Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN TUTORIAL KLINIK

Dosen Pembimbing : Refi Lindawati, S.ST., M.Kes.

Kelompok 1 :
Fitriyah Yuliana (7021031005)
Fony Feftiyanti (7021031006)
Fuji Rahayu (7021031007)

Program Studi Sarjana Dan Profesi Bidan


Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Faletehan
Tahun Akademik 2021-2022
I. Soal Kasus
Seorang perempuan usia 28 tahun, G1P0A0, hamil 10 bulan datang ke PMB
mengeluh kencang-kencang sejak jam 02.00 WIB. Hasil anamnesis: ibu mengeluh cemas
karena anaknya belum lahir dari 10 jam yang lalu. Hasil pemeriksaan: KU Baik,
kesadaran compos mentis, TD 120/80 mmHg, N 100 x/menit, S 36,6oC, P 24 x/menit,
konjungtiva kemerahan, bibir kemerahan, payudara terlihat cloasma gravidarum, belum
terdapat pengeluaran ASI pada kedua payudara, pada abdomen terdapat linea gravidarum
dan linea alba, TFU 34 cm, Leopold I TFU 2 jari di bawah PX dan teraba 1 bagian bulat
lunak, Leopold II bagian kanan perut ibu teraba ekstremitas dan perut bagian kiri teraba
punggung janin, Leopold III sudah masuk PAP dan teraba bulat keras, Leopold IV
divergen, penurunan kepala 4/5, DJJ 148 x/menit, his 2 x10 menit x 20 detik, vulva
terlihat blood show dan normal, vagina tidak teraba jaringan parut, portio tebal lunak,
pembukaan 4 cm, ketuban utuh, denominator UUK, Hodge I dan promontorium tidak
teraba. Hasil pemeriksaan 4 jam kemudian pada pukul 16.00 WIB yaitu DJJ 140 x/menit,
his 2 x10 menit x 20 detik, vulva terlihat blood show dan normal, vagina tidak teraba
jaringan parut, portio tebal lunak, pembukaan 6 cm, ketuban utuh, denominator UUK,
Hodge I dan promontorium tidak teraba.

II. Step I : Identifikasi Masalah


1. Seorang perempuan usia 28 tahun G1P0A0 hamil 10 bulan mengeluh kencang-
kencang
2. Ibu mengeluh cemas karena anaknya belum lahir dari 10 jam yang lalu
3. Belum terdapat pengeluaran ASI pada kedua payudara
4. Hiss belum adekuat

Step II : Diagnosa dan Data Dasar


Diagnosa : Nn. K umur 28 tahun G1P0A0 hamil 10 bulan Inpartu Kala I Fase Aktif
dengan Inersia Uteri
Data Dasar :
- Vagina tidak teraba jaringan parut, portio tebal lunak, pembukaan 4 cm, ketuban
utuh, UUK Hodge I, Promontorium tidak teraba
III. Brainstorming Dan Analisis Masalah
Rumusan Masalah :
1. Apa dampak kehamilan Post Term pada Ibu dan Bayi?
2. Apa yang menyebabkan Hiss tidak adekuat?
3. Mengapa ibu mengalami Hiss yang tidak adekuat?
4. Bagaimana penanganan pada pasien dengan Hiss tidak adekuat?
5. Apakah Asuhan Bidan dalam menangani kasus tersebut?

Rencana Asuhan Pada Kasus diatas yaitu :


1. Melakukan informed consent dan informed choice
2. Melakukan anamnesa dan pemeriksaan fisik
3. Memberitahu hasil pemeriksaan bahwa klien sedang mengalami tanda-tanda
persalinan
4. Memberikan support mental, bahwa proses persalinan adalah normal dan alamiah,
sehingga ibu harus tetap semangat menjalaninya, ibu juga selalu berdoa dan
berfikir positif dalam menghadapi persalinan
5. Melibatkan peran serta keluarga untuk mendukung proses persalinannya agar
berjalan lancar
6. Memberikan konseling megenai dampak kehamilan postterm
7. Memberikan konseling tentang inersia uteri
8. Memberitahu ibu cara melakukan teknik relaksasi yang benar
9. Pantau DJJ secara ketat setiap 30 menit
10. Menganjurkan Ibu untuk makan dan minum disela HIS
11. Melakukan induksi persalinan secara alami untuk merangsang kontraksi dengan
menstimulasi puting atau rangsang puting serta duduk di atas bola birth ball
Step 5. : Synthesis dan Reporting

1.1 Definisi ASI


ASI (air susu ibu) merupakan sumber nutrisi utama yang memiliki beragam manfaat
untuk tumbuh kembang bayi. Oleh karena itu, Bunda dianjurkan untuk memberikan Si kecil
ASI setidaknya hingga ia berusia 6 bulan (ASI eksklusif). Sayangnya, pemberian ASI tidak
selalu lancar atau mudah dilakukan. Terkadang, ada kondisi tertentu yang dapat
menghambat proses pemberian ASI. Salah satunya adalah ASI tidak keluar segera setelah
melahirkan.

1.2 Proses Terbentuknya ASI


Setelah melahirkan, tubuh ibu akan menghasilkan hormon prolaktin yang berfungsi
untuk menghasilkan ASI. Dalam beberapa hari pertama setelah persalinan, tubuh Bunda
akan menghasilkan kolostrum, yaitu ASI pertama yang berwarna kekuningan dan bertekstur
encer.

Kolostrum sebenarnya sudah diproduksi tubuh sejak akhir masa kehamilan. Hal ini
biasanya dikenali dengan keluarnya cairan dari payudara secara tidak sengaja.

Kolostrum mengandung zat kekebalan tubuh atau antibodi yang sangat baik
untuk melindungi tubuh bayi dari bakteri dan virus penyebab penyakit. Karena alirannya
lambat atau tidak keluar dengan deras seperti ASI pada umumnya, kolostrum juga berfungsi
dapat membantu Si Kecil belajar menyusu. selama 3–4 hari setelah kolostrum keluar,
payudara normalnya akan mulai terasa lebih kencang. Ini merupakan pertanda bahwa
kolostrum sudah berubah menjadi ASI dan pasokan ASI pun biasanya sudah mulai
meningkat pada masa-masa ini.

1.3 Beberapa Penyebab ASI Tidak Keluar

Sebagian ibu hamil bisa saja mengalami kondisi ASI tidak keluar. Hal ini dapat
disebabkan oleh gangguan pada produksi hormon prolaktin yang berfungsi untuk
merangsang pembentukan ASI. Inilah yang kemudian membuat ASI tidak keluar pada
waktu yang seharusnya.
Berikut ini adalah beberapa faktor yang dapat menyebabkan ASI tidak keluar sesaat
setelah melahirkan:

 Stres atau kelelahan setelah melahirkan, misalnya karena depresi postpartum, persalinan
lama, atau operasi caesar darurat
 Kondisi medis tertentu, misalnya diabetes, gangguan tiroid, anemia, dan retensi plasenta
 Perdarahan setelah persalinan yang menyebabkan sindrom Sheehan
 Efek samping obat-obatan, termasuk obat herba tertentu
 Cara menyusui yang salah, misalnya pelekatan bayi yang kurang tepat pada puting ibu
 Kebiasaan merokok atau mengonsumsi alkohol

ASI tidak keluar atau membutuhkan waktu lebih lama untuk keluar umumnya
bukanlah kondisi serius yang perlu dikhawatirkan.

Akan tetapi, apabila ASI tak kunjung keluar setelah beberapa minggu atau
sampai menyebabkan kondisi kesehatan bermasalah, sebaiknya berkonsultasi ke dokter
atau konsultan laktasi.

1.4 Cara-Cara Memperlancar ASI

Selain dengan penanganan dan anjuran dari dokter, bisa mencoba beberapa upaya
untuk meningkatkan dan memperlancar ASI berikut ini:

 Segera diberikan ASI setelah bayi dilahirkan (inisiasi menyusu dini).


 Susui bayi setiap 2–3 jam selama beberapa minggu pertama, karena hal ini dapat
merangsang tubuh untuk memproduksi lebih banyak ASI.
 Pastikan mulut Si Kecil melekat dengan benar ke payudara.
 Pastikan agar Si Kecil tidak hanya menyusu dari salah satu payudara saja.
 Hindari merokok dan mengonsumsi minuman beralkohol.
 Hindari memberikan empeng pada Si Kecil setidaknya 3–4 minggu setelah ia dilahirkan.
 Cukupi waktu istirahat dan kurangi stres.
 Minum air yang banyak agar tidak dehidrasi dan mencegah produksi ASI menurun.
 Konsumsi makanan yang bergizi.
 Pijatlah payudara secara lembut dengan gerakan maju dari dari dada ke arah puting,
karena cara ini dapat memperbanyak ASI.
Beberapa hal yang bisa dilakukan agar ASI segera diproduksi setelah melahirkan:

1. Pijat payudara Memijat payudara penting dilakukan oleh ibu, aktifitas ini bisa
merangsang produksi ASI. Cara memijat sangga payudara dibagian bawah
dengan salah satu tangan, kepalkan tangan yang lain, kemudian urutlah dengan
halus bagian atas payudara darin tepi luar ke arah dalam, lakukan setidaknya 30
kali.
2. Sering memerah Setidaknya lakukan 2 atau 3 jam sekali. Produksi ASI
tergantung pada supply dan demand. Selain memerah, pumping bisa dilakukan.
Jika menggunakan breast pump elektrik bisa gunakan mode pijat terlebih dahuhu
sebelum memulainya.
3. Kompres payudara dengan air hangat dan mandi air hangat Air hangat
mendorong payudara dalam peningakatan produksi ASI. Payudara yang kencang
akan terasa rileks sehingga ASI akan keluar dengan lancar.
4. Mendengarkan musik Mendengarkan musik yang menenangkan akan membuat
ibu rileks dan meningkatkan hormon oksitosin. Selain itu, melihat foto bayi anda
ketika pumping juga akan memberikan semangat baru.
5. Minum banyak air putih dan tidur yang cukup ASI mengandung banyak air,
dengan minum banyak air akan meningkatkan produksi ASI. Tidur dan istirahat
yang cukup akan meningkatkan hormon oksitosin.

2.1 Inersia Uteri

2.1.1 Definisi
Inersia uteri adalah his yang tidak adekuat (abnormal) dan ditandai oleh
kontraksi uterus dengan frekuensi yang jarang yaitu kurang dari 3 kali dalam 10
menit, amplitudo yang lemah yaitu kurang dari 40 mmHg dan durasi yang lebih
pendek yaitu kurang dari 30 detik. Hal ini ditunjukkan dengan terjadinya
perpanjangan persalinan kala I fase aktif yang disebabkan oleh karena otot rahim
kurang maksimal dan efisien dalam berkontraksi sehingga tidak mampu
menghasilkan dilatasi serviks dan mendorong janin keluar (Prawirohardjo, 2014).
Inersia uteri dibagi menjadi dua, yaitu primer dan sekunder. Dikatakan
inersia uteri primer apabila kontraksi uterus bersifat lemah sejak awal persalinan.
Sedangkan inersia uteri sekunder terjadi apabila sifat his baik atau normal pada
awal mula persalinan, akan tetapi his kemudian melemah oleh karena otot-otot
uterus yang mengalami kelelahan akibat persalinan yang lama (Prawirohardjo,
2014).
2.1.2 Etiologi dan Faktor Risiko
Inersia uteri dapat diakibatkan oleh beberapa faktor, ialah antara lain
faktor uterus oleh karena overdistensi uterus pada kehamilan gemelli dan
hidramnion. Inersia uteri dapat pula dipengaruhi oleh faktor herediter dan faktor
psikologis seperti keadaan ibu yang terlalu cemas atau ketakutan saat persalinan.
Mioma uteri, malpresentasi, malposisi, disproporsi sefalopelvik seperti pada
makrosomia merupakan faktor yang mempengaruhi kejadian inersia uteri, hal ini
disebabkan oleh karena bagian terbawah janin tidak dapat berhubungan langsung
dengan segmen bawah rahim. Selain itu penyebab lain yang turut mempengaruhi
kejadian inersia uteri adalah ketidaktepatan penggunaan analgetik dan pengaruh
hormonal karena kekurangan prostaglandin atau oksitosin (Prawirohardjo, 2014).
Faktor lain yang mempengaruhi inersia uteri pada persalinan yaitu paritas
dan umur. Kelainan his terutama ditemukan pada primigravida tua. Primigravida
tua (older primigravida) adalah seorang wanita yang mengalami kehamilan
pertama pada usia lebih dari 35 tahun. Paritas ibu turut berpengaruh pada kejadian
inersia uteri, terutama pada ibu dengan paritas berisiko yaitu ≥3, hal ini
diakibatkan oleh semakin sering ibu mengalami persalinan maka elastisitas otot
uterus juga semakin berkurang sehingga terjadi inersia uteri. malpresentasi,
malposisi. Selain faktor-faktor diatas, kondisi umum ibu yang kurang baik seperti
ibu menderita anemia juga dapat menyebabkan terjadinya inersia uteri
(Sastrawinata, 2005).

2.1.3 Partograf pada Persalinan

Secara klinis, mulainya persalinan ditandai dengan adanya his pada ibu
bersalin dan ditemukan lendir disertai darah (bloody show) yang berasal dari
kanalis servikalis dan pembuluh darah disekitarnya yang pecah (Wiknjosastro,
2005). Untuk mendiagnosis inersia uteri, kemajuan persalinan harus selalu
dipantau yaitu dengan menggunakan partograf. Partograf adalah lembar yang
digunakan sebagai alat bantu untuk memantau jalannya persalinan dan berisi
keterangan mengenai ibu dan janin untuk selanjutnya dapat menentukan
keputusan klinik (Depkes RI, 2004). Terdapat dua partograf yang dapat dijadikan
sebagai acuan untuk memantau kemajuan persalinan, yaitu partograf Friedman
yang mencakup kurva sevikogram dan partograf WHO yang telah dimodifikasi
sehingga lebih sederhana dan mudah untuk digunakan (WHO, 2014).

a. Partograf Friedman
Menurut Friedman dan Sachtleben dalam Cunningham, et al., (2012),
proses membukanya serviks sebagai akibat dari his terdiri dari dua fase, yaitu fase
laten dan fase aktif. Dikatakan memasuki fase laten apabila telah terjadi kontraksi
reguler dan berakhir pada dilatasi antara 3 sampai 5 cm. Ambang batas tersebut
dapat digunakan untuk menentukan batas dimulainya persalinan fase aktif. Fase
laten terjadi selama 8 jam dan dilatasi serviks pada ibu hamil berlangsung lambat.
Fase laten yang memanjang adalah fase laten yang melebihi batas waktu 20 jam
pada nullipara dan 14 jam pada multipara. Beberapa hal yang berpengaruh
terhadap lamanya fase laten yaitu sedasi atau analgesia epidural yang berlebihan,
kondisi serviks yang susah untuk mendatar dan persalinan palsu.
Pada persalinan, dinyatakan memasuki fase aktif apabila dilatasi serviks
lebih dari 3 cm yang berlangsung selama 6 jam dan disertai dengan kontraksi
uterus yang meningkat secara bertahap, baik dari segi frekuensi maupun lamanya
kontraksi. Pada multigravida, kemajuan persalinan fase aktif berlangsung lebih
cepat dari primigravida oleh karena pada primigravida yang terbuka pertama kali
ialah ostium uteri internum sehingga serviks menjadi datar dan tipis, selanjutnya
diikuti dengan ostium uteri eksternum yang membuka. Sedangkan pada
multigravida, ostium uteri internum telah terbuka terlebih dulu sehingga
pembukaan ostium uteri eksternum, penipisan dan pendataran serviks terjadi pada
saat yang sama (Cunningham, et al., 2012).
Fase aktif dibagi menjadi tiga tahapan atau bagian yang dapat
diidentifikasi pada saat memasuki fase aktif persalinan, yaitu fase akselerasi, fase
puncak maksimum dan fase deselerasi yang rinciannya akan dicantumkan pada
tabel 2.2 berikut.
Tabel 2.1 Tahapan pada persalinan fase aktif (Cunningham, et al., 2012)

Fase Waktu Pembukaan


Dari 3 cm pada fase laten kemudian
Akselerasi Dalam 2 jam mengalami kemajuan menjadi 4 cm
Puncak Seviks membuka dengan sangat cepat yaitu
maksimum sekitar 2 jam semula 4 cm menjadi 9 cm
Serviks membuka dengan lambat dari yang
Deselerasi Dalam 2 jam semula 9 cm jadi pembukan lengkap yaitu 10
cm

Gambar 2.3 Stadium persalinan yang menunjukkan bentuk kurva dilatasi serviks
rerata selama persalinan pada wanita nullipara. Kala pertama terdiri
dari fase laten yang relatif datar dan fase aktif yang progresif cepat.
Pada fase aktif, terdapat tiga komponen: fase percepatan, fase linier
kecuraman maksimal, dan fase perlambatan (Cunningham, et al.,
2012).
b. Partograf WHO
Partograf WHO merupakan partograf yang telah disederhanakan dengan
menghilangkan gambaran fase laten didalamnya sehingga waktu dimulainya
pengisian partograf adalah ketika memasuki persalinan fase aktif kala I, yaitu
dilatasi serviks 4 cm yang disertai dengan kontraksi uterus. Partograf ini
mencakup beberapa hal yang berkaitan dengan informasi mengenai kondisi ibu
dan janin, termasuk kemajuan persalinan dan kontraksi uterus didalamnya. Selain
itu, partograf WHO juga mencakup informasi penting lainnya seperti waktu dan
jam, obat-obatan yang diberikan pada pasien, pemeriksaan penunjang yang
dilakukan, tindakan klinis dan asuhan yang diberikan. Pencatatan fase aktif harus
dimulai di garis waspada (WHO, 2014).
Kemajuan persalinan yang dipantau pada partograf mencakup informasi
mengenai kemajuan dilatasi serviks, penurunan bagian terbawah janin serta garis
waspada dan garis bertindak. Informasi tersebut dicatat pada kolom dan lajur
kedua pada partograf. Dalam menilai sejauh mana dilatasi serviks maka dapat
dilakukan pemeriksaan dalam yang dilakukan tiap 4 jam sekali. Hasil yang
ditemukan pada pemeriksaan selama persalinan fase aktif harus dicatat dengan
mencantumkan tanda “X” pada garis waspada yang setara dengan besarnya laju
dilatasi serviks. Besarnya dilatasi serviks dicatat mulai dari angka “0” hingga “10”
yang tercantum di kolom sebelah kiri dan dinyatakan dalam satuan sentimeter
(cm) (WHO, 2014).

Gambar 2.4 Pencatatan dilatasi serviks partograf (WHO, 2014).


Pemeriksaan dalam bertujuan untuk mengetahui sejauh mana bagian
terbawah janin memasuki bagian dalam rongga panggul. Dilatasi serviks selalu
diikuti dengan penurunan bagian terbawah janin pada sebagian besar ibu bersalin,
akan tetapi ada pula penurunan bagian terbawah janin yang terjadi setelah dilatasi
serviks 7 cm. Penurunan dituliskan dengan tanda “O” pada gars waktu yang setara
dari angka “0” hingga “5” yang tercantum di sisi yang sama dengan angka dilatasi
serviks (WHO, 2014).

Gambar 2.5 Pencatatan penurunan bagian terbawah janin pada partograf (WHO,
2014).

Pada dilatasi serviks 4 cm, pemantauan garis waspada dimulai dan diakhiri
dengan dilatasi serviks lengkap. Apabila dilatasi serviks menuju ke sebelah kanan
dari garis waspada maka perlu dipikirkan adanya penyulit seperti fase aktif yang
memanjang, cephalopelvic disproportion dan lain sebagainya. Apabila terdapat
penyulit maka intervensi harus segera dilakukan sesuai keperluan, misal persiapan
rujukan menuju ke fasilitas kesehatan yang mempunyai klinik kegawatdaruratan
obstetri. Garis bertindak yang terletak di sebelah kanan dari garis waspada,
apabila dilatasi serviks sudah melebihi garis atau disebelah kanan garis tersebut
maka harus diberikan tindakan kebidanan dan ibu harus sudah dirujuk (WHO,
2014).
Dibawah lajur waktu partograf, terdapat lima kotak yang bertuliskan
“kontraksi per 10 menit” di luar kolom kiri dan setiap kotak diartikan satu
kontraksi. Durasi dan banyaknya kontraksi dalam 10 menit dicatat setiap 30 menit
dalam satuan detik. Jumlah his ditandai pada kotak yang disediakan dan sesuai
dengan angka yang menggambarkan hasil pemeriksaan (WHO, 2014).

2.2.5 Diagnosis
Diagnosis inersia uteri dapat ditegakkan apabila terdapat karakteristik his
yang jarang, yaitu kurang dari tiga kali dalam 10 menit dan durasi yang pendek
yaitu kurang dari 30 detik. Pada pemeriksaan tocography menunjukkan amplitudo
yang rendah, yaitu kurang dari 40 mmHg. Dominasi kontraksi tetap berada pada
fundus dan relaksasi tonus otot masih normal, yaitu kurang dari 12 mmHg
(Lapets, 1991). Pada inersia uteri, perpanjangan fase persalinan dapat terjadi pada
fase laten ataupun fase aktif. Akan tetapi, untuk mendiagnosis inersia uteri pada
fase laten jauh lebih sulit (Prawirohardjo, 2014).
Untuk mendiagnosis inersia uteri pada persalinan dapat menggunakan
partograf sebagai alat bantu untuk memantau kemajuan persalinan. Pada partograf
WHO, perpanjangan persalinan kala I fase aktif ditunjukkan dengan pertambahan
dilatasi serviks kurang dari 1 cm per jam dan dievaluasi setiap 4 jam yang dimulai
setelah memasuki persalinan fase aktif yaitu dilatasi serviks 4 cm dan melewati
garis waspada pada partograf WHO (WHO, 2014).

2.2.6 Penatalaksanaan
Setelah diagnosis inersia uteri ditegakkan, maka langkah selanjutnya
adalah memastikan kondisi serviks, presentasi dan posisi janin, penurunan bagian
terbawah janin dan keadaan panggul ibu. Apabila didapatkan cephalopelvic
disproportion, maka sebaiknya dilakukan sectio caesarea. Apabila tidak terdapat
cephalopelvic disproportion dan bayi normal yaitu presentasi janin adalah kepala,
posisi dan berat badan bayi normal dan kelainan terletak pada kontraksi uterus,
maka dilakukan akselerasi persalinan dengan tujuan untuk memperbaiki his
sehingga kontraksi uterus mampu menghasilkan dilatasi serviks dan mendorong
janin agar segera lahir. Akselerasi persalinan dapat dilakukan dengan pemberian
oksitosin sebanyak 5 IU dalam 500 cc dextrose 5% secara infus intravena dimulai
dengan kecepatan delapan tetes tiap satu menit dan kemudian dapat ditingkatkan
empat tetes per menit setiap 15 menit hingga mencapai his yang adekuat atau
maksimal 40 tetes per menit. Setelah oksitosin diberikan, ibu hamil maupun janin
harus tetap dalam pengawasan. Apabila terjadi hiperstimulasi kontraksi uterus
atau gawat janin maka pemberian oksitosin dihentikan (Prawirohardjo, 2014).

2.2.7 Komplikasi
a. Pada Ibu
Pada ibu, persalinan dengan inersia uteri dapat meningkatkan risiko
terjadinya infeksi atau sepsis puerperalis. Hal ini disebabkan oleh karena kepala
bayi yang tertahan pada pintu atas panggul sehingga menyentuh os internal.
Akibatnya, ketuban pecah dini mudah terjadi dan meningkatkan risiko sepsis
puerperalis. Selain itu, dikarenakan tidak terjadi engagement, maka segmen
bawah rahim akan mengalami penipisan yang abnormal sehingga mudah terjadi
ruptur uterus serta cedera persarafan dan otot-otot dasar panggul (Cunningham, et
al., 2012). Pada inersia uteri dapat ditemukan tanda-tanda dehidrasi oleh karena
kelelahan pada ibu pada saat mengejan dan diikuti oleh nadi dan temperatur yang
meningkat (Manuaba, dkk., 2010).

b. Pada Janin
Inersia uteri dapat menyebabkan komplikasi pada janin, salah satunya
gangguan detak jantung janin berupa takikardi atau bradikardi. Pada pemeriksaan
nonstress test dapat menunjukkan asfiksia intrauterin serta pada pemeriksaan
darah dan kulit kepala dapat ditemukan asidosis pada janin. Selain itu, inersia
uteri juga dapat mengakibatkan terbentuknya kaput suksedenum pada bagian
kepala yang dependen (Hollingworth, 2012).
2.2 Hubungan Anemia dan Inersia Uteri
Anemia pada kehamilan dapat terjadi secara fisiologis maupun patologis.
Secara fisiologis dapat disebabkan oleh karena hemodilusi sedangkan secara
patologis disebabkan oleh karena defisiensi zat besi (Fe). Dengan adanya
hemodilusi, volume plasma akan meningkat dalam jumlah yang lebih tinggi
daripada peningkatan jumlah sel darah merah yang tidak sebanding. Hal ini
mengakibatkan kadar hemoglobin dan nilai hematokrit dalam tubuh menurun
sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya anemia pada kehamilan dan
persalinan. Pada ibu hamil, anemia rentan terjadi oleh karena hemodilusi pada
saat kehamilan dan dapat diperparah oleh kekurangan zat besi. Defisiensi zat besi
mengakibatkan anemia oleh karena zat besi merupakan unsur penting dalam
pembentukan hemoglobin sehingga ketika ibu hamil kekurangan zat besi maka
kadar hemoglobin yang terbentuk menjadi lebih sedikit atau kurang dari batas
normal, yaitu dibawah 11 g/dl. Kadar hemoglobin yang tidak memadai tersebut
nantinya tidak mampu mencukupi kebutuhan tubuh untuk menyalurkan oksigen
menuju ke jaringan perifer pada saat persalinan (Sharma dan Shankar, 2010).
Apabila ibu hamil kekurangan zat besi dan jumlah besi yang diserap oleh
tubuh jumlahnya sedikit maka kadar hemoglobin yang dihasilkan juga sedikit. Hal
ini menyebabkan hemoglobin tidak mampu memenuhi kebutuhan tubuh oleh
karena transportasi oksigen dalam darah menuju ke jaringan perifer tidak dapat
berlangsung secara optimal, termasuk perfusi menuju ke otot-otot uterus. Padahal
oksigen merupakan senyawa yang penting dalam pembentukan ATP sehingga hal
ini mengakibatkan metabolisme tubuh menurun dan ATP yang terbentuk sedikit.
Energi yang dihasilkan oleh pembentukan ATP merupakan hal penting yang
memicu terjadinya kontraksi otot uterus. Apabila energi yang dihasilkan tidak
cukup kuat pada saat persalinan, maka akan mengakibatkan ibu hamil mengalami
kelelahan dan otot uterus tidak dapat maksimal dalam berkontraksi sehingga
terjadi inersia uteri. Pada inersia uteri, ditemukan sifat kontraksi yang lemah yaitu
kurang dari 40 mmHg, durasi lebih pendek yaitu kurang dari 30 detik dan
frekuensinya jarang yaitu kurang dari 3 kali dalam 10 menit sehingga dilatasi
serviks dan penurunan kepala janin lebih lambat yang nantinya akan
menyebabkan persalinanan kala I fase aktif yang memanjang (Sharma dan Shankar,
2010).
Kala I persalinan atau pembukaan jalan lahir dimulai dari timbulnya
kontraksi uterus yang mampu menyebabkan pendataran atau penipisan serviks
(effacement) hingga diakhiri dengan dilatasi serviks lengkap, yaitu pembukaan 10
cm sehingga dapat dilewati oleh kepala janin (Cunningham et al., 2012). Sedangkan
fase aktif mengacu pada dilatasi serviks 4 cm dikuti dengan his yang mengalami
peningkatan, yaitu semakin lama semakin kuat dan sering. Persalinan kala I fase
aktif yang memanjang adalah persalinan dengan laju pembukaan serviks yang tidak
adekuat setelah persalinan fase aktif didiagnosis, yaitu dibawah 1 cm tiap 1 jam yang
melewati garis waspada pada partograf (WHO, 2014).

3. Pengertian Persalinan Postterm

Persalinan postterm adalah persalinan yang usia kehamilannya


lebih dari 42 minggu atau 294 hari. Diagnosa usia kehamilan lebih dari
42 minggu didapatkan dari perhitungan seperti rumus neagle atau dengan
tinggi fundus uteri serial. (Norma, Dwi, 2013: 202)
Persalinan postterm menunjukkan kehamilan berlangsung sampai
42 minngu (294 hari) atau lebih, dihitung dari hari pertama haid terakhir
menurut rumus neegle dengan siklus haid rata-rata 28 hari
(Prawirohardjo, 2014: 686).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa persalinan post term
adalah persalinan yang usia kehamilannya berlangsung 42 minggu,
dihitung dari hari pertama haid terakhir.
3.1 Etiologi Persalinan Postterm
Menurut Sarwono Prawirohardjo dalam bukunya (Ilmu
kebidanan, 2014: 686-693) faktor penyebab kehamilan postterm yaitu :
a. Pengaruh progesterone
Penurunan hormon progesterone dalam kehamilan merupakan kejadian perubahan
endokrin yang penting dalam memacu proses biomolekuler pada persalinan dan
meningkatkan sensitivitas uterus terhadap oksitosin, sehingga terjadinya kehamilan dan
persalinan postterm adalah karena masih berlangsungnya pengaruh progesteron.

b. Teori oksitosin

Pemakaian oksitosin untuk induksi persalinan pada kehamilan lewat


bulan memberi kesan atau dipercaya bahwa oksitosin secara fisiologis
memegang peranan penting dalam menimbulkan persalinan dan pelepasan
oksitosin dari neurohipofisis. Wanita hamil yang kurang pelepasan oksitosin
dari neurohipofisis pada kelainan lanjut diduga sebagai salah satu factor
penyebab kehamilan lewat bulan.
c. Teori kortisol/ Adrenocorticotropic Hormone (ACTH) janin

Dalam teori ini diajukan bahwa sebagai “pemberi tanda” untuk


dimulainya persalinan adalah janin. Hal ini terjadi akibat peningkatan tiba-
tiba kortisol plasma janin. Kortisol janin akan mempengaruhi plasenta
sehingga produksi progesterone berkurang dan memperbesar sekresi
estrogen, berpengaruh terhadap meningkatnya produksi prostaglandin. Pada
janin yang mengalami cacat bawaan seperti ansefalus. hypoplasia adrenal
janin, dan tidak adanya kelenjar hipofisis pada janin akan menyebabkan
kortisol janin tidak diproduksi dengan baik sehingga kehamilan dapat
berlangsung lewat.
d. Syaraf uterus

Tekanan pada ganglion servikalis dari pleksus frankenhauser akan


membangkitkan kontraksi uterus. Pada keadaan dimana tidak ada tekanan
pada pleksus ini, seperti pada kelainan letak, tali pusat pendek dan bagian
bawah masih tinggi, semua hal tersebut sebagai penyebab terjadinya
kehamilan lewat bulan.
e. Herediter

Beberapa penelitian menyatakan bahwa seorang ibu yang mengalami


kehamilan lewat bulan, mempunyai kecenderungan untuk melahirkan lewat
bulan pada keturunan selanjutnya, karena postterm sering dijumpai pada
keluarga tertentu (Prawirohardjo, 2014: 686-694).

3.2 Patofisiologi Persalinan Postterm


Fungsi placenta mencapai puncak pada kehamilan 38 minggu
dan mulai menurun setelah 42 minggu, akibat dari proses penuaan
plasenta, maka pemasokan makanan dan oksigen akan menurun
disamping spasme arteri spiralis, Janin akan mengalami pertumbuhan
terhambat dan penurunan berat dalam hal ini dapat disebut dismatur,
jumlah air ketuban yang berkurang mengakibatkan perubahan abnormal
jantung janin (Prawirohardjo ,2015: 318).

3.3 Diagnosis Persalinan Postterm


Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mendukung diagnosis
persalinan premature adalah:
a. Pemeriksaan umur kehamilan dihitung menggunakan rumus neegle
berdasarkan anamnesis hari pertama haid terakhir.

b. Pemeriksaan berat badan ibu dan lingkar perut, ditandai dengan berat badan
ibu turun, pembesaran perut mengecil karena air ketuban berkurang.
c. Pemeriksaan tinggi fundus uteri.

d. Pemeriksaan USG yaitu dengan pemeriksaan diameter biparietal kepala janin


dapat diukur dengan teliti tanpa ada bahaya.
e. Pemeriksaan sitology cairan amnion yaitu amniostropi dan pemeriksaan PH
(dibawah 7,20) dianggap sebagai gawat janin (Norma, Dwi, 2013:203)
3.4 Komplikasi Persalinan Postterm
a. Untuk Ibu

1) Rasa takut dan cemas akibat terlambat lahir.

2) Morbilitas dan mortalitas ibu dapat meningkat sebagai akibat dari


makrososmia janin dan tulang tengkorak menjadi lebih keras sehingga
menyebabkan terjadinya distosia persalinan, incoordinate uterine action,
partus lama, meningkatkan tindakan obstetrik, dan perdarahan
postpartum (Fadlun, feryanto, 2013:91).
b. Untuk janin

1) Keluarnya mekonium yang dapat menyebabkan aspirasi mekonium.

2) Oligohidramnion dapat menyebabkan kompresi tali pusat, gawat janin


sampai bayi meninggal.
3) Gawat janin atau kematian perinatal menunjukkan angka meningkat
setelah usia kehamilan 42 minggu atau lebih, Sebagian besar terjadi
intrapartum. Keadaan tersebut disebabkan karena hal-hal seperti
makrosomia yang dapat menyebabkan terjadinya distosia pada
persalinan, Insufisiensi placenta dapat berakibat pertumbuhan janin
terlambat dan asfiksia, cacat bawaan terutama akibat hypoplasia adrenal
dan ansefalus.
4) Sindrom prematuritas dapat dikenali pada neonatus melalui beberapa
gangguan pertumbuhan, dehidrasi, kulit kering, keriput seperti
kertas( hilangnya lemak subkutan), kuku tangan dan kaki panjang, tulang
tengkorak lebih keras, hilangnya verniks caseosa dan lanugo, rambut
kepala lebih banyak dan tebal, maserasi kulit terutama daerah lipat paha
dan genetal luar, warna cokelat atau kekuningan pada kulit dan tali pusat
(Fadlun, Feryanto, 2013: 89).
3.5 Penanganan Persalinan Postterm
a. Menentukan apakah kehamilan telah berlangsung lewat bulan (postterm) atau
bukan, jika ditemukan lewat bulan maka yang penting dilakukan adalah
monitoring janin sebaik-baiknya dengan cara pemantauan Djj, nadi, his tiap
30 menit, dan memastiikan semuanya dalam batas normal.
b. Mengidentifikasi kondisi janin dan keadaan yang membahayakan janin
dengan cara pemeriksaan kardiotografi seperti nonstress test (NST) dan
contraction stress test untuk mengetahui kesejahteraan janin sebagai reaksi
terhadap gerakan janin atau kontraksi uterus dan pemeriksaan USG untuk
menentukan besar janin, denyut jantung janin, gangguan pertumbuhan janin,
keadaan dan derajat kematangan plasenta, jumlah (indeks cairan amnion dan
kualitas air ketuban) (Fadlun, Feryanto, 2013: 90-92).
c. Apabila tidak ada tanda-tanda insuffisiensi plasenta persalinan spontan dapat
ditunggu dengan pengawasan ketat.
d. Melakukan pemeriksaan serviks dengan skor bishop. Bishop score adalah
suatau cara untuk menilai kematangan serviks dan responnya terhadap suatu
induksi persalinan, jika serviks bishop score rendah, artinya serviks belum
matang dan memberikan angka kegagalan yang lebih tinggi dibanding serviks
yang matang.
Tabel 1.1 penilaian bishop score
FAKTOR SKOR
0 1 2 3

Bukaan (cm) Tertutup 1-2 cm 3-4 cm >5

Panjang serviks (cm) >4 cm 3-4 cm 1-2 cm <1 cm


Rata-
Konsistensi Kenyal rata Lunak _

Turunnya kepala (cm dari -3 -2 -1 +1,+2


spina ishiadika)

Turunnya kepala (dengan 4/5 3/5 2/5 1/5


palpasi abdominal menurut
system persalinan)
(Fadlun, Feryanto, 2013: 92).

Bishop score >5 yaitu induksi persalinan, cara induksi persalinan adalah:

1) Menggunakan tablet misoprostol/cytotec yaitu 25-50 mg yaitu diletakkan


di forniks posterior setiap 6-8 jam hingga munculnya his/kontraksi.
2) Menggunakan oksitosin intravena yaitu infus oksitosin yang mengandung
10-20 unit ekuivalen dengan 10.000-20.000 mU dicampur dengan 100 ml
larutan Ringer Laktat, masing-masing menghasilkan konsistensi oksitosin
10-20 Mu/ml.
Bishop score< 5 yaitu:

1) Pemantauan janin dengan prafi biofisik, Nonstress test (NST),

Contractions Stress Test (CST).

2) Volume ketuban normal, NST reaktif yaitu diulangi 2x/ minggu.

3) Volume ketuban normal, NST non reaktif, CST positif yaitu dilakukan
SC.
4) Volume ketuban normal, NST non reaktif dan CST negative yaitu
dilakukan pengyulangan CST dalam 3 hari.
5) Oligohidramnion (kantong amnion <2cm ) yaitu dilakukan SC.

6) Deselerasi variable yaitu pematangan serviks dan induksi persalinan.

7) Pematangan serviks dapat dilakukan kateter voley, oksitosin,


prostaglandin, pemecahan selaput ketuban.
8) Persalinan per vaginam yaitu ibu miring ke kiri, berikan oksigen, monitor
DJJ, induksi persalinan dengan tetes pitosin (jika tidak ada kontraindikasi
dan belum ada tanda hipoksia intrauterine), tetes pitoksin dinaikkan
jangan melebihi 2 Mu/menit atau dinaikkan dengan interval 30 menit,
amniotomi pada fase aktif, infus intraamniotik dengan 300-500 mL NaCl
hangat selama 30 menit yaitu untuk mengatasi oligohidramnion dan
mekonium, konfirmasi kesejahteraan janin.Dilakukan Sectio Caessaria,
jika gawat janin(deselerasi lambat, pewarnaan meconium), gerakan janin
abnormal (<5kali/20 menit), contraction stress test (CST), berat badan
>4000 gr, malposisi, malpresentasi, partus >18 jam, bayi belum lahir
(Fadlun, Feryanto, 2013: 92). Dilakukan vakum ekstraksi, syarat vakum
(Manuaba, 2003) yaitu:
a) Pembukaan minimal 5

b) Ketuban negative atau dipecahkan

c) Anak hidup, letak kepala atau bokong

d) Penurunan minimal H II

e) His dan reflex mengejan baik.


3.6 Langkah- Langkah Dalam Manajemen Kebidanan
7 langkah manajemen kebidanan menurut Helen Varney

a. Langkah I pengumpulan data dasar

Pada tahap ini dikumpulkan semua informasi yang akurat dan lengkap
dari sumber yang berkaitan dengan kondisi klien. Tahap ini merupakan
langkah awal untuk menentukan langkah berikutnya sehingga kelengkapan
data sesuai dengan kasus dihadapi yang akan menentukan proses interpretasi
yang benar atau tidak dalam tahap selanjutnya. Cara memperoleh data sebagai
berikut:
1) Dilakukan untuk mendapatkan biodata, riwayat menstruasi, riwayat
kesehatan, riwayat kehamilan, peersalinan, dan nifas, bio-psikososial-
spiritual, serta pengetahuan klien.
2) Pemeriksaan fisik sesuai dengan kebutuhan dan pemeriksaan tanda-tanda
vital.
3) Pemeriksaan khusus (Inspeksi, palpasi , auskultasi dan perkusi).
4) Pemeriksaan penunjang (laboratorium, radiologi/USG, dan catatan
terbaru serta catatan sebelumnya).
Adapun keluhan yang biasa dikatakan oleh pasien yang mengalami
persalinan postterm seperti: mengatakan bahwa ibu merasa cemas karena
kehamilannya sudah lewat bulan, merasakan nyeri pada perut tembus
belakang. Pada kasus persalinan postterm didapat data subjektif usia
kehamilan >42 minggu yang dapat dihitung berdasarkan:
a) Hari Pertama Haid Terakhir (HPHT), dihitung menggunakan rumus neegle,
jika umur kehamilan>42 minggu dan tidak sesuai dengan tafsiran persalinan
maka besar kemungkinan terjadi persalinan postterm.
b) Tinggi Fundus Uteri (TFU), pemeriksaan tinggi fundus uteri adalah satu
pendukung dari diagnosis persalinan postterm. Jika pembesaran uterus lebih
besar dari dugaan usia kehamilan normal, maka kemungkinan terjadi usia
kehamilan lebih tua dari taksiran.
c) Tafsiran Berat Janin (TBJ), pada kehamilan, normalnya akan terjadi
penurunan BB janin pada umur kehamilan 36 minggu karena perubahan
anatomi yang besar pada plasenta, namun pada kehamilan postterm seringkali
berat janin bertambah jika placenta masih berfungsi sehingga TBJ makin
bertambah dan kemungkinan akan terjadi makrosomia.
d) Ultrasonografi (USG), Pemeriksaan USG merupakan suatu media diagnostik
dengan menggunakan gelombang ultrasonik untuk mempelajari morfologi
dan fungsi suatu organ berdasarkan gambaran eko dari gelombang ultrasonik
yang dipantulkan oleh organ. Pemeriksaan inilah yang mendukung diagnosis
persalinan postterm karena pada saat pemeriksaan USG dilihat ukuran
diameter biparietal dan lingkar kepala untuk menentukan usia kehamilan,
ukuran plasenta, jumlah cairan amnion, berat janin.
b. Langkah II Interpretasi data dasar

Pada langkah ini dilakukan indetifikasi terhadap diagnosis atau


masalah
berdasarkan interpretasi atas data-data yang telah dikumpulkan. Sehingga
dapat merumuskan diagnosis dan masalah yang spesifik. Diagnosa persalinan
postterm dapat ditegakkan berdasarkan usia kehamilan, usia kehamilan dapat
diketahui berdasarkan hari petama haid terakhir, tafsiran berat janin, dan
tinggi fundus uteri.
Pada pemeriksaan USG dapat diketahui kondisi janin, ukuran
diameter biparietal dan lingkar kepala untuk menentukan usia kehamilan,
ukuran placenta, jumlah cairan amnion, berat janin (Sarwono, 2011).
Berdasarkan usia gestasi dan berat badan lahir kemungkinan yang
dapat terjadi pada bayi menurut grafik lubcheo yaitu Kecil Masa Kehamilan
(KMK), Sesuai Masa Kehamilan (SMK), besar untuk masa kehamilan
(BMK).
c. Langkah III identifikasi diagnosis atau masalah potensial

Mengidentifikasi masalah atau diagnosis potensial yang lain


berdasarkan beberapa masalah dan diagnosis yang sudah diidentifikasi
(Yulifah, 2014:133).
Pada persalinan postterm masalah- masalah yang dapat terjadi pada ibu
adalah kala I memanjang, partus lama, Perdarahan postpartum yaitu atonia
uteri kerena janin besar. sedangkan pada janin kemungkinan masalah yang
dapat terjadi jika mengalami persalinan postmatur adalah bayi dapat
mengalami gawat janin, gawat janin terjadi bila janin tidak menerima O2
cukup, sehingga mengalami hipoksia. Situasi ini dapat terjadi kronik (jangka
waktu panjang) atau akut. Tanda gawat janin, djj dalam proses persalinan
bervariasi dan akan kembali normal dalam beberapa waktu. Bila DJJ tidak
kembali normal setelah
kontraksi ini merupakan tanda gawat janin, Asfiksia mekonium, merupakan
keadaan pada bayi baru lahir yang mengalami gagal bernapas secara spontan
dan teratur segeramsetelah lahir, sehingga bayi tidak dapat memasukkan
oksigen dan
tidak dapat mengeluarkan zat asam arang dari tubuhnya.

d. Langkah IV tindakan segera/ kolaborasi

Langkah yang dilakukan seorang bidan dengan melakukan identifikasi


dan menetapkan beberapa kebutuhan setelah diagnose dan masalah yang
ditegakkan. Kegiatan yang dilakukan bidan dalam langkah ini adalah
konsultasi, kolaborasi, dan melakukan rujukan.
Pada persalinan postterm tindakan segera yang dilakukan oleh bidan
adalah dengan melakukan kolaborasi dengan dokter obgyn untuk
mengantisipasi terjadinya komplikasi – komplikasi terhadap ibu seperti
pemberian oksitosin untuk mencegah terjadinya atonia uteri dan penanganan
perdarahan post partum berupa pemasangan infus dan transfusi darah jika
diperlukan. Selain kolaborasi dengan dokter obgyn, dalam persalinan
postterm juga di lakukan kolaborasi dengan dokter anak untuk memberikan
penanganan segera setelah bayi lahir pada bayi postterm, selain itu
dipersiapkan alat resusitasi bayi seperti penyedian O2, suction, infant
warmer,dan inkubator. Jika persalinan postterm yang ditolong oleh bidan di
BPS maupun puskesmas mengalami komplikasi yang diluar kompetensi
(wewenang) bidan, maka tindakan segera yang dilakukan oleh bidan adalah
perbaiki keadaan umum ibu dan bayi, setelah itu kolaborasi dengan dokter
dengan cara memberikan surat rujukan untuk ke rumah sakit yang
mempunyai fasilitas yang lebih lengkap dan memadai
e. Langkah V intervensi (perencanaan)

Melakukan perencanaan secara menyeluruh dan rasional terhadap


masalah sesuai dengan langkah sebelumnya. Rencana asuhan yang diberikan
harus disetujui oleh pasien untuk menentukan apakah tindakan yang telah
direncanakan bersedia untuk dijalankan atau tidak. Rencana asuhan
persalinan postterm yaitu:
1) Merencanakan pemantauan DJJ, nadi, his tiap 30 menit, dan memastiikan
semuanya dalam batas normal.
2) Merencanakan pemantauan kondisi janin dan keadaan yang
membahayakan janin dengan cara pemeriksaan kardiotografi seperti
nonstress test (NST) dan contraction stress test untuk mengetahui
kesejahteraan janin sebagai reaksi terhadap gerakan janin atau kontraksi
uterus dan pemeriksaan USG untuk menentukan besar janin, denyut
jantung janin, gangguan pertumbuhan janin, keadaan dan derajat
kematangan plasenta, jumlah (indeks cairan amnion dan kualitas air
ketuban (Fadlun, Feryanto, 2013: 90-92).
3) Merencanakan pemantauan kemajuan persalinan, pada persalinan
postterm kemungkinan terjadi makrosomia sehingga dapat menyebabkan
terjadinya kala 1 memanjang, kala II lama, perdarahan postpartum.
4) Merencanakan tekhnik pengurangan nyeri dengan memberikan terapi
murottal dan ayat suci Al-Qur‟an.
5) Merencanakan anjuran agar senantiasa berdzikir dan bertawakkal kepada
Allah Swt agar diberikan kelancaran dalam proses persalinan.
6) Merencanakan pemeriksaan serviks dengan skor bishop untuk menilai
kematangan serviks dan respondnya terhadap induksi persalinan, jika
skor bishop rendah, artinya serviks belum matang dan memberikan angka
kegagalan yang lebih tinggi jika dilakukan induksi persalinan.
7) Merencanakan pemberian oksitosin sesuai anjuran dokter jika serviks
sudah matang.
8) Merencanakan asuhan persalinan sesuai APN, asuhan dilakukan untuk
mencegah komplikasi lain akibat persalinan postterm.
9) Merencanakan penanganan bayi baru lahir dengan persalinan postterm
yaitu oksigen, suction , infant warmer, incubator, dan bedah sesar bila
sewaktu-waktu terjadi kegawatdaruratan janin.
10) Merencanakan penanganan asfiksia mekonium dengan cara
mengeringkan, bebaskan jalan napas, rangsangan taktil dan
menghangatkan.
f. Langkah VI Implementasi
Pelaksanaan dari semua rencana sebelumnya, pelaksanaan pada
persalinan postterm dapat dilakukan oleh bidan secara mandiri maupun
kolaborasi dengan tenaga kesehatan lainnya, rencana asuhan persalinan
dengan postterm yaitu:
1) Melakukan pemantauan DJJ, nadi, dan his tiap 30 menit serta
memastikan bahwa semuanya dalam batas normal.
2) Pemantauan kondisi janin dan keadaan yang membahayakan janin
dengan cara pemeriksaan kardiotografi seperti nonstress test (NST) dan
contraction stress test (CST) untuk mengetahui kesejahteraan janin
sebagai reaksi terhadap gerakan janin atau kontraksi uterus dan
pemeriksaan USG untuk menentukan besar janin, denyut jantung janin,
gangguan pertumbuhan janin, keadaan dan derajat kematangan plasenta,
jumlah (indeks cairan amnion dan kualitas air ketuban) (Fadlun,
Feryanto, 2013: 90-92).
3) Melakukan pemantauan kemajuan persalinan, pada persalinan postterm
kemungkinan terjadi makrosomia sehingga dapat menyebabkan
terjadinya kala 1 memanjang, kala II lama, perdarahan postpartum.
4) Melakukan tekhnik pengurangan nyeri dengan memberikan terapi
murottal dan ayat suci Al-Qur‟an.
5) Memberikan anjuran agar senantiasa berdzikir dan bertawakkal kepada
Allah Swt agar diberikan kelancaran dalam proses persalinan.
6) Melakukan pemeriksaan serviks dengan skor bishop untuk menilai
kematangan serviks dan respondnya terhadap induksi persalinan, jika
skor bishop rendah, artinya serviks belum matang dan memberikan angka
kegagalan yang lebih tinggi jika dilakukan induksi persalinan.
7) Melakukan pemberian oksitosin sesuai anjuran dokter jika serviks sudah
matang.
8) Melakukan asuhan persalinan sesuai APN, asuhan dilakukan untuk
mencegah komplikasi lain akibat persalinan poostterm.
9) Melakukan penanganan bayi baru lahir dengan persalinan postterm yaitu
oksigen, suction, infant warmer, incubator, dan bedah sesar bila sewaktu-
waktu terjadi kegawatdaruratan janin.
10) Melakukan penanganan asfiksia mekonium dengan cara mengeringkan,
bebaskan jalan napas, rangsangan taktil, menghangatkan dan melakukan
resusitasi.
g. Langkah VII Evaluasi

Melakukan evaluasi dari perencanaan maupun pelaksanaan yang


dilakukan. Setelah dilakukan asuhan persalinan postterm, hasilnya ibu dengan
keadaan yang baik, bayi dalam kondisi normal, persalinan berjalan lancar
sesuai dengan asuhan yang diberikan. Setelah dilakukan pelaksanaan asuhan
persalinan postterm pada ibu: masalah/ komplikasi yang terjadi pada ibu
seperti partus lama, perdarahan po stpartum, innersia uteri dapat teratasi dan
ibu dalam keadaan umum baik. Sedangkan pada bayi, setelah dilakukan
penatalaksanaan asuhan bayi postterm, masalah/komplikasi seperti aspirasi
mekonium, asfiksia, gawat janin bahkan meninggal dapat teratasi dan bayi
dalam keadaan umum baik (Varney dkk, 2002:31).

3.7 Pendokumentasian Manajemen Asuhan Kebidanan


Dokumentasi kebidanan adalah suatu sistem pencatatan atau
pelaporan informasi tentang kondisi dan perkembangan pasien dan
semua kegiatan yang dilaksanakan bidan dalam memberikan asuhan
kebidanan. Pendokumentasian atau catatan manajemen kebidanan
diterapkan dalam metode SOAP. Dokumentasi SOAP merupakan urutan
langkah-langkah yang dapat membantu mengatur pola pikir dalam
memberikan asuhan secara menyeluruh. SOAP (Subjektif, Objektif,
Assesment, Planning) yaitu:
a. Subjektif

Subjektif merupakan hasil pengumpulan data pasien yang diperoleh


melalui anamnesis, data yang diperoleh melalui wawancara, pada persalinan
postterm dapat diperoleh data subjektif yaitu keluhan bahwa kehamilannya
sudah lewat bulan, HPHT, menarche, riwayat persalinan sebelumnya, riwayat
penyakit menular dan menurun lainnya.
b. Objektif

Objektif merupakan pendokumentasian dari data hasil observasi


melalui pemeriksaan fisik, hasil pemeriksaan penunjang, (pemeriksaan
laboratorium) yang meliputi: Keadaan umum, Kesadaran, Pemeriksaan
TTV,HTP, Pemeriksaan head to toe, pemeriksaan dalam, Pemeriksaan
penunjang meliputi pemeriksaan Hb, Albumin, dan reduksi.
c. Assesment

Assesment merupakan pendokumentasian berdasarkan data yang


terkumpul kemudian dibuat kesimpulan meliputi diagnosis, antisipasi atau
masalah potensial tentang persalinan postterm.
d. Planning

Planning merupakan rencana tindakan yang akan diberikan


termasuk asuhan mandiri, kolaborasi, serta konseling untuk tindak lanjut.

4. Mengenali Induksi Alami yang Aman, Menghindari yang Berisiko

Menunggu hari-hari menjelang persalinan adalah saat yang sangat


menegangkan. Tidak mengherankan bila banyak ibu hamil yang berusaha
melakukan induksi alami untuk mempercepat hari persalinan.

Kendati sudah memasuki hari perkiraan lahir (HPL), tidak sedikit ibu hamil yang
belum juga merasakan kontraksi. Padahal, waktu ideal untuk melahirkan umumnya
adalah pada usia kehamilan 39 minggu.

Hal ini bisa membuat ibu hamil makin khawatir soal bayi ataupun proses
persalinannya nanti. Oleh sebab itu, tidak sedikit pula yang menginginkan
persalinannya dipercepat. Salah satu pertimbangannya adalah dengan induksi alami.

4.1 Induksi Alami yang Disarankan

Untuk melakukan teknik induksi alami ini, Bumil dapat


melakukannya sendiri atau bersama pasangan di rumah. Akan tetapi, ada
pula teknik induksi yang harus dilakukan oleh dokter atau ahli medis di
rumah sakit.
Berikut ini adalah beberapa jenis induksi alami yang disarankan:

1. Berhubungan seks

Berhubungan seks dengan pasangan dapat dijadikan sebagai salah satu


cara induksi alami. Kandungan prostaglandin pada sperma dapat
merangsang leher rahim dan akhirnya membuat rahim berkontraksi.

Namun, perlu diingat bahwa hubungan seks sebagai induksi tidak


disarankan pada seorang wanita hamil yang mengalami ketuban sudah
pecah. Jika ragu, konsultasikan hal ini terlebih dahulu pada dokter.

2. Stimulasi puting payudara

Stimulasi pada puting payudara dapat memicu keluarnya hormon


oksitosin. Selanjutnya, hormon oksitosin yang keluar akan memicu
kontraksi. Stimulasi ini dapat dilakukan dengan tangan atau pun pompa
ASI.

Meski demikian, dokter menegaskan bahwa stimulasi puting payudara


sebaiknya dilakukan dengan pengawasan yang tepat agar kondisi bayi di
dalam kandungan bisa dipantau dengan baik untuk menghindari kontraksi
rahim berlebihan yang bisa membahayakan bayi.

3. Melepaskan dinding ketuban dari leher rahim

Induksi alami ini harus dilakukan oleh dokter atau bidan. Dengan metode
induksi alami jenis ini, dokter akan menyapukan jari di sekitar leher
rahim, sehingga selaput ketuban dan leher rahim terpisah.

Tindakan tersebut diharapkan akan memancing pengeluaran hormon


prostaglandin dan memicu persalinan. Metode ini biasanya tidak
menimbulkan rasa sakit. Akan tetapi, sebagian Bumil mungkin bisa
mengalami sedikit rasa tidak nyaman dan sedikit pendarahan.

4. Memecahkan kantong ketuban

Ketika kantong ketuban pecah, hormon prostaglandin akan meningkat


sehingga memicu kontraksi. Untuk memecahkan kantong ketuban, dokter
akan menggunakan kait plastik tipis yang bersih.
Kait tersebut disapukan di selaput ketuban yang berada di bagian dalam
leher rahim hingga kepala bayi turun ke leher rahim. Turunnya kepala
bayi biasanya adalah induksi alami yang membuat kontraksi rahim
menjadi lebih kuat sehingga kantong ketuban pecah dan hormon
prostaglandin keluar.

4.2 Mewaspadai Induksi Alami yang Belum Terbukti

Selain 4 induksi alami di atas, Bumil juga perlu mewaspadai


induksi alami yang hanya didasari mitos ataupun yang belum terbukti
secara medis. Sebaiknya, konsultasikan terlebih dahulu dengan dokter
kandungan sebelum melakukannya.

Berikut ini adalah daftar induksi alami yang belum terbukti secara
medis, yaitu:

1. Berjalan jauh

Berjalan memang dapat mendorong bayi turun ke panggul. Namun,


efektivitas berjalan jauh sebagai induksi alami belum bisa dipastikan.
Berjalan jauh justru dikhawatirkan bisa menyebabkan ibu hamil kelelahan
menjelang persalinan dan jadi tidak kuat mengejan saat kontraksi tiba.

2. Mengonsumsi makanan pedas

Mitos yang banyak beredar mengatakan bahwa makanan pedas dapat


merangsang kontraksi pada rahim. Sebenarnya, induksi alami ini belum
terbukti secara medis dan justru berisiko menyebabkan nyeri ulu hati
pada ibu hamil. Selain itu, tidak ada hubungan langsung antara rahim dan
saluran cerna.

3. Meminum minyak jarak

Minyak jarak merupakan pencahar yang sangat kuat. Bila diminum oleh
ibu hamil menjelang persalinan, minyak jarak diharapkan dapat memicu
timbulnya kontraksi. Namun selain belum terbukti kebenarannya, minum
minyak jarak untuk induksi alami justru bisa menimbulkan risiko
gangguan pernapasan pada bayi.

Selain itu, Bumil pun berisiko mengalami diare. Diare dapat menjadi
berbahaya bila menyebabkan Bumil dehidrasi.
4. Mengonsumsi obat herba

Ada beragam jenis tanaman yang diyakini masyarakat dapat menjadi


induksi alami. Meski begitu, sebaiknya konsultasikan terlebih dahulu
dengan dokter sebelum mengonsumsi apapun untuk memicu kontraksi.
Alih-alih memicu kontraksi, obat herba justru bisa menyebabkan
persalinan menjadi lebih lama atau malah menimbulkan komplikasi
persalinan.

Induksi alami memang bisa menjadi pilihan untuk mempercepat


datangnya kontraksi. Namun, ada beberapa kondisi yang mengharuskan
ibu hamil berhati-hati akan induksi alami, misalnya misalnya kehamilan
dengan preeklampsia, riwayat kelahiran prematur, atau kehamilan
kembar.

4.3 Posisi yang dianjurkan agar pembukaan lebih cepat

Untuk kehamilan pertama, biasanya pembukaan berlangsung 12


hingga 14 jam. Sementara untuk kehamilan kedua dan seterusnya
biasanya berlangsung lebih cepat, yaitu sekitar 5 hingga 10 jam. Selain
menjalani induksi alami, Anda juga bisa mencoba posisi tertentu agar
membantu pergerakan bayi.
Melansir situs University of Minnesota, berikut posisi yang
dianjurkan untuk mempercepat proses pembukaan persalinan.
1. Hindari posisi telentang dan bersandar pada punggung karena dapat
menghambat pergerakan janin.
2. Duduk di atas bola birth ball agar rasa sakit berkurang dan
membantu mendorong janin.
3. Bila tidak ada birth ball, Anda bisa mencoba duduk di toilet dengan
kaki terbuka.
4. Berdiri dengan kedua kaki terbuka sambil menyandarkan kepala ke
depan.
5. Berbaring miring ke samping saat tubuh merasa lelah.
4.4 Induksi alami perlu disesuaikan dengan kondisi kehamilan
Tidak semua metode induksi persalinan alami terbukti efektif. Namun,
dikutip dari Cleveland Clinic, metode induksi alami mungkin bisa
menjadi alternatif pilihan bila kondisi kehamilan Anda sebagai berikut.
 Usia kehamilan sudah memasuki 37 minggu atau lebih.
 Dokter memperbolehkan melakukan induksi persalinan alami sesuai
anjuran.
 Posisi kepala bayi sudah berada di bawah atau di jalan lahir.
 Ibu dan bayi sehat atau tidak memiliki komplikasi kehamilan.

Jika ingin melakukan induksi alami, Anda pun perlu mendapatkan


persetujuan dokter kandungan karena cara- cara ini belum terbukti secara
ilmiah. Sejatinya, satu-satunya metode induksi yang aman dan dapat
diandalkan untuk memicu persalinan yakni obat yang diberikan oleh
dokter saat ibu hamil melahirkan di rumah sakit.
Dokter umumnya akan mempertimbangkan untuk memberikan induksi
persalinan medis sesuai dengan kondisi kesehatan Anda dan bayi di
dalam kandungan. Itu sebabnya, penanganan cara merangsang kontraksi
agar bayi cepat lahir untuk masing-masing kondisi ibu hamil pun bisa
berbeda-beda.

4.5 Kondisi yang mengharuskan induksi medis

Meskipun induksi alami boleh saja Anda lakukan, ada beberapa kondisi
yang mengharuskan ibu untuk menjalani prosedur induksi persalinan
secara medis.mDokter biasanya akan melakukan prosedur tersebut untuk
mempercepat pembukaan persalinan bila mengalami kondisi berikut.
 Air ketuban sudah pecah tetapi ibu belum merasakan kontraksi sama
sekali.
 Ibu mengalami infeksi dalam rahim.
 Bayi tidak berkembang secara signifikan dalam kurun waktu tertentu.
 Kandungan tidak memiliki air ketuban yang cukup.
 Ibu mengalami ablasio plasenta atau plasenta terputus dari rahim.
 Kondisi kesehatan ibu terganggu, seperti diabetes dan tekanan darah
tinggi yang membahayakan diri dan bayinya.
DAFTAR PUSTAKA

Asri H dewi,dan Clevo P Cristine, Asuhan persalinan Normal ,Yogyakarta: Nuha


Medika. 2012.
Berawi M, Brillianningtyas L, Carolia N. The Relationship of Postterm
Pregnanciesd and Premature Infants With Neonatal Asphyxia.
http://juke.kedokteran.unila.
ac.id/index.php/majority/article/view/294/292. (2 Juli 2018).
Damayanti, Ika, dkk. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Komprehensif Pada Ibu
Bersalin Dan Bayi Baru Lahir. Yogyakarta: Deepublish.2014.
Depertemen Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Republik Indonesia.
2016.
Dewi Ratna Pudiastuti. Asuhan Kebidanan Pada Hamil Normal dan Patologi.
Yogyakarta: Nuha Medika. 2012.
Dinas Kesehatan Kabupaten Gowa, Profil Kesehatan Kabupaten Gowa, 2014.
http://pusdatin.kemkes.go.id/resource/download/profil/PROFIL KAB
KOTA 2014/7306. Sulsesl kab Gowa 2014 (diakses tanggal 10 maret
2018).
Fadlun dan Achmad feriyanto. Asuhan Kebidanan Patologis. Jakarta: Salemba
Medika. 2013.
Indrayani, dkk. Asuhan Persalinan dan dan Bayi Baru Lahir. Jakarta: Trans Info
Media. 2013.
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an terjemahan dan tajwid. Bandung: Jawa Barat,
2014.
Kuswanti, Ina dan Melina, Fitriani. Askeb II Persalinan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. 2016
Latifa Elisabeth M.F. Asuhan Kebidanan Kehamilan. Jakarta:IN MEDIA. 2013.

Manuaba, C. Gawat Darurat Obstetri-Ginekologi dan Obstetri Ginekologi Sosial


untuk Profesi Bidan. Jakarta: EGC. 2008.
Maryunani, Anik. Asuhan kegawatdaruratan dalam Kebidanan. Jakarta: TIM.
2012.
153

Mochtar, Rustam. Sinopsis Obstetric Fisiologi Dan Patologi. Jakarta: EGC.


2013.
Nadyah. Kegawatdaruratan Neonatal, Anak Dan Maternal. Jakarta: PT Bina
Pustaka Sarwono Prawihardjo. 2013.
Norma, nita, dkk. Asuhan Kebidanan Patologi. Yogyakarta: Nuha Medika. 2013

Nugroho, Taufan. Obstetri Dan Ginekologi. Yogyakarta: Nuha Medik a. 2011.

Oxorn Harry, William R. Forte. Ilmu Kebidanan: Patologi danFisiologi


persalinan. Yogyakarta: Penerbit Andi. 2010.
Pemerintah Kota Makassar Dinas Kesehatan. ”Profil Kesehatan Kota Makassar
tahun 2014” 2015.
Prawirohardjo, Sarwono. Ilmu kebidanan. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono
Prawihardjo. 2011.
Prawirohardjo, Sarwono. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono
Prawihardjo. 2014.
Prawirohardjo, Sarwono. Ilmu kebidanan. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono
Prawihardjo. 2015.

Qadarshi laeli, Putri Andisetyana Hanifa. Hubungan Kehamilan Postterm Dengan


Kejadian Asfiksia Pada Bayi Baru Lahir.Yogyakarta. Jurnal Maternity
And Neonatal jilid 1 halaman 2.
Ratnawati, Yusnawati Nani. Hubungan Kehamilan Serotinus Dengan Kejadian
Asfiksia Pada Bayi Baru Lahir. Bantul Yogyakarta: Jurnal Kebidanan jilid
3 nomor 1 halaman 27-33.
Sari, Eka Puspita, dkk. Asuhan Kebidanan Persalinan. Jakarta: Trans Info Media.
2014.
Rukiyah, Yeye Ai dan Lia Yulianti. Asuhan Kebidanan Patologi Kebidanan.
Jakarta: Trans Info Media. 2010.
Shihab, Quraish. Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan Dan Keserasian Al-Qur’an.
Jakarta: Lentera Hati. 2009.
Sulistyowati, Endah. Perbandingan Antara Nilai Apgar Pada Bayi Prematur
dengan Bayi Postmatur Di Rsud Temanggung Tahun 2013.
Susiloningtyas Is dan Yanik Purwanti. Kajian Pengaruh Manajemen Aktif Kala
III Terhadap Pencegahan Perdarahan
Postpartum.
http://jurnal.unissula.ac.id/index.php/majalahilmiahsultanagung/article/
vie w/73/67 . (2 Juli 2018).
Varney, Hellen. Buku Ajar Asuhan Kebidanan. Jakarta: 2002.

Walyani Elisabeth S. Kebidanan Persalinan dan Bayi Baru Lahir.Yogyakarta:


Pustakabarupress. 2015.
Widyasari, Dian. Asuhan Kebidanan Pada Ibu bersalin Ny.M G1P0A0 Umur
20 Tahun Dengan Induksi Pada Persalinan Serotinus Di Rsud Dr
Moewardi Surakarta tahun
2012.
http:stikeskusumahusada.ac.id/digilib/files/disk1/2/01-gdl-dianwidyas-
80- 1-dianwid-i.pdf.
Wijayanti, Erna dkk, Hubungan Kehamilan Lewat Waktu Dengan Kejadian
Asfiksia bayi baru lahir diRSUD dr.R.Koesma Tuban.
http://Ippm.stikesnu.com/wp-content/uploads/2014/02/5-jurnal-B-Erna -
ailiyati-Q-klik.pdf.
Word Health Organization. Profil Kesehatan dan Pembangunan Perempuan di
Indonesia. Bakti Husada. 2014.

Yulifah, Rita, dkk. Konsep Kebidanan. Jakarta Selatan: Salemba Medika. 2014

Anda mungkin juga menyukai