Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tenaga bidan merupakan salah satu tenaga kesehatan utama sebagai ujung tombak

pembangunan kesehatan dalam upaya percepatan penurunan AKI dan AKB. Untuk itu

dibutuhkan tenaga bidan yang terampil melakukan prosedural klinis dengan kemampuan

analisis, kritis, dan tepat dalam penatalaksanaan asuhan pada perempuan. Keterlibatan bidan

dalam asuhan normal dan fisiologis sangat menentukan demi penyelamatan jiwa ibu dan bayi

oleh karena wewenang dan tanggung jawab profesionalnya sangat berbeda dengan tenaga

kesehatan lain (Kepmenkes RI, 2010). Asuhan kebidanan kepada seorang perempuan selama

fase kritis (hamil, bersalin, dan nifas) sangat menentukan kualitas kesehatan perempuan (ICM,

2005). Kondisi seorang perempuan selama menjalani kehamilan, persalinan dan masa nifas

seharusnya terpantau oleh tenaga kesehatan khususnya bidan.

Berdasarkan hasil Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) pada tahun 2012,

AKI dan AKB di Indonesia masih sangat tinggi, yaitu AKI sebesar 208/100.000 kelahiran

hidup dan AKB sebesar 32/1000 kelahiran hidup (Depkes RI, 2012). Target MDGs 2015

diharapkan AKI menurun menjadi 102/100.000 kelahiran hidup dan AKB 23/1000 kelahiran

hidup (Depkes RI, 2010). Salah satu upaya untuk percepatan penurunan AKI dan AKB tersebut

adalah dengan menyediakan tenaga bidan yang ditempatkan di desa-desa. Di sisi lain

pemerintah dalam rangka menurunkan AKI membuat program percepatan penambahan jumlah

tenaga kesehatan termasuk didalamnya tenaga bidan melalui perijinan pendirian institusi

pendidikan kebidanan yang saat ini jumlahnya telah mencapai 729 institusi pendidikan bidan

dengan jumlah lulusan kurang lebih 17.828 (HPEQ Dikti, 2012).


Namun pada kenyataanya banyaknya jumlah lulusan tidak dibarengi dengan

signifikansi pada penurunan AKI sebagaimana yang diharapkan. Sehingga dibuatlah regulasi

lainnya oleh pemerintah melalui pelaksanaan uji kompetensi yang diduga dapat meningkatkan

kualitas lulusan bidan yang kompeten dan siap pakai yang telah diselenggarakan sejak bulan

November 2013. Pelaksanaan uji kompetensi merupakan indikator standarisasi lulusan yang

dihasilkan oleh penyelenggara pendidikan kebidanan. Standarisasi ini juga mendorong untuk

dibuatnya standarisasi dalam hal proses pendidikan untuk menghasilkan lulusan yang

berkualitas.

Ketua Umum Kongres Wanita Indonesia (Kowani), Giwo Rubianto Wiyoga

mengatakan penyebab angka kematian ibu melahirkan adalah karena faktor '4 Terlalu dan 3

Terlambat'. Berikut ini adalah penjelasan Ketua Umum Kowani Giwo Rubianto saat konferensi

pers kegiatan Fun Walk Ibu Sehat, Indonesia Sehat 2016 di FX Sudirman, Jakarta, Minggu

(18/12). 1. Terlalu Tua : Di atas usia 35 tahun masih banyak yang melahirkan. Bukan hanya

terjadi di daerah tertinggal, terluar, dan terpencil tapi juga terjadi di kota-kota besar, salah

satunya Jakarta, 2. Terlalu Muda : Belum usia produktif yang baik dan usia sehat sudah dipaksa

menikah dan kemudian melahirkan, 3. Terlalu Banyak : Terlalu banyak anak, padahal dua saja

sudah cukup, 4. Terlalu Sering : Sudah banyak anak dan sering melahirkan. Misalnya dalam

dua tahun, sudah punya dua anak.

Sementara '3 Terlambat' yaitu pertama adalah terlambat untuk mengetahui bahaya-

bahaya kehamilan. "Kedua, terlambat memutuskan yakni membawa ke fasilitas untuk

melahirkan. Di daerah terpencil masih sering terjadi.Sragen misalnya salah satu daerah

penyumbang AKI melahirkan karena faktor geografis. Dan ketiga, terlambat mendapatkan

fasilitas untuk melahirkan. Hal-hal itu faktor yang secara langsung maupun tidak langsung

akhirnya ibu hamil meninggal karena melahirkan,". Sementara itu, dr. Grace Valentine, Sp.Og
menuturkan terdapat empat pilar yang dapat dilakukan untuk menurunkan AKI melahiran.

"Pertama, melakukan perencanaan kehamilan. Kedua, melakukan asuhan yang baik dan

berkualitas. Ketiga, melakukan persalinan yang bersih dan aman. Dan keempat, sistem rujukan

dan akses yang baik," (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

Republik Indonesia, 2016). Berdasarkan fakta diatas, maka penulis tertarik untuk membahas

tentang Pengaruh Pendidikan Bidan dalam Kualitas Pelayanan Kebidanan

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana Pengaruh Pendidikan Bidan dalam Kualitas Pelayanan Kebidanan ?

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui kualitas pelayanan kebidanan dalam hal penurunan AKI dan AKB

1.3.2. Tujuan Khusus

Untuk mengidentifikasi:

1. Pendidikan Bidan

2. Kompetensi Bidan

3. Kualitas Pelayanan
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sejarah Bidan

Perkembangan pendidikan bidan berhubungan dengan perkembangan pelayanan

kebidanan. Pendidikan bidan dimulai pada masa penjajahan Hindia Belanda. Pada tahun 1851

seorang dokter militer Belanda (Dr. W. Bosch) membuka pendidikan bidan bagi wanita

pribumi di Batavia. Pada tahun 1902 bidan dibuka kembali bagi wanita pribumi dan lulusan

dari pendidikan ini harus bersedia untuk ditempatkan dimana saja tenaganya dibutuhkan dan

mau menolong masyarakat yang kurang mampu secara cuma-cuma.

Pada tahun 1911/1912 dimulai pendidikan tenaga keperawatan secara terencana di CBZ

(RSUP) Semarang dan Batavia. Pada tahun 1914 telah diterima juga peserta didik wanita

pertama dan bagi perawat wanita yang lulus dapat meneruskan kependidikan kebidanan selama

dua tahun. Pada tahun 1954 dibuka pendidikan guru bidan secara bersama-sama dengan guru

perawat dan perawat kesehatan masyarakat di Bandung. Pada tahun 1975-1984 institusi

pendidika ditutup, sehingga 10 tahun tidak menghasilkan bidan. Pada tahun 1989 dibuka kursus

program pendidikan bidan secara nasional, program ini dikenal sebagai program Pendidikan

Kebidanan Bidan A(PPB/A). Pada tahun 1993 dibuka Program Pendidikan Bidan Program B

dan C. Selain program pendidikan bidan diatas, sejak tahun 1994-1995 pemerintah juga

menyelenggarakan uji coba Pendidikan Bidan Jarak Jauh (distance learning) , kebijakan ini

dilaksanakan untuk memperluas cakupan upaya peningkatan mutu Universitas Sumatera Utara

2 tenaga kesehatan yang sangat diperlukan dalam pelaksanaan mutu tenga kesehatan yang

sangat diperlukan dalam pelaksanaan peningkatan mutu pelayanan kesehatan. Pada tahun 2000

telah ada tim pelatih Asuhan Persalinan Normal (APN) yang dikoordinasikan oleh Maternal

Neonatal Health yang sampai saat ini telah melatih APN di beberapa propinsi/kabupaten.
Kebidanan di seluruh Indonesia pada tahun ini telah meluluskan peserta didik sebanyak 1196

orang. Harapan yang tinggi terhadap lulusan yang dihasilkan oleh pendidikan ini ialah mampu

menganalisis, mengantisipasi, dan lebih cepat dan tepat mengambil keputusan untuk

menyelamatkan dua nyawa, ibu dan bayi, yang berdampak pada kesejahteraan keluarga.

Pengembangan pendidikan kebidanan seyogianya dirancang secara

berkesinambungan,berlanjut sesuai dengan prinsip belajar seumur hidup bagi bidan yang

mengabdi ditengah-tengah masyarakatnya. Pendidikan yang berkelanjutan ini bertujuan untuk

mempertahankan profesionalisme bidan baik melalui pendidikan formal maupun pendidikan

formal. Dikatakan professional apabila memiliki pengetahuan dan kemampuan yang dihasilkan

pendidikan yang cukup untuk memenuhi kompetensi profesionalnya. Bidan dalam

melakanakan peran, fungsi dan tugasnya didasarkan pada kemampuan dan kewenangan yang

diberikan, dimana wewenang yang diberikan selalu mengalami perubahan sesuai dengan

kebutuhan dan perkembangan masyarakat dan kebijakan pemerintah dalam meningkatkan

derajat kesehatan masyarakat (Permenkes 900, 2002). Dalam keadaan darurat bidan juga diberi

wewenang pelayanan kebidanan yang ditujukan untuk penyelamatan jiwa, dimana dalam

menjalankan praktek Universitas Sumatera Utara 3 harus sesuai dengan kwewenangan,

kemampuan, pendidikan, pengalaman serta berdasarkan standar profesi. Salah satu faktor

penting dalam upaya penurunan angka kematian yaitu dengan cara menyediakan pelayanan

kesehatan maternal dan neonatal yang berkualitas dan dekat dengan masyarakat difokuskan

pada tiga pesan kunci Making Pregnency Safer (MPS) , yaitu setiap persalinan ditolong oleh

tenaga kesehatan yang terlatih, setiap komplikasi obstetri dan neonatal mendapat pelayanan

yang adekuat dan setiap wanita subur mempunyai akses terhadap pncegahan kehamilan yang

tidak diinginkan dan penanganan komplikasi keguguran. Untuk dapat memberikan pelayanan

kesehatan maternal dan neonatal yang berkualitas dibutuhkan tenaga kesehatan yang terampil
dan didukung oleh tersedianya sarana dan prasarana yang memadai sesuai dengan standar

kebidanan (Azwar, 2002).

2.2

BAB II

PEMBAHASAN

Anda mungkin juga menyukai