PENDAHULUAN
Tenaga bidan merupakan salah satu tenaga kesehatan utama sebagai ujung tombak
pembangunan kesehatan dalam upaya percepatan penurunan AKI dan AKB. Untuk itu
dibutuhkan tenaga bidan yang terampil melakukan prosedural klinis dengan kemampuan
analisis, kritis, dan tepat dalam penatalaksanaan asuhan pada perempuan. Keterlibatan bidan
dalam asuhan normal dan fisiologis sangat menentukan demi penyelamatan jiwa ibu dan bayi
oleh karena wewenang dan tanggung jawab profesionalnya sangat berbeda dengan tenaga
kesehatan lain (Kepmenkes RI, 2010). Asuhan kebidanan kepada seorang perempuan selama
fase kritis (hamil, bersalin, dan nifas) sangat menentukan kualitas kesehatan perempuan (ICM,
2005). Kondisi seorang perempuan selama menjalani kehamilan, persalinan dan masa nifas
Berdasarkan hasil Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) pada tahun 2012,
AKI dan AKB di Indonesia masih sangat tinggi, yaitu AKI sebesar 208/100.000 kelahiran
hidup dan AKB sebesar 32/1000 kelahiran hidup (Depkes RI, 2012). Target MDGs 2015
diharapkan AKI menurun menjadi 102/100.000 kelahiran hidup dan AKB 23/1000 kelahiran
hidup (Depkes RI, 2010). Salah satu upaya untuk percepatan penurunan AKI dan AKB tersebut
adalah dengan menyediakan tenaga bidan yang ditempatkan di desa-desa. Di sisi lain
pemerintah dalam rangka menurunkan AKI membuat program percepatan penambahan jumlah
tenaga kesehatan termasuk didalamnya tenaga bidan melalui perijinan pendirian institusi
pendidikan kebidanan yang saat ini jumlahnya telah mencapai 729 institusi pendidikan bidan
signifikansi pada penurunan AKI sebagaimana yang diharapkan. Sehingga dibuatlah regulasi
lainnya oleh pemerintah melalui pelaksanaan uji kompetensi yang diduga dapat meningkatkan
kualitas lulusan bidan yang kompeten dan siap pakai yang telah diselenggarakan sejak bulan
November 2013. Pelaksanaan uji kompetensi merupakan indikator standarisasi lulusan yang
dihasilkan oleh penyelenggara pendidikan kebidanan. Standarisasi ini juga mendorong untuk
dibuatnya standarisasi dalam hal proses pendidikan untuk menghasilkan lulusan yang
berkualitas.
mengatakan penyebab angka kematian ibu melahirkan adalah karena faktor '4 Terlalu dan 3
Terlambat'. Berikut ini adalah penjelasan Ketua Umum Kowani Giwo Rubianto saat konferensi
pers kegiatan Fun Walk Ibu Sehat, Indonesia Sehat 2016 di FX Sudirman, Jakarta, Minggu
(18/12). 1. Terlalu Tua : Di atas usia 35 tahun masih banyak yang melahirkan. Bukan hanya
terjadi di daerah tertinggal, terluar, dan terpencil tapi juga terjadi di kota-kota besar, salah
satunya Jakarta, 2. Terlalu Muda : Belum usia produktif yang baik dan usia sehat sudah dipaksa
menikah dan kemudian melahirkan, 3. Terlalu Banyak : Terlalu banyak anak, padahal dua saja
sudah cukup, 4. Terlalu Sering : Sudah banyak anak dan sering melahirkan. Misalnya dalam
Sementara '3 Terlambat' yaitu pertama adalah terlambat untuk mengetahui bahaya-
melahirkan. Di daerah terpencil masih sering terjadi.Sragen misalnya salah satu daerah
penyumbang AKI melahirkan karena faktor geografis. Dan ketiga, terlambat mendapatkan
fasilitas untuk melahirkan. Hal-hal itu faktor yang secara langsung maupun tidak langsung
akhirnya ibu hamil meninggal karena melahirkan,". Sementara itu, dr. Grace Valentine, Sp.Og
menuturkan terdapat empat pilar yang dapat dilakukan untuk menurunkan AKI melahiran.
"Pertama, melakukan perencanaan kehamilan. Kedua, melakukan asuhan yang baik dan
berkualitas. Ketiga, melakukan persalinan yang bersih dan aman. Dan keempat, sistem rujukan
dan akses yang baik," (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Republik Indonesia, 2016). Berdasarkan fakta diatas, maka penulis tertarik untuk membahas
1.3 Tujuan
Untuk mengetahui kualitas pelayanan kebidanan dalam hal penurunan AKI dan AKB
Untuk mengidentifikasi:
1. Pendidikan Bidan
2. Kompetensi Bidan
3. Kualitas Pelayanan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
kebidanan. Pendidikan bidan dimulai pada masa penjajahan Hindia Belanda. Pada tahun 1851
seorang dokter militer Belanda (Dr. W. Bosch) membuka pendidikan bidan bagi wanita
pribumi di Batavia. Pada tahun 1902 bidan dibuka kembali bagi wanita pribumi dan lulusan
dari pendidikan ini harus bersedia untuk ditempatkan dimana saja tenaganya dibutuhkan dan
Pada tahun 1911/1912 dimulai pendidikan tenaga keperawatan secara terencana di CBZ
(RSUP) Semarang dan Batavia. Pada tahun 1914 telah diterima juga peserta didik wanita
pertama dan bagi perawat wanita yang lulus dapat meneruskan kependidikan kebidanan selama
dua tahun. Pada tahun 1954 dibuka pendidikan guru bidan secara bersama-sama dengan guru
perawat dan perawat kesehatan masyarakat di Bandung. Pada tahun 1975-1984 institusi
pendidika ditutup, sehingga 10 tahun tidak menghasilkan bidan. Pada tahun 1989 dibuka kursus
program pendidikan bidan secara nasional, program ini dikenal sebagai program Pendidikan
Kebidanan Bidan A(PPB/A). Pada tahun 1993 dibuka Program Pendidikan Bidan Program B
dan C. Selain program pendidikan bidan diatas, sejak tahun 1994-1995 pemerintah juga
menyelenggarakan uji coba Pendidikan Bidan Jarak Jauh (distance learning) , kebijakan ini
dilaksanakan untuk memperluas cakupan upaya peningkatan mutu Universitas Sumatera Utara
2 tenaga kesehatan yang sangat diperlukan dalam pelaksanaan mutu tenga kesehatan yang
sangat diperlukan dalam pelaksanaan peningkatan mutu pelayanan kesehatan. Pada tahun 2000
telah ada tim pelatih Asuhan Persalinan Normal (APN) yang dikoordinasikan oleh Maternal
Neonatal Health yang sampai saat ini telah melatih APN di beberapa propinsi/kabupaten.
Kebidanan di seluruh Indonesia pada tahun ini telah meluluskan peserta didik sebanyak 1196
orang. Harapan yang tinggi terhadap lulusan yang dihasilkan oleh pendidikan ini ialah mampu
menganalisis, mengantisipasi, dan lebih cepat dan tepat mengambil keputusan untuk
menyelamatkan dua nyawa, ibu dan bayi, yang berdampak pada kesejahteraan keluarga.
berkesinambungan,berlanjut sesuai dengan prinsip belajar seumur hidup bagi bidan yang
formal. Dikatakan professional apabila memiliki pengetahuan dan kemampuan yang dihasilkan
melakanakan peran, fungsi dan tugasnya didasarkan pada kemampuan dan kewenangan yang
diberikan, dimana wewenang yang diberikan selalu mengalami perubahan sesuai dengan
derajat kesehatan masyarakat (Permenkes 900, 2002). Dalam keadaan darurat bidan juga diberi
wewenang pelayanan kebidanan yang ditujukan untuk penyelamatan jiwa, dimana dalam
kemampuan, pendidikan, pengalaman serta berdasarkan standar profesi. Salah satu faktor
penting dalam upaya penurunan angka kematian yaitu dengan cara menyediakan pelayanan
kesehatan maternal dan neonatal yang berkualitas dan dekat dengan masyarakat difokuskan
pada tiga pesan kunci Making Pregnency Safer (MPS) , yaitu setiap persalinan ditolong oleh
tenaga kesehatan yang terlatih, setiap komplikasi obstetri dan neonatal mendapat pelayanan
yang adekuat dan setiap wanita subur mempunyai akses terhadap pncegahan kehamilan yang
tidak diinginkan dan penanganan komplikasi keguguran. Untuk dapat memberikan pelayanan
kesehatan maternal dan neonatal yang berkualitas dibutuhkan tenaga kesehatan yang terampil
dan didukung oleh tersedianya sarana dan prasarana yang memadai sesuai dengan standar
2.2
BAB II
PEMBAHASAN