JAUHARAH AZ ZAHRA
09402011016
1. Latar Belakang
Dalam visi Indonesia 2025 di sebutkan bahwa arah yang ingin dicapai diantaranya
adalah yang pertama kemandirian artinya mampu mewujudkan kehidupan sejajar dan
sederajat dengan bangsa lain dengan mengandalkan pada kemampuan dan kekuatan
sendiri, kemudian yang kedua adalah maju yakni diukur dari kualitas Sumber Daya
Manuasia (SDM), tingkat kemakmuran dan kemantapan system dan kelembagaan politik
dan hukum, ketiga adil yaitu tidak ada pembatasan/diskriminasi dalam bentuk apapun,
baik antar individu, kelompok, gender dan wilayah serta keempat adalah makmur yaitu
terpenuhinya seluruh kebutuhan hidupnya sehingga dapat memberikan makna dan arti
penting bagi bangsa-bangsa lain. Salah satu target Sustainable Development Goals
(SDGs) adalah pada tahun 2030 menghilangkan segala bentuk kekurangan gizi termasuk
pada tahun 2025 mencapai target yang disepakati secara international untuk anak pendek
dan kurus di bawah usia lima tahun dan mememuhi kebutuhan gizi remaja, perempuan,
ibu hamil dan ibu menyusui serta manula, yang salah satu indikatornya adalah prevalensi
stunting (pendek dan sangat pendek) pada anak di bawah lima tahun/balita (Bappenas,
2020).
Stunting merupakan permasalahan yang dihadapi dunia saat ini, stunting menjadi
masalah yang menghambat pertumbuhan dan perkembangan manusia secara global. Data
dari WHO pada tahun 2019, 21,3 % atau sekitar 144 juta balita di dunia mengalami
stunting. Lebih dari setengah balita stunting di dunia berasal dari Asia (55%), sedangkan
lebih dari sepertiganya (41%) tinggal di Afrika. Dari 78,2 juta balita stunting di Asia,
proporsi terbanyak berasal dari Asia Selatan 55,9 juta dan proporsi paling sedikit di Asia
Tengah 0,8 juta (Kementrian Kesehatan, 2018) (Unicef & WHO, 2020).
World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa Indonesia termasuk ke
dalam negara ketiga dengan prevalensi tertinggi di regional Asia Tenggara/South-East
Asia Regional (SEAR) dengan rata-rata prevalensi balita stunting tahun 2005-2017
adalah 36,4% (Child stunting data visualizations dashboard, WHO, 2018). Laporan
United Nations Children’s Fund (UNICEF) 2020 mencatat bahwa prevalensi stunting di
Indonesia (27,7%) berada pada peringkat ke-5 di dunia. Angka stunting tersebut berada di
atas ambang yang ditetapkan WHO sebesar 20 % (Kemenkes, 2018).
Perkembangan Prevalensi Stunting di Indonesia tahun 2018 (30,8%) dan tahun
2019 (27,7%). Jika dilihat dari prevalensi di atas, jelas memperlihatkan trend yang
menurun sebesar 3,1% dari tahun 2018-2019. Tahun 2024 presiden Indonesia
menargetkan penurunan stunting di Indonesia dari 27,7 % pada tahun 2019 menjadi 14
%. Rata-rata target penurunan stunting pertahun periode 2020-2024 sebesar 2,5 %.
Persentase balita stunting di Indonesia masih tinggi dan merupakan masalah Kesehatan
yang harus ditanggulangi.
Berdasarkan hasil Riskesdas Provinsi Maluku Utara tahun 2018 prevalensi
stunting (pendek-sangat pendek) pada anak Umur 0-59 bulan sebesar 31,4% persentasi
balita pendek ini merupakan masalah kesehatan yang harus ditanggulangi. Penyebab
stunting disebabkan oleh banyak factor multi dimensi dan tidak hanya disebabkan oleh
faktor gizi buruk yang di alami oleh ibu hamil, faktor lain yang menjadi penyebab adalah
pengasuhan anak yang kurang bagus, masih terbatasnya layanan kesehatan, masih
kurangnya akses rumah tangga dan pengetahuan tentang makanan bergizi (Dinkes
Provinsi Maluku Utara).
Wilayah Puskesmas Soasio masih tergolong banyak pola asuh ibu yang kurang
baik diantaranya pola asuhan gizi, tentang gizi seimbang baik untuk ibu saat kehamilan
ataupun pada anak makanan yang tidak teratur, dan pola asuh lingkungan yang kurang
baik atau kurang di perhatikan membiarkan anak bermain diluar, tidak cuci tangan dan
lain sebagainya, oleh karena itu, stunting merupakan masalah kesehatan yang harus
ditanggulangi.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah dari penelitian ini adalah apa faktor-
faktor penyebab terjadinya stunting pada balita di wilayah kerja Puskesmas Soasio?
3. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor penyebab
terjadinya stunting anak balita di wilayah kerja Puskesmas Soasio.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui gambaran terjadinya stunting pada balita di wilayah kerja Puskesmas
Soasio tahun 2022.
2. Mengetahui hubungan antara faktor tingkat pengetahuan gizi ibu dengan kejadian
stunting pada balita di wilayah kerja Puskesmas Soasio tahun 2022.
3. Mengetahui hubungan antara faktor status pemberian ASI eksklusif dengan
kejadian stunting pada balita di wilayah kerja Puskesmas Soasio tahun 2022.
4. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat bagi penulis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan dalam mengetahui
faktor-faktor penyebab terjadinya stunting pada balita di wilayah kerja Puskesmas
Soasio tahun 2021-2022 sekaligus diharapkan dapat menjadi kajian untuk penelitian
selanjutnya.
2. Manfaat bagi Akademik
Sebagai referensi bagi mahasiswa Program Studi Dokter Fakultas Kedokteran
Universitas Khairun demi perkembangan ilmu dan bahan evaluasi bagi akademik
terhadap pemahaman mahasiswa dalam mendapatkan teori yang diberikan.
3. Manfaaf bagi Masyarakat
Bagi masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan
masukan dan informasi bagi masyarakat guna menjaga status gizi balita, khususnya
bagi keluarga balita sehingga dapat mencegah terjadinya stunting di lingkungan
keluarganya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Tinjauan Pustaka
1. Balita
a. Pengertian Balita
Balita adalah kelompok anak yang berada pada rentang usia 0-5 tahun
(Adriani dan Wirjatmadi, 2012). Menurut Prasetyawati (2011), masa balita
merupakan periode penting dalam proses tumbuh kembang manusia dikarenakan
tumbuh kembang berlangsung cepat. Perkembangan dan pertumbuhan di masa
balita menjadi faktor keberhasilan pertumbuhan dan perkembangan anak di masa
mendatang. Saat usia batita, anak masih tergantung penuh kepada orang tua untuk
melakukan kegiatan penting, seperti mandi, buang air dan makan. Perkembangan
berbicara dan berjalan sudah bertambah baik namun kemampuan lain masih
terbatas. Masa balita merupakan periode penting dalam proses tumbuh kembang
manusia. Perkembangan dan pertumbuhan di masa itu menjadi penentu
keberhasilan pertumbuhan dan perkembangan anak di periode selanjutnya. Masa
tumbuh kembang di usia ini merupakan masa yang berlangsu ng cepat dan tidak
akan pernah terulang, karena itu sering disebut golden age atau masa keemasan
(Uripi, 2004).
2. Status Gizi
a. Definisi Status Gizi
Status gizi balita merupakan hal penting yang harus diketahui oleh setiap
orang tua. Perlunya perhatian lebih terhadap tumbuh kembang anak di usia balita
didasarkan fakta bahwa kurang gizi pada masa emas atau sering kita sebut dengan
golden period, ini bersifat irreversibel (tidak dapat pulih), sedangkan kekurangan
gizi dapat mempengaruhi perkembangan otak anak (Sholikah, Rustiana and
Yuniastuti, 2017).
Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan
penggunaan zat gizi. Zat gizi sangat dibutuhkan oleh tubuh sebagai sumber
energi, pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan tubuh, serta pengatur proses
tubuh. Status antropometri gizi dapat dibagi menjadi beberapa indikator,
diantaranya adalah indikator Panjang badan atau tinggi badan menurut umur
(PB/U atau TB/U) sehingga dapat dibedakan menjadi 4 kategori yaitu sangat
pendek, pendek, normal dan tinggi (‘Auliya C, Woro KH, Budiono I’, 2015;
Nindyna Puspasari and Merryana Andriani, 2017).
3. Stunting
a. Definisi Stunting
Stunting (kerdil) adalah kondisi balita yang memiliki panjang atau tinggi badan
kurang atau tidak sesuai jika dibandingkan dengan umur. Kondisi ini diukur dengan
panjang atau tinggi badan yang lebih dari minus dua standar deviasi median standar
pertumbuhan anak dari WHO. Balita stunting pada masa yang akan datang tentu akan
mengalami kesulitan dalam mencapai perkembangan fisik dan kognitif yang optimal
(Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI, 2018).
Stunting menggambarkan status gizi kurang yang bersifat kronik, keadaan ini
dipresentasikan dengan nilai z-score tinggi badan menurut umur (TB/U) pada ambang
batas <-2 SD sampai dengan -3 SD (pendek atau stunting) dan <-3 (sangat pendek).
Masalah balita pendek (stunting) menggambarkan adanya masalah gizi kronis, yang
dipengaruhi dari kondisi ibu atau calon ibu, masa janin, masa bayi atau balita,
termasuk penyakit yang diderita selama masa balita. Seperti masalah gizi lainnya,
tidak hanya terkait masalah kesehatan namun juga dipengaruhi oleh berbagai kondisi
lain yang secara tidak langsung memengaruhi kesehatan (Larasati, Nindya and Arief,
2018; Nugraheni et al., 2020).
b. Indikator Stunting
Negara-negara berkembang dan salah satunya Indonesia memiliki beberapa
masalah gizi pada balita, di antaranya wasting, anemia, berat badan lahir rendah, dan
stunting. Stunting merupakan kondisi kronis yang menggambarkan terhambatnya
pertumbuhan karena malnutrisi jangka panjang. Stunting menurut WHO Child
Growth Standard didasarkan pada indeks panjang badan menurut umur (PB/U) atau
tinggi badan menurut umur (TB/U) dengan batas (z-score) <-2 SD
(WHO, 2010). Indikator TB/U menggambarkan status gizi yang sifatnya kronis,
artinya muncul sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama seperti
kemiskinan, perilaku pola asuh yang tidak tepat, seringmenderita penyakit secara
berulang karena higiene dan sanitasi yang kurang baik (DepKes RI, 2007).
Sumber: Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak (Kemenkes RI, 2011)
5. ASI Ekslusif
a. Pengertian ASI Ekslusif
Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan cair pertama yang dihasilkan secara
alami oleh payudara Ibu. ASI mengandung berbagai zat gizi yang dibutuhkan
yang terformulasikan secara unik di dalam tubuh ibu untuk menjamin proses
pertumbuhan dan perkembangan bayi. Selain menyediakan nutrisi lengkap untuk
seorang anak, ASI juga memberikan perlindungan pada bayi atas infeksi dan sakit
penyakit bayi. ASI adalah suatu emulsi lemak dalam larutan protein, laktosa dan
garam – garam anorganik yang disekresi oleh kelenjar mamae ibu, yang berguna
sebagai makanan bagi bayinya. ASI dalam jumlah yang cukup merupakan
makanan terbaik bagi bayi dan dapat memenuhi kebutuhan bayi sampai dengan 6
bulan pertama. ASI merupakan makanan alamiah yang pertama dan utama bagi
bayi sehingga mencapai tumbuh kembang yang optimal (Wahyuningsih, 2018).
ASI eksklusif adalah pemberian air susu ibu saja, tanpa tambahan cairan
lainnya seperti susu formula, air putih, madu, air teh, maupun makanan lainnya
(Roesli, 2013). Menurut World Health Organization / WHO (2017) ASI eksklusif
adalah memberikan ASI saja tanpa memberikan makanan dan minuman lainnya
kepada bayi sampai berumur 6 bulan, kecuali obat dan vitamin.
World Health Organization (WHO) dan UNICEF (2002) merekomendasikan
untuk memulai dan mencapai ASI eksklusif yaitu dengan menyusui dalam
satu jam pertama setelah kelahiran melalui Inisiasi Menyusu Dini (IMD).
Menyusui secara eksklusif selama enam bulan, tanpa memberikan makanan
tambahan lainnya selain ASI. Menyusui kapanpun bayi memintanya atau sesuai
kebutuhan bayi (on demand). Tidak menggunakan botol susu maupun empeng.
Mengeluarkan ASI dengan memompa atau memerah dengan tangan, di saat tidak
bersama anak serta mengendalikan emosi dan pikiran agar tetap tenang. Seiring
dengan pengenalan makanan tambahan, bayi tetap diberikan ASI sebaiknya
sampai 2 tahun.
b. Manfaat ASI eksklusif
Menurut Kemenkes (2018) ASI eksklusif memberikan dua manfaat
sekaligus yaitu bagi bayi dan ibu. Manfaat ASI bagi bayi yaitu sebagai kekebalan
alami sehingga mampu mencegah bayi terserang penyakit. ASI juga
mengoptimalkan perkembangan otak dan fisik bayi. Manfaat ASI bagi Ibu antara
lain mencegah trauma, mempererat bounding dan mampu mencegah kanker
payudara.
Komposisi ASI yang tidak tergantikan dengan makanan lain khususnya pada
6 bulan pertama. Hal itu akibat kandungan colostrum, kandungan protein dalam
ASI ini dapat melindungi bayi dari infeksi. Penelitian manfaat ASI yang lainnya
adalah kandungan Human Alpha-Lactalbumin Made Lethal to Tumour Cells
(HAMLET). Kandungan ASI ini dapat mencegah penyakit kanker. Pada anak
yang mendapatkan ASI eksklusif resiko terkena leukemia mengalami penurunan
hingga 20% nya.
c. Kebijakan pemerintah terkait ASI eksklusif
Kebijakan pemerintah menjamin hak anak dalam mendapatkan ASI diatur
dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 tahun 2012 tentang
ASI eksklusif. Pasal 6 dalam peraturan tersebut menerangkan bahwa setiap ibu
yang melahirkan harus memberikan ASI eksklusif kepada bayi yang dilahirkan.
Hal tersebut menjadi tidak berlaku apabila terdapat indikasi medis sehingga tidak
memungkinkan pemberian ASI.
WHO dan UNICEF memberikan rekomendasi mendukung ASI eksklusif
sebagai berikut: melakukan inisiasi menyusui dini (IMD) pada satu jam pertama
setelah melahirkan, menyusui eksklusif dengan tidak memberikan makanan atau
minuman apapun termasuk air, menyusui sesuai dengan keinginan bayi (on
demand), menghindari penggunaan botol, dot dan empeng.
2. Kerangka Teori