PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB) di dunia masih
terbilang tinggi, menurut data World Health Organization (WHO) pada tahun
2013, ada sekitar 800 ibu di dunia meninggal setiap harinya akibat komplikasi
kehamilan dan persalinan. Penyebab utama dari kematian ibu antara lain sumber
daya yang rendah, perdarahan, hipertensi, infeksi, dan penyakit penyerta lainnya
yang diderita ibu sebelum masa kehamilan. Wanita yang tinggal di negara
berkembang memiliki resiko kematian 23 kali lebih besar dibandingkan dengan
wanita yang tinggal di negara maju sehubungan dengan faktor yang berhubungan
dengan kehamilan dan persalinan (WHO, 2013).
Selain angka kematian ibu, angka kematian anak di dunia juga masih tinggi.
Meskipun begitu, menurut hasil pengamatan yang dilakukan oleh WHO terhadap
program Millennium Development Goals (MDGs) melalui program Global Health
Observatory (GHO), terutama MDGs 4 yang berisi tentang mengurangi angka
kematian anak terlihat bahwa angka kematian anak di dunia mengalami penurunan
sekitar 50% pada tahun 2013 bila dibandingkan dengan tahun 1990, tahun dimana
program MDGs sendiri mulai dicanangkan, pada tahun 1990 angka kematian anak
mencapai 12,7 juta, dan pada 2013 angka kematian anak di dunia tercatat sebesar
6,3 juta (WHO, 2013).
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian AKI & AKB ?
2. Apa penyebab AKI & AKB ?
3. Bagaimana Data AKI & AKB ?
4. Mengapa AKI & AKB masih tinggi ?
5. Bagaimana kebijakan pengendalian AKI & AKB ?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian AKI & AKB.
2. Mengetahui penyebab AKI & AKB.
3. Mengetahui Data AKI & AKB.
4. Mengetahui AKI & AKB masih tinggi.
5. Mengetahui kebijakan pengendalian AKI & AKB.
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Menurut WHO (Jurnal Matematika dan Pendidikan Matematika, 2016:2)
kematian ibu yaitu kematian dari setiap wanita selama kehamilan, bersalin atau
dalam 42 hari sesudah berakhirnya kehamilan oleh sebab apapun, tanpa melihat
usia dan lokasi kehamilan oleh setiap penyebab yang berhubungan dengan atau
diperberat oleh kehamilan atau penanganannya tetapi bukan oleh kecelakaan atau
incidental (faktor kebetulan).
Pengertian Angka Kematian Bayi (AKB) (Jurnal Kesehatan Masyarakat
Andalas, 2015:2) adalah jumlah kematian bayi dalam usia 28 hari pertama
kehidupan per 1000 kelahiran hidup. Dijelaskan pada jurnal ini penyebab
kematian bayi, ada dua macam yaitu endogen dan eksogen. Kematian bayi
endogen atau kematian neonatal disebabkan oleh faktor-faktor yang dibawa bayi
sejak dilahirkan, yang dapat diperoleh dari orang tuanya pada saat konsepsi.
Sedangkan kematian bayi eksogen atau kematian postneonatal disebabkan oleh
faktor-faktor yang berkaitan dengan pengaruh lingkungan luar.
2
terlambat mengambil keputusan untuk dirujuk ke tempat pelayanan kesehatan,
sebagai contohnya adalah terlambat mengenali tanda bahaya sehingga ibu sampai
di tempat pelayanan kesehatan sudah dalam kondisi darurat (Depkes RI, 2012).
3
5. Pada tahun 2002 sebesar 45 per 1.000 kelahiran hidup
6. Sedangkan AKB menurut hasil SDKI 2002-2003 terjadi penurunan yang
cukup besar, yaitu menjadi 35 per 1.000 kelahiran hidup
7. Sementara hasil SDKI 2007 hasilnya menurun lagi menjadi 34 per 1.000
kelahiran hidup, angka ini berada jauh dari yang diproyeksikan oleh Depkes
RI yakni sebesar 26,89 per 1.000 kelahiran hidup
E. Kebijakan Pengendalian
Untuk mengurangi AKI dan AKB di Indonesia, pemerintah mengeluarkan
beberapa program dan upaya antara lain penerapan pendekatan safe methode pada
tahun 1990, program Buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) yang mulai di
ujicobakan sejak tahun 1994, gerakan sayang ibu pada tahun 1996, Making
pragnancy safer pada tahun 2000, bantuan operasional kesehatan (BOK) pada
4
tahun 2010, jampersal yang di mulai pada tahun 2011, dan juga program
expanding mathernal and neonatal safer pada tahun 2012 (Kemenkes RI, 2013).
Buku kesehatan ibu dan anak (KIA) sebagai salah satu program dan upaya
pemerintah guna mengurangi AKI dan AKB merupakan hasil kerja 3 sama
Departemen Kesehatan-RI dengan Japan International Cooperation Agency
(JICA). Buku KIA merupakan alat yang sederhana namun efektif sebagai alat
informasi, edukasi, dan komunikasi. Oleh karena itulah pada tahun 1997
Departemen Kesehatan menggunakan model buku KIA tersebut sebagai acuan
dalam pengembangan buku KIA versi nasional, dan menjadikan buku KIA
sebagai program nasional (Destria, 2010).
Penggunaan buku KIA merupakan strategi pemberdayaan masyarakat
terutama keluarga untuk memelihara kesehatannya dan mendapatkan pelayanan
kesehatan ibu dan anak yang berkualitas. Buku KIA sebagaimana tercantum
dalam keputusan Mentri Kesehatan no 284/Menkes/SK/III/2004 mengenai buku
KIA memiliki beberapa kegunaan antara lain sebagai pedoman yang dimiliki ibu
dan anak yang berisi informasi dan catatan kesehatan ibu dan anak, dan juga buku
KIA berfungsi sebagai satu-satunya alat pencatatan kesehatan ibu dan anak, selain
itu isi dari buku KIA juga berfungsi sebagai alat penyuluh Kesehatan atau
pembelajaran, dan alat komunikasi kesehatan (Kepmenkes RI No 284, 2004).
Sejak berakhirnya MDGs pada 2015 dan berlakunya SDGs, upaya penurunan
AKI masih menjadi perhatian khusus di dunia. Salah satu perubahan mendasar
yang dibawa oleh SDGs adalah prinsip “tidak ada seorang pun yang
ditinggalkan”. Artinya cakupan target dan pelayanan dalam era SDGs lebih
menyeluruh (100%) bila dibandingkan saat era MDGs yang hanya setengahnya
(50%). Mengingat banyaknya aspek yang ada dalam SDGs dan informasi yang
terlalu sedikit terkait SDGs di Indonesia, maka dibuatlah buku “Panduan SDGs
untuk Pemerintah Daerah (Kota dan Kabupaten) dan Pemangku Kepentingan
Daerah”. Buku panduan ini menyajikan penjelasan mengenai SDGs, peranan
pemerintah daerah, pengalaman dan pembelajaran dari pelaksanaan MDGs, serta
upaya– upaya yang diperlukan untuk memulai pelaksanaan SDGs untuk kurun
2015–2030.
Sistem desentralisasi yang berlaku di Indonesia membuat dua pertiga nasib
dan kualitas hidup warga sangat ditentukan oleh baik buruknya kinerja pemerintah
daerah. Mulai dari kebersihan lingkungan, seperti pengelolaan sampah, hingga
5
kualitas sekolah dan pelayanan kesehatan, semuanya tergantung pada tinggi
rendahnya mutu pelayanan publik di daerah.
Pentingnya peran pemerintah daerah bukan hanya berlaku di Indonesia saja,
melainkan juga di seuruh dunia. Dalam bukunya If Major Ruled The World
(2013), Benjamin Barber meletakkan harapan kepada para wali kota untuk
mengatasi masalah–masalah besar dunia (perubahan iklim, pencegahan terorisme,
pengurangan kemiskinan, tata niaga perdagangan obat). Menurutnya pemerintah
daerah merupakan tenaga dan energi perubahan. Menurut Barber, ada tiga alasan
yang mendasari pemikiran tersebut: (i) kota merupakan hunian bagi lebih dari
separuh penduduk dan karenanya merupakan mesin penggerak ekonomi; (ii) kota
telah menjadi rumah pencetus dan inkubator berbagai inovasi sosial, ekonomi dan
budaya; dan (iii) para pemimpin kota dan pemerintah daerah tidak terbebani
dengan isu kedaulatan serta batas–batas bangsa yang menghalangi mereka untuk
bekerja sama.
Keberhasilan SDGs tidak dapat dilepaskan dari peranan penting pemerintah
daerah. Pasalnya pemerintah kota dan kabupaten berada lebih dekat dengan
warganya, memiliki wewenang dan dana, dapat melakukan berbagai inovasi, serta
ujung tombak penyedia layanan publik dan berbagai kebijakan serta program
pemerintah.
Dari pengalaman era MDGs (2000–2015), Indonesia ternyata belum berhasil
menurunkan angka kematian ibu, akses kepada sanitasi dan air minum, dan
penurunan prevalansi AIDS dan HIV. Hal ini disebabkan karena pemerintah
daerah tidak aktif terlibat di dalam pelaksanaan MDGs. Juga karena pemerintah
daerah kurang didukung. Salah satu upaya untuk mendorong keberhasilan SDGs
di daerah adalah melalui penyediaan informasi yang cukup bagi pemerintah
daerah.
Secara khusus, buku panduan ini bertujuan:
1. Menyediakan informasi kunci, meski serbasingkat, tentang SDGs dan
mengapa peranan pemerintah daerah dan para pemangku kepentingan di
daerah menjadi kunci keberhasilan pelaksaaan SDGs
2. Menyediakan pilihan dan contoh – contoh kebijakan dan program yang
dapat diadopsi dengan melihat keragaman dan tingkat kemajuan atau
tantangan pembangunan di tiap – tiap daerah
6
3. Menyediakan contoh – contoh praktis yang dapat menjadi inspirasi bagi
pemerintah daerah dan para pemangku kepentingan lainnya di daerah.
7
2. Menurunnya angka kematian bayi dari 32 menjadi 24 per 1.000 kelahiran
hidup.
3. Menurunnya persentase BBLR dari 10,2% menjadi 8%.
4. Meningkatnya upaya peningkatan promosi kesehatan dan pemberdayaan
masyarakat, serta pembiayaan kegiatan promotif dan preventif.
5. Meningkatnya upaya peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat.
Sedangkan dalam rangka meningkatkan daya tanggap (responsiveness) dan
perlindungan masyarakat terhadap risiko sosial dan finansial di bidang
kesehatan, maka ukuran yang akan dicapai adalah:
1. Menurunnya beban rumah tangga untuk membiayai pelayanan kesehatan
setelah memiliki jaminan kesehatan, dari 37% menjadi 10%
2. Meningkatnya indeks responsiveness terhadap pelayanan kesehatan dari
6,80 menjadi 8,00.
Beberapa wilayah di Indonesia masih mengalami kendala dalam
menurunkan AKI. Jawa Barat masih tercatat sebagai daerah di Jawa dengan
AKI tertinggi pada 2013. Jawa Tengah masih mengalami fluktuasi AKI tiap
tahunnya, namun sudah berhasil menurunkan 711 kasus kematian ibu pada
tahun 2014 menjadi 115 pada tahun 2015. Selain Jawa Barat dan Jawa
Tengah, Surabaya juga turut mengalami masalah dalam upaya penurunan AKI
ini. Dengan bantuan pemerintah daerah yang dinilai cukup tanggap, banyak
relawan digerakkan untuk melakukan pendampingan kepada para ibu hamil di
wilayah Surabaya.
Pada 2006, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, merupakan salah satu
kabupaten dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terburuk di Provinsi
Sulawesi Selatan. Di kabupaten ini, rasio kematian ibu masih sangat tinggi,
yaitu sebesar 300 per 100.000 kelahiran hidup. Salah satu penyebab tingginya
AKI diduga akibat proses persalinan tradisional yang hanya ditolong oleh
dukun bayi atau dukun beranak yang tidak terlatih.
Untuk memecahkan masalah ini, pemerintah kabupaten menginisiasi
program Kemitraan Bidan dan Dukun (KBD) pada tahun 2007. Program ini
secara umum berupaya mengalihfungsikan peranan dukun bayi atau dukun
beranak (sanro) dalam persalinan tradisional kepada perawatan bayi dan ibu
pasca–melahirkan. Selain dilatih, mereka diajak untuk mendorong setiap ibu
melahirkan agar dapat ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih seperti bidan.
8
Setiap dukun bayi mendapatkan insentif Rp 50.000 manakala merujuk upaya
persalinan ini ke bidan desa.
Tiga tahun kemudian, program KBD diperkuat melalui payung hukum
Peraturan Daerah No.2/2010. Adanya jaminan hukum melalui peraturan
daerah, secara perlahan ikut mendorong bidan mendapatkan kepercayaan dari
masyarakat. Sementara itu, dukun tetap tidak kehilangan pekerjaan, bahkan
mendapatkan tambahan penghasilan. Sebagai hasilnya, indikator–indikator
seperti K1 (kunjungan antenatal trimester pertama) naik lima kali lipat, dari 23
persen (2006) menjadi 105 persen (2012), K4 (kunjungan antenatal trimester
keempat) naik dari 25,37 persen (2006) menjadi 97 persen (2012) dan
persalinan ditolong tenaga kesehatan meningkat menjadi 96,4 persen pada
tahun 2011. Upaya tersebut juga telah membuat angka kematian ibu di Takalar
menurun hingga 0 pada kurun waktu 2009 – 2010. Pada tahun 2012, di
Kabupaten Takalar tidak ditemui lagi insiden kematian ibu.
Dari berbagai contoh kasus di atas, terlihat bahwa peran pemerintah daerah
sangat menentukan keberhasilan dalam upaya penurunan AKI. Semakin
responsif/ tanggap suatu pemerintah daerah makan penurunan AKI akan
semakin mudah dicapai. Tentunya hal ini juga diperngaruhi dengan sistem
informasi/ pencatatan kejadian kematian ibu yang baik, sehingga dapat
membantu pemerintah dalam menentukan langkah atau kebijakan yang sesuai
dengan masalah yang ada dan target penurunan AKI bisa tercapai.
9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB) di dunia masih
terbilang tinggi, menurut data World Health Organization (WHO) pada tahun
2013, ada sekitar 800 ibu di dunia meninggal setiap harinya akibat komplikasi
kehamilan dan persalinan.
Penyebab langsung kematian di Indonesia 90% terjadi pada saat persalinan.
Selain itu penyebab tidak langsung dari kematian ibu adalah faktor keterlambatan
yaitu terlambat mengambil keputusan untuk dirujuk ke tempat pelayanan
kesehatan, sebagai contohnya adalah terlambat mengenali tanda bahaya sehingga
ibu sampai di tempat pelayanan kesehatan sudah dalam kondisi darurat (Depkes
RI, 2012).
47% kematian Balita adalah kematian Neonatal (Sumber: Levels & Trends in
Child Mortality. Report 2018. unicef, WHO, World Bank, United Nations) .AKI
di Indonesia, (Hasil SUPAS thn 2015) 305/100.000 kelahiran hidup (Sumber:
ASEAN Secretariat, 2017). Angka Kematian Ibu (AKI) diperoleh melalui
berbagai survey yang dilakukan secara khusus seperti survey di Rumah Sakit dan
beberapa survey di masyarakat dengan cakupan wilayah yang terbatas.
Masalah Tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian
Neonatal (AKN) di Indonesia: Ketersediaan data akurat, Efektivitas Program dan
Ketersediaan Data Akurat dan Implikasinya.
Peran pemerintah daerah sangat menentukan keberhasilan dalam upaya
penurunan AKI. Semakin responsif/ tanggap suatu pemerintah daerah makan
penurunan AKI akan semakin mudah dicapai. Tentunya hal ini juga diperngaruhi
dengan sistem informasi/ pencatatan kejadian kematian ibu yang baik, sehingga
dapat membantu pemerintah dalam menentukan langkah atau kebijakan yang
sesuai dengan masalah yang ada dan target penurunan AKI bisa tercapai.
10
DATAR PUSTAKA
11