Anda di halaman 1dari 17

PROPOSAL PENELITIAN

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA STUNTING PADA


BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SOASIO TAHUN 2022

JAUHARAH AZ ZAHRA
09402011016

PROGRAM STUDI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KHAIRUN
TERNATE
2022
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Dalam visi Indonesia 2025 di sebutkan bahwa arah yang ingin dicapai diantaranya
adalah yang pertama kemandirian artinya mampu mewujudkan kehidupan sejajar dan
sederajat dengan bangsa lain dengan mengandalkan pada kemampuan dan kekuatan
sendiri, kemudian yang kedua adalah maju yakni diukur dari kualitas Sumber Daya
Manuasia (SDM), tingkat kemakmuran dan kemantapan system dan kelembagaan politik
dan hukum, ketiga adil yaitu tidak ada pembatasan/diskriminasi dalam bentuk apapun,
baik antar individu, kelompok, gender dan wilayah serta keempat adalah makmur yaitu
terpenuhinya seluruh kebutuhan hidupnya sehingga dapat memberikan makna dan arti
penting bagi bangsa-bangsa lain. Salah satu target Sustainable Development Goals
(SDGs) adalah pada tahun 2030 menghilangkan segala bentuk kekurangan gizi termasuk
pada tahun 2025 mencapai target yang disepakati secara international untuk anak pendek
dan kurus di bawah usia lima tahun dan mememuhi kebutuhan gizi remaja, perempuan,
ibu hamil dan ibu menyusui serta manula, yang salah satu indikatornya adalah prevalensi
stunting (pendek dan sangat pendek) pada anak di bawah lima tahun/balita (Bappenas,
2020).
Stunting merupakan permasalahan yang dihadapi dunia saat ini, stunting menjadi
masalah yang menghambat pertumbuhan dan perkembangan manusia secara global. Data
dari WHO pada tahun 2019, 21,3 % atau sekitar 144 juta balita di dunia mengalami
stunting. Lebih dari setengah balita stunting di dunia berasal dari Asia (55%), sedangkan
lebih dari sepertiganya (41%) tinggal di Afrika. Dari 78,2 juta balita stunting di Asia,
proporsi terbanyak berasal dari Asia Selatan 55,9 juta dan proporsi paling sedikit di Asia
Tengah 0,8 juta (Kementrian Kesehatan, 2018) (Unicef & WHO, 2020).
World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa Indonesia termasuk ke
dalam negara ketiga dengan prevalensi tertinggi di regional Asia Tenggara/South-East
Asia Regional (SEAR) dengan rata-rata prevalensi balita stunting tahun 2005-2017
adalah 36,4% (Child stunting data visualizations dashboard, WHO, 2018). Laporan
United Nations Children’s Fund (UNICEF) 2020 mencatat bahwa prevalensi stunting di
Indonesia (27,7%) berada pada peringkat ke-5 di dunia. Angka stunting tersebut berada di
atas ambang yang ditetapkan WHO sebesar 20 % (Kemenkes, 2018).
Perkembangan Prevalensi Stunting di Indonesia tahun 2018 (30,8%) dan tahun
2019 (27,7%). Jika dilihat dari prevalensi di atas, jelas memperlihatkan trend yang
menurun sebesar 3,1% dari tahun 2018-2019. Tahun 2024 presiden Indonesia
menargetkan penurunan stunting di Indonesia dari 27,7 % pada tahun 2019 menjadi 14
%. Rata-rata target penurunan stunting pertahun periode 2020-2024 sebesar 2,5 %.
Persentase balita stunting di Indonesia masih tinggi dan merupakan masalah Kesehatan
yang harus ditanggulangi.
Berdasarkan hasil Riskesdas Provinsi Maluku Utara tahun 2018 prevalensi
stunting (pendek-sangat pendek) pada anak Umur 0-59 bulan sebesar 31,4% persentasi
balita pendek ini merupakan masalah kesehatan yang harus ditanggulangi. Penyebab
stunting disebabkan oleh banyak factor multi dimensi dan tidak hanya disebabkan oleh
faktor gizi buruk yang di alami oleh ibu hamil, faktor lain yang menjadi penyebab adalah
pengasuhan anak yang kurang bagus, masih terbatasnya layanan kesehatan, masih
kurangnya akses rumah tangga dan pengetahuan tentang makanan bergizi (Dinkes
Provinsi Maluku Utara).
Wilayah Puskesmas Soasio masih tergolong banyak pola asuh ibu yang kurang
baik diantaranya pola asuhan gizi, tentang gizi seimbang baik untuk ibu saat kehamilan
ataupun pada anak makanan yang tidak teratur, dan pola asuh lingkungan yang kurang
baik atau kurang di perhatikan membiarkan anak bermain diluar, tidak cuci tangan dan
lain sebagainya, oleh karena itu, stunting merupakan masalah kesehatan yang harus
ditanggulangi.

2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah dari penelitian ini adalah apa faktor-
faktor penyebab terjadinya stunting pada balita di wilayah kerja Puskesmas Soasio?
3. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor penyebab
terjadinya stunting anak balita di wilayah kerja Puskesmas Soasio.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui gambaran terjadinya stunting pada balita di wilayah kerja Puskesmas
Soasio tahun 2022.
2. Mengetahui hubungan antara faktor tingkat pengetahuan gizi ibu dengan kejadian
stunting pada balita di wilayah kerja Puskesmas Soasio tahun 2022.
3. Mengetahui hubungan antara faktor status pemberian ASI eksklusif dengan
kejadian stunting pada balita di wilayah kerja Puskesmas Soasio tahun 2022.

4. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat bagi penulis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan dalam mengetahui
faktor-faktor penyebab terjadinya stunting pada balita di wilayah kerja Puskesmas
Soasio tahun 2021-2022 sekaligus diharapkan dapat menjadi kajian untuk penelitian
selanjutnya.
2. Manfaat bagi Akademik
Sebagai referensi bagi mahasiswa Program Studi Dokter Fakultas Kedokteran
Universitas Khairun demi perkembangan ilmu dan bahan evaluasi bagi akademik
terhadap pemahaman mahasiswa dalam mendapatkan teori yang diberikan.
3. Manfaaf bagi Masyarakat
Bagi masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan
masukan dan informasi bagi masyarakat guna menjaga status gizi balita, khususnya
bagi keluarga balita sehingga dapat mencegah terjadinya stunting di lingkungan
keluarganya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Tinjauan Pustaka
1. Balita
a. Pengertian Balita
Balita adalah kelompok anak yang berada pada rentang usia 0-5 tahun
(Adriani dan Wirjatmadi, 2012). Menurut Prasetyawati (2011), masa balita
merupakan periode penting dalam proses tumbuh kembang manusia dikarenakan
tumbuh kembang berlangsung cepat. Perkembangan dan pertumbuhan di masa
balita menjadi faktor keberhasilan pertumbuhan dan perkembangan anak di masa
mendatang. Saat usia batita, anak masih tergantung penuh kepada orang tua untuk
melakukan kegiatan penting, seperti mandi, buang air dan makan. Perkembangan
berbicara dan berjalan sudah bertambah baik namun kemampuan lain masih
terbatas. Masa balita merupakan periode penting dalam proses tumbuh kembang
manusia. Perkembangan dan pertumbuhan di masa itu menjadi penentu
keberhasilan pertumbuhan dan perkembangan anak di periode selanjutnya. Masa
tumbuh kembang di usia ini merupakan masa yang berlangsu ng cepat dan tidak
akan pernah terulang, karena itu sering disebut golden age atau masa keemasan
(Uripi, 2004).

2. Status Gizi
a. Definisi Status Gizi
Status gizi balita merupakan hal penting yang harus diketahui oleh setiap
orang tua. Perlunya perhatian lebih terhadap tumbuh kembang anak di usia balita
didasarkan fakta bahwa kurang gizi pada masa emas atau sering kita sebut dengan
golden period, ini bersifat irreversibel (tidak dapat pulih), sedangkan kekurangan
gizi dapat mempengaruhi perkembangan otak anak (Sholikah, Rustiana and
Yuniastuti, 2017).
Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan
penggunaan zat gizi. Zat gizi sangat dibutuhkan oleh tubuh sebagai sumber
energi, pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan tubuh, serta pengatur proses
tubuh. Status antropometri gizi dapat dibagi menjadi beberapa indikator,
diantaranya adalah indikator Panjang badan atau tinggi badan menurut umur
(PB/U atau TB/U) sehingga dapat dibedakan menjadi 4 kategori yaitu sangat
pendek, pendek, normal dan tinggi (‘Auliya C, Woro KH, Budiono I’, 2015;
Nindyna Puspasari and Merryana Andriani, 2017).

b. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi Balita


Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap status gizi balita terbagi menjadi 2
meliputi faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor
yang ada dalam diri anak itu sendiri, yang meliputi status kesehatan, umur, jenis
kelamin, dan ukuran tubuh. Status kesehatan berkaitan dengan adanya hambatan
reaksi imunologis dan berhubungan dengan terjadinya prevalensi dan beratnya
penyakit infeksi, seperti kwashiorkor atau marasmus sering didapatkan pada taraf
yang sangat berat. Infeksi sendiri mengakibatkan penderita kehilangan bahan
makanan melalui muntah-muntah dan diare (Santosa, 2004). Faktor umur
merupakan faktor yang sangat menentukan banyaknya kebutuhan protein
terutama pada golongan balita yang masih dalam masa pertumbuhan. Terkait
dengan faktor jenis kelamin, jenis kelamin wanita lebih banyak kasusnya Faktor
eksternal yang dapat mempengaruhi status gizi yaitu 11 faktor yang datang atau
ada dari luar anak itu sendiri. Faktor ini meliputi pendidikan, pengetahuan, infeksi
dan pendapatan. (Radiansyah, 2007).
Berdasarkan Almatsier (2002) Faktor-faktor yang mempengaruhi Status
Gizi meliputi :
1. Program pemberian makanan tambahan merupakan program untuk menambah
nutrisi pada balita ini biasanua diperoleh saat mengikuti posyandu. Adapun
pemberin tambahan makanan tersebut berupa makanan pengganti ASI yang
biasa didapat dari puskesmas setempat.
2. Tingkat Pendapatan Keluarga di negara Indonesia yang jumlah pendapatan
penduduk sebagian rendah adalah golongan rendah dan menengah akan
berdampak pada pemenuhan bahan makanan terutama makanan yang bergizi.
3. Pemeliharaan kesehatan Perilaku sehubungan dengan peningkatan dan
pemeliharaan kesehatan (health promotion behaviour). Misalnya makan
makanan yang bergizi, olah raga dan sebagainya termasuk juga perilaku
pencegahan penyakit (health prevention behavior) yang merupakan respon
untuk melakukan pencegahan penyakit.
4. Pola Asuh Keluarga Pola asuh adalah pola pendidikan yang diberikan orang
tua kepada anak-anaknya. Setiap anak membutuhkan cinta, perhatian, kasih
sayang yang akan berdampak terhadap perkembangan fisik, mental dan
emosional.
5. Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam memilih model penilaian status gizi
Tujuan pengukuran sangat diperhatikan dalam memilih metode, seperti tujuan
ingin melihat fisik seseorang. Maka metode yang digunakan adalah
antropemetri. Supariasa (2002) menyebutkan bahwa faktor yang
mempengaruhi status gizi anak meliputi faktor pejamu, agens dan lingkungan.
Faktor pejamu meliputi fisiologi, metabolisme dna kebutuhan zat gizi. Faktor
agens meliputi zat gizi yaitu zat gizi makro seperti karbohidrat, protein dan
lemak, serta zat mikro seperti vitamin dan mineral. Faktor lingkungan
meliputi bahan makanan, pengolahan, penyimpanan, penghidangan dan
higienitas serta sanitasi makanan.

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap status gizi balita terbagi menjadi


(Supariasa, 2002) :
a. Faktor langsung
1. Keadaan infeksi, Scrimshaw, et.al (1989 dalam Supariasa, 2002)
menyatakan bahwa ada hubungan yang erat antara infeksi (bakteri,
virus dan parasit) dengan kejadian malnutrisi. Ditekankan bahwa
terjadi interaksi yang sinergis antara malnutrisi dengan penyakit
infeksi. Mekanisme patologisnya dapat bermacam-macam, baik secara
sendirisendiri maupun bersamaan, yaitu penurunan asupan zat gizi
akibat kurangnya nafsu makan, menurunnya absorbsi dan kebiasaan
mengurangi makan pada saat sakit, peningkatan kehilangan cairan/zat
gizi akibat penyakit diare, mual/muntah dan perdarahan terus menerus
serta meningkatnya kebutuhan baik dari peningkatan kebutuhan akibat
sakit dan parasit yang terdapat dalam tubuh.
2. Konsumsi makan, Pengukuran konsumsi makan sangat penting untuk
mengetahui kenyataan apa yang dimakan oleh masyarakat dan hal ini
dapat berguna untuk mengukur status gizi dan menemukan faktor diet
yang dapat menyebabkan malnutrisi.

b. Faktor tidak langsung


1. Pengaruh budaya, Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengaruh
budaya antara lain sikap terhadap makanan, penyebab penyakit,
kelahiran anak, dan produksi pangan. Dalam hal sikap terhadap
makanan, masih terdapat pantangan, tahayul, tabu dalam masyarakat
yang menyebabkan konsumsi makanan menjadi rendah. Konsumsi
makanan yang rendah juga disebabkan oleh adanya penyakit, terutama
penyakit infeksi saluran pencernaan. Jarak kelahiran anak yang terlalu
dekat dan jumlah anak yang terlalu banyak akan mempengaruhi
asupan gizi dalam keluarga. Konsumsi zat gizi keluarga yang rendah,
juga dipengaruhi oleh produksi pangan. Rendahnya produksi pangan
disebabkan karena para petani masih menggunakan teknologi yang
bersifat tradisional.
2. Faktor sosial ekonomi Faktor sposial ekonomi dibedakan berdasarkan :
a. Data sosial, meliputi keadaan penduduk di suatu masyarakat,
keadaan keluarga, pendidikan, perumahan, penyimpanan makanan,
air dan kakus
b. Data ekonomi, meliputi pekerjaan, pendapatan keluarga, kekayaan
yang terlihat seperti tanah, jumlah ternak, perahu, mesin jahit,
kendaraan dan sebagainya serta harga makanan yang tergantung
pada pasar dan variasi musin.
c. Produksi pangan, Data yang relevan untuk produksi pangan adalah
penyediaan makanan keluarga, sistem pertanian, tanah, peternakan
dan perikanan serta keuangan.
d. Pelayanan kesehatan dan pendidikan Pelayanan kesehatan,
meliputi ketercukupan jumlah pusat-pusat pelayanan kesehatan
yang terdiri dari kecukupan jumlah rumah sakit, jumlah tenaga
kesehatan, jumlah staf dan lainlain. Fasilitas pendidikan meliputi
jumlah anak sekolah, remaja dan organisasi karang tarunanya serta
media masa seperti radio, televisi dan lainlain.

3. Stunting
a. Definisi Stunting
Stunting (kerdil) adalah kondisi balita yang memiliki panjang atau tinggi badan
kurang atau tidak sesuai jika dibandingkan dengan umur. Kondisi ini diukur dengan
panjang atau tinggi badan yang lebih dari minus dua standar deviasi median standar
pertumbuhan anak dari WHO. Balita stunting pada masa yang akan datang tentu akan
mengalami kesulitan dalam mencapai perkembangan fisik dan kognitif yang optimal
(Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI, 2018).
Stunting menggambarkan status gizi kurang yang bersifat kronik, keadaan ini
dipresentasikan dengan nilai z-score tinggi badan menurut umur (TB/U) pada ambang
batas <-2 SD sampai dengan -3 SD (pendek atau stunting) dan <-3 (sangat pendek).
Masalah balita pendek (stunting) menggambarkan adanya masalah gizi kronis, yang
dipengaruhi dari kondisi ibu atau calon ibu, masa janin, masa bayi atau balita,
termasuk penyakit yang diderita selama masa balita. Seperti masalah gizi lainnya,
tidak hanya terkait masalah kesehatan namun juga dipengaruhi oleh berbagai kondisi
lain yang secara tidak langsung memengaruhi kesehatan (Larasati, Nindya and Arief,
2018; Nugraheni et al., 2020).
b. Indikator Stunting
Negara-negara berkembang dan salah satunya Indonesia memiliki beberapa
masalah gizi pada balita, di antaranya wasting, anemia, berat badan lahir rendah, dan
stunting. Stunting merupakan kondisi kronis yang menggambarkan terhambatnya
pertumbuhan karena malnutrisi jangka panjang. Stunting menurut WHO Child
Growth Standard didasarkan pada indeks panjang badan menurut umur (PB/U) atau
tinggi badan menurut umur (TB/U) dengan batas (z-score) <-2 SD
(WHO, 2010). Indikator TB/U menggambarkan status gizi yang sifatnya kronis,
artinya muncul sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama seperti
kemiskinan, perilaku pola asuh yang tidak tepat, seringmenderita penyakit secara
berulang karena higiene dan sanitasi yang kurang baik (DepKes RI, 2007).

c. Diagnosis dan Klasifikasi


Balita pendek (stunting) dapat diketahui bila seorang balita sudah diukur
panjang dan tinggi badannya, lalu dibandingkan dengan standar dan hasilnya
berada di bawah normal. Secara fisik balita akan lebih pendek dibandingkan balita
seumurnya (Kemenkes, RI 2016). Kependekan mengacu pada anak yang memiliki
indeks TB/U rendah. Pendek dapat mencerminkan baik variasi normal dalam
pertumbuhan ataupun defisit dalam pertumbuhan. Stunting adalah pertumbuhan
linear yang gagal mencapai potensi genetik sebagai hasil dari kesehatan atau
kondisi gizi yang suboptimal (Anisa, 2012). Berikut klasifikasi status gizi stunting
berdasarkan tinggi badan/panjang badan menurut umur ditunjukkan dalam tabel.
Tabel 1
Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Berdasarkan Indeks (PB/U)/(TB/U)
Indeks Kategori Status Gizi Ambang Batas (Z-Score)

Panjang Badan menurut Sangat Pendek <-3 SD


Umur (PB/U) atau
Pendek -3SD sampai dengan <-
Tinggi Badan menurut
2SD
Umur (TB/U)
Normal -2SD sampai dengan 2SD

Anak Umur 0-60 Bulan


Tinggi >2SD

Sumber: Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak (Kemenkes RI, 2011)

4. Pengetahuan Gizi Ibu


a. Pengertian Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang
melakukan pengindraan terhadap suatu obyek tertentu. Pengindraan terjadi
melalui pancaindra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman,
rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan
telinga (Notoatmodjo, 2014).
Pengetahuan adalah suatu hasil dari rasa keingintahuan melalui proses
sensoris, terutama pada mata dan telinga terhadap objek tertentu. Pengetahuan
merupakan domain yang penting dalam terbentuknya perilaku terbuka atau open
behavior (Donsu, 2017).
Pengetahuan gizi ibu meliputi pengetahuan tentang pemilihan bahan
makanan dan konsumsi sehari-hari dengan baik dan memberikan semua zat gizi
yang dibutuhkan untuk fungsi normal tubuh. Pemilihan dan konsumsi bahan
makanan berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Status gizi baik atau optimal
terjadi apabila tubuh memperoleh cukup zat gizi yang dibutuhkan tubuh. Status
gizi kurang tejadi apabila tubuh mengalami kekurangan satu atau lebih zat gizi
essential. Sedangkan status gizi lebih terjadi apabila tubuh memperoleh zat gizi
dalam jumlah yang berlebihan sehingga menimbulkan efek yang membahayakan
(Almatsier, 2011).
Pengetahuan gizi ibu yang kurang baik dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya faktor pendidikan, dan sikap kurang peduli atau ketidakingin tahuan
ibu tentang gizi, sehingga hal ini akan berdampak pada tumbuh kembang anak
balitanya yang akan mengalami gangguan pertumbuhan seperti halnya stunting
(Zainudin, 2014). Contohnya tentang pentingnya pemberian ASI ekslusif pada
bayi, yang berdasarkan penelitan masih banyak para ibu yang tidak memberikan
ASI ekslusif pada bayi dengan berbagai alasan, diantaranya ASI yang kurang,
bayi yang tidak ingin menyusui, dan karena sang ibu sibuk bekerja.

b. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan


Menurut Budiman dan Riyanto (2013) Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi pengetahuan seseorang, yaitu:
1. Pendidikan
Pendidikan adalah proses perubahan sikap dan perilaku seseorang atau
kelompok dan merupakan usaha mendewasakan manusia melalui upaya
pengajaran dan pelatihan.
2. Informasi / Media Massa
Informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan,
menyimpan, memanipulasi, mengumumkan, menganalisis dan menyebarkan
informasi dengan tujuan tertentu. nformasi diperoleh dari pendidikan formal
maupun nonformal dapat memberikan pengaruh jangka pendek sehingga
menghasilkan perubahan dan peningkatan pengetahuan. Semakin
berkembangnya teknologi menyediakan bermacam-macam media massa
sehingga dapat mempengaruhi pengetahuan masyarakat. Informasi
mempengaruhi pengetahuan seseorang jika sering mendapatkan informasi
tentang suatu pembelajaran maka akan menambah pengetahuan dan
wawasannya, sedangkan seseorang yang tidak sering menerima informasi
tidak akan menambah pengetahuan dan wawasannya.
3. Sosial, Budaya dan Ekonomi
Tradisi atau budaya seseorang yang dilakukan tanpa penalaran apakah
yang dilakukan baik atau buruk akan menambah pengetahuannya walaupun
tidak melakukan. Status ekonomi juga akan menentukan tersedianya fasilitas
yang dibutuhkan untuk kegiatan tertentu sehingga status ekonomi akan
mempengaruhi pengetahuan seseorang. Seseorang yang mempunyai sosial
budaya yang baik maka pengetahuannya akan baik tapi jika sosial budayanya
kurang baik makapengetahuannya akan kurang baik. Status ekonomi
seseorang mempengaruhi tingkat pengetahuan karena seseorang yang
memiliki status ekonomi dibawah rata-rata maka seseorang tersebut akan sulit
untuk memenuhi fasilitas yang diperlukan untuk meningkatkan pengetahuan
4. Lingkungan
Lingkungan mempengaruhi proses masuknya pengetahuan kedalam
individu karena adanya interaksi timbalbalik ataupun tidak yang akan
direspons sebagai pengetahuan oleh individu.Lingkungan yang baik akan
pengetahuan yang didapatkan akan baik tapi jika lingkungan kurang baik
makapengetahuan yang didapat juga akan kurang baik.
5. Pengalaman
Pengalaman dapat diperoleh dari pengalaman orang lain maupun diri
sendiri sehingga pengalaman yang sudah diperoleh dapat meningkatkan
pengetahuan seseorang.Pengalaman seseorang tentang suatu permasalahan
akan membuat orang tersebut mengetahui bagaimana cara menyelesaikan
permasalahan dari pengalaman sebelumnya yang telah dialami sehingga
pengalaman yang didapat bisa dijadikan sebagai pengetahuan apabila
medapatkan masalah yang sama.
6. Usia
Semakin bertambahnya usia makaakan semakin berkembang pula daya
tangkap dan pola pikirnya sehingga pengetahuan yang diperoleh juga akan
semakin membaik dan bertambah.
c. Cara Mengukur Pengetahuan
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket
yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau
responden (Notoadmodjo, 2014). Adapun Pertanyaan objektif khususnya
pertanyaan pilihan ganda lebih disukai dalam pengukuran pengetahuan karena
lebih mudah disesuaikan dengan pengetahuan yang akan diukur dan penilaiannya
akan lebih cepat. Nilai nol jika responden menjawab salah dan nilai satu jika
menjawab pertanyaan dengan benar. Karena penelitian yang digunakan adalah
deskriptif maka uji analisa data secara statistik dimana hasil pengolahan data
hanya berupa uji proporsi. Uji proporsi tersebut mengacu pada rumus:
P =𝐹/𝑁 𝑥 100
Keterangan:
P = Persentase
F = Jumlah pertanyaan yang benar
N = Jumlah semua pertanyaan
Selanjutnya, hasil dari pengukuran pengetahuan ini akan dibagi menjadi tiga
kategori yaitu baik, cukup, dan kurang. Kategori baik bila mampu menjawab
dengan benar > 75 % pertanyaan, cukup bila pertanyaan dijawab benar sebanyak
60-75%, kurang bila menjawab pertanyaan < 60 % (Arikunto, 2010).

5. ASI Ekslusif
a. Pengertian ASI Ekslusif
Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan cair pertama yang dihasilkan secara
alami oleh payudara Ibu. ASI mengandung berbagai zat gizi yang dibutuhkan
yang terformulasikan secara unik di dalam tubuh ibu untuk menjamin proses
pertumbuhan dan perkembangan bayi. Selain menyediakan nutrisi lengkap untuk
seorang anak, ASI juga memberikan perlindungan pada bayi atas infeksi dan sakit
penyakit bayi. ASI adalah suatu emulsi lemak dalam larutan protein, laktosa dan
garam – garam anorganik yang disekresi oleh kelenjar mamae ibu, yang berguna
sebagai makanan bagi bayinya. ASI dalam jumlah yang cukup merupakan
makanan terbaik bagi bayi dan dapat memenuhi kebutuhan bayi sampai dengan 6
bulan pertama. ASI merupakan makanan alamiah yang pertama dan utama bagi
bayi sehingga mencapai tumbuh kembang yang optimal (Wahyuningsih, 2018).
ASI eksklusif adalah pemberian air susu ibu saja, tanpa tambahan cairan
lainnya seperti susu formula, air putih, madu, air teh, maupun makanan lainnya
(Roesli, 2013). Menurut World Health Organization / WHO (2017) ASI eksklusif
adalah memberikan ASI saja tanpa memberikan makanan dan minuman lainnya
kepada bayi sampai berumur 6 bulan, kecuali obat dan vitamin.
World Health Organization (WHO) dan UNICEF (2002) merekomendasikan
untuk memulai dan mencapai ASI eksklusif yaitu dengan menyusui dalam
satu jam pertama setelah kelahiran melalui Inisiasi Menyusu Dini (IMD).
Menyusui secara eksklusif selama enam bulan, tanpa memberikan makanan
tambahan lainnya selain ASI. Menyusui kapanpun bayi memintanya atau sesuai
kebutuhan bayi (on demand). Tidak menggunakan botol susu maupun empeng.
Mengeluarkan ASI dengan memompa atau memerah dengan tangan, di saat tidak
bersama anak serta mengendalikan emosi dan pikiran agar tetap tenang. Seiring
dengan pengenalan makanan tambahan, bayi tetap diberikan ASI sebaiknya
sampai 2 tahun.
b. Manfaat ASI eksklusif
Menurut Kemenkes (2018) ASI eksklusif memberikan dua manfaat
sekaligus yaitu bagi bayi dan ibu. Manfaat ASI bagi bayi yaitu sebagai kekebalan
alami sehingga mampu mencegah bayi terserang penyakit. ASI juga
mengoptimalkan perkembangan otak dan fisik bayi. Manfaat ASI bagi Ibu antara
lain mencegah trauma, mempererat bounding dan mampu mencegah kanker
payudara.
Komposisi ASI yang tidak tergantikan dengan makanan lain khususnya pada
6 bulan pertama. Hal itu akibat kandungan colostrum, kandungan protein dalam
ASI ini dapat melindungi bayi dari infeksi. Penelitian manfaat ASI yang lainnya
adalah kandungan Human Alpha-Lactalbumin Made Lethal to Tumour Cells
(HAMLET). Kandungan ASI ini dapat mencegah penyakit kanker. Pada anak
yang mendapatkan ASI eksklusif resiko terkena leukemia mengalami penurunan
hingga 20% nya.
c. Kebijakan pemerintah terkait ASI eksklusif
Kebijakan pemerintah menjamin hak anak dalam mendapatkan ASI diatur
dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 tahun 2012 tentang
ASI eksklusif. Pasal 6 dalam peraturan tersebut menerangkan bahwa setiap ibu
yang melahirkan harus memberikan ASI eksklusif kepada bayi yang dilahirkan.
Hal tersebut menjadi tidak berlaku apabila terdapat indikasi medis sehingga tidak
memungkinkan pemberian ASI.
WHO dan UNICEF memberikan rekomendasi mendukung ASI eksklusif
sebagai berikut: melakukan inisiasi menyusui dini (IMD) pada satu jam pertama
setelah melahirkan, menyusui eksklusif dengan tidak memberikan makanan atau
minuman apapun termasuk air, menyusui sesuai dengan keinginan bayi (on
demand), menghindari penggunaan botol, dot dan empeng.

6. ASI Ekslusif dan Stunting


Menurut Veronika Scherbaum dalam Kemenkes RI (2019) menyatakan ASI
ternyata berpotensi mengurangi peluang stunting pada anak. Hal tersebut akibat
kandungan gizi mikro dan makro yang ada dalam ASI. Protein whey dan Kolostrum
yang terdapat pada ASI pun dinilai mampu meningkatkan sistem kekebalan tubuh
bayi yang rentan.
Hubungan ASI eksklusif dengan stunting sering ditemukan tidak konsisten.
Hadi et al. (2019) menunjukkan bahwa faktor risiko terjadinya stunting di Indonesia
adalah pendidikan ibu, pendapatan, rerata durasi menderita penyakit (khusunya diare
dan ISPA), berat badan lahir dan tingkat asupan energi. Dalam penelitiannya faktor
pemberian ASI ekslusif ditemukan tidak mempengaruhi kejadian stunting. Hasil
tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan di Kecamatan Busungbiu,
Buleleng-Bali, dimana tidak ditemukan hubungan antara pemberian ASI terhadap
kejadian stunting (Marheni, 2020).
Berbeda dengan penelitian diatas, diperoleh bahwa bayi yang tidak diberikan
ASI eksklusif 3,154 kali mengalami stunting dimasa mendatang (Wardah, 2020).
Hasil penelitian tersebut sejalan dengan penelitian Sampe et al. (2020) bahwa ada
hubungan yang bermakna antara menyusui eksklusif dengan kejadian stunting.
Kejadian stunting ditemukan lebih banyak pada balita dengan riwayat tidak diberikan
ASI eksklusif yaitu 91,7%. Hasil analitik statistik ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan Larasati et al. (2018) bahwa pada bayi yang tidak diberikan ASI eksklusif
berisiko 3, 23 kali lebih besar mengalami stunting di masa mendatang. Menurut
penelitian tentang riwayat ASI eksklusif dan kejadian stunting dengan menggunakan
uji Spearman rank diperoleh nilai r = 0,4 yang artinya kekuatan hubungan antara
riwayat pemberian ASI Eksklusif dengan kejadian stunting memiliki kekuatan sedang
(Saputri et.al, 2018).

2. Kerangka Teori

Anda mungkin juga menyukai