Anda di halaman 1dari 81

PELAKSANAAN PERJANJIAN PEMBANGUNAN JALAN

PEMBUATAN KANAL AIR, DAN PEMBAGIAN TANAH


KEPADA ANGGOTA KELOMPOK TANI ADAT
KARYA HAMPAPAK/MARANG DI
KOTA PALANGKA RAYA

OLEH

NAMA : LOREN T
NIM : EAA 117 160

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET DAN


TEKNOLOGI UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
FAKULTAS HUKUM
2022
PERNYATAAN ORISINALITAS
Saya yang bertanda tangan di bawah ini

Nama : LOREN T

NIM : EAA 117 160

Tempat/Tanggal Lahir : Tumbang Mirah / 11 Oktober 1999

Bidang Kekhususan : Perdata

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Skripsi saya yang berjudul:

“PELAKSANAAN PERJANJIAN PEMBANGUNAN JALAN, PEMBUATAN

KANAL AIR DAN PEMBAGIAN TANAH KEPADA ANGGOTA

KELOMPOK TANI ADAT KARYA HAMPAPAK/MARANG DI KOTA

PALANGKA RAYA” Merupakan hasil penelitian saya sendiri dan setiap dan

seluruh sumber acuan telah ditulis sesuai dengan kaidah penulisan ilmiah yang

berlaku di Fakultas Hukum Universitas Palangka Raya. Apabila dikemudian hari

dapat dibuktikan bahwa skripsi ini bukan hasil penelitian saya (dibuatkan atau

plagiat), maka saya bersedia gelar kesarjanaan saya dicabut sesuai dengan aturan

yang berlaku.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguh-sungguhnya. Atas

perhatiannya, Penulis ucapkan terimakasih.

Palangka Raya, Agustus 2022


Yang membuat pernyataan,

LOREN T.
NIM. EAA 117 160

i
HALAMAN PERSETUJUAN SKRIPSI

Nama : LOREN T
Nim : EAA 117 160
Bidang : PERDATA
Judul Skripsi : PELAKSANAAN PERJANJIAN PEMBANGUNAN
JALAN, PEMBUATAN KANAL AIR DAN
PEMBAGIAN TANAH KEPADA ANGGOTA
KELOMPOK TANI ADAT KARYA
HAMPAPAK/MARANG DI KOTA PALANGKA RAYA
Disetujui di :
Palangka Raya, Agustus 2022
Menyetujui :
Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping

Oktarianus Kurniawan, S.H., M. Kn. Tahasak Sahay, S.H., M.H.


NIP. 19711018 200312 1 001 NIP. 19680619 200112 1 001

Mengetahui,
Ketua Jurusan Ilmu Hukum,

Kristian, S.H., M.H.


NIP. 19810620 201504 1 001

Mengesahkan :
UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
Fakultas Hukum
Dekan,

Prof. Dr. H. Suriansyah Murhaini, SH., MH.


NIP. 19590814 198608 1 001

ii
HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI
Skripsi ini telah diuji dan disetujui :
Hari :
Tanggal :
Pukul :
Tempat :
Judul Skripsi : PELAKSANAAN PERJANJIAN PEMBANGUNAN JALAN,
PEMBUATAN KANAL AIR DAN PEMBAGIAN TANAH
KEPADA ANGGOTA KELOMPOK TANI ADAT KARYA
HAMPAPAK/MARANG DI KOTA PALANGKA RAYA

TIM PENGUJI
1. Dr. Heriamariaty, S.H., M.Hum (Ketua) 1. ……………………
NIP. 1973025 200212 2 001
2. Yacob F. Martono, S.H., M.H (Anggota) 2. ……………………
NIP. 19740309 200501 1 002
3. Evi, S.H., M.H. (Anggota) 3. ……………………
NIP. 19891211 201504 2 001
4. Oktarianus Kurniawan, S.H., M.Kn (Anggota) 4. ……………………
NIP. 19711018 200312 1 001
5. Tahasak Sahay, S.H., M.H (Anggota) 5. ……………………
NIP. 19680619 20112 1 001
Mengetahui,
Ketua Jurusan Ilmu Hukum,

Kristian, S.H., M.H.


NIP. 19810620 201504 1 001
‘Mengesahkan :
UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
Fakultas Hukum
Dekan,

Prof. Dr. H. Suriansyah Murhaini, SH., MH.


NIP. 19590814 198608 1 001

iii
RINGKASAN SKRIPSI
Pelaksanaan Perjanjian Pembangunan Jalan, Pembuatan Kanal Air Dan
Pembagian Tanah Kepada Anggota Kelompok Tani Adat Karya
Hampapak/Marang Di Kota Palangka Raya
Berdasarkan musyawarah LKK Kelurahan Marang pada Tanggal 23
September 2014 yang bertempat di Balai Basara Kelurahan Marang disepakati
bahwa Masyarakat yang mendapatkan lahan 1 Ha/KK akan dikenakan biaya
sebagai pengganti pembuatan sarana jalan diperkirakan sebesar Rp. 2.500.000.
Namun kenyataannya setelah Anggota Kelompok Tani Adat Karya
Hampapak/Marang membayar biaya pembangunan jalan, pembuatan kanal air dan
pembagian lahan tersebut, justru pembangunan jalan, pembuatan kanal air dan
pembagian tanah pun belum dilakukan. Akibatnya kesepakatan point 3 hasil
musyawarah LKK Kelurahan Marang tidak terlaksana sebagaimana mestinya
karena telah terjadi wanprestasi. Berdasarkan permasalahan di atas, sehingga
Penulis merumuskan masalah dalam penelitian ini ke dalam rumusan masalah
yang menjadi pokok pembahasan, yaitu:
1. Bagaimana Pelaksanaan Perjanjian Pembangunan Jalan, Pembuatan Kanal
Air Dan Pembagian Tanah Kepada Anggota Kelompok Tani Adat Karya
Hampapak/Marang Di Kota Palangka Raya?
2. Bagaimana Bentuk Tanggung Jawab Pengurus Terhadap Pembangunan
Jalan, Pembuatan Kanal Air dan Pembagian Tanah Kepada Anggota
Kelompok Tani Adat Karya Hampapak/Marang Di Kota Palangka Raya?
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini ialah penelitian
yuridis empiris. Penelitian yuridis empiris dilakukan dengan cara mempelajari
suatu aturan sebagai kaidah-kaidah dan keberadaan pemberlakuannya terhadap
peristiwa hukum tertentu yang terjadi pada pelaksanaan hubungan hukum yang
dibahas dalam penulisan hasil penelitian dalam bentuk skripsi ini. Berdasarkan
hasil penelitian dan pembahasan, sehingga Penulis menyimpulkan bahwa:
1. Pelaksanaan Perjanjian Pembangunan Jalan, Pembuatan Kanal Air Dan
Pembagian Tanah Kepada Anggota Kelompok Tani Adat Karya
Hampapak/Marang Di Kota Palangka Raya terkendala dikarenakan
adanya keterlambatan dari Anggota Kelompok Tani Adat Karya
Hampapak/Marang dalam melakukan kewajibannya, faktor selanjutnya
yaitu adanya pemborosan anggaran pada pelaksanaan pekerjaan
sebelumnya dan pekerjaan tersebut pun tidak dilengkapi dengan
laporan pertanggungjawaban oleh ketua Kelompok Tani Adat Karya
Hampapak/Marang yang sebelumnya.
2. Bentuk Tanggungjawab Pengurus Terhadap Pembangunan Jalan,
Pembuatan Kanal Air dan Pembagian Tanah Kepada Anggota
Kelompok Tani Adat Karya Hampapak/Marang Di Kota Palangka
Raya yaitu dengan mengurangi ukuran tanah yang diterima oleh
Anggota Kelompok Tani Adat Karya Hampapak/Marang dan menjual
tanah yang bersumber dari pengurangan tersebut. Peristiwa tersebut
merupakan perbuatan melawan hukum.

Kata Kunci: Perjanjian, Kelompok Tani Adat Karya Hampapak, Wanprestasi.

iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS
AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Palangka Raya, saya yang bertanda di


bawah ini:
Nama : LOREN T
NIM : EAA 117 160
Fakultas : Hukum
Bidang : Perdata
Karya Ilmiah : Skripsi
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Palangka Raya Hak Bebas Royalti Nonekslusif (Non-exclusive
Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul “PELAKSANAAN
PERJANJIAN PEMBANGUNAN JALAN, PEMBUATAN KANAL AIR DAN
PEMBAGIAN TANAH KEPADA ANGGOTA KELOMPOK TANI ADAT
KARYA HAMPAPAK/MARANG DI KOTA PALANGKA RAYA” atas
perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan hak bebas royalti nonekslusif ini
Universitas Palangka Raya berhak untuk menyimpan, mengalihmedia/formatkan,
mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan
memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai
penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Palangka Raya


Pada Tanggal : Agustus 2022
Yang Menyatakan

LOREN T.
NIM. EAA 117 160

v
KATA PENGANTAR

Puji Syukur Penulis panjatkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat limpahan rakhmat dan karunia-Nya Penulis dapat menyusun Skripsi
dengan judul “PELAKSANAAN PERJANJIAN PEMBANGUNAN JALAN,
PEMBUATAN KANAL AIR SERTA PEMBAGIAN TANAH KEPADA
ANGGOTA KELOMPOK TANI ADAT KARYA HAMPAPAK/MARANG DI
KOTA PALANGKA RAYA”.
Selama menyelesaikan Skripsi ini, Penulis banyak memperoleh masukan
berupa petunjuk-petunjuk, pengetahuan, maupun ilmu yang benar-benar sangat
berharga dari berbagai pihak, terutama dosen pembimbing, meskipun jauh dari
sempurna. Oleh karena itu dalam kesempatan ini, Penulis mengucapkan banyak
terima kasih yang tulus kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Suriansyah Murhaini, S.H., M.H. selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Palangka Raya;
2. Ibu Dr. Thea Farina, S.H., M.kn. selaku Wakil Dekan Bidang Akademik
Fakultas Hukum Universitas Palangka Raya;
3. Bapak Agus Mulyawan, S.H., M.H. selaku Wakil Dekan Bidang Umum dan
Keuangan Fakultas Hukum Hukum Universitas Palangka Raya;
4. Bapak Tahasak Sahay, S.H., M.H. selaku Wakil Dekan Bidang
Kemahasiswaan Fakultas Hukum Universitas Palangka Raya serta sebagai
Dosen Pembimbing Pendamping sekaligus sebagai Dosen Pembimbing
Pendamping dalam penulisan skripsi ini, terima kasih atas segala arahan dan
masukan yang bersifat membangun serta bantuannya dalam Penulis
melaksanakan bimbingan skripsi ini;
5. Bapak Kristian S.H., M.H. selaku Ketua Jurusan Fakultas Hukum Universitas
Palangka Raya;
6. Bapak Oktarianus Kurniawan, S.H. M. Kn selaku Dosen Pembimbing Utama,
terima kasih atas segala arahan dan masukan yang bersifat membangun serta
bantuannya dalam Penulis melaksanakan bimbingan skripsi ini;

vi
7. Segenap Dosen yang mengajar di Fakultas Hukum Universitas Palangka
Raya, yang telah banyak memberikan ilmu pengetahuan selama Penulis
kuliah di Fakultas Hukum Universitas Palangka Raya;
8. Seluruh Staf Tata Usaha dan Staf Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas
Palangka Raya;
9. Secara Khusus Penulis ucapkan terima kasih kepada Ayah Saya Tikas dan Ibu
Temi Novi Katarina Kedua Orang Tua Penulis dan seluruh keluarga besar
yang tidak pernah berhenti memberikan dukungan materil maupun moril juga
Doa yang selalu di Panjatkan Kepada Tuhan Yang Maha Esa sehingga
Penulis dapat menempuh studi dan menyelesaikan skripsi ini;
10. Seluruh rekan-rekan Mahasiswa/i Fakultas Hukum Universitas Palangka
Raya yang telah banyak memberikan semangat, dukungan serta masukan-
masukan yang berharga dalam penyelesaian skripsi ini;
11. Sahabat yang ikut serta memberi masukan bagi Penulis untuk dapat
menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Dengan kerendahan hati Penulis berharap kiranya propoal skripsi ini
dapat menjadi masukan yang bermanfaat bagi kaum akademisi, mahasiswa/i
Fakultas Hukum Universitas Palangka Raya atau siapa saja yang
membutuhkan informasi dari materi proposal skripsi ini.
Palangka Raya, Agustus 2022
Penulis,

LOREN T.
NIM. EAA 117 160

vii
DAFTAR ISI

PERNYATAAN ORISINALITAS........................................................................i
HALAMAN PERSETUJUAN SKRIPSI.............................................................ii
HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI.............................................................iii
RINGKASAN SKRIPSI.......................................................................................iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI..........................v
KATA PENGANTAR...........................................................................................vi
DAFTAR ISI.......................................................................................................viii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1. Latar Belakang Masalah........................................................................1
1.2. Tujuan Penelitian..................................................................................8
1.3. Manfaat Penelitian................................................................................8
1.4. Metodologi Penelitian...........................................................................9
1.4.1 Jenis Penelitian................................................................................9
1.4.2 Ruang Lingkup/Fokus Penelitian....................................................9
1.4.3 Lokasi Penelitian.............................................................................9
1.4.4 Sumber Data....................................................................................9
1.4.5 Instrument Penelitian.....................................................................10
1.5. Sistematika Penulisan..........................................................................12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................14


2.1. Perjanjian.............................................................................................14
2.1.1. Pengertian Perjanjian.....................................................................14
2.1.2. Syarat Sahnya Perjanjian...............................................................15
2.1.3. Asas-Asas Perjanjian.....................................................................16
2.2. Tanah...................................................................................................16
2.2.1. Pengertian Tanah...........................................................................16
2.2.2. Hak Atas Tanah.............................................................................19

viii
2.3. Tanah Garapan....................................................................................21
2.3.1. Pengertian Tanah Garapan.............................................................21
2.3.2. Kepemilikan Atas Tanah Garapan.................................................30
2.3.3. Bentuk-bentuk Alas Hak Tanah Garapan......................................41

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN TENTANG PELAKSANAAN


PEMBAGIAN TANAH HASIL GARAPAN KEPADA ANGGOTA KELOMPOK TANI
ADAT KARYA HAMPAPAK/MARANG DI KOTA PALANGKA RAYA.....................50
3.1. Pelaksanaan Perjanjian Pembangunan Jalan, Pembuatan Kanal
Air Dan Pembagian Tanah Kepada Anggota Kelompok Tani
Adat Karya Hampapak/Marang Di Kota Palangka Raya.................50
3.2. Bentuk Tanggungjawab Pengurus Terhadap Pembangunan Jalan,
Pembuatan Kanal Air dan Pembagian Tanah Kepada Anggota
Kelompok Tani Adat Karya Hampapak/Marang Di Kota
Palangka Raya..................................................................................56

BAB IV PENUTUP..............................................................................................62
4.1. Kesimpulan.......................................................................................62
4.2. Saran.................................................................................................63

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

ix
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Tanah bagi kehidupan manusia mempunyai kedudukan yang sangat

penting. Hal ini disebabkan hampir seluruh aspek kehidupannya terutama bagi

bangsa Indonesia tidak dapat terlepas dari keberadaan tanah yang

sesungguhnya tidak hanya dapat ditinjau dari aspek ekonomi saja, melainkan

meliputi segala kehidupan dan penghidupannya.

Sejarah peradaban manusia telah membuktikan bahwa tanah

merupakan salah satu faktor utama dalam menentukan produksi pada setiap

fase peradaban. Tanah memiliki nilai-nilai, baik ekonomis yang tinggi,

filosofis, politik, sosial, kultural, dan ekologis yang menjadikan tanah sebagai

sebuah harta berharga yang sangat dibutuhkan dan ada banyak kepentingan

yang membutuhkannya, sehingga terus-menerus dan bahkan dapat memicu

berbagai masalah sosial yang rumit dikarenakan perkembangan penduduk dan

kebutuhan yang menyertainya tidak sebanding dengan luasan tanah yang tidak

pernah bertambah dan oleh karena adanya ketimpangan dari struktur

penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah serta

ketimpangan terhadap sumber-sumber produksi lainnya.

Sebagai Negara yang berlatar belakang agraris, tanah merupakan

sesuatu yang memiliki nilai yang sangat penting di dalam kehidupan

masyarakat di Indonesia, terlebih lagi bagi petani di pedesaan. Tanah

berfungsi sebagai tempat di mana warga masyarakat bertempat tinggal dan

1
2

tanah juga memberikan penghidupan baginya.1

Tanah merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang diberikan

kepada manusia untuk dikelola, digunakan dan dipelihara sebaik-baiknya

sebagai sumber kehidupan dan penghidupan. Manusia diberikan kepercayaan

untuk mengelola dan memelihara fungsi dan kegunaan tanah, sebab manusia

diciptakan sebagai mahluk yang sempurna yang memiliki akal pikiran,

sehingga Tuhan Yang Maha Esa menundukan alam semesta ini termasuk

tanah dibawah penguasaan dan pengelolaan manusia.

Di Indonesia, tanah yang belum ada pengakuan kepemilikan secara

resmi dari masyarakat, maka tanah tersebut merupakan tanah Negara. Untuk

mendapatkan tanah, masyarakat dapat memperoleh melalui jual beli maupun

dengan cara menggarap untuk jadi lahan pertanian. Penggarapan tanah, tak

jarang dilakukan oleh perkumpulan petani yang biasa disebut dengan

kelompok tani.

Kelompok adalah sebuah unit yang tersusun dari dua orang atau lebih

yang berinteraksi satu sama lain dan menyelesaikan suatu permasalahan secara

bersama sama demi mencapai tujuan yang ideal. Definisi ini menekankan

bahwa kelompok tumbuh karena adanya kesamaan motivasi untuk mencapai

maksud tertentu yang menimbulkan kontak-kontak antar mereka sehingga

terbentuklah kelompok. Ciriciri suatu kelompok antara lain adalah:2

(1) adanya interaksi antar anggota yang berlangsung secara berkelanjutan;


1
Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko, 2011, Hukum Adat Indonesia, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 172.
2
J. Winardi, 2004, Motivasi Dan Permotivasian Dalam Manajemen, PT. Raja grafindo
Persada, Jakarta, hlm. 8.
3

(2) adanya hubungan timbal balik antara anggota satu dengan lainnya;

(3) adanya kesepakatan bersama antar anggota mengenai norma-norma yang

berlaku, nilai-nilai yang dianut dan tujuan atau kepentingan yang akan

dicapai; dan

(4) adanya struktur dalam kelompok, para anggota mengetahui adanya

hubungan-hubungan antar peranan, norma tugas, hak dan kewajiban yang

semuanya tumbuh di dalam kelompok itu.

Sedangkan menurut Pasal 1 Ayat (10) Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 19 Tahun 2013 Tentang Perlindungan Dan Pemberdayaan

Petani ditentukan bahwa, “Kelompok Tani adalah kumpulan

Petani/peternak/pekebun yang dibentuk atas dasar kesamaan kepentingan;

kesamaan kondisi lingkungan sosial, ekonomi, sumber daya; kesamaan

komoditas; dan keakraban untuk meningkatkan serta mengembangkan usaha

anggota”.

Berdasarkan uraian diatas, sehingga dapat diketahui bahwa

pembentukan kelompok tani yang dilakukan oleh kumpulan para

petani/peternak/pekebun atas dasar kesamaan kepentingan, kesamaan kondisi

lingkungan sosial, ekonomi, sumber daya, kesamaan komoditas, dan

keakraban untuk meningkatkan serta mengembangkan usaha petani yang

menjadi anggota dari kelompok tani tersebut.

Sehubungan dengan adanya kesamaan kepentingan dan keadaan

lingkungan sosial, dan keadaan ekonomi para petani di Kota Palangka Raya,

sehingga pada tahun 2014 dibentuklah sebuah Kelompok Tani Adat Karya
4

Hampapak/Marang di Kelurahan Marang, Kota Palangka Raya. Tujuan

dibentuknya Kelompok Tani Adat Karya Hampapak/Marang tersebut ialah

untuk penggarapan lahan kosong dan sekaligus pembuatan jalan pada lahan

yang akan dibagi kepada anggota kelompok tani.

Berdasarkan hasil musyawarah LKK Kelurahan Marang pada Tanggal

23 September 2014 yang bertempat di Balai Basara Kelurahan Marang

disepakati:

1. An. Otto Amad dan Darwin Iley mengkoordinir masyarakat Marang untuk

pembuatan jalan dan pembagian lahan pertanian di KM 17 sampai Sei

Dapur;

2. Surat pernyataan dari masyarakat masuk sebagai anggota kelompok tani

harus melampirkan fotocopy Kartu Keluarga (KK);

3. Masyarakat yang mendapatkan lahan 0,5 Ha/KK tidak dikenakan biaya dan

apabila masyarakat yang akan mendapatkan lahan 1 Ha/KK akan dikenakan

biaya sebagai pengganti pembuatan sarana jalan diperkirakan sebesar Rp.

2.500.000,-;

4. Ketua RT sekelurahan Marang akan mendaftar warganya masing-masing

dilengkapi dengan fotocopy Kartu Keluarga (KK);

5. Bagi warga masyarakat yang tidak memiliki KK akan ditunda atau tidak

akan diperkenankan masuk sebagai anggota kelompok tani;

6. Apabila ada lahan masyarakat yang masuk lokasi lahan kelompok tani,

kelompok tani akan menyerahkan kepada yang bersangkutan untuk

dikelola;
5

7. Ketua RT sekelurahan Marang yang telah mendaftar segera mengumpul

hasil pendaftaran Kelompok Tani beserta fotocopy KK ke kelurahan

Marang selanjutnya akan diserahkan ke pengelola Kelompok Tani;

8. Hal-hal penting yang belum tertuang dalam kesepakatan musyawarah ini,

akan dirumuskan dan dimusyawarahkan kembali.

Hasil kesepakatan musyawarah LKK Kelurahan Marang tersebut

disetujui oleh:

1. Ketua LKK Kelurahan Marang;

2. Ketua RT dan Ketua RW Sekelurahan Marang;

3. Mantir Adat;

4. Lurah Marang;

5. Anggota peserta musyawarah;

6. Staf Kelurahan Marang.

Guna mewujudkan pelaksanaan poin 3 kesepakatan musyawarah

tersebut, sehingga setiap Anggota Kelompok Tani Adat Karya

Hampapak/Marang yang mendapatkan tanah 1 Ha/KK diwajibkan membayar

sebesar Rp. 2.500.000,- sebagai biaya pembuatan jalan dan pembagian lahan

pertanian.

Namun setelah Anggota Kelompok Tani Karya Hampapak/Marang

membayar biaya pembuatan jalan dan pembagian lahan tersebut, justru

pembangunan jalan dan pembagian tanah pun belum dilakukan. Akibatnya

anggota kelompok tani merasa kecewa karena adanya wanprestasi yang

dilakukan oleh pihak pengurus.


6

Pada awalnya kendala dalam pelaksanaan pembangunan jalan tersebut

dikarenakan tidak semua anggota melakukan pelunasan Bersama-sama

sehingga dana tidak terkumpulkan sekaligus. Keadaan tersebut mengakibatkan

proses pembangunan jalan dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan dana

yang terhimpun. Namun seiring berjalannya waktu, biaya yang dibutuhkan

untuk pembangunan jalan dan pembuatan kanal air tersebut meningkat, seperti

biaya sewa alat berat meningkat atau naik.3

Seharusnya pembangunan jalan dan pembuatan kanal air itu sudah

dimulai sejak Tahun 2014, namun karena keterbatasan dana, sehingga dana

yang terhimpun pada tahun 2014 tersebut, digunakan pada Tahun 2015 hanya

cukup untuk biaya perintisan lahan yang akan dibangun jalan. Kelanjutannya

dana yang terhimpun pada Tahun 2015, digunakan pengurus pada Tahun 2016

untuk menyewa alat berat untuk pembangunan hanya sesuai dana yang

terhimpun. Namun progres kerja pembangunan jalan hingga pada Tahun 2016

itu pun masih terbatas.

Namun, hingga Tahun 2021 pembangunan jalan, pembuatan kanal air

dan pembagian tanah kepada Anggota Kelompok Tani Adat Karya

Hampapak/Marang belum dilakukan sesuai kesepakatan. Keadaan tersebut

tidak adil bagi anggota Kelompok Tani Adat Karya Hampapak/Marang,

karena anggota telah melakukan kewajiban pembayaran dengan uang senilai

Rp. 2.500.000,- tetapi tak kunjung memperoleh haknya.

Bertolak dari uraian peristiwa perbuatan melawan hukum yang


3
Hasil Wawancara Dengan Bapak Agung Supriyatno Selaku Ketua Kelompok Tani Adat
Karya Hampapak/Marang, Pada Tanggal 23 Mei 2022, Pukul 10.00 WIB.
7

dilakukan oleh ketua Kelompok Tani Adat Karya Hampapak/Marang semasa

hidupnya, sehingga Penulis tertarik untuk melakukan penelitian dalam

penulisan proposal skripsi yang berjudul, “PELAKSANAAN PERJANJIAN

PEMBANGUNAN JALAN, PEMBUATAN KANAL AIR DAN

PEMBAGIAN TANAH KEPADA ANGGOTA KELOMPOK TANI ADAT

KARYA HAMPAPAK/MARANG DI KOTA PALANGKA RAYA”.

1.1 Rumusan dan Batasan Masalah

Agar pembahasan dalam penulisan proposal skripsi ini tidak meluas,

sehingga permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan ini dirumuskan

sebagai berikut:

1. Bagaimana Pelaksanaan Perjanjian Pembangunan Jalan, Pembuatan Kanal

Air Dan Pembagian Tanah Kepada Anggota Kelompok Tani Adat Karya

Hampapak/Marang Di Kota Palangka Raya?

2. Bagaimana Bentuk Tanggung Jawab Pengurus Terhadap Pembangunan

Jalan, Pembuatan Kanal Air dan Pembagian Tanah Kepada Anggota

Kelompok Tani Adat Karya Hampapak/Marang Di Kota Palangka Raya?

Guna memfokuskan suatu pembahasan dalam penulisan ini, sehingga

perlu adanya Batasan masalah yang difokuskan hanya membahas mengenai

Pelaksanaan Perjanjian Pembangunan Jalan, Pembuatan Kanal Air Dan

Pembagian Tanah Kepada Anggota Kelompok Tani Adat Karya

Hampapak/Marang Di Kota Palangka Raya.

1.2. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:


8

1. Mengetahui dan memahami pelaksanaan perjanjian pembangunan jalan,

pembuatan kanal air dan pembagian tanah kepada Anggota Kelompok

Tani Adat Karya Hampapak/Marang Di Kota Palangka Raya;

2. Mengetahui dan memahami bentuk tanggung jawab pengurus terhadap

pembangunan jalan, pembuatan kanal air dan pembagian tanah kepada

Anggota Kelompok Tani Adat Karya Hampapak/Marang Di Kota

Palangka Raya.

1.3. Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi manfaat dari penelitian ini yaitu:

1. Secara teoritis, penulisan skripsi ini di harapkan berguna bagi kemajuan

pendidikan ilmu hukum yaitu sebagai sumbangan dalam rangka pembinaan

hukum nasional.

2. Secara praktis, penulisan ini pada dasarnya dapat memberikan masukan-

masukan yang bermanfaat bagi pengurus Kelompok Tani Adat Karya

Hampapak/Marang di Kota Palangka Raya terkait pelaksanaan perjanjian

pembangunan jalan, pembuatan kanal air dan pembagian tanah kepada

Anggota Kelompok Tani Adat Karya Hampapak/Marang;

3. Sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada

Fakultas Hukum Universitas Palangka Raya.

1.4. Metodologi Penelitian


1.4.1 Jenis Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan proposal

skripsi ini ialah penelitian yuridis empiris. Kajian empiris adalah kajian

yang memandang hukum sebagai kenyataan, mencakup kenyataan sosial,


9

kenyataan kultur, dan lain-lain, kajian empiris dunianya adalah das sin

(apa kenyataannya).4

Penelitian yuridis empiris juga dilakukan dengan cara

mempelajari suatu aturan sebagai kaidah-kaidah dan keberadaan

pemberlakuannya terhadap peristiwa hukum tertentu yang terjadi pada

pelaksanaan hubungan hukum yang dibahas dalam penulisan hasil

penelitian dalam bentuk proposal skripsi ini.

1.4.2 Ruang Lingkup/Fokus Penelitian


Ruang Lingkup/Fokus Penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah

Pelaksanaan Perjanjian Pembangunan Jalan, Pembuatan Kanal Air Dan

Pembagian Tanah Kepada Anggota Kelompok Tani Adat Karya

Hampapak/Marang Di Kota Palangka Raya.

1.4.3 Lokasi Penelitian


Tempat dilakukannya penelitian skripsi ini yaitu pada Kelompok

Tani Adat Karya Hampapak/Marang Di Kota Palangka Raya.

1.4.4 Sumber Data


a. Data primer

Data Primer yang digunakan dalam penulisan hasil penelitian ini

adalah data dasar yang diperoleh langsung dari hasil observasi dan

wawancara berdasarkan obyek penelitian, dapat berupa uraian lisan

atau tertulis yang berkaitan dengan pembahasan dalam penelitian ini.

b. Data sekunder

4
Achmad Ali & wiwie Heryani, 2012, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum,
Kencana Prenada Grup, Jakarta, hlm. 2.
10

Data Sekunder yang digunakan dalam penulisan hasil penelitian ini

adalah data yang tidak diperoleh secara langsung dari sumbernya

berupa keterangan-keterangan yang diperoleh dari dokumen

berdasarkan obyek penelitian atau kepustakaan yang mengacu pada

literatur dan peraturan perundang-undangan serta data-data lain yang

relevan dengan obyek penelitian. Adapun data sekunder meliputi:

Peraturan Perundang-undangan yang terdiri dari:

1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar

Pokok-Pokok Agraria.

1.4.5 Instrument Penelitian


1.4.4.1 Studi Pustaka
Studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data

dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku,

literatur-literatur, catatan-catatan dan laporan-laporan yang ada

kaitannya dengan obyek penelitian.

1.4.4.2 Observasi/pengamatan
Observasi adalah teknik pengumpulan data yang

dilakukan secara sistematis dilakukan melalui pencatatan dan

pengamatan secara langsung terhadap lokasi atau obyek

penelitian. Pada penelitian ini observasi dilakukan pada

Kelompok Tani Adat Karya Hampapak/Marang Di Kota

Palangka Raya.
11

1.4.4.3 Wawancara
Wawancara adalah proses pengumpulan data dengan cara

tanya jawab dengan pihak yang terkait dengan obyek penelitian,

sehingga dapat diperoleh data secara langsung (data primer),

dimana sebelum melaksanakan wawancara, penulis membuat

pedoman wawancara yang berisi pertanyaan-pertanyaan yang

berhubungan dengan masalah yang menjadi tinjauan

permasalahan dalam penulisan skripsi ini. Narasumber yang

dimaksud yaitu:

1) Agung Supriyatno (Ketua Kelompok Tani);

2) Djamin ( Bendahara Kelompok Tani):

3) Sarinah ( Anggota Kelompok Tani).

1.4.4.4 Teknik Analisis Data


Teknik analisis data yang digunakan dalam penulisan

hasil penelitian skripsi ini yaitu dengan cara mencari semua

bahan hukum tertulis yang berkaitan dengan kajian ini,

kemudian dikumpulkan dan diadakan sistematisasi. Penyusunan

secara sistematis ini dimulai dari penghubungan antara bahan

hukum primer dengan bahan hukum sekunder.

Setelah pekerjaan sistematisasi bahan hukum dilanjutkan

dengan kegiatan analisis terhadap semua bahan hukum yang

digunakan tersebut. Seluruh bahan hukum yang berkaitan

dengan penelitian ini diuraikan secara lebih sistematik untuk


12

menjawab permasalahan yang dibahas dalam penulisan hasil

penelitian ini.

1.5. Sistematika Penulisan


Sistematika penulisan dalam skripsi ini hanya terdiri dari satu bab saja.

Yaitu Bab I menjelaskan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah

dan pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, Tinjauan Pustaka

serta Metodologi Penelitian yang digunakan dalam penyusunan proposal

skripsi ini, yang selanjutnya akan dibagi menjadi 4 (empat) Bab, yaitu:

BAB I :PENDAHULUAN

Bab ini bermaterikan latar belakang, rumusan dan batasan

masalah, tujuan dan manfaat penelitian, jenis penelitian,

ruang lingkup/fokus penelitian, lokasi penelitian, sumber

data, instrument penelitian, serta sistematika penulisan.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menguraikan teori-teori yang sub babnya terdiri

dari Perjanjian Bagi Hasil, Tanah, Pengertian Tanah, Hak

Atas Tanah, Tanah Garapan, Pengertian Tanah Garapan,

Kepemilikan Tanah Garapan, Bentuk-Bentuk Alas Hak

Tanah Garapan.

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

TENTANG PELAKSANAAN PERJANJIAN

PEMBANGUNAN JALAN, PEMBUATAN KANAL

AIR DAN PEMBAGIAN TANAH KEPADA

ANGGOTA KELOMPOK TANI ADAT KARYA


13

HAMPAPAK/MARANG DI KOTA PALANGKA

RAYA

Bab ini merupakan pokok bahasan yang menguraikan

mengenai:

1. Pelaksanaan Perjanjian Pembangunan Jalan, Pembuatan

Kanal Air Dan Pembagian Tanah Kepada Anggota

Kelompok Tani Adat Karya Hampapak/Marang Di Kota

Palangka Raya;

2. Bentuk Tanggung Jawab Pengurus Terhadap

Pembangunan Jalan, Pembuatan Kanal Air dan

Pembagian Tanah Kepada Anggota Kelompok Tani Adat

Karya Hampapak/Marang Di Kota Palangka Raya.

BAB IV : PENUTUP

Bab ini berisikan kesimpulan dan saran dari hasil

pembahasan dalam bab sebelumnya.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Perjanjian
2.1.1. Pengertian Perjanjian

Sistem hukum Indonesia mengenai perikatan ditempatkan atau

ditulis dalam buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

(KUHPerdata) pada buku ini menyebutkan tentang Perikatan, disini

diatur perikatan yang lahir dari perjanjian (kontrak) dan perikatan yang

lahir karena Undang-undang seperti Perbuatan melawan hukum

perwakilan sukarela, dan pembayaran yang tidak terutang ke semua

bidang hukum tersebut didalam satu generik, yakni Hukum Perikatan.5

R. Subekti mendefisikan perjanjian suatu peristiwa dimana

seseorang berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.6 Selanjutnya

Mariam Darus Badrulzaman mendefinisikan bahwa perjanjian atau

perikatan adalah suatu hubungan yang terjadi antara dua orang atau

lebih, yang terletak dalam bidang harta kekayaan, dengan mana pihak

yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wadib memenuhi

prestasi itu.7

Sedangkan Wirjono Prodjodikoro mengemukakan bahwa

perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda

antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji

untuk melakukan sesuatu hal sedang pihak lain berhak menuntut


5
Ridwan Khairandy, 2013, hukum kontrak Indonesia dalam prespektif perbandingan,
FHUII PRESS, Yogyakarta, hlm. 1.
6
R. Subekti, 1994, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, hlm. 1.
7
Mariam Darus Badrulzaman, 1994, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, hlm. 3.

14
15

pelaksanaan janji itu.8

Bertolak dari beberapa pengertian perjanjian di atas, sehingga

dapat disimpulkan bahwa perjanjian selalu melahirkan hak dan

kewajiban. Karena perjanjian merupakan perbuatan hukum yang

dilakukan oleh subyek hukum yang menimbulkan akibat hukum. Hal

tersebut tidak timbul dengan sendrinya, tetapi karena adanya tindakan

hukum dari subyek hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban.

2.1.2. Syarat Sahnya Perjanjian

Suatu perjanjian dapat dikatakan sah apabila telah memenuhi

syarat yang terdapat pada pasal 1320 KUHPerdata yang menyatakan

bahwa sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat yaitu:

1) Sepakat mereka yang mengikatkan diri;

2) Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;

3) Suatu hal tertentu; dan

4) Suatu sebab yang halal.

Keempat syarat diatas merupakan syarat liminatif dalam suatu

perjanjian, syarat tersebut harus terpenuhisehingga perjanjian yang

dibuat oleh para pihak dapat dikatakan sah dan mempunyai kekuatan

mengikat, jika salah satu syarat tersebut tidak terpenuhi, maka

perjanjian tersebut dapat berakibat batal (nietig) atau dapat

dibatalkan.

8
Wirjono Prodjodikoro, 1982, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan
Tertentu, Sumur, Bandung, hlm. 7.
16

2.1.3. Asas-Asas Perjanjian

Selanjutnya dalam proses pembentukan dan pelaksanaan

perjanjian, secara prinsip harus berpedoman pada asas-asas tertentu

yaitu:9

(1) asas kebebasan mengadakan perjanjian (partij otonomi);

(2) asas konsensualisme (persesuaian kehendak);

(3) asas kepercayaan;

(4) asas kekuatan mengikat;

(5) asas persamaan hak;

(6) asas keseimbangan;

(7) asas kepastian hukum;

(8) asas moral;

(9) asas kepatutan; dan

(10) asas kebiasaan.

2.2. Tanah
2.2.1. Pengertian Tanah

Tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi, hak

atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu dari permukaan bumi,

yang terbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar. 10

Dasar kepastian hukum dalam peraturan-peraturan hukum tertulis

sebagai pelaksana Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun

1960, memungkinkan para pihak-pihak yang berkepentingan dengan


9
Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit., hlm. 42.
10
Effendi Perangin, 1994, Hukum Agraria Indonesia, Suatu Telaah Dari Sudut Pandang
Praktisi Hukum, Raja Grafindo, Jakarta, hlm. 17.
17

mudah mengetahui hukum yang berlaku dan wewenang serta

kewajiban yang ada atas tanah yang dipunyai. Karena kebutuhan

manusia terhadap tanah dewasa ini makin meningkat. Hal ini

disebabkan semakin bertambahnya jumlah penduduk, sementara disisi

lain luas tanah tidak bertambah.

Pasal 1 ayat (2) jo Pasal 4 ayat (1) UUPA tanah adalah

permukaan bumi dan ruang, maksudnya tanah sama dengan

permukaan bumi adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa. Diartikan

sama dengan ruang pada saat menggunakannya karena termasuk juga

tubuh bumi dan air dibawahnya dan ruang angkasa diatasnya sekedar

diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan

penggunaan tanah dalam batas-batas menurut undangundang ini dan

peraturan lain yang lebih tinggi. Tanah adalah suatu permukaan bumi

yang berada diatas sekali. Makna permukaan bumi sebagai bagian

dari tanah yang haknya dapat di miliki oleh setiap orang atau badan

hukum.

Mengatur mengenai perjanjian bagi hasil, Pasal 1 huruf (a)

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 Tentang Perjanjian Bagi Hasil

mengatur mengenai pengertian tanah ialah tanah yang biasanya

dipergunakan untuk penanaman bahan makanan.

Sedangkan menurut Budi Harsono memberi batasan tentang

pengertian tanah berdasarkan apa yang dimaksud dalam pasal 4

UUPA, bahwa dalam hukum tanah, kata tanah dipakai dalam arti
18

yuridis sebagai suatu pengertian yang telah diberi batasan resmi oleh

UUPA sebagaimana dalam pasal 4 bahwa hak menguasai dari negara

ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang

disebut tanah.11

Dengan demikian tanah dalam pengertian yuridis dapat

diartikan sebagai permukaan bumi. Menurut pendapat Jhon Salindeho

mengemukakan bahwa tanah adalah suatu benda bernilai ekonomis

menurut pandangan bangsa Indonesia, ia pula yang sering memberi

getaran di dalam kedamaian dan sering pula menimbulkan guncangan

dalam masyarakat, lalu ia juga yang sering menimbulkan sendatan

dalam pelaksanaan pembangunan. Berdasarkan pengertian tanah yang

dikemukakan di atas dapat memberi pemahaman bahwa tanah

mempunyai nilai ekonomis yang sangat tinggi sehingga menjadi

kewajiban setiap orang untuk memelihara dan mempertahankan

eksistensi sebagai benda yang bernilai ekonomis karena tanah selain

itu bermanfaat pula bagi pelaksanaan pembangunan namun tanah juga

sering menimbulkan berbagai macam persoalan bagi manusia

sehingga dalam penggunaannya perlu dikendalikan dengan sebaik-

baiknya agar tidak menimbulkan masalah dalam kehidupan

masyarakat.12

11
Boedi, Harsono,1999, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan UU Pokok
Agraria, Djambatan, Jakarta, h.18.
12
John Salindeho, 1993, Masalah Tanah dalam Pembangunan, Sinar Grafika, Jakarta,
hlm. 23.
19

2.2.2. Hak Atas Tanah

Tanah menurut UUPA adalah hanya permukaaan bumi saja.

Hal ini ditegaskan di dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA, adalah sebagai

berikut: “atas dasar hak menguasai Negara, ditentukannya adanya

macammacam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang

dapat diberikan dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri-sendiri

maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum

lainnya.”

Selanjutnya diperjelas dengan penjelasan umum II ayat (1)

UUPA yaitu: “ditegaskan bahwa, dikenal hak milik yang dapat

dipunyai seseorang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang

lain atas bagiandari bumi Indonesia. Dalam pada itu hanya

permukaan bumi sajalah yang disebut sebagai tanah, yang dapat

dihaki oleh seseorang. Jadi siapa saja hanya berhak atas permukaan

buminya saja, itupun dengan memperhatikan tata ruang dan

kelestarian lingkungan hidup yang mendasarkan kepada prinsip-

prinsip pembangunan yang berkelanjutan yang ketentuannya diatur

dalam Peraturan Perundang-undangan tersendiri”.

Hak Atas Tanah Menurut UUPA

Pada Pasal 33 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa: “Bumi air dan

ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya

itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara”. Negara sebagai


20

organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Hak menguasai dari Negara

termaksud dalam Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria memberi

wewenang kepada Negara untuk:

1) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,

persediaan dan memeliharaan bumi, air dan ruang angkasa

tersebut;

2) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara

orangorang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi,

air dan ruang angkasa.

Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud

dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan

bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai

oleh orangorang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang

lain serta badan-badan hukum (UUPA Pasal 4 ayat 1). Pasal ini

memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan

demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya,

sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan

dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-

undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.13

Jikapun seseorang memiliki hak atas tanah yang merupakan

hak milik, hak atas tanah tersebut merupakan hak yang paling
13
https://realmaczman.wordpress.com/2011/06/15/hak-atas-tanah-menurut-uupa/ (diakses
pada tanggal 20 September 2021, Pukul 10.15).
21

sempurna dan terpenuh sifat dan kewenangannya di banding dengan

hak-hak lain yang ada dan berlaku sesuai dengan ketentuan

Perundangan Agraria di Indonesia, tetap saja apabila ditemukan

benda peninggalan bersejarah ataupun barang-barang tambah, dan

benda-benda berharga lainnya walaupun itu di dalam tubuh bumi

berada tepat di bawah hak.

Hak atas tanah adalah hak yang diberikan kepada seseorang

atau badan hukum yang meliputi atas permukaan bumi saja.

Sedangkan hak mempergunakannya tanah adalah hak yang diberikan

oleh Negara kepada Badan Hukum Indonesia, dan Eksploitasi serta

penelitian, untuk mengambil manfaat ekonomi dan manfaat-manfaat

lainnya dari alam Indonesia, yang bertujuan untuk kepentingan

ekonomi yang pada akhirnya baik langsung ataupun tidak langsung

akan mensejahterakan rakyat dan demi terwujudnya kemakmuran

secara nasional, yang mewilayahi haknya meliputi tanah, tubuh bumi,

dan ruang angkasa. (Pasal 4 ayat (2) UUPA).14

2.3. Tanah Garapan


2.3.1. Pengertian Tanah Garapan

Kewenangan pemerintah untuk mengatur bidang pertanahan

tumbuh dan mengakar dari Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar

1945 kemudian ditunaskan secara kokoh dalam Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria

14
Dyara Radhite Oryza Fea, 2018, Panduan Mengurus Tanah dan Perizinannya,
Legality, Yogyakarta, hlm. 3-4.
22

(UUPA).15 Secara Konstitusional Undang-Undang Dasar 1945 dalam

Pasal 33 ayat (3) telah memberikan landasan bahwa bumi dan air serta

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan

dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat.16

Pada dasarnya UUPA bertujuan meletakkan dasar-dasar bagi

penyusunan hukum Agraria yang merupakan alat untuk membawakan

kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan rakyat ini serta menciptakan

ketertiban rakyat tani dan kepastian hukum dalam hal penguasaan dan

pengusahaan atas hak- hak Agraria.17 Undang-Undang Pokok Agraria

(UUPA) mengatur antara lain hak atas tanah yang terdapat dalam

Pasal 6 UUPA disebutkan tanah tersebut mempunyai fungsi sosial

yang mengkehendaki supaya hak atas tanah yang dipunyai oleh

seseorang atau badan hukum tidak boleh dipergunakan secara

semata-mata untuk kepentingan pribadi badan hukum tidak boleh

dipergunakan secara semata-mata untuk kepentingan pribadi dengan

sewenang-wenang tanpa menghiraukan kepentingan masyarakat

ataupun dengan mentelantarkan tanah tersebut sehingga tidak ada

manfaatnya dan akan merugikan masyarakat.18

UUPA masih sangat memerlukan berbagai peraturan

pelaksanaan lainnya namun peraturan pelaksanaan tersebut sangat


15
Muhammad Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis, 2012, Hukum Pendaftaran
Tanah, Mandar Maju, Bandung, hlm. 1.
16
Bachtiar Effendi, 2003, Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan
Pelaksanaannya, Alumni, Bandung, hlm. 1.
17
Muhammad Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis, 2004, Beberapa Masalah Aktual
Hukum Agraria, Pustaka Bangsa Press, Medan, hlm. 15.
18
K Wantjik Saleh, 2007, Hak Anda Atas Tanah, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 16.
23

lambat pembuatannya. Politik Agraria belum dijalankan dan belum

dibuat penjabaran dari dasar hukumnya.19

Politik Agraria adalah suatu kebijaksanaan yang dianut oleh

suatu pemerintah Negara dengan ruang lingkup tanah dengan tujuan

untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat atau tanah

tersebut hanya dipandang sebagai produksi semata-mata tanpa

menghiraukan kesengsaraan yang diderita oleh rakyat dalam suatu

Negara.20

Hanya saja politik agrarian di Indonesia harus dapat

mewujudkan fungsi bumi, air dan ruang angkasa untuk mencapai

sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat serta harus dapat

mengamalkan Pancasila sebagai asas kerohanian Negara dan cita-cita

bangsa seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945,

termasuk yang dijabarkan di dalam UUPA khususnya ketika

membicarakan hak atas tanah.21

Hak atas tanah yang dimaksud dalam Undang-Undang Pokok

Agraria adalah adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang

disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dijumpai oleh orang-

orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain

19
Moh. Mahfud MD, 2009, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Gama
Media, Yogyakarta, hlm. 118.
20
Ali Achmad Chomzah, 2004, Hukum Agraria (Pertanahan Indonesia) Jilid I,
Prestasi Pustaka Raya, Jakarta, hlm. 46.
21
Zaidar, 2006, Dasar Filosofi Hukum Agraria Indonesia, Pustaka Bangsa Press, Medan,
hlm. 76.
24

serta badan hukum.22

Tanah garapan ialah hubungan antara penggarap dengan

sebidang tanah Negara baik berdasarkan surat-surat keputusan (bukan

pemberian hak atas tanah), surat izin, atau surat-surat lain, maupun

yang tidak berdasarkan sesuatu surat pemberian termasuk dalam

pengertian garapan.50 Dalam UUPA tidak mengatur adanya tanah

garapan karena tanah garapan bukan status hak atas tanah. Dalam

peraturan perundang-undangan terdapat istilah tanah garapan yaitu

tanah tanpa ijin pemilik/kuasanya dan pendudukan tanah tidak sah.23

Pengertian tanah garapan diperluas, menurut Surat Kepala

BPN perihal Keputusan Kepala BPN No. 2 Tahun 2003, tertanggal 28

Agustus 2003, yaitu tanah garapan adalah sebidang tanah yang sudah

atau belum dilekati dengan sesuatu hak yang dikerjakan atau

dimanfaatkan oleh pihak lain baik dengan persetujuan atau tanpa

persetujuan yang berhak dengan atau tanpa jangka waktu tertentu.

Pengertian ini berbeda dengan pengertian sebelumnya karena alasan-

alasan berikut ini: penggarapan bisa dilakukan baik di atas tanah

negara maupun di atas tanah hak, penggarapan bisa dilakukan dengan

atau tanpa izin, dan penggarapan bisa dengan atau tanpa jangka waktu.

Awal penggarapan tanah bermula pada areal perkebunan di

Sumatera Timur ini terjadi sejak pada masa pendudukan Jepang di

22
B.F. Sihombing, 2005, Evolusi Kebijakan Pertanahan Dalam Hukum Tanah Indonesia,
Gunung Agung, Jakarta, hlm. 5.
23
B.F. Sihombing, Op.Cit, hlm. 80.
25

Indonesia. Dimana pada saat itu pemeritah penduduk Jepang dalam

rangka pemenuhan kebutuhan pangan maupun sebagai akibat

perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia yang menimbulkan

keadaan darurat dalam soal persediaan pangan, sehingga banyak

rakyat mengusahakan tanah-tanah perkebunan. Maka sejak saat itu

penggarapan atas areal perkebunan di Sumatera Timur mulai

berkembang.

Akibat kekurangan pangan di Sumatera Timur ini memaksa

banyak tanah- tanah perkebunan dialihkan kepada penggunaan-

penggunaan lain. Pembukaan lahan baru meluas di beberapa tempat.

Tanah-tanah dimaksud diberikan kepada petani yang tidak mempunyai

tanah. Dengan demikian banyak tanah-tanah perkebunan yang telah

digarap, baik oleh masyarakat maupun buruh-buruh perkebunan itu

sendiri.24

Pemanfaatan tanah kosong untuk tanaman pangan dimana

tanah yang sudah diperoleh penguasaannya tetapi belum dipergunakan

sesuai dengan sifat dan tujuan pemberian haknya wajib dimanfaatkan

oleh penduduk setempat untuk menanami tanah kosong dengan

tanaman pangan dengan terlebih dahulu membuat atau

menandatangani perjanjian dan perjanjian tersebut dapat diputuskan

sewaktu-waktu apabila pihak perusahaan sebagai pemilik

membutuhkan tanah tersebut dan kepada penggarap wajib


24
Syafruddin Kalo, 2005, Kapita Selekta Hukum Pertanahan, Studi Tanah Perkebunan
di Sumatera Timur, USU Press, Medan, hlm. 60.
26

mengembalikan dan menyerahkan kembali tanah yang dipinjami

tersebut kepada perusahaan dalam keadaan baik dan tidak menuntut

ganti rugi atau kompensasi dalam bentuk apa pun. Perjanjian tersebut

ditandatangani untuk jangka waktu 1 (satu) tahun dan dapat

dilanjutkan lagi atau diperpanjang untuk waktu yang sama berdasarkan

persetujuan tertulis dari perusahaan.25

Para buruh perkebunan sebenarnya sebelum perang juga sudah

mulai merasakan masuknya kelompok-kelompok orang yang mulai

mengusahakan lahan “secara tidak sah”. Ketika selesai peperangan tidak

ada kepemimpinan yang jelas, kelompok- kelompok ini, dalam rangka

untuk memperkuat tindakan-tindakan mereka dalam mengusahakan

lahan/tanah eks perkebunan, secara sosiologis membentuk persatuan-

persatuan (tani bonden).

Pengukuran dilakukan untuk kepentingan para anggota

persatuan tani. Baik pihak Belanda maupun Pemerintah Indonesia

kemudian berulangkali berusaha untuk mengakhir okupasi yang

dilakukan oleh kelompok- kelompok ini, namun tidak memberikan

hasil yang memuaskan. Pada tahun 1947, onwettige occupatie di lahan

tembakau sudah mencapai ± 12.000 ha. Dan pada akhir tahun 1951

telah mencapai 25.000 ha dan angka ini terus bertambah di tahun-

tahun berikutnya. Untuk jenis tanaman lainnya yang belum diusahakan,

pada tahun 1951, ada sekitar 54.000 ha yang diusahai dalam


25
D. Soetrisno, 2004, Tata Cara Perolehan Tanah Untuk Industri¸ Rineka Cipta,
Jakarta, hlm. 29.
27

terminology onwettige occupatie, sementara 22.000 ha mendapatkan

izin dari perusahaan perkebunan.26

Akibat perkembangan-perkembangan politik, pemerintah

Republik Indonesia merasa perlu sesudah bulan Desember 1949

mengeluarkan pernyataan tegas terhadap pengambilan tanah kebun

secara tidak sah. Maka, pada tanggal 22 Mei 1950 dalam Maklumat

Bersama No.248/1950 yang ditandatangani oleh Wali Negara

Sumatera Timur (T. Dr. Mansoer) dan Gubernur Militer VII (Kolonel

M. Simbolon), diulangi lagi ketentuan-ketentuan dalam staatsblad

1948/110 tersebut bagi daerah ini. Inti dari Maklumat Bersama itu

adalah bahwa untuk pengambilan tanah secara tidak sah yang terjadi

hingga waktu itu tidak digugat Hanya pengambilan tanah secara tidak

sah sesudah tanggal 22 Mei 1950 akan dihukum, dengan harapan

serta kepercayaan bahwa hal ini akan menghalangi pengambilan-

pengambilan tanah selanjutnya oleh Serikat-Serikat Tani. Di sini

dapatlah dikatakan adanya standfast untuk pertama kalinya sejak

berlakunya ketentuan mengenai ancaman hukum dalam

Staatsblad1948/110 tersebut.

Fakta di lapangan menunjukkan juga bahwa Ketetapan Residen

Sumatera Timur N.R.I No.1138/VI/16 tertanggal 1 Mei tahun 1947

tentang peminjaman lahan sebesar 40.000 ha kepada kelompok-

kelompok tani tidak berjalan dengan apa yang dibayangkan, terutama


26
Edy Iksan, 2015, Konflik Tanah Ulayat dan Pluralisme Hukum, Yayasan Pustaka
Obor Indonesia, Jakarta, hlm. 151-152.
28

oleh para petani. Pengurus Gerak Tani, salah satu Serikat Tani yang

terkemuka di saat itumenunjukkan sejumlah hambatan untuk

mengusahakan lahan yang dipinjamkan oleh pihak perkebunan.

Kondisi yang menyebabkan semakin parahnya kemelaratan kelompok

tani dipakai oleh Serikat Tani untuk melancarkan tekanan kepada

pihak perkebunan untuk konsisten menjalankan Ketetapan Residen

Sumatera Timur. Jika tidak mereka akan maju untuk mengusahai

kembali tanah-tanah yang dipinjamkan.27

Untuk mengatasi semakin meningkatnya pemakaian tanah-

tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya, maka oleh pemerintah

dengan Undang-Undang Nomor 51 Prp Tahun 1960 Tentang

Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya,

yang dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 ditetapkan

menjadi Undang-Undang. Karena tanah pada saat itu dibutuhkan,

pemerintah Jepang terpaksa mengeluarkan beberapa instruksi

penggunaan tanah, terutama tanah-tanah pertanian, antara lain:

1. Agar tanah-tanah pertanian ditingkatkan produksinya terutama

tanaman pangan untuk kepentingan perang.

2. Hutan-hutan boleh digarap untuk perkebunan, tanpa

memperdulikan akibatnya terhadap lingkungan.

3. Tanah-tanah perkebunan yang diterlantarkan (karena rotasi) bebas

untuk digarap rakyat untuk pertanian pangan, sehingga

27
Ibid, hlm. 153.
29

penggarapan tanah-tanah perkebunan ini sampai dengan sekarang

susah diatasi. Rotasi dimaksudkan disini merupakan pemakaian

tanah secara bergiliran yang dipraktekkan pada perkebunan

tembakau, dimana lahan untuk menanam tembakau ini tidak dapat

dipergunakan secara terus menerus tapi harus bergiliran dengan

arti bahwa yang tidak dapat giliran untuk ditanami, lahannya

dihutankan dulu dengan tujuan agar tanahnya subur kembali.

Lahan yang dihutankan inilah yang dianggap sebagai lahan yang

diterlantarkan oleh pihak perusahaan perkebunan.28

Di dalam praktek, pengertian tanah garapan yang

dikembangkan oleh para penggarap, aparatur pemerintahan dan para

aktor hukum, tidak sepenuhnya mendekati pengertian sebagaimana

ditentukan dalam peraturan perundangan di atas, utamanya ketentuan

dalam Keputusan Kepala BPN tersebut. Dalam kenyataanya, alih-alih

dianggap sebagai pendudukan tidak sah, tanah garapan justru

dipersamakan dengan tanah hak milik. Tanah garapan dianggap

sebagai hak milik karena penggarap dapat menunjukan surat-surat

yang membuktikan bahwa ia memiliki alas atau bukti hak atas tanah

tersebut. Untuk keperluan jual beli tanah dan mendapatkan ganti rugi,

surat-surat seperti surat keterangan tanah dari camat tersebut

dipersamakan dengan sertipikat hak.

28
Chadidjah Dalimunthe, 2005, Pelaksanaan Landreform Di Indonesia Dan
Permasalahannya, Universitas Sumatera Utara, Medan, hlm. 81.
30

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tanah

garapan adalah hubungan antara penggarap dengan sebidang tanah

negara baik berdasarkan surat- surat keputusan, surat izin, atau surat-

surat lain, maupun yang tidak berdasarkan sesuatu surat pemberian

atas tanah, Namun, UUPA tidak mengatur adanya tanah garapan

karena tanah garapan bukan status hak atas tanah. Dalam peraturan

perundang-undangan terdapat istilah tanah garapan yaitu tanah tanpa

ijin pemilik atau kuasanya dan pendudukan tanah tidak sah mnurut

hukum.

2.3.2. Kepemilikan Atas Tanah Garapan


Kepemilikian suatu tanah bisa dikatakan sempurna dan kuat

bila kepemilikan tanah tersebut memilki 2 aspek pembuktian, yaitu:

1. Bukti Surat

Sertipikat tanah merupakan bukti kepemilikan yang terkuat,

namun hal itu tidaklah mutlak. Artinya, sebuah sertipikat

dianggap sah dan benar selama tidak terdapat tuntutan pihak lain

untuk membatalkan sertipikat tersebut. Oleh karena itu, ada 4

prinsip yang wajib dipenuhi dalam penerbitan sertipikat hak atas

tanah yaitu:

a. Status atau dasar hukum (alas hak kepemilikan). Hal ini untuk

mengetahui atas dasar apa tanah tersebut diperoleh; apakah jual

beli, hibah, warisan, tukar-menukar, atau dari hak garap tanah

negara, termasuk juga riwayat tanahnya.

b. Identitas pemegang hak (kepastian subyek). Yaitu untuk


31

memastikan siapa pemegang hak sebenarnya dan apakah orang

tersebut benar-benar berwenang untuk mendapatkan hak tanah

yang dimaksud.

c. Letak dan luas obyek tanah (kepastian obyek). Hal tersebut

diwujudkan dalam bentuk surat ukur atau Gambar Situasi (GS)

untuk memastikan di mana letak atau batas-batas dan luas tanah

tersebut agar tidak tumpang tindih dengan tanah orang lain,

termasuk untuk memastikan obyek tanah tersebut ada atau tidak

ada (fiktif).

d. Prosedur penerbitannya (prosedural). Maksudnya adalah harus

memenuhi asas publisitas yaitu dengan mengumumkan pada

kantor kelurahan atau kantor pertanahan setempat tentang

adanya permohonan hak atas tanah tersebut, agar pihak lain

yang merasa keberatan dapat mengajukan sanggahan sebelum

pemberian hak (sertipikat) itu diterbitkan (pengumuman

tersebut hanya diperlukan untuk pemberian hak atau sertipikat

baru bukan untuk balik nama sertipikat).

Peraturan Pemerintah tentang Pendaftran Tanah

(Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997), apabila terdapat

cacat hukum atau tidak memenuhi syarat dari salah satu atau

lebih dari 4 prinsip di atas, maka konsekuensinya pihak ketiga

yang mempunyai kepentingan terhadap tanah tersebut dapat

mengajukan permohonan pembatalan sertipikat, baik melalui


32

Putusan Pengadilan ataupun Putusan Menteri Negara

Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional. Selain sertipikat,

terdapat pula bukti surat lainnya yang biasa dikenal dengan

nama Girik, Ketitir, Ireda, Ipeda, SPPT (PBB) untuk tanah-

tanah milik adat atau tanah garapan.

2. Bukti Fisik

Bukti ini untuk memastikan bahwa orang yang

bersangkutan benar-benar menguasai secara fisik tanah tersebut

dan menghindari terjadinya dua penguasaan hak yang berbeda

yaitu hak atas (fisik) dan hak bawah (surat). Hal ini penting di

dalam proses pembebasan tanah, khususnya dalam pelepasan hak

atau ganti rugi, dan untuk memastikan bahwa si pemegang surat

(sertipikat) tersebut tidak menelantarkan tanah tersebut karena

adanya fungsi sosial tanah. Namun yang paling penting adalah

aspek legalnya. Selain itu guna mencegah kerugian di kemudian

hari, ada juga beberapa hal tentang pembayaran dan

penandatanganan Akta Jual Beli (AJB) yang harus diperhatikan.

Beberapa hal tersebut adalah:

a. Pengecekan keabsahan sertipikat tanah di kantor pertanahan

setempat dan memastikan rumah tersebut letaknya sesuai

dengan gambar situasi di sertipikat.

b. Pastikan bahwa si penjual adalah pemegang hak yang sah atas

rumah tersebut dengan cara memeriksa buku nikah dan Fatwa


33

Waris, untuk mengetahui siapa saja ahli waris yang sah, karena

harta tersebut adalah harta warisan dari suaminya.

c. Minta surat keterangan dari pengadilan negeri setempat, apakah

rumah tersebut dalam sengketa atau tidak.

d. Minta keterangan tentang advis planning dari Kantor Dinas Tata

Kota setempat untuk mengetahui rencana perubahan peruntukan

di lokasi tersebut.

e. Periksa Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk memastikan

apakah renovasi tersebut sesuai dengan IMB perubahannya. Jika

tidak bangunan itu bisa disegel atau denda.

f. Pastikan yang menandatangani AJB dari pihak penjual adalah

ahli waris yang sah atau setidaknya mempunyai kuasa untuk

kepentingan tersebut. Semua transaksi tanah dan bangunan bisa

dilakukan dengan aman apabila sesuai dengan prosedur legal

yang berlaku.

Mengenai pemberian hak atas tanah garapan sebenarnya tidak

dijelaskan dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan

Dasar Pokok-Pokok Agraria. Walaupun mengenai tanah garapan tidak

ada dalam UUPA, definisinya tercantum di dalam Keputusan Kepala

Badan Pertanahan Nasional atau BPN No. 2 Tahun 2003 Tentang

Norma dan Standar Mekanisme Ketatalaksanaan Kewenangan

Pemerintah di Bidang Pertanahan yang Dilaksanakan oleh Pemerintah

Kabupaten atau Kota. Tanah garapan didefinisikan sebagai sebidang


34

tanah yang sudah atau belum diberikan izin penggunaan dan

pemanfaatan kepada pihak lain baik dengan persetujuan atau tanpa

persetujuan pemilik dengan atau tanpa jangka waktu tertentu.

Sementara pemberian atau peralihan hak penggarapan atas

sebidang tanah berkaitan erat dengan legalitas kepemilikan tanah dan

legalitas perjanjian. Hal ini karena mengingat hak menggarap tidak

atau belum diatur oleh Undang-Undang Pokok Agraria. Maka dalam

hal ini surat keterangan menggarap dan surat pernyataan menggarap

harus ada sebagai landasan hukum. Karena dalam hal peralihan atas

benda bergerak ataupun benda tidak bergerak membutuhkan kejelasan

atas landasan hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban.

Pada umumnya pemilik ataupun pemohon tanah garapan

adalah rakyat yang tidak memiliki hak atas tanah dan berlatar belakang

ekonomi lemah. Disamping itu tanah juga bisa diberikan kepada

penduduk yang telah lama mendiami dan mengerjakan suatu bidang

tanah yang merupakan tanah negara yang berada suatu kawasan

tertentu.

Pada dasarnya tanah garapan itu tidak bisa diperjual belikan

karena masih merupakan milik negara, namun tanah garapan dapat

dialihkan hak atas garapan yang melekat padanya kepada pihak lain.

Dalam Pasal 13 ayat (3) Kepmen Ag No. 21/1994 sendiri ditentukan

bahwa tanah negara yang dipakai oleh pihak ketiga pada dasarnya

dapat diperoleh untuk disertifikasi menjadi hak-hak atas tanah yang


35

baru. Hal ini menandakan Peraturan Perundang-undangan sebenarnya

memperbolehkan dilakukannya peralihan terhadap tanah garapan.

Peralihan tanah garapan hanya dapat dilakukan dengan cara

pelepasan hak atas tanah. Pasal 13 ayat 3 Kepmen Ag No. 21/1994

menentukan bahwa jika tanah yang diperlukan perusahaan merupakan

tanah Negara yang dipakai oleh pihak ketiga, maka pihak yang

memakai tanah tersebut melepaskan semua hubungannya dengan tanah

yang bersangkutan sehingga tanah itu menjadi tanah negara.

Adapun sertifikasi tanah garapan pada umumnya sama dengan

perolehan tanah umumnya adalah yaitu dilakukan melalui melalui dua

cara:

1. Perolehan tanah melalui pemindahan hak

Perolehan tanah melalui pemindahan hak dilakukan apabila

tanah yang bersangkutan sudah dipunyai dengan hak atas tanah

‘yang sama jenisnya’ dengan hak atas tanah yang dilakukan oleh

perusahaan dalam menjalankan usahanya, dengan ketentuan bahwa

apabila perusahaan-perusahaan yang bersangkutan menghendaki,

hak atas tanah tersebut dapat juga dilepaskan untuk kemudian

dimohon hak sesuai ketentuan yang berlaku.

2. Perolehan tanah melalui penyerahan atau pelepasan hak

Perolehan tanah melalui penyerahan atau pelepasan hak

dilakukan apabila tanah yang diperlukan dipunyai dengan Hak

Milik atau hak lain ‘yang tidak sesuai’ dengan jenis hak yang
36

diperlukan oleh perusahaan dalam menjalankan usahanya, dengan

ketentuan bahwa jika yang diperlukan adalah tanah dengan Hak

Guna Usaha, maka apabila perusahaan yang bersangkutan

menghendaki, perolehan tanahnya dapat dilakukan melalui

pemindahan hak dengan mengubah hak atas tanah tersebut menjadi

Hak Guna Usaha.

Penyerahan atau pelepasan hak atas tanah untuk keperluan

perusahaan dalam rangka pelaksanaan Izin Lokasi dilakukan oleh

pemegang hak atau kuasanya dengan pernyataan penyerahan atau

pelepasan hak atas tanah yang dibuat di hadapan Kepala Kantor

Pertanahan setempat. Sebagai tambahan, apabila diperlukan

sebelum dilaksanakan penyerahan atau pelepasan hak atas tanah

dapat diadakan perjanjian kesediaan menyerahkan atau melepaskan

hak atas tanah yang berisi kesepakatan bahwa, dengan menerima

ganti kerugian, pemegang hak bersedia:

a. Menyerahkan tanah hak miliknya sehingga tanah tersebut jatuh

pada Negara;

b. Melepaskan Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan atau Hak

Pakainya sehingga tanah tersebut menjadi tanah Negara, untuk

kemudian diberikan kepada perusahaan dengan hak atas tanah

yang sesuai dengan keperluan perusahaan tersebut untuk

menjalankan usahanya.29

29
Obbie Afri Gultom, Tata Cara Memperoleh Tanah Garapan, http://www.gultomlaw
consultants.com/tata-cara-memperoleh-tanah-garapan/, diakses tanggal 20 Oktober 2015.
37

Mengenai konflik pertanahan adalah merupakan bentuk

ekstrim dan keras dari persaingan. Konflik agraria ialah proses

interaksi antara dua (atau lebih) atau kelompok yang masing-

masing memperjuangkan kepentingannya atas obyek yang sama,

yaitu tanah dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah,

seperti air, tanaman, tambang, juga udara yang berada di atas tanah

yang bersangkutan. Secara makro sumber konflik besifat struktural

misalnya beragam kesenjangan. Secara mikro sumber konflik atau

sengketa dapat timbul karena adaya perbedaan atau benturan nilai

(kultural), perbedaan tafsir mengenai informasi, data atau

gambaran obyektif kondisi pertanahan setempat (teknis), atau

perbedaan benturan kepentingan ekonomi yang terlihat pada

kesenjangan struktur pemilikan dan penguasaan tanah.

Masalah tanah dilihat dari segi yuridis merupakan hal yang

0tidak sederhana pemecahannya. Timbulnya sengketa hukum

tentang tanah adalah bermula dari pengaduan satu pihak (orang

atau badan) yang berisi tentang keberatan-keberatan dan tuntutan

hak atas tanah baik terhadap status tanah ataupun prioritas

kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian

secara administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan yang

berlaku.30

Secara garis besar peta permasalahan tanah dapat


30
Rusmadi Murad, Loc.Cit
38

dikelompokkan menjadi 5 yaitu :

1. Masalah penggarapan rakyat atas tanah areal perkebunan,

kehutanan, proyek perumahan yang diterlantarkan dan lain-

lain;

2. Masalah yang berkenaan dengan pelanggaran ketentuan

landreform;

3. Ekses-ekses dalam penyediaan tanah untuk keperluan

pembangunan;

4. Sengketa perdata berkenaan dengan masalah tanah;

5. Masalah yang berkenaan dengan hak ulayat masyarakat hukum

adat.

Secara umum ada beberapa macam sifat permasalahan dari

suatu sengketa hukum tanah, antara lain:

1. Masalah yang menyangkut prioritas dapat ditetapkan sebagai

pemegang hak yang sah atas tana berstatus hak, atau atas tanah

yang belum ada haknya;

2. Bantahan terhadap sesuatu alas hak atau bukti perolehan yang

digunakan sebagai dasar pemberian hak;

3. Kekeliruan atau kesalahan pemberian hak yang disebabkan

penerapan peraturan yang kurang atau tidak benar;

4. Sengketa atau masalah lain yang mengandung aspek-aspek

sosial praktis.

Alasan sebenarnya yang menjadi tujuan akhir dari sengketa


39

bahwa ada pihak yang lebih berhak dari yang lain (prioritas) atas

tanah yang disengketakan. Oleh karena itu penyelesaian sengketa

hukum terhadap sengketa tanah tersebut tergantung dari sifat

permasalahan yang diajukan dan prosesnya akan memerlukan

beberapa tahap tertentu sebelum diperoleh suatu keputusan.

Permasalahan tanah makin kompleks dari hari ke hari,

sebagai akibat meningkatnya kebutuhan manusia akan ruang. Oleh

karena itu pelaksanaan dan implementasi Undang-Undang Pokok

Agraria di lapangan menjadi makin tidak sederhana. Persaingan

mendapatkan ruang (tanah) telah memicu konflik baik secara

vertikal maupun horizontal yang makin menajam. Perlu disadari

bahwa sengketa pertanahan sesungguhnya bukanlah hal baru.

Tanah tidak saja dipandang sebagai alat produksi semata

melainkan juga sebagai alat utuk berspekulasi (ekonomi) sekarang

ini kelihatannya tanah sudah menjadi alat komoditi perdagangan

yang dapat dipertukarkan.

Tanah dalam perspektif hubungannya dengan orang dan

badan hukum yang memerlukan jaminan kepastian hukum akan

haknya. Yang dimaksud kepastian hukum tidak lain adalah

kepastian akan perlindungan hukum terhadap hak atas tanah yang

bersangkutan, yaitu perlindungan terhadap hubungan hukumnya

serta perlindungan terhadap pelaksanaan kewenangan haknya.

Dalam hubungan dengan tanah, kepastian hukum berkaitan dengan


40

kepastian mengenai letak dan batas-batas tanah yang telah dilekati

hak dimaksud. Hal ini berarti bahwa setiap hak tanah dituntut

kepastian mengenai subyek, obyek serta pelaksanaan kewenangan

hak. Ketika tidak ada kepastian hukum hak atas tanah maka masih

terjadi masalah pertanahan.31

Untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak

atas tanah bagi rakyat maka pemerintah akan melakukan

pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia

sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) UUPA, yang

menyebutkan bahwa “untuk menjamin kepastian hukum oleh

Pemerintah diadakan pendaftaran tanah, yang diatur dengan

Peraturan Pemerintah.32

Sekalipun tidak diatur dalam UUPA, sejumlah peraturan

perundangan organiknya sebenarnya sudah mencoba mengatur

tanah garapan. Diantaranya adalah aturan mengenai surat izin

menggarap yang diberikan dalam rangka landreform. Sebelumnya,

tanah garapan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 224

Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian

Ganti Kerugian. Namun, pendefinisian mengenai tanah garapan

baru dilakukan kemudian dengan menempuh metode evolusi.

Awalnya, tanah garapan hanya diartikan sebagai pengusahaan atau

31
Rusmadi Murad, 2007, Menyingkap Tabir Masalah Pertanahan, Rangkaian
Tulisan dan Materi Ceramah, Mandar Maju, Bandung, hlm. 75.
32
AP. Parlindungan, 1993, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar
Maju, Bandung, hlm. 133.
41

pengolahan tanah negara oleh individu atau kelompok secara tidak

sah. Tanah garapan dalam pengertian semacam ini tidak berbeda

dengan pendudukan tidak sah.

Kenyataannya, meski telah mendapat pengakuan hukum

atas keberadaan tanah garapan ini, namun tidak serta merta atas

tanah garapan dimaksud dapat didaftarkan haknya oleh masyarakat

penggarap untuk mendapatkan kepastian hukum hak atas tanah

yang dikuasainya oleh karena masih terdaftar sebagai aset BUMN,

sehingga keadaan ini memposisikan tanah tersebut menjadi status

quo.

2.3.3. Bentuk-bentuk Alas Hak Tanah Garapan


Menurut hukum agraria, tanah berarti permukaan bumi paling

luar berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar. Hukum tanah

disini bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya, melainkan hanya

mengatur salah satu aspeknya saja yaitu aspek yuridisnya yang disebut

dengan hak-hak penguasaan atas tanah. Dalam hukum, tanah

merupakan sesuatu yang nyata, yaitu berupa permukaan fisik bumi

serta apa yang ada di atasnya merupakan buatan manusia yang disebut

fixtures. Walaupun demikian perhatian utamanya adalah bukan

tanahnya itu, melainkan kepada aspek kepemilikan dan penguasaan

tanah serta perkembangannya. Objek perhatiannya adalah hak-hak dan

kewajiban-kewajiban berkenaan dengan tanah yang dimiliki dan

dikuasai dalam berbagai bentuk hak penguasaan atas tanah.

Semua hak atas tanah memberikan kewenangan untuk


42

menggunakan tanah yang dihaki, tetapi sifat-sifat khusus haknya,

tujuan penggunaan tanahnya dan batas waktu penggunaannya

merupakan pembeda antara hak yang satu dengan hak yang lain. Hak

milik misalnya, sebagai hak yang terkuat dan terpenuh diantara hak-

hak atas tanah yang lain, boleh digunakan untuk segala keperluan yang

terbuka bila dibandingkan dengan hak-hak atas tanah yang lain, tanpa

batas waktu tertentu.

Andi Hamzah memberikan pengertian tanah dengan mengacu

pada pengertian agrarian seperti yang diatur dalam UUPA. Pasal 1

ayat (4) UUPA dalam penjelasan umum menyatakan bahwa dalam

pada itu hanya permukaan bumi saja yaitu yang disebut tanah yang

dapat dikuasai oleh seseorang. Jadi tanah adalah permukaan bumi.33

I Gede Wiranata menjelaskan bahwa tanah mempunyai sifat :

1. Tanah adalah benda yang menyimpan kekayaan yang

menguntungkan;

2. Tanah merupakan sarana tempat tinggal bagi persekutuan hukum

dan seluruh anggotanya sekaligus member penghidupan kepada

pemiliknya;

3. Tanah merupakan kesatuan dimana nanti pemiliknya akan dikubur

setelah meninggal, sekaligus merupakan tempat leluhur persekutuan

selama beberapa generasi sebelumnya.34

33
Andi Hamzah, 2012, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 32.
34
I Gede Wiranata, 2009, Hukum Adat Indonesia, Perkembangannya dari Masa
ke Masa, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 224-225.
43

Berdasarkan pendapat para ahli tersebut maka pengertian tanah

adalah permukaan bumi (yuridis) yang menyimpan kekayaan untuk

mencukupi kebutuhan hidup dan kehidupan manusia perseorangan dan

kelompok (ekonomi). Tanah sebagai tempat tinggal atau kediaman,

tempat mereka mengembangkan kehidupan keluarga secara turun-

temurun dan bersifat abadi.

Dalam hukum perdata dikenal jaminan yang bersifat hak

kebendaan dan hak perorangan. Jaminan yang bersifat kebendaan

merupakan jaminan hak mutlak atas suatu benda yang mempunyai ciri

langsung atas benda tertentu, dapat dipertahankan terhadap siapapun,

selalu mengikuti bendanya (droit de suit) dan dapat diperalihkan.

Untuk memperoleh jaminan hukum atas tanah, maka harus

memperhatikan riwayat tentang peralihan hak atas tanah tersebut, baik

berupa ganti rugi tanah, hibah atau sengketa yang mungkin pernah

ada. Pengecekan dapat dilakukan melalui buku tanah desa atau

langsung juga ke badan pertanahan setempat. Hal ini perlu dan penting

dilakukan karena pada umumnya terkadang ada ketidakcocokan

riwayat kelurahn dan BPN.

Alas hak atas tanah adalah merupakan persoalan yang sangat

penting bagi masyarakat, di mana alas hak merupakan dasar bagi

seseorang untuk dapat memiliki hak atas tanah. Keberadaan surat

keterangan tanah, sebagai salah satu pembuktian hak dalam penerbitan

sertipikat pada kantor pertanahan, dapat menimbulkan ketidakpastian


44

bagi pemegang hak. Akibatnya, meskipun sertipikat merupakan alat

bukti yang kuat bagi pemegangnya, namun hal tersebut belum bisa

memberikan jaminan adanya kepastian hukum bagi pemilik tanah.

Alas hak adalah merupakan alat bukti dasar seseorang dalam

membuktikan hubungan hukum antara dirinya dengan hak yang

melekat atas tanah. Oleh karenamya sebuah alas hak harus mampu

memjabarkan kaitan hukum antara subjek hak (individu atau badan

hukum) dengan suatu objek hak (satu atau beberapa bidang tanah)

yang ia kuasai, artinya dalam sebuah alas hak sudah seharusnya dapat

menceritakan secara lugas, jelas dan tegas tentang detail kronolpgis

bagaimana seseorang dapat menguasai suatu bidang tanah sehingga

jelas riwayat atas kepemilikan terhadap tanah tersebut.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997

tentang Pendaftaran Tanah, alas hak di bawah tangan dapat dijadikan

sebagai dasar penerbitan sertipikat dan memiliki kekuatan pembuktian.

alas hak di bawah tangan tidak memiliki kekuatan hukum namun tetap

dapat digunakan sebagai dasar penerbitan Sertipikat Hak Milik

sepanjang data yang diterangkan di dalamnya mengandung kebenaran.

Banyaknya Kelurahan atau Desa yang tidak memiliki buku tanah desa

menyebabkan munculnya surat-surat tanah yang tidak bisa

dipertanggungjawabkan. Akibatnya, meskipun sertipikat merupakan

alat bukti yang kuat bagi pemegangnya namun belum bisa

memberikan jaminan adanya kepastian hukum bagi mereka mengingat


45

bahwa asas yang dianut oleh sistem pendaftaran tanah di Indonesia

adalah asas negatif (bertendensi positif) yaitu sebuah sertipikat dapat

dibatalkan jika ada pihak lain yang dapat membuktikan

kepemilikannya atas tanah tersebut.

Upaya yang dilakukan dalam mengatasi kendala alas hak di

bawah tangan sebagai dasar penerbitan sertipikat, dalam

mengantisipasi munculnya masalah dalam penggunaan alas hak di

bawah tangan, sebagai dasar penerbitan sertipikat, maka dalam proses

pembuatan surat tanah yang berdasarkan alas hak di bawah tangan,

maka seluruh pihak yang terkait harus mengutamakan ketelitian dan

kecermatan serta kehati-hatian agar tidak menyebabkan ketidakpastian

bagi para pemilik sertipikat ataupun pemilik tanah yang sebenarnya.

Alas hak atas tanah garapan berupa surat-surat yang dibuat

oleh para Notaris atau Camat dengan berbagai macam ragam bentuk

ditujukan untuk menciptakan bukti tertulis dari tanah-tanah yang

dikuasai oleh warga masyarakat. Penerbitan bukti-bukti pengusaan

tanah tersebut ada yang dibuat di atas tanah yang belum dikonversi

maupun tanah-tanah yang dikuasai oleh Negara dan kemudian tanah

tersebut diduduki oleh masyarakat baik dengan sengaja ataupun diatur

oleh Kepala Desa dan disahkan oleh Camat, seolah-olah tanah tersebut

telah merupakan hak seseorang ataupun termasuk kategori hak-hak

adat.

Dalam perkembangannya alas hak atas tanah ini dikenal


46

dengan Surat Keterangan Tanah. Surat keterangan camat tentang tanah

ini diperlukan sebagai alas hak terhadap pengalihan tanah-tanah yang

belum bersertipikat yang masih merupakan tanah Negara yang dapat

dialihkan atau diganti-rugikan oleh atau dihadapan camat yang secara

umum disebut dengan surat pernyataan pelepasan hak dengan ganti

rugi. Surat keterangan camat tentang tanah tersebut merupakan alas

hak yang digunakan apabila akan diajukan upaya untuk meningkatkan

status tanah tersebut menjadi sertipikat hak atas tanah di Kantor

Pertanahan setempat.

Berdasarkan kedudukannya tanah terbagi menjadi tanah yang

bersertipikat dan tanah yang belum bersertipikat. Tanah yang

bersertipikat adalah tanah yang memiliki hak dan telah terdaftar di

kantor pertanahan setempat sedangkan tanah yang belum bersertipikat

merupakan tanah yang belum memiliki hak tertentu dan status

tanahnya masih merupakan tanah Negara. Dalam hal ini surat

keterangan camat tentang tanah garapan termasuk terhadap tanah yang

belum bersertipikat.

Surat Keterangan Tanah yang mana merupakan alas hak yang

banyak dipergunakan di berbagai daerah terdapat istilah yang berbeda

akan tetapi hal ini sama halnya dengan surat dasar atau sebagian

masyarakat menyebutnya dengan “SK Camat” dan hal ini termasuk

dalam lain-lain bentuk alat pembuktian tertulis dengan nama apapun

juga.
47

Surat keterangan ganti rugi melalui peralihan hak tanah ini

dibuat oleh pihak- pihak yang berkepentingan, yaitu pihak yang

tanahnya diganti rugi (penggarap) dan pihak yang memberi kerugian

(pembeli). Prosesnya cukup sederhana, dimulai dengan kesaksian

ketua Rukun Tetangga (RT), ketua Rukun Warga (RW), kemudian

diketahui oleh kepala desa, disetujui oleh kepala desa atau lurah dan

seterusnya dikuatkan oleh camat serta saksi-saksi.

Selain itu, perlindungan hukum yang diberikan oleh

pemerintah atas tanah, maka pemerintah memberikan surat tanda bukti

hak atas sebidang tanah. Surat tanda bukti hak ini dinamakan sertipikat

dan berlaku sebagai alat bukti yang kuat, artinya bahwa keterangan

yag tercantum di dalamnya mempunyai kekuatan hukum dan harus

diterima oleh hakim, sebagai keterangan yang benar sepanjang tidak

ada alat pembuktian lain yang membuktikan sebaliknya.

Untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada

pemegang hak yang bersangkutan diberikan sertipikat hak atas tanah.35

Penerbitan sertipikat diperlukan suatu proses yang melibatkan pihak

pemohon, para pemilik tanah maupun pihak instansi yang terkait untuk

memperoleh penjelasan dan surat-surat sebagai alas hak yang

berhubungan dengan permohonan sertipikat tersebut.

Namun disamping itu juga dengan tegas dikemukakan dalam

membedakannya ada juga disebut hak tanah yang terdaftar dan hak

35
Urip Santoso, 2011, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, Prenada Media
Group, Jakarta, hlm. 42.
48

atas yang belum terdaftar. Hal ini sekedar mengokohkan hubungan

hukum dari orang yang ingin menggunakan atau memiliki hak itu saja

serta terkait dengan kegiatan administratif dari pemerintah dalam

rangka memberikan kepastian hukum atas pemilikan tanah tersebut

berupa pendaftaran tanah.36

Dengan mendaftarkan tanah maka akan memberikan jaminan

kepastian hukum dan perlindungan hukum. Adanya jaminan kepastian

hukum berarti pemegang hak atas tanah tersebut paling tidak bahwa

baginya telah memiliki dokumen atas tanahnya. Begitu pula

merupakan jaminan perlindungan hukum bilamana suatu saat harus

berhadapan dengan pihak lain melalui pengadilan Berdasarkan uraian

di atas disimpulkan bahwa alas hak atas tanah merupakan alat bukti

dasar seseorang dalam membuktikan hubungan hukum antara dirinya

dengan hak yang melekat atas tanah. Alas hak tanah harus mampu

menjabarkan kaitan hukum antara subjek hak dengan suatu objek hak

(satu atau beberapa bidang tanah) yang kuasai pemiliknya. Artinya

dalam sebuah alas hak tanah sudah seharusnya dapat menceritakan

secara lugas, jelas dan tegas tentang detail kronolpgis bagaimana

seseorang dapat menguasai suatu bidang tanah sehingga jelas riwayat

atas kepemilikan terhadap tanah tersebut.

36
Muhammad Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis, 2013, Kepemilikan Properti Di
Indonesia, Mandar Maju, Bandung, hlm. 16.
49
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN TENTANG PELAKSANAAN PEMBAGIAN
TANAH HASIL GARAPAN KEPADA ANGGOTA KELOMPOK TANI ADAT KARYA
HAMPAPAK/MARANG DI KOTA PALANGKA RAYA

3.1. Pelaksanaan Perjanjian Pembangunan Jalan, Pembuatan Kanal Air


Dan Pembagian Tanah Kepada Anggota Kelompok Tani Adat Karya
Hampapak/Marang Di Kota Palangka Raya

Setiap anggota masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya

melakukan berbagai perikatan ataupun perjanjian dengan mengadakan

hubungan satu sama lain, terutama dengan melakukan hubungan dalam

pertukaran barang dan jasa dalam lalu lintas ekonomi.

Undang-undang tidak memberikan definisi tentang “perikatan”.

Namun, mayoritas penulis bisa menerima rumusan yang dalam garis besar

berbunyi, “perikatan adalah suatu hubungan hukum harta kekayaan antara dua

orang atau lebih, yang menurut ketentuan seseorang atau lebih berhak atas

sesuatu, sedangkan yang seorang lagi atau lebih berkewajiban untuk itu”.37

Perikatan berasal dari bahasa Belanda yaitu verbintenis atau dalam

bahasa inggris disebut binding. Verbintenis berasal dari perkataan Bahasa

Perancis yaitu obligation yang terdapat dalam code civil Perancis, dan yang

selanjutnya merupakan terjemahan dari kata obligation yang teradapat dalam

hukum Romawi corpus juris civilis. Menurut Hogmann, perikatan atau

verbintenis adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek-

37
GR. Van Der Burght, 2012, Buku Tentang Perikatan Dalam Teori Dan Yurisprudensi,
CV. Mandar Maju, Bandung, hlm. 1.

50
51

subjek hukum sehubungan dengan itu, seseorang mengikatkan dirinya untuk

bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak yang lain, yang berhak atas

sikap demikian itu.38

Perjanjian adalah salah satu contoh tindakan hukum berganda, akan

tetapi terdapat beberapa tindakan hukum yang dilakukan oleh beberapa orang,

tetapi tidak dapat digolongkan pada perjanjian, misalnya sepakat/keputusan

yang tercapai dalam rapat.39 Disinilah letak perjanjian tanpa adanya penjelasan

lebih lanjut menunjuk pada perjanjian obligator, yaitu perjanjian yang

menimbulkan perikatan.

Berkaitan dengan hal tersebut, pada dasarnya menurut Pasal 1313

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ditentukan bahwa, “Suatu persetujuan

adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri

terhadap satu orang lain atau lebih”. Dengan demikian dapat disimpulkan

bahwa perjanjian ialah suatu kesepakatan yang menimbulkan perikatan.

Kepastian pelaksanaan kewajiban dan pemenuhan hak para pihak

dalam perjanjian dijamin dengan adanya perjanjian tertulis. Suatu perjanjian

akan memuat tanggungjawab dan kewajiban serta hak para pihak yang

berjanji. Menurut kebiasaannya suatu perjanjian, tak jarang memuat akibat

hukum apabila terjadi wanprestasi dan perbuatan melawan hukum. Dimuatnya

konsekuensi atau akibat hukum apabila tidak melaksanakan kewajiban atau

perbuatan yang melanggar dalam suatu perjanjian, bertujuan agar para pihak

38
R. Setiawan, 1999, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Putra Abardin, Jakarta, hlm. 2.
39
Herlien Budiono, 2011, Ajaran Umum Hukum Perjanjian Dan Penerapannya Di Bidang
Kenotariatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 2.
52

tunduk pada ketentuan yang telah disepakati.

Kenyataannya dalam pelaksanaan perjanjian tersebut ditengah

masyarakat, meskipun telah dimuat konsekuensi hukum apabila tidak

melakukan suatu kewajiban ataupun adanya perbuatan yang melanggar

kesepakatan dalam suatu perjanjian, namun tak jarang juga ditemukan adanya

kewajiban yang tidak terlaksana. Keadaan tersebut dalam hukum perdata

dikenal dengan wanprestasi.

Peristiwa demikian terjadi pada perjanjian pembangunan jalan serta

pembagian tanah garapan kepada anggota Kelompok Tani Adat Karya

Hampapak Marang di Kelurahan Marang, Kecamatan Bukit Batu Kota

Palangka Raya. Pada dasarnya keberadaan Kelompok Tani Adat Karya

Hampapak Marang merupakan suatu kumpulan Petani yang dibentuk atas

dasar kesamaan kepentingan, kesamaan kondisi lingkungan sosial, ekonomi,

sumber daya, kesamaan komoditas, dan keakraban untuk meningkatkan serta

mengembangkan usaha anggota.

Aspek hukum yang mengatur mengenai pengertian kelompok tani

yaitu Pasal 1 Ayat (10) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun

2013 Tentang Perlindungan Dan Pemberdayaan Petani yang menentukan

bahwa, “Kelompok Tani adalah kumpulan Petani/peternak/pekebun yang

dibentuk atas dasar kesamaan kepentingan; kesamaan kondisi lingkungan

sosial, ekonomi, sumber daya; kesamaan komoditas; dan keakraban untuk

meningkatkan serta mengembangkan usaha anggota).


53

Berdasarkan perjanjian antara Pengurus dengan anggota Kelompok

Tani Adat Karya Hampapak Marang, diketahui bahwa setiap Anggota

Kelompok Tani Adat Karya Hampapak/Marang yang mendapatkan tanah 1

Ha/KK, diwajibkan membayar senilai Rp. 2.500.000,- sebagai biaya

pembuatan jalan dan pembagian lahan pertanian.

Pembayaran uang senilai Rp. 2.500.000,- tersebut dilakukan oleh

Anggota Kelompok Tani Karya Hampapak Marang yang terdaftar sebagai

anggota yang berhak mendapatkan tanah seluas 1 Ha/KK, sebelum tanah

diserahkan secara nyata. Dengan demikian dapat dipahami bahwa setelah

Anggota Kelompok Tani Adat Karya Hampapak melakukan kewajibannya,

selanjutnya akan menerima haknya secara nyata.

Namun kenyataannya, setelah Anggota Kelompok Tani Adat Karya

Hampapak Marang yang berhak mendapatkan tanah 1 Ha/KK melakukan

kewajibannya, justru haknya tidak terpenuhi karena adanya wanprestasi dari

pengurus Kelompok Tani Adat Karya Hampapak Marang sebelumnya.

Ibu S mengatakan bahwa, Anggota Kelompok Tani Adat Karya

Hampapak Marang yang berhak mendapatkan tanah 1 ha/KK telah melakukan

pembayaran langsung kepada pejabat Ketua sebelumnya. Masalahnya, setelah

menerima pembayaran dari anggota, justru pengurus belum menyelesaikan

pembangunan jalan, pembuatan kanal air dan pembagian tanah. Sehingga

Anggota Kelompok Tani Adat Karya Hampapak Marang merasa dirugikan.40

40
Hasil wawancara dengan Ibu Sarinah Selaku Anggota Kelompok Tani Adat Karya
Hampapak/Marang, Pada Tanggal 24 Mei 2022, Pukul 11.00 WIB.
54

Guna memastikan terpenuhinya hak dari anggota Kelompok Tani Adat

Karya Hampapak Marang untuk mendapatkan tanah 1 Ha/KK dan

pembangunan jalan serta pembuatan kanal air, sehingga anggota

mempertanyakan kepada pengurus mengenai kapan pembangunan jalan dan

pembagian tanah akan dilakukan.

Menyikapi pertanyaan dari anggota tersebut, pengurus mengatakan

bahwa pembangunan jalan dan pembagian tanah masih dalam proses.

Mengenai pembangunaan jalan yang dimaksud, pengurus mengatakan bahwa

sedang dalam proses perintisan lahan yang akan dijadikan jalan. Pengurus pun

mengatakan bahwa pembagian tanah akan dilakukan ketika pembangunan

jalan sudah selesai.

Pengurus mengatakan penghimpunan dana yang tidak sekaligus,

sehingga menimbulkan akibat baru, yaitu peningkatan anggaran untuk upah

pekerja yang merintis jalan dan sewa alat berat. Namun selain kendala tersebut

pun, sebelumnya juga terjadi kekeliruan administrasi, karena pembukuan

pengurus sebelumnya tidak jelas.41

Ironisnya, sejak Tahun 2014 hingga awal Tahun 2021 pembangunan

jalan, pembuatan kanal air dan pembagian tanah belum terlaksana juga.

Berkaitan dengan itu, diketahui bahwa pada bulan Maret Tahun 2021 ketua

Kelompok Tani Adat Karya Hampapak/Marang yang lama meninggal dunia.

Menyikapi keadaan tersebut, sehingga dilakukanlah pergantian

41
Hasil wawancara dengan Bapak Djamin Selaku Anggota Kelompok Tani Adat Karya
Hampapak/Marang, Pada Tanggal 06 Juni 2022, Pukul 10.15. WIB.
55

kepengurusan Kelompok Tani Adat Karya Hampapak/Marang. Upaya

pengurus yang baru untuk menyelesaikan persoalan keterlambatan

pembangunan jalan, pembuatan kanal air dan pembagian tanah, yaitu dengan

cara menjual sebagian tanah yang seharusnya menjadi objek pembagian tanah

kepada Anggota Kelompok Tani Adat Karya Hampapak/Marang.

Upaya tersebut merupakan suatu kebijakan agar dapat menghimpun

dana untuk membangun jalan, pembuatan kanal air dan pembagian tanah.

Peristiwa tersebut dikarenakan saat serah terima kepengurusan Kelompok

Tani Adat Karya Hampapak/Marang dari pengurus yang lama kepada

pengurus yang baru, pembukuan keuangan tidak jelas, dan dana yang ada pun

tidak cukup untuk menyelesaikan pekerjaan yang tertinggal, sehingga

dilakukanlah penjualan sebagian tanah tersebut.42

Ketua Kelompok Tani Adat Karya Hampapak/Marang yang baru

mengatakan bahwa menurut pengurus sebelumnya hingga Tahun 2016 sudah

ada progress kerja di lapangan, namun laporan pertanggungjawaban pekerjaan

tersebut tidak ada. Berjalannya waktu, pengurus yang baru melakukan

pemeriksaan di lapangan, memang faktanya pernah ada pekerjaan, namun

tidak sesuai dengan besaran biaya yang digunakan. Dengan demikian dapat

dimengerti bahwa ada kekeliruan penggunaan anggaran. Kemungkinan ada

pembengkakan anggaran pada pekerjaan sebelumnya.43

Lebih lanjut Ketua Kelompok Tani Adat Karya Hampapak/Marang


42
Hasil wawancara dengan Bapak Djamin Selaku Bendahara Kelompok Tani Adat Karya
Hampapak/Marang, Pada Tanggal 06 Juni 2022, Pukul 10.15. WIB.
43
Hasil wawancara dengan Bapak Agung Supriatno Selaku Ketua Kelompok Tani Adat
Karya Hampapak/Marang, Pada Tanggal 23 Mei 2022, Pukul 10.00. WIB.
56

sebagai pengurus yang baru juga mengatakan bahwa keadaan ini pun terjadi

tidak lepas dari keterlambatan anggota dalam melakukan kewajiban

pembayaran, sehingga mengakibatkan pekerjaan tidak dapat dilakukan secara

sekaligus. Keterlambatan Anggota dalam melakukan pelunasan, sehingga

pekerjaan yang dilakukan pun sesuai kemampuan dana yang terhimpun.44

3.2. Bentuk Tanggungjawab Pengurus Terhadap Pembangunan Jalan,


Pembuatan Kanal Air dan Pembagian Tanah Kepada Anggota Kelompok
Tani Adat Karya Hampapak/Marang Di Kota Palangka Raya

Suatu perbuatan atau hubungan hukum yang dilakukan subyek hukum

pasti akan menimbulkan tanggung jawab hukum, maka dengan adanya

tanggung jawab hukum akan menimbulkan hak dan kewajiban bagi subyek

hukum. Oleh karena tanggung jawab hukum merupakan suatu prinsip yang

ditimbulkan adanya hubungan hukum yang harus dilaksanakan.

Berdasarkan prespektif hukum, dalam kehidupan sehari-hari dikenal

istilah pergaulan hukum (rechtsverkeer), yang didalamnya mengisyaratkan

adanya tindakan hukum (rechtshandeling) dan hubungan hukum

(rechtbetrekking) antar subjek hukum. Pergaulan, tindakan, dan hubungan

hukum adalah kondisi atau keadaan yang diatur oleh hukum dan/atau memiliki

relevansi hukum. Pada suatu hubungan hukum terjadi interaksi hak dan

kewajiban antar dua subjek hukum atau lebih, yang masing-masing diikat hak

dan kewajiban (rechten en plichten).45

44
Hasil wawancara dengan Bapak Agung Supriatno Selaku Ketua Kelompok Tani Adat
Karya Hampapak/Marang, Pada Tanggal 23 Mei 2022, Pukul 10.00. WIB.
45
Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 55.
57

Hukum diciptakan untuk mengatur pergaulan hukum agar masing-

masing subjek hukum menjalankan kewajibannya secara benar dan

memperoleh haknya secara wajar. Pada pelaksanaannya, selain tujuan

tersebut, hukum juga difungsikan sebagai instrument perlindungan

(bescherming) bagi subjek hukum. Dengan demikian dapat dipahami bahwa,

hukum diciptakan agar keadilan terimplementasi dalam pergaulan hukum.46

Pada pelaksanaannya ketika ada subjek hukum yang melalaikan

kewajiban hukum yang seharusnya dijalankan atau melanggar hak itu dibebani

tanggung jawab dan dituntut memulihkan atau mengembalikan hak yang

sudah dilanggar tersebut. Beban tanggung jawab dan tuntutan ganti rugi atau

hak itu ditunjukan kepada setiap subjek hukum yang mellanggar hukum, tidak

peduli apakah subjek hukum itu seseorang, badan hukum, ataupun

pemerintah.47

Bertolak dari penjabaran mengenai tanggungjawab dalam suatu

hubungan hukum sebagaimana diuraikan di atas, sehingga jika dikaitkan

dengan peristiwa wanprestasi yang terjadi dalam hubungan hukum antara

pengurus dengan Anggota Kelompok Tani Adat Karya Hampapak/Marang

dalam pelaksanaan perjanjian pembangunan jalan, pembuatan kanal air dan

pembagian tanah, sehingga sudah seharusnya pengurus bertanggungjawab

penuh untuk memenuhi kewajiban sebagai pengurus guna memenuhi hak

Anggota Kelompok Tani Adat Karya Hampapak/Marang.

Kebijakan pengurus dengan melakukan penjualan sebagian tanah yang


46
Ibid, hlm. 56.
47
Ibid.
58

pada dasarnya menjadi objek pembagian tanah kepada Anggota Kelompok

Tani Adat Karya Hampapak/Marang sebagaimana diuraikan sebelumnya,

ialah merupakan bentuk tanggungjawab pengurus terhadap pembangunan

jalan, pembuatan kanal air dan pembagian tanah kepada Anggota Kelompok

Tani Adat Karya Hampapak/Marang.

Namun pertanggungjawaban tersebut pun justru menimbulkan akibat

kepada Anggota Kelompok Tani Adat Karya Hampapak/Marang itu sendiri.

Akibat yang timbul yaitu pengurangan ukuran tanah yang seharusnya 1

Ha/KK (10.000 Meter Persegi) menjadi 2.000 Meter Persegi, dan bagi yang

mau menambah pembayaran, dari yang awalnya Rp. 2.500.000,- menjadi

bertambah sesuai ukuran tanah yang didapatkan.

Pada dasarnya setiap Anggota Kelompok Tani Adat Karya

Hampapak/Marang yang terdaftar berhak mendapatkan tanah 1 Ha/KK

(10.000 Meter Persegi), akibat kebijakan yang diberlakukan oleh pengurus

yang baru, sehingga setiap anggota hanya mendapatkan tanah berukuran 2.000

Meter Persegi.

Kepada Anggota Kelompok Tani Adat Karya Hampapak/Marang,

pengurus baru menawarkan setiap penambahan ukuran tanah seluas 2.000

Meter Persegi, maka menambah pembayaran senilai Rp. 2.500.000,- dan

begitu seterusnya. Namun dikarenakan tidak semua Anggota Kelompok Tani

Adat Karya Hampapak/Marang mau menambah pembayaran, sehingga masih

ada tanah yang belum terjual.


59

Guna mendapatkan dana untuk penyelesaian pembangunan jalan dan

pembuatan kanal air, sehingga pengurus menjual sebagian tanah yang belum

dibagikan kepada pembeli yang bukan Anggota Kelompok Tani Adat Karya

Hampapak/Marang. Kepada pembeli yang bukan Anggota Kelompok Tani

Adat Karya Hampapak/Marang, pengurus menjual tanah seluas 2.000 Meter

Persegi dengan harga kisaran Rp. 4.000.000,- (empat juta rupiah) sampai

dengan Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah).

Namun meskipun telah dilakukan penjualan kepada pihak lain yang

bukan Anggota Kelompok Tani Adat Karya Hampapak/Marang, hingga tahun

2022, pembangunan jalan dan pembuatan kanal air pun belum selesai juga.

Peristiwa tersebut mengakibatkan Anggota Kelompok Tani Adat Karya

Hampapak/Marang belum mendapatkan fasilitas jalan dan kanal air.

Penjualan tanah yang seharusnya dibagikan kepada Anggota

Kelompok Tani Adat Karya Hampapak/Marang yang berhak mendapatkan

tanah seluas 1 Ha/KK, merupakan perbuatan yang merugikan Anggota

Kelompok Tani Adat Karya Hampapak/Marang. Kerugian yang dimaksud

tersebut yaitu, pada dasarnya Anggota berhak mendapatkan tanah seluas 1

Ha/KK, akibat dilakukannya penjualan tanah oleh pengurus, sehingga

berkurang pula ukuran tanah yang akan diterima oleh Anggota Kelompok

Tani Adat Karya Hampapak/Marang.

Salah satu Anggota Kelompok Tani Adat Karya Hampapak/Marang

mengatakan bahwa, awalnya kita berhak menerima tanah berukuran seluas 1

Ha/KK (10.000 Meter Persegi), namun akibat dijualnya sebagian tanah yang
60

menjadi objek pembagian tersebut, sehingga Anggota hanya menerima tanah

seluas 2.000 Meter Persegi.48

Pada dasarnya, tindakan pengurus tersebut sudah melanggar hak

Anggota Kelompok Tani Adat Karya Hampapak/Marang, namun tindakan

tersebut pun dilakukan oleh pengurus yang baru guna mengatasi persoalan

sumber pendanaan agar terlaksana pekerjaan pembangunan jalan, pembuatan

kanal air dan pembagian tanah.

Namun pengurus juga sebelum menjual, terlebih dahulu telah

menawarkan kepada Anggota Kelompok Tani Adat Karya Hampapak/Marang

untuk menambah pembayaran. Menyikapi tawaran dari pengurus yang baru,

ada beberapa anggota yang menyetujui menambah pembayaran dan tetap

mendapatkan tanah seluas 1 Ha/KK (10.000 Meter Persegi), dan ada juga

beberapa anggota yang terpaksa ikhlas jikalau harus menerima tanah dengan

ukuran 2.000 Meter Persegi.49

Hasil dari kebijakan pengurus yang baru tersebut, sehingga pembagian

tanah kepada Anggota Kelompok Tani telah dilakukan, namun pelaksanaan

pembangunan jalan dan pembuatan kanal air belum terselesaikan, karena dana

yang terhimpun dari hasil penjualan tanah tersebut belum mencukupi, sebab

tanah yang akan dijual belum semuanya laku.

48
Hasil wawancara dengan Ibu Sarinah Selaku Anggota Kelompok Tani Adat Karya
Hampapak/Marang, Pada Tanggal 24 Mei 2022, Pukul 11.00 WIB.
49
Hasil wawancara dengan Bapak Agung Supriatno Selaku Ketua Kelompok Tani Adat
Karya Hampapak/Marang, Pada Tanggal 23 Mei 2022, Pukul 10.00. WIB.
BAB IV
PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pembahasan pada bab sebelumnya, maka dapat

disimpulkan bahwa:

1. Pelaksanaan Perjanjian Pembangunan Jalan, Pembuatan Kanal Air Dan

Pembagian Tanah Kepada Anggota Kelompok Tani Adat Karya

Hampapak/Marang Di Kota Palangka Raya terkendala yang disebabkan

beberapa faktor yaitu keterlambatan dari Anggota Kelompok Tani Adat

Karya Hampapak/Marang yang berhak mendapatkan tanah 1 Ha/KK

(10.000 Meter Persegi) dalam melakukan kewajibannya sehingga pekerjaan

hanya dilakukan sesuai dengan kemampuan dana yang terhimpun, faktor

selanjutnya yaitu adanya pemborosan anggaran pada pelaksanaan pekerjaan

sebelumnya dan pekerjaan tersebut pun tidak dilengkapi dengan laporan

pertanggungjawaban oleh ketua Kelompok Tani Adat Karya

Hampapak/Marang yang sebelumnya.

2. Bentuk Tanggungjawab Pengurus Terhadap Pembangunan Jalan,

Pembuatan Kanal Air dan Pembagian Tanah Kepada Anggota Kelompok

Tani Adat Karya Hampapak/Marang Di Kota Palangka Raya yaitu dengan

mengurangi ukuran tanah yang diterima oleh Anggota Kelompok Tani Adat

Karya Hampapak/Marang dan menjual tanah yang bersumber dari

pengurangan tersebut. Namun pengurus yang baru pun menawarkan kepada

setiap Anggota yang ingin mendapatkan tanah ukuran lebih dari 2.000

62
63

Meter Persegi, maka wajib menambah pembayaran senilai Rp. 2.500.000,-

untuk setiap penambahan tanah seluas 2.000 Meter Persegi. Pada dasarnya

Anggota Kelompok Tani Adat Karya Hampapak/Marang yang berhak

mendapatkan tanah 1 Ha/KK (10.000 Meter Persegi) berkewajiban

membayar uang senilai Rp. 2.500.000,- namun sehubungan dengan adanya

pengurangan ukuran tersebut menjadi 2.000 Meter Persegi, sehingga untuk

mendapatkan tanah berukuran 1 Ha (10.000 Meter Persegi) maka Anggota

Kelompok Tani Adat Karya Hampapak/Marang wajib membayar lagi

senilai Rp. 10.000.000,- (Sepuluh Juta Rupiah). Dengan demikian

meskipun bentuk tanggungjawab pengurus Kelompok Tani Adat Karya

Hampapak/Marang tersebut tidak jelas dan merugikan Anggota Kelompok

Tani itu sendiri.

4.2. Saran

Berdasarkan permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini, maka

Penulis mencoba memberikan saran dan masukan sebagai bentuk tanggapan

terhadap permasalahan yang dibahas. Saran yang dimaksud yaitu:

1. Kepada Pengurus yang baru di Kelompok Tani Adat Karya

Hampapak/Marang sebaiknya dengan segera menyelesaikan kewajiban

pengurus terkait penyelesaian pembangunan jalan dan pembuatan kanal air

sebagai upaya pemenuhan hak dari Anggota Kelompok Tani Adat Karya

Hampapak/Marang yang awalnya berhak mendapatkan tanah seluas 1

Ha/KK yang telah melakukan kewajiban pembayaran uang senilai Rp.

2.500.000,- (Dua Juta Lima Ratus Ribu Rupiah);


64

2. Kepada Pengurus yang baru di Kelompok Tani Adat Karya

Hampapak/Marang dalam menentukan tindakan sebagai bentuk

tanggungjawab terhadap pemenuhan hak Anggota Kelompok Tani Adat

Karya Hampapak/Marang yang awalnya berhak mendapatkan tanah seluas

1 Ha/KK, sebaiknya tidak menjual tanah yang menjadi objek pembagian

tersebut kepada pihak lain karena tindakan tersebut merupakan perbuatan

melawan hukum karena melanggar hak Anggota Kelompok Tani tersebut.


DAFTAR PUSTAKA

A. Sumber Buku

Achmad Ali & wiwie Heryani, 2012, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap
Hukum, Kencana Prenada Grup, Jakarta, hlm. 2;

Andi Hamzah, 2012, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 32;

AP. Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, (Bandung:


Mandar Maju, 1993), hal. 133;

B.F. Sihombing, Evolusi Kebijakan Pertanahan Dalam Hukum Tanah


Indonesia, (Jakarta: Gunung Agung, 2005), hal 5;

Bachtiar Effendi, Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan


Pelaksanaannya, (Bandung: Alumni, 2003), hal 1;

Boedi, Harsono,1999, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan UU


Pokok Agraria, Djambatan, Jakarta, h.18;

Chadidjah Dalimunthe, Pelaksanaan Landreform Di Indonesia Dan


Permasalahannya, (Medan: Universitas Sumatera Utara, 2005), hal 81;

D. Soetrisno, Tata Cara Perolehan Tanah Untuk Industri¸ (Jakarta: Rineka


Cipta, 2004), hal 29;

Dyara Radhite Oryza Fea, 2018, Panduan Mengurus Tanah dan Perizinannya,
Legality, Yogyakarta, hlm. 3-4;

Edy Iksan, Konflik Tanah Ulayat dan Pluralisme Hukum, (Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia, 2015), hal 151-152;

Effendi Perangin, 1994, Hukum Agraria Indonesia, Suatu Telaah Dari Sudut
Pandang Praktisi Hukum, Raja Grafindo, Jakarta, hlm. 17;

https://realmaczman.wordpress.com/2011/06/15/hak-atas-tanah-menurut-uupa/
(diakses pada tanggal 20 September 2021, Pukul 10.15);

I Gede Wiranata, 2009, Hukum Adat Indonesia, Perkembangannya dari


Masa ke Masa, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 224-225;

J. Winardi, 2004, Motivasi Dan Permotivasian Dalam Manajemen, PT. Raja


grafindo Persada, Jakarta, hlm. 8;

John Salindeho, 1993, Masalah Tanah dalam Pembangunan, Sinar Grafika,


Jakarta, hlm. 23;

K Wantjik Saleh, Hak Anda Atas Tanah, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2007),
hal 16;

Mariam Darus Badrulzaman, 1994, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung,


hlm. 3;
Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia,
(Yogyakarta: Gama Media, 2009), hal 118;

Muhammad Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis, 2013, Kepemilikan


Properti Di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, hlm. 16;

Muhammad Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis, Beberapa Masalah Aktual
Hukum Agraria, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2004), hal 15;
Muhammad Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran
Tanah, (Bandung: Mandar Maju, 2012), hal 1;

Obbie Afri Gultom, Tata Cara Memperoleh Tanah Garapan,


http://www.gultomlaw consultants.com/tata-cara-memperoleh-tanah-
garapan/, diakses tanggal 20 Oktober 2015;

R. Subekti, 1994, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, hlm. 1;

Ridwan Khairandy, 2013, hukum kontrak Indonesia dalam prespektif


perbandingan, FHUII PRESS, Yogyakarta, hlm. 1;

Rusmadi Murad, Menyingkap Tabir Masalah Pertanahan, Rangkaian


Tulisan dan Materi Ceramah, (Bandung: Mandar Maju, 2007), hal 75;

Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko, 2011, Hukum Adat Indonesia, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 172;

Syafruddin Kalo, Kapita Selekta Hukum Pertanahan, Studi Tanah


Perkebunan di Sumatera Timur, (Medan: USU Press, 2005), hala 60;

Urip Santoso, 2011, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, Prenada
Media Group, Jakarta, hlm. 42;

Wirjono Prodjodikoro, 1982, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-


Persetujuan Tertentu, Sumur, Bandung, hlm. 7;
Zaidar, Dasar Filosofi Hukum Agraria Indonesia, (Medan : Pustaka Bangsa
Press, 2006).
B. Sumber Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria
LAMPIRAN

Dokumentasi Pelaksanaan Penelitian dan Wawancara Dengan Pengurus


dan Anggota Kelompok Tani Adat Karya Hampapak/Marang

FOTO BERSAMA KETUA KELOMPOK TANI


FOTO BERSAMA BENDAHARA KELOMPOK TANI
FOTO BERSAMA ANGGOTA KELOMPOK TANI
FOTO DI RUMAH ANGGOTA KELOMPOK TANI

Anda mungkin juga menyukai