Anda di halaman 1dari 30

HUBUNGAN DIMENSI MUTU PELAYANAN KESEHATAN

DENGAN MINAT KUNJUNGAN ULANG PADA PASIEN


RAWAT JALAN DI RSUD KOTA DEPOK TAHUN 2021
(PROPOSAL PENELITIAN)

Proposal Skripsi ini Sebagai Salah Satu Syarat


Menyelesaikan Tugas Metodologi Penelitian Kualitatif

SHINTA NAWANGSARI
20201010170022

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT karena Rahmat dan
Hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan proposal yang berjudul “Hubungan
Dimensi Mutu Pelayanan Kesehatan dengan Minat Kunjungan Ulang Pada Pasien
Rawat Jalan di RSUD Kota Depok Tahun 2021”. Proposal ini disusun guna memenuhi
salah satu persyaratan menyelesaikan Tugas Metodologi Penelitian Kualitatif Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadiyah Jakarta
Penyusunan proposal ini diharapkan penulis dapat berguna bagi penulis dan
masyarakat, terutama bagi para mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Muhammadiyah Jakarta, untuk menambah pengetahuan bagi penulis dan
pembaca.
Penyusunan proposal ini dapat terselesaikan dengan baik atas bantuan,
bimbingan, doa serta saran dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini
penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Kedua orang tua tercinta, Bapak Jumadi dan Ibu Supriyati yang selalu
memberikan doa restu, dukungan, serta kasih sayang.
2. Ibu Mizna Sabila, SKM., M.Kes selaku Dosen Mata Kuliah Metodologi Penelitian
Kualitatif .
3. Seluruh teman-teman mahasiswa Universitas Muhammadiyah Jakarta yang telah
memberikan bantuan dan semangat
Penulis menyadari dalam penulisan proposal ini masih terdapat banyak
kekurangan dan masih jauh dari sempurna, karena keterbatasan kemampuan,
pengetahuan dan pengalaman. Untuk itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun
sangat diharapkan penulis. Semoga proposal ini dapat bermanfaat untuk kita semua,
khususnya mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadiyah
Jakarta.

Jakarta, 22 Maret 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang............................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah........................................................................ 4
1.3 Tujuan Penulisan......................................................................... 4
1.3.1 Tujuan Umum.................................................................... 4
1.3.2 Tujuan Khusus................................................................... 5
1.4 Manfaat Penulisan....................................................................... 5
1.4.1 Aspek Teoritis.................................................................... 4
1.4.2 Aspek Daya Guna............................................................... 4
1.5 Ruang Lingkup............................................................................ 6
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 69
LAMPIRAN.................................................................................................... 74

v
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dunia internasional khususnya dalam bidang kesehatan sedang berlomba-
lomba untuk meningkatkan fasilitas dan mutu pelayanan kesehatan dengan
indikator angka harapan hidup, agar rangking kesehatan di negara mereka tidak
berada di urutan paling bawah dan bisa dianggap sebagai negara miskin. Data dari
World Health Organization (WHO) tahun 2020, menyebutkan Indonesia sebagai
negara yang menduduki posisi ke-4 penduduk terbanyak di dunia (Arisandy W.
2015). Berdasarkan Badan Pusat Statistik tahun 2020 mencatat penduduk
Indonesia pada September 2020 sebanyak 270,20 juta jiwa. Sejak Indonesia
menyelenggarakan Sensus Penduduk yang pertama pada tahun 1961, jumlah
penduduk terus mengalami peningkatan. Dalam kurun waktu sepuluh tahun
terakhir (2010–2020), laju pertumbuhan penduduk Indonesia sebesar 1,25 persen
per tahun. Dengan jumlah penduduk yang padat mengharuskan Indonesia untuk
terus meningkatkan mutu pelayanan di bidang kesehatan (Badan Pusat Statistik,
2020).
Hal ini diperlukan pembangunan kesehatan di Indonesia untuk meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat dengan mengutamakan mutu pelayanan dan
jangkauan yang merata untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat karena
terwujudnya keadaan sehat merupakan keinginan semua orang. Untuk
mewujudkan keadaan sehat tentunya perlu banyak yang dilakukan, salah satunya
upaya yang dinilai mempunyai peranan yang cukup penting adalah
penyelenggaraan pelayanan kesehatan (Anggraini dan Afiana Rohami, 2012).
Keberhasilan upaya tersebut dapat dinilai melalui peningkatan mutu
pelayanan pada rumah sakit, selain itu tujuan pembangunan kesehatan menuju
Indonesia Sehat 2025 adalah meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan
hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang
optimal melalui terciptanya masyarakat, Bangsa dan Negara Indonesia yang
ditandai oleh penduduknya hidup dalam lingkungan dan dengan perilaku yang

6
sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang
bermutu secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang optimal
diseluruh wilayah Republik Indonesia (Asep Arifin Senjaya, 2019).
Mutu pelayanan yang baik akan memberikan kepuasan pada pasien yang
akhirnya pelanggan akan memanfaatkan ulang dan merekomendasikan pelayanan
kesehatan tersebut pada orang di sekitarnya. Pelayanan yang baik dan berkualitas
akan meningkatkan jumlah kunjungan yang pada akhirnya akan meningkatkan
jumlah pendapatan rumah sakit (Permana M, 2018). Jika mutu pelayanan yang
diberikan buruk akan sangat mempengaruhi keputusan orang dalam kunjungan
berikutnya dan orang biasanya mencari tempat pelayanan kesehatan yang lain
(Azwar, 1996).
Minat kunjungan ulang salah satu respon yang muncul terhadap objek yang
menunjukan keinginan pelanggan untuk melakukan pembelian ulang produk yang
telah dibeli sebelumnya. Pelanggan secara sadar dan tidak sadar akan
mengevaluasi transaksi yang telah dilakukan. Tingkat kepuasan atau
ketidakpuasan konsumen yang akan mempengaruhi perilakunya untuk
mengujungi tempat sebelumnya (Hamidiyah A, 2013)
Kepuasan pelanggan tentunya dapat memberikan beberapa manfaat,
diantaranya adalah hubungan antara institusi seperti tenaga kesehatan dan
pelanggannya menjadi harmonis, memberikan dasar yang baik bagi pemanfaatan
ulang dan terciptanya minat untuk kunjugan ulang, dan membentuk suatu
rekomendasi dari mulut ke mulut yang menguntungkan bagi rumah sakit
(Tjiptono F dan Chandra G, 2016).
Pelayanan yang bermutu tentunya dapat memberikan pelayanan kepada
pasien yang didasarkan standar kualitas untuk memenuhi kebutuhan dan
keinginan pasien, sehingga dapat memperoleh kepuasan terhadap peningkatan
kepercayaan pasien. Untuk mencapai pelayanan kesehatan yang bermutu perlu
diselenggarakannya pelayanan sesuai lima dimensi mutu pelayanan yaitu tangible
(bukti fisik), reliability (kehandalan), responsiveness (daya tanggap), assurance
(jaminan) dan emphaty (empati) (Rahmiat dan Nauri A, 2020)
Rumah sakit merupakan salah satu pelayanan kesehatan di masyarakat yang
mampu memberikan pembinaan kesehatan masyarakat dan pelayanan kesehatan.

7
Saat ini penyebaran distribusi rumah sakit melayani 30.000 – 50.000 penduduk
(Kemenkes Republik Indonesia, 2017). Jika rumah sakit memiliki pelayanan yang
bermutu, hal ini memungkinan pasien akan terus kembali menggunakan
pelayanan tersebut (Habibi A, 2019)
Hasil Penelitian Eka (2017) menyatakan bahwa ada pengaruh kualitas
layanan terhadap minat kunjungan ulang pasien dengan nilai = 0,000 < 0,05.
Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa kualitas layanan
mempengaruhi minat kunjungan ulang (Eka D, 2017). Hasil penelitian Hasbi
(2012) menyatakan bahwa kualitas pelayanan yang terdiri dari bukti fisik,
kehandalan, daya tanggap, jaminan dan empati secara bersama-sama mempunyai
pengaruh signifikan dengan minat kunjugan ulang pasien Puskesmas Poncol Kota
Semarang (Hasbi F, 2012). Penelitian Loontan (2018) menyebutkan pula ada
hubungan yang signifikan antara bukti langsung, empati, kehandalan, dan jaminan
dengan minat kunjungan ulang pasien di Puskesmas Ratahan (Lontaan V, dkk,
2018).
Berdasarkan data Rekam Medis Rumah Sakit Umum (RSU) Kota Depok,
kunjungan pasien rawat jalan rumah sakit umum kota depok pada tahun 2015
sebanyak 96.558 pasien, tahun 2016 sebanyak 96.074 pasien, dan pada tahun
2017 sebanyak 89.337 pasien. Jika dilihat selama tiga tahun terakhir ini
mengalami penurunan jumlah kunjungan rawat jalan, tidak hanya pada kunjungan
pasien lama tetapi terjadi juga pada kunjungan pasien baru (IT RSUD Kota
Depok, 2021) Hal ini menunjukan pasien memiliki minat yang rendah untuk
kembali menggunakan pelayanan yang telah didapatkan sebelumnya. Berdasarkan
masalah tersebut, maka tujuan penelitian ini yaitu menganalisis hubungan dimensi
mutu pelayanan dengan minat kunjungan ulang pasien Rawat Jalan Rumah Sakit
Umum Daerah Kota Depok Tahun 2021.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian latar belakang terdapat penurunan jumlah kunjungan
rawat jalan di RSUD Kota Depok, maka rumusan masalah pada penelitian ini
adalah mengetahui adanya hubungan dimensi mutu pelayanan kesehatan dengan
minat kunjungan ulang pada pasien rawat jalan di RSUD Kota Depok Berikut
dimensi yang mempengaruhi mutu pelayanan kesehatan diantaranya tangible

8
(bukti fisik), reliability (kehandalan) responsiveness (daya tanggap), assurance
(jaminan) dan emphaty (empati).

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan dimensi
mutu pelayanan kesehatan dengan minat kunjungan ulang pada pasien rawat jalan
di RSUD Kota Depok,

1.3.2 Tujuan Khusus


Adapun tujuan khusus penelitian ini :
a. Mengetahui hubungan antara dimensi tangible (bukti fisik) dengan minat
kunjungan ulang pada pasien Rawat Jalan di RSUD Kota Depok Tahun
2021.
b. Mengetahui hubungan antara dimensi reliability (kehandalan) dengan
minat kunjungan ulang pada pasien Rawat Jalan di RSUD Kota Depok
Tahun 2021.
c. Mengetahui hubungan antara dimensi responsiveness (daya tanggap)
dengan minat kunjungan ulang pada pasien Rawat Jalan di RSUD Kota
Depok Tahun 2021.
d. Mengetahui hubungan antara dimensi assurance (jaminan) dengan minat
kunjungan ulang pada pasien Rawat Jalan di RSUD Kota Depok Tahun
2021.
e. Mengetahui hubungan antara dimensi empathy (empati) dengan minat
kunjungan ulang pada pasien Rawat Jalan di RSUD Kota Depok Tahun
2021.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Aspek Teoritis
a. Penelitian ini diharapkan untuk pengembangan program maupun
kepentingan ilmu di lingkungan Universitas Muhammadiyah Jakarta
Fakultas Kesehatan Masyarakat.

9
b. Penelitian ini diharapkan untuk pengembangan mutu pelayanan kesehatan
pada rumah sakit guna meningkatkan kunjungan ulang di rumah sakit.
c. Penelitian ini diharapkan untuk dapat menambah ilmu pengetahuan dan
pengalaman dalam melakukan suatu penelitian, serta menambah wawasan
dalam memahami hubungan dimensi mutu pelayanan kesehatan dengan
minat kunjungan ulang pada pasien rawat jalan di RSUD Kota Depok
tahun 2021.
1.4.2 Aspek Teoritis
a. Penelitian ini diharapkan untuk memberikan peningkatan dalam
membina dan mengembangkan kualitas sumber daya manusia,
mendekatkan akses kesehatan dasar pada pasien terutama rawat jalan.
Sehingga pasien akan kembali mengunjungi RSUD Kota Depok

1.5 Ruang Lingkup


Penelitian ini akan dilaksanakan di RSUD Kota Depok pada bulan April
sampai Mei tahun 2021 dan mengambil judul “Hubungan Dimensi Mutu
Pelayanan Kesehatan dengan Minat Kunjungan Ulang Pada Pasien Rawat Jalan di
RSUD Kota Depok Tahun 2021”. Penelitian ini dilakukan karena jika dilihat dari
data rekam medis 3 tahun terakhir data kunjungan pasien rawat jalan mengalami
penurunan. Pada penelitian ini diambil data pasien rawat jalan di RSUD Kota
Depok, yang dilakukan secara accidental sampling. Sasaran dalam penelitian ini
pasien rawat jalan di RSUD Kota Depok. Metode pengumpulan data
menggunakan kuisioner yang akan dibagikan kepada pasien rawat jalan di RSUD
Kota Depok. Kuisioner ini akan mencangkup bagaimana pelayanan kesehatan
kepada pasien dengan berbagai dimensi mutunya. Lalu dari pertanyaan ini dibuat
skala, dengan menggunakan skaka likert. Terlebih dahulu data dilakukan Uji
Validitas dan Uji Reliabilitas. Pada penelitian ini menggunakan penelitian
kuantitatif dengan metode penelitian deskriptif. Analisis data yang digunakan
dalam penelitian ini dengan menggunakan analisis bivariaat dengan mengetahui
hubungan dimensi tangible dengan minat kunjungan ulang pasien rawat jalan,
mengetahui hubungan dimensi reliability dengan minat kunjungan ulang pasien
rawat jalan, mengetahui hubungan dimensi responsiveness dengan minat
kunjungan ulang pasien rawat jalan, mengetahui hubungan dimensi assurance

10
dengan minat kunjungan ulang pasien rawat jalan, dan mengetahui hubungan
dimensi emphayt dengan minat kunjungan ulang pasien rawat jalan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori


2.1.1 Minat Kunjungan Ulang
Menurut Crow dan Crow dalam Djaali (2013:121) mengatakan bahwa minat
berhubungan dengan gaya gerak yang mendorong seseorang untuk menghadapi
atau berurusan dengan orang, benda, kegiatan, pengalaman yang diransang oleh
kegiatan itu sendiri. Menurut Gerungan dalam Djaali (2013:122) menyebutkan
minat merupakan pengerahan perasaan dan menafsirkan untuk sesuatu hal (ada
unsur seleksi). Disamping itu, minat merupakan bagian dari ranah afeksi, mulai
dari kesadaran sampai pada pilihan nilai. Minat tidak timbul sendirian, ada unsur
kebutuhan.
Djaali (2013:122) menyimpulkan bahwa minat memiliki unsur afeksi,
kesadaran sampai pilihan nilai, pengerahan perasaan, seleksi, dan kecenderungan
hati. Minat dapat diekspresikan melalui pernyataan yang menunjukan bahwa
pasien lebih menyukai suatu hal daripada hal lainnya, dapat pula dimanifestasikan
melalui partisipasi dalam suatu aktivitas. Kajian teoritis tentang pemanfaatan
ulang pendapat Zeithalm et all. (2006) bahwa minat beli ulang (future intention)
menekankan bahwa pentingnya mengukur minat beli kembali pelanggan untuk
mengetahui keinginan pelanggan yang tetap setia atau meninggalkan suatu
pelayanan jasa. Dari pengalaman yang dapat dicatat, sasaran pembelian ulang
barang atau jasa adalah jumlah dan kualitas barang atau jasa yang dibeli jangan
sampai kurang. Hal lain yang masih terkait dengan pembelian ulang adalah
menjaga mutu barang atau jasa agar tidak menurun (Nitisusastro, 2012:245).
Pembelian ulang yang terus-menerus dari suatu jasa yang sama akan
menunjukan loyalitas pasien terhadap jasa tersebut. Tingkat kepuasan pasien akan

11
mempengaruhi derajat kualitas pelayanan, semakin puas seorang pasien terhadap
suatu jasa pelayanan akan semakin loyal terhadap jasa pelayanan tersebut. Namun
loyalitas seringkali bukan disebabkan oleh kepuasan pasien tetapi karena
keterpaksaan dan ketiadaan pilihan (Sunyoto, 2013:142).
Sikap dalam perilaku terbentuk dalam suatu proses komunikasi dimana
dengan adanya proses komunikasi yang informatif kognitif akan timbul sikap
yang mempertimbangkan segala informasi terkait yang sebelumnya sudah ada
sesuai dengan kemampuan maupun kecerdasan seseorang dalam hal menganalisa,
ketepatan naluri dan kesadaran akan kebutuhan yang diperlukannya pada kondisi
tertentu dan pada tahap selanjutnya seseorang melakukan tindakan sesuai dengan
dorongan motivasi yang dikendalikan oleh sikap serta emosi dimana tindakan
yang serupa dilakukan berulang maka hal tersebut dapat dikatakan perilaku dalam
kehidupan (Liliweri, 2007).

2.1.1.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Minat Kunjungan Ulang


Menurut Azwar (1996) dalam Mahdani (2009:26-27), suatu pelayanan harus
mempunyai persyaratan pokok, hal ini dimaksudkan adalah persyaratan pokok itu
dapat memberi pengaruh kepada pasien dalam menentukan keputusannya
terhadap penggunaan ulang pelayanan kesehatan.
1. Tersedia dan berkesinambungan
Syarat pokok pertama pelayanan yang baik adalah pelayanan kesehatan
tersebut harus tersedia di masyarakat serta bersifat berkesinambungan.
Artinya semua jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan masyarakat
tidak sulit ditemukan, serta keberadaannya dalam masyarakat adalah pada
setiap saat dibutuhkan.
2. Dapat diterima dan wajar
Syarat pokok kedua pelayanan yang baik adalah yang dapat diterima oleh
masyarakat serta bersifat wajar artinya pelayanan kesehatan tersebut tidak
bertentangan dengan keyakinan dan kepercayaan masyarakat. pelayanan
kesehatan yang bertentangan dengan kenyakinan, adat istiadat,
kebudayaan masyarakat serta bersifat tidak wajar bukanlah suatu keadaan
pelayanan kesehatan yang baik.

12
3. Mudah di capai
Syarat pokok ketiga adalah mudah dicapai (accessible) oleh masyarakat.
Pengertian ketercapaian yang dimaksud disini terutama dari sudut lokasi.
Dengan demikian untuk dapat mewujudkan pelayanan kesehatan yang
baik maka pengaturan distribusi sarana kesehatan menjadi sangat penting.
Bila fasilitas ini mudah dijangkau dengan menggunakan alat transportasi
yang tersedia maka fasilitas ini akan banyak dipergunakan. Tingkat
penggunaan dimasa lalu dan kecendrungan merupakan indikator 16 terbaik
untuk perubahan jangka panjang dan pendek dari permintaan pada masa
yang akan datang.
4. Terjangkau
Syarat pokok keempat pelayanan yang baik adalah terjangkau (affordable)
oleh masyarakat. Pengertian keterjangkauan yang dimaksud disini
terutama dari sudut biaya untuk dapat mewujudkan harus dapat
diupayakan biaya pelayanan kesehatan tersebut sesuai dengan kemampuan
ekonomi masyarakat. Pelayanan kesehatan yang mahal yang hanya dapat
dinikmati oleh sebagian masyarakat saja, bukan pelayanan kesehatan yang
baik.
5. Bermutu
Syarat pokok kelima pelayanan yang baik adalah bermutu (Quality) yaitu
yang menunjukan pada tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan yang
diselenggarakan, yang disatu pihak dapat memuaskan para pemakai jasa
pelayanan dan dipihak lain tata cara penyelenggaraan sesuai kode etik
serta standar yang telah ditetapkan
Menurut pendapat Payne (2001) dalam Mukhlis (2012:32) untuk
meningkatkan minat beli ulang perlu diperhatikan serta dipahami empat kunci
pemasaran meliputi :
1. Produk yaitu sejauh mana jasa yang ingin ditawarkan.
2. Harga yaitu sejauh mana harga yang dibayarkan dan cara-cara atau
syaratsyarat yang berhubungan dengan sarana dan prasarana yang ada.
3. Promosi yaitu program komunikasi yang berhubungan dengan pemasaran
produk atau jasa.

13
4. Tempat yaitu fungsi distribusi dan logistik yang dilibatkan dalam rangka
menyediakan produk dan jasa.

2.1.2 Mutu Pelayanan Kesehatan


2.1.2.1 Pengertian Mutu
Mutu adalah perpaduan sifat-sifat dan karakteristik produk atau jasa yang
dapat memenuhi kebutuhan pemakai atau pelanggan (Bustami, 2011:3). Menurut
Purwoastuti dan Walyani (2015:2), mutu (quality) dapat didefinisikan sebagai
keseluruhan karakteristik barang atau jasa yang menunjukan kemampuan dalam
memuaskan kebutuhan konsumen, baik kebutuhan yang dinyatakan maupun
kebutuhan yang tersirat.
Mubarak dan Chayatin (2009:135) mutu atau kualitas adalah kesesuaian
dengan kebutuhan pasar atau konsumen. Menurut Feigen Baum dalam Mubarak
dan Chayatin (2009:135), suatu produk dikatakan bermutu apabila dapat
memberikan kepuasan, sesuai dengan apa yang diharapkan konsumen. Mutu atau
kualitas yaitu suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa,
manusia, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan (Goetsh
dan Davis (1994) dalam Sari (2010:53)).
Deming dalam Bustami (2011) mengemukakan bahwa mutu dapat dilihat dari
aspek konteks, persepsi pasien, serta kebutuhan dan keinginan pasien. Dari aspek
konteks, mutu adalah suatu karakteristik atau atribut dari suatu produk atau jasa.
Dari aspek persepsi pasien, mutu adalah penilaian subjektif pasien. Persepsi
pasien dapat berubah karena pengaruh berbagai hal seperti iklan, reputasi produk
atau jasa yang dihasilkan, pengalaman dan sebagainya. Dari aspek kebutuhan dan
keinginan pasien, mutu adalah apa yang dikehendaki dan dibutuhkan oleh pasien.
Mutu memerlukan suatu proses perbaikan terus menerus dengan individual
yang dapat diukur dan pencapaian performa yang diinginkan. Apabila dikelola
dengan tepat, mutu dapat berkontribusi positif terhadap terwujudnya kepuasan dan
kunjungan ulang pasien. Kualitas memberikan nilai plus berupa motivasi khusus
bagi para pasien untuk menjalin ikatan relasi saling menguntungkan dalam jangka
panjang dengan puskemas/rumah sakit. Ikatan emosional semacam ini
memungkinkan puskesmas/rumah sakit untuk memahami dengan seksama

14
harapan dan kebutuhan spesifik pasien. Pada gilirannya Puskesmas dapat
meningkatkan kepuasan pasien, dimana puskesmas memaksimumkan pengalaman
pasien yang menyenangkan dan meminimumkan atau meniadakan pengalaman
pasien yang kurang menyenangkan yang akan berdampak pada keputusan pasien
untuk melakukan kunjungan ulang (Deming dalam Bustami (2011)).
Peningkatan mutu pelayanan kesehatan dapat dilakukan dari berbagai aspek
pelayanan seperti peningkatan mutu fasilitas kesehatan, peningkatan kualitas
profesionalisme sumber daya manusia dan peningkatan mutu manajemen rumah
sakit/puskesmas. Pelayanan yang berkualitas harus dijaga dan dapat dilakukan
dengan melakukan pengukuran sejauh mana mutu pelayanan kesehatan yang telah
diberikan secara terus menerus dan berkala, agar diketahui kelemahan dan
kekurangan dari jasa pelayanan yang diberikan dan dibuat tindak lanjut sesuai
prioritas permasalahan yang ada di lapangan. (Supranto, 2006).

2.1.2.2 Dimensi Mutu


Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Parasuraman dkk (1988) dalam
Bustami (2011:5-6), mereka menggabungkan beberapa dimensi menjadi satu,
yaitu kompetensi, kesopanan, keamanan, dan kredibilitas yang disatukan menjadi
jaminan (assurance). Dimensi komunikasi, akses, dan kemampuan memahami
pelanggan digolongkan sebagai empati (empathy). Akhirnya jadilah lima dimensi
utama, yaitu reliabilitas, daya tanggap, jaminan, empati, dan bukti fisik atau bukti
langsung.
1. Reliabilitas (reliability)
Menurut pendapat Parasuraman dkk (1988) dalam Bustami (2011:5-6)
reliabilitas (reliability) adalah kemampuan memberikan pelayanan dengan
segera, tepat (akurat), dan memuaskan. Secara umum dimensi reliabilitas
merefleksikan konsistensi dan kehandalan (hal yang dapat dipercaya dan
dipertanggungjawabkan) dari penyedia pelayanan. Dengan kata lain,
reliabilitas berarti sejauh mana jasa mampu memberikan apa yang telah
dijanjikan kepada pelanggannya dengan memuaskan. Hal ini berkaitan erat
dengan apakah perusahaan/instansi memberikan tingkat pelayanan yang

15
sama dari waktu ke waktu, apakah perusahaan/instansi memenuhi janjinya,
membuat catatan yang akurat, dan melayani secara benar.
Menurut Parasuraman, Zeithaml, dan Berry (1998) dalam Khasanah dan
Pertiwi (2010:119) kehandalan (reliability) yaitu kemampuan perusahaan
untuk memberikan pelayanan sesuai dengan apa yang dijanjikan secara
akurat dan terpercaya. Kinerja harus sesuai dengan harapan 20 konsumen
yang berarti ketepatan waktu, pelayanan yang sama untuk semua
pelanggan tanpa kesalahan, sikap yang simpatik, dan dengan akurasi yang
tinggi.
Dibandingkan dengan empat dimensi kualitas pelayanan lainnya dimensi
kehandalan sering dipersepsikan menjadi yang paling penting bagi
pelanggan dari beragam industri jasa. Karena apabila konsumen
merasakan bahwa keandalan suatu perusahaan jasa sangat sesuai dengan
harapan, maka mereka akan bersedia mengeluarkan biaya tambahan agar
perusahaan melaksanakan transaksi seperti yang dijanjikan.
2. Daya tanggap (responsiveness)
Menurut pendapat Parasuraman dkk (1988) dalam Bustami (2011:5-6)
daya tanggap (responsivenss) yaitu keinginan para karyawan/staf
membantu semua pelanggan serta berkeinginan dan melaksanakan
pemberian pelayanan dengan tanggap. Dimensi ini menekankan pada sikap
dari penyedia jasa yang penuh perhatian, cepat dan tepat dalam
menghadapi permintaan, pertanyaan, keluhan, dan masalah dari pelanggan.
Dimensi ketanggapan ini merefleksikan komitmen perusahaan atau
instansi untuk memberikan pelayanan yang tepat pada waktunya dan
persiapan perusahaan /instansi sebelum memberikan pelayanan.
Khasanah dan Pertiwi (2010:119) mendefinisikan dimensi daya tanggap
merupakan dimensi yang paling dinamis. Harapan konsumen hampir dapat
dipastikan akan berubah seiring dengan kecepatan daya tanggap dari
pemberi jasa.
Menurut Parasuraman, Zeithaml dan Barry (1998) dalam Khasanah dan
Pertiwi (2010 : 119) daya tanggap (responsiveness) berkenaan dengan
kesediaan dan kemampuan para karyawan untuk membantu para

16
konsumen dan merespon permintaan mereka, serta menginformasikan
kapan jasa akan diberikan dan kemudian memberikan jasa secara cepat.
Tingkat kesediaan atau kepedulian ini akan dilihat sampai sejauh mana
pihak perusahaan dalam membantu konsumennya. Adapun bentuknya bisa
dilakukan dengan penyampaian informasi yang jelas, tindakan yang dapat
dirasakan manfaatnya oleh pelanggan.
3. Jaminan (assurance)
Menurut pendapat Parasuraman dkk (1988) dalam Bustami (2011:5-6)
jaminan (assurance) artinya karyawan/staf memiliki kompetensi,
kesopanan dan dapat dipercaya, bebas dari bahaya, serta bebas dari risiko
dan keraguraguan. Dimensi-dimesi ini merefleksikan kompetensi
perusahaan, keramahan (sopan, santun) kepada pelanggan, dan keamanan
operasinya. Kompetensi ini berkaitan dengan pengetahuan dan
ketrampilan dalam memberikan jasa.
Menurut Parasuraman, Zeithaml dan Barry (1998) dalam Khasanah dan
Pertiwi (2010:119) jaminan (assurance) adalah jaminan kepada konsumen
mencakup kemampuan, kesopanan dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki
oleh para staf, bebas dari bahaya atau resiko keragu-raguan, perilaku para
karyawan diharapkan mampu menumbuhkan kepercayaan dan perusahaan
diharpkan dapat menumbuhkan rasa aman bagi pelanggannnya.
Jaminan yakni perilaku karyawan mampu menumbuhkan kepercayaan
pelanggan terhadap perusahaan dan perusahaan bisa menciptakan rasa
aman bagi pelanggannya. Jaminan juga berarti bahwa para karyawan
selalu bersikap sopan dan menguasai pengetahuan dan ketrampilan yang
dibutuhkan untuk menangani setiap pertanyaan atau masalah pelanggan
(Purwoastuti dan Walyani, 2015:9).
4. Empati (empathy)
Menurut pendapat Parasuraman dkk (1988) dalam Bustami (2011:5-6)
empati (empathy) dalam hal ini karyawan/staf mampu menempatkan
dirinya pada pelanggan, dapat berupa kemudahan dalam menjalin
hubungan dan komunikasi termasuk perhatiannya terhadap para
pelanggannya, serta dapat memahami kebutuhan dari pelanggan. Dimensi

17
ini menunjukan derajat perhatian yang diberikan kepada setiap pelanggan
dan merefleksikan kemampuan pekerja (karyawan) untuk menyelami
perasaan pelanggan.
Menurut Parasuraman, Zeithaml, dan Berry (1998) dalam Khasanah dan
Pertiwi (2010:119), empati yaitu memberikan sikap yang tulus dan besifat
individual atau pribadi yang diberikan kepada para pelanggan dengan
berupaya memahami keinginan konsumen. Empati berarti perusahaan
memahami masalah para pelanggannya dan bertindak demi kepentingan
pelanggan dan memiliki jam operasi yang nyaman (Purwoastuti dan
Walyani, 2015:9).
5. Bukti Fisik Atau Bukti Langsung (Tangible)
Menurut pendapat Parasuraman dkk (1988) dalam Bustami (2011:5-6)
bukti fisik (tangible dapat berupa ketersediaan sarana dan prasarana
termasuk alat yang siap pakai serta penampilan karyawan/staf yang
menyenangkan. Bukti fisik berkenaan dengan daya tarik kualitas fisik,
perlengkapan, dan material yang digunakan perusahaan, serta penampilan
karyawan (Purwoastuti dan Walyani, 2015:9).
Sedangkan menurut Kotler (2001) dalam Khasanah dan Pertiwi
(2010:119) mendefinisikan wujud fisik (tangible) sebagai kemampuan
suatu perusahaan dalam menunjukan eksistensinya kepada pihak luar.
Penampilan dan kemampuan sarana serta prasarana fisik perusahaan dan
keadaan lingkungan sekitarnya adalah bukti nyata dari pelayanan yang
diberikan oleh pemberi jasa. Fasilitas fisik tersebut meliputi gedung,
perlengkapan dan peralatan yang dipergunakan (teknologi), serta
penampilan pegawainya. Wujud fisik yang baik akan mempengaruhi
persepsi konsumen. Semakin bagus fasilitas fisik yang disediakan bagi
konsumen maka semakin besar pula harapan konsumen pada perusahaan
pemberi jasa tersebut.
Kelima dimensi tersebut dikenal sebagai service quality (SERVQUAL).
Dimensi-dimensi ini diperoleh melalui wawancara terhadap para pelanggan untuk
mengetahui atribut apa saja yang diharapkan para pelanggan dari perusahaan atau
instansi tertentu (Bustami, 2011:6). Gaspersz (1997) dalam Bustami (2011:6-7)

18
mengemukakan bahwa terdapat beberapa dimensi mutu yang harus diperhatikan
dalam pelayanan, yaitu:
1. Ketepatan waktu pelayanan, misalnya waktu tunggu pasien, waktu
pelaksanaan (proses) pelayanan.
2. Akurasi pelayanan, berkaitan dengan reliabilitas pelayanan dan bebas dari
kesalahan.
3. Kesopanan dan keramahan dalam memberikan pelayanan.
4. Tanggung jawab, berkaitan dengan penanganan keluhan dari pasien
(pelanggan).
5. Kelengkapan, menyangkut dengan ketersediaan sarana pendukung
pelayanan.
6. Kemudahan mendapat pelayanan, berkaitan dengan petugas dan tersedianya
pola baru dalam pelayanan.
7. Variasi model pelayanan, berhubungan dengan inovasi untuk memberikan
pola baru dalam pelayanan.
8. Pelayanan pribadi, berkaitan dengan fleksibilitas petugas.
9. Kenyamanan dalam mendapatkan pelayanan, berkaitan dengan lokasi,
ruang, kemudahan menjangkau, tempat parkir kendaraan, ketersediaan
informasi, dan sebagainya.
10. Atribut pendukung pelayanan lainnya seperti lingkungan, fasilitas AC, dan
sebagainya.
Harapan konsumen terhadap layanan yang dijabarkan kedalam lima dimensi
kualitas layanan harus bisa dipahami oleh perusahaan dan diupayakan untuk bisa
diwujudkan. Tentunya hal ini merupakan tugas berat bagi perusahaan, sehingga
dalam kenyataannya sering muncul keluhan yang dilontarkan konsumen karena
layanan yang diterima tidak sesuai dengan layanan yang mereka harapkan. Hal
inilah yang disebut dengan gap (kesenjangan) kualitas pelayanan (Purnama,
2006:33). Terdapat 5 gap kualitas pelayanan yaitu :
1. Gap 1 antara harapan konsumen dengan persepsi manajemen, yang
disebabkan oleh kesalahan manajemen dalam memahami harapan
konsumen.

19
2. Gap 2 antara persepsi manajemen atas harapan konsumen dengan
spesifikasi kualitas layanan, yang disebabkan oleh kesalahan manajemen
dalam menterjemahkan harapan konsumen ke dalam tolak ukur atau
standar kualitas layanan.
3. Gap 3 antara spesifikasi kualitas layanan dengan layanan yang diberikan,
yang disebabkan oleh ketidakmampuan sumber daya manusia (SDM)
perusahaan dalam memenuhi standar kualitas layanan yang telah
ditetapkan.
4. Gap 4 antara layanan yang diberikan dengan komunikasi eksternal yang
disebabkan ketidakmampuan perusahaan untuk memenuhi janji yang telah
dikomunikasikan secara eksternal.
5. Gap 5 antara harapan konsumen dengan layanan yang diterima (dirasakan)
konsumen yang disebabkan tidak terpenuhinya harapan konsumen.

2.1.2.3 Pengertian Pelayanan Kesehatan


Pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau
secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan
kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit, serta memulihkan kesehatan
perseorangan, keluarga, kelompok, dan masyarakat (Mubarak dan Chayatin,
2009:132). Pelayanan adalah kualitas pelayanan birokrat terhadap masyarakat
(Sinambela dkk, 2010). Menurut Levey dan Loomba dalam Ade O., Suswitaroza
dan Aulia P. (2012:15) pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang
diselenggarakan sendiri atau bersama-sama dalam suatu organisasi untuk
memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan
penyakit serta memulihkan kesehatan perseorangan.
Purwoastuti dan Walyani (2015:15) mendefinisikan pelayanan kesehatan
adalah setiap upaya yang diselenggarakan secara sendiri atau bersama-sama dalam
suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan
menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perseorangan, keluarga,
kelompok maupun masyarakat.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2014 tentang Puskesmas
(Pusat Kesehatan masyarakat), pelayanan kesehatan adalah upaya yang diberikan

20
oleh puskesmas kepada masyarakat, mencakup perencanaan, pelaksanaan,
evaluasi, pencatatan, pelaporan dan dituangkan dalam suatu sistem. Menurut
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 Tahun 2013 tentang pelayanan kesehatan
pada JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) mendefinisikan penyelenggara
pelayanan kesehatan meliputi semua fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan
BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan berupa fasilitas kesehatan
tingkat pertama dan fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan.
Hodgetts dan Cascio (1983) dalam Mubarak dan Chayatin (2009:140) ada
dua macam jenis pelayanan kesehatan :
1. Pelayanan kesehatan masyarakat
Pelayanan kesehatan yang termasuk dalam kelompok pelayanan kesehatan
masyarakat (public health services) ditandai dengan cara pengorganisasian
yang umumnya secara bersama-sama dalam satu organisasi. Tujuan
utamanya adalah untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan,
mencegah penyakit, serta sasarannya terutama untuk kelompok dan
masyarakat.
2. Pelayanan kedokteran
Pelayanan kesehatan yang termasuk dalam kelompok pelayanan
kedokteran (medical services) ditandai dengan cara pengorganisasian yang
dapat bersifat sendiri (solo practice) atau secara bersama-sama dalam satu
organisasi (institution), tujuan utamanya untuk menyembuhkan penyakit
dan memulihkan kesehatan, serta sasarannya terutama untuk perseorangan
dan keluarga.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pelayan kesehatan menurut Purwoastuti
dan Walayani (2015 : 5) yaitu :
1. Ilmu pengetahuan dan teknologi baru
Meningkatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka akan
diikuti oleh perkembangan pelayanan kesehatan untuk mengatasi masalah
penyakit-penyakit yang sulit.
2. Nilai masyarakat
Dengan beragamnya masyarakat, maka dapat menimbulkan pemanfaatan
jasa pelayanan kesehatan yang berbeda. Masyarakat yang sudah maju

21
dengan pengetahuan yang tinggi, maka akan memiliki kesadaran yang
lebih, dalam penggunaan atau pemanfaatan jasa pelayanan kesehatan,
demikian juga sebaliknya.
3. Aspek legal dan etik
Dengan tingginya kesadaran masyarakat terhadap penggunaan atau
pemanfaatan jasa pelayanan kesehatan, maka akan semakin tinggi pula
tuntutan hukum dan etik dalam pelayanan kesehatan, sehingga pelaku
pemberi pelayanan kesehatan harus dituntut untuk memberikan pelayanan
kesehatan secara profesional dengan memperhatikan nilai-nilai hukum dan
etika yang ada di masyarakat.
4. Ekonomi
Semakin tinggi ekonomi seseorang, pelayanan kesehatan akan lebih
diperhatikan dan mudah dijangkau, begitu juga sebaliknya, keadaan
ekonomi ini yang akan dapat mempengaruhi dalam system pelayanan
kesehatan.
5. Politik
Kebijakan pemerintah melalui system politik yang ada akan semakin
berpengaruh sekali dalam system pemberian pelayanan kesehatan.
Kebijakan-kebijakan yang ada dapat memberikan pola dalam sistem
pelayanan.

2.1.2.4 Syarat Pelayanan Kesehatan


Mubarak dan Chayatin (2009:142-143) menyatakan suatu pelayanan
kesehatan dikatakan baik apabila memenuhi syarat-syarat berikut :
1. Tersedia (available) dan berkesinambungan (continous).
Artinya semua jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh
masyarakat tidak sulit ditemukan, serta keberadaannya dalam masyarakat
adalah pada setiap saat yang dibutuhkan.
2. Dapat diterima (acceptable) dan bersifat wajar (appropriate).
Artinya pelayanan kesehatan tersebut tidak bertentangan dengan
keyakinan dan kepercayaan masyarakat. Pelayanan kesehatan yang
bertentangan dengan adat istiadat, kebudayaan, keyakinan, kepercayaan

22
masyarakat, dan bersifat tidak wajar bukanlah suatu pelayanan kesehatan
yang baik.
3. Mudah dicapai (accesible).
Ketercapaian yang dimaksudkan disini terutama dari sudut lokasi. Dengan
demikian, untuk dapat mewujudkan pelayanan kesehatan yang baik, maka
pengaturan distribusi sarana kesehatan menjadi sangat penting. Pelayanan
kesehatan yang terlalu terkonsentrasi di daerah perkotaan saja dan itu tidak
ditemukan di daerah pedesaan bukanlah pelayanan kesehatan yang baik.
4. Mudah dijangkau (affordable).
Keterjangkauan yang dimaksudkan adalah terutama dari sudut biaya.
Untuk dapat mewujudkan keadaan yang seperti ini, harus diupayakan
biaya pelayanan kesehatan tersebut sesuai dengan kemampuan ekonomi
masyarakat. Pelayanan kesehatan yang mahal dan karena itu hanya
mungkin dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat saja, bukanlah pelayan
kesehatan yang baik.
5. Bermutu (quality).
Mutu yang dimaksud disini adalah yang merujuk pada tingkat
kesempurnaan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan, tata cara
penyelenggaraannya sesuai dengan kode etik serta standar yang telah
ditetapkan.
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 Tahun 2013 tentang
Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional menjelaskan untuk dapat
melakukan kerja sama dengan BPJS Kesehatan, fasilitas kesehatan tingkat
pertama dan tingkat rujukan harus memenuhi persyaratan yang telah ditentukan.
Persyaratan yang harus dipenuhi oleh fasilitas tingkat pertama sebagai berikut :
1) Untuk praktik dokter atau dokter gigi harus memiliki :
1. Surat Ijin Praktik;
2. Nomor Induk Wajib Pajak (NPWP); perjanjian kerja sama dengan
laboratorium, apotek, dan jejaring layanan; dan
3. Surat pernyataan kesediaan memenuhi ketentuan yang terkait dengan
Jaminan Kesehatan Nasional.

23
2) Untuk Puskesmas atau yang setara harus memiliki :
1. Surat Ijin Operasional;
2. Surat Ijin Praktik (SIP) bagi dokter/doketr gigi, Surat Ijin Praktik
Apoteker (SIPA) bagi apoteker, dan Surat Ijin Praktik atau Surat Ijin;
3. Kerja (SIP/SIK) bagi tenaga kesehatan lain; perjanjian kerja sama
dengan jejaring, jika diperlukan; dan surat pernyataan kesediaan
mematuhi ketentuan yang terkait dengan Jaminan Kesehatan Nasional.
3) Untuk klinik Pratama atau yang setara harus memiliki :
1. Surat Ijin Operasional;
2. Surat Ijin Praktik (SIP) bagi dokter/dokter gigi dan Surat Ijin
Praktik atau Surat Ijin Kerja (SIP/SIK) bagi tenaga kesehatan lain;
3. Surat Ijin Praktik Apoteker (SIPA) bagi Apoteker dalam hal klinik
menyelenggarakan pelayanan kefarmasian;
4. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) badan;
5. Perjanjian kerja sama dengan jejaring, jika diperlukan; dan
6. Surat pernyataan kesediaan mematuhi ketentuan yang terkait
dengan Jaminan Kesehatan Nasional.
4) Untuk Rumah Sakit Kelas D Pratama atau yang setara harus memiliki :
1. Surat Ijin Operasional;
2. Surat Ijin Praktik (SIP) tenaga kesehatan yang berpraktik;
3. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) badan;
4. Perjanjian kerja sama dengan jejaring, jika diperlukan; dan
5. Surat pernyataan kesediaan mematuhi ketentuan yang terkait dengan
Jaminan Kesehatan Nasional

Dan bagi fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan persyaratan yang


harus dipenuhi terdiri atas:
1) Untuk klinik utama atau yang setara harus memiliki :
1. Surat Ijin Operasional;
2. Surat Ijin Praktik (SIP) tenaga kesehatan yang berpraktik;
3. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) badan;

24
4. Perjanjian kerja sama dengan laboratorium, radiologi, dan jejaring lain
jika diperlukan; dan
5. Surat pernyataan kesediaan mematuhi ketentuan yang terkait dengan
Jaminan Kesehatan Nasional.
2) Untuk rumah sakit harus memiliki:
1. Surat Ijin Operasional;
2. Surat Penetapan Kelas Rumah Sakit;
3. Surat Ijin Praktik (SIP) tenaga kesehatan yang berpraktik;
4. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bedan;
5. Perjanjian kerja sama dengan jejaring, jika diperlukan;
6. Sertifikat akreditasi; dan
7. Surat pernyataan kesediaan mematuhi ketentuan yang terkait dengan
Jaminan Kesehatan Nasional.

2.1.2.5 Mutu Pelayanan Kesehatan


Menurut Aswar (1996) dalam Purwoastuti dan Walayani (2015:2), mutu
pelayanan kesehatan pelayanan kesehatan yang dapat memuaskan setiap jasa
pemakai pelayanan kesehatan yang sesuai dengan tingkat kepuasan rata-rata
penduduk serta penyelenggaraannya sesuai dengan standar dan kode etik profesi.
Mutu pelayanan kesehatan adalah derajat kesempurnaan pelayanan kesehatan
yang sesuai dengan standar profesi dan standar pelayanan dengan menggunakan
potensi sumber daya yang tersedia di rumah sakit atau puskesmas secara wajar,
effisien, dan efektif serta diberikan secara aman dan memuaskan secara norma,
etika, hukum dan sosial budaya dengan memperhatikan keterbatasan dan
kemampuan pemerintah, serta masyarakat konsumen (Purwoastuti dan Walayani,
2015:3).
Pelayanan kesehatan, baik di puskesmas, rumah sakit, atau institusi
pelayanan kesehatan lainnya, merupakan suatu sistem yang terdiri dari berbagai
komponen yang saling terkait, saling tergantung, dan saling mempengaruhi antara
satu dengan lainnya. Mutu pelayanan kesehatan di puskesmas dan rumah sakit
adalah produk akhir dari interaksi dan ketergantungan yang rumit antara berbagai
komponen atau aspek pelayanan (Bustami, 2011:17).

25
Mutu pelayanan kesehatan di puskesmas dan rumah sakit sangat
dipengaruhi oleh kualitas sarana fisik, jenis tenaga yang tersedia, obat dan alat
kesehatan, serta proses pemberian pelayanan. Oleh karena itu, peningkatan mutu
faktor-faktor tersebut termasuk sumber daya manusia dan profesionalisme
diperbolehkan agar pelayanan kesehatan yang bermutu dan pemerataan pelayanan
kesehatan dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat (Bustami, 2011:16).
Supranto (2006) mengemukakan bahwa peningkatan kualitas pelayanan
kesehatan dapat diupayakan dari berbagai aspek pelayanan seperti peningkatan
kualitas fasilitas kesehatan, peningkatan kualitas profesionalisme sumber daya
manusia dan peningkatan kualitas manajemen. Pelayanan yang berkualitas harus
dijaga dengan melakukan pengukuran sejauh mana kualitas pelayanan kesehatan
yang telah diberikan secara terus menerus dan berkala, agar diketahui kelemahan
dan kekurangan dari jasa pelayanan yang diberikan dan dibuat tindak lanjut sesuai
prioritas permasalahan yang ada di lapangan.

2.1.2.6 Pengertian Rumah Sakit


Berdasarkan Permenkes No.147 Tahun 2010, Rumah Sakit adalah institusi
pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan
secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat
darurat. Menurut American Hospital Association dalam Cecep (2012:30), rumah
sakit adalah suatu institusi yang fungsi utamanya memberikan pelayanan kepada
pasien Rumah Sakit diselenggarakan berasaskan Pancasila dan didasarkan kepada
nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak
dan anti diskriminasi, pemerataan, perlindungan dan keselamatan pasien, serta
mempunyai fungsi sosial (UU No 44 Tahun 2009). Oleh karena itu rumah sakit
mempunyai tugas memberikan pelayanan kesehatan secara paripurna. Rumah
sakit sebagai salah satu sistem pelayanan kesehatan secara garis besar
memberikan pelayanan untuk masyarakat berupa pelayanan kesehatan mencakup
pelayanan medik, pelayanan penunjang medik, rehabilitasi medik dan pelayanan
perawatan (Susatyo H, dkk, 2012: 107).
Pelayanan kesehatan di Rumah Sakit menurut perkembangannya karena
kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan khususnya dibidang kesehatan. Rumah

26
Sakit saat ini tidak saja bersifat pengobatan (kuratif) tetapi juga rehabilitasi
(rahabilitatif). Kedua pelayanan tersebut secara terpadu melalui upaya promosi
kesehatan (promotif) dan pencegahan (preventif). Sasaran pelayanan Rumah Sakit
menurut Susatyo, dkk (2012: 108) tidak hanya individu pasien, tetapi keluarga
dan juga masyarakat umum. Pelayanan kesehatan tersebut adalah yang dimaksud
dengan pelayanan secara paripurna.

2.1.2.7 Klasifikasi Rumah Sakit


Menurut UU No. 44 tahun 2009 Pasal 19, rumah sakit dapat dibagi
berdasarkan jenis pelayanan dan pengelolaannya. Berdasarkan jenis pelayanan
yang diberikan, rumah sakit dikategorikan dalam rumah sakit umum dan rumah
sakit khusus.
a. Rumah sakit umum yaitu rumah sakit yang memberikan pelayanan
kesehatan pada semua jenis bidang dan jenis penyakit.
b. Rumah sakit khusus yaitu rumah sakit yang memberikan pelayanan utama
pada satu bidang atau satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin
ilmu, golongan umur, organ, jenis penyakit, atau kekhususan lainnya.
Menurut UU No. 44 Tahun 2009 Pasal 24 menyatakan bahwa dalam
penyelenggaraan pelayanan kesehatan secara berjenjang dan fungsi rujukan,
rumah sakit umum dan rumah sakit khusus diklasifikasikan berdasarkan fasilitas
dan kemampuan pelayanan rumah sakit. Klasifikasi rumah sakit umum terdiri:
a. Rumah Sakit Umum Kelas A
Fasilitas dan kemampuan pelayanan medik yang harus dipunyai rumah
sakit umum kelas A paling sedikit 4 (empat) pelayanan medik spesialis
dasar, 5 (lima) pelayanan spesialis penunjang medic, 12 (dua belas
pelayanan spesialis lain dan 13 (tiga belas) pelayanan medik sub spesialis.
b. Rumah Sakit Umum Kelas B
Fasilitas dan kemampuan pelayanan medic yang harus dipunyai rumah
sakit umum kelas A paling sedikit 4 (empat) pelayanan medik spesialis
dasar, 5 (lima) pelayanan spesialis penunjang medik, 8 (delapan)
pelayanan spesialis lain dan 2 (dua) pelayanan medik sub spesialis dasar.
c. Rumah Sakit Umum Kelas C

27
Rumah sakit umum kelas C harus mempunyai fasilitas dan kemampuan
pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) pelayanan spesialis penunjang
medik.
d. Rumah Sakit Umum Kelas D
Rumah sakit umum kelas D harus mempunyai fasilitas dan kemampuan
pelayanan medic paling sedkit 2 (dua) pelayanan medik spesialis dasar.
e. Rumah Sakit Khusus Jenis rumah sakit khusus antara lain rumah sakit ibu
dan anak, jantung, kanker, orthopedic, paru, jiwa, kusta, mata,
ketergantungan obat, stroke,penyakit infeksi, bersalin, gigi dan mulut,
rehabilitasi medik, telinga hidung tenggorokan, bedah, ginjal, kulit dan
kelamin. Saat ini pemerintah sudah berusaha meningkatkan status Rumah
Sakit di Kabupaten menjadi kelas C (Susatyo H, dkk, 2012: 107).

2.1.2.8 Pengertian Rawat Jalan


Pelayanan rawat jalan merupakan kegiatan pelayanan medis yang berkaitan
dengan kegiatan poliklinik (Cecep A, 2012:43). Karena bersifat rawat jalan maka
pasien yang berobat hanya jam kerja saja, pasien tidak menginap dirumah sakit.
Alur pelayanan pasien yang berkunjung ke poliklinik rawat jalan yaitu mulai dari
pendaftaran, menunggu pemeriksaan di ruang tunggu dan mendapatkan pelayanan
pemeriksaan/ pengobatan di ruang periksa. Kemudian pelayanan pengambilan
obat di apotik, pemeriksaan laboratorium ataupun pemeriksaan penunjang lainnya.
Menurut Sabarguna B (2012:96), pelayanan rawat jalan fokus pada elemen
penting dari segi: pasar; pelayanan; organisasi termasuk pula: sistem pembayaran;
sistem pemberian pelayanan; batasan hukum; kepuasan pasien; hasil manajemen;
dan status kesehatan masyarakat. Keterkaitannya sebagai berikut:
GAMBAR
Peran masing-masing segi akan tergantung pada jenis pelayanan. Pelayanan
rawat jalan harus memperhatikan dan melibatkan segi yang terkait dan berperan
termasuk didalamnya yaitu kepuasan pasien (Sabarguna B, 2012:96).

2.1.3.2 Prosedur Pelayanan Rawat Jalan

28
Prosedur pelayanan rawat jalan di rumah sakit menurut Bagus (2010:22)
adalah sebagai berikut:
1. Penerimaan Pasien Rawat Jalan
Pelayanan bagian penerimaan memegang peranan penting di rumah sakit.
Kesan baik atau buruknya manajemen rumah sakit tergantung pada
pelayanan ini. Untuk itu kesiapan petugas, kelengkapan dan prasarana
dibagian penerimaan pasien haruslah optimal. Diperlukan petugas yang
memiliki dedikasi tinggi seperti terampil, ramah, sopan, simpatik, luwes,
penuh pengertian, mempunyai kemampuan berkomunikasi dengan
baik.prosedur kerja yang jelas dan tegas serta tersusun rapi, data yang
akurat, tariff serta peralatan untuk pelayanan harus sesuai standar.
2. Pemeriksaan Dokter
Pelayanan dokter dalam proses rawat jalan merupakan pelayanan utama
rumah sakit, dengan tujuan mengupayakan kesembuhan bagi pasien secara
optimal, melalui prosedur serta tindakan yang dapat dipertanggung
jawabkan. Mereka dapat memberikan dampak langsung pada mutu
pelayanan dan dapat memberikan prestige pada rumah sakit. Dokter umum
maupun doker spesialis memeriksa pasien dengan menjalankan
penatalaksanaan perawatan pasien tersebut yang meliputi pemeriksaan,
diagnosa, pemeriksaan tambahan, pemeriksaan lanjutan, ajuran-anjuran
dan lain-lain.
3. Hak Perawatan oleh Dokter
Hak perawatan pasien di ruang pemeriksaan/poli ialah oleh dokter yang
jaga/bertugas. Pasien mendapatkan proses pengobatan dan nasihat yang
diberikan oleh dokter akan tercapai dengan baik bila dokter dapat
mengadakan komunikasi timbal balik dengan pasiennya. Dokter sangat
memperhatikan kepentingan pasien, dan bersedia mendengarkan pendapat
dan keluhan pasien, akan menyebabkan pasien lebih bersedia mematuhi
bimbingan/nasihatnya sehingga kesembuhan sebagai produk yang
diinginkan oleh kedua belah pihak akan segera terwujud (Isfandyarie A,
2006).
4. Pemberian Informasi

29
Dalam memperoleh penjelasan tentang diagnosis dan terapi dari dokter
yang mengobati, bisa disebut sebagai hak atas informasi. Inti dari hak
informasi ini adalah hak pasien dalam memperoleh informasi yang sejelas-
jelasnya tentang hal-hal yang berhubungan penyakitnya. Dalam hal ini
terjadi hubungan dokter- pasien, hak pasien atas informasi ini secara
otomatis menjadi kewajiban dokter untuk dijalankan baik diminta atau
tidak oleh pihak pasien.
Menurut Isfandyarie (2006), beberapa kendala dalam memberikan informasi
yang mungkin kurang dapat dilakukan oleh banyak dokter:
a. Kesibukan dan rutinitas pekerjaan dokter yang banyak menyita waktu,
sehingga dokter kurang mempunyai waktu untuk memberikan seluruh
informasi.
b. Banyaknya pasien yang dihadapi dokter setiap hari mungkin dapat
menyebabkan dokter mengalami kebosanan atau kejenuhan dalam
memberikan informasi yang berlebihan.
Keadaan pasien yang sakit baik secara fisik maupun psikis menimbulkan
kesulitan pula bagi dokter. Informasi yang terlalu banyak dapat menyebabkan
pasien menjadi takut sehingga dapat memperburuk proses penyembuhan. Bahkan
pasien mungkin akan menolak tindakan medis karena ketakutan. Sedangkan
pemberian terlalu sedikit informasi dapat menyebabkan salah penafsiran.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Arisandy, W. (2015). Strategi Dinas Kesehatan dalam Meningkatkan


Kualitas Pelayanan Kesehatan melalui Metode CRC (Citizen Report Card)
di Kota Surabaya. Universitas Airlangga.
2. Badan Pusat Statistik. Hasil Sensus Penduduk 2020. Kementerian
Dalam Negeri Berita Resmi Statistik No. 7/01/Th. Xxiv, 21 Januari 2021
3. Anggraini dan Afiana Rohami. 2012 Jurnal. Hubungan Kepuasan Pasien
Dengan Minat Pasien Dalam Pemanfaatan Ulang Pelayanan Kesehatan
Pada Praktek Dokter Keluarga. Semarang : Universitas Muhammadiyah
Semarang. ISBN : 978-602-18809-0-6.
4. Asep Arifin Senjaya , Kadek Adi Tresna Yasa. Hubungan Pengetahuan
Dengan Kebersihan Gigi Dan Mulut Siswa Kelas VII Di SMP N 3
Selemadeg Timur Tabanan Tahun 2018. Jurnal Kesehatan Gigi (Dental
Health Journal) Vol 6 No. 2 Agustus 2019
5. Permana, M. A. (2018). Pengaruh Mutu Pelayanan KesehatanTerhadap
Minat Kunjungan UlangPasien ke Puskesmas Kota Medan. Universitas
Sumatera Utara
6. Azwar, azrul. Menjaga Mutu Pelayanan Kesehatan. Jakarta : Sinar
Harapan.1996.
7. Hamidiyah, A. (2013). Hubungan Persepsi Pasien Tentang Kualitas
Pelayanan dengan Minat Kunjungan Ulang di Klinik Umum Rumah Sakit
Bhineka Bakti Husada Kota Tangerang Selatan. UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
8. Tjiptono, F., Chandra, G. (2016). Service, Quality dan Satisfaction.
Yogyakarta: CV Andi Offset.
9. Rahmiati, Nauri Anggita Temesvari.Hubungan Dimensi Kualitas
Pelayanan Dengan Minat Kunjungan Ulang Pasien Di Instalasi Rawat
Jalan Rumah Sakit Umum Kabupaten Tangerang Tahun 2019 Jurnal
Kesehatan 13 (1) 2020, 13-21
10. Kemenkes Republik Indonesia. (2017). Profil Dinas Kesehatan Tahun
2017. Jakarta

31
11. Habibi, A., Hakim, F., & Azizi, F. S. (2019). Hubungan Mutu Pelayanan
Keperawatan dengan Minat Kunjungan Ulang Rawat Jalan di RSIA PKU
Muhammadiyah Cipondoh. Jurnal JKFT: Universitas Muhamadiyah
Tangerang, 4(2)
12. Eka, D.L., Samsualam., Reza, A.A. 2017. Pengaruh Kualitas Layanan
Terhadap Kepuasan dan Minat Kunjungan Ulang Pasien di Wilayah Kerja
Puskesmas Mandai Kabupaten Maros Tahun 2017. Jurnal Ilmiah
Kesehatan Diagnosis. Vo.11, No.4.
13. Hasbi, F. (2012). Analisis Hubungan Persepsi Pasien Tentang Mutu
Pelayanan Dengan Pemanfaatan Ulang Pelayanan Rawat Jalan Puskesmas
Poncol Kota Semarang Tahun 2012. Jurnal Kesehatan Masyarakat
Universitas Diponegoro, 1(2), 18776.
14. Lontaan, V., Rumayar, A. A., Tucunan, A. A. T., Kesehatan, F.,
Universitas, M., Ratulangi, S., Pasien, K. (2018). Hubungan antara
Persepsi Pasien terhadap Mutu Jasa Pelayanan Kesehatan dengan
Kepuasan Pasien Rawat Jalan di Puskesmas Ratahan Kabupaten Minahasa
Tenggara.Jurnal Kesmas, 7(5).
15. RSUD DEPOK. Grafik Jumlah Kunjungan Pasien.
https://rsud.depok.go.id/?page_id=600

32

Anda mungkin juga menyukai