SYARH
Syarh/Penjelasan oleh:
Ustadz DR. Abdullah Roy, M.A.ﺣﻔظﮫ ﷲ
Bab Beriman Kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla
BAGIAN 02 (Halaqah 046-070)
▪🗓 _SENIN_
| 17 Muharram 1444 H
| 15 Agustus 2022 M
🔈 *Audio ke-46*
📖 _Al-Quran Adalah Kalam Allāh Ta’āla_
~~~•~~~•~~~•~~~•~~~
ّ ﺑﺳم
ﷲ اﻟرﺣﻣن اﻟرﺣﯾم
ّ اﻟﺳﻼم ﻋﻠﯾﻛم ورﺣﻣﺔ
ﷲ وﺑرﻛﺎﺗﮫ
واﻟﺻﻼة واﻟﺳﻼم ﻋﻠﻰ رﺳول ﷲ وﻋﻠﻰ آﻟﮫ وأﺻْ ﺣﺎﺑﮫ وﻣن واﻻهN اﻟﺣﻣد
Anggota grup whatsapp Dirosah Islamiyyah, yang semoga dimuliakan oleh Allāh.
Masih kita pada pembahasan Rukun Iman yang Pertama yaitu tentang beriman kepada
Allāh Azza wa Jalla.
Dan kami, yaitu Ahlus Sunnah wal Jama’ah beriman, mempercayai, meyakini dengan
seyakin-yakinnya, bahwasanya Al-Qurān Al-Karim adalah firman Allāh atau ucapan
Allāh. Dan ini adalah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang telah menyelisihi di
dalamnya sebagian aliran yang sesat.
Berarti ini pembahasan lebih khusus dari sebelumnya. Karena sebelumnya beliau
berbicara tentang bahwasanya Allāh memiliki sifat Kalam, dan sudah berlalu
penjelasannya.
Maka di sini beliau ingin menjelaskan bahwasanya di antara Kalamullāh adalah Al-
Qurān Al-Karim. Al-Karim artinya adalah yang mulia, atau yang pemurah, sebagaimana
Allāh Subhānahu wa Ta’āla mensifati Al-Qurān dengan demikian, yaitu dengan
“karomah”.
Disifati demikian, ada yang mengatakan karena banyaknya pahala bagi orang yang
membaca Al-Qurān. Sehingga dia disifati dengan Karim yaitu pemurah, karena orang
yang membaca Al-Qurān ini mendapatkan pahala yang besar sebagaimana dalam
hadits,
ٌب اﻟﻠﱠ ِﮫ َﻓ َﻠ ُﮫ ِﺑ ِﮫ َﺣ َﺳ َﻧ ٌﺔ َو ْاﻟ َﺣ َﺳ َﻧ ُﺔ ِﺑ َﻌ ْﺷ ِر أَﻣْ َﺛﺎﻟِ َﮭﺎ ﻻَ أَﻗُو ُل اﻟم ﺣرْ فٌ َو َﻟﻛِنْ أَﻟِفٌ َﺣرْ فٌ َوﻻَ ٌم َﺣرْ فٌ َوﻣِﯾ ٌم َﺣرْ ف
ِ َﻣنْ َﻗ َرأَ َﺣرْ ًﻓﺎ ﻣِنْ ِﻛ َﺗﺎ
"Barangsiapa yang membaca satu huruf di dalam Al-Qurān, maka baginya dari setiap
satu huruf yang dia baca itu satu kebaikan. Dan satu kebaikan dilipatgandakan dengan
sepuluh kebaikan. Aku tidak mengatakan bahwasanya اﻟــــمadalah satu huruf tapi Alif = ا
adalah satu huruf, Lam = لadalah satu huruf dan Mim = مadalah satu huruf.”
[HR Tirmidzi]
Jadi orang yang hanya sekedar dia membaca Alif Lam Mim = اﻟــــم, sudah ditulis tiga
kebaikan dan tiga kebaikan dilipatgandakan sehingga menjadi tiga puluh kebaikan.
Lalu bagaimana dengan orang yang membaca ayat yang lebih panjang daripada itu,
bagaimana dengan orang yang membaca satu halaman, dua halaman, satu juz, berapa
kebaikan yang dia dapatkan. Sehingga disifati Al-Qurān itu dengan Al Karim yaitu
pemurah, karena orang yang membaca Al-Qurān ini akan banyak mendapatkan pahala.
Kemudian disifati dengan Al-Karim karena banyak kebaikan yang didapatkan dengan
mengamalkan isinya. Jadi membaca saja sudah baik, mendapatkan pahala. Orang
yang mengamalkan isinya maka dia akan mendapatkan kebaikan yang banyak.
Karena Al-Qurān Al-Karim ini adalah petunjuk bagi manusia, sehingga apabila dia
mengamalkan isinya maka ini akan membawa dia kepada kehidupan yang baik di
dunia. Dan dia akan mendapatkan keberuntungan yang besar dan keuntungan yang
besar ketika dia bertemu dengan Allāh Azza wa Jalla.
Ini semua didapatkan yaitu dengan cara berpegang teguh dan mengamalkan apa yang
ada di dalam Al-Qurān.
Kalau kita menghukumi di antara manusia dengan Al-Qurān, maka kita akan
mendapatkan keadilan. Yaitu kita akan berbuat adil, apabila kita menghukumi manusia
dengan Al-Qurān ini. Karena di dalamnya adalah hikmah dan juga keadilan, sehingga
kalau seseorang memutuskan di antara manusia berdasarkan Al-Qurān pasti dia adil di
dalam keputusannya.
Dan orang yang berbicara dengan Al-Qurān, maksudnya dia berucap dengan dasar Al-
Qurān, dia ﺻـــدق, orang yang demikian pasti dia jujur. Karena firman Allāh Azza wa Jalla
ini adalah ( ) أﺻدــــق ﻗﯾـﻼadalah firman yang paling benar, yang paling jujur tidak ada
kedustaan di dalamnya.
ﻛﻼم ﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ
Bahwasanya Al Qur'anul Karim ini adalah firman Allāh berdasarkan sebuah ayat di
mana Allāh Subhanahu wa Taala mengatakan di dalam surat At Taubah ayat 6:
Sampai dia mendengar ucapan Allāh, maksudnya apa? Lindungi dia, dijaga darahnya
jangan sampai ditumpahkan darahnya sehingga dia sempat untuk mendengarkan
kalamullāh.
ِ َﺣ ﱠﺗ ٰﻰ َﯾﺳْ َﻣ َﻊ َﻛ ٰ َﻠ َم ﱠ
Nٱ
Apa yang dimaksud Kalamullāh di sini? Tidak lain dan tidak bukan Kalamullāh yang
dimaksud adalah Al-Qurān.
Sampai mereka mendengar Al-Qurān yang dibacakan oleh Nabi atau dibacakan oleh
salah seorang sahabat. Diharapkan dengan dia mendengarkan Al-Qurān tadi atau
sebagian dari Al-Qurān tadi, dia terbuka hatinya dan dia mendapatkan petunjuk dan
masuk ke dalam agama Islam. Inilah yang dimaksud dalam ayat ini.
Sehingga di sini kita tahu bahwasanya Allāh mengabarkan kepada kita bahwasanya Al-
Qurān adalah ucapannya,
ِ َﺣ ﱠﺗ ٰﻰ َﯾﺳْ َﻣ َﻊ َﻛ ٰ َﻠ َم ﱠ
Nٱ
Makanya Aqidah Ahlul Sunnah wal Jama’ah, Al-Qurān adalah Kalamullāh dan di dalam
sebuah Hadits, Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam ketika beliau awal berdakwah,
mendakwahi kaumnya, dan di situ beliau mendapatkan tantangan, gangguan dari
kaumnya dan ditolak, maka beliau menawarkan kepada manusia yang datang ke kota
Makkah untuk melaksanakan haji. Beliau mengatakan,
أﻻ رﺟل ﯾﺣﻣﻠﻧﻲ إﻟﻰ ﻗوﻣﮫ ﻓﺈن ﻗرﯾﺷﺎ ﻗد ﻣﻧﻌوﻧﻲ أن أﺑﻠﻎ ﻛﻼم رﺑﻲ؛ او ﻛﻣﺎ ﻗﺎل رﺳول ﷲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯾﮫ وﺳﻠم
"Adakah di antara kalian seseorang yang mau membawaku kepada kaumnya, karena
sesungguhnya orang-orang Quraisy telah melarangku untuk menyampaikan Kalam
Allāh ()ﻛﻼم رﺑﻲ.”
Di sini juga menguatkan dan menjelaskan kepada kita tentang bahwasanya Al-Qurān
Al-Karim ini adalah Kalamullāh. Dan ini adalah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Demikianlah yang bisa kita sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini, dan
insya Allāh kita bertemu kembali pada pertemuan yang selanjutnya, pada waktu dan
keadaan yang lebih baik.
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
▪🗓 _SELASA_
| 18 Muharram 1444 H
| 16 Agustus 2022 M
🔈 *Audio ke-47*
📖 _Allah Berkata Dengan Sebenar-Benar Perkataan_
~~~•~~~•~~~•~~~•~~~
ّ ﺑﺳم
ﷲ اﻟرﺣﻣن اﻟرﺣﯾم
ّ اﻟﺳﻼم ﻋﻠﯾﻛم ورﺣﻣﺔ
ﷲ وﺑرﻛﺎﺗﮫ
واﻟﺻﻼة واﻟﺳﻼم ﻋﻠﻰ رﺳول ﷲ وﻋﻠﻰ آﻟﮫ وأﺻْ ﺣﺎﺑﮫ وﻣن واﻻهN اﻟﺣﻣد
Anggota grup whatsapp Dirosah Islamiyyah, yang semoga dimuliakan oleh Allāh.
Kita lanjutkan pembahasan kitab Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang ditulis oleh
Fadhilatus Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin Rahimahullāh.
Masih kita pada pasal beriman kepada Allāh, kemudian beliau mengatakan,
ً ﺗﻛﻼم ﺑﮫ ﺣﻘﺎ
"Allāh berbicara (yaitu mengucapkan Al-Qurān) dengan benar atau dengan sebenarnya
(sungguh-sungguh).”
Dan kita membenarkan yang demikian bahwasanya Allāh mengucapkan Al-Qurān Al-
Karim. Ucapan beliau ً ﺣــــﻘـﺎyaitu dengan benar, dengan hakikat, karena ada sebagian
orang yang mereka mungkin mengatakan di hadapan kita, bahwasanya “iya Al-Qurān
itu adalah Kalamullāh”, tapi ditambah, “Kalamullāh tapi ini adalah majas”.
Yang hakikat dimana? yang hakikat adalah apa yang ada di dalam diri Allāh. Adapun Al-
Qurān ini adalah Kalamullāh tapi majas, tapi kalau yang hakikat adalah apa yang ada
dalam diri Allāh. Ada orang yang mengatakan demikian sehingga perlu di sini beliau
mengatakan,
ً ﺗﻛﻼم ﺑﮫ ﺣﻘﺎ
Mungkin di antara kita ada yang mendengar mereka mendatangkan ucapan seorang
syair, dia mengatakan,
ً إنﱠ ْاﻟ َﻛ َﻼ َم َﻟﻔِﻲ ْاﻟﻔُ َؤا ِد َوإِ ﱠﻧ َﻣﺎ ُﺟ ِﻌ َل اﻟﻠﱢ َﺳﺎنُ َﻋ َﻠﻰ ْاﻟﻔُ َؤا ِد دَ ﻟ
ِﯾﻼ
"Sesungguhnya ucapan adalah apa yang ada di dalam jiwa. Dan sesungguhnya
dijadikan lisan ini sebagai sesuatu yang menunjukkan apa yang ada di dalam hati."
√ Kedua, ini adalah ucapan seorang yang Nasrani. Dia mengatakan ini adalah ucapan
Akhthol (ــل َ )أَ ْﺧdan dia adalah seorang Nasrani. Bagaimana seorang mengambil
ِ ــــط
agamanya dari syair yang diucapkan oleh seorang Nasrani.
Maka ini tidak bisa dijadikan dalil, bahwasanya ucapan adalah apa yang ada di dalam
hati. Atau di antara mereka ada yang mendatangkan firman Allāh Azza wa Jalla,
"Dan mereka mengatakan di dalam hati mereka, ‘Mengapa Allāh Subhānahu wa Ta’āla
tidak menyiksa kita karena ucapan kita itu?’.” [QS Al-Mujadilah: 8]
Kemudian mereka berdalil dengan ayat ini bahwasanya yang namanya ucapan itu
adalah apa yang ada di dalam hati.
Tapi pembicaraan kita di sini apabila tidak ada kata (ِــﻰ أَﻧــﻔُﺳِ ِﮭ ْم
ٓ )ﻓtidak ada “diikat dengan di
dalam jiwa”, ـــونُ ُ
َ َو َﯾـــﻘوﻟmisalnya, atau ( )وﻗـــﺎلtidak disebutkan di dalam jiwa, maka orang
arab memahami ini adalah ucapan yang diucapkan oleh lisan.
Tapi kalau ingin memaksudkan ucapan yang dimaksud itu adalah ucapan yang ada di
dalam hati, maka dia harus mengatakan ﻓِﻰ َﻧ ْﻔﺳِ ﮫِۦatau ﻓ ِٓﻰ أَﻧﻔُﺳِ ِﮭم
Dan di dalam sebuah hadits, Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam sendiri membedakan
antara apa yang diucapkan oleh seseorang di dalam hati dan apa diucapkan oleh lisan.
Yang diucapkan oleh lisan itulah yang dimaksud dengan ( )ﻛــــﻼم ﻋِ ــــﻧـ ِد اﻹطــــﻼقketika dia
dimutlakkan, maka ini yang dimaksud kalam adalah yang diucapkan dengan lisan
bukan yang ada di dalam hati.
Beliau mengatakan, "Sesungguhnya Allāh memaafkan untuk umatku apa yang ada di
dalam jiwa seseorang". (HR Al-Bukhari)
ت ِﺑ ِﮫ أَ ْﻧﻔُ َﺳ َﮭﺎ
ْ َﻣﺎ َﺣ ﱠد َﺛ
Mungkin ia ada terbetik di dalam hatinya sesuatu, maka ini Allāh Subhanahu wa Taala
memaafkan yang demikian, maka hal ini tidak bisa kita hindari.
Ada terbetik di dalam hati seseorang untuk melakukan sebuah kemaksiatan misalnya,
belum menjadi keinginan yang kenceng atau kuat, tapi baru terbetik saja. Maka yang
demikian siapa di antara kita yang bisa menghindari, yang demikian dimaafkan oleh
Allāh.
Kalau sudah dikerjakan barulah di sini ditulis dosa. Sesuatu yang terbetik tadi,
kemudian dia aplikasikan, dia praktekkan, dia kerjakan, barulah di sini ditulis.
"Atau dia berbicara dengan apa yang ada di dalam hatinya tadi.”
Berarti di sini Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam membedakan antara, ـــت ِﺑـــ ِﮫ أَ ْﻧـــﻔُ َﺳ َﮭﺎ
ْ َﻣـــﺎ َﺣـــ ﱠد َﺛ
ﱠ َ َ َ َ
dengan أ ْو ﺗــﺗﻛﻠم, apa yang ada di dalam hati seseorang dengan ucapan dia. Maka jelas di
sini harus kita bedakan.
Dan sekali lagi kalam yang dimaksud di dalam bahasa arab, kalau dimutlakkan seperti
itu maka yang dimaksud adalah apa yang diucapkan oleh lisan.
Jaman dahulu pernah terjadi fitnah yang besar tentang masalah Al-Qurān Kalamullāh.
Ada di antara ahlul bid'ah yang mereka mengatakan bahwasanya Al-Qurān ini adalah
makhluk dan ini fitnah besar.
Saat itu pemerintah atau penguasa dipengaruhi oleh ulama-ulama su' yaitu ulama-
ulama yang jelek yang mengajak kepada kesesatan dan mereka adalah ulama-ulama
mu'tazilah yang memaksa manusia dan mereka meminta bantuan kepada penguasa
yang sudah terpengaruh tadi untuk meyakini bahwasanya Al-Qurān adalah makhluk.
Kemudian akhirnya fitnah yang besar sekali dan ada di antara mereka yang dipaksa
untuk mengucapkan Al-Qurān adalah makhluk, dan terpaksa mereka melakukan yang
demikian, yaitu mengatakan bahwa Al-Qurān adalah makhluk bukan karena ridha tapi
karena ancaman yang dahsyat sampai perkaranya kepada أ ُ ْﻛ ِر َهyaitu dipaksa.
“Kecuali orang yang dipaksa dan hatinya tetap tenang dengan keimanan.” [QS An-Nahl:
106]
Maka yang demikian tidak masalah. Dan ada di antara mereka yang menggunakan
Tauriyah ()اﻟــــﺗـورﯾــــﺔ. Tauriyah ini dia mengucapkan sebuah ucapan yang menginginkan
sebuah makna tetapi dipahami oleh orang lain dengan makna yang lain. Jadi seseorang
mengucapkan sebuah ucapan dia memahami sesuatu tapi dipahami oleh orang lain
bahwasanya maksudnya adalah demikian, ini dinamakan tauriyah.
Ada di antara mereka ketika ditanya apakah engkau menyakini bahwasanya Al-Qurān
adalah makhluk? maka dia mengatakan, "Ya saya beriman bahwasanya Taurat, Injil, Al-
Qurān, Zabur semua ini adalah makhluk".
Orang yang mendengar ucapan orang ini seakan-akan dia mempercayai bahwasanya
Al-Qurān adalah makhluk, itu yang dipahami oleh orang yang ada di depannya atau
orang yang bertanya tadi. Tapi dia memaksudkan lain.
Ucapan dia semua ini, dia menunjuk kepada tangan-tangannya atau jari-jarinya. Semua
ini adalah jari-jarinya, semua adalah makhluk. Ini yang dinamakan Tauriyah. Dia tidak
bohong tapi dia dipahami orang sesuatu yang lain, dan dia tidak bohong. Ini yang
dinamakan dengan Tauriyah.
Ada di antara sebagian mereka yang menggunakan cara itu saat itu dan keyakinan
tetap sama yaitu meyakini bahwasanya Al-Qurān adalah Kalamullāh.
Dan di sana ada ulama yang mereka bersabar dan menanggung segala resiko,
dicambuk, dipenjara, disiksa, di antaranya adalah Al Imam Ahmad bin Hambal
Rahimahullāh, beliau saat itu tidak mau mengatakan bahwasanya Al-Qurān adalah
makhluk dan dengan gigihnya beliau bertahan dan bahkan menyampaikan hujjah,
menyampaikan alasan dan menyebutkan bahwasanya Al-Qurān adalah Kalamullāh dan
dia bukan makhluk.
Dan sebagaimana kita tahu beliau mendapatkan ujian yang berat saat itu, dan orang
seperti beliau Rahimahullāh memang kewajibannya menyampaikan seperti itu dan tetap
tidak mengucapkan sesuatu yang menyimpang.
Karena beliau adalah seorang imam yang dilihat oleh manusia dan dicontoh oleh
manusia sehingga apabila beliau tidak bersabar kemudian mengucapkan meskipun
dalam keadaan terpaksa, maka dikhawatirkan manusia akan meniru apa yang beliau
lakukan ini.
Sehingga beliau Rahimahullāh memilih untuk bersabar tetap teguh dalam memegang
prinsip dan juga Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah, bahwasanya Al-Qurān adalah
Kalamullāh dan bukan makhluk.
Demikianlah yang bisa kita sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini dan insya
Allāh kita bertemu kembali pada pertemuan yang selanjutnya, pada waktu dan keadaan
yang lebih baik.
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
▪🗓 _RABU_
| 19 Muharram 1444 H
| 17 Agustus 2022 M
🔈 *Audio ke-48*
📖 _Allāh Menyampaikan Al-Qurān Kepada Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam
Melalui Malaikat Jibril Bagian Pertama_
~~~•~~~•~~~•~~~•~~~
ّ ﺑﺳم
ﷲ اﻟرﺣﻣن اﻟرﺣﯾم
ّ
اﻟﺳﻼم ﻋﻠﯾﻛم ورﺣﻣﺔ ﷲ وﺑرﻛﺎﺗﮫ
واﻟﺻﻼة واﻟﺳﻼم ﻋﻠﻰ رﺳول ﷲ وﻋﻠﻰ آﻟﮫ وأﺻْ ﺣﺎﺑﮫ وﻣن واﻻهN اﻟﺣﻣد
Anggota grup whatsapp Dirasah Islamiyyah, yang semoga dimuliakan oleh Allāh.
Kita lanjutkan pembahasan Kitab Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang ditulis oleh
fadhilatul Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullāh ta'ala.
Masih kita pada pasal beriman kepada Allāh, berkata Syaikh Muhammad bin Shalih Al-
Utsaimin Rahimahullāh ta'ala:
Allāh menyampaikan Al-Qurān ini kepada Jibril, mengucapkan Al-Qurān ini dan
didengar oleh Jibril alayhissalam.
Kemudian malaikat Jibril turun dengan apa yang dia dengar ini kepada hati Nabi
Shallallahu alaihi wa Sallam.
Karena اﻟــــﻘــﻠــبadalah tempat atau wadah dari ilmu (wahyu), maka malaikat Jibril
alayhissalam turun kepada Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam dan menyampaikan Al-
Qurān yang sudah dia dengar kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam.
Katakanlah wahai Muhammad : "Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan Al-Qurān itu dari
Rabb-mu dengan benar." [QS An-Nahl: 102]
Malaikat Jibril dinamakan ruhul al-qudus karena dia adalah makhluk yang suci, karena
Al-Qudus maknanya adalah suci atau bersih, karena dia adalah makhluk yang amanah
yang tidak melakukan kemaksiatan kepada Allāh. Sehingga Allāh Subhānahu wa Ta’āla
mensifati beliau dengan Al-Qadāsah (ruhul qudus = ruh yang suci).
Dia-lah yang menurunkan Al-Qurān dari Rabb-Mu dengan benar, dan ini menunjukkan
bahwasanya Al-Qurān diturunkan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla dan menunjukkan
bahwa Allāh Subhānahu wa Ta’āla yang berada di atas, kemudian malaikat Jibril
alayhissalam yang membawa ke bawah dan disampaikan kepada Nabi Shallallahu
alaihi wa Sallam.
Ini disebutkan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla di dalam Surat An-Nahl ayat 102.
Kemudian setelahnya beliau membawakan firman Allāh Subhānahu wa Ta’āla yang ada
di dalam surat Asy-Syu'ara ayat 192 sampai 195.
۞ ﯾن
ٖ ﺎن َﻋ َر ِﺑﻲّٖ ﻣ ِﱡﺑ
ٍ ﯾن ۞ ِﺑﻠ َِﺳ َ ِﯾن ۞ َﻧ َز َل ِﺑ ِﮫ ٱﻟرﱡ و ُح ۡٱﻷَﻣِﯾنُ ۞ َﻋ َﻠ ٰﻰ َﻗ ۡﻠ ِﺑ َك ﻟِ َﺗ ُﻛ
َ ون ﻣ َِن ۡٱﻟﻣُﻧذ ِِر َ ﻧزﯾ ُل َربﱢ ۡٱﻟ ٰ َﻌ َﻠﻣ
ِ َوإِ ﱠﻧﮫُۥ َﻟ َﺗ
"Dan sesungguhnya, (Al-Qurān ini benar-benar diturunkan oleh Rabb seluruh alam,
yang dibawa turun oleh ar-Ruh al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar
engkau termasuk orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas.”
[QS Asy-Syu'ara': 192-195]
Al-Qurān diturunkan oleh Allāh Rabbil'alamin, ini adalah keyakinan Ahlus Sunnah
bahwasanya Al-Qurān munajal min indillah (diturunkan dari sisi Allāh Subhānahu wa
Ta’āla).
Sekali lagi, ini menunjukkan bahwasanya Allāh berada di atas karena diturunkan Al-
Qurān berarti Al-Qurān berasal dari atas (Allāh Subhānahu wa Ta’āla).
Kalau di dalam ayat sebelumnya tadi Allāh mensifati Jibril dengan Al-Qudus karena
kebersihannya, adapun di dalam ayat ini maka Jibril disifati dengan amanah (Al-Amin)
yaitu ruh yang sangat menjaga amanah.
Apa yang disampaikan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla kepada beliau berupa wahyu,
disampaikan apa adanya tidak ditambah dan dikurang kepada Nabi Shallallahu alaihi
wa Sallam.
Maka beliau alayhissalam disifati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla dengan Al-Amin
karena dia adalah makhluk yang sangat-sangat dipercaya tidak mengkhianati apa yang
datang dari Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
َﻋ َﻠ ٰﻰ َﻗ ۡﻠ ِﺑ َك
Karena sekali lagi, hati ini sebagai wadah dari ilmu, wadah dari wahyu Allāh Subhānahu
wa Ta’āla. Sehingga malaikat Jibril alayhissalam menyampaikan wahyu yang telah
beliau dengar kepada Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam yaitu kepada hatinya.
Mundirin di sini masih sebagai nabi, diturunkan wahyu kepada beliau supaya beliau
menjadi seorang nabi.
Al-Mundirin artinya adalah orang yang mengingatkan.
Maksudnya adalah para nabi dan rasul alayhimssalam karena mereka diutus oleh Allāh
Subhānahu wa Ta’āla sebagai mubasysyirina wa mundirin sebagaimana firman Allāh.
"Para rasul yang mereka diutus oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla dalam rangka
memberikan kabar gembira dan memberikan peringatan kepada mereka.”
beriman kepada Allāh, beriman dengan hari akhir. Maka mereka akan mendapatkan
kegembiraan dan kebahagiaan.
Dan sebaliknya orang yang menentang rasul dan tidak beriman dengan apa yang dia
bawa maka orang yang demikian diperingatkan dari adzab yang pedih dan agung.
Firman Allāh,
Menunjukkan bahwasanya wahyu adalah kekhususan para nabi dan rasul. Apabila dia
diwahyukan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla, maka jadilah dia seorang nabi, kalau dia
tidak diwahyukan oleh Allāh maka dia bukan seorang nabi.
Demikianlah yang bisa kita sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini dan In
sya Allāh kita bertemu kembali pada pertemuan selanjutnya. Pada waktu dan keadaan
yang lebih baik.
•┈┈┈••••○○○••••┈┈┈•
▪🗓 _KAMIS_
| 20 Muharram 1444 H
| 18 Agustus 2022 M
🔈 *Audio ke-49*
📖 _Allah Menyampaikan Al-Qurān Kepada Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam
Melalui Malaikat Jibril Bagian Kedua_
~~~•~~~•~~~•~~~•~~~
ّ ﺑﺳم
ﷲ اﻟرﺣﻣن اﻟرﺣﯾم
ّ
اﻟﺳﻼم ﻋﻠﯾﻛم ورﺣﻣﺔ ﷲ وﺑرﻛﺎﺗﮫ
واﻟﺻﻼة واﻟﺳﻼم ﻋﻠﻰ رﺳول ﷲ وﻋﻠﻰ آﻟﮫ وأﺻﺣﺎﺑﮫ وﻣن واﻻهN اﻟﺣﻣد
Anggota grup whatsapp Dirasah Islamiyyah, yang semoga dimuliakan oleh Allāh.
Kita lanjutkan pembahasan Kitab Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang ditulis oleh
fadhilatul Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullāh ta'ala.
Beliau membawakan firman Allāh yang ada di dalam surat Asy-Syu'ara ayat 195:
ّٖﺎن َﻋ َر ِﺑﻲ
ٍ ِﺑﻠ َِﺳ
Maksudnya dengan bahasa Arab. Sehingga disana ada kitab ﻟﺳﺎن اﻟﻌربbahasa Arab.
ﺎن َﻗ ْو ِﻣﮫِۦ
ِ ِﺑﻠ َِﺳ
Dan Allāh Subhānahu wa Ta’āla sebagaimana telah berlalu berbicara sesuai dengan
kehendak-Nya, terkadang Allāh berbicara dengan bahasa Arab, terkadang dengan
bahasa Suryaniyyah, dan terkadang dengan bahasa Ibriyyah.
Dan Allāh Subhānahu wa Ta’āla telah menurunkan Al-Qurān dengan bahasa Arab. Kata
ٖ ﻣ ِﱡﺑartinya jelas, adalah fasih sesuai dengan apa yang dipahami oleh orang-orang Arab.
ﯾن
Allāh Subhānahu wa Ta’āla telah memudahkan Al-Qurān ini sehingga bisa dipahami
oleh manusia.
"Dan sungguh, telah Kami mudahkan Al-Qurān untuk diingat dengannya, apakah ada di
antara mereka yang menyadari yang demikian?" [QS Al-Qamar: 22]
Jadi Al-Qurān diturunkan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla dengan bahasa Arab yang
jelas, bukan dengan bahasa Arab yang tidak dipahami oleh orang.
Kenapa diturunkan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla dengan bahasa yang jelas, bahasa
yang mudah dipahami oleh manusia?
Karena maksud dari Al-Qurān ini adalah untuk petunjuk bagi manusia ()ھــــدى ﻟــــﻠـﻣـﺗـﻘـﯾـن
diturunkan Al-Qurān sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa. Orang yang
mengambil petunjuk yang ada di dalam Al-Qurān maka dia akan menjadi orang yang
bertakwa.
ۡ ۡ ٰ ۡ ُ ٓ ﺎن ٱﻟﱠذ
ﺎن ِ ﻧز َل ﻓِﯾ ِﮫ ٱﻟﻘُ ۡر َءانُ ھ ُٗدى ﻟﱢﻠ ﱠﻧ
ِ ۚ ﺎس َو َﺑ ﱢﯾ َﻧتٖ ﻣ َﱢن ٱﻟﮭُدَ ٰى َوٱﻟﻔُ ۡر َﻗ ِ ِي أ َ ﺿَ َﺷ ۡﮭ ُر َر َﻣ
Ini menunjukkan bahwa Al-Qurān adalah sesuatu yang jelas dan bisa dipahami dan ini
adalah bantahan terhadap sebagian kelompok yang mereka mengatakan bahwasanya
kita tidak bisa memahami Al-Qurān, bahwasanya yang bisa memahami Al-Qurān adalah
mujtahid mutlak.
Dan mujtahid mutlak adalah orang yang sudah hafal Al-Qurān atau sudah menpelajari
berapa puluh kitab tafsir, yang sudah menghafal ratusan ribu hadits (misalnya).
Mengapa dia mengucapkan ucapan ini? Maksudnya agar menjauhkan manusia dari Al-
Qurān dan juga Sunnah Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam .
Padahal Allāh Subhānahu wa Ta’āla telah menjelaskan dalam ayat ini ﯾن
ٖ ﱡـــﺑ
ِ ـــر ِﺑـــﻲّٖ ﻣ
َ ﺎن َﻋ
ٍ ِﺑـــﻠ َِﺳ
(dengan bahasa Arab yang jelas), dan orang yang belajar bahasa Arab in sya Allāh dia
akan mudah memahami Al-Qurān. Jadi bukan kekhususan orang yang sampai kepada
tingkat mujtahid mutlak seperti yang mereka inginkan.
Dan ini juga bantahan kepada Al-Mufawwidhah yang mereka menyerahkan makna yang
ada di dalam Al-Qurān ini kepada Allāh saja, sehingga mereka tidak mau memaknai
apa yang datang kepada mereka, misalnya mereka mengatakan tentang istiwa' Allāh.
Mengatakan bahwa yang dimaksud dengan istiwa' hanya Allāh saja yang tahu, adapun
kita maka kita tidak mengetahui apa makna istiwa'. Ini adalah ucapan mufawidhah dan
yang demikian adalah kekeliruan karena yang benar bahwasanya apa yang ada di
dalam Al-Qurān ini maknanya dipahami di dalam bahasa Arab.
Kita memahami makna istawa, kita memahami makna Ar-Rahman, Ar-Rahim, Al-Malik,
Al-Qudus dan kita memahami sifat-sifat Allāh yang lain. Diketahui maknanya di dalam
bahasa Arab.
Jadi ucapan mereka bahwasanya tidak mengetahui yang demikian kecuali Allāh, maka
ini adalah ucapan yang tidak sesuai dengan Al-Qurān.
Yang tidak kita ketahui adalah tentang hakikat dari nama dan juga sifat tadi. Itu benar.
Itu sesuatu yang tidak kita ketahui, karena Allāh Subhānahu wa Ta’āla tidak
mengabarkan kepada kita tentang hakikatnya.
Tetapi makna dan sifat tadi dalam bahasa Arab adalah sesuatu yang kita pahami, dan
In sya Allāh akan kita bahas nanti ketika kita membahas tentang masalah istiwa’. Kita
akan menukil ucapan dari Al-Imam Malik di dalam masalah ini.
Termasuk di antara aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah di dalam masalah Al-Qurān
adalah Kalamullāh.
Mereka menyebutkan bahwasanya Al-Qurān ini adalah ‘ ﻣــــﻧـﮫ ﺑــــداdari Allāh mulainya’,
maksudnya adalah yang pertama kali mengucapkannya adalah Allāh Subhānahu wa
Ta’āla.
Sehingga kalau kita membaca Kitab-Kitab aqidah yang sudah lama ditulis oleh para
ulama mereka menyebutkan kalimat ini, yaitu “ ﻣـﻧﮫ َﺑـدَ اDari Allāh pertama kali munculnya”,
maksudnya Allāh yang pertama kali mengucapkan.
Dan ini adalah keyakinan Ahlus Sunnah yang membantah orang yang mengatakan
bahwasanya yang mengucapkan Al-Qurān pertama kali adalah Jibril atau yang
mengucapkan pertama kali adalah Muhammad Shallallahu alaihi wa Sallam atau
mengatakan bahwasanya Allāh menciptakan Al-Qurān di hawa. Ini adalah ucapan
orang yang mengatakan bahwa Al-Qurān adalah makhluk.
Kemudian “ وإﻟــــﯾﮫ ﯾــــﻌودAl-Qurān ini akan kembali kepada Allāh”, jadi mulainya dari Allāh
dan kelak akan kembali kepada Allāh.
Para ulama ketika menjelaskan tentang وإﻟــــﯾــﮫ ﯾــــﻌــود- ada di antara mereka yang
menjelaskan, bahwa maksudnya nanti di akhir jaman Allāh Subhānahu wa Ta’āla akan
menarik kembali Al-Qurān.
Ketika manusia sudah sudah benar-benar rusak, dan mereka sudah tidak perhatian
dengan Al-Qurān dan kedudukan Al-Qurān menjadi sangat dilalaikan dan diremehkan
manusia, maka Allāh berkenan untuk mengambil kembali Al-Qurān. Sehingga tidak
akan tersisa di dalam hati-hati manusia di dalam dada-dada manusia satu huruf pun
dari Al-Qurān dan tidak akan tersisa satu huruf pun dalam mushaf dari Al-Qurān ini.
Sebagaimana disebutkan di dalam hadits dan ini adalah tafsiran dan juga penjelasan
dari ucapan para ulama وإﻟــــﯾـﮫ ﯾــــﻌـود- bahwasanya Al-Qurān akan kembali kepada Allāh
Azza wa Jalla.
Demikianlah yang bisa kita sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini dan In
sya Allāh kita bertemu kembali pada pertemuan selanjutnya. Pada waktu dan keadaan
yang lebih baik.
•┈┈┈••••○○○••••┈┈┈•
▪🗓 _JUM’AT_
| 21 Muharram 1444 H
| 19 Agustus 2022 M
🔈 *Audio ke-50*
📖 _Allah Ta'ala Maha Tinggi Atas Makhluk-Nya Dengan Dzat dan Sifat-SifatNya
Bagian Pertama_
~~~•~~~•~~~•~~~•~~~
ّ ﺑﺳم
ﷲ اﻟرﺣﻣن اﻟرﺣﯾم
ّ اﻟﺳﻼم ﻋﻠﯾﻛم ورﺣﻣﺔ
ﷲ وﺑرﻛﺎﺗﮫ
واﻟﺻﻼة واﻟﺳﻼم ﻋﻠﻰ رﺳول ﷲ وﻋﻠﻰ آﻟﮫ و أﺻﺣﺎﺑﮫ وﻣن واﻻهN اﻟﺣﻣد
Anggota grup whatsapp Dirasah Islamiyyah, yang semoga dimuliakan oleh Allāh.
Kita lanjutkan pembahasan Kitab Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang ditulis oleh
fadhilatul Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullāh Ta'ala.
Beliau mengatakan,
Dan kami (Ahlus Sunnah wal Jama'ah) meyakini, mempercayai bahwasanya Allāh Azza
wa Jalla, adalah ﻋﻠﻰﱞyang Maha Tinggi atas makhluk-makhluk-Nya.
ﺑذاﺗﮫ و ﺻﻔﺎﺗﮫ
Artinya,
1. Ahlus Sunnah wal Jama'ah meyakini ketinggian Allāh dilihat dari sisi dzat-Nya, yaitu
Allāh Subhānahu wa Ta’āla Maha Tinggi dzat-Nya, kemudian
Dua perkara ini, Ahlus Sunnah wal Jama'ah meyakini yang demikian.
Atau kalau lebih ringkas lagi, kedudukan Al-Qadr dan juga kekuasaan Al-Qahr, masuk di
dalam sifat. Sehingga di sana ada ‘Uluwu Dzat, di sana ada 'Uluwu Sifat. Sehingga di
sini, beliau mengatakan,
ﺑذاﺗﮫ وﺻﻔﺎﺗﮫ
Sifat, masuk di dalamnya adalah ‘Uluwu Al-Qadr dan juga Al-Qahr, kedudukan dan juga
kekuasaan Allāh.
Ahlus Sunnah, meyakini ketinggian Allāh dzat-Nya maupun sifat-Nya. Adapun Ahlul
Bid'ah atau sebagian Ahlul Bid'ah, maka mereka meyakini tentang ketinggian sifat Allāh,
baik Qadr-Nya maupun Qahr-Nya, baik kedudukan Allāh maupun kekuasaan-Nya.
Antara kita dengan mereka sama, meyakini bahwasanya Allāh Subhānahu wa Ta’āla
Dialah yang Maha Tinggi sifat-Nya. Karena Allāh Subhānahu wa Ta’āla mengatakan,
"Dan Dialah Allāh Subhānahu wa Ta’āla yang memiliki اﻟــــﻣـﺛـل اﻷ ﻋــــﻠـﻰsifat yang paling
tinggi." [QS An-Nahl: 60]
Maka Ahlus Sunnah dan Ahlul Bid'ah sepakat bahwasanya Allāh Subhānahu wa Ta’āla
sifat-Nya adalah yang paling tinggi. Sifat di sini masuk Al-Qadr dengan Al-Qahr. Sifat-
sifat Allāh Subhānahu wa Ta’āla, Dialah sifat-sifat yang paling tinggi. Ini tidak ada
perbedaan antara kita dengan Ahlul Bid'ah.
Adapun ﻋـﻠو اﻟـذات- ketinggian dzat, maka di sana ada perbedaan antara kita dengan Ahlul
Bid'ah. Ahlus Sunnah wal Jama'ah mereka menetapkan bahwasanya Allāh Subhānahu
wa Ta’āla Dialah yang Maha Tinggi Dzat-Nya.
Adapun sebagian Ahlul Bid'ah mereka ada yang mengatakan, Allāh Subhānahu wa
Ta’āla tidak disifati dengan Maha Tinggi Dzat-Nya. Tapi Allāh Subhānahu wa Ta’āla,
ﻓﻲ ﻛل ﻣﻛن
Ini pendapat sebagian. Ada yang mengatakan lagi mereka mengingkari sifat tinggi bagi
dzat Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Dan mengatakan bawasanya Allāh tidak di atas, Allāh
tidak di bawah, Allāh tidak di dalam alam, Allāh tidak di luar alam.
Menafikan seluruh sifat, dan dua-duanya dikumpulkan oleh kalimat yaitu “menafikan
sifat tinggi” bagi dzat Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Dua-duanya sama-sama mengingkari
ketinggian dzat Allāh.
Satunya mengatakan Allāh berada di mana-mana dan satunya menafikan seluruh sifat
bagi Allāh. Tidak disifati dengan sifat tinggi dan tidak disifati dengan sifat bawah dan
seterusnya.
ﺑذاﺗﮫ و ﺻﻔﺎﺗﮫ
Ahlus Sunnah wal Jama'ah mereka meyakini tentang ketinggian Allāh Subhānahu wa
Ta’āla baik dengan dzat-Nya maupun sifat-Nya. Dua duanya, bukan hanya dengan
ketinggian di dalam sifat saja tapi dalam dzat-Nya juga.
"Dan Dia lah Allāh Subhānahu wa Ta’āla yang Maha Tinggi lagi Maha Besar." [QS Asy-
Syura: 4]
Ucapan Allāh,
Mencakup;
1. Ketinggian dzat Allāh ()ﻋﻠو اﻟذات
2. Ketinggian sifat Allāh Azza wa Jalla yang mencakup ketinggian kedudukan Allāh dan
juga ketinggian kekuasaan Allāh Azza wa Jalla.
Dan dalil-dalil tentang ketinggian Allāh Subhānahu wa Ta’āla selain ayat yang
disebutkan oleh Syaikh di sini. Dan di sana ada dalil-dalil yang lain.
Dan dalil-dalil tentang ketinggian Allāh Subhānahu wa Ta’āla di dalam Al-Qurān dan
juga di dalam As-Sunnah ini banyak sekali, sehingga wajib bagi seorang muslim untuk
meyakini bahwasanya Allāh Subhānahu wa Ta’āla berada di atas.
"Hendaklah engkau mensucikan nama Rabb mu yang Maha Tinggi." [QS Al A’la: 1]
Di antara nama Allāh adalah ()اﻟــﻌﻠﻰ, dan di antara nama Allāh adalah ( )اﻷﻋــﻠﻰYang Maha
Tinggi, hal ini segi pendalilanya sama dengan firman Allāh
Yaitu bahwasanya 'uluw di sini adalah sifat yang mutlak. Sehingga mencakup di
dalamnya ketiga jenis 'uluwu tadi.
Kemudian dalam ayat yang lain Allāh Subhānahu wa Ta’āla mengabarkan bahwasanya
Allāh di atas para hambaNya. Allāh mengatakan,
"Dan Dia lah Allāh Subhānahu wa Ta’āla yang اَ ْﻟــــ َﻘــﺎھِــــ ُرyang menguasai, yang
mengalahkan,
َ َإِ ﱠﻧﺂ أ
ﻧز ْﻟ َﻧ ٰـ ُﮫ ﻓِﻰ َﻟ ْﯾ َﻠ ِﺔ ْٱﻟ َﻘ ْد ِر
"Sesungguhnya kami telah menurunkan Al-Qurān pada malam Lailatul Qadr." [QS Al-
Qadr: 1]
"Bahwasanya Al-Qurān itu diturunkan oleh Allāh Rabbul Alamin." [QS Asy-Syu'ara: 192]
Turun dari siapa? turun dari Allāh. Menunjukkan bahwa Allāh Subhānahu wa Ta’āla
berada di atas. Dan Allāh Subhānahu wa Ta’āla mengabarkan beberapa perkara naik
kepada-Nya. Allāh mengatakan,
"Kepada Allāh akan naik ucapan yang baik, dan amal shalih akan menaikannya" [QS Al
Fathir: 10]
إِ َﻟ ْﯾ ِﮫ
"Bahwasanya malaikat dan juga malaikat Jibril mereka naik ke atas" [QS Al Ma'arij: 4]
اﻟﻌروج و اﻟﺻﻌود
Ini artinya adalah naik ke atas. Menunjukkan bahwasanya Allāh Subhānahu wa Ta’āla
berada di atas.
Demikian pula di dalam ayat yang lain, ketika Allāh mengabarkan tentang Nabi Isa
alaihis Salam. Allāh mengatakan,
"Aku akan menidurkanmu dan akan mengangkatmu kepada-Ku." [QS Ali Imran: 55]
Dalil dari Al-Qurān yang menunjukan bahwasanya Allāh Subhānahu wa Ta’āla memiliki
sifat ﻋـﻠو اﻟـذاتbanyak sekali. Tidak boleh kita mengingkari sifat ﻋـﻠوbagi Allāh Subhānahu
wa Ta’āla yaitu sifat ﻋﻠو اﻟذات.
Kewajiban seorang muslim adalah menetapkan apa yang ditetapkan oleh Allāh
Subhānahu wa Ta’āla.
Demikianlah yang bisa kita sampaikan pada kesempatan kali ini, dan In sya Allāh kita
lanjutkan pada sesi berikutnya,
•┈┈┈••✵🍃 ✵••┈┈┈•
▪🗓 _SENIN_
| 24 Muharram 1444 H
| 22 Agustus 2022 M
🔈 *Audio ke-51*
📖 _Allah Ta'ala Maha Tinggi Atas Makhluk-Nya Dengan Dzat dan Sifat-SifatNya
Bagian Kedua_
~~~•~~~•~~~•~~~•~~~
ّ ﺑﺳم
ﷲ اﻟرﺣﻣن اﻟرﺣﯾم
ّ اﻟﺳﻼم ﻋﻠﯾﻛم ورﺣﻣﺔ
ﷲ وﺑرﻛﺎﺗﮫ
واﻟﺻﻼة واﻟﺳﻼم ﻋﻠﻰ رﺳول ﷲ وﻋﻠﻰ آﻟﮫ و أﺻﺣﺎﺑﮫ وﻣن واﻻهN اﻟﺣﻣد
Anggota grup whatsapp Dirasah Islamiyyah, yang semoga dimuliakan oleh Allāh.
Kita lanjutkan pembahasan Kitab Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang ditulis oleh
fadhilatul Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullāh Ta'ala.
Di sana ada beberapa dalil dari Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam yang menjelaskan
bahwasanya Allāh Subhānahu wa Ta’āla memiliki sifat, yaitu Allāh Maha Tinggi dzat-
Nya.
Ini diucapkan oleh Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam. Karena seseorang ketika sujud
maka dia meletakkan sesuatu yang paling tinggi pada dirinya, yaitu kepalanya.
Diletakkan di tempat yang sejajar dengan kakinya. Dan saat itulah dia mengucapkan,
Dan dia menyadari bahwa dia adalah makhluk yang rendah, sedangkan Allāh
Subhānahu wa Ta’āla Dia lah yang Maha Tinggi. Dan ini adalah ketinggian yang mutlak.
2. Kemudian juga dari perilaku Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam, sunnah fi'liyyah.
Ketika haji Wada' Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam mengatakan kepada manusia,
Yaitu aku telah menyampaikan syariat Allāh kepada kalian. Mereka mengatakan, ﻧــــﻌـم, ”
iya"
Dan para sahabat mengatakan ﻧــــﻌـمyaitu benar, bahwasanya Rasulullah engkau telah
menyampaikan seluruh amanat, seluruh wahyu yang telah diturunkan kepadamu. Maka
beliau Shallallahu alaihi wa Sallam ketika mendengar ucapan para sahabat,
mengatakan,
3. Dan di sana ada sunnah taqririyyah: sunnah yang merupakan taqrir, persetujuan
Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam.
Setelah itu beliau menyesal dan ingin membebaskan budak wanita ini. Datanglah
Muawiyyah ini kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam dan mengabarkan apa
yang terjadi.
Maka, Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam ingin mengetes apakah budak wanita ini
berhak untuk dibebaskan atau tidak. Apakah dia adalah wanita yang beriman atau
bukan. Bagaimana cara mengetesnya? Beliau bertanya dengan dua pertanyaan, yang
dengannya beliau tahu, bahwasanya ini wanita yang beriman atau tidak.
Dia mengatakan, ﻓِــــﻲ اﻟــــﺳﱠـ َﻣـﺎء, "Allāh Subhānahu wa Ta’āla berada di atas”. ﻓــــﻲdi dalam
bahasa arab kadang maknanya ()ﻋــــﻠـﻰ. Jadi ﻓِــــﻲ اﻟــــﺳﱠـ َﻣـﺎءartinya adalah di atas langit,
sebagaimana firman Allāh Subhānahu wa Ta’āla,
Kata ﻓِــــﻰ ْٱﻷَرْ ض, “di atas bumi”, maksudnya bukan di dasar bumi. Ketika wanita
mengatakan ﻓِﻲ اﻟ ﱠﺳ َﻣﺎء.
Maksudnya adalah Allāh berada di atas atau Allāh berada di atas langit. Karena اﻟــــﺳـﻣـﺎء
bisa memiliki dua arti, yaitu اﻟــﺳﻣﺎءyang berarti atas atau makna اﻟــﺳﻣﺎءdi sini adalah langit
yang berupa makhluk.
Kalau maksudnya اﻟﺳﻣﺎءadalah atas (yaitu sifat atas), maka bisa diartikan ‘di atas’.
Tapi kalau maksud اﻟــــﺳـﻣـﺎءdi sini adalah langit, yang merupakan makhluk bagi Allāh
Subhānahu wa Ta’āla maka bisa diartikan ‘di atas langit’. Dan dua-duanya benar.
Yang salah yang mengartikan ﻓــــﻲdi sini ‘di dalam’, kemudian mengatakan bahwasanya
‘Allāh di dalam langit’. Yang benar yaitu mengatakan ‘di atas atau di atas langit’, dua-
duanya boleh.
Para pendengar yang dimuliakan oleh Allāh Azza wa Jalla. Dari sini kita tahu
bahwasanya orang yang beriman, keyakinan mereka bahwasanya Allāh Subhānahu wa
Ta’āla berada di atas. Ini adalah keyakinan seorang mukmin dan mukminah.
Buktinya Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam beliau meng-iqror, beliau menyetujui, beliau
tidak membantah atau mengingkari ucapan wanita tersebut, “Mengapa engkau
meyakini bahwasanya Allāh berada di atas?”, bahkan beliau menyetujuinya dan
mengatakan kepada Muawiyyah,
“Bebaskanlah budak wanita ini, karena sesungguhnya dia adalah wanita yang beriman.”
Subhanallah. Beliau Shallallahu alaihi wa Sallam menamakan wanita ini dengan wanita
yang, ﻣــــوﻣــــﻧـﺔ, ”Wanita yang beriman” karena sebab dia meyakini bahwasanya Allāh
Subhānahu wa Ta’āla berada di atas. Dan bahwasanya beliau Shallallahu alaihi wa
Sallam adalah Rasulullah.
Berarti di sini telah tetap dalil dari sunnah Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam baik berupa
ucapan beliau, maupun perilaku beliau, maupun dari taqrir dan juga persetujuan beliau
Shallallahu alaihi wa Sallam.
Demikianlah yang bisa kita sampaikan pada kesempatan kali ini, dan In sya Allāh kita
lanjutkan pada sesi berikutnya,
•┈┈┈••✵🍃 ✵••┈┈┈•
▪🗓 _SELASA_
| 25 Muharram 1444 H
| 23 Agustus 2022 M
🔈 *Audio ke-52*
📖 _Allah Ta'ala Maha Tinggi Atas Makhluk-Nya Dengan Dzat dan Sifat-SifatNya
Bagian Ketiga_
~•~•~•~•~•~•~•~•~
ّ ﺑﺳم
ﷲ اﻟرﺣﻣن اﻟرﺣﯾم
ّ
اﻟﺳﻼم ﻋﻠﯾﻛم ورﺣﻣﺔ ﷲ وﺑرﻛﺎﺗﮫ
وﻣن واﻻه، واﻟﺻﻼة واﻟﺳﻼم ﻋﻠﻰ رﺳول ﷲ وﻋﻠﻰ آﻟﮫ و اﺻﺣﺎﺑﮫN اﻟﺣﻣد
Anggota grup whatsapp Dirasah Islamiyyah, yang semoga dimuliakan oleh Allāh.
Kita lanjutkan pembahasan Kitab Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang ditulis oleh
fadhilatul Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullāh ta'ala.
Di sana ada Ijma’, maka para sahabat juga para tabi'in dan juga para a'immah (para
imam-imam) yang empat dan juga yang lain, semuanya meyakini bahwasanya Allāh
Subhānahu wa Ta’āla berada di atas.
Tidak ada di antara mereka yang mengatakan bahwasanya Allāh berada dimana-mana
atau mengingkari sifat ‘Uluwu bagi Allāh. Bahwasanya Allāh tidak di atas dan tidak di
bawah (misalnya), Allāh tidak di dalam, tidak di luar. Maka tidak ada di antara Salaf
yang mengatakan demikian, semua mengatakan bahwasanya Allāh Subhānahu wa
Ta’āla berada di atas.
Kemudian juga dalil fitrah (fitrah manusia) yaitu meyakini bahwasanya Allāh Subhānahu
wa Ta’āla berada di atas. Allāh Subhānahu wa Ta’āla sudah memfitrahkan hati kita
bahkan makhluk yang lain, hewan sekali pun. Bahwa Allāh Subhānahu wa Ta’āla
berada di atas. Tidak bisa kita ingkari.
Orang yang berdoa kepada Allāh (meminta kepada Allāh) maka di dalam hatinya dia
merasakan bahwasanya Allāh Subhānahu wa Ta’āla Dia-lah yang berada di atas. Tidak
bisa ditolak dan diingkari yang demikian.
"Fitrah Allāh, Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu.” [QS Ar-Rum: 30]
Tidak ada yang bisa merubah. Sehingga di sana ada kisah bahwasanya seorang tokoh
Ahlul kalam yaitu Abu Al-Ma'ali Al-Juwaini. Ada kisah antara dia dengan salah seorang
muridnya yaitu Abu Ja'far Al-Hamadani. Ketika itu Abu Ja'far Al-Hamadani bertanya
kepada gurunya.
Dia mengatakan kepada gurunya yang dia mengingkari sifat istiwa' bagi Allāh, dia
mengatakan:
"Tidak ada seorang yang beribadah kepada Allāh dan dia mengatakan, 'Ya Allāh,
kecuali dia menemukan di dalam hatinya perasaan untuk mencari yang di atas (mencari
ketinggian).”
Artinya dia meyakini bahwasanya Allāh berada di atas dengan fitrahnya, orang yang
ahli ibadah demikian. Orang yang beribadah kepada Allāh merasakan bahwa Allāh
Subhānahu wa Ta’āla berada di atas.
ﺣﯾرﻧﻲ اﻟﮭﻣداﻧﻲ
Sampai dua kali beliau menyebutkan kalimat ini. Maknanya bagaimana? Maksudnya
beliau tidak bisa menjawab. Secara akalnya yang rusak dia mengatakan bahwasanya
Allāh berada di mana-mana atau mengingkari sifat tinggi bagi Allāh. Tapi fitrah dia tidak
bisa mengingkari yang demikian.
ﺣﯾرﻧﻲ اﻟﮭﻣداﻧﻲ
"Al-Hamadani telah menjadikan aku binggung", yaitu “aku tidak memiliki jawaban.”
Ini menunjukkan dalil dari fitrah. Para ulama juga menyebutkan dalil dari akal,
menunjukkan bahwa Allāh Subhānahu wa Ta’āla memiliki sifat ‘Uluwu.
Bagaimana caranya? Bahwasanya sifat ‘Uluwu ini adalah sifat kesempurnaan. Dimana-
mana yang namanya sifat tinggi adalah sifat kesempurnaan. Adapun rendah maka ini
adalah sifat kekurangan.
Dan Allāh Subhānahu wa Ta’āla secara kaidah, Allāh memiliki sifat-sifat kesempurnaan.
Sehingga apa yang menghalangi Allāh Subhānahu wa Ta’āla memiliki sifat Al-‘Uluw ini?
Dan Al-‘Uluw ini (ketinggian) di sini mencakup ketinggian di dalam dzat dan juga di
dalam sifat.
Dan ini (mohon maaf) mungkin banyak di antara kita yang dahulunya masih meyakini
yang demikian, bahwasanya Allāh di mana-mana. Sebabnya adalah karena kejahilan
kita dan juga kita sebenarnya ingin mengagungkan Allāh dan ingin mengatakan kepada
orang lain bahwasanya Allāh mengetahui segala sesuatu dimanapun kita berada.
• Yang Pertama | Ucapan seperti ini jelas bertentangan dengan dalil-dalil yang sudah
disebutkan bahwasanya Allāh Subhānahu wa Ta’āla adalah Maha Tinggi.
• Yang Kedua | Bahwasanya kalau dikatakan Allāh berada di mana-mana, maka ini
adalah penghinaan bagi Allāh. Karena tidak semua tempat adalah baik. Di sana ada
tempat-tempat yang kita paham itu adalah tempat yang buruk (jelek), WC (misalnya)
atau tempat bermaksiat (misalnya).
Bagaimana seseorang mengatakan bahwa Allāh ada di WC atau Allāh berada di tempat
bermaksiat. Tidak ada di antara kita yang mengatakan demikian.
Maka ucapan ( ﷲ ﻓـﻲ ﻛـل ﻣـﻛنAllāh di mana-mana) ini adalah ucapan yang tidak benar dan
yang benar bahwasanya Allāh Subhānahu wa Ta’āla Maha Tinggi dan nanti akan
disebutkan di sana ada ketinggian yang khusus yang harus kita yakini bahwasanya
Allāh berada di atas Arsy.
Kemudian juga ucapan orang yang mengatakan, di mana dia ingin mengingkari sifat
tinggi bagi Allāh kemudian mengatakan, "Allāh tidak di atas dan Allāh tidak di bawah"
atau mengatakan, "Allāh tidak di dalam dan Allāh tidak di luar" atau "Allāh tidak
muthashil dan tidak munfashil” yaitu Allāh tidak sambung dengan makhluk dan tidak
pisah dengan makhluk" menafikan seluruhnya atau menafikan dua perkara yang
bertolak belakang. Maka ini juga tidak ada dalilnya (menyelisihi dalil).
Kemudian yang kedua mensifati sesuatu dengan cara seperti ini sama saja mensifati
sesuatu yang tidak ada. Seandainya kita disuruh untuk memberikan definisi sesuatu
yang tidak ada ya seperti ini caranya.
Tidak di atas, tidak di bawah, tidak kecil dan tidak besar, tidak ini dan tidak itu. Itu berarti
sesuatu yang tidak ada. Artinya orang yang mensifati demikian berarti dia, kalau bisa
kita urutkan, pada hakikatnya dia mengingkari keberadaan Allāh dan ini adalah perkara
yang berbahaya tentunya.
Demikianlah yang bisa kita sampaikan pada kesempatan yang kali ini dan In sya Allāh
kita lanjutkan pada sesi berikutnya.
•┈┈┈••✵🍃 ✵••┈┈┈•
▪🗓 _RABU_
| 26 Muharram 1444 H
| 24 Agustus 2022 M
🔈 *Audio ke-53*
📖 _Allah Ta'ala Maha Tinggi Atas Makhluk-Nya Dengan Dzat dan Sifat-SifatNya
Bagian Keempat_
~•~•~•~•~•~•~•~•~
ّ ﺑﺳم
ﷲ اﻟرﺣﻣن اﻟرﺣﯾم
ّ
اﻟﺳﻼم ﻋﻠﯾﻛم ورﺣﻣﺔ ﷲ وﺑرﻛﺎﺗﮫ
وﻣن واﻻه، واﻟﺻﻼة واﻟﺳﻼم ﻋﻠﻰ رﺳول ﷲ وﻋﻠﻰ آﻟﮫ و اﺻﺣﺎﺑﮫN اﻟﺣﻣد
Anggota grup whatsapp Dirasah Islamiyyah, yang semoga dimuliakan oleh Allāh.
Kita lanjutkan pembahasan Kitab Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang ditulis oleh
fadhilatul Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullāh ta'ala.
Beliau mengatakan:
َوھ َُو ۡٱﻟ َﻘﺎ ِھ ُر َﻓ ۡو َق ﻋِ َﺑﺎ ِد ِهۦۚ َوھ َُو ۡٱﻟ َﺣﻛِﯾ ُم ۡٱﻟ َﺧ ِﺑﯾ ُر: وﻗوﻟﮫ
Dan ﻓـوﻗـﯾﺔdi sini - di atas hamba-hamba Nya di sini, baik di atas secara makna atau sifat-
Nya maupun di atas secara dzat-Nya. Maka Allāh Subhānahu wa Ta’āla Dia-lah yang di
atas hamba-hambaNya, baik secara makna maupun dari sisi Dzat-Nya.
"Dan Dia-lah Allāh Subhānahu wa Ta’āla yang Maha Bijaksana dan juga Maha
Mengetahui.”
Allāh Subhānahu wa Ta’āla Dialah Al-Hakim, Dialah yang memberikan keputusan dan
keputusan atau hukum Allāh ada yang syar'i dan ada yang kauni.
Hukum Syar'i adalah keputusan Allāh, syari'at Allāh, baik berupa perintah maupun
larangan maka ini dinamakan dengan hukum yang syar'i.
Hukum Kauni adalah Allāh memutuskan, mentakdirkan, ini dinamakan dengan hukum
kauni, yaitu hukum yang berkaitan dengan kejadian-kejadian. Allāh memutuskan si
fulan menjadi orang yang tinggi, menjadi orang yang pendek, yang pemarah (misalnya)
dan seterusnya. Ini namanya hukum kauni.
Maka Allāh Subhānahu wa Ta’āla, Dialah Al-Hakim yang Maha Menghukumi termasuk
yang syar'i maupun yang kauni.
"Siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allāh bagi orang-orang yang yakin?" [QS
Al-Maidah: 50]
Orang yang yakin dan orang yang berilmu maka dia akan memahami dan mempercayai
bahwa Allāh Subhānahu wa Ta’āla, Dialah yang paling baik hukum syar’i-Nya. Sehingga
kewajiban dia adalah mengikuti apa yang Allāh syari'atkan. Dan meyakini bahwasanya
hukum Allāh adalah sebaik-baik hukum. Tidak ada hukum yang lebih baik daripada
hukum Allāh.
Demikian juga mencakup hukum yang kauni, keputusan yang Allāh putuskan dan
kejadian-kejadian (musibah, kenikmatan) maka ini adalah hukum Allāh juga.
Dan inilah yang dimaksud dengan firman Allāh, ketika menceritakan saudara dari Yusuf
alayhissalam.
أَ ْو َﯾﺣْ ُﻛ َم ﱠ
ۖ ُ ﻟِﻰNٱ
Yang memutuskan di sini adalah hukum yang kauni (takdir). “Sampai Allāh Subhānahu
wa Ta’āla mentakdirkan untukku”, yang dimaksud adalah hukum kauni.
Dan dua hukum ini di dalamnya ada hikmah. Di dalam hukum syar'i, Allāh Subhānahu
wa Ta’āla melarang khamr (misalnya) ada hikmahnya. Karena di situ ada kerusakan
bagi tubuh, menghilangkan akal. Ketika seorang hilang akalnya maka dia akan
melakukan segala sesuatu, bisa membunuh, bisa menzhalimi orang, bisa memperkosa
dan seterusnya dan merusak badannya.
Kenapa kita berwudhu, kenapa dimulai dengan membasuh kedua tangan, kenapa
sebelah sini tidak di basuh yang di basuh sebelah sana saja. Pasti di sana ada hikmah
dari Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Cuma terkadang hikmah tersebut ada yang diketahui
dan ada yang tidak diketahui, tetapi nama Allāh Al-Hakim menunjukkan bahwa Allāh
Subhānahu wa Ta’āla di dalam semua itu pasti di sana ada hikmahnya.
Demikian pula di dalam hukum Allāh yang kauni, pasti di sana ada hikmahnya. Musibah
yang menimpa seseorang, pasti ada hikmahnya, kenikmatan yang didapatkan oleh
seseorang, pasti ada hikmahnya.
Jadi Allāh Subhānahu wa Ta’āla Dialah Al-Hakim yang memutuskan dan di dalam
keputusan Allāh pasti ada hikmahnya. Allāh Subhānahu wa Ta’āla mengatakan:
"Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya
dalam keadaan bathil (tidak ada yang sia-sia).” [QS Sad: 27]
Tidak ada sesuatu yang salah, baik di dalam hukum Allāh yang syar'i maupun hukum
Allāh yang kauni. Ini disebutkan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla di dalam surat Al-
An’am ayat yang ke-18.
Kemudian firman Allāh Al-Khabir yang Maha Mengetahui dan sebetulnya sudah berlalu
bahwasanya Al-Khabir ini lebih khusus daripada Al-'Alim. Kalau Al-'Alim ini Maha
Mengetahui yang dzahir maupun yang bathin. Adapun Al-Khabir ini berkaitan dengan
segala sesuatu yang bathin (tersembunyi).
Maka ada yang mengatakan bahwa Al-Khabir ini lebih khusus daripada Al-'Alim.
Demikianlah yang bisa kita sampaikan pada kesempatan yang kali ini dan In sya Allāh
kita lanjutkan pada sesi berikutnya.
•┈┈┈••✵🍃 ✵••┈┈┈•
▪🗓 _KAMIS_
| 27 Muharram 1444 H
| 25 Agustus 2022 M
🔈 *Audio ke-54*
📖 _Allāh Subhānahu wa Ta’āla Beristiwa' Di Atas Arsy’ Bagian Pertama_
~•~•~•~•~•~•~•~•~
ّ ﺑﺳم
ﷲ اﻟرﺣﻣن اﻟرﺣﯾم
ّ اﻟﺳﻼم ﻋﻠﯾﻛم ورﺣﻣﺔ
ﷲ وﺑرﻛﺎﺗﮫ
وﻣن واﻻه، واﻟﺻﻼة واﻟﺳﻼم ﻋﻠﻰ رﺳول ﷲ وﻋﻠﻰ آﻟﮫ و اﺻﺣﺎﺑﮫN اﻟﺣﻣد
Anggota grup whatsapp Dirasah Islamiyyah, yang semoga dimuliakan oleh Allāh.
Kita lanjutkan pembahasan Kitab Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang ditulis oleh
fadhilatul Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullāh ta'ala.
Beliau mengatakan:
[QS Yunus: 3]
Dan kita Ahlus Sunnah Jama’ah beriman bahwasanya ﺑــــﺄﻧــــﮫyaitu Allāh Subhānahu wa
Ta’āla
َ ت َو ۡٱﻷَ ۡر
ض ﻓِﻲ ﺳِ ﱠﺗ ِﺔ أَﯾ ٖﱠﺎم ِ َﺧ َﻠ َق ٱﻟ ﱠﺳ ٰ َﻣ ٰ َو
"Dia-lah Allāh Subhānahu wa Ta’āla yang menciptakan langit-langit dan bumi dalam
enam hari.”
ۡ ۡ ُﺛ ﱠم
ِ ٱﺳ َﺗ َو ٰى َﻋ َﻠﻰ ٱﻟ َﻌ ۡر
ش
Di sini beliau ingin mengajak kita semuanya untuk beriman bahwasanya Allāh beristiwa’
di atas Arsy. Dan ini adalah – ﻋـﻠو ﺧـﺎصsifat tinggi yang khusus. Kalau yang sebelumnya
beliau sebutkan adalah sifat tinggi yang umum. Di sana ada sifat tinggi yang khusus
yang dinamakan dengan sifat Istiwa’.
Makna َﻋـــ َﻠﻰ وارﺗـــﻔﻊ وﺻـــﻌدhampir sama yaitu meninggi dan واﺳـــﺗﻘرkurang lebih maknanya
adalah menetap.
Maka beliau mengatakan, “kita beriman dengan ayat ini”. Di antara bentuk iman kita
terhadap ayat ini adalah menetapkan bahwasanya Allāh Subhānahu wa Ta’āla
beristiwa’ di atas Arsy.
ۡ ۡ ُﺛ ﱠم
ِ ٱﺳ َﺗ َو ٰى َﻋ َﻠﻰ ٱﻟ َﻌ ۡر
ش
Sekali lagi ini adalah kekhususan atau sifat tinggi yang khusus bagi Allāh Subhānahu
wa Ta’āla, bahwasanya Allāh Subhānahu wa Ta’āla memiliki sifat Istiwa’ ini. Dan Istiwa’
di dalam bahasa Arab ini ada beberapa penggunaan.
Disebutkan dalam ayat Istawa’ saja tidak memakai huruf setelahnya, ini dinamakan
dengan Istiwa’ mutlak.
Ketika dia sudah sampai dewasa dan َوٱﺳْ ــــ َﺗ َـو ٰ ٓىdan juga matang dalam surat Al-Qashash
ayat 14, di sini Allāh menceritakan tentang nabi Musa alayhissalam. “Ketika beliau
sudah dewasa”, istawa maksudnya di sini adalah sempurna baik badannya maupun
akalnya. Sehingga kalau Istawa’ ini tidak memakai huruf setelahnya, maka ini
dinamakan dengan Istiwa’ yang mutlak maknanya adalah dewasa atau matang.
Berdasarkan ayat ini.
Dan di sana ada istawa yang digunakan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla dengan
menggunakan huruf ﻋــﻠﻰatau إﻟــﻰsetelahnya. Terkadang menggunakan huruf ﻋــﻠﻰkalau
َ َْت أ
ِﻧت َو َﻣن ﻣ َﱠﻌ َك َﻋ َﻠﻰ ْٱﻟﻔُ ْﻠك َ َﻓﺈِ َذا ٱﺳْ َﺗ َوﯾ
"Apabila kamu sudah beristiwa’ dan juga orang-orang yang bersamamu telah berada di
atas kapal.” [QS Mukminun: 28]
Istawa ala di sini maksudnya sudah beristiwa’, kalau memakai ﻋـﻠﻰberarti di atasnya dan
Allāh Subhānahu wa Ta’āla mengatakan:
۟ ظﮭُورهِۦ ُﺛ ﱠم َﺗ ْذ ُﻛر
ُوا ﻧِﻌْ َﻣ َﺔ َر ﱢﺑ ُﻛ ْم ُ ﻟِ َﺗﺳْ َﺗوُ ۟ۥا َﻋ َﻠ ٰﻰ
ِ
"Supaya kamu istiwa di atas punggungnya (hewan tunggangan), kemudian kamu ingat
nikmat Allāh atas kalian.” [QS Az-Zukhruf :13]
Kemudian di sana ada Istiwa’ setelahnya huruf إﻟــــﻰ. Kalau setelahnya adalah huruf إﻟــــﻰ
maka maksudnya adalah اﻟـﻘﺻدyaitu bermaksud dan di dalam Al-Qurān Allāh Subhānahu
wa Ta’āla mengatakan:
"Kemudian Allāh menuju ke atas (kelangit) dan dia adalah asap.” [QS Fussilat: 11]
Ini kalau Istawa’ setelahnya إﻟــــﻰ, maka yang dimaksud adalah Al-Qashdu yaitu
bermaksud.
Kemudian di sana ada penggunaan istawa setelahnya huruf wawu ( )وseperti orang
mengatakan:
Maksudnya adalah
Kita lihat sekarang yang ada di dalam Al-Qurān yaitu yang bagaimana?
Beristiwa’ di atas Arsy maksudnya adalah Allāh meninggi, Allāh berada di atas Arsy,
makanya Syaikh mengatakan setelahnya:
ﻋﻠوه ﻋﻠﯾﮫ ﺑذاﺗﮫ ﻋﻠوا ﺧﺎﺻﺎ ﯾﻠﯾق ﺑﺟﻼﻟﮫ و ﻋظﻣﺗﮫ ﻻ ﯾﻌﻠم ﻛﯾﻔﯾﺗﮫ إﻻ ھو ﻋزوﺟل
Istiwa’nya Allāh di atas Arsy itu adalah tingginya Allāh di atas Arsy dengan Dzat -Nya.
Di sini beliau menggunakan kalimat ﺑــــذاﺗــــﮫdengan Dzat-Nya karena ada sebagian yang
menetapkan sifat ‘Uluwu bagi Allāh tetapi maknanya saja, bukan Dzat-Nya. Sehingga
ketika di katakan ﺑـذاﺗـﮫbeliau ingin menerangkan kepada kita bahwasanya Ahlus Sunnah
wal Jama'ah mereka juga menetapkan tingginya sifat dan tingginya Dzat bagi Allāh
Subhānahu wa Ta’āla.
Ketinggian yang khusus yang sesuai dengan keagungan Allāh dan juga kebesaran-Nya.
Bukan berarti kita menyerupakan Allāh dengan makhluk. Tidak!
Di sini beliau mengatakan ﯾــــﻠـﯾـق ﺑــــﺟـﻼﻟــــﮫsesuai dengan keagungan Allāh dan juga
kebesaran-Nya.
Tidak ada yang mengetahui kaifiyahnya bagaimana Allāh meninggi dan bagaimana
Allāh beristiwa’ tidak ada keterangannya. Allāh tidak mengabarkan kepada kita tentang
bagaimana Allāh beristiwa’, hanya saja Allāh Subhānahu wa Ta’āla mengabarkan
kepada kita bahwasanya Allāh beristiwa’ (di situ saja).
"Tidak ada yang serupa dengan Allāh dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Maha
Melihat.” [QS Asy-Syura: 11]
Di sana ada ucapan Al-Imam Malik bin Annas, Imam Darul Hijrah ketika beliau ditanya
oleh sebagian orang yang datang kepada beliau dan mengatakan,
"Wahai Imam, Ar-Rahman adalah beristiwa’ di atas Arsy, bagaimana Allāh beristiwa’ ?"
Setelah beliau menundukkan kepalanya dan berubah wajah dan berkeringat ketika
beliau mendengar ucapan ini, yang bertanya tentang bagaimana Allāh beristiwa’.
Orang yang pernah belajar bahasa Arab (orang Arab dan orang yang telah belajar
bahasa Arab dengan baik) maka dia mengetahui maka istawa ini, bukan sesuatu yang
tidak diketahui maknanya.
واﻟﻛﯾف ﻣﺟﮭول
Tapi bagaimananya tidak diketahui yaitu bagaimana Allāh beristiwa’ tidak diketahui.
Tidak boleh kita menyerupakan Istiwa’ Allāh dengan makhluk.
واﻹﯾﻣﺎنُ ﺑﮫ وا ِﺟب
Beriman bahwa Allāh itu beristiwa’ adalah sebuah kewajiban karena sudah diterangkan
dan dikabarkan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla di dalam Al-Qurān.
Kemudian واﻟــــﺳـؤا ُل ﻋــــﻧـﮫ ﺑــــدﻋــــﺔdan bertanya tentang bagaimana Allāh beristiwa’ adalah
kebid'ahan. Karena para sahabat Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam yang mereka
dikenal dengan semangatnya untuk bertanya di dalam agama, bertanya tentang
sesuatu yang penting, tidak ada diantara mereka yang bertanya kepada Nabi tentang
bagaimana Allāh beristiwa’ .
Sehingga orang yang bertanya tentang bagaimana Allāh beristiwa’ ini telah membuat
atau melakukan sesuatu yang baru dan tidak dicontoh yang demikian.
Demikianlah yang bisa kita sampaikan in sya Allāh, kita lanjutkan pada kesempatan
yang akan datang.
ِ اَ ْﻟ َﺣﻣْ ُد ِ ﱠ
اﻟﱠذِي ِﺑﻧِﻌْ َﻣ ِﺗ ِﮫ َﺗ ِﺗ ّم اﻟﺻﱠﺎﻟ َِﺣﺎتN
وﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ أﻋﻠم
اﻟﺗوﻓﯾق واﻟﮭداﯾﺔNوﺑﺎ
واﻟﺳﻼم ﻋﻠﯾﻛم ورﺣﻣﺔ ﷲ وﺑرﻛﺎﺗﮫ
•┈┈┈••✵🍃 ✵••┈┈┈•
▪🗓 _JUM’AT_
| 28 Muharram 1444 H
| 26 Agustus 2022 M
🔈 *Audio ke-55*
📖 _Allāh Subhānahu wa Ta’āla Beristiwa' Di Atas Arsy’ Bagian Kedua_
~•~•~•~•~•~•~•~•~
ّ ﺑﺳم
ﷲ اﻟرﺣﻣن اﻟرﺣﯾم
ّ اﻟﺳﻼم ﻋﻠﯾﻛم ورﺣﻣﺔ
ﷲ وﺑرﻛﺎﺗﮫ
وﻣن واﻻه، واﻟﺻﻼة واﻟﺳﻼم ﻋﻠﻰ رﺳول ﷲ وﻋﻠﻰ آﻟﮫ و اﺻﺣﺎﺑﮫN اﻟﺣﻣد
Anggota grup whatsapp Dirasah Islamiyyah, yang semoga dimuliakan oleh Allāh.
Kita lanjutkan pembahasan Kitab Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang ditulis oleh
fadhilatul Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullāh ta'ala.
Dan kita beriman (Ahlus Sunnah wal Jama'ah) karena beliau memberikan judul kitab ini
dengan Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah, maka وﻧـــؤﻣـــنmaksudnya adalah kita (Ahlus
Sunnah wal Jama'ah) beriman (percaya, meyakini) bahwasanya Allāh telah
menciptakan langit dan juga bumi.
َ
ٍ ﻓِﻰ ﺳِ ﱠﺗ ِﺔ أﯾ
ﱠﺎم
Yang dimaksud dengan hari atau enam hari di sini adalah dimulai dari hari ahad
sampai hari Jum'at.
َ َﯾُدَ ﱢﺑ ُر ْٱﻷ
ﻣْر
Di dalam ayat yang mulia ini, Allāh Subhānahu wa Ta’āla menyebutkan bahwasanya
Allāh menciptakan langit dan bumi dalam 6 hari, dan ini adalah hikmah dari Allāh
Subhānahu wa Ta’āla menciptakan langit dan bumi dalam 6 hari.
Dan Allāh Subhānahu wa Ta’āla mampu untuk menciptakan semuanya dalam satu
waktu.
ُإِ ﱠﻧ َﻣﺂ أَﻣْ ُرهُۥٓ إِ َذآ أَ َرادَ َﺷﯾْـًٔﺎ أَن َﯾﻘُو َل َﻟﮫُۥ ُﻛن َﻓ َﯾ ُﻛون
Tetapi di sini Allāh Subhānahu wa Ta’āla, ada sebagian ulama yang mengatakan
bahwasanya Allāh ingin mengajarkan kepada manusia tentang ( ﺗــــدرجpelan-pelan) dan
bertahap. Sehingga Allāh Subhānahu wa Ta’āla menciptakan langit dan bumi dalam 6
hari.
Dan Allāh Subhānahu wa Ta’āla Maha Mampu untuk melakukan segala sesuatu,
menciptakan semua makhluk dalam sekejap (dalam satu waktu). Allāh Subhānahu wa
Ta’āla Maha Mampu yang demikian.
Dan makna dari istiwa' sudah kita sampaikan pada pertemuan yang telah berlalu.
Sudah kita sampaikan tentang masalah makna dari istawa, ada 4 makna yang datang
dari para Salaf yaitu ﻋﻼ وارﺗﻔﻊ وﺻﻌد و اﺳﺗﻘر- meninggi dan juga menetap.
Dan sudah kita sampaikan terkadang istawa di dalam Al-Qur'an ini datang secara
mutlak maksudnya tidak ada di sana huruf setelahnya maka maknanya adalah kamula
( )ﻛﻣلyaitu sempurna dan terkadang setelah istawa ini ada huruf إﻟﻰ
Kemudian terkadang istawa setelahnya adalah huruf اﻟـــواوmaka maknanya adalah ﺗـــﺳو ٰ ٓى
َ
yaitu merata atau sejajar.
Maka ini adalah penggunaan istawa di dalam bahasa Arab, kadang setelahnya
memakai huruf إﻟــــﻰatau ﻋــــﻠﻰatau tanpa huruf atau terkadang setelahnya اﻟــــواوmemiliki
makna yang berbeda.
َ َﯾُدَ ﱢﺑ ُر ْٱﻷ
ﻣْر
واﺳﺗواؤه ﻋﻠﻰ اﻟﻌرش ﻋﻠوه ﻋﻠﯾﮫ ﺑذاﺗﮫ ﻋﻠوا ﺧﺎﺻﺎ ﯾﻠﯾق ﺑﺟﻼﻟﮫ و ﻋظﻣﺗﮫ ﻻ ﯾﻌﻠم ﻛﯾﻔﯾﺗﮫ إﻻھو
"Dan istiwanya Allāh di atas Arsy adalah ketinggian Allāh di atas Arsy dengan Dzat-Nya.
Ketinggian yang khusus sesuai dengan keagungan-Nya dan kebesaran-Nya. Tidak
mengetahui bagaimana Allāh Subhānahu wa Ta’āla beristiwa’ kecuali Dia."
Ucapan beliau:
"Dan istiwanya Allāh di atas Arsy adalah ketinggian Allāh dengan Dzat-Nya.”
Allāh mengatakan:
"Dialah (Allāh) yang memiliki 'Arsy yang ( ْٱﻟ َﻣ ِﺟﯾ ُدMaha Luas)". [QS Al-Buruj: 15]
Menunjukkan bahwasanya Allāh, Dia-lah yang memiliki Arsy. Berarti Arsy adalah
makhluk yang dimiliki, sebagaimana kita juga dimiliki oleh Allāh dan disifati oleh Allāh
dengan ( اﻟﻌظﻣﺔbesar).
Allāh mengatakan:
Menunjukkan bahwasanya Arsy adalah dikuasai, dipelihara, dijaga oleh Allāh. Allāh
beristiwa’ di atas Arsy dan yang memiliki, yang menjaga, yang memelihara Arsy adalah
Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Dan di dalam ayat yang lain Allāh mensifati Arsy ini dengan Al-Karāmah ( )اﻟــــﻛـراﻣﺔatau
alKaram.
ش ْٱﻟ َﻛ ِر ِﯾم
ِ َْربﱡ ْٱﻟ َﻌر
Di dalam ayat yang lain Allāh Subhānahu wa Ta’āla menyebutkan bahwasanya Arsy
Allāh ini dipikul oleh 8 malaikat di hari kiamat.
"Dan memikul Arsy Rabbmu pada hari itu di atas mereka ada 8 malaikat.” [QS Al-
Haqqah: 17]
Dan pendapat yang lebih kuat bahwasanya Arsy ini adalah mahkluk yang pertama dan
para ulama berselisih pendapat dan ini adalah perselisihan di antara ulama Ahlus
Sunnah sendiri.
Apakah Arsy Allāh atau qalam, pena yang digunakan untuk menulis takdir sampai hari
kiamat.
Ada di antara ulama yang mengatakan yang pertama adalah Arsy dan ada yang
mengatakan yang pertama adalah Al-Qalam. Dan pendapat yang lebih kuat, dan ini
yang dikuatkan oleh sebagian guru-guru kami yang kami belajar kepada mereka.
Bahwasanya yang pertama adalah Arsy.
Di antara dalil mereka adalah ketika Allāh Subhānahu wa Ta’āla menulis takdir di dalam
sebuah hadits,
َ ﯾن أَ ْﻟ
ف َﺳ َﻧ ٍﺔ َ ْت َو ْاﻷَر
َ ِض ِﺑ َﺧﻣْﺳ ِ ِﯾر ْاﻟ َﺧ َﻼﺋ ِِق َﻗ ْﺑ َل أَنْ َﯾ ْﺧﻠُ َق اﻟ ﱠﺳ َﻣ َﺎوا
َ ﻛﺗب اﻟﻠﱠ ُﮫ َﻣ َﻘﺎد
Disebutkan dalam sebagian lafadz وﻋـرﺷـﮫ ﻋـﻠﻰ اﻟـﻣﺎء. Ditulis takdir dan Arsy Allāh berada di
atas air.
Menunjukkan bahwasanya Arsy sudah ada sebelum Qalam, sehingga sebagian ulama
kita mereka berpendapat bahwasanya Arsy adalah makhluk yang pertama.
Jadi dia adalah makhluk yang pertama, makhluk yang paling besar, makhluk yang
paling tinggi. Ini adalah sifat Arsy.
Demikianlah yang bisa kita sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini dan In
sya Allāh kita bertemu kembali pada pertemuan yang selanjutnya, pada waktu dan
keadaan yang lebih baik.
•┈┈┈••••○○○••••┈┈┈•
▪🗓 _SENIN_
| 01 Shafar 1444 H
| 29 Agustus 2022 M
🔈 *Audio ke-56*
📖 _Allāh Subhānahu wa Ta’āla Beristiwa' Di Atas Arsy’ Bagian Ketiga_
~~~•~~~•~~~•~~~•~~~
ّ ﺑﺳم
ﷲ اﻟرﺣﻣن اﻟرﺣﯾم
ّ اﻟﺳﻼم ﻋﻠﯾﻛم ورﺣﻣﺔ
ﷲ وﺑرﻛﺎﺗﮫ
واﻟﺻﻼة واﻟﺳﻼم ﻋﻠﻰ رﺳول ﷲ وﻋﻠﻰ آﻟﮫ و أﺻﺣﺎﺑﮫ وﻣن واﻻهN اﻟﺣﻣد
Anggota grup whatsapp Dirasah Islamiyyah, yang semoga dimuliakan oleh Allāh.
Kita lanjutkan pembahasan Kitab Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang ditulis oleh
fadhilatul Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullāh Ta'ala.
Masih kita pada pasal beriman kepada Allāh. Beliau mengatakan rahimahullāh,
Yang dimaksud dengan istiwa' nya Allāh di atas Arsy ini adalah ketinggian Allāh dengan
dzat-Nya. Ucapan beliau, ﺑــــذا ﺗــــﮫdi sini, untuk menafikan ucapan sebagian orang yang
mengatakan bahwasanya Allāh beristiwa' di atas Arsy majas, bukan hakikat.
Maka beliau mengatakan, ﺑــذاﺗــﮫuntuk menafikan atau mengingkari sebagian orang yang
mengatakan, "Iya kami beriman dengan istiwa' Allāh di atas Arsy, tapi ini adalah majas".
Ahlus Sunnah menyakini bahwasanya Allāh beristiwa' di atas Arsy ﺑــــذاﺗــــﮫdengan dzat-
Nya, bukan majas. Hakikat Allāh Subhānahu wa Ta’āla beristiwa' di atas Arsy.
Karena di sana ada dua sifat atau dua jenis ( )ﻋﻠواbagi Allāh:
1. ﻋﻠوا ﻋﺎم
Ketinggian yang umum, dan ini sudah kita sampaikan penjelasannya, yaitu Allāh
Subhānahu wa Ta’āla adalah Maha Tinggi. Dan di dalam Al-Qur'an
2. ﻋﻠوا ﺧﺎﺻﺎ
Kalau ketinggian yang umum maka ini termasuk ( )ﺻـــﻔﺔ ذاﺗـــﯾﺔsifat yang berkaitan dengan
dzat Allāh, Allāh senantiasa memiliki sifat tinggi yang umum ini, tidak pernah terlepas
dari Allāh, tidak berkaitan dengan ()ﻣﺎ ﺷﯾﺋﺎت ﷲ
Adapun ( )ﻋــــﻠـوyang ( )ﺧــــﺎصketinggian yang khusus maka ini adalah sifat ( )ﻓــــﻌـﻠـﯾـﺔyaitu
berkaitan dengan kehendak Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Kalau Allāh menghendaki maka Allāh beristiwa', kalau Allāh tidak menghendaki maka
Allāh tidak beristiwa’. Ini namanya sifat fi'liyah. Maka yang dimaksud beristiwa' Allāh di
atas ‘Arsy adalah ketinggian Allāh yang khusus, dengan kehendak-Nya.
Itu Allāh berkehendak beristiwa' di atas Arsy, berkaitan dengan kehendak Allāh
Subhānahu wa Ta’āla.
Sesuai dengan keagungan dan kebesaran Allāh. Tidak sama dengan istiwanya
makhluk. Karena sebagian makhluk juga beristiwa'. Kita beristiwa' di atas kendaraan
kita, orang lain beristiwa' di atas kursinya, atau raja beristiwa' di atas singgasananya, itu
adalah istiwa' sesuai dengan kita sebagai seorang makhluk.
Namun Allāh Subhānahu wa Ta’āla, Dialah yang memiliki sifat istiwa' sesuai dengan
keagungan-Nya dan kebesaran-Nya.
Dan sebagaimana yang kita sebutkan, bahwasanya Arsy Allāh Subhānahu wa Ta’āla
dipikul oleh malaikat, dan ini menunjukkan bahwasanya Arsy ini membutuhkan Allāh.
Dan Allāh Subhānahu wa Ta’āla tidak butuh kepada Arsy.
Allāh Subhānahu wa Ta’āla Dialah اﻟــــﺻــﻣــد،ﻟــــﻐــﻧــﻲ. Dia lah yang Maha Kaya, tidak
membutuhkan makhluk. Allāh beristiwa’ di atas Arsy dan tidak melazimkan bahwasanya
Allāh membutuhkan Arsy.
Kita saja di dunia ini, makhluk berada di atas makhluk yang lain, dan dia tidak butuh
dengan yang ada di bawahnya. Awan yang ada di atas kita, dia berada di atas kita, dan
dia tidak butuh dengan kita. Tidak melazimkan bahwa Allāh beristiwa’ di atas Arsy,
kemudian kita katakan, "Loh berarti Allāh butuh dengan Arsy?"
Allāh Subhānahu wa Ta’āla, Dialah اﻟــــﻐـﻧـﻲ, Dialah اﻟــــﺻـﻣـد, segala sesuatu butuh kepada
Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
"Wahai manusia sesungguhnya kalian adalah sangat fakir kepada Allāh." [QS Fathir:
15]
Seluruh makhluk adalah sangat fakir kepada Allāh, termasuk di antaranya adalah Arsy,
bagaimanapun besarnya dia, luasnya dia, tingginya dia, maka dia tidak bisa berlepas
dari pertolongan Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Kalau Allāh Subhānahu wa Ta’āla tidak
menahannya, niscaya dia tidak akan tetap ditempatnya. Bahkan Allāh Subhānahu wa
Ta’āla Dialah yang memeliharanya, menciptakan dia.
Demikianlah yang bisa kita sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini, dan
Insya Allāh kita bertemu kembali pada pertemuan yang selanjutnya pada waktu dan
keadaan yang lebih baik
•┈┈┈••••○○○••••┈┈┈•
▪🗓 _SELASA_
| 02 Shafar 1444 H
| 30 Agustus 2022 M
🔈 *Audio ke-57*
📖 _Allāh Subhānahu wa Ta’āla Beristiwa' Di Atas Arsy’ Bagian Keempat_
~~~•~~~•~~~•~~~•~~~
ّ ﺑﺳم
ﷲ اﻟرﺣﻣن اﻟرﺣﯾم
ّ اﻟﺳﻼم ﻋﻠﯾﻛم ورﺣﻣﺔ
ﷲ وﺑرﻛﺎﺗﮫ
واﻟﺻﻼة واﻟﺳﻼم ﻋﻠﻰ رﺳول ﷲ وﻋﻠﻰ آﻟﮫ و أﺻﺣﺎﺑﮫ وﻣن واﻻهN اﻟﺣﻣد
Anggota grup whatsapp Dirasah Islamiyyah, yang semoga dimuliakan oleh Allāh.
Kita lanjutkan pembahasan Kitab Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang ditulis oleh
fadhilatul Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullāh.
Kecuali Allāh, karena Allāh Subhānahu wa Ta’āla tidak memberitahukan tentang ()ﻛــــﯾـﻔـﯾـﺗـﮫ
ini, tentang bagaimana Allāh beristiwa' kepada makhluk-Nya.
Sehingga apa yang akan kita lalukan, kita beriman sesuai dengan apa yang sampai
kepada kita. Allāh mengabarkan, bahwasanya Allāh beristiwa'. Dia lebih tahu tentang
dirinya sendiri, dan Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam adalah manusia yang paling tahu
tentang diri Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Maka kita beriman bahwasanya Allāh beristiwa'.
Bagaimana Allāh beristiwa' kita tidak tahu, yang jelas kita meyakini Allāh beristiwa'
sesuai dengan keagungan-Nya, sesuai dengan kebesaran-Nya, tidak sama dengan
istiwa' yang ada pada makhluk.
Maka mengimani bahwasanya Allāh beristiwa' adalah wajib. Kalau sampai kita
mengingkari maka ini adalah perbuatan yang diharamkan dalam agama Islam,
mengingkari istiwa' Allāh.
Kalau memang kita beriman kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla maka kita beriman
dengan setiap apa yang Allāh kabarkan di dalam Al Qur'an, termasuk di antaranya
adalah bahwasanya Allāh Subhānahu wa Ta’āla beristiwa' di atas Arsy.
Tidak boleh, kenapa di sini dikatakan oleh Al Imam Malik sebagai pertanyaan yang
bid'ah, karena ini adalah pertanyaan yang berkaitan dengan agama dan ternyata
pertanyaan seperti ini tidak pernah dilakukan oleh para sahabat Radhiyallahu ta'ala
'anhum.
Padahal mereka Radhiyallahu ta'ala 'anhum adalah orang yang paling semangat dalam
bertanya kepada Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Kalau itu memang adalah pertanyaan yang bermanfaat, maka mereka para sahabat
Radhiyallahu ta'ala 'anhum bertanya kepada Nabi. Melaksanakan firman Allāh Azza wa
Jalla,
"Hendaklah kalian bertanya kepada para ulama apabila kalian tidak mengetahui." [QS
Al Anbiya' 7]
Para sahabat, mereka bertanya kepada Rasūlullāh Shallallāhu 'alaihi wa Sallam dan
Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam memberikan jawaban, tapi tidak ada di antara mereka
yang bertanya kepada Nabi. Padahal tentang istiwa' ayatnya berulang sampai enam
kali dengan lafadz yang sama, kemudian pada ayat yang ketujuh dengan lafadz,
Menunjukan bahwasanya mereka dalam keadaan tahu, bahwa istiwa' Allāh adalah
sesuai dengan kebesaran-Nya. Kita hanya diberitahu tentang Allāh beristiwa', tapi Allāh
tidak memberitahukan kepada kita tentang bagaimana.
Sehingga mereka pun tidak bertanya. Menunjukkan bahwasanya mereka adalah orang-
orang yang paham Radhiyallahu ta'ala 'anhum.
Sekali lagi, ucapan Imam Malik ini bisa dijadikan kaidah dalam setiap sifat.
Misalnya, Allāh Subhānahu wa Ta’āla memiliki sifat nuzul ()ﻧــــزل, Allāh turun. Insya Allāh
pembahasannya setelah ini, setelah pembahasan tentang sifat turun bagi Allāh.
Kaidahnya sama, makna turun adalah ﻣــــﻌــﻠــوم, dan mengetahui kaifiyyahnya adalah
sesuatu yang tidak diketahui. Dan beriman dengan turunnya Allāh adalah wajib, dan
bertanya tentang bagaimana Allāh turun adalah suatu yang bid'ah.
Demikianlah yang bisa kita sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini, dan In
sya Allāh kita bertemu kembali pada pertemuan yang selanjutnya, pada waktu dan
keadaan yang lebih baik
•┈┈┈••••○○○••••┈┈┈•
▪🗓 _RABU_
| 04 Shafar 1444 H
| 31 Agustus 2022 M
🔈 *Audio ke-58*
📖 _Ma'iyyatullah atau Kebersamaan Allāh Ta'ala Bagian Pertama_
~~~•~~~•~~~•~~~•~~~
ّ ﺑﺳم
ﷲ اﻟرﺣﻣن اﻟرﺣﯾم
ّ اﻟﺳﻼم ﻋﻠﯾﻛم ورﺣﻣﺔ
ﷲ وﺑرﻛﺎﺗﮫ
وﻣن واﻻه، واﻟﺻﻼة واﻟﺳﻼم ﻋﻠﻰ رﺳول ﷲ وﻋﻠﻰ آﻟﮫ و اﺻﺣﺎﺑﮫN اﻟﺣﻣد
Anggota grup whatsapp Dirasah Islamiyyah, yang semoga dimuliakan oleh Allāh.
Kita lanjutkan pembahasan Kitab Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang ditulis oleh
fadhilatul Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah ta'ala.
Beliau mengatakan:
"Dan kami beriman bahwasanya Allāh bersama makhluk-Nya. Dan Allāh berada di atas
Arsy.”
Kita menyebutkan bahwasanya kita meyakini bahwasanya Allāh beristiwa' di atas Arsy.
Dalam waktu yang sama kita Ahlus Sunnah meyakini bahwasanya Allāh bersama
makhluk-Nya.
Yang dimaksud dengan “bersama makhluk-Nya” di sini adalah ﻣــﻌﯾﺔ اﻟــﻌﺎﻣــﺔ, kebersamaan
yang umum (“ )ﻣــــﻌـﯾـﺔbersama dengan makhluk-Nya”, kebersamaan yang umum yaitu
dengan ilmu-Nya.
Allāh Subhānahu wa Ta’āla meskipun berada di atas Arsy, beristiwa' di atas Arsy, tapi
Allāh Subhānahu wa Ta’āla Maha Mengetahui apa yang terjadi, termasuk makhluk yang
ada di bumi dan yang ada di langit. Allāh Subhānahu wa Ta’āla Maha Tinggi, Allāh
Subhānahu wa Ta’āla beristiwa' di atas Arsy dan di waktu yang sama Allāh Subhānahu
wa Ta’āla bersama kita yaitu dengan ilmu-Nya.
ﯾﻌﻠم أﺣواﻟﮭم
و ﯾﺳﻣﻊ أﻗواﻟﮭم
و ﯾرى أﻓﻌﺎﻟﮭم
وﯾدﺑر أﻣورھم
و ﯾـؤﺗـﻲ اﻟـﻣﻠك ﻣـن ﯾـﺷﺎء و ﯾـﻧزع اﻟـﻣﻠك ﻣـﻣن ﯾـﺷﺎء وﯾـﻌز ﻣـن ﯾـﺷﺎء و ﯾـذل ﻣـن ﯾـﺷﺎء ﺑـﯾده اﻟـﺧﯾر و ھـو،ﯾـرزق اﻟـﻔﻘﯾر و ﯾـﺟﺑر اﻟﻛﺳـﯾر
ﻋﻠﻰ ﻛل ﺷﺊ ﻗدﯾر
Allāh bersama kita dan Dia berada di atas Arsy, mengetahui keadaan kita, mendengar
ucapan kita, tidak ada yang samar bagi Allāh ucapan manusia sedikit pun, dan Allāh
melihat apa yang kita lakukan.
Duduknya kita, berdirinya kita, masuk keluarnya kita, dan Allāh berada di atas Arsy dan
Allāh mengatur urusan kita semua; yang fakir diberikan rezeki, yang patah
disembuhkan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla atau orang yang sedih diberikan
kebahagiaan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Meskipun Allāh berada di atas Arsy, tapi Allāh Subhānahu wa Ta’āla Maha Mengetahui
segala sesuatu. Maha Mendengar, Maha Melihat, Dia-lah yang mengurus urusan kita,
menghidupkan, mematikan. Sampai perkara yang sedetail-detailnya, yang sekecil-
kecilnya, itu yang mengurus adalah Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Tidak ada yang samar
bagi Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Dan penyebutan tentang ma'iyyah Allāh Subhānahu wa Ta’āla yang sifatnya umum ini
disebutkan di antara dalilnya adalah apa yang Allāh sebutkan di dalam surat Al-
Mujadalah dan surat Al-Hadid. Dalam surat yaitu Al-Hadid ayat yang ke-4, Allāh
Subhānahu wa Ta’āla mengatakan:
َ ـﻧز ُل ﻣ
ِـن ۡ ۡ ِ ش َﯾ ۡـﻌ َﻠـ ُم َﻣـﺎ َﯾـﻠِ ُﺞ ِﻓـﻲ ۡٱﻷَ ۡر
ِ ض َو َﻣـﺎ َﯾـﺧ ُر ُج ﻣِـﻧ َﮭـﺎ َو َﻣـﺎ َﯾ
ۡ َ ت َو ۡٱﻷَ ۡر
ۡ ض ِﻓـﻲ ﺳِ ـ ﱠﺗ ِﺔ أَﯾ ٖﱠـﺎم ُﺛـ ﱠم
ِ ۖ ٱﺳ َﺗ َـو ٰى َﻋـ َﻠﻰ ٱﻟ َﻌ ۡـر ِ ھ َُـو ٱﻟﱠـذِي َﺧـ َﻠ َق ٱﻟ ﱠﺳ ٰ َﻣ ٰ َو
ون ﺑَﺻِ ﯾر ٱﻟ ﱠﺳ َﻣﺂ ِء َو َﻣﺎ َﯾ ۡﻌ ُر ُج ﻓِﯾ َﮭ ۖﺎ َوھ َُو َﻣ َﻌ ُﻛمۡ أَ ۡﯾ َن َﻣﺎ ُﻛﻧ ُﺗ ۡۚم َو ﱠ
َ ُُ ِﺑ َﻣﺎ َﺗ ۡﻌ َﻣﻠNٱ
Dialah (Allāh Subhānahu wa Ta’āla) yang menciptakan langit dan bumi dalam enam
hari, kemudian Allāh beristiwa' di atas ‘Arsy.
Yang masuk ke dalam bumi, hujan, biji-bijian, orang yang meninggal, orang yang
memendam sesuatu. Segala sesuatu yang masuk ke dalam bumi, Allāh Subhānahu wa
Ta’āla mengetahuinya.
Dan apa yang keluar dari bumi juga demikian, yang keluar dari bumi, misalnya, air,
tumbuh-tumbuhan atau barang tambang, tidaklah dia keluar dari bumi kecuali di bawah
ilmu Allāh. Allāh mengetahuinya.
َو ﱠ
َ ُُ ِﺑ َﻣﺎ َﺗ ۡﻌ َﻣﻠNٱ
ون ﺑَﺻِ ﯾر
Inilah ayat yang menunjukkan kepada kita tentang ma'iyyah yang ‘āmah (kebersamaan
Allāh yang umum) dengan ilmu-Nya. Oleh karena itu tadi disebutkan dalam ayat ــــﻌ َﻠــــ ُم
ۡ َﯾ-
Allāh Mengetahui.
Menunjukkan bahwasanya ma'iyyah di sini adalah ﻣــﻌﯾﺔ اﻟــﻌﺎﻣــﺔ, yaitu ma'iyyatul ‘ilm, Allāh
Subhānahu wa Ta’āla bersama kita dengan ilmu-Nya. Dimanapun kita berada Allāh
Subhānahu wa Ta’āla mengetahui keberadaan kita dan Allāh Subhānahu wa Ta’āla
berada di atas Arsy.
ض َﻣـﺎ َﯾـ ُﻛونُ ﻣِـن ﱠﻧ ۡـﺟ َو ٰى َﺛ ٰ َﻠ َﺛ ٍﺔ إِ ﱠﻻ ُھ َـو َر ِاﺑـ ُﻌﮭُمۡ َو َﻻ َﺧ ۡـﻣ َﺳـ ٍﺔ إِ ﱠﻻ ُھ َـو َﺳـﺎ ِدﺳُـﮭُمۡ َو َﻵ أَ ۡد َﻧ ٰـﻰ ۖ ِ ت َو َﻣـﺎ ِﻓـﻲ ۡٱﻷَ ۡر َ أَ َﻟـمۡ َﺗ َـر أَنﱠ ﱠ
ِ َﯾ ۡـﻌ َﻠـ ُم َﻣـﺎ ِﻓـﻲ ٱﻟ ﱠﺳ ٰ َﻣ ٰ َوNٱ
ۚ ۡ ۖ ۡ ٰ
َ ﻣِن َذﻟ َِك َو َﻵ أَﻛ َﺛ َر إِ ﱠﻻ ھ َُو َﻣ َﻌﮭُمۡ أَ ۡﯾ َن َﻣﺎ َﻛﺎ ُﻧو ْا ُﺛ ﱠم ُﯾ َﻧ ﱢﺑ ُﺋﮭُم ِﺑ َﻣﺎ َﻋ ِﻣﻠُو ْا َﯾ ۡو َم ٱﻟ ِﻘ ٰ َﯾ َﻣ ِﺔ إِنﱠ ﱠ
ِﺑ ُﻛ ﱢل َﺷ ۡﻲ ٍء َﻋﻠِﯾ ٌمNٱ
Apakah engkau tidak melihat bagaimana Allāh Subhānahu wa Ta’āla mengetahui apa
yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Tidaklah ada tiga orang yang saling
berbisik-bisik kecuali Allāh yang keempat dan tidak ada lima orang yang saling berbisik-
bisik kecuali Allāh yang keenam dan tidak kurang dari itu atau lebih kecuali Allāh
bersama mereka dimanapun mereka berada.
Berarti ma'iyyah disini adalah ma'iyyah al-ilm (ma'iyyah yang berkaitan dengan ilmu)
Allāh bersama kita dengan ilmu-Nya, dimanapun kita berada. Kita berbisik-bisik,
dengan suara yang dilirihkan, dirahasiakan, ketahuilah bahwasanya Allāh mendengar
yang demikian. Menunjukkan kepada kita bahwasanya ma'iyyah di sini adalah ma'iyyah
ilmiyyah.
"Kemudian Allāh akan mengabarkan kepada mereka dengan apa yang mereka lakukan
di hari kiamat.”
َ إِنﱠ ﱠ
ِﺑ ُﻛ ﱢل َﺷ ۡﻲ ٍء َﻋﻠِﯾ ٌمNٱ
Juga menunjukkan kepada kita tentang ma'iyyah atau sifat maiyyah bagi Allāh
Subhānahu wa Ta’āla dan di sini adalah ma'iyyah yang umum (maksudnya) adalah
kebersamaan Allāh dengan makhluk yaitu dengan ilmu-Nya.
Kemudian setelahnya:
"Dan barang siapa atau Dzat yang demikian keadaannya (mendengar, melihat,
mengetahui, mengurus) maka yang demikian dia bersama makhluknya ( ﺣــــﻘـﯾـﻘـﺔdengan
hakikat).”
"Meskipun Allāh berada di atas mereka, beristiwa' di atas Arsy secara hakikat.”
Jadi istiwa' nya Allāh di atas Arsy adalah hakikat dan kebersamaan Allāh dengan
makhluk-Nya Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Mengetahui, ini juga hakiki
(hakikat) dua-duanya hakikat.
"Tidak ada yang serupa dengan Allāh. Dan Dia-lah Yang Maha Mendengar, lagi Maha
Melihat". [QS Asy-Syura': 11]
Istiwa’nya Allāh, tidak ada yang serupa dengan Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Demikian
pula ma'iyyatullah Subhanahu wa ta’ala, tidak ada yang serupa dengan ma’iyyatullah.
Kalau kita makhluk tidak demikian. Makhluk kalau dia semakin jauh, semakin dia tidak
mengetahui keadaan, ini keadaan kita makhluk. Tetapi kalau Allāh Subhānahu wa
Ta’āla, Dialah yang Maha Tinggi. Tidak ada yang lebih tinggi daripada Allāh meskipun
demikian di waktu yang sama Allāh Subhānahu wa Ta’āla, Dia Maha Mengetahui segala
sesuatu.
Ini Allāh, Dia-lah yang Maha Mampu untuk melakukan segala sesuatu, berbeda dengan
makhluk yang sangat lemah.
Demikianlah yang bisa kita sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini dan in
sya Allāh kita bertemu kembali pada pertemuan yang selanjutnya, pada waktu dan
keadaan yang lebih baik.
•┈┈┈••••○○○••••┈┈┈•
▪🗓 _KAMIS_
| 04 Shafar 1444 H
| 01 September 2022 M
🔈 *Audio ke-59*
📖 _Ma'iyyatullah atau Kebersamaan Allāh Ta'ala Bagian Kedua_
~~~•~~~•~~~•~~~•~~~
ّ ﺑﺳم
ﷲ اﻟرﺣﻣن اﻟرﺣﯾم
ّ اﻟﺳﻼم ﻋﻠﯾﻛم ورﺣﻣﺔ
ﷲ وﺑرﻛﺎﺗﮫ
وﻣن واﻻه، واﻟﺻﻼة واﻟﺳﻼم ﻋﻠﻰ رﺳول ﷲ وﻋﻠﻰ آﻟﮫ و اﺻﺣﺎﺑﮫN اﻟﺣﻣد
Anggota grup whatsapp Dirasah Islamiyyah, yang semoga dimuliakan oleh Allāh.
Kita lanjutkan pembahasan Kitab Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang ditulis oleh
fadhilatul Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah ta'ala.
Beliau mengatakan:
"Dan kami yaitu Ahlus Sunnah tidak berpendapat tidak mengatakan sebagaimana yang
diucapkan oleh Hululiyyah yang diucapkan oleh firqah atau sekte Hululiyyah yang
mengatakan bahwasanya Allāh bersama makhluk-Nya di bumi.”
Hululiyyah dari kalangan Jahmiyyah atau selain mereka, yang mereka meyakini
bahwasanya Allāh bersama makhluk di bumi.
Maka ini adalah bukan ucapan Ahlus Sunnah, kita tidak mengatakan demikian, tetapi
kita katakan sebagaimana yang Allāh katakan di dalam Al-Qur’an, bahwasanya Allāh
beristiwa' di atas Arsy. Dan di dalam ayat yang lain bahwasanya Allāh Maha
Mengetahui segala sesuatu.
Ini keyakinan Ahlus Sunnah, kalau kita kembali kepada dalil selesai masalah.
Masalahnya di sini sebagian orang, mereka tidak mau kembali kepada dalil, mengikuti
hawa nafsunya atau sudah terbiasa dengan taklid tanpa bertanya tentang dalil.
Kalau kita mau kembali kepada dalil dan tulus hati kita untuk mengikuti dalil maka In
sya Allāh, Allāh Subhānahu wa Ta’āla memberikan petunjuk, kalau Allāh mengetahui
dalam hati seseorang kebaikan, Allāh akan memberikan kebaikan.
Jadi kita Ahlus Sunnah tidak meyakini seperti yang diyakini oleh Al-Hululiyyah dari
kalangan Jahmiyyah dan selain mereka, bahwasanya Allāh Subhānahu wa Ta’āla
bersama makhluk-Nya di bumi.
Kemudian yang kedua di dalam bahasa Arab tidak ada bahwasanya istawa ini
maknanya adalah istaula, ini tidak ada. Yang ada seperti yang kita sampaikan,
Adapun istawa dengan makna istaula maka ini tidak ada di dalam bahasa Arab.
Istaula maknanya adalah menguasai setelah sebelumnya tidak berkuasa. Itu namanya
istaula.
Seorang raja misalnya, dia menyerang kerajaan yang lain atau daerah yang lain
kemudian berhasil menguasai daerah tersebut. Kita mengatakan,
Apakah Allāh, kita sifati dengan istaula? Yaitu bahwasanya Allāh sebelumnya tidak
menguasai Arsy, kemudian setelah itu Allāh menguasai Arsy? Maka ini makna yang
bathil, makna yang tidak benar.
Allāh Subhānahu wa Ta’āla berkuasa dari sejak dahulu, bagaimana seseorang ridha
mensifati Allāh dengan istaula? Karena istaula maknanya "sebelumnya tidak berkuasa
kemudian berkuasa”, sedangkan Allāh Subhānahu wa Ta’āla berkuasa dari sejak
dahulu.
Ini makna yang bathil.
Kemudian seandainya seseorang mentakwil dengan istaula maka dia tidak bisa lari dari
tasybih (penyerupaan). Kenapa? Karena beberapa orang mereka mentakwil istawa
menjadi istaula takut untuk menyerupakan Allāh dengan makhluk.
Ketika dia mensifati Allāh dengan istaula, apakah dia bisa terlepas dari tasybih ini?
Jawabannya, tidak. Karena makhluk juga istaula, seperti yang tadi kita sebutkan
seorang raja menguasai kerajaan yang lain maka dia istaula. Berarti makhluk juga
istaula.
Kalau kita mensifati Allāh dengan istaula sesuai dengan kaidah mereka, berarti kita
menyerupakan Allāh dengan makhluk. Sehingga dengan dia mentakwil istawa dengan
istaula ini tidak menyelesaikan masalah.
Kita tetapkan Allāh beristiwa’ sesuai dengan keagungan-Nya tidak sama dengan
istiwanya makhluk. Selesai, ringkas sekali sebenarnya aqidah Ahlus Sunnah wal
Jama'ah.
Demikianlah yang bisa kita sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini dan in
sya Allāh kita bertemu kembali pada pertemuan yang selanjutnya, pada waktu dan
keadaan yang lebih baik.
•┈┈┈••••○○○••••┈┈┈•
▪🗓 _JUM’AT_
| 05 Shafar 1444 H
| 02 September 2022 M
🔈 *Audio ke-60*
📖 _Ma'iyyatullah atau Kebersamaan Allāh Ta'ala Bagian Ketiga_
~~~•~~~•~~~•~~~•~~~
ّ ﺑﺳم
ﷲ اﻟرﺣﻣن اﻟرﺣﯾم
ّ اﻟﺳﻼم ﻋﻠﯾﻛم ورﺣﻣﺔ
ﷲ وﺑرﻛﺎﺗﮫ
وﻣن واﻻه، واﻟﺻﻼة واﻟﺳﻼم ﻋﻠﻰ رﺳول ﷲ وﻋﻠﻰ آﻟﮫ و اﺻﺣﺎﺑﮫN اﻟﺣﻣد
Anggota grup whatsapp Dirasah Islamiyyah, yang semoga dimuliakan oleh Allāh.
Kita lanjutkan pembahasan Kitab Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang ditulis oleh
fadhilatul Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah ta'ala.
Beliau mengatakan:
ﻷﻧﮫ وﺻف ﷲ ﺑﻣﺎ ﻻ ﯾﻠﯾق ﻣن اﻟﻧﻘﺎﺋص،و ﻧرى أن ﻣن ﻗﺎل ذﻟك ﻓﮭو ﻛﺎﻓر أو ﺿﺎل
Dan kami memandang, kami berpendapat yaitu Ahlus Sunnah, bahwasanya orang yang
mengatakan demikian yaitu, “Allāh bersama dengan makhluk-Nya di bumi” maka dia
adalah orang yang kafir.
Apabila terpenuhi syarat-syarat takfir, orang yang mengatakan bahwasanya Allāh ada di
bumi bersama makhluk-Nya, maka bisa menjadi orang yang keluar dari agama Islam.
Baligh, kemudian berakal, tidak dipaksa, tidak mentakwil, dan dia mengingkari tentang
istiwa’ Allāh di atas Arsy, ketinggian Allāh. Kemudian mengatakan bahwasanya Allāh
Subhānahu wa Ta’āla bersama makhluk, bersama manusia, bersama hewan
maksudnya adalah di bumi, bersama hewan, bersama manusia, bersama jin, maka ini
adalah sifat-sifat yang kekurangan bagi Allāh.
Mensifati Allāh dengan sifat kekurangan, maka ini bisa menjadi orang yang keluar dari
agama Islam, apabila terpenuhi syarat-syaratnya.
أو ﺿﺎل
Apabila dia tidak terpenuhi syarat-syarat takfir di sini maka dia bisa menjadi orang yang
sesat.
Jadi ada dua kemungkinan, bisa kafir kalau terpenuhi syarat-syarat takfir dan ini adalah
bukan perkara yang ringan dan para ulama mujtahidun merekalah yang berhak untuk
mengeluarkan hukum ini dan Ahlus Sunnah sangat berhati-hati sekali dengan masalah
takfir ini.
Di sana ada syarat-syarat yang harus terpenuhi dan di sana harus ternafi'kan dari اﻟـﻣواﻧـﻊ
(hal-hal yang menghalangi) atau yang kedua kemungkinan dia adalah orang yang
sesat. Tidak sampai pada kekafiran tetapi adalah orang yang sesat karena,
"Karena dia telah mensifati Allāh dengan sesuatu yang tidak pantas bagi Allāh berupa
ﻧﻘﺎﺋص- sifat-sifat kekurangan.
Karena kita adalah makhluk yang serba kekurangan, kita juga ada kotoran, ada tempat-
tempat yang itu adalah tempat-tempat yang najis, tempat-tempat yang kotor.
Bagaimana kita katakan bahwasanya Allāh bersama makhluk di bumi dengan segala
jenis makhluk yang ada di bumi, ada yang shalih, ada yang tidak shalih, ada yang najis,
ada yang tidak najis, bagaimana kita mensifati Allāh dengan sifat-sifat yang merupakan
sifat yang ﻧﻘﺎﺋص.
Maka seorang mukmin, ﺗﺳﺑﯾﺢ- mensucikan Allāh dari segala sifat kekurangan.
Untuk menutup apa yang kita sampaikan pada kesempatan kali ini perlu kita sampaikan
bahwa ma'iyyatullah ini selain ada di sana ma'iyyah yang ‘āmah (ma'iyyah yang umum)
di sana ada ma'iyyah yang khusus.
Ma'iyyah yang khusus, ini Allāh khususkan bagi orang-orang tertentu saja. Kalau yang
umum tadi seluruhnya, yaitu ilmu Allāh, yang kafir maupun yang mukmin, yang fasiq
maupun yang shalih semuanya Allāh Subhānahu wa Ta’āla bersama mereka dengan
ilmu-Nya.
Tapi di sana ada kebersamaan Allāh yang khusus yaitu kebersamaan Allāh yang di
antara konsekuensinya adalah Allāh menolong mereka, Allāh memudahkan urusan
mereka, dan inilah yang dimaksud dengan kebersamaan yang khusus. Ini Allāh berikan
ﯾن َﻣ َﻊ ٱﻟ ٰ ﱠNٱ
َ ﺻ ِﺑ ِر َ إِنﱠ ﱠ
In sya Allāh, itu penjelasan dari kami berkaitan dengan sifat ma'iyyatullah Subhanahu
wa Ta'ala yang disebutkan oleh pengarang Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin di
dalam kitab ini.
Semoga Allāh Subhānahu wa Ta’āla memberikan kita semuanya kemudahan untuk bisa
memahami agama ini dan memberikan kita istiqomah dan ketetapan hati dalam
mengarungi kehidupan ini khususnya di zaman yang penuh dengan fitnah ini, maka di
antara cara untuk membentengi diri dari fitnah adalah dengan membekali diri kita
dengan ilmu agama khususnya tentang masalah aqidah.
Demikian, wallahu ta'ala a’lam. Dan sampai bertemu kembali pada pertemuan yang
selanjutnya.
اﻟﺗوﻓﯾق و اﻟﮭداﯾﺔNوﺑﺎ
واﻟﺳﻼم ﻋﻠﯾﻛم ورﺣﻣﺔ ﷲ وﺑرﻛﺎﺗﮫ
•┈┈┈••••○○○••••┈┈┈•
▪🗓 _SENIN_
| 08 Shafar 1444 H
| 05 September 2022 M
🔈 *Audio ke-61*
📖 _Allāh Subhānahu wa Ta’āla Turun Ke Langit Dunia (Bagian 1)
~~~•~~~•~~~•~~~•~~~
ّ ﺑﺳم
ﷲ اﻟرﺣﻣن اﻟرﺣﯾم
ّ اﻟﺳﻼم ﻋﻠﯾﻛم ورﺣﻣﺔ
ﷲ وﺑرﻛﺎﺗﮫ
وﻣن واﻻه، واﻟﺻﻼة واﻟﺳﻼم ﻋﻠﻰ رﺳول ﷲ وﻋﻠﻰ آﻟﮫ و اﺻﺣﺎﺑﮫN اﻟﺣﻣد
Anggota grup whatsapp Dirasah Islamiyyah, yang semoga dimuliakan oleh Allāh.
Kita lanjutkan pembahasan Kitab Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang ditulis oleh
fadhilatul Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah ta'ala.
وﻧؤﻣن ﺑﻣﺎ أﺧﺑر ﺑﮫ ﻋﻧﮫ رﺳو ﻟﮫ ﷺ أﻧﮫ ﺑﻧزل ﻛل ﻟﯾﻠﺔ إﻟﻰ اﻟﺳﻣﺎء اﻟدﻧﯾﺎ ﺣﯾن ﯾﺑﻘﻰ ﺛﻠث اﻟﻠﯾل اﻷﺧﯾر
"Dan kami (Ahlus Sunnah wal Jama'ah) beriman (percaya, meyakini, tidak ragu-ragu)
dengan apa yang dikabarkan oleh Rasulullah "ﷺ
Beliau shallallahu 'alayhi wa sallam datang sebagai seorang Rasul, dan di antara yang
beliau bawa adalah kabar-kabar (berita-berita) dari Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Maka
kita sebagai seorang Ahlus Sunnah yang mengaku bersyahadah (bersaksi)
bahwasanya beliau adalah seorang Rasulullah harus meyakini dan percaya dengan
setiap apa yang beliau kabarkan.
Terkadang beliau mengabarkan tentang apa yang akan terjadi di masa yang akan
datang, manusia pada asalnya tidak mengetahui yang demikian. Ini adalah kekhususan
Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Tapi Allāh Subhānahu wa Ta’āla terkadang memberi tahu sebagian dari perkara yang
akan terjadi di masa yang akan datang ini kepada para nabi-Nya. Termasuk di
antaranya yang beliau kabarkan adalah tentang sifat-sifat Allāh.
Maka apabila beliau shallallahu 'alayhi wa sallam mengabarkan tentang sebagian sifat
Allāh Subhānahu wa Ta’āla maka kita harus membenarkan dan wajib bagi kita untuk
membenarkan.
⑴ Beliau adalah manusia yang paling mengenal Allāh Azza wa Jalla, tidak ada manusia
yang lebih mengenal Allāh daripada Rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam.
اﺻدق اﻟﻧﺎس
⑵ Beliau adalah manusia yang paling jujur, tidak pernah beliau berdusta meskipun
hanya sekali.
Oleh karena itu orang-orang Quraisy ketika Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam di awal
dakwahnya mengatakan kepada mereka, "Bagaimana pendapat kalian seandainya aku
mengabarkan kepada kalian bahwasanya ada pasukan yang akan menyerang kalian?".
Dan beliau berada di atas bukit Shafa saat itu.
Seandainya di balik bukit ini ada pasukan yang akan menyerang kalian,
أﻛﻧﺗم ﻣﺻدﻗﻲ؟
Maka orang-orang Quraisy yang mereka sangat mengenal sekali Nabi Muhammad
shallallahu 'alayhi wa sallam, mengenal sekali Muhammad Ibnu Abdillah Ibnu Abdil
Muthalib. Mereka mengatakan dan tidak ada di antara mereka menyelisihi.
Beliau shallallahu 'alayhi wa sallam dikenal sebagai seorang yang al-amin (orang yang
shadiq) اﺻدق اﻟﻧﺎسadalah Rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam.
⑶ Beliau adalah orang yang paling fasih, orang yang bisa mengungkapkan sesuatu
sesuai dengan hakikatnya adalah Nabi Muhammad shallallahu 'alayhi wa sallam.
⑷ Beliau adalah orang yang paling amshah, orang yang paling menginginkan kebaikan
bagi manusia. Hatinya lembut (bersih) tidak menginginkan kejelekan bagi manusia.
Orang yang sangat menginginkan kebaikan bagi manusia, bagi orang yang melihat
sirah beliau, membaca perjalanan hidup beliau maka akan mengetahui yang demikian.
Sehingga terkumpul di dalam ucapan beliau tiga sifat ini atau di dalam diri beliau tiga
sifat ini.
Beliau adalah orang yang paling mengetahui tentang Allāh dan beliau adalah orang
yang paling jujur, tidak dusta di dalam ucapannya dan ucapan beliau adalah ucapan
yang paling jelas yang paling mengungkapkan kenyataan dan beliau adalah orang yang
paling amshah orang yang paling menasehati manusia, orang yang paling bersih
hatinya.
Maka tidak ada ( ﺣـﯾﻠﺔalasan) bagi seseorang untuk menolak kabar dari beliau shallallahu
'alayhi wa sallam. Kalau kabar tersebut datang dari orang yang bodoh meskipun dia
jujur, tidak kita terima. Kita tidak meragukan kejujurannya tetapi karena dia adalah
orang yang jahil dikhawatirkan dia salah berbicara. Maka tidak bisa kita terima kabarnya
begitu saja.
Seandainya dia mengetahui tetapi dia tidak jujur, juga demikian. Pintar tetapi dia
bohong. Dikenal kebohongannya maka tidak bisa kita membenarkan ucapannya.
Dia pintar dan dia adalah orang yang jujur tetapi dia tidak bisa berbicara, tidak fasih di
dalam mengungkapkan sebuah perkara, sehingga terkadang salah-salah di dalam
mengungkapkan. Dia ingin mengungkapkan A (misalnya) tetapi bicaranya B, ini juga
kita tidak bisa membenarkan ucapannya meskipun dia adalah orang yang pandai,
meskipun dia adalah orang yang jujur tetapi yang kita khawatirkan dia salah dalam
berbicara.
Ini di antara sifat yang dikabarkan oleh Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam di dalam
hadits yang shahih. Turun sesuai dengan keagungan-Nya.
• Pertama kita harus tetapkan sebagaimana sifat ini datang dari Nabi shallallahu 'alayhi
wa sallam, maka harus kita tetapkan Allāh Subhānahu wa Ta’āla turun.
• Kedua harus kita yakini bahwasanya turunnya Allāh Subhānahu wa Ta’āla ini sesuai
dengan keagungan-Nya. Tidak sama dengan turunnya makhluk.
Turunnya di sini sesuai dengan keagungan Allāh Subhānahu wa Ta’āla tidak sama
dengan turunnya makhluk.
Makanya yang terpatri dalam diri seorang yang beriman datang kabar dari Nabi
shallallahu 'alayhi wa sallam tentang sifat Allāh dia paham bahwasanya sesuai dengan
keagungan Allāh. Tidak sama dengan turunnya makhluk sehingga jangan dibayangkan
turunnya Allāh sama dengan turunnya makhluk.
Tidak bisa kita bayangkan, tidak boleh kita taqyif, kita bagaimanakan. Oleh karena itu
kalau kita sudah tahu bahwasanya ini sesuai dengan keagungan Allāh, tidak perlu di
sana ada pertanyaan.
Misalnya: "Apakah ketika Allāh turun Arsy ini menjadi kosong atau tidak kosong?"
Atau seperti yang diucapkan oleh sebagian. "Kalau Allāh turun pada sepertiga malam
yang terakhir berarti Allāh turun terus.”
Karena kalau di sini sudah berlalu sepertiga malam yang terakhir nanti daerah yang lain
sepertiga malam juga, daerah yang selanjutnya juga demikian.
Allāh Subhānahu wa Ta’āla turun sebagaimana dikabarkan oleh Nabi shallallahu 'alayhi
wa sallam, tapi turunnya Allāh sesuai dengan keagungan-Nya.
Apa yang tadi dipertanyakan. "Apakah Arsy kosong atau tidak kosong" berarti nanti
Allāh Subhānahu wa Ta’āla terus turun karena sepertiga malam yang terakhir ini
berpindah-pindah.
Ini tidak perlu lagi dipertanyakan karena itu adalah turunnya makhluk. Yang ada di
dalam hadits ini adalah turunnya Allāh Subhānahu wa Ta’āla yaitu sesuai dengan
keagungannya sehingga tidak masalah bagi Ahlus Sunnah.
Mereka menerima kabar dari Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam dan mengatakan
"Sami'na Wa Atho'na" (kami mendengar dan kami taat).
Selama hadits ini adalah shahih dan hadits ini adalah shahih diriwayatkan oleh Bukhari
dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu.
Tidak ada keraguan di dalam diri seorang muslim bahwasanya ini adalah benar dan
beliau shallallahu 'alayhi wa sallam,
"Tidak berbicara dari hawa nafsunya, tidaklah apa yang beliau ucapkan kecuali wahyu
yang diwahyukan kepada beliau shallallahu 'alayhi wa sallam.” [QS An-Najm: 3-4]
Demikianlah yang bisa kita sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini dan in
sya Allāh kita bertemu kembali pada pertemuan yang selanjutnya, pada waktu dan
keadaan yang lebih baik.
•┈┈┈•◈◉◉◈•┈┈┈•
▪🗓 _SELASA_
| 09 Shafar 1444 H
| 06 September 2022 M
🔈 *Audio ke-62*
📖 _Allāh Subhānahu wa Ta’āla Turun Ke Langit Dunia Bagian 2_
~~~•~~~•~~~•~~~•~~~
ّ ﺑﺳم
ﷲ اﻟرﺣﻣن اﻟرﺣﯾم
ّ اﻟﺳﻼم ﻋﻠﯾﻛم ورﺣﻣﺔ
ﷲ وﺑرﻛﺎﺗﮫ
وﻣن واﻻه، واﻟﺻﻼة واﻟﺳﻼم ﻋﻠﻰ رﺳول ﷲ وﻋﻠﻰ آﻟﮫ و اﺻﺣﺎﺑﮫN اﻟﺣﻣد
Anggota grup whatsapp Dirasah Islamiyyah, yang semoga dimuliakan oleh Allāh.
Kita lanjutkan pembahasan Kitab Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang ditulis oleh
fadhilatul Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah ta'ala.
Masih kita pada pasal beriman kepada Allāh. Beliau rahimahullah mengatakan,
"Kelangit dunia.”
Ini yang dimaksud dengan langit dunia adalah langit yang paling dekat, karena langit
ada tujuh dan langit yang paling dekat dengan kita dinamakan dengan اﻟــﺳﻣﺎء اﻟــدﻧــﯾﺎ, ”langit
yang paling dekat”.
Yang dimaksud malam, ini pendapat yang kuat atau yang lebih kuat yang namanya
malam ini dimulai dari waktu maghrib, diakhiri dengan terbitnya fajar, inilah yang
dimaksud dengan malam.
Kalau kita ingin mengetahui sepertiga malam yang terakhir, berarti dihitung dulu dari
maghrib sampai subuh. Maghribnya jam berapa, subuhnya jam berapa. Kemudian kita
hitung berapa jam.
Kalau totalnya adalah misalnya sembilan jam berarti dibagi tiga, tiga jam, tiga jam, tiga
jam. Tiga jam yang terakhir sampai subuh itulah sepertiga malam yang terakhir. Di
situlah Allāh Subhānahu wa Ta’āla turun ke langit dunia sesuai dengan keagungan Allāh
Subhānahu wa Ta’āla.
Kemudian,
: ﻓﯾﻘول
Allāh mengatakan,
ﯾب َﻟ ُﮫ َﻣنْ َﯾﺳْ ﺄَﻟُﻧِﻲ َﻓﺄُﻋْ طِ َﯾ ُﮫ َﻣنْ َﯾﺳْ َﺗ ْﻐ ِﻔ ُرﻧِﻲ َﻓﺄ َ ْﻏﻔ َِر َﻟ ُﮫ
َ َﻣنْ َﯾدْ ُﻋوﻧِﻲ َﻓﺄَﺳْ َﺗ ِﺟ
"Siapa yang berdoa kepada-Ku maka Aku akan mengabulkannya. Siapa yang meminta
kepada-Ku maka Aku akan memberinya, siapa yang memohon ampun kepada-Ku
sehingga Aku akan mengampuni dosanya.”
Allāh akan mengucapkan ucapan ini ketika Allāh Subhānahu wa Ta’āla turun di
sepertiga malam yang terakhir dan ini menunjukkan tentang bahwasanya sepertiga
malam yang terakhir adalah waktu yang mustajab.
Sehingga disunnahkan dan dianjurkan sekali kita bangun di waktu tersebut, ketika
manusia dalam keadaan lelap dengan tidurnya, seseorang berwudhu meninggalkan
kenikmatan sesaatnya.
Di saat itulah Allāh Subhānahu wa Ta’āla turun dan Allāh akan mengucapkan ucapan-
Nya. "Siapa yang meminta kepada-Ku atau berdo'a kepada-Ku kemudian Aku akan
mengabulkan do'anya"
Karena itu saudara dan juga saudari sekalian, siapa di antara kita yang tidak memiliki
hajat, masing-masing kita punya keinginan atau bahkan seorang di antara kita disuruh
menulis keinginannya di sebuah buku tulis misalnya, niscaya di sana akan ada
berlembar-lembar halaman yang isinya adalah keinginan kita, angan-angan kita.
Maka ini kesempatan bagi kita untuk mendapatkan doa yang mustajab. Allāh yang
menjanjikan. Tinggal kita mau bangun, mengangkat kedua tangan kita meminta kepada
Allāh.
Bagi orang yang kesulitan masalah rezeki, bagi orang yang masih belum mendapatkan
jodoh, bagi orang yang sakit, bagi orang yang kesulitan dalam mendidik anak-anaknya,
dan seluruh permasalahan yang dia miliki, bangun di sepertiga malam yang terakhir,
shalat untuk Allāh Subhanahu wa Taala, berdoa kepada Allāh, janji dari Allāh
Subhānahu wa Ta’āla
Ada yang mengatakan perbedaan antara berdoa dengan meminta, kalau berdoa itu
mengatakan misalnya,
اﻟﻠﮭم ارزﻗﻧﻲ
Maka bangun, mintalah kepada Allāh kebaikan dunia dan juga kebaikan akhirat.
Meminta kepada Allāh surga,
ُ َ َ َ
ِ َوأﻋ ُْوذ ِﺑ َك ﻣ َِن اﻟ ﱠﻧ،اَﻟﻠﱠ ُﮭ ﱠم إِ ﱢﻧﻲْ أﺳْ ﺄﻟُ َك ْاﻟ َﺟ ﱠﻧ َﺔ
ﺎر
"Ya Allāh aku meminta kepada-Mu surga dan aku berlindung kepada-Mu dari neraka.”
"Siapa yang memohon ampun kepada-Ku kemudian Aku pun akan mengampuni
dosanya.”
Dan siapa di antara kita yang tidak memiliki dosa. Dosa-dosa kita terlalu banyak. Dosa
yang berkaitan dengan Allāh Subhānahu wa Ta’āla dalam melaksanakan kewajiban, di
sana ada banyak larangan yang kita langgar ataupun dosa yang berkaitan dengan
orang lain, kepada orang tua, kepada keluarga, kepada istri, kepada anak.
Maka ini saatnya waktu yang tepat untuk memohon ampun kepada Allāh. Tentunya
kalau dosa tersebut berkaitan dengan hak orang lain, sebagaimana yang kita ketahui
harus kita mengembalikan hak tersebut. Kalau kita memang pernah menyakiti
kehormatannya maka kita harus meminta maaf, minta untuk dihalalkan. Kalau itu
berupa harta benda maka itu kita harus kembalikan dan seterusnya.
"Siapa yang memohon ampun kepada-Ku maka Aku pun akan mengampuni dosanya.”
Hadits ini shahih diriwayatkan oleh Bukhari dan juga Muslim dari Abu Hurairah
Radhiyallahu ta'ala anhu.
Ada sebagian saudara kita ُ َھــــدَ اھُــــم ﷲ, semoga Allāh Subhānahu wa Ta’āla memberikan
petunjuk kepada mereka dan kita semuanya tentunya, yang mereka menolak sifat Allāh
Subhānahu wa Ta’āla ‘nuzul’ (turun), mereka mengatakan, "Kalau Allāh turun berarti
Allāh Subhānahu wa Ta’āla di bawah"
Kemudian akhirnya mereka mentakwil, dan mengatakan, “Yang turun disini adalah
malaikat, atau yang turun di sini adalah perintah Allāh”.
Kita katakan bahwasanya hadits yang ada ini atau yang datang kepada kita ini
disebutkan di situ yang turun adalah Allāh,
َﯾ ْﻧ ِز ُل َر ﱡﺑ َﻧﺎ
Jelas bahwasanya yang turun di sini adalah Allāh, yang disifati di sini adalah Allāh
Subhānahu wa Ta’āla. Bagaimana seseorang mengatakan yang turun adalah malaikat-
Nya atau perintah Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
َﯾﺳْ َﺗ ْﻐ ِﻔ ُرﻧِﻲ
Yang mengucapkan ucapan ini yang berhak hanya Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Tidak boleh. Doa adalah ibadah, istighfar juga demikian. Apakah perintah Allāh
mengucapkan ucapan ini ? Tidak. Menunjukkan bahwasanya yang mengucapkan
ucapan ini yang turun adalah Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Karena ucapan ini tidak
mungkin mengucapkan ucapan ini kecuali Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Sehingga yang mentakwil nuzul di sini sebagai turunnya malaikat atau perintah Allāh
Subhānahu wa Ta’āla maka ini tidak benar dan bertentangan dengan dalil dan juga
kaidah dan tidak perlu seseorang untuk lari dari tasybih kemudian dia mentakwil.
Sebagaimana yang sering kita ulang-ulang cukup kita meyakini Allāh Subhānahu wa
Ta’āla turun sesuai dengan keagungan-Nya tidak sama dengan turunnya makhluk.
• Kedua adalah kita mengatakan sesuai dengan keagungan Allāh, berarti kita sudah
tidak mentasybih Allāh, kita tidak menyerupakan Allāh dengan makhluk
Demikianlah yang bisa kita sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini, dan in
syaa Allāh kita bertemu kembali pada pertemuan selanjutnya pada waktu dan keadaan
yang lebih baik
•┈┈┈••••○○○••••┈┈┈•
▪🗓 _RABU_
| 10 Shafar 1444 H
| 07 September 2022 M
🔈 *Audio ke-63*
📖 _Allāh Subhānahu wa Ta’āla Datang Pada Hari Kiamat Bagian 1_
~•~•~•~•~•~•~•~•~
ّ ﺑﺳم
ﷲ اﻟرﺣﻣن اﻟرﺣﯾم
ّ اﻟﺳﻼم ﻋﻠﯾﻛم ورﺣﻣﺔ
ﷲ وﺑرﻛﺎﺗﮫ
وﻣن واﻻه، واﻟﺻﻼة واﻟﺳﻼم ﻋﻠﻰ رﺳول ﷲ وﻋﻠﻰ آﻟﮫ و اﺻﺣﺎﺑﮫN اﻟﺣﻣد
Anggota grup whatsapp Dirasah Islamiyyah, yang semoga dimuliakan oleh Allāh.
Kita lanjutkan pembahasan Kitab Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang ditulis oleh
fadhilatul Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah.
Dan kami (Ahlus Sunnah) beriman (percaya, meyakini) bahwasanya Allāh Subhānahu
wa Ta’āla datang pada hari ketika manusia dikembalikan yaitu yaumul qiyamah.
Jin juga demikian dikumpulkan oleh Allāh. Tidak ada di antara mereka yang ketinggalan
seorangpun, bahkan hewan-hewan (binatang-binatang) juga dikumpulkan oleh Allāh.
Demikian pula para malaikat dikumpulkan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla semuanya.
Oleh karena itu, ini adalah perkumpulan yang akbar (perkumpulan yang paling besar),
semuanya kumpul jadi satu (manusia, jin, malaikat, hewan-hewan) semuanya yang kita
tidak mengetahui jumlahnya kecuali Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Kumpul semuanya.
Kemudian datang Allāh Subhānahu wa Ta’āla ﻣــﺎﻟــك اﻟــﻣك- yang merajai seluruhnya, yang
telah menciptakan mereka semuanya, yang telah memberikan mereka kehidupan.
Allāh Subhānahu wa Ta’āla akan datang di hari tersebut untuk memberikan keputusan
di antara manusia yaitu untuk menghisab mereka. Ini keyakinan Ahlus Sunnah wal
Jama'ah.
Jadi dunia bukan terakhir, kehidupan di alam kubur bukan peristirahatan yang terakhir,
di sana ada yaumul ma'ad, di sana ada hari dimana manusia akan dikembalikan
kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Ini keyakinan kita dan in syaa Allāh nanti akan datang pembahasan tentang beriman
dengan hari akhir secara terperinci. In syaa Allāh akan kita bahas ketika syaikh
menyebutkan tentang beriman dengan hari akhir yang merupakan rukun iman yang
ke-6.
Di sini yang akan kita bahas tentang masalah sifat datang bagi Allāh Subhānahu wa
Ta’āla. Allāh akan datang pada hari tersebut. Ini berdasarkan ayat dan juga
berdasarkan hadits di antaranya adalah yang disebutkan oleh pengarang di sini.
"Sekali-kali (tidak kata Allāh Subhānahu wa Ta’āla), apabila bumi digoncangkan dengan
segoncang-goncangnya.” [QS Al-Fajr: 21]
Bumi yang kita tempati ini akan digoncangkan (digetarkan) gempa dengan getar yang
segetar-getarnya (segoncang-goncangnya), sehingga tidak ada di sana gunung, tidak
ada di sana lembah, tidak ada di sana batu, menjadi rata dan ini adalah pendapat
sebagian ulama.
"Pada hari dimana akan diganti bumi selain bumi ini.” [QS Ibrahim: 48]
Ada yang mengatakan akan didatangkan bumi yang lain dan ada yang mengatakan
buminya sama akan tetapi berbeda sifatnya. Sebelumnya (mungkin) ada pohon, ada
gunung, ada lembah, ada berbagai makhluk, bangunan, benda dan seterusnya maka di
hari tersebut akan hilang. Yang ada adalah tempat yang rata tidak ada gunung, tidak
ada lembah, tidak ada tanda bagi manusia.
ﺻ ٗ ّﻔﺎ
َ ﺻ ٗ ّﻔﺎ ُ ﱡك َو ۡٱﻟ َﻣ َﻠ
َ ك َ َو َﺟﺂ َء َرﺑ
Maka harus kita yakini, kita beriman bahwasanya Allāh Subhānahu wa Ta’āla akan
datang pada hari tersebut. Sesuai dengan keagungan Allāh Subhānahu wa Ta’āla, tidak
sama dengan datangnya kita sebagai seorang makhluk.
ﺻ ٗ ّﻔﺎ
َ ﺻ ٗ ّﻔﺎ ُ َو ۡٱﻟ َﻣ َﻠ
َ ك
Allāh Subhānahu wa Ta’āla datang, malaikat juga didatangkan oleh Allāh dan mereka
bershaf-shaf (berbaris). Ada yang mengatakan bahwasanya mereka (malaikat) akan
mengitari manusia dan juga jin yang dikumpulkan (mengelilingi) mereka.
Shaf yang pertama adalah malaikat yang tinggal di langit yang pertama. Kemudian shaf
kedua, dan ini lebih banyak lagi malaikatnya, karena langit yang kedua lebih besar
daripada langit yang pertama, mereka bershaf-shaf. Shaf ketiga adalah malaikat yang
tinggal di langit yang ketiga. Dan seterusnya, sehingga di sana ada 7 shaf.
Mereka mengitari manusia dan juga jin yang dikumpulkan oleh Allāh pada hari tersebut.
Manusia di padang mahsyar dan mereka dalam keadaan takut dalam keadaan mereka
menunggu hari keputusan dan masing-masing mereka mengingat apa yang sudah
mereka kerjakan di dunia. Di antara yang menambah takut mereka adalah didatangkan
Jahannam saat itu.
ﯾؤﺗﻰ ﺑﺟﮭﻧم ﯾوﻣﺋذ ﻟﮭﺎ ﺳﺑﻌون أﻟف زﻣﺎم ﻣﻊ ﻛل زﻣﺎم ﺳﺑﻌون أﻟف ﻣﻠك ﯾﺟروﻧﮭﺎ
"Akan didatangkan pada hari tersebut dengan Jahannam dan dia memiliki 70 ribu tali
kekang (tali yang digunakan untuk menyeret Jahannam).
Jahannam saat itu memiliki 70 ribu tali kekang dan ini adalah jumlah yang banyak.
Kemudian beliau shallallahu 'alayhi wa sallam mengatakan: "Bahwasanya setiap tali
kekang yang jumlahnya 70 ribu dipegang oleh 70 ribu malaikat"
Berarti 70 ribu malaikat memegang satu tali kekang dan jumlah tali kekang Jahannam
saat itu adalah 70 ribu tali kekang. Maka ini adalah jumlah yang sangat banyak sekali,
kurang lebih 4.9 milyar.
Mereka adalah jumlah malaikat yang sangat banyak dan ini menunjukkan kepada kita
tentang;
Padahal malaikat adalah makhluk Allāh yang kuat tapi ternyata Jahannam diseret dan
ini menunjukkan tentang beratnya Jahannam tadi oleh 4.9 milyar malaikat.
Maka manusia saat itu mereka melihat Jahannam tadi dan ini tentunya semakin
menambah ketakutan mereka.
Pada hari tersebut manusia akan mengingat, ingat tentang apa yang dilakukan di dunia.
Tentang kekurangan yang dia lakukan di dunia di dalam mentaati Allāh dan juga Rasul-
Nya. Pada hari tersebut mereka ingat.
ٱﻟذ ۡﻛ َر ٰى
َوأَ ﱠﻧ ٰﻰ َﻟ ُﮫ ﱢ
Kalau ingat (misalnya) di hari tersebut, "Yaa Allāh, kenapa dahulu di dunia tidak
demikian dan demikian”. "Kenapa dahulu tidak mentaati suami”. "Kenapa dahulu di
dunia tidak berbakti kepada kedua orang tua”. "Kenapa dahulu di dunia tidak shalat"
Thayyib. Apakah ada manfaatnya pada hari tersebut? Tidak ! Waktu sudah berlalu
(sudah habis), kita sudah diberikan kesempatan di dunia.
ٱﻟذ ۡﻛ َر ٰى
َوأَ ﱠﻧ ٰﻰ َﻟ ُﮫ ﱢ
Tidak ada faedahnya saat itu mengingat kembali apa yang sudah terjadi di dunia. Ini
menunjukkan bahwasanya yang bermanfaat adalah sekarang ini. Kalau kita ingat
sekarang ini, maka ini akan bermanfaat.
Ingat tentang dosa kita, kemudian kita beristighfar memperbaiki amal shalih
mendekatkan diri kepada Allāh, ini yang bermanfaat. Bertaubat, beristighfar, tapi kalau
sudah di akhirat kemudian seseorang mengingat apa yang dia lakukan di dunia maka
ini sudah tidak ada manfaatnya.
ٱﻟذ ۡﻛ َر ٰى
َوأَ ﱠﻧ ٰﻰ َﻟ ُﮫ ﱢ
Demikianlah yang bisa kita sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini dan in
syaa Allāh kita bertemu kembali pada pertemuan yang selanjutnya, pada waktu dan
keadaan yang lebih baik.
•┈┈┈•◈◉◉◈•┈┈┈•
▪🗓 _KAMIS_
| 11 Shafar 1444 H
| 08 September 2022 M
🔈 *Audio ke-64*
📖 _Allāh Subhānahu wa Ta’āla Datang Pada Hari Kiamat Bagian 2_
~~~•~~~•~~~•~~~
ّ ﺑﺳم
ﷲ اﻟرﺣﻣن اﻟرﺣﯾم
ّ اﻟﺳﻼم ﻋﻠﯾﻛم ورﺣﻣﺔ
ﷲ وﺑرﻛﺎﺗﮫ
وﻣن واﻻه، واﻟﺻﻼة واﻟﺳﻼم ﻋﻠﻰ رﺳول ﷲ وﻋﻠﻰ آﻟﮫ و اﺻﺣﺎﺑﮫN اﻟﺣﻣد
Anggota grup whatsapp Dirasah Islamiyyah, yang semoga dimuliakan oleh Allāh.
Kita lanjutkan pembahasan Kitab Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang ditulis oleh
fadhilatul Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah.
Saya sebutkan di antaranya adalah apa yang Allāh katakan di dalam surat Al-An'am
ayat 158 Allāh mengatakan,
Yaitu orang-orang kafir yang mereka tidak beriman kepada Allāh, tidak beriman kepada
hari akhir, mendustakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Tidaklah mereka
menunggu kecuali kedatangan malaikat yaitu nanti ketika mereka meninggal dunia.
Atau kedatangan Allāh Subhānahu wa Ta’āla,
Yang dimaksud kedatangan Allāh di sini adalah di hari kiamat yaitu untuk memutuskan
di antara manusia.
Dan yang dimaksud adalah terbitnya matahari dari arah Barat. Syahid ayat ini adalah
firman Allāh,
Kemudian juga firman Allāh Subhānahu wa Ta’āla di dalam surat Al-Baqarah ayat 210,
Allāh Subhānahu wa Ta’āla mengatakan,
ٓ
ۚ ظ َﻠ ٍل ﻣ َﱢن ْٱﻟ َﻐ َﻣ ِﺎم َو ْٱﻟ َﻣ ٰ َﻠ ِﺋ َﻛ ُﺔ َوﻗُﺿِ َﻰ ْٱﻷَﻣْ ُر ُون إِ ﱠﻵ أَن َﯾﺄْ ِﺗ َﯾ ُﮭ ُم ﱠ
ُ ُ ﻓِﻰNٱ ُ َھ ْل َﯾ
َ ﻧظر
"Tidaklah mereka menunggu kecuali Allāh Subhānahu wa Ta’āla akan datang kepada
mereka di antara awan”,
ٓ
ھو ْٱﻟ َﻣ ٰ َﻠ ِﺋ َﻛ ُﺔ
َ
Ini juga semakna dengan dua ayat yang kita sebutkan, menunjukan tentang
kedatangan Allāh Subhānahu wa Ta’āla di hari kiamat dan in syaa Allāh perincian
tentang masalah apa yang terjadi di padang mahsyar in syaa Allāh kita akan perjelas
ketika syaikh membahas tentang beriman dengan hari akhir.
Dan apa yang sudah disebutkan in syaa Allāh sudah cukup karena maksud dari apa
yang disampaikan oleh syaikh di paragraf ini.
Maksudnya adalah masalah tentang keimanan kita dan kewajiban kita untuk beriman
bahwasanya Allāh Subhānahu wa Ta’āla akan datang di hari kiamat.
Demikianlah yang bisa kita sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini dan in
syaa Allāh kita bertemu kembali pada pertemuan yang selanjutnya pada waktu dan
keadaan yang lebih baik .
•┈┈┈••••○○○••••┈┈┈•
▪🗓 _JUM’AT_
| 12 Shafar 1444 H
| 09 September 2022 M
🔈 *Audio ke-65*
📖 _Sifat Iradah Allāh Subhānahu wa Ta’āla Bagian Pertama_
~~~•~~~•~~~•~~~•~~~
Alhamdulillah kembali kita dimudahkan oleh Allāh pada kesempatan kali ini untuk
melanjutkan kajian tentang masalah aqidah.
Masih kita membahas kitab yang dikarang oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-
Utsaimin rahimahullah yang berjudul Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah, sebuah kitab
yang ringkas berisi tentang aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang berintikan pada
rukun iman yang 6.
Dan kita masih membahas pada rukun yang pertama yaitu beriman kepada Allāh.
Alhamdulillah pada kesempatan yang lalu kita sudah membaca bersama keterangan
beliau tentang sifat datang dan sifat turun bagi Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Kita lanjutkan pada kesempatan kali ini, in syaa Allāh kita akan bersama membahas
tentang masalah sifat iradah bagi Allāh.
Fa'alun ( )ﻓــــﻌﺎلartinya adalah yang sangat melakukan apa yang dikehendaki. Fa'il ( )ﻓــــﻌل
artinya melakukan.
Pertama | Bahwasanya Allāh Subhānahu wa Ta’āla memiliki sifat iradah, karena Allāh
mengatakan ( ﻓﻌﺎل ﻟﻣﺎ ﯾرﯾدDia-lah yang Maha Melakukan apa yang Dia kehendaki).
Makhluk memiliki kehendak, manusia memiliki iradah, jin juga memiliki iradah, hewan
juga memiliki iradah dan Allāh Subhānahu wa Ta’āla memiliki sifat iradah dan sifat
iradah Allāh adalah sesuai dengan keagungan-Nya, sifat iradah yang sempurna. Tidak
sama dengan sifat iradah yang dimiliki oleh makhluk. Maka jelas ayat ini menunjukkan
kepada kita tentang sifat iradah ini.
Dan di sana ada ayat-ayat yang lain yang cukup banyak yang menunjukkan kepada kita
semua tentang penetapan sifat iradah bagi Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Di dalam ayat yang lain Allāh Subhānahu wa Ta’āla mengatakan (sekedar contoh saja)
sebagian yang Allāh sebutkan di dalam Al-Qur'an di antaranya di dalan surat Al-Kahfi
ayat 39.
ِۚ ُ َﻻ ﻗُوﱠ َة إِ ﱠﻻ ِﺑ ﱠNٱ
Nﭑ ت َﻣﺎ َﺷﺂ َء ﱠ َ َو َﻟ ۡو َﻵ إِ ۡذ دَ َﺧ ۡﻠ
َ ت َﺟ ﱠﻧ َﺗ َك ﻗُ ۡﻠ
Kemudian juga firman Allāh Subhānahu wa Ta’āla di dalam surat Al-Baqarah ayat 253.
ُ ِﯾن ﻣ ِۢن َﺑﻌْ ِدھِم ﻣ ۢﱢن َﺑﻌْ ِد َﻣﺎ َﺟﺂ َء ْﺗ ُﮭ ُم ْٱﻟ َﺑ ﱢﯾ َﻧ ٰـ
ت َو َﻟ ْو َﺷﺂ َء ﱠ
َ ُ َﻣﺎ ٱ ْﻗ َﺗ َﺗ َل ٱﻟﱠذNٱ
"Dan seandainya Allāh menghendaki, niscaya orang-orang yang datang setelah mereka
tidak akan saling berperang satu dengan yang lain.”
َ إِنﱠ ﱠ
َﯾ ۡﺣ ُﻛ ُم َﻣﺎ ﯾ ُِرﯾ ُدNٱ
"Maka barangsiapa yang Allāh kehendaki untuk diberikan hidayah, Allāh Subhānahu wa
Ta’āla akan membuka dadanya untuk menerima agama Islam.” [QS Al-An’am:125]
Ini adalah beberapa ayat yang menunjukkan kepada kita semuanya bahwasanya Allāh
Subhānahu wa Ta’āla memiliki sifat iradah.
Berbeda dengan makhluk, ini bedanya antara kita dengan Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Kalau Allāh Subhānahu wa Ta’āla, maka Allāh Maha Melakukan apa yang Dia
kehendaki.
ُإِ ﱠﻧ َﻣﺂ أَﻣْ ُرهُۥٓ إِ َذآ أَ َرادَ َﺷﯾْـًٔﺎ أَن َﯾﻘُو َل َﻟﮫُۥ ُﻛن َﻓ َﯾ ُﻛون
َ إِنﱠ ﱠ
َﯾ ْﻔ َﻌ ُل َﻣﺎ ﯾ ُِرﯾدNٱ
"Sesungguhnya Allāh melakukan apa yang Dia kehendaki”. [QS Al-Hajj: 14]
Adapun makhluk (kita semua) maka kita adalah makhluk yang ﻣُــــدَ ﺑﱠــــ ٌر- mudabbar. Dan
kehendak kita di bawah kehendak Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Tidak semua yang kita
inginkan bisa kita laksanakan.
Ada di antara kita yang ingin menjadi seorang dokter, tapi tidak sampai dia menjadi
seorang dokter, banyak yang menghalangi (mungkin) dari sisi biaya, kemampuan.
Ada di antara kita yang ingin belajar di Saudi Arabia, dia punya keinginan yang kuat,
semangat yang kuat, sudah melakukan berbagai cara, berbagai sebab namun hanya
sebatas angan-angan atau sebatas keinginan saja. Belum ditakdirkan oleh Allāh (belum
tercapai).
Keadaan kita demikian, kita memiliki iradah tetapi tidak semua apa yang kita kehendaki
(semua yang kita inginkan) kemudian bisa kita laksanakan (bisa kita capai).
Ini menunjukkan kepada kita bedanya iradah Allāh dengan iradah makhluk.
Akhirnya kita sampai pada akhir dari pertemuan kali ini. Kita berdo'a kepada Allāh
Subhānahu wa Ta’āla, semoga Allāh Subhānahu wa Ta’āla memberikan hidayah
kepada kita semuanya dan menjaga hati kita, menetapkan kita di atas agama Islam
sampai kita bertemu dengan Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
•┈┈┈•◈◉◉◈•┈┈┈•
▪🗓 _SENIN_
| 15 Shafar 1444 H
| 12 September 2022 M
🔈 *Audio ke-66*
📖 _Sifat Iradah Allāh Subhānahu wa Ta’āla Bagian Kedua: Iradah Kauniyah_
~~~•~~~•~~~•~~~•~~~
Alhamdulillah kembali kita dimudahkan oleh Allāh pada kesempatan kali ini untuk
melanjutkan kajian tentang masalah aqidah.
Masih kita membahas kitab yang dikarang oleh syaikh Muhammad bin Shalih Al-
Utsaimin rahimahullah yang berjudul Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah.
Dan kita (Ahlus Sunnah) beriman bahwasanya kehendak (iradah) Allāh Ta'ala ada 2
(dua) jenis:
Apakah di sana ada Qur'an atau Hadits yang menyebutkan iradah ada 2 (dua)?
Tentunya tidak! Para ulama menyimpulkan yang demikian dari istiqra' yaitu membaca
secara keseluruhan, meneliti secara keseluruhan dalil-dalil yang ada di dalam Al-Qur'an
dan Hadits, kemudian mereka menyimpulkan (menemukan) bahwasanya iradah Allāh
ada 2 (dua) jenis.
Dan ini banyak dilakukan oleh para ulama dari berbagai cabang ilmu, mereka membuat
taqsimat (pembagian-pembagian seperti ini) berdasarkan penelitian secara menyeluruh.
Dan ini sangat bermanfaat sekali ketika seseorang bisa mengetahui sesuatu terbagi
menjadi sekian, jenis yang pertama adalah demikian, jenis yang kedua maknanya
demikian (ini sangat bermanfaat sekali).
Dengannya kita bisa memahami banyak perkara, terkadang sesatnya seseorang atau
sebuah aliran disebabkan karena dia tidak mengetahui pembagian dari sesuatu.
Sehingga menganggap semuanya sama, kemudian dihukumi sama rata.
Padahal di situ ada beberapa jenis, oleh karena itu perlu seseorang khususnya para
penuntut ilmu untuk memperhatikan masalah ini (yaitu) adanya pembagian-pembagian.
Di sini beliau mengatakan: ”Kita beriman bahwasanya iradah Allāh terbagi menjadi
dua”.
Iradah kauniyyah ini apa yang diinginkan oleh Allāh terjadi ()ﯾﻘﻊ ﺑﮭﺎ.
Dan tidak lazim (tidak harus) apa yang terjadi itu dicintai oleh Allāh.
Terkadang dicintai oleh Allāh, dikendaki oleh Allāh dan dicintai oleh Allāh Subhānahu wa
Ta’āla. Dan terkadang dikehendaki oleh Allāh terjadi, tetapi dia tidak dicintai oleh Allāh
Subhānahu wa Ta’āla.
Misalnya:
√ Allāh Subhānahu wa Ta’āla menciptakan ketaatan dan juga maksiat (ini adalah iradah
kauniyyah).
√ Allāh menciptakan orang yang beriman dengan orang yang kafir (terjadi dengan
iradah kauniyyah).
Allāh menghendaki di sana adanya maksiat dan maksiat tidak dicintai oleh Allāh dan
terjadi dengan kehendak Allāh.
Misalnya orang yang minum khamr, orang yang berzinah, orang yang melakukan riba.
Mereka melakukan itu dan semua itu dengan kehendak Allāh (masuk dalam kehendak
Allāh) dan tidak mungkin terjadi di dunia ini sesuatu yang keluar dari kehendak Allāh
(semua dengan kehendak Allāh).
Demikian pula orang yang taat, terjadi dengan iradah kauniyyah Allāh Subhānahu wa
Ta’āla ditambah nanti akan disebutkan, plus iradah syar'iyyah juga. Tergabung dua
iradah ini pada diri seorang yang beriman. Secara kauniyyah (dikehendaki oleh Allāh),
secara syar'iyyah diinginkan oleh Allāh menjadi orang yang bertakwa (beriman).
Jadi iradah kauniyyah yang ingin kita sampaikan ini tidak melazimkan dia dicintai
oleh Allāh.
Allāh Subhānahu wa Ta’āla menciptakan maksiat dan Allāh tidak cinta dengan
kemaksiatan, dan Allāh Subhānahu wa Ta’āla menciptakan orang kafir dan Allāh tidak
cinta dengan orang kafir.
Allāh menciptakan di sana ada orang yang zhalim dan Allāh tidak cinta dengan orang
yang zhalim.
Jadi di sana ada al-masyi'ah, di sana ada iradah kauniyyah (ini sama maknanya). Kalau
digunakan di dalam Al-Qur'an “al-masyi'ah” maka yang dimaksud adalah iradah
kauniyyah.
Di sini beliau mengatakan, mendatangkan firman Allāh, ( ﻛـﻘوﻟـﮫseperti firman Allāh) َو َﻟ ْـو َﺷـﺂ َء
( ﱠseandainya Allāh menghendaki) niscaya mereka tidak saling berperang.
ُNٱ
َ َو َﻟ ٰـﻛِنﱠ ﱠ
َﯾ ْﻔ َﻌ ُل َﻣﺎ ﯾ ُِرﯾ ُدNٱ
"Akan tetapi Allāh Subhānahu wa Ta’āla melakukan apa yang Dia kehendaki.”
Yaitu iradah kauniyyah, ini menunjukkan tentang iradah kauniyyah bagi Allāh
Subhānahu wa Ta’āla.
Sebagian mengatakan, Allāh tidak mencintai adanya ( ٱ ْﻗـ َﺗ َﺗ ُلsaling berperang satu dengan
yang lain) tetapi kenapa di sini dikehendaki oleh Allāh?
Kehendak di sini adalah kehendak kauniyyah, bukan kehendak syar'iyyah. ُ َﻣـــﺎNٱ ـــو َﺷـــﺂ َء ﱠ
ْ َو َﻟ
۟( ٱ ْﻗــــ َﺗ َﺗﻠُواseandainya Allāh menghendaki niscaya mereka tidak akan saling berperang satu
dengan yang lain).
Masyi'ah di sini adalah iradah kauniyyah dan iradah kauniyyah tidak harus sesuatu
yang dicintai oleh Allāh Azza wa Jalla.
Akhirnya kita sampai pada akhir dari pertemuan kali ini. Kita berdo'a kepada Allāh
Subhānahu wa Ta’āla, semoga Allāh Subhānahu wa Ta’āla memberikan hidayah
kepada kita semuanya, dan menjaga hati kita, menetapkan kita di atas agama Islam
sampai kita bertemu dengan Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
•┈┈┈•◈◉◉◈•┈┈┈•
▪🗓 _SELASA_
| 16 Shafar 1444 H
| 13 September 2022 M
🔈 *Audio ke-67*
📖 _Sifat Iradah Allāh Subhānahu wa Ta’āla Bagian Ketiga: Iradah Syar'iyyah_
~~~•~~~•~~~•~~~•~~~
Alhamdulillah kembali kita dimudahkan oleh Allāh pada kesempatan kali ini untuk
melanjutkan kajian tentang masalah aqidah.
Masih kita membahas kitab yang dikarang oleh syaikh Muhammad bin Shalih Al-
Utsaimin rahimahullah yang berjudul Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah.
⑵ Iradah Syar'iyyah
Iradah yang berkaitan dengan syari'at, maka iradah yang seperti ini tidak melazimkan
(tidak mengharuskan) terjadi apa yang dikehendaki oleh Allāh.
Allāh turunkan Al-Qur'an, Allāh turunkan kitab-kitab sebelumnya, Allāh utus para rasul.
Allāh ingin supaya manusia beriman, supaya manusia menjadi orang-orang yang taat,
dengan demikian mereka mendapatkan keberuntungan di dunia dan juga di akhirat.
Apakah apa yang Allāh inginkan dengan menurunkan syari'at mengutus para rasul tadi
terjadi? Jawabannya "tidak!" atau “tidak semuanya” terjadi.
"Ada di antara mereka yang beriman dan ada di antara mereka yang kafir.” [QS Al-
Baqarah: 253]
Beriman sesuai dengan yang dikehendaki Allāh dan ada di antara mereka yang kafir,
tidak beriman dengan rasul yang diutus kepada mereka, tidak beriman dengan Al-
Qur'an, tidak beriman dengan hari akhir. Padahal Allāh Subhānahu wa Ta’āla
menginginkan dengan syari'at tadi supaya mereka beriman. Menunjukkan bahwasanya
iradah syar'iyyah ini tidak harus terjadi.
Maka kita harus bedakan antara iradah syar'iyyah dengan iradah kauniyyah. Klauniyyah
pasti terjadi, adapun syar'iyyah belum tentu terjadi.
"Dan tidaklah apa yang diinginkan oleh Allāh dengan iradah syar'iyyah ini kecuali
sesuatu yang dicintai oleh Allāh.”
Allāh Subhānahu wa Ta’āla memiliki iradah syar'iyyah dan tidaklah apa yang diinginkan
oleh Allāh dengan iradah syar'iyyah ini kecuali sesuatu yang dicintai oleh Allāh.
Allāh Subhānahu wa Ta’āla memiliki iradah syar'iyyah; mencintai yang namanya shalat,
puasa, ibadah, haji, berbuat baik kepada orang lain. Ini adalah sesuatu yang dicintai
oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Ada di antara manusia yang segera dia bertaubat kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla
setelah berdosa, setelah lalai dengan Allāh, lupa dengan Allāh, setelah menjauh dari
Allāh. Tapi ada di antara manusia yang dalam keadaan terus melakukan dosa dan
maksiat, padahal Allāh Subhānahu wa Ta’āla ingin memberikan ampunan kepada
mereka. Menunjukkan bahwasanya iradah di sini adalah iradah syar'iyyah.
Yang disebutkan oleh syaikh di sini hanya sekedar contoh saja, sementara di sana
banyak lagi dalil-dalil yang menunjukkan bahwasanya Allāh Subhānahu wa Ta’āla
memiliki iradah syar'iyyah yang intinya adalah mahabbah yaitu kecintaan Allāh supaya
makhluk itu melakukan apa yang diinginkan oleh Allāh.
Contoh yang lain dari ayat yang menunjukkan tentang iradah syar'iyyah adalah firman
Allāh:
ﯾ ُِرﯾ ُد ﱠ
ُ ِﺑ ُﻛ ُم ْٱﻟﯾُﺳْ َر َو َﻻ ﯾ ُِرﯾ ُد ِﺑ ُﻛ ُم ْٱﻟﻌُﺳْ َرNٱ
"Allāh Subhānahu wa Ta’āla ingin memudahkan kalian dan tidak menginginkan untuk
menyulitkan kalian.” [QS Al-Baqarah:185]
Akhirnya kita sampai pada akhir dari pertemuan kali ini. Kita berdo'a kepada Allāh
Subhānahu wa Ta’āla, semoga Allāh Subhānahu wa Ta’āla memberikan hidayah
kepada kita semuanya dan menjaga hati kita, menetapkan kita di atas agama Islam
sampai kita bertemu dengan Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
•┈┈┈•◈◉◉◈•┈┈┈•
▪🗓 _RABU_
| 17 Shafar 1444 H
| 14 September 2022 M
🔈 *Audio ke-68*
📖 _Sifat Iradah Allāh Subhānahu wa Ta’āla Bag 04: Iradah Kauniyyah dan Syari'yyah
Mengikuti Hikmah Allāh Ta'alaa_
~~~•~~~•~~~•~~~•~~~
Alhamdulillah kembali kita dimudahkan oleh Allāh pada kesempatan kali ini untuk
melanjutkan kajian tentang masalah aqidah.
Masih kita membahas kitab yang dikarang oleh syaikh Muhammad bin Shalih Al-
Utsaimin rahimahullah, yang berjudul Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah.
Dan kita (Ahlus Sunnah) beriman bahwasanya apa yang dikehendaki oleh Allāh
Subhānahu wa Ta’āla, baik yang kauniyyah maupun yang syar’iyyah, baik iradah
kauniyyah maupun iradah syar’iyyah, keduanya
ﺗﺎﺑﻊ ﻟﺣﻛﻣﺗﮫ
Adapun makhluk maka mereka tidak demikian, dan Allāh Subhānahu wa Ta’āla
memberikan syari'at sesuai dengan apa yang Dia kehendaki, mensyariatkan sesuai
dengan apa yang Dia kehendaki, namun kita beriman dan kita yakini bahwasanya apa
yang Allāh kehendaki, baik yang kauniyyah maupun yang syar’iyyah itu, mengikuti
hikmah Allāh.
Di antara sifat Allāh adalah memiliki hikmah. Allāh Subhānahu wa Ta’āla mengatakan,
” وﷲ َﻋﻠِﯾم َﺣﻛِﯾمDan Allāh itu Maha Mengetahui dan Maha bijaksana.”
َ إِنﱠ ﱠ
َ َﻛNٱ
ﺎن َﻋﻠِﯾﻣًﺎ َﺣﻛِﯾﻣًﺎ
"Sesungguhnya Allāh Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana" [QS Al Insan: 30]
Artinya hikmah adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya. Tidak zhalim, tetapi
menempatkan sesuatu pada tempatnya. Jadi, meskipun Allāh Subhānahu wa Ta’āla
Maha Melakukan apa yang Dia kehendaki tapi apa yang Allāh kehendaki sesuai dengan
hikmah.
Jadi ini berbeda dengan manusia. Kalau kita dikatakan kepada salah seorang diantara
kita, "kerjakan apa yang engkau inginkan, mintalah apa yang engkau inginkan".
Ketika mendengar ucapan ini, maka terkadang sebagian dari kita atau bahkan sebagian
besar dari kita, kemudian menyampaikan apa yang dia inginkan tetapi tanpa hikmah.
Menyebutkan apa yang diinginkan tetapi tanpa hikmah. Itu keadaan kita.
Demikian pula di dalam syariat, Allāh Subhānahu wa Ta’āla mensyariatkan shalat lima
waktu, subuh dua rakaat, dhuhur empat rakaat, ashar empat rakaat, kenapa sujudnya
dua kali, ruku'nya satu kali, itu semua adalah dengan hikmah. Jangan kita mengira Allāh
Subhānahu wa Ta’āla mensyariatkan itu semua tanpa ada hikmah dan kosong dari
tujuan. Pasti itu semuanya ada hikmah.
َ إِنﱠ ﱠ
َ َﻛNٱ
ﺎن َﻋﻠِﯾﻣًﺎ َﺣﻛِﯾﻣًﺎ
"Allāh itu Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.” [QS Al Insan: 30]
Semuanya ada hikmahnya, baik dalam hal yang berkaitan dengan iradah kauniyyah
maupun dengan iradah syar’iyyah. Cuma apakah semua hikmah itu kita ketahui ?
Jawabannya tidak, karena akal kita terlalu pendek, akal kita terlalu kurang, untuk bisa
memahami hikmah Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Tapi kita sebagai orang yang beriman, yakin seyakin-yakinnya bahwasanya Allāh
Subhānahu wa Ta’āla adalah Maha Bijaksana di dalam seluruh perkaranya, iradah
syar’iyyah maupun iradah kauniyyah.
Menunjukkan bahwasanya, apa yang Allāh ciptakan di dunia ini semuanya dengan
hikmah. Allāh tidak menciptakan sekecil apapun ً ( َﻋــــ َﺑـﺛـﺎsia-sia), termasuk makhluk yang
ada disekitar kita yang kita tidak melihatnya atau apa yang ada di dalam tubuh kita yang
dia berjalan kita tidak mengetahui dan tidak merasakan jalannya dia. Itu Allāh ciptakan
dengan hikmah, pasti! Tidak Allāh ciptakan begitu saja tanpa adanya hikmah.
"Dan tidaklah Kami menciptakan langit dan juga bumi dan apa yang ada di antara
keduanya dalam keadaan bermain-main.” [QS Anbiya: 16]
Awan yang berjalan, kenapa hari ini berjalannya pelan, kenapa besok dia cepat, kenapa
mendung berada di atas daerah A kenapa tidak di daerah B. Semuanya dengan hikmah
dari Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Inilah yang harus kita pahami.
Kalau kita bisa memahami yang demikian, maka In syaa Allāh, bi idznillah akan
menjadikan kita semangat untuk taat kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla dan
meninggalkan kemaksiatan. Seseorang melakukan ketaatan kepada Allāh, melakukan
shalat, berpuasa, berzakat, berhaji dan yakin bahwasanya di balik itu semua ada
hikmah yang dalam.
Demikian pula semangat untuk meninggalkan berbagai macam dosa dan juga
kemaksiatan. Yakin bahwasanya Allāh ketika mengharamkan sesuatu pasti di situ ada
kejelekan dan juga mudharat bagi manusia. Kenapa Allāh mengharamkan zina, kenapa
Allāh mengharamkan riba, kenapa Allāh mengharamkan minuman keras, pasti di sana
ada mudharat.
Zina misalnya, betapa banyak penyakit-penyakit kelamin yang ditimbulkan oleh zina,
homosex. Kemudian juga riba, apa akibatnya bagi manusia, bagi masyarakat. Minum
minuman keras juga demikian.
Banyak orang yang justru menambah keresahan dia, kemudian membawa dia untuk
melakukan kemaksiatan yang lain, karena dari minum minuman keras ini, kemudian dia
akhirnya berzina, bahkan menghalalkan zina, nauzubillah min zalik, atau berzina
dengan keluarganya , kemudian diiringi dengan pembunuhan dan seterusnya.
Maka ketahuilah, bahwasanya di dalam syari'at Allāh maupun apa yang Allāh takdirkan
di alam semesta ini, pasti di sana ada hikmah yang dalam.
Akhirnya kita sampai pada akhir dari pertemuan kali ini. Kita berdo'a kepada Allāh
Subhānahu wa Ta’āla, semoga Allāh Subhānahu wa Ta’āla memberikan hidayah
kepada kita semuanya dan menjaga hati kita, menetapkan kita di atas agama Islam
sampai kita bertemu dengan Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
•┈┈┈•◈◉◉◈•┈┈┈•
▪🗓 _KAMIS_
| 18 Shafar 1444 H
| 15 September 2022 M
🔈 *Audio ke-69*
📖 _Sifat Iradah Allāh Subhānahu wa Ta’āla Bagian Kelima: Iradah Kauniyyah dan
Syari'yyah Mengikuti Hikmah Allāh Subhānahu wa Ta’āla_
~~~•~~~•~~~•~~~•~~~
Alhamdulillah kembali kita dimudahkan oleh Allāh pada kesempatan kali ini untuk
melanjutkan kajian tentang masalah aqidah.
Masih kita membahas kitab yang dikarang oleh syaikh Muhammad bin Shalih Al-
Utsaimin rahimahullah yang berjudul Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah.
Maka seluruh apa yang Allāh takdirkan di alam semesta ini atau apa yang digunakan
oleh para makhluk untuk beribadah kepada Allāh, maka sesungguhnya semua itu ada
hikmahnya. Baik syariat maupun apa yang Allāh takdirkan, pasti di sana ada
hikmahnya.
:وﻋﻠﻰ وﻓق اﻟﺣﻛﻣﺔ ﺳواء ﻋﻠﻣﻧﺎ ﻣﻧﮭﺎ ﻣﺎﻧﻌﻠم أو ﺗﻘﺎﺻرت ﻋﻘو ﻟﻧﺎ ﻋن ذﻟك
Dan sesuai dengan hikmah, itu adalah untuk hikmah tujuan tertentu dan dia sesuai
dengan hikmah bukan sebuah kedzaliman.
Syariat Allāh tidak ada di dalamnya kedzaliman. Dan apa yang Allāh lakukan di alam
semesta ini, apa yang Allāh takdirkan tidak ada di dalamnya kedzaliman. Yang ada
hanyalah keutamaan dari Allāh dan juga ada keadilan dari Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Adapun yang ketiga kedzaliman, maka ini tidak mungkin terjadi di dalam syariat Allāh
dan tidak mungkin terjadi di alam semesta ini. Dalam ayat Allāh Subhānahu wa Ta’āla
mengatakan,
"Sesungguhnya Allāh tidak akan mendzalimi meskipun hanya sebesar dzaroh.” [QS An
Nisa: 40]
Yang dimaksud dengan dzaroh adalah semut yang kecil. Demikian pula Allāh
Subhānahu wa Ta’āla mengatakan,
ُ ُ ﯾُرﯾ ُدNٱ
َ ظ ْﻠﻣًﺎ ﻟﱢ ْﻠ َﻌ ٰـ َﻠﻣ
ِﯾن ِ َو َﻣﺎ ﱠ
"Dan tidaklah Allāh menginginkan untuk mendzalimi manusia (untuk mendzalimi alam
semesta).” [QS Ali-Imran: 108]
ت ﱡ
اﻟظ ْﻠ َم َﻋ َﻠﻰ َﻧ ْﻔﺳِ ﻰ َو َﺟ َﻌ ْﻠ ُﺗ ُﮫ َﺑ ْﯾ َﻧ ُﻛ ْم ﻣ َُﺣرﱠ ﻣًﺎ َﻓﻼَ َﺗ َظﺎ َﻟﻣُوا ُ َْﯾﺎ ﻋِ َﺑﺎدِى إِ ﱢﻧﻰ َﺣرﱠ ﻣ
Berarti di sini kita mengetahui Allāh Subhānahu wa Ta’āla adalah hakim yang Maha
Bijaksana, baik di dalam yang Allāh takdirkan maupun yang Allāh syariatkan.
Sama saja apakah hikmah tadi kita ketahui atau akal kita ini terlalu pendek untuk bisa
memahami hikmah tadi.
Jadi terkadang hikmah yang ada dalam syariat atau yang ada dalam apa yang Allāh
takdirkan itu ( ﻣــــﻌـﻠـومsesuatu yang kita ketahui dengan mudah), tapi pada kesempatan
yang lain kita tidak mengetahuinya. Maka ini semua adalah karena akal kita yang
lemah.
Jangankan memahami masalah hikmah. Ada perkara yang dia ada di dalam jasad kita
dan sangat dekat dengan kita, tapi kita tidak mengetahuinya karena akal kita yang
terlalu lemah. Nyawa atau ruh misalnya.
Sesuatu yang sangat dekat dengan kita, kita tidak mengetahui hakekatnya. Allāh
Subhānahu wa Ta’āla, Dialah saja yang mengetahui tentang hakekat dari ruh ini
Dan tidaklah kalian diberikan dari ilmu ini kecuali sangat sedikit saja.
Di samping itu, orang yang memahami bahwasanya di setiap perkara pasti ada
hikmahnya, ketika dia mendapatkan musibah misalnya, maka dia yakin bahwasanya
musibah yang menimpa dia pasti ada hikmahnya. Kehilangan anak atau kehilangan
harta, atau tabrakan misalnya, laqadarullah, atau musibah-musibah yang lain yang
menimpa baik kehormatan seseorang, harta seseorang, maupun fisik seseorang.
Ketika seseorang kembali pada dalil dan bahwasanya Allāh Subhānahu wa Ta’āla maka
Allāh Maha bijaksana maka akan timbul di dalam hatinya apa? Ketenangan. Yakin
bahwa di balik musibah ada hikmahnya
Seseorang yang dia sudah habis masa kontraknya, yaitu kontrak rumahnya. Padahal
dia memiliki keluarga yang banyak. Akhirnya ia berusaha untuk mencari rumah
kontrakan yang lain, berusaha dan kesulitan untuk mendapatkan rumah kontrakan yang
sesuai dengan apa yang dia miliki, sesuai dengan kemampuan dia, sesuai dengan sifat
yang dia inginkan.
dan sudah hampir dia dan juga keluarganya mau menempati rumah tersebut. Tapi
ternyata yang memiliki rumah tadi membatalkan perjanjian.
Antum bisa bayangkan bagaimana perasaan seorang bapak tadi, seorang kepala
rumah tangga yang dia bertanggung jawab dan dia sudah senang dan juga
keluarganya, akan pindah ke rumah yang baru, setelah bersusah payah untuk
mendapatkan rumah tadi, ternyata dibatalkan. Terpaksalah dia mencari rumah yang
lain, yang mungkin tidak sesuai dengan keinginan dia.
Beberapa hari setelah itu dia mendengar atau sampai kepadanya kabar bahwasanya
rumah yang hampir saja mereka sewa tadi roboh. Barulah di situ dia memuji Allāh
Subhānahu wa Ta’āla setelah sebelumnya mungkin ada di dalam hatinya sebuah
perasaan, di dalamnya seakan akan tidak ridho dengan takdir Allāh Subhānahu wa
Ta’āla, atau menunjukkan perasaan tidak sabar.
Setelah itu dia baru bisa memahami, ternyata di dalam musibah tadi ada hikmahnya.
Kenapa dia dibatalkan perjanjiannya, ternyata Allāh Subhānahu wa Ta’āla
menyelamatkan dia dan juga keluarganya dari musibah yang lebih besar.
Demikian seorang yang beriman harusnya dia berpikir ketika dia mendapatkan musibah
(musibah apa saja) dia yakin bahwasanya dibalik musibah itu pasti di sana ada hikmah.
Akhirnya kita sampai pada akhir dari pertemuan kali ini. Kita berdo'a kepada Allāh
Subhānahu wa Ta’āla, semoga Allāh Subhānahu wa Ta’āla memberikan hidayah
kepada kita semuanya dan menjaga hati kita, menetapkan kita di atas agama Islam
sampai kita bertemu dengan Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
•┈┈┈•◈◉◉◈•┈┈┈•
▪🗓 _JUM’AT_
| 19 Shafar 1444 H
| 16 September 2022 M
🔈 *Audio ke-70*
📖 _Iradah Allāh Subhānahu wa Ta’āla Bagian Keenam: Iradah Kauniyyah dan
Syari'yyah Mengikuti Hikmah Allāh Subhānahu wa Ta’āla_
~~~•~~~•~~~•~~~•~~~
Alhamdulillah kembali kita dimudahkan oleh Allāh pada kesempatan kali ini untuk
melanjutkan kajian tentang masalah aqidah.
Masih kita membahas kitab yang dikarang oleh syaikh Muhammad bin Shalih Al-
Utsaimin rahimahullah yang berjudul Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah.
Masuk di dalamnya adalah bijaksana di dalam syariat dan bijaksana dalam masalah
takdir. Dan Allāh Subhānahu wa Ta’āla mengatakan,
"Dan siapakah yang lebih baik (hukumnya) daripada Allāh? Bagi orang-orang yang
yakin.” [QS Al Maidah: 50]
Orang yang yakin, orang yang beriman, maka dia akan mengatakan bahwasanya
hukum Allāh adalah hukum yang paling baik, karena hukum Allāh berdasarkan ilmu,
berdasarkan kebijaksanaan, bukan berdasarkan hawa nafsu, bukan karena dipaksa
oleh yang lain.
"Dan siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allāh? Bagi orang-orang yang
yakin.”
Ini adalah apa yang disebutkan oleh syaikh tentang masalah sifat iradah bagi Allāh
Subhānahu wa Ta’āla.
Pembahasan Iradah ini juga akan dibahas ketika kita membahas tentang masalah
beriman kepada takdir. Tentang masalah iradah juga akan dibahas nanti ketika kita
membahas tentang rukun iman yang terakhir yaitu beriman kepada takdir Allāh
Subhānahu wa Ta’āla.
Dibahas dalam iman kepada Allāh karena berkaitan dengan sifat iradah. Sifat iradah
adalah di antara sifat sifat Allāh yang harus kita tetapkan bagi Allāh Subhānahu wa
Ta’āla.
Di akhir pertemuan ini kita akan memberikan kesimpulan dan juga ringkasan.
1. Bahwasanya di antara sifat Allāh Subhānahu wa Ta’āla adalah sifat iradah yaitu sifat
berkehendak, sifat berkeinginan. Sesuai dengan keagungan Allāh Subhānahu wa
Ta’āla. Tidak sama dengan iradah yang dimiliki oleh makhluk.
"Tidak ada yang serupa dengan Allāh Subhānahu wa Ta’āla.” [QS Asy Syuura: 11]
3. Bahwasanya di dalam sesuatu yang diinginkan oleh Allāh, baik dengan Iradah
Kauniyyah maupun Iradah Syar'iyyah pasti di situ mengikuti hikmah Allāh Subhānahu
wa Ta’āla. Tidak mungkin keluar dari hikmah Allāh baik dari segi syari'atnya maupun di
dalam apa yang Allāh takdirkan.
4. Tidak semua hikmah tadi diketahui oleh manusia. Ada di antara hikmah yang
diketahui oleh manusia dan ada di antaranya tidak diketahui oleh manusia, dan
kewajiban kita adalah beriman kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla, bahwasanya Allāh
Subhānahu wa Ta’āla melakukan apa yang dikehendaki dan apa yang dikehendaki oleh
Allāh pasti di sana ada hikmahnya.
Akhirnya kita sampai pada akhir dari pertemuan kali ini. Kita berdo'a kepada Allāh
Subhānahu wa Ta’āla, semoga Allāh Subhānahu wa Ta’āla memberikan hidayah
kepada kita semuanya dan menjaga hati kita, menetapkan kita di atas agama Islam
sampai kita bertemu dengan Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
•┈┈┈•◈◉◉◈•┈┈┈•
Konfirmasi Donasi:
wa.me/62838-0600-0003