Anda di halaman 1dari 78

Desa Wisata Berwawasan

Ekobudaya: Kawasan Wisata


Industri Lurik

Penulis:

Istijabatul Aliyah
Galing Yudana
Rara Sugiarti

Penerbit Yayasan Kita Menulis


Desa Wisata Berwawasan Ekobudaya:
Kawasan Wisata Industri Lurik
Copyright © Yayasan Kita Menulis, 2020

Penulis:
Istijabatul Aliyah
Galing Yudana
Rara Sugiarti

Editor: Alex Rikki dan Janner Simarmata


Desain Sampul: Tim Kreatif Kita Menulis
Sampul: pngguru.com

Penerbit
Yayasan Kita Menulis
Web: kitamenulis.id
e-mail: press@kitamenulis.id
WA: 0821-6453-7176

Istijabatul Aliyah, Galing Yudana & Rara Sugiarti


Desa Wisata Berwawasan Ekobudaya: Kawasan Wisata Industri Lurik
Yayasan Kita Menulis, 2020
xii; 64 hlm; 16 x 23 cm
ISBN: 978-623-6512-60-9
Cetakan 1, Juli 2020
I. Desa Wisata Berwawasan Ekobudaya: Kawasan Wisata
Industri Lurik
II. Yayasan Kita Menulis

Katalog Dalam Terbitan


Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang memperbanyak maupun mengedarkan buku tanpa
Ijin tertulis dari penerbit maupun penulis
Kata Pengantar

Pertama-tama kami memanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan


yang Maha Esa karena hanya karena limpahan berkat, rahmat dan
hidayah-Nya lah penulis dapat menyelesaikan buku yang berjudul
“Desa Wisata Berwawasan Ekobudaya” ini.

Kedua, penulis mengucapkan terima kasih kepada Universitas


Sebelas Maret atas fasilitasi dana penelitian yang telah dihibahkan
melalui Pusat Penelitian dan Pengembangan Pariwisata dan Budaya
(PUSPARI), Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada
Masyarakat (LPPM), sehingga buku ini dapat disusun berdasarkan
hasil penelitian program Hibah Penelitian Unggulan Terapan (PUT)
UNS Tahun Anggaran 2018.

Pada kesempatan ini penulis juga ingin menyampaikan ucapan


terima kasih kepada Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota,
Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret, khususnya pada Nasa
Rosa Yudhasesa dan Dimas Indo Saputro yang telah berkontribusi
dengan melakukan penyusunan Tugas Akhir dengan payung
penelitian desa wisata berwawasan ekobudaya. Penulis
mengucapkan terima kasih pada semua pihak, baik instansi
pemerintah, swasta, kelompok masyarakat maupun perorangan,
yang telah berkontribusi dalam penyusunan buku ini.

Akhirnya, penulis berharap agar buku ini dapat memberikan


manfaat kepada semua pihak terkait.

Surakarta, Juli 2020

Tim Penyusun
vi Desa Wisata Berwawasan Ekobudaya: Kawasan Wisata Industri Lurik
Daftar Isi

Kata Pengantar .............................................................................................. v


Daftar Isi ......................................................................................................... vii
Daftar Gambar .............................................................................................. ix
Daftar Tabel ................................................................................................... xi

Bab 1 Pembangunan Pariwisata Nasional


A. Pengertian Pariwisata .............................................................................. 1
B. Pembangunan Kepariwisataan Nasional .............................................. 2
C. Tujuan dan Sasaran Pembangunan Kepariwisataan Nasional ......... 3
D. Arahan Pembangunan Kepariwisataan Nasional ............................... 4
E. Landasan Pembangunan Kepariwisataan ............................................ 6
F. Penyelenggaraan Kepariwisataan Indonesia ........................................ 7

Bab 2 Pengembangan Desa Wisata


A. Pengertian Desa Wisata .......................................................................... 11
B. Kriteria Desa Wisata ................................................................................ 12
C. Perkembangan Konsep Desa Wisata .................................................... 13
D. Pariwisata Pedesaan Berbasis Kerakyatan ........................................... 16
E. Pengertian Pengembangan Desa Wisata.............................................. 20
F. Prinsip Pengembangan Desa Wisata .................................................... 21
G. Tujuan Pengembangan Desa Wisata.................................................... 21
H. Pendekatan Pengembangan Desa Wisata ........................................... 22
I. Penggalian Potensi Pariwisata ................................................................. 25
J. Komponen Produk Wisata ...................................................................... 29
K. Wawasan Ekobudaya dalam Pengembangan Pariwisata .................. 31
L. Peran Infrastruktur dalam Pengembangan Pariwisata ...................... 33
M. Implementasi Ekonomi Kreatif dalam Pengembangan Pariwisata.... 35
viii Desa Wisata Berwawasan Ekobudaya: Kawasan Wisata Industri Lurik

Bab 3 Studi Kasus I: Pengaruh Pola Jejaring Industri Lurik


Tradisional Terhadap Pengembangan Desa Wisata Tlingsing,
Cawas, Klaten
A. Pola Jejaring Industri Lurik Tradisional ............................................... 41
B. Pengembangan Desa Wisata .................................................................. 42
C. Pengaruh Pola Jejaring Industri Lurik Tradisional Terhadap
Pengembangan Desa Wisata Tlingsing ............................................... 45

Bab 4 Studi Kasus II: Analisis Ketersediaan Infrastruktur Kawasan


Industri Lurik ATBM Desa Tlingsing, Klaten
A. Karakteristik Infrastruktur Kawasan Desa Wisata Lurik ................... 52
B. Peran Infrastruktur dalam Pengembangan Kawasan Industri Lurik
sebagai Desa Wisata................................................................................ 54

Daftar Pustaka ............................................................................................... 61


Daftar Gambar

Gambar 3.1: Bagan Pengaruh Industri Lurik Tradisional Desa Tlingsing


Terhadap Pengembangan Desa Wisata Tlingsing
Berdasarkan Teori ................................................................... 48
Gambar 4.2: Bagan Hasil Pengaruh Industri Lurik Tradisional Desa
Tlingsing Terhadap Pengembangan Desa Wisata
Tlingsing .................................................................................. 48
x Desa Wisata Berwawasan Ekobudaya: Kawasan Wisata Industri Lurik
Daftar Tabel

Tabel 2.1: Pilar Pembangunan Pariwisata .......................................... 33


Tabel 3.1: Rekapitulasi Hasil Skoring Variabel Pengaruh Pola Jejaring
Industri Lurik Tradisional .................................................. 41
Tabel 3.2: Rekapitulasi Hasil Skoring Variabel Pengembangan Desa
Wisata Tlingsing .................................................................. 42
Tabel 3.3: Rekapitulasi Besaran Pengaruh Pola Jejaring Industri Lurik
Tradisional Terhadap Pengembangan Desa Wisata
Tlingsing ............................................................................... 45
Tabel 4.1: Pembobotan Skor Indikator Ketersediaan Infrastruktur
Industri Lurik ....................................................................... 55
Tabel 4.2: Ketersediaan Infrastruktur Kawasan Industri Lurik ..... 59
xii Desa Wisata Berwawasan Ekobudaya: Kawasan Wisata Industri Lurik
Bab 1
Pembangunan Pariwisata
Nasional

A. Pengertian Pariwisata
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pariwisata adalah suatu
kegiatan yang berhubungan dengan perjalanan rekreasi, turisme, dan
pelancongan. Sedangkan, menurut Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 10 Tahun 2009 pada Pasal 1 diberikan pengertian bahwa: (1)
wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau
sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan
rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik
wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara; (2) pariwisata
merupakan berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai
fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha,
Pemerintah, dan Pemerintah Daerah, sedangkan (3) kepariwisataan
merupakan keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan
bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud
kebutuhan setiap orang dan Negara serta interaksi antara wisatawan dan
masyarakat setempat, sesama wisatawan, Pemerintah, Pemerintah
Daerah, dan pengusaha.
Pariwisata merupakan industri gaya baru yang mampu memacu
pertumbuhan ekonomi yang cepat dalam hal kesempatan kerja,
2 Desa Wisata Berwawasan Ekobudaya: Kawasan Wisata Industri Lurik

pendapatan, taraf hidup, dan dalam mengaktifkan sektor lain di dalam


negara penerima wisatawan (Bagus 1991). Pariwisata sebagai suatu sektor
yang kompleks mampu menghidupkan sektor-sektor lain meliputi
industri-industri seperti kerajinan tangan, cendera mata, penginapan,
dan transportasi (Wahab, 1976). Disebutkan pula bahwa pariwisata
sebagai industri jasa yang digolongkan sebagai industri ketiga cukup
berperan penting dalam menetapkan kebijaksanaan mengenai
kesempatan kerja, dengan alasan semakin mendesaknya tuntutan akan
kesempatan kerja yang tetap sehubungan dengan selalu meningkatnya
wisata pada masa yang akan datang (Spillane, 1993).
Pariwisata memberikan dampak positif bagi perekonomian suatu
negara. Pariwisata memberi kontribusi besar terhadap kemakmuran
suatu negara karena pariwisata dapat menjadi penggerak ekonomi
melalui pemberian lapangan pekerjaan bagi masyarakat dengan
menghidupkan sektor-sektor lain seperti industri-industri seperti
kerajinan tangan, cendera mata, penginapan, dan transportasi. Namun,
pariwisata juga memberikan dampak negatif antara lain menyusutnya
lahan pertanian untuk pembangunan infrastruktur wisata, kriminalitas,
kepadatan lalu lintas, urbanisasi dan degradasi lingkungan.

B. Pembangunan Kepariwisataan
Nasional
Pengertian pembangunan kepariwisataan dalam PP Republik Indonesia
Nomor 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan
Kepariwisataan Nasional Tahun 2010-2025 yaitu Pembangunan adalah
suatu proses perubahan ke arah yang lebih baik di dalamnya meliputi
upaya-upaya perencanaan, implementasi dan pengendalian, dalam
rangka penciptaan nilai tambah sesuai yang dikehendaki. Kemudian
kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan
pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul
sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara
Bab 1 Pembangunan Pariwisata Nasional 3

wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan, Pemerintah,


Pemerintah Daerah, dan pengusaha.
Dari pengertian tersebut, pembangunan kepariwisataan nasional
merupakan proses perubahan menuju arah yang lebih baik yang
meliputi kegiatan perencanaan, implementasi dan pengendalian terkait
segala bentuk kegiatan kepariwisataan. Pembangunan kepariwisataan
nasional meliputi empat pilar pariwisata yakni destinasi wisata,
pemasaran pariwisata, industri pariwisata dan kelembagaan pariwisata.
Pemerintah memiliki peran penting dalam pembangunan destinasi
wisata sedangkan pemerintah daerah memiliki peran dalam pemasaran
wisata. Pengusaha berperan dalam pengembangan industri wisata dan
masyarakat sebagai SDM dalam pariwisata. Sehingga, keempat pilar
pariwisata tersebut merupakan bentuk interaksi dari pemerintah,
pemerintah daerah, pengusaha dan masyarakat dalam pembangunan
kepariwisataan nasional.

C. Tujuan dan Sasaran Pembangunan


Kepariwisataan Nasional
Pembangunan di bidang kepariwisataan mempunyai tujuan akhir untuk
meningkatkan pendapatan masyarakat yang pada akhirnya dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. (Waluyo 1993).. Selain itu,
menurut PP Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2011 tujuan
pembangunan kepariwisataan nasional mengacu pada empat pilar
pembangunan pariwisata sehingga dihasilkan tujuan pembangunan
pariwisata antara lain:
1. Meningkatkan kualitas dan kuantitas destinasi pariwisata
2. Mengomunikasikan destinasi pariwisata Indonesia dengan
menggunakan media pemasaran secara efektif, efisien dan
bertanggung jawab
3. Mewujudan industri pariwisata yang mampu menggerakan
perekonomian nasional
4 Desa Wisata Berwawasan Ekobudaya: Kawasan Wisata Industri Lurik

4. Mengembangkan kelembagaan kepariwisataan dan tata kelola


pariwisata yang mampu mensinergikan pembangunan destinasi
pariwisata, pemasaran pariwisata, dan industri pariwisata secara
profesional, efektif, dan efisien.

Adapun sasaran pembangunan kepariwisataan nasional yakni :


1. Peningkatan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara
2. Peningkatan jumlah pergerakan wisatawan nusantara
3. Peningkatan jumlah penerimaan devisa dari wisatawan
mancanegara
4. Peningkatan jumlah pengeluaran wisatawan nusantara
5. Peningkatan produk domestik bruto di bidang Kepariwisataan.

D. Arahan Pembangunan
Kepariwisataan Nasional
Mengacu pada PP Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2011 tentang
kepariwisataan nasional, arahan pembangunan kepariwisataan nasional
didasarkan pada tujuan pembangunan kepariwisataan nasional sehingga
arahan pembangunan kepariwisataan nasional dilaksanakan:
1. Dengan berdasarkan prinsip Pembangunan Kepariwisataan yang
berkelanjutan
2. Dengan orientasi pada upaya peningkatan pertumbuhan,
peningkatan kesempatan kerja, pengurangan kemiskinan, serta
pelestarian lingkungan
3. Dengan tata kelola yang baik
4. Secara terpadu secara lintas sektor, lintas daerah, dan lintas
pelaku; dan
5. Dengan mendorong kemitraan sektor publik dan privat.
Bab 1 Pembangunan Pariwisata Nasional 5

Arah pembangunan kepariwisataan tersebut menjadi dasar arah


kebijakan, strategi dan indikasi program pembangunan nasional yang
meliputi pembangunan Destinasi Pariwisata Nasional (DPN),
pemasaran pariwisata nasional, industri pariwisata nasional dan
kelembagaan kepariwisataan nasional.
Menurut PP Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2011 tentang
kepariwisataan nasional, Pembangunan Destinasi Pariwisata Nasional
(DPN) dapat dilakukan dengan
1. perwilayahan pembangunan DPN
2. pembangunan daya tarik wisata
3. pembangunan aksesibilitas pariwisata
4. pembangunan prasarana umum, fasilitas umum dan fasilitas
pariwisata
5. pengembangan investasi di bidang pariwisata

Pemasaran wisata dilakukan dengan pengembangan pasar wisatawan,


pengembangan citra pariwisata, pengembangan kemitraan pemasaran
pariwisata dan pengembangan promosi wisata. Selain itu menurut PP
Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2011 tentang kepariwisataan
nasional, pembangunan industri pariwisata meliputi
1. penguatan struktur industri pariwisata
2. peningkatan daya saing produk pariwisata
3. pengembangan kemitraan usaha pariwisata
4. penciptaan kredibilitas bisnis dan pengembangan tanggung
jawab terhadap lingkungan.

Sedangkan, kelembagaan kepariwisataan nasional meliputi penguatan


organisasi kepariwisataan, pembangunan SDM pariwisata dan
penyelenggaraan penelitian dan pengembangan.
6 Desa Wisata Berwawasan Ekobudaya: Kawasan Wisata Industri Lurik

E. Landasan Pembangunan
Kepariwisataan
Menurut Muljadi dan Warman (2014) dalam bukunya Kepariwisataan
dan Perjalanan disebutkan bahwa landasan pertama dalam
penyelenggaraan kepariwisataan di Indonesia adalah Pancasila.
Pancasila sebagai falsafah dan dasar negara menjadi pedoman dalam
pembangunan sektor kepariwisataan. Pembangunannya harus
berpedoman dan tidak bertentangan dengan butir-butir dalam
pancasila. Pancasila harus menjadi tujuan dari pembangunan
kepariwisataan nasional serta dijadikan alat penyaring atau filter
terhadap masuknya budaya asing yang dibawa oleh wisatawan
mancanegara yang tidak sesuai dengan kepribadian dan budaya bangsa
Indonesia sehingga. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa dalam
penyusunan pedoman ataupun peraturan mengenai pembangunan
kepariwisataan harus berlandaskan Pancasila.
Pada UU Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan pada pasal 2
ditegaskan bahwa penyelenggaraan kepariwisataan dilaksanakan
berdasarkan:
1. Asas manfaat yang artinya kepariwisataan dapat memberikan
manfaat sebesar-besarnya kepada negara dan bangsa.
2. Usaha bersama dan kekeluargaan, yang berarti bahwa
kepariwisataan merupakan usaha bersama atau gotong royong
dan bukan untuk kepentingan seseorang atau satu golongan dan
apabila terdapat persoalan harus dapat diselesaikan secara
musyawarah berdasarkan kekeluargaan.
3. Adil dan merata artinya dalam kepariwisataan dapat
menciptakan suasana penuh perikehidupan yang seimbang
untuk menuju kemakmuran dan kesejahteraan rakyat
4. Keseimbangan, kemandirian, kelestarian, partisipatif,
berkelanjutan, demokratis, kesetaraan dan kesatuan. Sehingga
kepariwisataan diarahkan untuk dapat memberi manfaat
Bab 1 Pembangunan Pariwisata Nasional 7

sebesar-besarnya bagi kepentingan negara dan bangsa


Indonesia.

Dengan berlandaskan Pancasila maka penyelenggaraan kepariwisataan


diharapkan juga mampu mendorong upaya memupuk rakyat dan
bangsa Indonesia untuk mencintai tanah air, mempertebal rasa
memiliki terhadap apa yang ada di negara ini, menimbulkan rasa
persatuan dan kesatuan di antara suatu suku dengan suku lainnya dan
saling memahami adat istiadat dan kebudayaan masing-masing daerah.
Penyelenggaraan kepariwisataan ditujukan untuk meningkatkan
persahabatan antar bangsa, yaitu antar bangsa Indonesia dengan
bangsa-bangsa lain melalui pengembangan kerjasama dengan
kepariwisataan nasional. Pembangunan kepariwisataan Indonesia
dilaksanakan secara berkelanjutan, bertujuan untuk mewujudkan
peningkatan kepribadian dan kemampuan masyarakat Indonesia,
dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta
memerhatikan tantangan perkembangan global. Pembangunan
kepariwisataan di Indonesia dilakukan melalui suatu konsepsi
pembangunan yang bertumpu kepada asas kehidupan yang
berkesinambungan. Konsepsi tersebut meliputi falsafah pembangunan
kepariwisataan Indonesia, yaitu “Sistem Kepariwisataan Indonesia” dan
“Sistem Pariwisata Indonesia”.

F. Penyelenggaraan Kepariwisataan
Indonesia
Pembangunan kepariwisataan Indonesia yang harus mengacu pada
butir-butir Pancasila diharapkan supaya pembangunan pariwisata tidak
bertentangan dengan falsafah hidup masyarakat, maka kepariwisataan
harus diselenggarakan berdasarkan prinsip-prinsip:
1. Menjunjung norma agama dan nilai budaya sebagai penerapan
dari konsep hidup dalam keseimbangan hubungan antara
manusia dan Tuhan Yang Maha Esa, hubungan antara manusia
8 Desa Wisata Berwawasan Ekobudaya: Kawasan Wisata Industri Lurik

dan sesama manusia, dan hubungan antara manusia dan


lingkungan.
2. Menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, keragaman budaya, dan
kearifan lokal.
3. Memberi manfaat untuk kesejahteraan rakyat, keadilan,
kesetaraan, dan proporsionalitas.
4. Memelihara kelestarian alam dan lingkungan hidup.
5. Memberdayakan masyarakat setempat.
6. Menjamin keterpaduan antar sektor, antar daerah, antara pusat
dan daerah yang merupakan satu kesatuan sistemik dalam
kerangka otonomi daerah, serta keterpaduan antar pemangku
kepentingan.
7. Mematuhi kode etik kepariwisataan dunia dan kesepakatan
internasional dalam bidang pariwisata.
8. Memperkukuh keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pariwisata merupakan kegiatan yang dilakukan sesorang maupun


sekelompok orang untuk mengunjungi suatu tempat tertentu dengan
tujuan untuk rekreasi maupun mempelajari daya tari suatu tempat
dengan jangka waktu tertentu. Pariwisata memberi kontribusi besar
dalam peningkatan kesejahteraan suatu negara karena pariwisata
menjadi penggerak ekonomi suatu negara dengan menghidupkan
sektor-sektor terkait kegiatan wisata seperti industri, transportasi dan
penginapan. Oleh karena itu, pariwisata perlu dikembangkan untuk
memberi lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat sehingga mampu
meningkatkan kesejahteraan masyarkat.
Pembangunan pariwisata merupakan sebuah upaya untuk
merencanakan, mengimplementasikan dan mengendalikan kegiatan
pariwisata menuju arah yang lebih baik. Pembanguanan pariwisata
meliputi empat pilar pariwisata nasional yakni destinasi wisata,
pemasaran wisata, industri wisata dan kelembagaan wisata. Keempat
pilar pariwisata tersebut merupakan dasar untuk tujuan pariwisata dan
sebagai acuan untuk menyusun arahan pengembangan kepariwisataan
nasional.
Bab 1 Pembangunan Pariwisata Nasional 9

Pancasila merupakan falsafah hidup Bangsa Indonesia sehingga


penyelenggaraan kepariwisataan nasional harus berlandaskan butir-
butir Pancasila. Dengan berlandaskan Pancasila maka penyelenggaraan
kepariwisataan diharapkan juga mampu mendorong upaya memupuk
rakyat dan bangsa Indonesia untuk mencintai tanah air, mempertebal
rasa memiliki terhadap apa yang ada di negara ini, menimbulkan rasa
persatuan dan kesatuan di antara suatu suku dengan suku lainnya dan
saling memahami adat istiadat dan kebudayaan masing-masing daerah.
10 Desa Wisata Berwawasan Ekobudaya: Kawasan Wisata Industri Lurik
Bab 2
Pengembangan Desa Wisata

A. Pengertian Desa Wisata


Menurut Nuryanti (1993) dalam Antara & Arida (2015) pada bukunya
Panduan Pengelolaan Desa Wisata Berbasis Lokal menyatakan bahwa
desa wisata adalah suatu bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi, dan
fasilitas pendukung yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan
masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku.
Desa wisata (rural tourism) merupakan pariwisata yang terdiri dari
keseluruhan pengalaman pedesaan, atraksi alam, tradisi, unsur-unsur
yang unik yang secara keseluruhan dapat menarik minat wisatawan
(Antara & Arida (2015).
Sedangkan pengertian desa wisata menurut Pariwisata Inti Rakyat (PIR)
dalam Priasukmana & Mulyadin (2001), yaitu suatu kawasan pedesaan
yang menawarkan keseluruhan suasana yang mencerminkan keaslian
pedesaan baik dari kehidupan sosial ekonomi, sosial budaya, adat
istiadat, keseharian, memiliki arsitektur bangunan dan struktur tata
ruang desa yang khas, atau kegiatan perekonomian yang unik dan
menarik serta mempunyai potensi untuk dikembangkannya berbagai
komponen kepariwisataan, misalnya: atraksi, akomodasi, makanan-
minuman, dan kebutuhan wisata lainnya. Dan menurut Peraturan
Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No. 26 Tahun 2010, desa wisata
yaitu suatu bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi, dan fasilitas
12 Desa Wisata Berwawasan Ekobudaya: Kawasan Wisata Industri Lurik

pendukung yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat


yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku.

B. Kriteria Desa Wisata


Menurut Antara & Arida (2015) suatu desa akan menjadi desa wisata,
diperlukan kriteria tertentu, yaitu:
1. Atraksi wisata, yaitu semua yang mencakup alam, budaya dan
hasil ciptaan manusia. Atraksi yang dipilih adalah yang paling
menarik dan atraktif di desa.
2. Jarak Tempuh, yaitu jarak tempuh dari kawasan wisata terutama
tempat tinggal wisatawan dan juga jarak tempuh dari ibukota
provinsi dan jarak dari ibukota kabupaten.
3. Besaran Desa, menyangkut masalah-masalah jumlah rumah,
jumlah penduduk, karakteristik dan luas wilayah desa. Kriteria
ini berkaitan dengan daya dukung kepariwisataan pada suatu
desa.
4. Sistem Kepercayaan dan kemasyarakatan, merupakan aspek
penting mengingat adanya aturan-aturan yang khusus pada
komunitas sebuah desa. Perlu dipertimbangkan adalah agama
yang menjadi mayoritas dan sistem kemasyarakatan yang ada.
5. Ketersediaan Infrastruktur, meliputi fasilitas dan pelayanan
transportasi, fasilitas listrik, air bersih, drainase, jaringan
telepon dan sebagainya.

Kemudian menurut Priasukmana & Mulyadin (2001), bahwa suatu desa


dapat dijadikan sebagai desa wisata harus memenuhi persyaratan-
persyaratan antara lain:
1. Aksesibilitas baik, sehingga mudah dikunjungi wisatawan
dengan menggunakan berbagai jenis alat transportasi.
Bab 2 Pengembangan Desa Wisata 13

2. Memiliki obyek-obyek menarik berupa alam, seni budaya,


legenda, makanan lokal, dan sebagainya untuk dikembangkan
sebagai obyek wisata.
3. Masyarakat dan aparat desanya menerima dan memberikan
dukungan yang tinggi terhadap desa wisata serta para
wisatawan yang datang ke desanya.
4. Keamanan di desa tersebut terjamin.
5. Tersedia akomodasi, telekomunikasi, dan tenaga kerja yang
memadai.
6. Beriklim sejuk atau dingin.
7. Berhubungan dengan obyek wisata lain yang sudah dikenal oleh
masyarakat luas.

C. Perkembangan Konsep Desa Wisata


Menurut Dowling (1996) dalam Hill & Gale (2009), ekowisata dapat
ditinjau melalui keterkaitannya dengan lima elemen inti. Elemen-
elemen tersebut yakni bersifat alami, berkelanjutan secara ekologis,
lingkungan yang bersifat edukatif, mengutamakan budaya masyarakat
lokal dan menciptakan kepuasan wisatawan. Definisi ekowisata yang
pertama diperkenalkan oleh organisasi The Ecotourism Society (1990)
sebagai berikut: Ekowisata adalah suatu bentuk perjalanan wisata ke
area alami yang dilakukan dengan tujuan mengkonservasi lingkungan
dan melestarikan kehidupan dan kesejahteraan penduduk setempat.
Semula ekowisata dilakukan oleh wisatawan pecinta alam yang
menginginkan di daerah tujuan wisata tetap utuh dan lestari, disamping
itu budaya dan kesejahteraan masyarakatnya tetap terjaga.
Seiring berjalannya waktu pengertian ekowisata mengalami
perkembangan. Namun, pada hakikatnva, pengertian ekowisata adalah
suatu bentuk wisata yang bertanggungjawab terhadap kelestarian area
yang masih alami, memberi manfaat secara ekonomi dan
mempertahankan keutuhan budava bagi masyarakat setempat (Chafid,
14 Desa Wisata Berwawasan Ekobudaya: Kawasan Wisata Industri Lurik

2000). Menurut Goeldner dalam Butcher (2007), menyatakan bahwa


ekowisata merupakan bentuk perjalanan menuju kawasan yang masih
alami yang bertujuan untuk memahami budaya dan sejarah alami dari
lingkungannya, menjaga integritas ekosistem dan menciptakan
kesempatan ekonomi untuk membuat sumberdaya konservasi dan alam
tersebut menguntungkan bagi masyarakat lokal. Berdasarkan tinjauan
literatur di atas dapat diketahui bahwa perlu adanya keuntungan yang
harus diperoleh masyarakat lokal, sehingga konsep ekowisata harus
mampu menjadi peningkat kesejahteraan bagi masyarakat lokal.
Konsep ekowisata berbasis masyarakat sangat sesuai dengan
pengembangan wisata pedesaan hal tersebut terkait dengan kehidupan
bermasyarakat di pedesaan yang masih sangat erat. Menurut Lane,
(1994) dan Page and Getz, (1997) dalam Chuang (2010) menyatakan
bahwa pariwisata pedesaan dapat muncul jika ada perilaku wisata yang
muncul di wilayah pedesaan, dan Roberts dan Hall (2001) dalam Chuang
(2010) menambahkan bahwa dalam pariwisata pedesaan harus ada
karakteristik khusus yang dapat berupa budaya tradisional, budaya
pertanian pemandangan alam dan gaya hidup yang sederhana.
Pengembangan kawasan wisata dengan konsep ekowisata dilaksanakan
dengan cara pengembangan pariwisata pada umumnya. Pengembangan
konsep ekowisata berfokus pada dua aspek yakni aspek destinasi wisata
dan aspek market. Aspek destinasi wisata berfokus pada menggali
potensi yang ada di suatu kawasan kemudian menjadikan potensi
tersebut sebagai daya tarik wisata dengan tetap memperhatikan
kelestarian dari potensi yang dimanfaatkan. Hal tersebut dikarenakan
ekowisata tidak melakukan eksploitasi alam, tetapi hanya menggunakan
jasa alam dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pengetahuan,
fisik dan psikologis wisatawan. Bahkan dalam berbagai aspek ekowisata
merupakan bentuk wisata yang mengarah ke metatourism. Ekowisata
bukan menjual destinasi tetapi menjual filosofi. Dari aspek inilah
ekowisata tidak akan mengenal kejenuhan pasar (Chafid, 2000).
Prinsip pengembangan ekowisata yang harus dipenuhi guna menjamin
pembangunan yang ecological friendly dari pembangunan berbasis
kerakyatan (commnnity based). The Ecotourism Society, Epler Wood
(1999) menyebutkan ada delapan prinsip, yaitu:
Bab 2 Pengembangan Desa Wisata 15

a) Mencegah dan menanggulangi dampak dari aktivitas wisatawan


terhadap alam dan budaya,
b) Pendidikan konservasi lingkungan.

Mendidik wisatawan dan masyarakat setempat akan pentingnya arti


konservasi. Proses pendidikan ini dapat dilakukan langsung di alam.
c) Pendapatan langsung untuk kawasan.

Mengatur agar kawasan yang digunakan untuk ekowisata dan


manajemen pengelola kawasan pelestarian dapat menerima langsung
penghasilan atau pendapatan. Retribusi dan conservation tax dapat
dipergunakan secara langsung untuk membina, melestarikan dan
meningkatkan kualitas kawasan pelestarian alam.
d) Partisipasi masyarakat dalam perencanaan.

Masyarakat diajak dalam merencanakan pengembangan ekowisata.


Demikian pula di dalam pengawasan, peran masyarakat diharapkan ikut
secara aktif.
e) Penghasilan masyarakat.

Keuntungan secara nyata terhadap ekonomi masyarakat dari kegiatan


ekowisata mendorong masyarakat menjaga kelestarian kawasan alam.
f) Menjaga keharmonisan dengan alam.

Semua upaya pengembangan termasuk pengembangan fasilitas dan


utilitas harus tetap menjaga keharmonisan dengan alam. Apabila ada
upaya yang tidak selaras dengan alam akan merusak produk wisata
ekologis ini. Hindarkan sejauh mungkin penggunaan minyak,
mengkonservasi flora dan fauna serta menjaga keaslian budaya
masyarakat.
16 Desa Wisata Berwawasan Ekobudaya: Kawasan Wisata Industri Lurik

g) Daya dukung lingkungan.

Pada umumnya lingkungan alam mempunyai daya dukung yang lebih


rendah dengan daya dukung kawasan buatan. Meskipun mungkin
permintaan sangat banyak, tetapi daya dukunglah yang membatasi.
h) Peluang penghasilan pada porsi yang besar terhadap negara.

Apabila suatu kawasan pelestarian dikembangkan untuk ekowisata,


maka devisa dan belanja wisatawan didorong sebesar-besarnya
dinikmati oleh negara atau negara bagian atau pemerintah daerah
setempat.

D. Pariwisata Pedesaan Berbasis


Kerakyatan
Menurut Antara & Arida (2015), mengemukakan bahwa wilayah
pedesaan memiliki ciri-ciri : (1) perbandingan tanah dan manusia (man
land ratio) yang besar; (2) lapangan kerja agraris; (3) hubungan
penduduk yang akrab; dan (4) sifat yang menurut tradisi (tradisional).
Akar budaya desa ditunjukan oleh adanya ciri-ciri kebersamaan,
kekeluargaan, dan kegotong-royongan, sehingga pengembangan
pedesaan sebagai objek dan daya tarik wisata biasanya menggunakan
sumber daya yang ada seperti lahan, budaya, masyarakat dan alam.
Didalam Antara & Arida (2015) menjelaskan bahwa reformasi di
Indonesia mengakibatkan pergeseran paradigma pembangunan dengan
model top down planning menjadi bottom up planning. Paradigma ini
muncul di berbagai sektor pembangunan termasuk dalam bidang
pembangunan pariwisata. Untuk negara yang sedang berkembang di
mana infrastruktur organisasi perencanaan yang masih sangat lemah
dan juga kemampuan sumberdaya manusia yang belum merata ada
kecenderungan untuk menggabungkan dua sistem pendekatan tersebut.
Dari sektor pariwisata, model pembangunan bottom up planning, sejalan
dengan paradigma pariwisata pariwisata yang bercirikan kerakyatan,
Bab 2 Pengembangan Desa Wisata 17

resource community base management atau community management


(Korten, 1986). Sehingga mengarah pada pengembangan desa wisata,
desa wisata terpadu, dan wisata perdesaan sebagai salah satu bentuk
pengembangan pariwisata berkelanjutan yang memiliki pasar tersendiri
(Adhisakti, 2000). Paradigma pariwisata kerakyatan dalam berbagai
bentuknya telah lama menjadi paradigma alternatif sebagai kegagalan
model modernisasi yang diterapkan di negara-negara berkembang
termasuk Indonesia yang memiliki banyak kelemahan karena selalu
mengacu pada pertumbuhan dan perkembangan fisik dan kurang
memperhatikan masalah sosial budaya masyarakat. Terkait dengan
pemikiran tersebut, maka desa-desa yang memiliki keunikan mulai
dilirik untuk dipersiapkan menjadi desa wisata maupun wisata
perdesaan oleh pemerintah maupun pelaku-pelaku wisata.
Pariwisata perdesaan adalah suatu wilayah pedesaan yang menawarkan
keseluruhan suasana yang mencerminkan keaslian pedesaan, baik dari
kehidupan sosial ekonomi, sosial budaya, adat-istiadat keseharian,
arsitektur bangunan maupun struktur ruang desa yang khas atau
kegiatan perekonomian yang unik dan menarik serta mempunyai
potensi untuk dikembangkannya berbagai komponen kepariwisataan
(atraksi, akomodasi, makan, minum, dan lain-lain). Pariwisata pedesaan
termasuk ke dalam jenis industri kecil, karena melayani pasar kecil,
memerlukan modal relatif sedikit, memanfaatkan sumberdaya
setempat, dan tidak memerlukan sumberdaya yang canggih dan mahal.
Ramuan utama pariwisata perdesaan adalah keaslian, keunikan, rasa
khas daerah, dan kebanggan daerah yang berwujud gaya hidup dan
kualitas hidup masyarakatnya. Keaslian dipengaruhi oleh keadaan
ekonomi, fisik, dan sosial daerah pedesaan tersebut, misalnya tata ruang,
warisan budaya, kegiatan pertanian, bentang alam, jasa, pariwisata
sejarah dan budaya yang penting, serta pengalaman yang eksotik khas
daerah. Secara khusus berkaitan dengan perilaku, integritas, keramah-
tamahan, dan kesungguhan penduduk yang tinggal di daerah tersebut.
Sehingga, pariwisata perdesaan dapat mengembangkan identitas dan
ciri khas daerah sesuai dengan prinsip dan tata cara adat setempat, yaitu
dengan cara mengembangkan mutu produk wisata perdesaan,
pengembangan sumberdaya manusia untuk menjadi wirausaha
pariwisata perdesaan, pembuatan kelompok usaha lokal, dan
18 Desa Wisata Berwawasan Ekobudaya: Kawasan Wisata Industri Lurik

memberikan kesempatan pada masyarakat setempat untuk ikut


mengendalikan strategi dan pelaksanaan kegiatan tersebut (Nasikum,
1997; Fagence, 1997 dalam Antara & Arida, 2015).
Menurut Lane (1994) dalam Page and Getz (1997) di dalam Antara &
Arida (2015) pariwisata perdesaan harus memperhatikan hal-hal berikut:
a) Lokasinya harus di daerah pedesaan.
b) Fungsi pedesaan dikembangkan dalam suasana pedesaan yang
memiliki ciri khusus, yaitu usaha kecil, ruang terbuka,
berhubungan dengan alam dan keaslian kegiatan masyarakat
tradisional.
c) Bersifat tradisional, berkembang secara perlahan dan
berhubungan dengan masyarakat lokal.
d) Skala pedesaan baik dalam bentuk bangunan maupun
pengaturan harus selalu dalam skala kecil.
e) Menyajikan bentuk yang komplek dari lingkungan pedesaan,
ekonomi, sejarah dan lokasinya.

Keberhasilan pariwisata perdesaan sangat dipengaruhi oleh intensitas


kegiatan, lokasinya, manajemen, dan dukungan dari masyarakat lokal
dan harus sesuai dengan keinginan masyarakat lokal (Lane, 1994).
Pariwisata perdesaan harus sesuai dengan keinginan masyarakat lokal
dan tidak direncanakan secara sepihak, mendapat dukungan dari
masyarakat setempat bukan individu atau kelompok tertentu. Inisiatif
menggerakan modal usaha, profesionalisme, pemasaran, citra yang jelas
harus dikembangkan karena keinginan wisatawan adalah mencari hal
yang spesial dan produk yang menarik (Page dan Getz, 1997).
Dilihat dari perspektif kehidupan masyarakatnya, pariwisata perdesaan
merupakan suatu bentuk pariwisata dengan objek dan daya tarik berupa
kehidupan desa yang memiliki ciri-ciri khusus dalam masyarakatnya,
panorama alam dan budayanya, sehingga mempunyai peluang untuk
dijadikan komoditi bagi wisatawan, khususnya wisatawan asing.
Kehidupan desa sebagai tujuan wisata adalah desa sebagai objek
sekaligus juga sebagai subjek dari kepariwisataan yaitu sebagai
Bab 2 Pengembangan Desa Wisata 19

penyelenggara sendiri dari berbagai aktivitas kepariwisataan, dan


hasilnya akan dinikmati oleh masyarakatnya secara langsung. Oleh
karena itu peran aktif dari masyarakat sangat menentukan
kelangsungan kegiatan pedesaan ini (Antara & Arida, 2015).
Tampaknya yang terpenting dari pembangunan pariwisata perdesaan
adalah sebagai antisipasi terhadap pariwisata konvensional yang
cenderung menimbulkan konflik antara sumber daya, masyarakat, dan
wisatawan. Kebijakan pengembangan perdesaan melalui usaha-usaha
kepariwisataan antara lain: desa wisata, wisata perdesaan, jasa
akomodasi, jasa boga dan pujasera, pelayanan transportasi, penyediaan
cinderamata, dan bahan konsumsi melalui berbagai usaha agar
masyarakat mampu dan mau memasuki bidang-bidang usaha tersebut
(Antara & Arida (2015).
Menurut Natori (2001); Rochman, (2016) dan Antara & Arida (2015),
tolak ukur pembangunan pariwisata berbasis kerakyatan adalah
terciptanya hubungan yang harmonis antara masyarakat lokal, sumber
daya alam/budaya, dan wisatawan. Hal ini dapat dilihat dari:
a) Adanya peningkatan antusiasme pembangunan masyarakat
melalui pembentukan suatu wadah organisasi untuk
menampung segala aspirasi masyarakat, melalui sistem
kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat lokal.
b) Adanya keberlanjutan lingkungan fisik yang ada di masyarakat,
caranya adalah melalui konservasi, promosi dan menciptakan
tujuan hidup yang harmonis antara sumberdaya alam,
sumberdaya budaya, dan sumberdaya manusia. Penemuan
kembali potensi sumberdaya alam, dan sumberdaya budaya
c) Adanya keberlanjutan ekonomi melalui pemerataan dan
keadilan dalam menikmati hasil-hasil pembangunan.
d) Membangun sistem yang menguntungkan masyarakat seperti
sistem informasi yang dapat digunakan bersama-sama.
20 Desa Wisata Berwawasan Ekobudaya: Kawasan Wisata Industri Lurik

e) Menjaga kepuasan wisatawan melalui pelayanan yang lebih


baik, pengadaan informasi yang efektif, efisien, tepat guna serta
mengutamakan kenyamanan bagi wisatawan.

Bentuk-bentuk pengembangan pariwisata kerakyatan dapat dilakukan


dengan tiga cara yaitu; (1) swadaya (sepenuhnya dari masyarakat); (2)
kemitraan (melalui pengusaha besar/kecil atau sistem bapak angkat);
dan (3) pendampingan oleh LSM atau pihak perguruan tinggi selama
masyarakat dianggap belum mampu untuk mandiri, namun apabila
mereka sudah dianggap mampu mandiri maka secara pelan-pelan
ditinggalkan oleh pendamping (Antara & Arida, 2015). Untuk mencapai
pariwisata kerakyatan yang berkelanjutan dilakukan dengan berbagai
pendekatan sistem yang utuh dan terpadu, bersifat interdisipliner,
participatory, dan holistik antara komponen terkait.

E. Pengertian Pengembangan Desa


Wisata
Menurut Pearce (1995) dalam Dewi, et al. (2013), menyatakan bahwa
pengembangan desa wisata sebagai suatu proses yang menekankan cara
untuk mengembangkan atau memajukan desa wisata. secara lebih
spesifik, pengembangan desa wisata diartikan sebagai usaha-usaha
untuk melengkapi dan meningkatkan fasilitas wisata untuk memenuhi
kebutuhan wisatawan. Kemudian menurut Marpaung (2002),
menyatakan bahwa pengembangan desa wisata adalah suatu proses
bagaimana sebuah desa dapat berkembang dan sebagai pusat wisata
yang memiliki unsur hiburan dan pendidikan. Pembangunan sektor
pariwisata sangat potensial untuk mewujudkan kesejahteraan
masyarakat dengan melibatkan peran aktif masyarakat dalam
pengelolaannya. Serta pengertian pengembangan desa wisata menurut
Putra (2006) adalah suatu wilayah (desa) yang dapat memanfaatkan
unsur-unsur yang ada dalam masyarakat desa yang berfungsi sebagai
atribut produk wisata, menjadi suatu rangkaian aktivitas pariwisata yang
terpadu dan memiliki tema.
Bab 2 Pengembangan Desa Wisata 21

F. Prinsip Pengembangan Desa Wisata


Menurut Sastrayuda (2010), prinsip pengembangan desa wisata adalah
sebagai salah satu produk wisata alternatif yang dapat memberikan
dorongan bagi pembangunan pedesaan yang berkelanjutan serta
memiliki prinsip pengelolaan antara lain:
1. Memanfaatkan sarana dan prasarana masyarakat setempat,
2. Menguntungkan masyarakat setempat,
3. Berskala kecil untuk memudahkan terjalinnya hubungan timbal
balik dengam masyarakat setempat,
4. Melibatkan masyarakat setempat, dan
5. Menerapkan pengembangan produk wisata pedesaan.

G. Tujuan Pengembangan Desa Wisata


Menurut Sastrayuda (2010), tujuan pengembangan desa wisata adalah:
1. Mengenali jenis wisata yang sesuai dan melengkapi gaya hidup
yang yang disukai penduduk setempat,
2. Memberdayakan masyarakat setempat agar bertanggung jawab
terhadap perencanaan dan pengelolaan lingkungannya,
3. Mengupayakan agar masyarakat setempat dapat berperan aktif
dalam pembuatan keputusan tentang bentuk pariwisata yang
memanfaatkan kawasan lingkungannya, dan agar mereka
mendapat jaminan memperoleh bagian pendapatan yang pantas
dari kegiatan pariwisata,
4. Mendorong kewirausahaan masyarakat setempat, dan
5. Mengembangkan produk wisata desa.
22 Desa Wisata Berwawasan Ekobudaya: Kawasan Wisata Industri Lurik

H. Pendekatan Pengembangan Desa


Wisata
Pengembangan potensi desa wisata harus direncanakan secara hati-hati
agar dampak yang timbul dapat dikontrol. Berdasarkan hasil penelitian
dan studi-studi dari UNDP/WTO dan beberapa konsultan Indonesia
UNDP and WTO (1981), dicapai dua pendekatan dalam menyusun
rangka kerja/konsep kerja dari pengembangan sebuah desa menjadi
desa wisata, yaitu:
1. Pendekatan Pasar.

Pada pada pendekatan pasar dikenal tiga jenis interaksi, yaitu:


a) Interaksi Tidak Langsung

Model pengembangan didekati dengan cara bahwa desa mendapat


manfaat tanpa interaksi langsung dengan wisatawan. Bentuk kegiatan
yang terjadi semisal penulisan buku-buku tentang desa yang
berkembang, kehidupan desa, seni dan budaya lokal, arsitektur
tradisional, latar belakang sejarah, pembuatan kartu pos dan sebagainya.
b) Interaksi Setengah Langsung

Bentuk-bentuk one day trip yang dilakukan oleh wisatawan, kegiatan-


kegiatan meliputi makan dan berkegiatan bersama penduduk dan
kemudian wisatawan dapat kembali ke tempat akomodasinya. Prinsip
model tipe ini adalah bahwa wisatawan hanya singgah dan tidak tinggal
bersama dengan penduduk.
c) Interaksi Langsung

Wisatawan dimungkinkan untuk tinggal/bermalam dalam akomodasi


yang dimiliki oleh desa tersebut. Dampak yang terjadi dapat dikontrol
dengan berbagai pertimbangan yaitu daya dukung dan potensi
masyarakat setempat. Alternatif lain dari model ini adalah
penggabungan dari model pertama dan kedua.
Bab 2 Pengembangan Desa Wisata 23

2. Pendekatan Fisik

Pendekatan fisik merupakan solusi yang umum dalam mengembangkan


sebuah desa melalui sektor pariwisata dengan menggunakan standar-
standar khusus dalam mengontrol perkembangan aktivitas konservasi.
a) Mengkonservasi sejumlah rumah yang memiliki nilai budaya
dan arsitektur yang tinggi dan mengubah fungsi rumah tinggal
menjadi sebuah museum desa untuk menghasilkan biaya untuk
perawatan dari rumah tersebut. Contoh pendekatan dari tipe
pengembangan model ini adalah Desa Wisata di Koanara,
Flores. Desa wisata yang terletak di daerah wisata Gunung
Kelimutu ini mempunyai aset wisata budaya berupa rumah-
rumah tinggal yang memiliki arsitektur yang khas. Dalam
rangka mengkonservasi dan mempertahankan rumah-rumah
tersebut, penduduk desa menempuh cara memuseumkan
rumah tinggal penduduk yang masih ditinggali. Untuk
mewadahi kegiatan wisata di daerah tersebut dibangun juga
sarana wisata untuk wisatawan yang akan mendaki Gunung
Kelimutu dengan fasilitas berstandar resor minimum.
b) Mengkonservasi keseluruhan desa dan menyediakan lahan baru
untuk menampung perkembangan penduduk desa tersebut dan
sekaligus mengembangkan lahan tersebut sebagai area
pariwisata dengan fasilitas-fasilitas wisata. Contoh pendekatan
pengembangan desa wisata jenis ini adalah Desa Wisata Sadedi
Lombok.
c) Mengembangkan bentuk-bentuk akomodasi di dalam wilayah
desa yang dioperasikan oleh penduduk desa sebagai industri
skala kecil. Contoh dari bentuk pengembangan ini adalah Desa
wisata Wolotopo di Flores. Aset wisata di daerah ini sangat
beragam antara lain: kerajinan tenun ikat, tarian adat, rumah-
rumah tradisional dan pemandangan ke arah laut. Wisata di
daerah ini dikembangkan dengan membangun sebuah
24 Desa Wisata Berwawasan Ekobudaya: Kawasan Wisata Industri Lurik

perkampungan skala kecil di dalam lingkungan Desa Wolotopo


yang menghadap ke laut dengan atraksi-atraksi budaya yang
unik. Fasilitas-fasilitas wisata seperti akomodasi, restoran,
kolam renang, peragaan tenun ikat, plaza, kebun dan dermaga
boat dikelola sendiri oleh penduduk desa setempat.

Kemudian, menurut Baiquni (2005) dalam Antara & Arida (2015),


menyatakan bahwa terdapat lima aspek dan pendekatan yang perlu
diperhatikan dalam pengembangan suatu desa wisata yaitu:
1. Holistic Approach

Pendekatan ini melihat secara menyeluruh dimensi pembangunan atau


secara holistik. Pendekatan ini berupaya mengintegrasikan berbagai
elemen atau sektor pembangunan secara terpadu, sehingga perumusan
masalah dan pemecahannya diselenggarakan secara kolektif dan
partisipatif. Metode yang digunakan adalah system thinking sebagai cara
untuk membuka pemahaman dan melakukan inovasi dalam
merumuskan konteks kebijakan dan pengembangan yang tepat guna.
2. Participatory Learning

Pendampingan dalam pengembangan kapasitas kelembagaan lokal


perlu dilakukan secara partisipatif, menggali bersama kebutuhan dan
merumuskan prioritas penanganan dalam proses ‘belajar bersama’.
Sesungguhnya yang paling tahu persoalan adalah pelaku lokal
(masyarakat dan pemerintah daerah) sendiri, bukan konsultan atau
kontraktor pembangunan yang berasal dari luar yang memiliki
kepentingannya sendiri. Peran konsultan pada penguatan proses
memfasilitasi pembelajaran kolektif, sehingga pemahaman
permasalahan akan lebih baik dan solusinya dapat dikerjakan bersama-
sama sesuai fungsi masing-masing lembaga dalam tata manajemen.
Metode pembelajaran partisipatif yang dapat digunakan adalah
saresehan, lokakarya dan belajar sambal bekerja (learning by doing).
Bab 2 Pengembangan Desa Wisata 25

3. Empowerment of management

Proses pembelajaran partisipatif mencakup individual dan institusional,


di mana oleh Ki Hajar Dewantoro disebul Triple A (Asih, Asah dan
Asuh). Dalam proses belajar akan menimbulkan pencerahan
(enlightment) dan penguatan atau pemberdayaan (empowerment).
Kelembagaan yang kuat terdiri dari para pelakunya yang juga
tercerahkan dalam belajar dan bekerja. Manajemen kelembagaan yang
terus membangun pencerahan dan pemberdayaan akan memberikan
perbaikan kinerja dalam pengembangan desa wisata.
4. Action Research

Manifestasi aparatur yang tercerahkan dan kelembagaan yang mandiri,


hanya teruji bila telah melakukan tindakan nyata dan bermanfaat bagi
lingkungannya. Riset aksi merupakan bagian yang saling melengkapi
dalam pendampingan peningkatan kapasitas kelembagaan. Metode riset
aksi dilakukan melalui proses pembelajaran dapat diperkaya dengan
pengalaman lapangan.
5. Sinergy And Network

Pendekatan yang penting dalam peningkatan kapasitas kelembagaan


adalah kesediaan untuk membuka jaringan dan bekerja secara jejaring
dengan segenap komponen kelembagaan, baik yang ada di lingkungan
pemerintah eksekutif, legislatif dan yudikatif, maupun kelembagaan
masyarakat dan bisnis. Sinergi dan jejaring merupakan upaya untuk
mewujudkan tugas dan menjawab tantangan pembangunan secara
bersama, menciptakan keseimbangan check and balance, dan
membangun trust di antara pelaku pembangunan desa wisata.

I. Penggalian Potensi Pariwisata


Dalam Antara & Arida (2015), dinyatakan bahwa obyek wisata adalah
segala sesuatu yang ada di daerah tujuan wisata yang merupakan daya
tarik agar orang-orang mau datang berkunjung ke tempat tersebut.
Menurut SK. MENPARPOSTEL No.: KM. 98 / PW.102 / MPPT-87,
26 Desa Wisata Berwawasan Ekobudaya: Kawasan Wisata Industri Lurik

Obyek Wisata adalah semua tempat atau keadaan alam yang memiliki
sumber daya wisata yang dibangun dan dikembangkan, sehingga
mempunyai daya tarik dan diusahakan sebagai tempat yang dikunjungi
wisatawan.
Daya Tarik Wisata sejatinya merupakan kata lain dari obyek wisata,
namun sesuai peraturan pemerintah Indonesia tahun 2009 kata obyek
wisata sudah tidak relevan lagi untuk menyebutkan suatu daerah tujuan
wisatawan, maka digunakanlah kata “Daya Tarik Wisata”, maka untuk
mengetahui apa arti dan makna dari daya tarik wisata di bawah ini
adalah beberapa definisi/pengertian mengenai Daya Tarik Wisata
menurut beberapa ahli :
1. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 10 tahun
2009, daya tarik wisata dijelaskan sebagai segala sesuatu yang
memiliki keunikan, kemudahan, dan nilai yang berupa
keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan
manusia yang menjadi sasaran atau kunjungan wisatawan.
2. Yoeti dalam bukunya “Pengantar Ilmu Pariwisata ” tahun 1985
menyatakan bahwa daya tarik wisata atau “tourist attraction”,
istilah yang lebih sering digunakan, yaitu segala sesuatu yang
menjadi daya tarik bagi orang untuk mengunjungi suatu daerah
tertentu.
3. Pendit, S, N. (1994) dalam bukunya “Ilmu Pariwisata” tahun 1994
mendefinisikan daya tarik wisata sebagai segala sesuatu yang
menarik dan bernilai untuk dikunjungi dan dilihat.
4. Daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang menjadi tujuan
kunjungan wisatawan.
5. Daya tarik wisata adalah sifat yang dimiliki oleh suatu obyek
berupa keunikan, keaslian, kelangkaan, lain dari pada yang lain
memiliki sifat yang menumbuhkan semangat dan nilai bagi
wisatawan” (Kemenbudpar, 2010)
Bab 2 Pengembangan Desa Wisata 27

6. Daya tarik wisata adalah suatu bentukan dan fasilitas yang


berhubungan, yang dapat menarik minat wisatawan atau
pengunjung untuk datang ke suatu daerah atau tempat tertentu.

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Daya Tarik


Wisata (DTW) merupakan segala sesuatu yang dimiliki oleh setiap objek
wisata maupun tujuan wisata yang memiliki ciri khas yang mampu
menarik simpati wisatawan untuk mengunjungi tempat wisata tersebut.
Mengembangkan suatu desa menjadi desa wisata harus menggali dan
mengidentifikasi potensi-potensi desa yang dimiliki (alam, budaya,
buatan manusia) yang kelak menarik dilihat dan dikunjungi oleh
wisatawan yang memang memiliki keunikan tidak ada duanya di tempat
lain. Setiap desa wisata pasti memiliki keunikan yang tiada duanya di
desa lain, menarik dikemas menjadi paket wisata dan ditawarkan
kepada wisatawan, baik melalui sebuah brosur yang ditawarkan kepada
biro perjalanan, maupun dipromosikan melalui media on-line yang
dikenal dengan website.
Dalam UU No. 9 tahun 1990 tentang kepariwisataan disebutkan bahwa
daya tarik wisata adalah suatu yang menjadi sasaran wisata terdiri atas:
1. Daya tarik wisata alam, yaitu daya tarik wisata ciptaan Tuhan
Yang Maha Esa yang berwujud sumberdaya alam, flora dan
fauna, yang berpotensi serta memiliki daya tarik bagi
pengunjung baik dalam keadaan alami maupun setelah ada
usaha budi daya.
2. Daya tarik wisata budaya, yaitu pola pikir dan tingkah laku
manusia keseharian, seperti adat-istiadat.
3. Daya tarik wisata buatan manusia, yaitu daya tarik hasil karya
manusia yang berwujud museum, peninggalan sejarah, seni dan
budaya, wisata agro, wisata buru, wisata petualangan alam,
taman rekreasi dan komplek hiburan.
4. Daya tarik wisata minat khusus, seperti: berburu, mendaki
gunung, gua, industri dan kerajinan, tempat perbelanjaan,
28 Desa Wisata Berwawasan Ekobudaya: Kawasan Wisata Industri Lurik

sungai air deras, tempat-tempat ibadah, tempat ziarah dan lain-


lain.

Daya tarik wisata dapat berupa potensi alam, yaitu daya tarik yang
disediakan oleh alam seperti gunung, danau, sungai, pantai, laut, atau
potensi budaya yaitu obyek budaya seperti adat-istiadat, museum,
benteng, situs peninggalan sejarah, dan lain-lain, serta potensi buatan
manusia. Ada lagi satu yang sering dimasukan sebagai daya tarik wisata
yaitu Syaujana atau bentang alam, adalah objek alam atau budaya atau
buatan manusia yang dilatarbelakangi oleh pemandangan alam, seperti
Pura Tanah Lot dengan latar belakang pemandangan laut, Pura
Batukaru dengan latar belakang Gunung Batukaru, atau hamparan
persawahan Jatiluwih dengan latar belakang pemandangan pegunungan
di belakangannya.
Desa menawarkan suasana pedesaan, yang dapat dikembangkan untuk
mengantisipasi perkembangan pasar (wisatawan) yang lebih
tersegmentasi seiring dengan perkembangan motivasi, ekspektasi dan
preferensi pasar yang semakin kompleks berpengalaman dan peka
terhadap pelestarian alam, budaya serta golongan minoritas (Smith,
1989). Konsep penggalian komponen produk desa wisata (atraksi,
aksesibilitas, amenitas dan ancillary) semestinya didasarkan pada
pengembangan interaksi sosial budaya dari manusia ke manusia
(masyarakat desa adat dengan wisatawan) dan dari manusia ke
lingkungan. Bentuk interaksi tersebut bertujuan untuk mencapai
keutuhan pengalaman tidak hanya bagi wisatawan, melainkan juga
masyarakat desa dalam rangka meningkatkan kualitas hidupnya.
Konsep penggalian produk desa wisata berdasarkan pada
pengembangan interaksi budaya dari manusia ke manusia dan dari
manusia ke alam desa. Manifestasi dari interaksi tersebut bertujuan
mencapai keutuhan pengalaman budaya yang total tidak saja bagi
wisatawan melainkan juga bagi masyarakat desa (sebagai host atau tuan
rumah sebagai subyek yang aktif).
Bab 2 Pengembangan Desa Wisata 29

J. Komponen Produk Wisata


Inti dari produk pariwisata adalah destinasi wisata. Inilah yang menjadi
daya tarik utama atau core business dari industri pariwisata. Destinasi
berkaitan dengan sebuah tempat atau wilayah yang mempunyai
keunggulan dan ciri khas, baik secara geografi maupun budaya, sehingga
dapat menarik wisatawan untuk mengunjungi dan menikmatinya.
Semua produk yang berkaitan dengan perjalanan sebelum, selama, dan
sesudah mengunjungi suatu destinasi adalah produk-produk
pendukung industri pariwisata. Produk-produk tersebut menyatu dan
tidak bisa dipisahkan untuk menciptakan pengalaman yang
“memuaskan” bagi wisatawan. Jika salah satu produk membuat
wisatawan kecewa, maka secara keseluruhan wisatawan akan kecewa
terhadap destinasi tersebut. Untuk membuat sebuah destinasi wisata
yang unggul menurut Cooper, et al. (1993), sebelum sebuah destinasi
diperkenalkan dan dijual seperti halnya desa wisata, terlebih dahulu
harus mengkaji empat aspek utama (4A) yang harus dimiliki, yaitu
Attraction (daya tarik), Accessibility (aksesibilitas = keterjangkauan),
Amenity (fasilitas pendukung), dan Ancilliary (organisasi/kelembagaan
pendukung).
Attraction adalah produk utama sebuah destinasi. Atraksi berkaitan
dengan what to see dan what to do. Apa yang bisa dilihat dan dilakukan
oleh wisatawan di desa wisata tersebut. Atraksi bisa berupa keindahan
dan keunikan alam, budaya masyarakat setempat, peninggalan
bangunan bersejarah, serta atraksi buatan seperti sarana permainan dan
hiburan. Seharusnya sebuah atraksi harus mempunyai nilai diferensiasi
yang tinggi, unik dan berbeda dari desa lainnya. Berbagai macam atraksi
yang mungkin untuk dikembangkan di suatu desa wisata meliputi:
kegiatan persawah/ladangan, (2) kegiatan kesenian desa (3) kegiatan
olah raga dengan masyarakat desa, (4) kegiatan upacara, (5) kegiatan
meditasi lainnya (6) kegiatan pembangunan rumah, (7) kegiatan desa
adat lainnya, (8) makanan dan minuman
Accessibility adalah sarana dan infrastruktur untuk menuju ke desa
wisata. Akses jalan raya, ketersediaan sarana transportasi dan rambu-
rambu penunjuk jalan merupakan aspek penting bagi sebuah destinasi
30 Desa Wisata Berwawasan Ekobudaya: Kawasan Wisata Industri Lurik

desa wisata. Banyak sekali wilayah di Indonesia yang mempunyai


keindahan alam dan budaya yang layak untuk dijual kepada wisatawan,
tetapi tidak mempunyai aksesibilitas yang baik, sehingga ketika
diperkenalkan dan dijual, tak banyak wisatawan yang tertarik untuk
mengunjunginya. Perlu juga diperhatikan bahwa akses jalan yang baik
saja tidak cukup tanpa diiringi dengan ketersediaan sarana transportasi.
Bagi individual tourist, transportasi umum sangat penting karena
kebanyakan mereka mengatur perjalanannya sendiri tanpa bantuan
travel agent, sehingga sangat bergantung kepada sarana dan fasilitas
publik.
Amenity adalah segala fasilitas pendukung yang bisa memenuhi
kebutuhan dan keinginan wisatawan selama berada di destinasi.
Amenitas berkaitan dengan ketersediaan sarana akomodasi untuk
menginap serta restoran atau warung untuk makan dan minum di suatu
desa wisata. Kebutuhan lain yang mungkin juga diinginkan dan
diperlukan oleh wisatawan, seperti toilet umum, rest area, tempat
parkir, klinik kesehatan, dan sarana ibadah sebaiknya juga tersedia di
sebuah destinasi. Tentu saja fasilitas-fasilitas tersebut juga perlu melihat
dan mengkaji situasi dan kondisi dari destinasi sendiri dan kebutuhan
wisatawan. Tidak semua amenitas harus berdekatan dan berada di suatu
desa wisata. Destinasi alam dan peninggalan bersejarah sebaiknya agak
berjauhan dari amenitas yang bersifat komersial, seperti hotel, restoran
dan rest area.
Salah satu media interaksi yang paling efektif dan total antara wisatawan
dan masyarakat pedesaan adalah apabila wisatawan dimungkinkan
tinggal di desa.
Beberapa cara yang mungkin bisa ditempuh adalah:
1. Akomodasi yang disiapkan untuk wisatawan hendaknya tetap
bernuansa pedesaan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara
merehabilitasi dan sedikit modifikasi terhadap rumah penduduk
yang sudah ada, sehingga memenuhi standar minimal
akomodasi dilihat dari segi kesehatan dan kenyamanan,
meliputi sirkulasi udara, penyinaran, sanitasi dan penyediaan
sarana MCK.
Bab 2 Pengembangan Desa Wisata 31

2. Akomodasi merupakan bagian baru di lingkungan rumah-


rumah pedesaan, dengan bangunan yang berdiri di lahan milik
penduduk lokal. Pengelolaan dari penyelenggaraan tempat
tinggal seperti itu sepenuhnya ada di tangan penduduk lokal.
Beberapa program penyiapan sebaiknya difasilitasi secara
matang sebelumnya. Program penyiapan tersebut meliputi
penyuluhan, pelatihan pengelolaan/manajemen sederhana dan
sebagainya.

Ancilliary berkaitan dengan ketersediaan sebuah organisasi atau orang-


orang yang mengurus desa wisata tersebut. Ini menjadi penting karena
walaupun desa wisata sudah mempunyai atraksi, aksesibilitas dan
amenitas yang baik, tapi jika tidak ada orang atau organisasi yang
mengatur dan mengurus, maka ke depannya pasti akan terbengkalai.
Organisasi sebuah desa wisata akan melakukan tugasnya seperti sebuah
perusahaan. Mengelola desa wisata agar bisa memberikan keuntungan
kepada pihak terkait, seperti pemerintah, masyarakat sekitar, wisatawan,
lingkungan dan para stakeholder lainnya.
Komponen empat “A” yang dijelaskan di atas sudah seharusnya menjadi
pertimbangan bagi masyarakat desa atau pemerintah atau pemangku
kepentingan pariwisata untuk mengembangkan suatu destinasi wisata
menjadi desa wisata yang atraktif.

K. Wawasan Ekobudaya dalam


Pengembangan Pariwisata
Salah satu konsep pengembangan pariwisata yakni ekowisata. Adapun
ekowisata secara luas pengertiannya selain melakukan pelestarian, juga
merespon kebutuhan ekologi, sosial-ekonomi-budaya dan sejarah alam
suatu daerah (McIntosh, et al., 1995). Pariwisata ramah lingkungan atau
ekowisata dirasakan bukan hanya sebagai sebuah bentuk perjalanan ke
alam saja, namun didefinisikan atau diinterpretasikan lebih luas
32 Desa Wisata Berwawasan Ekobudaya: Kawasan Wisata Industri Lurik

meliputi pelestarian budaya. Pengelolaan ekowisata yang sukses selain


memberikan nilai tambah pada masyarakat, melindungi sumberdaya
lahan, juga melestarikan nilai kebudayaan dan sosial, termasuk tempat
bersejarah.
Perluasan definisi ekowisata tersebut memunculkan konsep ekobudaya.
Sementara ekobudaya adalah integrasi antara organisme dan
lingkungannya dengan manusia sehingga dapat dikatakan bahwa
konsep ekobudaya dalam pengembangan pariwisata tidak terlepas dari
keterlibatan masyarakat. Tujuannya adalah memperbaiki kebiasaan dan
perilaku yang buruk dalam mengelola ekologi. Berdasarkan tujuan
tersebut konsep ekobudaya dapat mengubah kebiasaan dan perilaku
masyarakat yang sebelumnya tidak peduli dengan potensi pariwisata di
sekitarnya menjadi peduli dan menyadari untuk mengembangkan
potensi-potensi pariwisata yang ada di sekitarnya.
Sektor pariwisata dapat memberikan keuntungan ekonomi bagi
masyarakat, selain itu pariwisata mampu menciptakan berbagai
keuntungan sosial maupun budaya, serta pariwisata dapat membantu
mencapai konversi lingkungan (Inskeep, 1991).
Menurut Lane dan Sharpley (1997) dalam Chuang (2010) menyatakan
bahwa pariwisata pedesaan dapat muncul jika ada perilaku wisata yang
muncul di wilayah pedesaan, serta Roberts dan Hall (2001) dalam
Chuang (2010) menambahkan bahwa dalam pariwisata pedesaan harus
ada karakteristik khusus yang dapat berupa budaya tradisional, budaya
pertanian pemandangan alam dan gaya hidup yang sederhana.
Berdasarkan literatur tersebut diketahui bahwa wawasan ekobudaya
dalam pengembangan pariwisata berperan sebagai daya tarik untuk
destinasi wisata.
Bab 2 Pengembangan Desa Wisata 33

L. Peran Infrastruktur dalam


Pengembangan Pariwisata
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun
2011 Tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional
kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan
pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul
sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara
wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan, Pemerintah,
Pemerintah Daerah, dan pengusaha. Sedangkan pembangunan
kepariwisataan adalah suatu proses perubahan ke arah yang lebih baik
yang di dalamnya meliputi upaya-upaya perencanaan, implementasi dan
pengendalian, dalam rangka penciptaan nilai tambah sesuai yang
dikehendaki.
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun
2011 Tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional
terdapat empat pilar pembangunan pariwisata yakni destinasi wisata,
pemasaran wisata, industri pariwisata dan kelembagaan pariwisata.
Tabel 2.1: Pilar Pembangunan Pariwisata

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa dalam pengembangan


destinasi wisata perlu disediakan prasarana dan sarana guna menunjang
34 Desa Wisata Berwawasan Ekobudaya: Kawasan Wisata Industri Lurik

aktivitas pengunjung destinasi wisata. Kepuasan wisatawan tidak hanya


diperoleh dari atraksi yang mereka lihat, melainkan juga dari fasilitas
wisata yang dimiliki obyek wisata tersebut (Binarwan, 2007)
Infrastruktur adalah semua fasilitas yang memungkinkan proses
perekonomian dapat berjalan dengan lancar sedemikian rupa, sehingga
dapat memudahkan manusia untuk memenuhi kebutuhannya. Jadi
fungsinya adalah melengkapi sarana kepariwisataan, sehingga dapat
memberikan pelayanan sebagaimana mestinya (Yoeti, 1996). Menurut
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2011
Tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional dalam
pembangunan pariwisata nasional harus memperhatikan beberapa hal
salah satunya prasana pariwisata yang meliputi ketersediaan jaringan
listrik dan penerangan, jaringan air bersih, jaringan telekomunikasi serta
sistem pembuangan air limbah.
Menurut Suwantoro (2004), unsur pokok yang harus mendapat
perhatian guna menunjang pengembangan pariwisata di daerah tujuan
wisata yang menyangkut perencanaan, pelaksanaan pembangunan dan
pengembangan yang meliputi 5 unsur yakni objek dan daya tarik wisata,
prasarana wisata, sarana wisata, tata laksana/infrastruktur dan
masyarakat/lingkungan.
Menurut Suwantoro (2004) prasarana wisata atau infrastruktur wisata
adalah sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang mutlak
dibutuhkan oleh wisatawan dalam perjalannya di daerah tujuan wisata
seperti jalan, listrik, air, telekomunikasi, terminal, jembatan dan lain
sebagainya. Infrastrutur menurut Suwantoro (2004) “adalah situasi yang
mendukung fungsi sarana dan prasarana wisata, baik yang berupa
sistem pengaturan maupun bangunan fisik di atas permukaan tanah dan
di bawahnya tanah seperti:
1. Sistem pengairan, distribusi air bersih, sistem pembuangan air
limbah yang membantu saran perhotelan/restoran
2. Sumber listrik dan energi serta jaringan distribusinya yang
merupakan bagian vital bagi terselenggaranya penyediaan
sarana wisata yang memadai
Bab 2 Pengembangan Desa Wisata 35

3. Sistem jalur angkutan dan terminal yang memadai dan lancar


akan memudahkan wisatawan untuk mengunjungi objek-objek
wisata
4. Sistem komunikasi yang memudahkan para wisatawan untuk
mendapatkan informasi dan mampu mengirimkan informasi
secara cepat dan tepat
5. Sistem keamanan atau pengawasan yang memberikan
kemudahan di berbagai sektor bagi para wisatawan. Keamanan
di terminal, di perjalanan dan objek-objek wisata serta pusat
perbelanjaan akan meningkatkan daya terik suatu objek wisata
maupun daerah tujuan wisata.

Menurut Afandi (2013) pembangunan infrastruktur merupakan suatu


strategi dalam penyediaan sarana dan prasarana. Peran infrastruktur
tidak hanya berpengaruh dalam pengembangan wilayah, tetapi juga
pada bidang kepariwisataan. Infrastruktur berperan sangat penting
dalam mendorong kualitas wisata serta lingkungan di sekitar objek
wisata. Walaupun hanya bersifat sebagai pendukung, infrastruktur
memiliki posisi penting bagi keberlangsungan kegiatan masyarakat di
suatu wilayah.

M. Implementasi Ekonomi Kreatif dalam


Pengembangan Pariwisata
Ekonomi kreatif dan sektor wisata merupakan dua hal yang saling
berpengaruh dan dapat saling bersinergi jika dikelola dengan baik
(Agung, 2015). Menurut Yoeti (1990) konsep kegiatan wisata dapat
didefinisikan dengan tiga faktor, yaitu harus ada:
1. Something to see, artinya di tempat tersebut harus ada obyek
wisata dan atraksi wisata, yang berbeda dengan apa yang
dimiliki oleh daerah lain. Sehingga daerah tersebut harus
36 Desa Wisata Berwawasan Ekobudaya: Kawasan Wisata Industri Lurik

memiliki daya tarik yang khusus dan harus mempunyai atraksi


wisata yang dapat dijadikan sebagai “entertainments” ketika
orang datang ke tempat tersebut.
2. Something to do, artinya di tempat tersebut selain banyak yang
dapat dilihat dan disaksikan, harus pula disediakan fasilitas
rekreasi atau amusements yang dapat membuat mereka betah
tinggal lebih lama di tempat tersebut.
3. Something to buy, artinya di tempat tersebut harus tersedia
fasilitas untuk berbelanja, terutama barang souvenir dan
kerajinan rakyat sebagai oleh-oleh untuk dibawa pulang
ketempat asal masing-masing.

Dalam tiga komponen tersebut, ekonomi kreatif dapat masuk melalui


something to buy dengan menciptakan produk-produk inovatif khas
daerah.
Kepariwisataan dan ekonomi kreatif merupakan daya tarik yang saling
terkait dan menguatkan, seperti contoh banyaknya produk hasil dari
kreativitas manusia yang dapat dinikmati oleh wisatawan, karena
memiliki keunikan dan keindahan. Kepariwisataan dan ekonomi kreatif
memiliki keterkaitan yang sangat intens, karena keduanya saling
mendukung dan menguatkan.
Terdapat tiga model keterkaitan industri pariwisata dengan ekonomi
kreatif, di antaranya (I Gusti Bagus Arjana, 2015):
1. Ekonomi kreatif memberi penguatan pada kualitas daya tarik
pariwisata, seperti misalnya dalam menampilkan berbagai
kegiatan seni yang dapat dinikmati oleh wisatawan. Kualitas
pariwisata diukur dari dua komponen yakni lama tinggal atau
length of stay wisatawan pada suatu destinasi wisata dan besar
pengeluaran atau spent of money wisatawan. Seperti diketahui
bahwa dampak atau keuntungan ekonomi pariwisata adalah
berapa besar mendapatkan kucuran devisa dari para wisatawan,
karena semakin lama wisatawan di suatu daerah maka semakin
Bab 2 Pengembangan Desa Wisata 37

besar pula pengeluarannya, untuk kepentingan akomodasi,


transportasi, konsumsi, dan sebagainya.
2. Penciptaan daya tarik wisata, produk dan jasa ekonomi kreatif
dapat menjadi daya tarik utama di suatu destinasi, di mana
wisatawan dapat menikmati berbagai produk seni, seperti seni
panggung, seni tari, seni lukis, seni patung, seni ukir, tempat
produk seni tersebut yang merupakan produk ekonomi kreatif
menjadi andalan suatu destinasi karena produk-produk
ekonomi kreatif tersebut menjadi andalan suatu destinasi
dikarenakan memiliki keunikan bahkan menjadi daya tarik
utama yang tidak dapat dinikmati di destinasi lainnya.
3. Promosi, hubungan produk dan jasa ekonomi kreatif bersifat
timbal balik karena saling mendukung, di mana produk dan jasa
ekonomi kreatif itu dapat dijadikan media promosi wisata yang
efektif demikian pula sebaliknya.

Menurut I Gusti Bagus Arjana (2015) dalam bukunya Geografi Pariwisata


dan Ekonomi Kreatif, keterlibatan atau peranan ekonomi kreatif
menjadi elemen penting dari industri pariwisata. Modal utama dalam
pengembangan pariwisata yaitu sumberdaya alam seperti pemandangan
yang indah dan eksotik atau budaya asli yang unik dan antik yang
kemudian didukung keberjalanan ekonomi kreatif yang disini sebagai
fungsi strategis pengembangan ekonomi kreatif.
I Gusti Bagus Arjana (2015) menjelaskan bahwa daerah-daerah di
Indonesia di mana industri pariwisata sudah berjalan mapan yang
melibatkan pemerintah, kalangan bisnis, masyarakat dan seniman,
tampak secara transparan ekonomi kreatif berjalan secara dinamis
seperti di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Semarang, Denpasar,
Medan, Makassar dan kota-kota lainnya. Lapangan kerja sangat terbuka,
untuk menghasilkan produk barang dan jasa sesuai jenis ekonomi
kreatif yang berkembang di Indonesia.
38 Desa Wisata Berwawasan Ekobudaya: Kawasan Wisata Industri Lurik
Bab 3
Studi Kasus I:
Pengaruh Pola Jejaring Industri
Lurik Tradisional Terhadap
Pengembangan Desa Wisata
Tlingsing, Cawas, Klaten

Salah satu wilayah di Indonesia yang berhasil mengembangkan Industri


Kecil Menengah (IKM) sebagai hasil produk unggulan wilayahnya
adalah Kabupaten Klaten. Berdasarkan PDRB Kabupaten Klaten tahun
2014, terdapat 3 sektor yang tingkat pertumbuhannya paling tinggi yaitu
sektor perdagangan, hotel dan restoran sebanyak 30,70%, industri
pengolahan sebesar 20,34%, serta sektor jasa-jasa sebesar 15,76%.
Menurut Data Industri Kecil dan Potensi Sentra Tahun 2008 Kabupaten
Klaten (2008), Kabupaten Klaten adalah salah satu kabupaten di Jawa
Tengah yang memiliki IKM cukup banyak yaitu berkisar 33.221 IKM.
IKM ini yang menjadikan industri jenis lurik menjadi salah satu produk
unggulan dan ciri khas di Kabupaten Klaten dikarenakan masih
menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin atau yang biasa disebut dengan
ATBM. Keberadaan pengrajin tenun ATBM semakin meningkat dan
40 Desa Wisata Berwawasan Ekobudaya: Kawasan Wisata Industri Lurik

tersebar di beberapa kecamatan seperti Bayat, Cawas dan juga Pedan.


Dari beberapa wilayah tersebut Kecamatan Cawas merupakan yang
paling berkembang dan terdapat aglomerasi industri tenun ATBM yang
berada di Desa Tlingsing. Kemudian pada tahun 2011, melalui Keputusan
Bupati Klaten bahwa ditetapkannya Desa Tlingsing sebagai Desa Wisata
Tenun ATBM Lurik di Kabupaten Klaten. Sehingga Desa Tlingsing ini
berkembang menjadi desa wisata minat khusus dengan ciri khas
industri tenun lurik ATBM.
Rantai aktivitas industri lurik tradisional mulai dari pengadaan bahan
baku hingga pemasaran yang sesuai dengan teori rantai aktivitas
industri kreatif yang ada akan membentuk sebuah pola aktivitas,
kemudian untuk mengetahui pola jejaring industri lurik dihasilkan dari
proses pendistribusian bahan baku dan produk serta didukung dengan
transportasi yang ada untuk kelancaran aktivitas industri. Dari aktivitas
tersebut dapat membentuk sebuah pola jejaring secara spasial, sehingga
sesuai dengan pengertian pola jejaring menurut Santoso, et al. (2012) di
mana pola jejaring adalah penghubung (link) antar simpul dalam suatu
sistem transportasi.
Setiap proses pembuatan tenun ATBM dari pengadaan bahan baku
hingga pemasaran serta seluruh komponen aktivitas industri kreatif
pembuatan tenun lurik ATBM tersebut mendukung keberlanjutan
industri lurik tradisional Desa Tlingsing yang dapat mendukung
pengembangan Desa Wisata Tlingsing. Proses produksi kreatif
pembuatan tenun lurik tradisional tersebut didukung oleh individu
terampil dan kreatif yang berdomisili di Desa Tlingsing sebagai
pengrajin sehingga proses produksi dan produk yang dihasilkan juga
kreatif. Pada proses produksi kreatif dimanfaatkan sebagai daya tarik
wisata Desa Tlingsing yang berupa wisata edukasi sehingga wisatawan
dapat menikmati dan mencoba proses pembuatan tenun lurik
tradisional secara langsung serta pada proses produksi juga
memanfaatkan teknologi dalam pencarian informasi dan komunikasi
untuk mendukung keberjalanan proses produksi, dam produk kreatif
yang dihasilkan dapat menjadi souvenir untuk wisatawan. Berdasarkan
setiap proses pembuatan tenun ATBM serta seluruh komponen
aktivitasnya memiliki potensi untuk mendukung pengembangan Desa
Bab 3 Studi Kasus I: Pengaruh Pola Jejaring Industri Lurik Tradisional 41

Wisata Tlingsing. Sehingga memunculkan pertanyaan: Bagaimana


pengaruh pola jejaring industri lurik tradisional terhadap
pengembangan Desa Wisata Tlingsing ?

A. Pola Jejaring Industri Lurik


Tradisional
Tabel 3.1: Rekapitulasi Hasil Skoring Variabel Pengaruh Pola Jejaring
Industri Lurik Tradisional (Peneliti, 2018)

Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat bahwa karakter industri lurik


tradisional di Desa Tlingsing yaitu terdapat dua indikator yang
berkategori rendah yaitu pada indikator jumlah tenaga kerja dan
promosi penjualan. Sedangkan tiga indikator menyatakan berkategori
sedang yaitu pada indikator adanya pemanfaatan proses produksi
42 Desa Wisata Berwawasan Ekobudaya: Kawasan Wisata Industri Lurik

sebagai atraksi wisata edukasi, teknologi dan jangkauan pemasaran


produk. Kemudian 10 indikator lainnya termasuk kategori tinggi.
Pola jejaring industri lurik tradisional Desa Tlingsing yang terbentuk
berdasarkan rantai aktivitas industrinya yaitu mulai dari pengadaan
bahan baku, proses produksi, hingga pemasaran yang bersifat mengalir
dan saling bersinergi antar komponennya. Sehingga rantai aktivitas
industri kreatif yang terbentuk di Desa Tlingsing sesuai dengan teori
yang dikemukakan oleh UNIDO (2007) tentang komponen pokok
pembentuk rantai aktivitas industri kreatif yaitu inputs, manufacturing,
dan marketing.

B. Pengembangan Desa Wisata


Tabel 3.2: Rekapitulasi Hasil Skoring Variabel Pengembangan Desa
Wisata Tlingsing (Peneliti, 2018)

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa karakter pengembangan


Desa Wisata Tlingsing hanya satu indikator yang termasuk kategori
tinggi yaitu pada indikator masyarakat atau organisasi pengelola desa
wisata. Serta lima indikator termasuk kategori sedang yaitu indikator
atraksi unik, dekat dengan jalan raya dan fasilitas transportasi, toko
cinderamata, pusat informasi, dan rumah makan serta empat indikator
Bab 3 Studi Kasus I: Pengaruh Pola Jejaring Industri Lurik Tradisional 43

lainnya termasuk kategori rendah yaitu indikator moda transportasi,


rambu-rambu jalan, akomodasi, dan Anjungan Tunai Mandiri (ATM).
Berpedoman pada teori komponen pengembangan desa wisata yang
dikemukakan oleh Cooper, et al. (1993) dalam Antara & Arida (2015)
yang terdiri dari atraksi, aksesibilitas, amenitas, dan ancillary service.
Atraksi wisata di Desa Wisata Tlingsing berupa proses produksi lurik
tradisional mulai dari pemilihan bahan baku hingga pemotongan kain
tenun lurik. Selain itu, atraksi pada Desa Wisata Tlingsing juga telah
menerapkan teori atraksi wisata menurut Yoeti (1990) di mana proses
produksi sebagai atraksi khusus berupa kebudayaan sebagai wisata
edukasi yang melibatkan pengrajin sebagai pelaku usaha dan
pengunjung.
Tingkat pengembangan Desa Wisata Tlingsing dari aspek aksesibilitas
dapat dinilai dari sisi dekat dengan jalan raya dan fasilitas transportasi,
moda transportasi serta tersedianya rambu jalan menuju Desa Wisata
Tlingsing. Akses menuju Desa Wisata Tlingsing dari jalan arteri terdekat
dan stasiun Klaten yaitu berjarak 18 km namun berjarak 39 km dengan
bandara terdekat. Berdasarkan hasil penelitian, upaya yang dilakukan
dalam pengembangan Desa Wisata Tlingsing dari segi dekat dengan
jalan raya dan fasilitas transportasi masih tergolong sedang. Namun,
masih belum sesuai dalam segi tersedianya moda transportasi dan
rambu-rambu jalan menuju Desa Wisata Tlingsing, hal tersebut
dikarenakan belum adanya moda transportasi yang melewati kawasan
serta belum tersedianya rambu-rambu penunjuk jalan menuju desa
wisata Tlingsing.
Dari aspek amenitas, belum semua upaya yang dilakukan untuk
pengembangan Desa Wisata Tlingsing. Hal ini dikarenakan hanya
beberapa fasilitas amenitas seperti rumah makan, toko cinderamata
serta pusat informasi yang tersedia untuk wisatawan dan dapat
dijangkau dengan berjalan kaki dari lokasi pusat sentra Desa Wisata
Tlingsing namun untuk fasilitas akomodasi dan ATM belum tersedia di
lokasi wisata.
Kemudian komponen terakhir pengembangan desa wisata yang
dikemukakan oleh Cooper, et al. (1993) dalam Antara & Arida (2015)
44 Desa Wisata Berwawasan Ekobudaya: Kawasan Wisata Industri Lurik

adalah aspek ancillary service. Dalam pengembangan desa wisata


Tlingsing, upaya dari aspek ancillary service telah dilakukan. Hal ini
ditandai dengan adanya kelompok sadar wisata Desa Tlingsing dan
pengawasan dari Dinas Pariwisata Kabupaten Klaten serta adanya
masyarakat yang turut mengelola desa wisata.
Tidak semua komponen telah dilakukan upaya untuk pengembangan
Desa Wisata Tlingsing. Hanya pada aspek atraksi wisata dan ancillary
service yang telah dilakukan upaya penuh dalam pengembangan Desa
Wisata Tlingsing. Untuk aspek aksesibilitas dan amenitas masih
terdapat beberapa upaya dalam pengembangan Desa Wisata Tlingsing.
Hal tersebut yang mendasari bahwa pengembangan Desa Wisata
Tlingsing belum sepenuhnya sesuai dengan teori pengembangan desa
wisata yang dikemukakan oleh Cooper, et al. (1993) dalam Antara &
Arida (2015).
Bab 3 Studi Kasus I: Pengaruh Pola Jejaring Industri Lurik Tradisional 45

C. Pengaruh Pola Jejaring Industri Lurik


Tradisional Terhadap Pengembangan
Desa Wisata Tlingsing
Tabel 3.3: Rekapitulasi Besaran Pengaruh Pola Jejaring Industri Lurik
Tradisional Terhadap Pengembangan Desa Wisata Tlingsing (Peneliti,
2018)

Pola jejaring industri lurik tradisional yang terbentuk berdasarkan


simpul aktivitas kegiatan industri akan memengaruhi keberlanjutan
46 Desa Wisata Berwawasan Ekobudaya: Kawasan Wisata Industri Lurik

kegiatan industri lurik tradisional di mana industri lurik tradisional Desa


Tlingsing ini juga sebagai daerah wisata, sehingga keberlanjutan industri
lurik tradisional juga akan memengaruhi keberlanjutan wisata tenun
tradisional di Desa Tlingsing.
Berdasarkan pada teori menurut Yoeti (1990) yang dilihat dari 3 faktor,
yaitu something to see, something to do dan something to buy. Desa
Tlingsing yang merupakan sebuah desa dengan fungsi industri dan
fungsi sebagai desa wisata. Pada desa tersebut faktor something to see
dan something to do telah diterapkan, di mana industri lurik tradisional
harus tetap berlangsung karena industri tersebut memengaruhi atraksi
wisata di Desa Tlingsing. Desa Tlingsing juga menerapkan faktor
something to buy. Di mana industri lurik tradisional berlaku sebagai
penyedia produk berupa tenun lurik yang telah dihasilkan dari hasil
proses produksi yang telah dilakukan sebagai souvenir atau kerajinan
yang dapat dijadikan oleh-oleh wisatawan. Dengan adanya hal tersebut,
mengakibatkan munculnya fasilitas berbelanja berupa toko cinderamata
atau showroom tenun lurik tradisional yang juga sebagai tempat bagi
pengrajin industri lurik tradisional Desa Tlingsing. Teori tersebut juga
didukung oleh Evans dalam Suparwoko (2017) yang menyatakan bahwa
dari segi industri kreatif, produk kerajinan yang dihasilkan dalam
bentuk souvenir dapat dijual melalui sektor pariwisata di toko
cinderamata, di mana wisatawan memperoleh buah tangan sebagai
memorabilia terhadap daerah wisata tersebut.
Kemudian, merujuk pada teori menurut Diana, et al. (2017) tentang
peran masyarakat terhadap industri kreatif yaitu masyarakat sebagai
pengelola industri dan masyarakat sebagai sumberdaya manusia yang
kreatif dan inovatif dalam menghasilkan suatu produk kerajinan
sehingga bernilai seni tinggi yang dapat menarik wisatawan untuk
datang dan membeli. Di mana pengrajin yang berada di industri lurik
tradisional Desa Tlingsing juga sebagai pelaku pengelola Desa Wisata
Tlingsing. Sehingga dari pernyataan tersebut menyatakan bahwa Desa
Tlingsing yang sebagai industri lurik tradisional memengaruhi
munculnya ancillary service pada Desa Wisata Tlingsing. Ancillary
service yang dimaksudkan yaitu adanya masyarakat atau organisasi
pengelola desa wisata.
Bab 3 Studi Kasus I: Pengaruh Pola Jejaring Industri Lurik Tradisional 47

Berdasarkan hasil di atas, dapat dilihat bahwa industri lurik tradisional


berpengaruh kuat terhadap keberlanjutan atraksi, munculnya toko
cinderamata dan munculnya ancillary service pada Desa Wisata
Tlingsing. Atraksi, toko cinderamata yang termasuk bagian dari aspek
amenitas, serta ancillary service merupakan bagian dari pengembangan
Desa Wisata Tlingsing, sehingga untuk lebih mengembangkan Desa
Wisata Tlingsing tidak bisa mengabaikan aspek amenitas yang terdiri
dari fasilitas rumah makan, akomodasi, pusat informasi dan ATM serta
aspek aksesibilitas yang terdiri dari indikator dekat dengan jalan raya,
tersedianya moda transportasi dan tersedianya rambu-rambu jalan
menuju kawasan Desa Wisata Tlingsing. Di mana aspek amenitas dan
aspek aksesibilitas merupakan salah satu bentuk fasilitas fisik yang harus
disediakan untuk menunjang pengembangan Desa Wisata Tlingsing
guna memenuhi kebutuhan wisatawan selama berada di lokasi wisata.
Hal tersebut didukung dengan teori menurut Spillane (2000) dalam
Abdulhaji & Yusuf (2016) mengungkapkan bahwa fasilitas fisik (physical
facility) adalah sarana yang disediakan oleh pengelola objek wisata
untuk memberikan pelayanan atau kesempatan kepada wisatawan
menikmatinya.
Hasil yang didapatkan dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan
bahwa industri lurik tradisional berpengaruh kuat terhadap
keberlanjutan atraksi, munculnya toko cinderamata dan munculnya
ancillary service pada Desa Wisata Tlingsing. Atraksi, toko cinderamata
yang termasuk bagian dari amenitas, serta ancillary service merupakan
bagian dari pengembangan Desa Wisata Tlingsing. Beberapa fasilitas
pada aspek amenitas seperti tersedianya pusat informasi dan rumah
makan untuk penyediaan kebutuhan wisatawan merupakan komponen
pengembangan Desa Wisata Tlingsing yang muncul tidak secara
langsung dipengaruhi oleh industri lurik tradisional Desa Tlingsing
namun muncul akibat kebutuhan guna pengembangan Desa Wisata
Tlingsing. Serta aspek amenitas lainnya seperti ATM, dan akomodasi
serta aspek aksesibilitas tidak dipengaruhi secara kuat oleh keberadaan
industri lurik tradisional, dikarenakan posisinya sebagai aspek
pendukung dalam pengembangan desa wisata, seperti terlihat pada
gambar berikut:
48 Desa Wisata Berwawasan Ekobudaya: Kawasan Wisata Industri Lurik

Gambar 3.1: Bagan Pengaruh Industri Lurik Tradisional Desa Tlingsing


Terhadap Pengembangan Desa Wisata Tlingsing Berdasarkan Teori
(Peneliti, 2018)
Namun berdasarkan hasil analisis menggunakan analisis regresi linier
sebelumnya, pengaruh pola jejaring industri lurik tradisional terhadap
pengembangan Desa Wisata Tlingsing yang terbentuk adalah sbagai
berikut:

Gambar 4.2: Bagan Hasil Pengaruh Industri Lurik Tradisional Desa


Tlingsing Terhadap Pengembangan Desa Wisata Tlingsing (Peneliti,
2018)
Bab 3 Studi Kasus I: Pengaruh Pola Jejaring Industri Lurik Tradisional 49

Ketika merujuk pada teori di atas dapat disimpulkan bahwa tingkat


pengaruh yang ditimbulkan oleh pola jejaring industri lurik tradisional
terhadap pengembangan Desa Wisata Tlingsing masih belum
sepenuhnya sesuai dengan teori-teori tersebut. Namun, semua
indikator-indikator pengembangan Desa Wisata Tlingsing di atas telah
terdapat pengaruh yang ditimbulkan dari pola jejaring industri lurik
tradisional Desa Tlingsing mulai dari pengaruh kuat hingga pengaruh
lemah.
50 Desa Wisata Berwawasan Ekobudaya: Kawasan Wisata Industri Lurik
Bab 4
Studi Kasus II:
Analisis Ketersediaan
Infrastruktur Kawasan Industri
Lurik ATBM Desa Tlingsing,
Klaten

Kabupaten Klaten merupakan kabupaten yang terkenal dengan produk


lurik. Lurik yang paling diminati yakni lurik dari Alat Tenun Bukan
Mesin (ATBM). Hal tersebut karena kualitas lurik ATBM lebih baik
dibandingkan dengan lurik hasil pekerjaan mesin. Salah satu kawasan
industri lurik ATBM terbesar di Kabupaten Klaten yakni di Desa
Tlingsing, Kecamatan Cawas. Setiap bulan permintaan lurik ATBM yang
diproduksi Desa Tlingsing dapat mencapai 3000 meter. Selain itu, hasil
produksi lurik ATBM Desa Tlingsing sangat terkenal bahkan hingga ke
luar negeri. Proses produksi lurik ATBM yang rumit juga menjadi daya
tarik tersendiri untuk kunjungan wisata. Setiap bulan terdapat
kunjungan wisata oleh pelajar maupun mahasiswa yang ingin
mempelajari proses produksi lurik Pembelajaran proses produksi lurik
dijadikan sebagai media untuk mempromosikan lurik ATBM Desa
52 Desa Wisata Berwawasan Ekobudaya: Kawasan Wisata Industri Lurik

Tlingsing sehingga pemasaran lurik ATBM semakin meluas. Supaya


seluruh kegiatan yang berlangsung di Desa Tlingsing dapat berjalan
dengan baik harus didukung dengan infrastruktur yang mampu
memenuhi seluruh kebutuhan industri lurik di Desa Tlingsing.
Ketersediaan infrastruktur merupakan faktor penting kawasan industri
lurik. Infrastruktur berperan dalam keberlangsungan sistem ekonomi
dan sistem sosial. Infrastruktur juga berperan dalam memenuhi
kebutuhan kegiatan di dalam kawasan industri (Dirdjojuwono, 2004).
Infrastruktur sangat dibutuhkan baik untuk kawasan industri skala
besar maupun industri skala kecil. Namun, Desa Tlingsing dalam
pengembangan kawasan industri lurik ATBM memiliki kendala dalam
ketersediaan infrastruktur. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
ketersediaan infrastruktur di Desa Tlingsing dalam memenuhi
kebutuhan kawasan industri lurik. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu analisis skoring dan hasil dari penelitian ini adalah
pelayanan infrastruktur dalam memenuhi kebutuhan kawasan industri
lurik ATBM.

A. Karakteristik Infrastruktur Kawasan


Desa Wisata Lurik
Desa Tlingsing merupakan salah satu desa di Kabupaten Klaten yang
memiliki kelompok industri lurik. Desa Tlingsing merupakan desa
dengan pemusatan kegiatan industri lurik ATBM terbesar di Kabupaten
Klaten. Kegiatan industri lurik ATBM di Desa Tlingsing berlangsung
setiap hari dan tidak bersifat musiman. Selain itu, di Desa Tlingsing
tersedia infrastruktur yang meliputi jaringan jalan, jaringan air bersih,
jaringan listrik, jaringan pembuangan air dan jaringan telekomunikasi.
Menurut UU No. 3 Tahun 2014 kawasan industri merupakan pemusatan
kegiatan industri yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana
penunjang kegiatan industri dan dikelola oleh perusahaan kawasan
industri. Berdasarkan teori tersebut dapat diketahui bahwa kriteria
kawasan industri yakni adanya pemusatan kelompok industri, adanya
Bab 4 Studi Kasus II: Analisis Ketersediaan Infrastruktur Kawasan Industri Lurik ATBM 53

kegiatan industri serta ketersediaan sarana dan prasarana


(infrastruktur). Berdasarkan teori tersebut dan kondisi Desa Tlingsing
dapat diketahui bahwa Desa Tlingsing merupakan kawasan industri
karena memenuhi atau sesuai dengan kriteria-kriteria kawasan industri.
Kawasan industri lurik ATBM di Desa Tlingsing memiliki 250 unit usaha.
Unit usaha tersebut merupakan unit usaha rumah tangga karena hanya
memiliki sedikit tenaga kerja pada setiap unit usaha dan pekerja
tersebut merupakan anggota keluarga sendiri. Selain itu, teknologi yang
digunakan sangat sederhana yakni menggunakan alat tenun bukan
mesin. Industri kecil merupakan industri dengan skala kecil baik
produksi, modal dan tenaga kerja serta teknologi yang sederhana
(Abdurachmat, 1997). Berdasarkan kondisi tersebut dapat diketahui
bahwa Desa Tlingsing merupakan kawasan industri kecil dengan unit
usaha skala rumah tangga. Dari uraian tersebut diketahui bahwa Desa
Tlingsing merupakan desa wisata berbasis industri kecil skala rumah
tangga
Menurut Smith (1981), kawasan industri merupakan suatu tempat yang
telah ditentukan dan berisi kelompok-kelompok kegiatan yang
mementingkan kegiatan produksi dan kegiatan pemasaran atau
hubungan timbal balik. Menurut Triyanto (2012) kegiatan produksi kain
lurik tradisional (ATBM) melalui beberapa proses yang cukup rumit
menggunakan pekerjaan tangan. Proses awal dari pemilihan bahan baku
kemudian pencucian, pewarnaan, pengkanjian, penguapan,
penjemuran, pemintalan, penggulungan pertama (nyekir),
penggulungan kedua (nge-bum), dan menenun. Kegiatan produksi di
Desa Tlingsing dilakukan di setiap rumah pengrajin lurik ATBM di Desa
Tlingsing. Para pengrajin melakukan kegiatan pencucian, pewarnaan,
pengkanjian, penguapan, penjemuran, pemintalan, penggulungan
pertama (nyekir), penggulungan kedua (nge-bum), dan menenun di
rumah masing-masing dan pemilihan bahan baku di Pasar Pedan dan
Pasar Cawas. Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa Desa
Tlingsing merupakan pusat kegiatan produksi lurik karena memenuhi
kriteria atau sesuai dengan teori mengenai kegiatan produksi lurik
ATBM.
54 Desa Wisata Berwawasan Ekobudaya: Kawasan Wisata Industri Lurik

Selain kegiatan produksi, kegiatan di kawasan industri lurik yakni


kegiatan pemasaran. Para pengrajin lurik di Desa Tlingsing menjual hasil
produksi mereka ke showroom yang ada di Desa Tlingsing. Pengelola
showroom melakukan upaya promosi produk lurik ATBM melalui
website dan media sosial. Dari kegiatan promosi tersebut mengundang
konsumen dari luar kawasan untuk mengunjungi Desa Tlingsing untuk
membeli produk lurik ATBM. Selain itu, dari kegiatan promosi
konsumen melakukan pemesanan secara online kemudian distribusi
barang dilakukan oleh pengelola showroom dari Desa Tlingsing menuju
lokasi pembeli dengan menggunakan jasa pengiriman barang. Selain itu,
kegiatan promosi juga dilakukan dalam bentuk pengenalan produk
melalui pembelajaran proses produksi lurik yang diadakan di salah satu
rumah pengrajin lurik di Desa Tlingsing. Menurut Kotler dan Armstrong
(2008) kegiatan pemasaran merupakan proses sosial untuk memenuhi
kebutuhan dengan pertukaran timbal balik produk dan nilai dengan
orang lain (jual beli). Kegiatan pemasaran meliputi kegiatan promosi,
distribusi dan penjualan. Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui
bahwa Desa Tlingsing merupakan pusat kegiatan pemasaran lurik
karena sesuai dengan teori tersebut di mana terdapat kegiatan promosi,
distribusi dan penjualan lurik.
Berdasarkan uraian di atas diketahui bahwa karakteristik infrastruktur di
Desa Tlingsing memiliki karakteristik infrastruktur kawasan industri
kecil skala rumah tangga. Hal tersebut karena infrastruktur yang ada
berfokus pada pemenuhan kebutuhan untuk kegiatan produksi dan
pemasaran di kawasan industri lurik.

B. Peran Infrastruktur dalam


Pengembangan Kawasan Industri Lurik
sebagai Desa Wisata
Berdasarkan hasil observasi diketahui bahwa di kawasan industri lurik
ATBM di Desa Tlingsing tersedia jaringan jalan, jaringan air bersih,
Bab 4 Studi Kasus II: Analisis Ketersediaan Infrastruktur Kawasan Industri Lurik ATBM 55

jaringan listrik, jaringan drainase yang juga berperan sebagai jaringan air
kotor dan jaringan telekomunikasi berupa jaringan telepon seluler.
Namun, di Desa Tlingsing tidak tersedia jaringan pengolah limbah
untuk menampung dan mengolah limbah hasil produksi lurik. Seluruh
infrastruktur di Desa Tlingsing tidak hanya berperan untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat setiap hari namun, juga untuk memenuhi
kebutuhan kegiatan produksi dan kegiatan pemasaran lurik. Kegiatan
produksi lurik meliputi kegiatan pemilihan bahan baku dan kegiatan
pengolahan bahan baku menjadi barang jadi. Sedangkan, kegiatan
pemasaran meliputi promosi, distribusi dan penjualan. Kegiatan
promosi dilakukan dengan kegiatan pengenalan produk lurik melalui
proses belajar produksi lurik. Kegiatan promosi ini menjadi daya tarik
utama kunjungan wisata. Kegiatan jual beli lurik di showroom juga
menjadi daya tarik bagi wisatawan untuk datang dan membeli lurik khas
Desa Tlingsing.
Tabel 4.1: Pembobotan Skor Indikator Ketersediaan Infrastruktur
Industri Lurik (Peneliti, 2018)
Sub
Variabel Indikator Kondisi Eksisting Skor
Variabel
Jaringan Badan jalan Seluruh ruas jalan menuju lokasi sumber 1
jalan bahan baku yakni 3 ruas jalan memiliki bahu
pendukung jalan 0,5 meter dan pembagian 2 jalur jalan.
produksi Namun 2 ruas jalan provinsi (jalan utama)
memiliki lebar 5 meter dan jalan lokal 2,5
meter
Perlengkapa Seluruh ruas jalan menuju lokasi bahan 2
n jalan baku memiliki rambu penunjuk arah
menuju lokasi bahan baku, marka dan
penerangan jalan
Jaringan
Kapasitas Seluruh ruas jalan menuju sumber bahan 3
jalan
jalan baku memiliki tingkat pelayanan jalan
kategori A
Jaringan Badan jalan Seluruh ruas jalan yakni 16 ruas jalan menuju 1
jalan lokasi transit terdekat memiliki bahu jalan
pendukung 0,5 meter dan pembagian 2 jalur jalan.
pemasaran Namun 5 ruas jalan provinsi memiliki lebar 5
meter dan 11 ruas jalan lokal 2,5 meter
Perlengkapa Seluruh ruas jalan yakni 16 ruas jalan menuju 2
n jalan lokasi transit terdekat memiliki rambu
penunjuk arah menuju lokasi transit, marka
56 Desa Wisata Berwawasan Ekobudaya: Kawasan Wisata Industri Lurik

Sub
Variabel Indikator Kondisi Eksisting Skor
Variabel
dan penerangan jalan
Kapasitas Seluruh ruas jalan yakni 16 ruas jalan menuju 3
jalan lokasi transit terdekat memiliki tingkat
pelayanan jalan kategori A
Jaringan air Penyediaan Seluruh 88 responden pengrajin lurik 2
bersih jaringan air terjangkau pelayanan Pamsimas dan sumur
pendukung bersih tanah namun, di kawasan industri lurik
produksi tidak ditemui hidran dank ran umum
Ketersediaa Debit air kawasan industri lurik 0,3 hingga 3
n air bersih 0,35 serta kualitas air tidak berasa, tidak
berbau jernih dan tidak berwarna namun,
mengandung kapur. Selain itu, air terus
mengalir 7 x 24 jam dengan debit stabil
Kebutuhan Kuantitas air kawasan industri mampu 3
air bersih memenuhi kebutuhan air produksi lurik dan
pelayanan air Pamsimas mampu memenuhi
kebutuhan air sehari-hari pengrajin lurik
Jaringan Air Jaringan air Penyediaan Showroom menggunakan air sumur tanah 2
Bersih bersih jaringan air guna kegiatan pembelajaran produksi lurik
pendukung bersih sedangkan, kebutuhan air minum pengelola
pemasaran showroom dan pengunjung terpenuhi oleh
Pamsimas. Tidak ditemukan hidran dan
kran umum
Ketersediaa Kuantita air kawasan industri > standar 3
n air bersih debit air industri kecil dan pelayanan air
Pamsimas mampu memenuhi kebutuhan
air sehari-hari pengrajin lurik
Kebutuhan Kuantitas air kawasan industri mampu 3
air bersih mencukupi air untuk kegiatan pemasaran
dan pelayanan air Pamsimas mampu
memenuhi kebutuhan air untuk showroom
dan pengunjung
Jaringan Penyediaan 75 responden memperoleh sambungan daya 1,9
listrik daya listrik listrik 450 VA, 11 responden 220 VA, 2
pendukung responden 900 VA. Maka dapat
produksi pembobotan sebagai berikut
Jaringan 75 x 2 = 150
Listrik
11 x 1 = 11
2x3 =6
Kemudian total skor dibagi jumlah seluruh
responden
Bab 4 Studi Kasus II: Analisis Ketersediaan Infrastruktur Kawasan Industri Lurik ATBM 57

Sub
Variabel Indikator Kondisi Eksisting Skor
Variabel
Kelengkapa Desa Tlingsing tersedia tiang listrik yang 2
n jaringan meliputi tiang distribusi primer dan tiang
listrik distribusi sekunder. Untuk tiang distribusi
primer memiliki jarak 75 meter dan tiang
distribusi sekunder setiap 30 meter dan
dilengkapi dengan penerangan
Kebutuhan Ketersediaan listrik kawasan lebih besar dari 3
listrik kebutuhan listrik produksi lurik dan
kebutuhan listrik pengrajin lurik
Jaringan Penyediaan Seluruh showroom di kawasan industri lurik 3
listrik daya listrik memperoleh sambungan listrik dengan daya
pendukung 900 VA
pemasaran Kelengkapa Desa Tlingsing tersedia tiang listrik yang 2
n jaringan meliputi tiang distribusi primer dan tiang
listrik distribusi sekunder. Untuk tiang distribusi
primer memiliki jarak 75 meter dan tiang
distribusi sekunder setiap 30 meter dan
dilengkapi dengan penerangan
Kebutuhan Ketersediaan listrik kawasan lebih besar 3
listrik dibandingkan kebutuhan listrik showroom
dan pengunjung
Jaringan Jaringan Sebanyak 78 responden langsung 1,1
pembuanga pengolah membuang limbah hasil produksi ke sungai
n air limbah dan 10 responden mengolah limbah terlebih
pendukung dahulu kemudian dibuang ke sungai.
Jaringan produksi Sehingga dapat dilakukan perhitungan
Pembuang berikut
an Air 78 x 1 = 78
10 x 2 = 20.
Skor rata 98 dibagi jumlah seluruh
responden
Sub
Variabel Indikator Kondisi Eksisting Skor
Variabel
Jaringan Jaringan Berdasarkan hasil perhitungan dengan 1
pembuanga drainase persamaan manning, volume sungai dan
n air saluran drainase tidak mampu menampung
pendukung debit air hujan. Berdasarkan pengisian
Jaringan produksi kuesioner seluruh responden menyatakan
Pembuang Desa Tlingsing sering mengalami banjir. Hal
an Air tersebut diperkuat dengan peta rawan
bencana banjir di mana Desa Tlingsing
merupakan daerah rawan bencana banjir
Jaringan air Volume saluran air kotor yang sekaligus 3
58 Desa Wisata Berwawasan Ekobudaya: Kawasan Wisata Industri Lurik

Sub
Variabel Indikator Kondisi Eksisting Skor
Variabel
kotor saluran drainase mampu menampung air
limbah domestic pengrajin lurik
Jaringan Jaringan Seluruh showroom lurik tidak mengolah 1
pembuanga pengolah limbah dan langsung dibuang ke sungai
n air limbah
pendukung Jaringan Berdasarkan hasil perhitungan dengan 1
pemasaran drainase persamaan manning, volume sungai dan
saluran drainase tidak mampu menampung
debit air hujan. Berdasarkan pengisian
kuesioner seluruh responden menyatakan
Desa Tlingsing sering mengalami banjir. Hal
tersebut diperkuat dengan peta rawan
bencana banjir di mana Desa Tlingsing
merupakan daerah rawan bencana banjir
Jaringan air Volume jaringan air kotor yang sekaligus 3
kotor jaringan drainase mampu memiliki volume
yang lebih besar dibandingkan air limbah
domestik dari pengunjung dan showroom
Jaringan Jaringan Penyediaan Sebanyak 88 responden menyatakan bahwa 2
Telekomun telekomuni jaringan tidak tersedia jaringan telepon kabel namun,
ikasi kasi telekomuni kawasan terjangkau pelayanan telepon
pendukung kasi seluler
produksi Kebutuhan Sebanyak 88 responden pengrajin lurik 2
sambungan terlayani oleh jaringan telepon seluler yang
telekomuni mampu melayani akses internet, telepon
kasi dan sms
Jaringan Penyediaan Showroom lurik dan pengunjung hanya 2
telekomuni jaringan terjangkau oleh layanan telepon seluler
kasi telekomuni
pendukung kasi
pemasaran Kebutuhan Seluruh showroom dan pengunjung 2
sambungan terlayani oleh jaringan telepon seluler
telekomuni dengan akses internet, telepon dan sms
kasi

Berdasarkan pembobotan indikator di atas dapat dilakukan skoring


ketersediaan infrastruktur guna memenuhi kebutuhan kawasan industri
lurik ATBM saat ini. Hasil pembobotan indikator pada setiap
infrastruktur sebelumnya dapat disusun tabel hasil skoring setiap sub
variabel sebagai berikut:
Bab 4 Studi Kasus II: Analisis Ketersediaan Infrastruktur Kawasan Industri Lurik ATBM 59

Tabel 4.2: Ketersediaan Infrastruktur Kawasan Industri Lurik (Peneliti,


2018)
Variabel Sub Variabel Skor Sub Skor Keterangan
Variabel Variabel
Jaringan jalan Jaringan jalan pendukung 2 2 Memenuhi
produksi lurik
Jaringan jalan pendukung 2
pemasaran lurik
Jaringan air Jaringan air bersih pendukung 2,6 2,6 Sangat
bersih produksi lurik memenuhi
Jaringan air bersih pendukung 2,6
pemasaran lurik
Jaringan listrik Jaringan listrik pendukung 2,3 2,45 Sangat
produksi lurik memenuhi
Jaringan listrik pendukung 2,6
pemasaran lurik
Jaringan Jaringan pembuang air pendukung 1,7 1,65 Tidak
pembuangan air produksi lurik Memenuhi
Jaringan pembuang air pendukung 1,6
pemasaran lurik
Jaringan Jaringan telekomunikasi 2 2 Memenuhi
Telekomunikasi pendukung produksi lurik
Jaringan telekomunikasi 2
pendukung pemsaran lurik

Berdasarkan, hasil analisis diketahui bahwa seluruh infrastruktur di


Desa Tlingsing memenuhi standar infrastruktur kawasan industri
kecuali jaringan pembungan air. Menurut Dirdjojuwono (2004) kawasan
industri sendiri seharusnya tersedia prasarana sesuai dengan ketentuan
yang berlaku agar mampu menunjang atau memenuhi kebutuhan
kegiatan di kawasan industri. Dari hal tersebut diketahui bahwa
infrastruktur di Desa Tlingsing dapat memenuhi kebutuhan industri
lurik karena sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Ketika
infrastruktur dapat memenuhi kebutuhan seluruh kegiatan industri
lurik maka, seluruh kegiatan industri yang ada di kawasan tersebut
dapat berjalan dengan baik tanpa hambatan baik kegiatan produksi
maupun kegiatan pemasaran lurik. Kunjungan wisata merupakan
bagian dari kegiatan pemasaran lurik Desa Tlingsing. Pada kegiatan
wisata ini infrastruktur berperan dalam memberi kemudahan dan
kenyamanan dalam akses menuju Desa Tlingsing, memberi kemudahan
60 Desa Wisata Berwawasan Ekobudaya: Kawasan Wisata Industri Lurik

informasi mengenai wisata Desa Tlingsing, mencukupi kebutuhan air


bersih bagi para pengunjung serta mengembangkan wisata Desa
Tlingsing dengan melakukan pemasaran melalui media online sehingga
Desa Tlingsing makin dikenal. Dari uraian tersebut, ketersediaan
infrastruktur membantu keberlangsungan sistem sosial dan sistem
ekonomi di Desa Tlingsing. Sistem sosial meliputi interaksi antar
masyarakat atau pengrajin dalam melakukan proses produksi dan
pemasaran lurik serta interaksi antara pengrajin lurik, pengelola
showroom dengan pengunjung atau wisatawan di Desa Tlingsing.
Sedangkan sistem ekonomi meliputi kegiatan produksi dan kegiatan
pemasaran lurik yang meliputi promosi, distribusi dan jual beli. Menurut
Grigg (2000) dalam Kodoatie (2003) Infrastruktur berperan sebagai
struktur dasar yang dibangun guna mendukung berfungsinya sistem
sosial dan sistem ekonomi. Ditinjau dari kondisi serta teori tersebut
dapat diketahui bahwa ketersediaan infrastruktur Desa Tlingsing sesuai
dengan teori tersebut karena infrastruktur di Desa Tlingsing mampu
mendukung berfungsinya sistem sosial yang meliputi interaksi antar
individu dan sistem ekonomi yang meliputi kegiatan produksi dan
pemasaran lurik.
Daftar Pustaka

Abdulhaji, S. & Yusuf, I. S. H., 2016. Pengaruh Atraksi, Aksesibilitas, dan


Fasilitas Terhadap Citra Objek Wisata Danau Tolire Besar di Kota
Ternate. Jurnal Penelitian Humano, Volume 7, p. 139.
Abdurachmat, I. & E. M., 1997. Geografi Ekonomi. Bandung: Jurusan
Pendidikan Geografi FPIPS IKIP Bandung.
Adhisakti, L.T, 2000, Strategi Pengembangan Desa wisata di Indonesia,
Wakatobi, 23 agustus 2013
Afandi, A. 2013. Sistem Informasi Pariwisata Kabupaten Sukabumi
Berbasis Web. Skripsi. STIMIK Akakom. Yogyakarta. 136hlm.
Agung, A. A. G., 2015. Pengembangan Model Wisata Edukasi-Ekonomi
Berbasis Industri Kreatif Berwawasan Kearifan Lokal Untuk
Meningkatkan Ekonomi Masyarakat. Jurnal Ilmu Sosial dan
Humaniora, Volume 4.
Antara, M. & Arida, I. N. S., 2015. Panduan Pengelolaan Desa Wisata
Berbasis Potensi Lokal. Bali: Universitas Udayana.
Bagus, Gusti Ngurah, 1991, Hubungan Pariwisata dengan Budaya di
Indonesia, Prospek, dan Masalahnya, Kumpulan Makalah Kongres
Kebudayaan, Depdikbud
Baiquni, M. 2007. Strategi Penghidupan di Masa Krisis, Belajar dari Desa.
<ogyakarta: Ideas Media.
Binarwan, R., 2007. Pengembangan Fasilitas Wisata di Taman Kawah
Gunung Tangkuban Perahu, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Jurnal
Kepariwisataan Indonesia.
Butcher, J., 2007. Ecoutourism NGO's and Development: A Critical
Analysis. New York: Routledge.
62 Desa Wisata Berwawasan Ekobudaya: Kawasan Wisata Industri Lurik

Chafid, F., 2000. Pengusahaan Ekowisata. Yogyakarta: Fakultas


Kehutanan Univ Gadjah Mada.
Chuang, S.-T., 2010. "Rural Tourism: Perspective from Social Exchange
Theory". Social Behavior and Personality Journal , p. 1313.
Cooper, C. John Flectcher, David Gilbert and Stephen Wanhill, 1993.
Tourism : Principle and Practice. London: Pitman Pulishing.
Data Industri Kecil dan Sentra Tahun 2008 Kabupaten Klaten. 2008.
Klaten : Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Penanaman
Modal Kabupaten Klaten
Dewi, M. H. U., Fandeli, C. & Baiqunni, M., 2013. Pengembangan Desa
Wisata Berbasis Partisipasi Masyarakat Lokal di Desa Wisata
Jatiluwih, Tabanan, Bali. Kawistara, Volume 3, p. 131.
Diana, P., Suwena, I. K. & Wijaya, N. M. S., 2017. Peran dan Pengembangan
Industri Kreatif Dalam Mendukung Pariwisata di Desa Mas dan Desa
Peliatan, Ubud. Jurnal Analisis Pariwisata, Volume 17.
Dirdjojuwono. 2004. Kawasan Industri Indonesia. Bogor: Pustaka Wira
Usaha.
Dowling, Ross, 1996, Ecotourism in Thailand, Annals of Tourism
Research, 23-2, p 488-490, Pergamon
Epler Wood, M., 1999. The Ecotourism Society'-an international NGO
commited to sustainable development. 24 ed. s.l.:Tourism
Recreation Research.
Fagence, M. (1997). An Uncertain Future for Tourism in Microstates: The
Case of Nauru. Journal of Tourism Management, 18(6), 385-392.
Hill, J. & Gale, T., 2009. Ecotourim and Environmental Sustainability:
Principles and Practice. Burlington: Ashgate.
I Gusti Bagus Arjana, M., 2015. Geografi Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Jakarta: Rajawali Pers.
Inskeep, Edward. 1991. Tourism Plannning “An Integrated and
Sustainable Development Approach”. New York: Van Nostrand
Reinhold
Daftar Pustaka 63

Kodoatie, R. J., 2003. Manajemen dan Rekayasa Infrastruktur. Yogyakarta:


Pustaka Pelajar.
Korten, David C., “People-Contered Development: Reflections on
Development Theory and Method”, Manila: mimeograph, 1983
Kotler, P. & Gary, A., 2008. Prinsip-Prinsip Pemasaran. 12 penyunt. Jakarta:
Erlangga.
L. Roberts and D. Hall (eds). Rural Tourism and Recreation: Principles to
Practice. CABI Publishing, Oxon and New York, 2001. ISBN: 0-85199-
540-3, 231 pp., Price: £27.50 (paperback).
Lane, B., 1994. What is rural tourism?, Journal of Sustainable Tourism, 2:
7-21
Marpaung, 2002. Pengantar Pariwisata. Bandung: Alfabeta.
McIntosh, R. W., C, R. G. & J, R. R., 1995. Tourism: Principles, Practices,
Philosophies. New York: John Wiley & Sons.
Muljadi, A. J. dan Warman Andri. 2014.Kepariwisataan dan Perjalanan.
Jakarta: Rajawali Pers
Nasikum, N. (1997). Perencanaan Pariwisata Berkelanjutan. Puspar UGM.
Yogyakarta.
Natori, Nasahiko. 2001. A Guide Book. for Tourism Based Community.
Development. Osaka Japan: Publiser APTE. Palguna,
Nuryanti, Windu. 1993. Concept, Perspective and Challenges, makalah
bagian dari Laporan Konferensi Internasional mengenai
PariwisataBudaya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal.2-
3.
Page, S. J. and Getz, D. (Eds.), 1997, The business of rural tourism:
international perspectives, International Thomson Business Press,
London, Boston
Pearce, D. 1995. Tourism a Community Approach. 2nd: Harlow Longman
Pendit, S, N., 1994. Ilmu Pariwisata Sebuah Pengantar Perdana. Jakarta:
PT Pradnya Pramita.
64 Desa Wisata Berwawasan Ekobudaya: Kawasan Wisata Industri Lurik

Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No. 26 Tahun 2010, 2010.


Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri
Pariwisata Melalui Desa Wisata. s.l.:s.n.
Priasukmana, S. & Mulyadin, R. M., 2001. Pembangunan Desa Wisata :
pelaksanaan Undang-Undang Otonomi Daerah. Info Sosial
Ekonomi, Volume 2, pp. 37-44.
Putra, A. M., 2006. Konsep Desa Wisata. Jurnal Manajemen Pariwisata.
Rochman, Noor, 2016, Model Pengembangan Desa Wisata Berbasis
Pemberdayaan Masyarakat, Jurnal Equilibria Pendidikan Vol. 1, No.
1, 2016,
Sastrayuda, G. S., 2010. Strategi Pengembangan dan Pengelolaan Resort
and Leisure. s.l.:s.n.
Smith, D. M., 1981. Industrial Location. New York: John Wiley & Son.
Spillane, J., 2000. Ekonomi Pariwisata: Sejarah dan Prospeknya.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Suwantoro, G., 2004. Dasar-Dasar Pariwisata. Yogyakarta: ANDI.
The International Ecotourism Society Ecotourism Outlook 2013 Prepared
for the 2013 Outlook Marketing Forum,
https://scholarworks.umass.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=2033&
context=ttra
Triyanto, 2012. Peningkatan Daya Saing Tenun "Lurik" Tradisional
Melalui Pemanfaatan Hak Kekayaan Intelektual.
Wahab, Salah. 1976. Pemasaran Pariwisata. Terjemahan oleh Frans
Gromang. 1992. Jakarta: Pradnya Paramita.
Waluyo, Harry 1993. Dukungan Budaya TerhadapPerkembangan
Ekonomi, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Yoeti, D. O. A., 1990. Pengantar Ilmu Pariwisata. Bandung: Penerbit
Angkasa Bandung.

Anda mungkin juga menyukai