dari keluarga strata ekonomi rendah.
Perilaku ibu dipengaruhioleh sikap dan pengetahuan. Pengetahuan yang baik
akan menciptakan sikap yang baik, yang selanjutnya apabila sikap tersebut dinilai
sesuai, maka akan muncul perilaku yang baik pula. Pengetahuan sendiri didapatkan dari
informasi baik yang didapatkan dari pendidikan formal maupun dari media (non formal),
seperti radio, TV, internet, koran, majalah, dll.

Anda mungkin juga menyukai