Anda di halaman 1dari 5

PROGRAM PERENCANAAN GIZI

PADA BALITA

Di susun Oleh:

1. Sa’adatun Annifah G0B020078


2. Rizky Maulida Aulia Putri G0B020079
3. Nila Zidnal Izzah G0B020081
4. Tasya Putri Tonika Imanda G0B020083
5. Aldi Fauzi Triana G0B020084

PROGRAM STUDI D3 GIZI

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG

TAHUN 2022
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang

Balita adalah masa anak mulai berjalan dan merupakan masa yang paling hebat
dalam tumbuh kembang, yaitu pada usia 1 sampai 5 tahun. Masa ini merupakan masa
yang penting terhadap perkembangan kepandaian dan pertumbuhan intelektual.
(Mitayani, 2010) Balita adalah anak yang berumur 0-59 bulan, pada masa ini ditandai
dengan proses pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat.
Balita adalah istilah umum bagi anak usia 1-3 tahun (batita) dan anak prasekolah
(3-5 tahun). Saat usia batita, anak masih tergantung penuh kepada orang tua untuk
melakukan kegiatan penting, seperti mandi, buang air dan makan. Perkembangan
berbicara dan berjalan sudah bertambah baik. Namun kemampuan lain masih terbatas.
(Sutomo, 2010).
ASI merupakan m akanan yang bergizi sehingga tidak memerlukan tambahan
kom posisi. Disam ping itu ASI m udah dicerna oleh bayi dan langsung terserap.
Diperkirakan 80% dari jumlah ibu yang m elahirkan ternyata mampum menghasilkan air
susu dalam jum lah yang cukup untuk keperluan bayinya secara penuh tanpa m akanan
tam bahan. Selama enam bulan pertama. Bahkan ibu yang gizinya kurang baikpun sering
dapat menghasilkan ASI cukup tanpa makanan tambahan selama tiga bulan pertama
(Depkes 1992).
ASI sebagai makanan yang terbaik bagi bayi tidak perlu diragukan lagi, namun
akhir-akhir ini sangat disayangkan banyak diantara ibu-ibu eyusui melupakan keuntungan
menyusui. Selama ini dengan membiarkan bayi terbiasa menyusu dari alat pengganti,
padahal hanya sedikit bayi yang sebenarnya menggunakan susu botol atau susu formula.
Kalau hal yang dem ikian terus berlangsung, tentunya hal ini merupakan ancaman yang
serius terhadap upaya pelestarian dari peningkatan penggunaan ASI.
Terjadinya kerawanan gizi pada bayi disebabkan karena selain makanan yang
kurang juga karena Air Susu I bu (ASI ) banyak diganti dengan susu botol dengan cara
dan jumlah yang tidak m em enuhi kebutuhan. Hal ini pertanda adanya perubahan sosial
dan budaya yang negatif dipandang dari segi gizi (1). Pertum buhan dan perkem bangan
bayi sebagian besar ditentukan oleh jumlah ASI yang diperoleh term asuk energi dan zat
gizi lainnya yang terkandung di dalam ASI tersebut. ASI tanpa bahan makanan lain dapat
mencukupi kebutuhan pertum buhan sam pai usia sekitar em pat bulan (5).
Setelah itu ASI hanya berfungsi sebagai sum ber protein vitam in dan m ineral
utama untuk bayi yang mendapat m akanan tam bahan yang tertum pu pada beras. Dalam
pembangunan bangsa, peningkatan kualitas manusia harus dimulai sedini mungkin yaitu
sejak dini yaitu sejak masih bayi, salah satu faktor yang memegang peranan penting
dalam peningkatan kualitas manusia adalah pemberian Air Susu Ibu (ASI ).
Pemberian ASI semaksimal mungkin merupakan kegiatan penting dalam
pemeliharaan anak dan persiapan generasi penerus di masa depan. Akhir-akhir ini sering
dibicarakan tentang peningkatan penggunaan ASI .

Dukungan politis dari pemerintah terhadap peningkatan penggunaan ASI termasik


ASI EKSLUSI F telah memadai, hal ini terbukti dengan telah dicanangkannya Gerakan
Nasional Peningkatan Penggunaan Air Susu I bu (GNPP-ASI ) oleh Bapak Presiden pada
hari I bu tanggal 22 Desember 1990 yang betemakan "Dengan Asi, kaum ibu
mempelopori peningkatan kualitas manusia Indonsia". Dalam pidatonya presiden
menyatakan juga bahwa ASI sebagai makanan tunggal harus diberikan sam pai bayi
berusia em pat bulan. Pem berian ASI tanpa pemberiaan makanan lain ini disebut dengan
menyusui secara ekslusif. Selanjutnya bayi perlu m endapatkan m akanan pendam ping
ASI kemudian pem berian ASI di teruskan sam pai anak berusia dua tahun.
Berdasarkan hasil Riskesdas, prevalensi stunting pada balita telah mengalami
penurunan dari 37,2% di tahun 2013 menjadi 30,8% pada tahun 2018. (Riskesdas, 2018)
Angka prevalensi stunting di Indonesia tahun 2020 diperkirakan turun menjadi 26,92%.
Penurunan angka stunting diprediksi sebesar 0,75% dibandingkan dengan tahun 2019
(27,67%). Ini menunjukkan kebijakan pemerintah dalam mendorong percepatan
penurunan stunting di Indonesia membuahkan hasil yang cukup baik, karena di tahun
sebelumnya, tahun 2018 angka prevalensi stunting masih sebesar 30,8%.
Angka ini masih jauh dari angka prevalensi yang ditargetkan dalam rpjmn 2020-
2024, yakni 14%. Sementara itu, berdasarkan Riskesdas 2018 prevalensi obesitas pada
Balita sebanyak 3,8% (Kemenkes,2022)
Riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2010 melaporkan prevalensi KEP di
Indonesia berdasarkan pengukuran berat badan terhadap usia sebesar 17,9% dengan
persentase kategori gizi kurang sebesar 13% dan kategori gizi buruk sebesar 4,9%.7
Prevalensi KEP di Provinsi Kalimantan Barat pada tahun 2010 berdasarkan laporan
nasional riset kesehatan dasar (Riskesdas) mencapai 29,1%. (Riskesdas, 2010)
Berdasarkan data Riskesdas tahun 2018, proporsi BBLR di Indonesia mencapai
6,2 %, dimana provinsi tertinggi angka kejadian BBLR adalah Sulawasi Tengah yaitu 8,9
% dan angka BBLR terendah terdapat di provinsi Jambi yaitu 2,6 % (Riskesdas, 2018).
Dari masalah-masalah gizi tersebut dapat kita simpulkan bahwa prevalensi
stunting pada balita di Indonesia terbilang cukup tinggi dibandingkan masalah gizi
lainnya.
B. Rumusan Masalah

C. Tujuan Masalah
- Tujuan Umum
- Tujuan Khusus
D. Manfaat
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
a. Balita
Balita adalah anak yang telah menginjak usia diatas satu tahun atau lebih dikenal
dengan pengertian bawah lima tahun (Sahar, 2015). Masa anak dibawah lima tahun
(anak balita, umur 12-59 bulan), pada masa ini, kecepatan pertumbuhan mulai
menurun dan terdapat kemajuan dalam perkembangan motorik (gerak kasar dan gerak
halus) serta fungsi sekresi (Marmi dan Rahardjo, 2015).

Pertumbuhan dasar pada masa balita akan mempengaruhi dan menentukan


perkembangan anak untuk selanjutnya. Setelah lahir khususnya pada saat 3 tahun
pertama kehidupan, pertumbuhan dan perkembangan sel otak anak masih
berlangsung, dan terjadi pertumbuhan serabut – serabut syaraf dan cabang –
cabangnya, hingga
terbentuk jaringan syaraf dan otak yang kompleks (Farida, 2019).

b. Faktor yang mempengaruhi perkembangan balita


Pertumbuhan (growth) merupakan suatu perubahan dalam bentuk ukuran besar,
jumlah, ukuran atau dimensi tingkat sel, organ maupun individu yang bisa diukur
dengan berat dan ukuran panjang (Maryni Manga, 2015). Pertumbuhan adalah
bertambahnya kemampuan dalam fungsi tubuh dan struktur yang lebih kompleks
dengan pola teratur dan dapat diramalkan sebagai hasil proses pematangan (Fida,
2012).Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan balita
adalah sebagai berikut :

a) Umur
Pada tahun pertama kehidupan pertumbuhan anak sangat berkembang sangat pesat
sampai dengan usia nya 60 bulan atau disebut juga dengan periode emas, sehingga
sangat perlu perhatian khusus kepada anak supaya tidak terjadi masalah gizi seperti
gizi
kurang, gizi buruk dan masalah gizi lainnya.

b) Jenis Kelamin
Pada umumnya, fungsi reproduksi anak laki – laki berkembang lebih lambat daripada
anak perempuan yang perkembangan fungsi refroduksinya lebih cepat. Akan tetapi,
setelah melewati masa pubertas pertumbuhan yang terjadi pada anak laki – laki akan
berkembang lebih cepat dari pada anak perempuan.
c) Genetik
Faktor genetik merupakan bawaan anak yang diturunkan dari orang tua yang akan
menjadi potensi anak dan menjadi cir khasnya. Kelainan genetik juga dapat
berpengaruh pada perkembangan anak, misalnya yaitu kerdil dan pendek.

d) Nutrisi
Nutrisi merupakan komponen penting dalam proses tumbuh dan kembang anak. Pada
masa awal pertumbuhan anak sangat membutuhkan berbagai nutrisi yang baik untuk
tubuh seperti protein, lemak, karbohidrat, mineral, vitamin, dan air.

e) Budaya Keluarga atau Masyarakat


Budaya keluarga atau masyarakat juga berpengaruh terhadap pertumbuhan dan
perkembangan anak karena dapat mempengaruhi orang tua dalam mempersiapkan
dan memahami kesehatan serta perilaku hidup sehat, seperti kepercayaan akan
larangan
mengonsumsi makanan tertentu padahal pada kenyataannya zat gizi pada makanan
tersebut sangat bermanfaat untuk kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai