https://journal.uny.ac.id/index.php/geomedia/index
e-mail: geomedia@uny.ac.id
Hidrogeomorfologi mataair pada peralihan antara Paleovulkan Gajah dan Menoreh di Pegunungan Kulonprogo
adalah ditunjukkan oleh adanya morfologi lereng kondisi air, baik yang ada di permukaan maupun
yang memiliki igir-igir dan keterbikuan yang kuat. yang ada di bawah permukaan, salah satunya
Gaya kompresi pada lokasi penelitian akibat sesar dalam pembentukkan cekungan airtanah dan
meninggalkan banyak bekas berupa perpotongan elevasi muka airtanah akibat kondisi morfometri
topografi. Perpotongan tersebut apabila setempat yang membentuk basin dengan
memotong lintasan airtanah akan memunculkan topografi menurun sehingga menyebabkan
mataair. airtanah yang bergerak dari tempat tinggi ke
tempat rendah menuju ke dasar basin atau
cekungan airtanah tersebut.
Berdasarkan Gambar 4, pola persebaran
mataair selain muncul mengikuti cekungan
airtanah namun juga mengikuti pola sebaran
perubahan elevasi muka airtanah atau hydraulic
head. Untuk mempermudah, penamaan cekungan
dilakukan dalam penelitian ini, yaitu cekungan di
sebelah barat lokasi penelitian, cekungan di
tengah lokasi peneltian bagian selatan, cekungan
di tengah lokasi peneltian bagian utara, dan
cekungan di lokasi penelitian sebelah utara.
Cekungan di sebelah barat pada lokasi peneltian
Gambar 2. Visualisasi Hasil Penentuan Pola ditemukan sebanyak lima mataair, pada cekungan
Distribusi Spasial Mataair di sebelah paling utara dari tubuh Paleovulkan
Menoreh, ditemukan sebanyak enam mataair,
Dalam hidrogeomorfologi, kondisi sedangakan pada cekungan yang terletak pada
bentuklahan berupa kemiringan lereng dan daerah tengah lokasi penelitian teridentifikasi tiga
ketinggian tempat juga akan mempengaruhi mataair. Sekitar 10 mataair muncul tepat pada
perubahan hydraulic head pada lokasi penelitian.
Gambar 4. Peta Lokasi Mataair pada Cekungan Airtanah (CAT) Menoreh di Lokasi Penelitian
Karakteristik Mataair di Lokasi Penelitian 21,05%, tipe gushet 5,26%, dan tipe hillslope
Berdasarkan data eksplorasi sumber mataair hanya 2,64%.
yang ditemukan di seluruh lokasi penelitian, secara Kemudian tipe pemunculan mataair pada
fisik terdapat kecenderungan karakter yang lokasi penelitian teridentifikasi merupakan bertipe
memperlihatkan pola dominan dari klasifikasi- kontak dengan tiga sub-tipe berbeda, yaitu akibat
klasifikasi fisik terhadap klasifikasi mataair yang kontak struktur sesar, perpotongan tinggi muka
telah diajukan oleh Springer et al. (2008). airtanah atau hydraulic-head, dan akibat dari
Diantaranya adalah morfologi pemunculan perpotongan topografi. Persentase masing-
mataair, tipe pemunculannya dan modifikasi yang masing tipe berdasarkan data yang diidentifikasi
dilakukan manusia terhadap lokasi pemunculan di lapangan antara lain tipe perpotongan
Mataair. Selain itu kecenderungan pemunculan topografi sebagai ynag terbanyak ditemukan,
mataair terhadap klasifikasi menurut satuan unit yaitu 73,68%, kemudian akibat dari kontak struktur
lahan juga dapat teridentifikasi dan lebih lanjut sesar sebesar 15,80%, dan akibat dari
merupakan hubungan sebab-akibat dari kondisi perpotongan tinggi muka airtanah atau hydraulic-
geomorfologi di lokasi penelitian. head sebesar 10,52%. Sedangkan untuk tipe fisik
Bentuk pemunculan mataair di lokasi bukan alami, atau akibat campur tangan dan
penelitian menurut Springer et al. (2008) dan modifikasi manusia terhadap mataair di lokasi
Springer & Stevens (2009) yang mengajukan 12 penelitian mencapai 76,32% dengan
tipe bentuk pemunculan mataair. Sebanyak empat pembangunan bak-bak penampung dan pipa-
dari 12 tipe tersebut diidentifikasi dari pengukuran pipa penyalur untuk keperluan konsumsi.
lapangan di lokasi penelitian, yaitu antara lain Karakteristik mataair di lokasi penelitian
gushet, rheocrene, limnocrene, dan hillslope. berdasarkan sifat pengalirannya umumnya
Bentuk pemunculan mataair yang berada di lokasi merupakan mataair perennial yang mengalir
penelitian dominan merupakan bertipe rheocrene sepanjang tahun. Namun demikian, debit setiap
yang meliputi 71,05% dari seluruh sampel mataair, mataair mengalami fluktuasi yang berbanding
kemudian secara berturut-turut dibawahnya lurus perubahan musim antara musim kemarau
merupakan tipe limnocrene dengan persentase dengan musim penghujan. Hasil pengukuran
debit mataair yang dilakukan di 38 mataair lokasi Vulkan Merapi bagian Selatan (Ratih et al., 2018),
penelitian menunjukkan rata-rata debit 0,13 dan Vulkan Merbabu bagian barat daya (Ashari &
liter/detik. Mengacu pada klasifikasi debit mataair Widodo, 2019), memiliki pola mengelompok dan
menurut Meinzer (1923), rata-rata debit mataair di membentuk pola sabuk mataair stratovolcano.
lokasi penelitian termasuk pada kelas VI. Sebanyak Sementara pada hasil penelitian Aurita &
19 mataair memancurkan debit mataair sekitar Purwantara (2017) di Vulkan Merapi bagian barat
0,1-1 liter/detik (Tabel 1). pola persebaran secara mengelompok mengikuti
alur sungai. Kondisi pola persebaran mataair agak
Tabel 1. Klasifikasi debit mataair berdasarkan berbeda pada peralihan antara Paleovulkan Gajah
Menzier (1923; Todd, 1980) dan Menoreh ditunjukkan oleh pola persebaran
Debit Jumlah yang mengelompok ini tidak hanya sekadar
Kelas mengikuti alur sungai melainkan mengikuti pola
(Lt/det) Mataair
struktur sesar. Keberadaan sesar-sesar
V 1-10 1
memungkinkan munculnya mataair pada zona
VI 0,1-1 19 patahan tersebut (Santosa, 2016).
VII 0,01-0,1 6 Selain itu hasil penelitian mengenai debit
VIII <0,01 12 mataair menunjukkan temuan dalam studi ini.
Jumlah 38 Debit mataair yang bervariasi dengan kondisi
Sumber: Hasil perhitungan data (2018) debit yang cenderung kecil di kawasan peralihan
Paleovulkan Gajah dan Menoreh (vulkan purba)
Debit mataair terbesar di lokasi penelitian berbeda dengan temuan dari (Ratih et al., 2018)
dapat dijumpai pada mataair Tulangan (1,2 pada Vulkan Merapi (vulkan muda) serta (Ashari &
liter/detik) dan merupakan satu-satunya mataair Widodo, 2019) pada Vulkan Merbabu (vulkan tua).
yang termasuk pada kelas V. Sedangkan debit Debit mataair mengalami penurunan seiring
mataair terkecil hanya 0,0 liter/detik di beberapa dengan bertambahnya umur batuan gunungapi.
mataair di lokasi penelitian, hal ini disebabkan Ardina (1985; Santosa, 2006) menjelaskan bahwa
karena mataair tersebut merupakan mataair hal ini dapat terjadi karena dalam
intermitten yang hanya mengalir pada saat musim perkembangannya semakin tua umur batuan
penghujan. Rangkuman dari hasil pengukuran gunungapi, maka proses pemadatan dan
debit mataair ditunjukkan oleh Tabel 2. perekatan berjalan lebih intensif yang
menyebabkan rongga antarbutir menjadi kecil,
Tabel 2. Data debit mataair daerah peralihan sehingga nilai kesarangan dan kelulusannya juga
Paleovulkan Gajah dan Menoreh kecil. Dari hal tersebut mengindikasikan bahwa
n 38 kondisi dan proses geomorfologis memiliki
pengaruh terhadap karakteistik mataair suatu
mean 0,13
Debit bentuklahan.
median 0,10
Mataair Kondisi hidrogeomorfologi di lokasi
(Lt/det) SD 0,21 penelitian juga mempengaruhi pemunculan
Max 1,20 mataair, khususnya pada tingkatan satuan unit
Min 0 lahan yang memiliki karakter yang seragam dan
Sumber: Hasil perhitungan data (2018) spesifik. Sebanyak 55,28% atau setengah populasi
sampel mataair muncul pada satuan unit lahan
Pembahasan intermountain basin atau lembah
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa antarpegunungan Paleovulkan Gajah dan
mataair pada peralihan antara Paleovulkan Gajah Menoreh. Kondisi tersebut sesuai dengan
dan Menoreh memiliki pola persebaran pendapat dari Santosa (2006) bahwa perubahan
mengelompok. Pola yang sama juga dijumpai morfologi lereng, proses geomorfologis, jenis
pada penelitian terdahulu yaitu di Vulkan Merapi batuan, dan struktur geologis penyusun suatu unit
bagian barat (Aurita & Purwantara, 2017), di lahan merupakan faktor penentuan dari
Vulkan Merapi bagian selatan (Ratih et al., 2018), keterdapatan airtanah. Pada wilayah peralihan
dan di Vulkan Merbabu lereng barat daya (Ashari produk erupsi masa lalu antara Paleovulkan Gajah
& Widodo, 2019). Pola persebaran mataair pada dan Menoreh masih dapat dikenali dengan jelas.
Produk sisa vulkanisme tersebut meliputi endapan yang menunjukkan bahwa debit mataair semakin
breksi vulkanik dengan fragmen andesit, lapili tuf, mengecil seiring dengan semakin tuanya batuan
tuf, lapili breksi, sisipan aliran lava andesit, gunungapi. Namun demikian, salah satu temuan
aglomerat, serta batupasir vulkanik. Kemudian terpenting dari studi ini adalah bahwa masih
keterdapatan batugamping berlapis dan banyak terdapat mataair perennial yang mengalir
batugamping koral dari Formasi Jonggrangan sepanjang tahun meskipun dengan kondisi debit
menyebabkan wilayah ini memiliki permeabilitas yang fluktuatif.
dan porositas yang tinggi sehingga merupakan Untuk proses evaluasi, penelitian ini masih
akuifer yang baik. Akuifer apabila terpengaruh merupakan ekplorasi awal mengenai studi mataair
oleh proses dan dinamika dalam geomorfologi pada peralihan antara Paleovulkan Gajah dan
berpotensi memunculkan discharge berupa Menoreh. Oleh karena itu, kajian karakteristik
mataair (Kresic & Stevanovic, 2010). matair yang dilakukan di wilayah ini masih
Di sisi lain, pada satuan unit lahan Dataran terbatas. Parameter karakteristik mataair seperti
Alluvial tidak menunjukkan pemunculan mataair, kualitas air mataair sangat direkomendasikan
sedangkan satuan unit lahan Perbukitan Struktural untuk diteliti pada masa mendatang, sehingga
Terbiku Kuat hanya memiliki persentase 10,52%. dapat menjadi pedoman kebijakan dalam
Jika dikaji menurut morfokronologi, satuan unit menentukan pengelolaan dan pemanfaatan air
lahan ini merupakan wilayah dengan batuan induk yang sesuai dengan kualitas mataairnya.
dari tubuh Paleovulkan Gajah yang memiliki usia
paling tua diantara paleovulkan yang ada di Ucapan terima kasih
Pegunungan Kulonprogo. Sedangkan dua satuan Penulis mengucapkan terima kasih kepada
unit lahan yang lain yang memiliki batuan dari pemerintah desa dan juru kunci mataair, yang
tubuh Paleovulkan Menoreh yang lebih muda telah memberikan izin serta pendampingan dalam
masing-masing yaitu Pegunungan Struktural pengukuran objek di lapangan. Ucapan terima
Terbiku Kuat dan Perbukitan Struktural Terbiku kasih juga disampaikan kepada reviewer yang
Sedang dengan persentase kemunculan mataair terlah memberikan kritik dan saran perbaikan,
lebih besar yaitu masing-masing sebesar sebesar sehingga artikel ini dapat memenuhi standar
15,78% dan 18,42%. Hal tersebut sesuai dengan untuk publikasi.
pendapat Verstappen (2013) bahwa wilayah yang
lebih tua dengan tingkat erosi yang kemungkinan Referensi
lebih tinggi dapat menyebabkan terjadinya lereng Aldrian, E., & Dwi Susanto, R. (2003). Identification
mundur yang akan mempengaruhi situasi of Three Dominant Rainfall Regions Within
hidrologi pada suatu wilayah. Indonesia and Their Relationship to Sea
Surface Temperature. International Journal
Simpulan of Climatology, 23, 1345–1452.
Kondisi hidrogeomorfologis pada peralihan Asdak, C. (2014). Hidrologi dan Pengelolaan Air
antara Paleovulkan Gajah dan Menoreh di Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada
Pegunungan Kulonprogo memiliki pola distribusi University Press.
spasial dan karakteristik mataair yang khas. Lokasi Ashari, A. (2014). Distribusi Spasial Mataair
pemunculan mataair tidak menunjukkan pola Kaitannya dengan Keberadaan Situs
sabuk mataair seperti pola yang terdapat pada Arkeologi di Kaki Lereng Timur Gunungapi
vulkan aktif pada umumnya, melainkan Sindoro antara Parakan dan Ngadirejo
terdistribusi secara mengelompok dan sebagian Kabupaten Temanggung. Mega Seminar:
mataair muncul secara berturut-turut mengikuti Geografi Untukmu Negeri, 169–179.
jalur sesar serta muncul pada perpotongan Ashari, A., & Widodo, E. (2019).
hydraulic head pada cekungan airtanah. Selain itu, Hidrogeomorfologi Dan Potensi Mataair
karakteristik morfologis dan proses geomorfologis Lereng Baratdaya Gunung Merbabu. Majalah
secara eksogen yang berlangsung lebih dominan Geografi Indonesia, 33(1), 48.
membuat pemunculan mata air banyak terdapat https://doi.org/10.22146/mgi.35570
pada unit lembah antarpegunungan Paleovulkan Aurita, R. P., & Purwantara, S. (2017). Karakteristik
Gajah dan Menoreh. Perbedaan debit mataair Mata Air Kaki Lereng Gunung Merapi dan
antara vulkan muda, vulkan tua dan vulkan purba Pemanfaatannya di Kecamatan Dukun