Anda di halaman 1dari 33

MASALAH KESEHATAN BAYI DAN BALITA

Mata Kuliah : Dasar Kesehatan Reproduksi dan KIA


Dosen Pengampu : Mizna Sabilla, SKM, M.Kes

Disusun oleh :

ANNISA APRIANI SAFITRI (20201010170018)


HALIMATU SADIYAH (20201010170006)
HARLIANA MELATI SUCI (20201010170007)
LAILA HASANAH (20201010170016)
SETRIRATNA ARI MURTI (20201010170010)
SHENA AZELIA SIGIT (20201010170011)

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

2020
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan penulis kemudahan dalam
menyelesaikan makalah tepat waktu. Tanpa rahmat dan pertolongan-Nya, penulis tidak akan
mampu menyelesaikan makalah ini dengan baik. Tidak lupa shalawat serta salam tercurahkan
kepada Nabi Muhammad SAW yang syafa’atnya kita nantikan kelak.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya,
sehingga makalah “Masalah Kesehatan Bayi dan Balita” dapat diselesaikan. Makalah ini
disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Dasar Kesehatan Reproduksi dan KIA. Penulis
berharap makalah tentang Masalah Kesehatan Bayi dan Balita dapat menjadi referensi bagi
para pembaca agar bisa membantu untuk menurunkan angka masalah kesehatan pada bayi dan
balita khususnya di Indonesia.

Penulis menyadari makalah ini masih perlu banyak penyempurnaan karena masih
banyak kekurangan. Penulis terbuka terhadap kritik dan saran pembaca agar makalah ini dapat
lebih baik. Apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini, baik terkait penulisan maupun
konten, penulis memohon maaf.

Demikian yang dapat penulis sampaikan. Akhir kata, semoga makalah ini dapat
bermanfaat. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Tangerang, 23 November 2020

Penulis
PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Dalam menentukan derajat kesehatan, terdapat beberapa indikator yang dapat


digunakan antara lain angka kematian bayi, angka kesakitan bayi, status gizi, dan angka
harapan hidup saat lahir (WHO, 2016). Angka Kematian Bayi (AKB) menjadi indikator
pertama dalam menentukan derajat kesehatan anak, karena merupakan cerminan dari status
kesehatan anak saat ini. Sedangkan Angka Kesakitan Bayi menjadi indikator kedua dalam
menentukan derajat kesehatan anak, karena nilai kesakitan mencerminkan lemahnya daya
tahan tubuh bayi dan anak balita (WHO, 2002). Dalam catatannya, UNICEF menunjukkan
sekitar 2,6 juta bayi meninggal pada bulan pertama kehidupan mereka di seluruh negara
setiap tahun. Ada beberapa negara yang angka kematian bayinya lebih tinggi dibanding
negara lain. Masalah stunting merupakan salah satu permasalahan gizi yang dihadapi di
dunia, khususnya di negara-negara miskin dan berkembang (UNICEF, 2013). Status
kesehatan anak balita merupakan salah satu indikator kesehatan masyarakat utama di suatu
negara. Gizi balita menjadi salah satu masalah kesehatan yang berdampak pada kualitas
sumber daya manusia, menjadi indikator keberhasilan pembangunan bangsa dan bisa
berakibat pada kematian balita dan morbiditas.
Perhatian khusus pada Angka Kematian Bayi dan Balita (AKB/AKBa). Kematian bayi
menjadi salah satu masalah Kesehatan terbesar di dunia hingga saat ini. Sebagian besar,
kematian bayi dapat dicegah dengan intervensi berbasis bukti yang berkualitas tinggi
berupa sebua data. Angka kematian bayi (AKB) di Indonesia masih terbilang cukup tinggi
dibandingkan negara ASEAN lain dimana pada tahun 2012 sebesar 34 per 1000 kelahiran
hidup. Berdasarkan Millenium Development Goals/MDG’s 2000, diharapkan angka
kematian bayi menjadi 23 per 1000 kelahiran hidup serta Renstra Kemenkes sebesar 24 per
1000 kelahiran hidup.
Berdasarkan hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) kematian bayi
pada tahun 2017 sebesar 24 per 1000 kelahiran hidup dengan kematian neonatal 15 per
1000. Terjadi penurunan angka kematian bayi (AKB) pada tahun 2017 dibanding dengan
tahun 2012. AKB merupakan salah satu indikator kesehatan dalam Sustainable
Development Goal (SDGs) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) 2015-2019. Salah satu dampak yang diharapkan yaitu dituntaskannya kematian
bayi yang dapat dicegah ditargetkan pada tahun 2030.
Stunting menjadi permasalahan dunia karena berhubungan dengan meningkatnya risiko
terjadinya kesakitan dan kematian. Secara global, pada tahun 2010 terdapat 171 juta anak
stunting, di mana 167 juta terjadi di negara berkembang. Prevalensi stunting pada anak
menurun dari 39,7% pada tahun 1990 menjadi 26 % pada tahun 2010. Tren ini diperkirakan
akan mencapai 21,8 atau 142 juta pada tahun 2020 (Onis et al, 2012).
Prevalensi stunting di Indonesia masih tetap tinggi, dengan variasi yang sangat lebar
antar provinsi. WHO (2010) menyatakan bahwa stunting menjadi masalah kesehatan
masyarakat yang berat bila prevalensinya sebesar 30 – 39% dan menjadi masalah serius
bila prevalensinya ≥ 40% (WHO, 2010).
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan 2018
menunjukkan 17,7% bayi usia di bawah 5 tahun (balita) masih mengalami masalah gizi.
Angka tersebut terdiri atas balita yang mengalami gizi buruk sebesar 3,9% dan yang
menderita gizi kurang sebesar 13,8%.
Sementara dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2019,
bayi yang mengalami masalah gizi ditargetkan turun menjadi 17%. Adapun prevalensi
balita yang mengalami stunting (tinggi badan di bawah standar menurut usia) sebesar
30,8%, turun dibanding hasil Riskesdas 2013 sebesar 37,2%.
Sebagai informasi, dalam 1.000 hari pertama (sejak janin dalam kandungan hingga
berusia dua tahun) kehidupan bayi merupakan usia emas bagi tumbuh kembang anak.
Sayangnya anak-anak yang seharusnya menjadi harapan masa depan bangsa Indonesia
masih banyak yang mengalami masalah gizi (29,9%) di usia dini. Untuk, itu pemerintah
menganggarkan dana dalam APBN 2019 sebesar Rp 123,1 triliun guna meningkatkan akses
dan kualitas layanan kesehatan serta penguatan penanganan stunting.

2. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka masalah penelitian ini
adalah bagaimana mengatasi masalah gizi serta menurunkan angka kematian pada bayi dan
balita (AKB/AKBa) yang masih menjadi tantangan dalam perbaikan kesehatan masyarakat
di Indonesia.
3. TUJUAN
1. Tujuan umum
Tujuan umum dari penyusunan makalah ini yaitu untuk mengetahui dan
memahami mengenai masalah kesehatan bayi dan balita

2. Tujuan khusus
a. Untuk mengetahui faktor terjadinya stunting pada bayi dan balita.
b. Untuk mengetahui bagaimana mengatasi permasalahan gizi pada bayi dan
balita.
c. Untuk mengetahui bagaimana penanganan stunting pada bayi dan balita.
d. Untuk mengetahui upaya yang dilakukan untuk mengurangi angka
kesakitan dan kematian bayi dan balita.
e. Untuk mengetahui pelayanan kesehatan pada bayi dan balita
f. Untuk mengetahui strategi penurunan angka kejadian stunting pada bayi
dan balita di Indonesia.
g. Untuk mengetahui determinan kematian bayi dan balita.
h. Untuk mengetahui strategi penurunan angka kematian bayi dan balita
(AKB/AKBa) di Indonesia.
PEMBAHASAN

1. Angka Kematian Bayi dan Balita


1) Angka Kematian Bayi

Di Indonesia telah mengalami kemajuan yang signifikan dalam upaya penurunan


kematian bayi. Pada 1960, angka kematian bayi (AKB) di Indonesia sebesar 128 per
1000 kelahiran hidup. Pada tahun 1990-an, rata-rata terjadi penurunan lima persen per
tahun, hal tersebut sedikit lebih tinggi dari tahun 1980 sebesar 4% per tahun. Walau
pencapaian telah mengalami kemajuan, tingkat angka kematian bayi di Indonesia masih
tergolong tinggi dibandingkan dengan negara ASEAN lain, yaitu 4.6 kali lebih tinggi
dari Malaysia, 1.3 kali lebih tinggi dari Filipina dan 1.8 kali lebih tinggi dari Thailand.

Beberapa upaya memberikan dampak cukup besar terhadap penurunan AKB antara lain
dengan mengupayakan persalinan agar dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan di
fasilitas kesehatan serta menjamin tersedianya pelayanan kesehatan sesuai standar.

Faktor-faktor yang mempengaruhi angka kematian bayi sebagai berikut.

a. Usia bayi.
Usia bayi merupakan usia dimana anak memiliki risiko tinggi terjadi gangguan
kesehatan yang dapat berakibat fatal tanpa penanganan. Berbagai upaya
dilakukan untuk menangani masalah kesehatan ini, diantaranya menjamin
tenaga kesehatan menangani persalinan serta tersedianya pelayanan.

b. Pemeriksaan Antenatal Care (ANC).


Pemeriksaan ANC merupakan salah satu bentuk layanan kesehatan dengan
tujuan mengawasi pertumbuhan dan perkembangan janin dalam rahim untuk
mencegah kesakitan dan kematian.

c. Berat badan bayi.


Berat lahir cukup pada bayi yaitu dengan berat lahir < 2500gr. Bayi berat lahir
rendah (BBLR) yaitu bayi dengan berat lahir antara 1500-2500gr. Sedangkan
bayi berat lahir sangat rendah (BBLSR) yaitu bayi dengan berat lahir 1000 –
1500gr. Terakhir, bayi berat lahir amat sangat rendah (BBLASR) yaitu bayi
dengan berat badan lahir kurang dari 1000 gr.
d. Umur ibu.
Usia ideal wanita untuk menikah dan melahirkan adalah usia 25 – 35 tahun. Ibu
dengan usia ideal memiliki keterampilan yang lebih dalam mengurus bayi pada
saat bayi lahir dibandingkan dengan ibu diluar usia ideal.

e. Status pekerjaan ibu.


Status pekerjaan ibu dilihat dari kemungkinan keterpaparan khusus dan
besarnya resiko menurut sifat pekerjaan, lingkungan kerja, serta situasi
pekerjaan yang membuat stress.

f. Tempat tinggal.
Tempat tinggal dapat menunjukkan terjadinya perbandingan kejadian penyakit
dalam suatu daerah terutama pada perkotaan dan pedesaan. Terdapat perbedaan
kepadatan penduduk, frekuensi penyakit dan kematian daerah serta perbedaan
konsep lingkungan hidup.

g. Akses fasilitas kesehatan.


Fasilitas pelayanan kesehatan yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya
pelayanan kesehatan perorangan, baik promotif, preventif, kuratif maupun
rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah dan/atau
masyarakat.

2) Angka Kematian Balita

Di Indonesia telah dilakukan upaya untuk menurunkan angka kematian balita (AKBa).
Upaya tersebut menunjukkan perbaikan yang sangat baik antara tahun 1960 dan 1990.
Pada tahun 1960, AKBa sangat tinggi yaitu 216 per 1000 kelahiran hidup. Survei
Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) menunjukkan terjadinya penurunan
hingga mencapai 46 per 1000 kelahiran hidup pada periode 1998-2002. Pada tahun
1990-an, rata-rata penurunan AKBa sebesar 7% per tahun. Pada tahun 2000, Indonesia
telah mencapai target yang telah di tetapkan dalam World Summit for Children (WSC),
yaitu sebesar 65 per 1000 kelahiran hidup.
Terdapat beberapa sebab kematian pada bayi dan balita. Tiga penyebab utama kematian
bayi menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1995 berupa infeksi saluran
pernapasan akut (ISPA), komplikasi perinatal, dan diare. Hampir 75% kematian bayi
dan balita disebabkan oleh tiga penyebab tersebut. Penyebab lain dari kematian balita
seperti meningitis, encephalitis serta tifus.

2. Masalah Kesehatan Bayi dan Balita

Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang
kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian makanan yang tidak sesuai dengan
kebutuhan gizi. Stunting terjadi mulai janin masih dalam kandungan dan baru nampak saat
anak berusia dua tahun. Kekurangan gizi pada usia dini meningkatkan angka kematian bayi
dan anak, menyebabkan penderitanya mudah sakit dan memiliki postur tubuh tak maksimal
saat dewasa. Kemampuan kognitif para penderita juga berkurang, sehingga mengakibatkan
kerugian ekonomi jangka panjang bagi Indonesia. Indonesia menduduki peringkat ke lima
dunia untuk jumlah anak dengan kondisi stunting. Lebih dari sepertiga anak berusia di bawah
lima tahun di Indonesia tingginya berada di bawah rata-rata. (MCAI, 2015).

Intervensi gizi saja belum cukup untuk mengatasi masalah stunting. Faktor sanitasi dan
kebersihan lingkungan berpengaruh pula untuk kesehatan ibu hamil dan tumbuh kembang
anak, karena anak usia di bawah dua tahun rentan terhadap berbagai infeksi dan penyakit.
Paparan terus menerus terhadap kotoran manusia dan binatang dapat menyebabkan infeksi
bakteri kronis. Infeksi tersebut, disebabkan oleh praktik sanitasi dan kebersihan yang kurang
baik, membuat gizi sulit diserap oleh tubuh. Rendahnya sanitasi dan kebersihan lingkungan
pun memicu gangguan saluran pencernaan, yang membuat energi untuk pertumbuhan
teralihkan kepada perlawanan tubuh menghadapi infeksi. (Schmidt, Charles W., 2014). Sebuah
riset lain menemukan bahwa semakin sering seorang anak menderita diare, maka semakin besar
pula ancaman stunting untuknya (Cairncross, Sandy, 2013). Selain itu, saat anak sakit,
lazimnya selera makan mereka pun berkurang, sehingga asupan gizi makin rendah. Maka,
pertumbuhan sel otak yang seharusnya sangat pesat dalam dua tahun pertama seorang anak
menjadi terhambat. Dampaknya, anak tersebut terancam menderita stunting, yang
mengakibatkan pertumbuhan mental dan fisiknya terganggu, sehingga potensinya tak dapat
berkembang dengan maksimal.
Penelitian lain menunjukkan potensi stunting berkurang jika ada intervensi yang
terfokus pada perubahan perilaku dalam sanitasi dan kebersihan. Intervensi sanitasi dan
kebersihan dengan jangkauan 99% dilaporkan berdampak pada berkurangnya diare sebesar
30%, yang kemudian menurunkan prevalensi stunting sebesar 2,4%. Untuk memotong rantai
buruknya sanitasi dan kebersihan serta kaitannya dengan stunting, ibu hamil dan anak perlu
hidup dalam lingkungan yang bersih. Dua cara utama adalah dengan tidak buang air besar
sembarangan, serta mencuci tangan dengan sabun (MCAI, 2015).

Masalah gizi kurang dan gizi lebih pada balita masih menjadi tantangan dalam
perbaikan kesehatan masyarakat di Indonesia. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) 2013 telah dikembangkan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM)
yang dapat menjadi arah dalam menentukan prioritas pembangunan di bidang
kesehatan. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui peran dari IPKM dan komponen-
komponen penyusunnya dengan masalah gizi balita (gizi buruk-kurang, pendek dan gemuk) di
Indonesia. IPKM 2013 terdiri dari 7 indeks, yaitu kesehatan balita, kesehatan reproduksi,
pelayanan kesehatan, perilaku kesehatan, penyakit tidak menular, penyakit menular, serta
kesehatan lingkungan. Analisis one way anova dilakukan untuk menganalisis perbedaan rerata
antara prevalensi kurang gizi berdasarkan kategori nilai IPKM, sedangkan pada analisis
kegemukan dengan kategori nilai IPKM dilakukan analisis Kruskal-Wallis. Analisis hubungan
antara prevalensi gizi kurang dan gizi lebih dengan IPKM dilakukan dengan menggunakan
analisis regresi linear. Analisis rerata prevalensi kurang gizi menurut kelompok IPKM
menunjukkan kecenderungan semakin tinggi IPKM suatu daerah semakin rendah prevalensi
kurang gizi pada balita. Analisis regresi linear menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
siknifikan antara indeks-indeks dalam IPKM dengan prevalensi gizi kurang, dimana indeks
kesehatan reproduksi memberikan kontribusi yang paling besar terhadap penurunan prevalensi
gizi kurang balita. Sementara analisis prevalensi kegemukan menurut kelompok IPKM
menunjukkan tidak adanya perbedaan prevalensi kegemukan dengan kelompok IPKM.
Analisis regresi linear juga menunjukkan hubungan yang lemah antara indeks-indeks IPKM
dengan prevalensi kegemukan pada balita.

Dampak jangka panjang stunting pada individu dan masyarakat berupa berkurang
kognitif dan perkembangan fisik, mengurangi produktif kapasitas dan kesehatan yang buruk,
dan risiko peningkatan penyakit degeneratif seperti diabetes mellitus. Stunting yang terjadi
sebelum usia 2 tahun berdampak pada rendahnya kognitif dan prestasi belajar pada usia anak
sekolah dan remaja. Jika permasalahan stunting tidak di intervensi, pada tahun 2025 diestimasi
125 juta balita mengalami stunting (WHO, 2014). Beberapa studi menunjukkan dampak akibat
stunting adalah penurunan prestasi akademik (Picauly & Toy, 2013), meningkatkan risiko
obesitas (Hoffman et al, 2000; Timaeus, 2012) lebih rentan terhadap penyakit tidak menular
dan peningkatan risiko penyakit degeneratif (Picauly & Toy, 2013). Besarnya prevalensi
stunting merupakan indikator kemiskinan. Oleh karena itu prevalensi stunting suatu daerah
merupakan prediktor buruknya kualitas sumber daya manusia yang selanjutnya akan
berpengaruh pada pengembangan potensi bangsa (UNICEF, 2013).
Hasil penelitian di berbagai negara menemukan bahwa faktor risiko stunting bersifat
multifaktor, diantaranya panjang badan lahir pendek, status ekonomi keluarga rendah,
pendidikan ibu rendah dan tinggi badan orang tua pendek. Ibu dengan tinggi badan pendek
lebih berpeluang untuk melahirkan anak yang pendek pula. Penelitian di Mesir menunjukkan
bahwa anak yang lahir dari Ibu dengan tinggi badan kurang dari 150 cm lebih berisiko untuk
tumbuh stunting (Zottarelli, 2007). Penelitian di Semarang menunjukkan bahwa tinggi badan
Ibu dan ayah yang pendek merupakan faktor risiko stunting pada anak usia 12-36 bulan
(Candra, 2011). Penelitian di Brazil menunjukkan bahwa stunting disebabkan karena defisiensi
zat gizi dan infeksi (Guerrant et al., 2009). Sementara penelitian di masyarakat miskin Meksiko
menemukan faktor protektif stunting adalah faktor pengasuhan (Reyes et al., 2004). Anak-anak
yang dirawat secara eksklusif oleh ibu terbukti terhindar dari stunting. Anak pada keluarga
dengan tingkat ekonomi rendah lebih berisiko mengalami stunting karena kemampuan
pemenuhan gizi yang rendah, meningkatkan risiko terjadinya malnutrisi (Fernald, 2007).
Prevalensi stunting meningkat dengan rendahnya tingkat pendidikan orang tua.

Prevalensi stunting di Indonesia sangat menghawatirkan, dari 34 propinsi, 14 propinsi


diantaranya termasuk prevalensi stunting kategori berat, dan sebanyak 15 propinsi termasuk
kategori serius (Balitbangkes, 2013). Periode 0-24 bulan dan masa pertumbuhan usia balita
merupakan periode yang menentukan kualitas kehidupan sehingga disebut dengan periode
emas. Periode ini merupakan periode yang sensitif karena akibat yang ditimbulkan terhadap
bayi pada masa ini akan bersifat permanen dan tidak dapat dikoreksi. Untuk itu diperlukan
upaya pencegahan dan penanggulangan masalah stunting agar tidak terus berlanjut dalam
siklus kehidupan. Dibutuhkan rumusan kebijakan untuk pencegahan dan penanggulangan
masalah balita stunting.

Dalam mengatasi permasalahan gizi terdapat dua solusi yang dapat dilakukan, yaitu
dengan intervensi spesifik dan sensitif. Intervensi spesifik diarahkan untuk mengatasi
penyebab langsung dan tidak langsung masalah gizi, sedangkan intervensi sensitif diarahkan
untuk mengatasi akar masalahnya dan sifatnya jangka panjang. Intervensi sensitif salah satunya
meningkatkan pengetahuan dan kemampuan dari orang tua atau keluarga tentang hal-hal yang
berkaitan dengan gizi, serta kurangnya pengetahuan masyarakat dalam pengolahan bahan
makanan, misalnya ikan. Ikan di sekitar mereka banyak, tetapi tidak mereka konsumsi. Karena
kebanyakan dari mereka hanya bisa memasak ikan dengan digoreng dan dibakar saja, sehingga
anak-anak merasa lebih cepat bosan makan menu ikan. Kegiatan intervensi spesifik yang
dilakukan oleh Kementerian Kesehatan dalam penanggulangan masalah gizi antara lain:

1) Pemberian Tablet Tambah Darah untuk remaja putri, calon pengantin, ibu hamil
2) Promosi ASI Eksklusif
3) Promosi Makanan Pendamping-ASI
4) Promosi makanan berfortifikasi termasuk garam beryodium
5) Promosi dan kampanye Tablet Tambah Darah
6) Suplemen gizi mikro (Taburia)
7) Suplemen gizi makro (PMT)
8) Kelas Ibu Hamil
9) Promosi dan kampanye gizi seimbang dan perubahan perilaku
10) Pemberian obat cacing
11) Tata Laksana Gizi Kurang/ Buruk
12) Suplementasi vitamin A
13) Jaminan Kesehatan Nasional

Selain itu salah satu upaya promotif preventif dalam rangka menanggulangi berbagai
masalah gizi dan kesehatan tersebut, Kementerian Kesehatan telah mencanangkan Gerakan
Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS) dengan fokus pada 3 (tiga) kegiatan yaitu meningkatkan
aktifitas fisik, konsumsi sayur dan buah, dan deteksi dini penyakit.

Pemerintah telah berupaya melakukan advokasi tingkat tinggi yang berkelanjutan dan
kabar baiknya adalah bahwa saat ini gizi menjadi salah satu prioritas nasional. Pendekatan
multi-sektor juga terus dilakukan melalui program gizi sensitif yang dilaksanakan secara
simultan termasuk pembelajaran dari berbagai program sebelumnya yang sangat berhasil
seperti Posyandu, PKH, PNPM Generasi, Pamsimas. Langkah lainnya adalah mengupayakan
pembiayaan berbasis hasil, yaitu Dana Alokasi Khusus (DAK) berbasis kinerja di sektor
kesehatan dan pendidikan dengan menggunakan indikatorindikator gizi, mendorong penerapan
pembayaran kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), untuk memperbaiki layanan gizi, dan
mendorong Dana Desa untuk merevitalisasi program gizi masyarakat. Selain itu juga
melakukan advokasi untuk penguatan kepemimpinan dan kesadaran untuk mengatasi masalah
mal nutrisi, kapasitas untuk merencanakan, melaksanakan, dan memantau program gizi multi
sektor secara terpadu, serta penegakan Standar Pelayanan Minimum yang terkait dengan
layanan gizi dengan lebih baik. Namun penanggulangan stunting bukan hanya tanggung jawab
pemerintah, melainkan semua pihak, setiap keluarga Indonesia. Dalam jangka panjang,
stunting berdampak buruk tidak hanya terhadap tumbuh kembang anak tetapi juga terhadap
perkembangan emosi yang berakibat pada kerugian ekonomi; baik skala mikro semata dalam
keluarga maupun skala makro, dalam hal ini anggaran belanja kesehatan nasional. Karena itu
upaya percepatan perbaikan gizi membutuhkan komitmen kuat dari berbagai pihak, baik dari
pemerintah pusat dan pemerintah daerah, lembaga sosial kemasyarakatan dan keagamaan,
akademisi, organisasi profesi, media massa, dunia usaha/mitra pembangunan, dan masyarakat
secara keseluruhan. Diharapkan kerjasama ini berhasil mencapai satu tujuan utama yaitu
perbaikan generasi masa depan yang sehat dan produktif dan memiliki daya saing. Dimulai
dari pemenuhan gizi yang baik selama 1000 HPK anak hingga menjaga lingkungan agar tetap
bersih dan sehat.

Dalam penanganan stunting dikenal istilah 5 pilar, yakni:

1) Pilar 1: Komitmen dan Visi Pemimpin Tertinggi Negara


2) Pilar 2: Kampanye Nasional Berfokus pada pemahaman, perubahan perilaku,
komitmen politik, dan akuntabilitas
3) Pilar 3: Konvergensi, Koordinasi, dan Konsolidasi Program Nasional, Daerah, dan
Masyarakat
4) Pilar 4: Mendorong Kebijakan Nutritional Food Security
5) Pilar 5: Pemantauan dan Evaluasi

Lima pilar penanganan stunting tersebut dilakukan melalui intervensi spesifik oleh
sektor kesehatan dan intervensi sensitif oleh lintas sektor terkait dengan target yang akan
dicapai yakni Tumbuh Kembang Anak Yang Maksimal (dengan kemampuan emosional, sosial,
dan fisik siap untuk belajar, berinovasi, dan berkompetisi).

Untuk itu, Upaya yang dilakukan untuk mengurangi angka kesakitan dan kematian anak
balita adalah dengan melakukan pemeliharaan kesehatan. Pemeliharaan kesehatan anak balita
dititik beratkan kepada upaya pencegahan peningkatan kesehatan, pengobatan dan rehabilitasi.
Upaya tersebut dapat berupa pelayanan kesehatan yang diberikan dengan baik kepada bayi dan
balita.

1) Pelayanan Kesehatan Pada Bayi


Pelayanan kesehatan bayi adalah pelayanan kesehatan sesuai standar yang diberikan
oleh tenaga kesehatan kepada bayi sedikitnya 4 kali, selama periode 29 hari sampai
dengan 11 bulan setelah lahir.
Pelaksana pelayanan kesehatan bayi :
1. Kunjungan bayi satu kali pada umur 29 hari – 2 bulan
2. Kunjungan bayi satu kali pada umur 3 – 5 bulan
3. Kunjungan bayi satu kali pada umur 6 – 8 bulan
4. Kunjungan bayi satu kali pada umur 9 – 11 bulan

Kunjungan bayi bertujuan untuk meningkatkan akses bayi terhadap pelayanan


kesehatan dasar, mengetahui sedini mungkin bila terdapat kelainan pada bayi sehingga cepat
mendapat pertolongan, pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit melalui pemantauan
pertumbuhan, imunisasi, serta peningkatan kualitas hidup bayi dengan stimulusi tumbuh
kembang. Dengan demikian hak anak mendapatkan pelayanan kesehatan terpenuhi. Pelayanan
kesehatan tersebut meliputi :

1. Pemberian imunisasi dasar lengkap (BCG, Polio 1, 2,3, 4, DPT/HB 1, 2, 3,


Campak) sebelum bayi berusia 1 tahun
2. Stimulasi deteksi intervensi dini tumbuh kembang bayi (SDIDDTK)
3. Pemberian vitamin A 100.000 IU (6 – 11 bulan)
4. Konseling ASI ekskulusif, pemberian makanan pendamping ASI, tanda –tanda
sakit dan perawatan kesehatan bayi di rumah menggunakan Buku KIA
5. Penanaganan dan rujukan kasus bila di perlukan

Tenaga kesehatan yang dapat memberikan pelayanan kesehatan bayi adalah dokter
spesialis anak, dokter, bidan dan perawat.

2) Jenis Pelayanan Kesehatan Pada Bayi Baru Lahir


Pelaksanaan asuhan bayi baru lahir mengacu pada pedoman Asuhan Persalinan
Normal yang tersedia di puskesmas, pemberi layanan asuhan bayi baru lahir dapat
dilaksanakan oleh dokter, bidan atau perawat. Pelaksanaan asuhan bayi baru lahir
dilaksanakan dalam ruangan yang sama dengan ibunya atau rawat gabung (ibu dan bayi
dirawat dalam satu kamar, bayi berada dalam jangkauan ibu selama 24 jam). Asuhan
bayi baru lahir meliputi:
1. Pencegahan infeksi (PI)
2. Penilaian awal untuk memutuskan resusitasi pada bayi
3. Pemotongan dan perawatan tali pusat
4. Inisiasi Menyusu Dini (IMD)
5. Pencegahan kehilangan panas melalui tunda mandi selama 6 jam, kontak
kulit bayi dan ibu serta menyelimuti kepala dan tubuh bayi.
6. Pencegahan perdarahan melalui penyuntikan vitamin K1 dosis tunggal di
paha kiri
7. Pemberian imunisasi Hepatitis B (HB 0) dosis tunggal di paha kanan
8. Pencegahan infeksi mata melalui pemberian salep mata antibiotika dosis
tunggal
9. Pemeriksaan bayi baru lahir
10. Pemberian ASI eksklusif

Pelayanan kesehatan diberikan oleh dokter/bidan/perawat, dapat dilaksanakan di


puskesmas atau melalui kunjungan rumah. Pelayanan yang diberikan mengacu pada pedoman
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) pada algoritma bayi muda (Manajemen Terpadu
Bayi Muda/MTBM) termasuk ASI ekslusif, pencegahan infeksi berupa perawatan mata,
perawatan tali pusat, penyuntikan vitamin K1 dan imunisasi HB-0 diberikan pada saat
kunjungan rumah sampai bayi berumur 7 hari (bila tidak diberikan pada saat lahir).

Lima tahun pertama kehidupan, pertumbuhan mental dan intelektual berkembang


pesat. Masa ini merupakan masa keemasan atau golden period dimana terbentuk dasar-dasar
kemampuan keindraan, berfikir, berbicara serta pertumbuhan mental intelektual yang intensif
dan awal pertumbuhan moral. Pada masa ini stimulasi sangat penting untuk mengoptimalkan
fungsi-fungsi organ tubuh dan rangsangan pengembangan otak. Upaya deteksi dini gangguan
pertumbuhan dan perkembangan pada anak usia dini menjadi sangat penting agar dapat
dikoreksi sedini mungkin dan atau mencegah gangguan ke arah yang lebih berat.

Bentuk pelaksanaan tumbuh kembang anak di lapangan dilakukan dengan mengacu


pada pedoman Stimulasi, Deteksi dan Intervensi Tumbuh Kembang Anak (SDIDTK) yang
dilaksanakan oleh tenaga kesehatan di puskesmas dan jajarannya seperti dokter, bidan perawat,
ahli gizi, penyuluh kesehatan masyarakat dan tenaga kesehatan lainnya yang peduli dengan
anak.
Kematian bayi dan balita merupakan salah satu parameter derajat kesejahteraan suatu
ngara. Sebagian besar penyebab kematian bayi dan balita dapat dicegah dengan teknologi
sederhana ditingkat pelayanan kesehatan dasar, salah satunya adalah dengan
menerapkan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS), ditingkat pelayanan kesehatan dasar.
Bank dunia, 1993 melaporkan bahwa MTBS merupakan intervensi yang cost effective untuk
mengatasi masalah kematian balita yang disebabkan oleh infeksi Pernapasan Akut (ISPA),
diare, campak, malaria, kurang gizi dan yang sering merupakan kombinasi dari keadaan
tersebut.

Sabagai upaya untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian balita, Departeman
Kesehatan RI bekerja sama dengan WHO telah mengembangkan paket pelatihan Manajemen
Terpadu Balita Sakit (MTBS) yang mulai dikembangkan di indonesia sejak tahun 1996 dan
implementasinya dimulai 1997 dan saat ini telah mencakup 33 provinsi.
Pelayanan kesehatan anak balita meliputi pelayanan pada anak balita sakit dan sehat.
Pelayanan yang diberikan oleh tenaga kesehatan sesuai standar yang meliputi :
1. Pelayanan pemantauan pertumbuhan minimal 8 kali setahun yang tercatat dalam Buku
KIA/KMS. Pemantauan pertumbuhan adalah pengukuran berat badan anak balita setiap
bulan yang tercatat pada Buku KIA/KMS. Bila berat badan tidak naik dalam 2 bulan
berturut-turut atau berat badan anak balita dibawah garis merah dirujuk ke sarana
pelayanan kesehatan.
2. Stimulasi Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang (SDIDTK) minimal 2 kali
dalam setahun. Pelayanan SDIDTK meliputi pemantauan perkembangan motorik kasar,
motorik halus, bahasa, sosialisasi dan kemandirian minimal 2 kali setahun (setiap 6
bulan). Pelayanan SDIDTK diberikan di dalam gedung (sarana pelayanan kesehatan)
maupun di luar gedung.
3. Pemberian Vitamin A dosis tinggi (200.000 IU), 2 kali dalam setahun.
4. Kepemilikan dan pemantauan buku KIA oleh setiap anak balita
5. Pelayanan anak balita sakit sesuai standar dengan menggunakan pendekatan MTBS.
3) Jenis Pelayanan Kesehatan Pada Balita
Pelayanan kesehatan pada balita yang lain adalah:
1. Pemantauan pertumbuhan balita dengan KMS
KMS (Kartu Menuju Sehat) untuk balita adalah alat yang sederhana dan murah,
yang dapat digunakan untuk memantau kesehatan dan pertumbuhan anak. Oleh
karenanya KMS harus disimpan oleh ibu balita di rumah, dan harus selalu dibawa setiap
kali mengunjungi posyandu atau fasilitas pelayanan kesehatan, termasuk bidan dan
dokter. KMS-Balita menjadi alat yang sangat bermanfaat bagi ibu dan keluarga untuk
memantau tumbuh kembang anak, agar tidak terjadi kesalahan atau ketidak seimbangan
pemberian makan pada anak.
KMS juga dapat dipakai sebagai bahan penunjang bagi petugas kesehatan untuk
menentukan jenis tindakan yang tepat sesuai dengan kondisi kesehatan dan gizi anak
untuk mempertahankan, meningkatkan atau memulihkan kesehatan- nya. KMS berisi
catatan penting tentang pertumbuhan, perkembangan anak, imunisasi, penanggulangan
diare, pemberian kapsul vitamin A, kondisi kesehatan anak, pemberian ASI eksklusif
dan Makanan Pendamping ASI, pemberian makanan anak dan rujukan ke Puskesmas/
Rumah Sakit.
KMS juga berisi pesan-pesan penyuluhan kesehatan dan gizi bagi orang tua balita
tenta ng kesehatan anaknya (Depkes RI, 2000). Manfaat KMS adalah :
1. Sebagai media untuk mencatat dan memantau riwayat kesehatan balita secara
lengkap, meliputi : pertumbuhan, perkembangan, pelaksanaan imunisasi,
penanggulangan diare, pemberian kapsul vitamin A, kondisi kesehatan pemberian
ASI eksklusif, dan Makanan Pendamping ASI.
2. Sebagai media edukasi bagi orang tua balita tentang kesehatan anak
3. Sebagai sarana komunikasi yang dapat digunakan oleh petugas untuk menentukan
penyuluhan dan tindakan pelayanan kesehatan dan gizi.

2. Pemberian Kapsul Vitamin A


Vitamin A adalah salah satu zat gizi dari golongan vitamin yang sangat diperlukan
oleh tubuh yang berguna untuk kesehatan mata ( agar dapat melihat dengan baik ) dan
untuk kesehatan tubuh yaitu meningkatkan daya tahan tubuh, jaringan epitel, untuk
melawan penyakit misalnya campak, diare dan infeksi lain.
Upaya perbaikan gizi masyarakat dilakukan pada beberapa sasaran yang
diperkirakan banyak mengalami kekurangan terhadap Vitamin A, yang dilakukan
melalui pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi pada bayi dan balita yang diberikan
sebanyak 2 kali dalam satu tahun. (Depkes RI, 2007). Vitamin A terdiri dari 2 jenis :
1) Kapsul vitamin A biru ( 100.000 IU ) diberikan pada bayi yang berusia 6-11 bulan
satu kali dalam satu tahun.
2) Kapsul vitamin A merah (200.000 IU) diberikan kepada balita.
Kekurangan vitamin A disebut juga dengan xeroftalmia ( mata kering ).

Hal ini dapat terjadi karena serapan vitamin A pada mata mengalami pengurangan
sehingga terjadi kekeringan pada selaput lendir atau konjungtiva dan selaput bening (
kornea mata ). Pemberian vitamin A termasuk dalam program Bina Gizi yang
dilaksanakan oleh Departemen Kesehatan setiap 6 bulan yaitu bulan Februari dan
Agustus, anak-anak balita diberikan vitamin A secara gratis dengan target pemberian
80 % dari seluruh balita. Dengan demikian diharapkan balita akan terlindungi dari
kekurangan vitamin A terutama bagi balita dari keluarga menengah kebawah.
3. Pelayanan Posyandu
Posyandu merupakan salah satu bentuk Upaya Kesehatan Bersumberdaya
Masyarakat (UKBM) yang dikelola dan diselenggarakan dari, oleh, untuk dan bersama
masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan guna memberdayakan
masyarakat dan memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam memperoleh
pelayanan kesehatan dasar untuk mempercepat penurunan angka kematian ibu dan
bayi. Adapun jenis pelayanan yang diselenggarakan Posyandu untuk balita mencakup :
1) Penimbangan berat badan
2) Penentuan status pertumbuhan
3) Penyuluhan
4) Jika ada tenaga kesehatan Puskesmas dilakukan pemeriksaan kesehatan, imunisasi
dan deteksi dini tumbuh kembang, apabila ditemukan kelainan, segera ditunjuk ke
Puskesmas.
Menggerakkan secara besar-besaran Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) melalui
Pelayanan 5 Meja Posyandu yang ada di daerah daerah. Pemerintah juga akan
mengoptimalkan kampanye, baik timbang anak, masalah gizi, dan yang berkaitan
dengan kesehatan bayi. Pelayanan 5 Meja Posyandu terdiri dari meja pendaftaran, meja
penimbangan dan pengukuran tinggi/panjang badan, meja pencatatan hasil, meja
penyuluhan dan pelayanan gizi bagi Balita, ibu hamil, dan ibu menyusui, serta meja
pelayanan kesehatan (pemeriksaan kesehatan dan pemberian obat cacing).
4. Manajemen Terpadu Balita Sakit
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) atau Integrated Management of
Childhood Illness (IMCI) adalah suatu pendekatan yang terintegrasi/terpadu dalam
tatalaksana balita sakit dengan fokus kepada kesehatan anak usia 0-59 bulan (balita)
secara menyeluruh. MTBS bukan merupakan suatu program kesehatan tetapi suatu
pendekatan/cara menatalaksana balita sakit. Kegiatan MTBS merupakan upaya
pelayanan kesehatan yang ditujukan untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian
sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di unit rawat jalan kesehatan
dasar (Puskesmas dan jaringannya termasuk Pustu, Polindes, Poskesdes, dll).
Bila dilaksanakan dengan baik, pendekatan MTBS tergolong lengkap untuk
mengantisipasi penyakit-penyakit yang sering menyebabkan kematian bayi dan balita
di Indonesia. Dikatakan lengkap karena meliputi upaya preventif (pencegahan
penyakit), perbaikan gizi, upaya promotif (berupa konseling) dan upaya kuratif
(pengobatan) terhadap penyakit-penyakit dan masalah yang sering terjadi pada balita.
Badan Kesehatan Dunia WHO telah mengakui bahwa pendekatan MTBS sangat
cocok diterapkan negara-negara berkembang dalam upaya menurunkan angka
kematian, kesakitan dan kecacatan pada bayi dan balita. Kegiatan MTBS memliliki 3
komponen khas yang menguntungkan, yaitu:
1. Meningkatkan ketrampilan petugas kesehatan dalam tatalaksana kasus balita sakit
(selain dokter, petugas kesehatan non-dokter dapat pula memeriksa dan menangani
pasien asalkan sudah dilatih).
2. Memperbaiki sistem kesehatan (perwujudan terintegrasinya banyak program
kesehatan dalam 1 kali pemeriksaan MTBS).

Dalam pelaksanaannya, MTBS ini dibedakan dalam 2 kategori, yaitu :


1) Manajemen Terpadu Bayi Muda ( Usia 1 hari sampai 2 bulan )
Pengelolaan bayi sakit pada usia 1 hari sampai 2 bulan ini, meliputi penilaian tanda
dan gejala, penentuan klasifikasi dan tingkat kegawatan, penentuan tindakan dan
pengobatan, pemberian konseling, pemberian pelayanan dan tindak lanjut.Dalam
manajemen terpadu bayi muda ini, dilakukan pengelolaan terhadap penyakit-
penyakit yang lazim terjadi pada bayi muda, antara lain adanya kejang, gangguan
nafas, hipotermi, kemungkinan infeksi bakteri, ikterus, gangguan saluran cerna,
diare serta kemungkinan berat badan rendah dan masalah pemberian ASI.
2) Manajemen Terpadu Balita Sakit Umur 2 Bulan sampai 5 Tahun
Tahapan pelaksanaan manajemen terpadu balita sakit pada usia 2 bulan sampai 5
tahun ini sama seperti manajemen terpadu bayi muda, yaitu penilaian tanda dan
gejala, penentuan klasifikasi dan tingkat kegawatan, penentuan tindakan dan
pengobatan, pemberian konseling, pemberian pelayanan dan tindak lanjut. Dalam
MTBS usia 2 bulan sampai 5 tahun ini, dilaksanakan pengelolaan terhadap beberapa
penyakit pada anak usia 2 bulan sampai 5 tahun. Beberapa penyakit yang lazim
terjadi pada anak usia 2 bulan sampai 5 tahun, aantara lain adanya tanda bahaya
umum (tidak bias minum atau menetek, muntah, kejang, letargis, atau tidak sadar),
batuk dan sukar bernafas, diare, demam, masalah telinga, status gizi buruk (
malnutrisi dan anemia ).

Sebagai upaya untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian balita,


Departemen kesehatan RI bekerja sama dengan WHO telah mengembangkan paket
pelatihan Manajemen Terpadu Balita Sakit ( MTBS ) yang mulai dikembangkan di
Indonesia sejak tahun 1996 dan implementasinya dimulai tahun 1997 dan saat ini
telah mencakup 33 provinsi. Memperbaiki praktek keluarga dan masyarakat dalam
perawatan di rumah dan upaya pencarian pertolongan kasus balita sakit
(meningkatkan pemberdayaan masyarakat dalam pelayanan kesehatan).

5) Pelayanan Imunisasi
Imunisasi adalah upaya pencegahan penyakit infeksi dengan menyuntikkan vaksin
kepada anak sebelum anak terinfeksi. Anak yang diberi imunisasi akan terlindung
dari infeksi penyakit-penyakit: sebagai berikut: TBC, Difteri, Tetanus, Pertusis
(batuk rejan), Polio, Campak dan Hepatitis B. Dengan imunisasi, anak akan
terhindar dari penyakit-penyakit, terhindar dari cacat, misalnya lumpuh karena
Polio, bahkan dapat terhindar dari kematian.
Imunisasi bermanfaat untuk memberikan kekebalan pada bayi dan anak sehingga
tidak mudah tertular penyakit:TBC, tetanus, difteri, pertusis (batuk rejan), polio,
campak dan hepatitis.
Imunisasi dapat diperoleh di Posyandu, Puskesmas, Puskesmas Pembantu,
Puskesmas Keliling, Praktek dokter atau bidan, dan di Rumah sakit. Vaksin yang di
gunakan adalah :
1) BCG Untuk mencegah penyakit tuberkulosis
2) Polio Untuk mencegah penyakit polio
3) DPT Untuk mencegah penyakit Difteri, Pertuis, dan Tetanus
4) Hepatitis B Untuk mencegah penyakit Hepatitis B
5) Campak Untuk mencegah penyakit Campak

3. Strategi Penurunan AKB dan AKBa


1) Program Pembangunan Nasional
Selama ini upaya penurunan angka kematian bayi dan balita merupakan salah
satu prioritas dalam pembangunan kesehatan. Dalam dokumen Propenas 2000–2004,
upaya-upaya ini termaktub dalam tiga program kesehatan nasional, yaitu Program
Lingkungan Sehat, Perilaku Sehat dan Pemberdayaan Masyarakat, Program Upaya
Kesehatan, serta Program Perbaikan Gizi Masyarakat.

2) Strategi dan usaha


Untuk mendukung upaya penurunan kematian bayi dan balita antara lain adalah
meningkatkan kebersihan (hygiene) dan sanitasi di tingkat individu, keluarga, dan
masyarakat melalui penyediaan air bersih, meningkatkan perilaku hidup sehat, serta
kepedulian terhadap kelangsungan dan perkembangan dini anak; pemberantasan
penyakit menular, meningkatkan cakupan imunisasi dan, meningkatkan pelayanan
kesehatan reproduksi termasuk pelayanan kontrasepsi dan ibu, menanggulangi gizi
buruk, kurang energi kronik dan anemi, serta promosi pemberian ASI ekslusif dan
pemantauan pertumbuhan.

3) Jaring Pengaman Sosial


Bertambahnya penduduk miskin sebagai akibat krisis ekonomi yang terjadi
sejak 1998 telah membatasi akses dan kemudahan mendapatkan pelayanan kesehatan
ibu dan anak bagi golongan miskin. Selain program-program rutin pelayanan kesehatan
ibu dan anak, pemerintah telah meluncurkan program Jaring Pengaman Sosial (JPS)
bidang kesehatan, antara lain dengan pelayanan kesehatan dasar dan rujukan gratis bagi
ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas dan bayi untuk keluarga miskin, serta bantuan
pembangunan sarana kesehatan.
4) Peraturan perundangan
Dengan ditetapkannya UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
kesempatan anak Indonesia untuk hidup sehat, tumbuh, dan berkembang secara optimal
menjadi semakin terbuka. Dalam undang-undang itu dinyatakan bahwa setiap anak
berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan
fisik, mental spiritual, dan sosial.

5) Program Nasional bagi Anak Indonesia


Merujuk pada kebijakan umum pembangunan kesehatan nasional, upaya
penurunan angka kematian bayi dan balita merupakan bagian penting dalam Program
Nasional Bagi Anak Indonesia (PNBAI) yang antara lain dijabarkan dalam Visi Anak
Indonesia 2015 untuk menuju anak Indonesia yang sehat. Strategi nasional bagi upaya
penurunan kematian bayi dan balita adalah pemberdayaan keluarga, pemberdayan
masyarakat, meningkatkan kerja sama dan kordinasi lintas sektor, dan meningkatkan
jangkauan pelayanan kesehatan anak yang komprehensif dan berkualitas.

6) Pemerintah perlu meningkatkan anggaran program pembinaan pelayanan kesehatan ibu


dan reproduksi dan program pembinaan pelayanan kesehatan anak sebesar 6% dari total
anggaran sektor kesehatan dalam APBN 2014
Saat ini dalam kebijakan anggaran kesehatan, program pembinaan pelayanan
kesehatan ibu dan reproduksi dan program pembinaan pelayanan kesehatan anak hanya
mendapatkan anggaran sebesar Rp. 248 milyar atau sekitar 0,54 % dari total anggaran
sektor kesehatan dalam APBN 2014. Angka ini sangat kecil bila dibandingkan dengan
permasalahan yang dihadapi saat ini dengan melonjaknya AKI dan rendahnya
penurunan AKB dan AKABA. Pemerintah perlu mengalokasikan anggaran 6 % dari
total anggaran sektor kesehatan untuk intervensi program. Selama ini kebijakan
anggaran untuk KIA lebih mengatasi persoalan hilir yang bersifat kuratif seperti
ketersedian Pelayanan Obsetri Neonatal Emergensi Dasar (PONED) dan Pelayanan
Obsetri Neonatal Emergensi Komprehensif (PONEK). Tapi sedikit yang menyentuh
persoalan hulu (preventif) seperti pencegahan terhadap hami di usia remaja, perbaikan
gizi ibu hamil dan remaja serta program – program lain yang bersifat penyuluhan
tentang kesehatan ibu dan reproduksi.
7) Pemerintah pusat perlu mendorong setiap pemerintah daerah untuk membuat Rencana
Aksi Daerah (RAD) Penurunan AKI, AKB dan AKABA
RAD merupakan implementasi dari Rencana Aksi Nasional (RAN) Penurunan
AKI, AKB dan AKABA yang dibuat pemerintah pusat untuk mempercepat penurunan
AKI paska kenaikan AKI dalam SDKI 2012. RAD sangat penting dalam implementasi
RAN karena daerah merupakan ujung tombak terhadap penurunan AKI, AKB dan
AKABA. RAD harus bisa diimplementasikan dalam agenda pembangunan kesehatan
ibu dan anak di daerah. Agar lebih efektif maka setiap daerah perlu di dorong regulasi
bisa berupa Peraturan Daerah, Peraturan Gubernur, Peraturan Walikota atau Peraturan
Bupati yang penting ada payung hukumnya seperti yang dilakukan di Kabupaten
Pasuruan, Kabupaten Takalar dan Kabupaten Kupang. Pemerintah pusat dapat
melakukan supervisi kepada daerah baik berupa program asistensi atau transfer
anggaran ke daerah dalam rangka mempercepat penurunan AKI di Indonesia.

4. Konsep Budaya dan Gender Dengan Kesehatan Bayi


A. BUDAYA
a. Pengertian Budaya
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh
sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya
terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama, politik, adat
istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan dan karya seni. Alasan mengapa
orang mengalami kesulitan ketika berkomunikasi dengan orang dari budaya yang
berbeda, ya kembali lagi pada pengertian budaya, sesuatu hal yang rumit.

b. Budaya yang mempengaruhi gender


1) Budaya Patriarki yaitu suatu budaya dimana yang dominan dan memegang
kekuasaan dalam keluarga berada di pihak ayah.
2) Budaya gender dan perilaku seksual

Pada budaya gender terjadi ekstramarital seks yang hal ini menimbulkan perilaku
seksual yang pada akhirnya berhubungan dengan transmisi dari penyakit seksual
seperti gonorhoe, syphilis, herpes genitalia, AIDS, kanker servik, hepatitis B, dll.
c. Contoh Budaya yang Berpengaruh Terhadap Gender
Kondisi yang diciptakan atau yang direkayasa oleh norma ( adat-istiadat ) yang
membedakan peran dan fungsi laki-laki dan perempuan yang berkaitan dengan
kemampuan.Adapun beberapa contoh budaya yang berpengaruh pada gender
misalnya :
1) Masyarakat di Indonesia khususnya di jawa menganut budaya
patriaki,dimana seorang kepala keluarga adalah laki-laki sehingga laki-laki
di cap sebagai orang yang berkuasa di keluarga.Budaya patriaki bias
mengakibatkan angggapan bahwa kesehatan reproduksi adalah maslah
perempuan sehingga berdampak kurangnya partisipasi,kepedulian laki-laki
dalam kesehatan reproduksi.KB hanya dianggap masalah perempuan
sehingga sangat kecil akseptor KB laki-laki.
2) Di jawa ada pepatah bahwa perempuan di dalam rumah tangga sebagai
kasur,sumur,dapur.sehingga perempuan di dalam keluarga hanyalah
melayani suami,kedudukannya lebih rendah dari laki-laki.
3) Perlakuan orang tua kepada anaknya sejak bayi di bedakan antara laki-laki
dan perempuan dengan memberikan perlengkapan bayi warna biru untuk
laki-laki, perlengkapan bayi warna pink untuk perempuan .
4) Pengaruh pengasuhan ibu banyak mengurus hal yang berkaitan fiisik anak
sedangkan ayah cenderung pada interaksi yang bersifat permainan dan
diberi tanggung jawab untuk menjamin bahwa anak laki-laki dan anak
perempuan menyesuaikan dengan budaya yang ada. Ayah lebih banyak
terlihat dalam sosialisasi dengan anak laki-laki dari pada dengan anak
perempuan. Banyak orang tua membedakan permainan bagi anak laki-laki
dengan anak perempuan. Permainan anak laki-laki cenderung agresif. Pada
masa remaja orang tua lebih mengijinkan anak laki-laki mereka cenderung
lebih bebas dari pda anak perempuan dengan mengijinkan mereka pergi
jauh dari rumah.
B. GENDER
a. Pengertian
Kata gender dalam bahasa Indonesia dipinjam dari bahasa Inggris. Menurut
kamus, tidak secara jelas dibedakan pengertian seks dan gender. Echols dan
Shadily (dalam Sutinah, 2004) misalnya menyebutkan bahwa gender berarti jenis
kelamin. Gender adalah perbedaan yang tampak pada laki-laki dan perempuan
apabila dilihat dari nilai dan perilaku.

b. Kesetaraan Gender
Kesetaraan gender merupakan perlakuan yang setara antara perempuan dan laki-
laki dalam hukum dan kebijakan serta akses yang sama ke sumber daya
danpelayanan dalam keluarga, komunitas dan masyarakat luas.

c. Ketidaksetaraan Gender dalam Kesehatan


Status perempuan begitu rendah karena akibat ketidaksetaraan gender yang
dibiarkan terus berlangsung. Dengan potret buram yang sudah dijelaskan
sebelumnya, perhatian yang lebih besar mestinya diberikan kepada perempuan.
Bukan berarti laki-laki terlupakan. Tetapi perhatian terhadap perempuan menjadi
lebih utama sebab perempuan sedemikian tertinggalnya dan teramat lama
terabaikan nasibnya. Berikut ini beberapa contoh pengaruh ketidaksetaraan
gender terhadap kesehatan baik laki-laki maupun perempuan sejak lahir hingga
lanjut usia.

NO KETIDAKSETARAAN KETIDAKSETARAAN
GENDER (PEREMPUAN) GENDER (LAKI-LAKI)
1 Rata-rata perempuan di pedesaan Laki-laki bekerja 20% lebih
bekerja 20% lebih lama daripada pendek.
laki-laki.
2 Perempuan mempunyai akses Laki-laki menikmati akses sumber
yang terbatas terhadap daya ekonomi yang lebih besar.
sumberdaya ekonomi.
3 Perempuan tidak mempunyai Laki-laki mempunyai akses yang
akses yang setara terhadap lebih baik terhadap sumberdaya
sumberdaya pendidikan dan pendidikan dan pelatihan.
pelatihan.
4 Perempuan tidak mempunyai Laki-laki mempunyai akses yang
akses yang setara terhadap mudah terhadap kekuasaan dan
kekuasaan dan pengambilan pengambilan keputusan di semua
keputusan disemua lapisan lapisan masyarakat.
masyarakat.
5 Perempuan menderita dan Laki-laki tidak mengalami tingkat
mengalami kekerasan dalam kekerasan yang sama dengan
rumah tangga dengan kadar yang perempuan.
sangat tinggi.

d. Bentuk Diskriminasi Gender


1) Marginalisasi ( peminggiran)
Marginalisasi yang mengakibatkan kemiskinan, terjadi dalam masyarakat di
Negara berkembang seperti penggusuran dari kampong halamannya,
eksploitasi. Marginalisasi banyak terjadi dalam bidang ekonomi.

2) Subordinasi (penomorduaan)
Keyakinan salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama
dibanding jenis kelamin lainnya. Anggapan bahwa perempuan lemah, tidak
mampu memimpin, cengeng yang mengakibatkan perempuan jadi nomor dua
setelah laki-laki.

3) Stereotipe (citra buruk)


Pandangan buruk terhadap perempuan. Salah satu jenis stereotype yang
melahirkan ketidakadilan dan diskriminasi bersumber dari pandangan gender
karena menyangkut pelabelan atau penandaan terhadap salah satu jenis
kelamin tertentu.

4) Violence ( kekerasan )
Violence merupakan suatu serangan terhadap fisik maupun integritas mental
psikologi seseorang. Berbagai kekerasan terhadap perempuan sebagai akibat
dari perbedaan peran yang muncul dalam berbagai bentuk.

5) Beban kerja berlebihan.


Beban kerja yang dilakukan oleh jenis kelamin tertentu lebih banyak. Bagi
perempuan di rumah mempunyai beban kerja lebih lebih besar dari pada laki-
laki,90% pekerjaan domestik/rumah tangga dilakukan oleh perempuan belum
lagi jika dijumlahkan dengan bekerja diluar rumah.
C. Kaitannya Budaya dan Gender Dengan Kesehatan Bayi
Aspek budaya dan gender yang berkembang di masyarakat yang berhubungan
dengan kesehatan anak :
1) Jika rambut anak basah maka anak akan masuk angin.
Seorang Pakar Kesehatan Jims Scars mengatakan dari riset yang pernah
dilakukannya di Inggris dimana setengah kelompok anak dibiarkan berada dalam
ruangan hangat sedangkan sisanya berada di lorong dengan kondisi basah kuyup.
Setelah beberapa jam, kelompok yang berada di lorong tadi tidak mengalami flu.
"Kedinginan belum tentu mempengaruhi sistem kekebalan tubuh secara
langsung".

2) Anak perlu makan ketika kedinginan dan meminum banyak air ketika demam
Hal yang seharusnya dilakukan adalah menjaga keseimbangan komposisi cairan
tubuh . Jika seseorang banyak cairan maka akan mudah terserang penyakit
begitupun sebaliknya.Meskipun demikian anak tidak perlu mengonsumsi
minuman elektrolit bila tidak mengalami dehidrasi ataupun diare.

3) Anak akan kehilangan 75% panas melalui kepala


Mitos ini berkembang karena keharusan bahwa kepala bayi yang baru lahir
ditutupi ketika cuaca dingin ataupun panas. Hal tersebut dibenarkan karena
kepala bayi memiliki presentasi lebih besar daripada bagian tubuh yang lainnya.
Tetapi saat beranjak dewasa , keluarnya panas melalui kepala hanya10%, sisanya
keluar melalui kaki, lengan , dan tangan.

4) Makanan yang keluar dari mulut ibu yang terbaik bagi bayi
Suku Sasak di Lombok, para ibu nifas biasa memberikan nasi pakpak (nasi yang
telah dikunyah oleh ibunya terlebih dahulu ) kepada bayinya agar bayinya tumbuh
sehat dan kuat. Mereka percaya bahwa apa yang keluar dari mulut ibu merupakan
yang terbaik untuk bayi.

5) Asupan lain ketika ASI belum keluar


Masyarakat Kerinci di Sumatera Barat , pada usia 1 bulan bayi sudah diberi bubur
tepung, bubur nasi, pisang , dan lain-lain. Dan ada juga kebiasaan memberikan
roti,nasi yang sudah dilumatkan ataupun madu, dan teh manis kepada bayi baru
lahir sebelum ASI keluar.
6) Kolostrum dianggap sebagai susu yang sudah rusak
Masyarakat tradisional menganggap kolostrum sebagai susu yang sudah rusak
dan tak baik diberikan pada bayi karena warnanya yang kekuning-kuningan.
Selain itu, ada yang menganggap kolostrum dapat menyebabkan diare, muntah ,
dan masuk angin pada bayi.

7) Dukun sebagai penyembuh


Masyarakat pada beberapa daerah beranggapan bahwa bayi yang mengalami
kejang-kejang disebabkan karena kemasukan roh halus, dan dipercaya hanya
dukun yang dapat menyembuhkannya.

8) Timbulnya penyakit sebagai pertanda


Demam atau diare yang terjadi pada bayi dianggap pertanda bahwa bayi tersebut
akan bertambah kepandaiannya, seperti sudah bisa untuk berjalan.
Selain itu, kaitannya budaya dan gender dengan kesehatan bayi adalah:
1) Bayi laki laki diberi baju warna biru, kalau perempuan baju warna pink.
2) Bayi laki laki biasanya nanti kalu sudah besar akan di khitan, perempuan juga
ada yang di khitan, tapi budaya itu sekarang mulai surut.

Untuk stunting balita, dari 34 provinsi yang disurvei pada 2018, sebanyak 18 provinsi
berada di atas rata-rata nasional dengan range antara 17,7 persen (DKI Jakarta) sampai dengan
42,6 persen (NTT). Sementara, untuk baduta, range-nya dalam kisaran 15-an persen (DKI
Jakarta) sampai dengan 37-an persen (Aceh). Ini merefleksikan kesenjangan pembangunan
sektor kesehatan khususnya di dalam program penanggulangan stunting sendiri. Maka,
penurunan angka stunting pun dicapai dengan kecepatan yang berbeda-beda oleh masing-
masing provinsi. Pada kelompok provinsi yang angka stunting-nya di bawah rata-rata nasional,
Lampung, Papua Barat dan Sulawesi Tenggara mencatatkan penurunan yang cukup drastis.
Sementara itu, Maluku Utara, Sumatera Utara, Kalimantan Selatan, dan NTB juga mencatat
penurunan drastis, meski besaran angka stunting-nya masih di atas rata-rata nasional.
Kondisi stunting mencerminkan asupan gizi pada periode usia seorang anak. Dengan demikian,
persentase sebesar 30,8 persen stunting pada 2018 itu merupakan luaran dari kebijakan
kesehatan lima tahun terakhir sampai dengan sekarang.
Terdapat banyak faktor yang erat kaitannya dengan status gizi balita. Pemerintah tahu
itu. Tak heran jika Kementerian Kesehatan menyalurkan program PMT (Pemberian Makanan
Tambahan). Kemudian, kampanye 1000 Hari Pertama Kelahiran (HPK) pun diluncurkan.
Puskesmas juga diberikan pekerjaan untuk memantau pertumbuhan gizi anak balita. Tapi,
faktanya semua pekerjaan tersebut "hanya" mampu berkontribusi menurunkan stunting sebesar
7 persen saja dalam lima tahun terakhir. Padahal upaya tersebut telah menyedot APBN yang
tidak sedikit.
Salah satu aspek yang kurang diperhatikan adalah pada upaya untuk meningkatkan
kesetaraan gender. Karena seorang bayi/balita biasanya berada di tangan perempuan, yaitu
ibunya. Maka, stunting jelas sekali berhubungan sangat erat dengan kondisi seorang ibu,
terutama dalam masa kehamilan sampai dengan masa lima tahun pertama anaknya.Seorang ibu
yang sedang hamil tentunya butuh makanan dengan gizi yang cukup. Ibu tersebut juga butuh
diedukasi mengenai makanan apa yang penting untuk dikonsumsi. Ia pun harus memahami
bahwa ia harus rajin memeriksakan kesehatannya ke fasilitas kesehatan. Ibu hamil tersebut juga
harus memiliki waktu yang cukup untuk beristirahat, mendapatkan keseimbangan fisik dan
spiritual.
Lalu, jika ibu tersebut bersalin, maka ia harus mendapatkan layanan kesehatan yang
baik dan memenuhi standar kebersihan. Ia pun harus mengerti dan mampu melaksanakan
praktik memberikan ASI secara eksklusif kepada bayinya, serta memberikan makanan
tambahan yang bergizi sesuai dengan waktunya. Ditambah lagi si ibu harus rajin membawa
anaknya ke posyandu dan memantau pertumbuhan anaknya.
Semua aktivitas di atas adalah aktivitas yang harus dilaksanakan secara paripurna oleh
seorang ibu. Syaratnya, ibu tersebut harus memiliki kemampuan untuk melakukannya karena
ia bisa mengambil keputusan atas hal itu. Itulah konsep kesetaraan gender dalam
persoalan stunting ini. Sayangnya, yang terjadi pada ibu justru sering sebaliknya. Perempuan
sering tak mendapatkan makanan bergizi. Perempuan hamil malah sering makan seadanya
karena makanan yang terbaik di rumah tangga adalah untuk laki-laki. Di perdesaan, banyak ibu
hamil justru makan makanan terakhir yang masih ada, karena mereka menghormati laki-laki
sehingga harus dilayani terlebih dahulu.
Di banyak tempat di negeri ini, tak jarang kita melihat ibu hamil bekerja 24 jam sehari.
Mereka tak bisa beristirahat. Pekerjaan rumah menumpuk. Usia kehamilannya juga muda.
Sementara, suami masih bisa keluyuran dan bermain bersama dengan teman-temannya. Ibu
hamil bahkan sering tak punya waktu memeriksaan kesehatannya. Mereka tak memperoleh
uluran tangan pertolongan dari suaminya. Suami enggan membantu karena menganggap
urusan rumah tangga adalah urusannya perempuan. Maka, tak heran sekitar separuh (49%) dari
ibu hamil di Indonesia saat ini mengalami anemia, meningkat dari kondisi 2013 yang hanya
37%.
Seharusnya perempuan atau ibu hamil menjadi titik poin utama untuk mencegah
terjadinya stunting, tetapi pada kenyataannya tidak. Sejak dari masa kehamilan sekalipun, ibu-
ibu di Indonesia justru sudah mempersiapkan generasi stunting, kondisi ini diperberat ketika
ibu selesai melahirkan. Banyak ibu di perdesaan segera bekerja beberapa hari setelah
melahirkan, karena mitos yang banyak berkembang menyatakan jika ibu beristirahat terlalu
lama maka ia adalah pemalas. Maka ibu pun melewatkan masa-masa penting menjaga dan
memelihara bayinya, termasuk mengabaikan asupan ASI.
Di Indonesia, seiring dengan bertambahnya usia bayi, semakin sedikit ibu yang
memberikan ASI saja kepada bayinya itu dalam periode enam bulan pertama. Ibu yang sibuk
bekerja, suami yang tidak mendukung istri, pengaruh susu formula yang ironisnya justru
banyak diperkenalkan oleh tenaga kesehatan, menyebabkan kondisi kesehatan bayi pun tak
optimal. Kebutuhan intake zat gizi tak sesuai, maka tinggi badannya tak seimbang dengan
usianya.
Jadi, alih-alih berdampak, program penanggulangan stunting pada level keluarga
sebagaimana digaung-gaungkankan oleh pemerintah selama lima tahun ini seolah sia-sia.
Benar bahwa dalam lima tahun ini terjadi penurunan kemiskinan, yang sering diidentikkan
dengan perbaikan gizi. Benar dalam lima tahun terakhir Kemenkes telah bekerja keras
menaikkan kualitas layanan kesehatan untuk ibu hamil dan bersalin. Nyatanya, dampaknya
pada stunting sangat tidak memuaskan.
Kemiskinan memang menurun, tetapi balita stunting masih tetap tinggi. Salah satu
sebabnya itu tadi, karena meskipun jika pendapatan membaik, perempuan belum mampu
menjadi penerima manfaatnya akibat ketidaksetaraan gender dalam keluarga. Stunting dapat
dicegah, jika kesetaraan gender terwujud. Stunting dapat dicegah, jika perempuan memiliki
hak, kesempatan, dan otoritas untuk menjadi perempuan yang sehat, mandiri, dan mampu
melaksanakan kewajibannya sebagai ibu kepada anak yang dikandungnya, dan ibu yang
memberikan gizi terbaik kepada bayinya.
Selain itu, Malnutrisi anak masih menjadi permasalahan di Indonesia. Jumlah kasus
yang muncul relatif sama pada setiap tahun pada dua dekade terakhir. Kemiskinan merupakan
faktor utama yang berperan dalam masalah ini. Akan tetapi, berbagai faktor lainnya termasuk
masalah kesetaraan gender juga mempunyai peranan. Analisis pada studi ini menunjukkan
bahwa ketidaksetaraan gender dapat berpengaruh besar terhadap status gizi anak. Oleh sebab
itu, sebagai salah satu strategi dalam pemecahan masalah ini adalah terus meningkatkan
pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender dengan melakukan promosi yang
menjangkau unit keluarga. Dalam strategi tersebut termasuk peningkatan pendidikan
perempuan, peningkatan fasilitas kesehatan ibu dan anak, dan peningkatan akses terhadap
layanan kesehatan. Program-program promosi kesehatan harus berwawasan gender dan lebih
spesifik yang dapat menembus tabir kultural.
PENUTUP

1. KESIMPULAN

Disimpulkan mengenai AKB dan AKBa dimana dari data kematian bayi dan balita di
Indonesia telah terjadi penurunan angka kematian, akan tetapi belum memenuhi standar
angka kematian bayi yang ditentukan. Dengan menurunnya tingkat AKB dan AKBa dapat
tercermin dengan jelas kemajuan yang dicapai dalam pencegahan dan pemberantasan
berbagai penyakit penyebab kematian. Oleh karena itu, AKB dan AKBa merupakan tolak
ukur yang sensitif dari seluruh upaya intervensi yang dilakukan pemerintah khususnya di
bidang Kesehatan.

Stunting merupakan masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi
yang kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian makanan yang tidak sesuai dengan
kebutuhan gizi. Upaya untuk mengurangi angka kesakitan dan kematian anak balita adalah
dengan melakukan pemeliharaan kesehatan. Pemeliharaan kesehatan anak balita dititik
beratkan kepada upaya pencegahan peningkatan kesehatan, pengobatan dan rehabilitasi.
Upaya tersebut dapat berupa pelayanan kesehatan yang diberikan dengan baik kepada bayi
dan balita.

Faktor risiko yang berhubungan dengan stunting balita adalah berat lahir, paritas, jenis
kelamin, umur ibu saat melahirkan, tinggi badan ibu, kelengkapan imunisasi, pendidikan ibu,
tempat tinggal keluarga dan jumlah tablet Fe yang dikonsumsi ibu selama hamil. Faktor risiko
dominan yang berhubungan dengan stunting adalah berat BBLR dan ibu pendek. Upaya
intervensi stunting difokuskan pada perbaikan faktor risiko yang dapat dimodifikasi.

Terdapat dua pendekatan dalam upaya meningkatkan status gizi, yakni intervensi gizi
spesifik dan intervensi gizi sensitif. Intervensi gizi spesifik meliputi keluarga sadar gizi, IMD,
ASI eksklusif, PMT bumil, makanan pendamping ASI, PMT balita, taburia, tablet tambah
darah, PMT AS dan surveilans gizi. Sementara itu, intervensi gizi sensitif meliputi bantuan
raskin, peningkatan ketahanan pangan, perumahan sehat, air bersih dan sanitasi yang
memerlukan sinergi lintas sektor.
2. SARAN

1) Pemerintah perlu melakukan upaya perencanaan, pencegahan, promosi dan intervensi


khususnya dalam penanggulangan stunting, seperti pendampingan ibu hamil dengan
tinggi badan yang rendah dan kehamilan usia remaja sebagai kelompok risiko tinggi
dan pencegahan serta penatalaksaan pada bayi lahir dengan BBLR untuk mencegah
stunting.
2) Perhatian khusus pada ibu pendidikan rendah melalui peningkatan pengetahuan dengan
mengoptimalkan kelas ibu hamil, pemantauan kesehatan pada ibu hamil dengan paritas
grandemultipara.
3) Menjadikan perbaikan gizi sebagai arus utama pembangunan sumber daya manusia,
sosial budaya, dan perekonomian.
4) Peningkatan kapasitas dan kompetensi sumber daya manusia di semua sektor baik,
pemerintah maupun swasta.
5) Peningkatan intervensi berbasis bukti yang efektif pada berbagai tatanan yang ada di
masyarakat.
6) Peningkatan partisipasi masyarakat untuk penerapan norma-norma sosial yang
mendukung perilaku sadar gizi
7) Pemerintah pusat perlu mendorong setiap pemerintah daerah untuk rencana aksi daerah
(RAD) dalam penurunan AKB dan AKBa.
8) Meningkatkan sosialisasi secara berkala mengenai faktor penyebab kematian bayi dan
meningkatkan pelayanan kesehatan reproduksi termasuk pelayanan kontrasepsi dan
ibu, serta promosi pemberian ASI eksklusif.
9) Menerapkan Program Nasional bagi Anak Indonesia (PNBAI) guna menurunkan
kematian bayi dan balita dengan upaya pemberdayaan keluarga, pemberdayaan
masyarakat, meningkatkan kerja sama dan koordinasi lintas sektor serta meningkatkan
jangkauan pelayanan kesehatan anak yang komprehensif dan berkualitas.
DAFTAR PUSTAKA

1. Amiruddin, Ridwan, dan Hasmi (2014). Determinan Kesehatan Ibu dan Anak. Jakarta :
CV. Trans Info Media.
2. Hidayat, Aziz, (2008). Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan Kebidanan.
Jakarta : Penerbit Salemba Medika.
3. Noorbaya, Siti, dan Johan, H, (2019). Panduan Belajar Asuhan Neonatus, Bayi, Balita
dan Anak Prasekolah. Yogyakarta : Gosyen Publishing.
4. Primadi, Oscar, Didik Budjianto, dkk. (2019). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2018.
Jakarta : Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
5. Prahutama, Alan, dkk. (2017). Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Angka
Kematian Bayi di Jawa Tengah Menggunakan Regresi Generalized Poisson dan
Binomial Negatif. Jurnal Statistika, 5(1), 1 – 6.
6. Elisanti, Dwi, (2017). Pemetaan Status Gizi Balita di Indonesia. Indonesian Journal for
Health Services. 1(1), 37-42.
7. Medhyna, Vedjia, (2020). Analisis Jenis Persalinan dengan Kesehatan Bayi Baru Lahir.
Jurnal Human Care, 5(4), 1098-1103.
8. Kusumastuti, dan Dyah Puji Astuti, (2020). Peningkatan Pengetahuan Ibu Balita Tentang
Tumbuh Kembang Bayi dan Balita. J. Proceeding of the URECOL. 166-168.
9. Sari, Venta Yulia, dan Sri Hartati, (2019). Pelaksanaan Kegiatan Posyandu dalam
Meningkatkan Kesehatan Batita di Tanjung Batang, Kapas, Inderapura Barat. J. Ilmiah
Tumbuh Kembang Anak Usia Dini, 4(3), 1-8.
10. Rohana, Arum, Ayun Sriatmi, dan Rani Tiyas B., (2020). Pelaksanaan Pelayanan
Neonatal Berdasarkan Standar Pelayanan Minimal Kesehatan Bayi Baru Lahir di
Puskesmas Dukuhseti Kabupaten Pati. J. Kesehatan Masyarakat., 8(1), 97-106.
11. Anjani, Arum Dwi, (2018). Faktor-faktor yang Berhubungan Dengan Ibu yang
Membawa Balita Timbang ke Posyandu. J. Kebidanan, 4(2), 49-53.
12. Indriasih, Endang, dan Ratih A., (2011). Identifikasi Wilayah Dengan Permasalahan
Kesehatan Anak Balita di Provinsi Jawa Timur. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan. 30-
39, doi : 10.22435/bpsk.v14i1.
13. Tarigan, Ingan Ukur, Tin Afifah, dan Demsa S., (2017). Faktor-faktor yang Berhubungan
Dengan Pelayanan Bayi di Indonesia : Pendekatan Analisis Multilevel. J. Kesehatan
Reproduksi, 8(1), 103-118, doi : 10.22435/kespro.v8il.6879.103-118.
14. Utami, Nur Handayani, dan Rofingatul Mubasyiroh, (2019). Masalah Gizi Balita dan
Hubungannya Dengan Indeks Pembangunan Masyarakat. The Journal of Nutrition and
Food Research, 42(1), 1-10, doi : doi.org/10.22435/pgm.v42i1.2416.
15. Meisuri, Nidia Putri, dkk, (2018). Faktor Determinan yang Mempengaruhi Kejadian
Kematian Perinatal. J. Kedokteran, 7(3), 121-127.
16. Lengkong, Gledys Tirsa, dkk, (2020). Faktor-faktor yang Berhubungan Dengan
Kematian Bayi di Indonesia. J. Kesehatan Masyarakat, 9(4), 41-47.
17. Dasman, Hardisman, (2011). Peranan Pemberdayaan Perempuan dan Analisis Gender
pada Penentuan Kebijakan Pengentasan Malnutrisi Anak di Indonesia. National of Public
Health Journal, 6(1), 3-8, doi :10.21109/kesmas.v6i1.112.
18. Nurrizka, Rahmah Hida, dan Wiko S., (2013). Arah dan Strategi Kebijakan Penurunan
Angka Kematian Ibu (AKI), Angka Kematian Bayi (AKB), dan Angka Kematian Balita
(AKABA) di Indonesia. Prakarsa Working Papers, 1-19.
19. Sutarto, dkk, (2018). Stunting, Faktor Resiko dan Pencegahannya. J. Agromedicine
Unila, 5(1), 540-545.
20. Kementerian Kesehatan, (2019). Strategi Penurunan AKI dan Neonatal. Rakesnas 2019.
Diunduh dari https://kesmas.kemkes.go.id/portal/konten/~rilis-berita/021517-di-
rakesnas-2019_-dirjen-kesmas-paparkan-strategi-penurunan-aki-dan-neonatal
21. Mafticha, Elyana, dkk. Stimulasi Pertumbuhan dan Perkembangan Bayi-Balita. J.
Prosiding Seminar Nasional. Diunduh dari
https://scholar.google.co.id/citations?user=QDBrvoAAAAAJ&hl=en
22. Bappenas, (2020). Tujuan 4 : Menurunkan Angka Kematian Anak. Laporan
Perkembangan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia. Diunduh dari
https://www.bappenas.go.id/files/2113/6082/9893/indonesiamdgbigoal4__20081122001
221__518.pdf
23. Kementerian Kesehatan, (2018). Cegah Stunting itu Penting. Warta Kesmas edisi 02.
Diunduh dari
https://kesmas.kemkes.go.id/assets/upload/dir_519d41d8cd98f00/files/Warta-Kesmas-
Edisi-02-2018_1136.pdf

Anda mungkin juga menyukai