Anda di halaman 1dari 103

LAPORAN AKHIR

PEMBANGUNAN PARIWISATA NASIONAL


BERBASIS PERDESAAN:
“PERDESAAN SEBAGAI DAYA TARIK KE-INDONESIAAN”

ASISTEN DEPUTI LITBANG KEBIJAKAN KEPARIWISATAAN


DEPUTI BIDANG PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN KEPARIWISATAAN
KEMENTERIAN PARIWISATA
2016
Kata Pengantar

Arah kebijakan nasional pada era pemerintahan Jokowi saat ini diarahkan mulai membangun
Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka NKRI.
Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014tentang Desa, bahwa
pembangunan akan lebih difokuskan di daerah perdesaan, sehingga akan terjadi perubahan
sosial kemasyarakatan dari urbanisasi ke ruralisasi (orang-orang kota senang dan akan pergi
ke desa untuk berekreasi). Tanpa menghilangkan nilai keaslian dan keunikan yang dimiliki
kawasan perdesaan, maka penelitian ini diharapkan dapat mengeksplor peluang dan
permasalahan yang dimiliki suatu kawasan perdesaan yang dapat dijadikan daya tarik wisata
yang berbasis pada nilai ke-Indonesiaan.

Dengan demikian penelitian ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi bagi penyusun
kebijakan mengenai pengembangan wisata perdesaan di Indonesia.

Jakarta, November 2016


Asdep Litbang Kebijakan Kepariwisataan

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


Daftar Isi

TOPIK Hal
Kata Pengantar i
Daftar Isi ii
BAB 1 PENDAHULUAN 1 - 11
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Perumusan Masalah 7
1.3. Tujuan Penelitian 9
1.4. Ruang Lingkup/Batasan Masalah Penelitian 9
1.5. Keluaran/Output Penelitian 10
1.6. Strategi Pencapaian Keluaran 11
1.6.1. Kebutuhan Keahlian 11
1.6.2. Kebutuhan Peralatan Lapangan 11

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 12


2.1. Pariwisata 12
2.2. Pariwisata Berkelanjutan 16
2.3. Desa 18
2.4. Pariwisata Perdesaan 22
2.5. Penelitian Terdahulu 25

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 28


3.1. Rerangka Konseptual 28
3.2. Pendekatan 30
3.3. Metode Pengumpulan Data 32
3.4. Metode Analisis 34
Analisis SWOT 34
3.5. Sintesis 35
ii
BAB 4 PEMBAHASAN 37
4.1. Deskripsi 3 (Tiga) Desa di Flores 37

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


4.1.1. Kampung Tololela 37
4.1.2. Desa Waturaka 49
4.1.3. Desa Umauya, Doka 61
4.2. Pemetaan Stakeholder di 3 Kabupaten (Peran dan Relasi) 70
4.2.1. Kampung Tololela 71
4.2.2. Desa Waturaka 72
4.2.3. Desa Umauya, Doka 76
4.3. Analisis Faktor Internal dan Eksternal 80
1. Identifikasi Potensi Lingkungan Internal 80
2. Identifikasi Potensi Lingkungan Eksternal 81

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN 83


DAFTAR PUSTAKA 87
LAMPIRAN 90
I. Materi Alat Kumpul Data (Butir interview/Kuesioner) 90
II. Pokok-pokok Materi Observasi 91
III. Bahan-bahan Wawancara 94
IV. Kebutuhan Data dan Informasi 97
V. TOWS Analysis 98

iii

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Perkembangan kepariwisataan ke depan akan semakin kompleks karena pengaruh
berbagai isu strategis antara lain permintaan wisatawan terhadap produk wisata yang lebih
berkualitas dan mengacu pada lingkungan dan kesinambungan; munculnya kompetitor-
kompetitor dari luar; serta kebutuhan mengoptimalkan potensi kepariwisataan di daerah
melalui pendekatan paradigma keberlanjutan dalam sebuah rangkaian kegiatan pariwisata.
Pesatnya perkembangan tersebut menunjukkan berbagai kelebihan dan kekurangannya, dan
indikator paling kentara adalah peningkatan mobilitas manusia secara masal dengan
keinginan mengetahui sesuatu pada tempat, lingkungan dan suasana yang baru, guna
memperoleh pengalaman dan pengetahuan baru.
Undang-undang Pariwisata Nomor 10 Tahun 2009 menegaskan bahwa kepariwisataan
merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang dilakukan secara terpadu dan
berkelanjutan dengan tetap memberi perlindungan terhadap nilai-nilai agama, budaya dan
lingkunganserta memperkokoh jati diri bangsa dan mempererat persahabatan antar
bangsa.Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar dunia yang memiliki keanekaragaman
sumber daya warisan budaya dan tinggalannya serta keanekaragaman hayati tersebar di
seluruh wilayah Indonesia, selayaknya menjadi aset strategis apabila diposisikan juga sebagai
keanekaragaman potensi daya tarik pariwisata. Bahkan sumber daya warisan budaya beserta
lingkungan alam sekitarnya yang tersebar di sebagian besar daerah terpencil (remote areas)
dan daerah perdesaan (rural area) termasuk di daerah pesisir (coastal area), bila dilindungi,
dikembangkan dan dimanfaatkan secara berkelanjutan dipastikan mampu memberikan nilai
tambah.
Data Kementerian Dalam Negeri dalam buku Induk Kode dan Data Wilayah
Administrasi Pemerintahan PerProvinsi, Kabupaten/Kota dan Kecamatan menyebutkan
bahwa terdapat 74.093 desa yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia1. Pembangunan
perdesaan merupakan salah satu titik berat pembangunan Indonesia, karena sebagian besar
-1-

1
Sumber: Ditjen Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri per semester I Bulan Juni Tahun 2014, dikutip
dari: http://www.kemendagri.go.id/media/documents/2015/02/25/l/a/lampiran_i.pdf, pada tanggal 28 Januari
2016

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


masyarakat Indonesia tinggal di perdesaan. Namun demikian hingga saat ini masih terjadi
kesenjangan antar wilayah, baik antar wilayah perdesaan maupun antar desa dan kota.Di
Indonesia sendiri, berdasarkan data BPS pada Semester II tahun 2015 jumlah penduduk
miskin adalah 28,51 juta penduduk, dimana tersebar di perdesaan sebesar 17,89 juta orang
dan di perkotaan sebesar 10,62 juta orang2. Dengan demikian dari 250 juta penduduk
Indonesia terdapat 7,156 persen penduduk miskin yang tinggal di perdesaaan. Selain itu,
berdasarkan data dari Indeks Pembangunan Desa 2014 yang disusun Kementerian
Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Badan Pusat Statistik, jumlah desa
tertinggal mencapai 20.167 desa. Jumlah tersebut mencapai 27,22% dari total desa di
Indonesia yang berjumlah 74.093 desa. Masih menurut data dalam Indeks Pembangunan
Desa 2014 itu pula, mayoritas desa tertinggal tersebut berada di Papua dengan jumlahnya
mencapai 6.139 desa3.
Daerah tertinggal adalah daerah yang masyarakat serta wilayahnya relatif kurang
berkembang dibandingkan dengan daerah lain dalam skala nasional. Sementara itu, di
Indonesia pada tahun 2015 terdapat 39.086 desa tertinggal dan 17.268 desa sangat tertinggal.
Wilayah lain dengan jumlah desa tertinggal terbanyak adalah Maluku, yakni 42,54 persen,
Sumatera (37,36 persen), Kalimantan (26,67 persen), Sulawesi (14,73 persen), Nusa
Tenggara dan Bali (11,78 persen), dan Jawa (3,59 persen). Jumlah keseluruhan desa sangat
tertinggal sebanyak 17.268 dari 419 kabupaten/kota di Indonesia. Saat ini terdapat 39.086
desa tertinggal dan 17.268 desa sangat tertinggal. Di dalamnya termasuk 1.138 desa di daerah
perbatasan, pulau-pulau terdepan, terpencil dan terluar. Kementerian Desa, Pembangunan
Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi menetapkan target pengentasan daerah tertinggal dan
sangat tertinggal pada akhir Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2015-2019 dengan
memusatkan perhatian pembangunan pada desa-desa, terutama di 1.138 desa di kawasan
perbatasan4.

2
BPS, 2015, Jumlah Penduduk Miskin Menurut Provinsi Tahun 2013 – 2015, dikutip dari
http://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/1119 pada tanggal 28 Januari 2016
3
Mesti Sinaga. 20 Oktober 2015. Sebanyak 27,22% desa di Indonesia masih tertinggal.
Dikutip pada tanggal 22 Februari 2016, dari: http://nasional.kontan.co.id/news/sebanyak-2722-desa-di-
indonesia-masih-tertinggal,
4
Laksono Hari Wiwoho. 10 Februari 2015. Terbanyak di Indonesia, 4.000-an Desa di Papua Berstatus Sangat -2-
Tertinggal. Dikutip dari:
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/02/10/185512226/Terbanyak.di.Indonesia.4.000-
an.Desa.di.Papua.Berstatus.Sangat.Tertinggal

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


Meskipun di Pulau Jawa jumlah desa tertinggal memiliki prosentase yang cukup kecil
dibandingkan dengan wilayah lainnya, namun tetap saja wacana pengembangan
perekonomian masih terkotak-kotak pada pengembangan perekonomian di perkotaan dan
perdesaan. Di Jawa Barat, hingga tahun 2015 terdapat 813 desa miskin tinggi (DMT), salah
satunya yaitu Kota Tasikmalaya. Dari 69 desa/kelurahan yang ada di Kota Tasikmalaya, 32
diantaranya merupakan desa/kelurahan miskin tinggi.Dan untuk daerah kabupaten,
Kabupaten Bandung Barat memiliki desa miskin kategori tinggi terbanyak. Dari 165
desa/kelurahan sebanyak 42 diantaranya merupakan desa/kelurahan miskin tinggi.5
Sejak lama, desa telah memiliki sistem dan mekanisme pemerintahan serta norma
sosial masing-masing. Inilah yang menjadi cikal bakal sebuah negara bernama Indonesia ini.
Namun, sampai saat ini pembangunan desa masih dianggap sebelah mata oleh pemerintah.
Kebijakan pemerintah terkait pembangunan desa terutama pembangunan sumber daya
manusianya sangat tidak terpikirkan, termasuk didalamnya kebijakan pembangunan
infrastruktur desa. Pembangunan infrastruktur desa sangat terlambat jika dibandingkan
dengan China/Tiongkok yang sudah memiliki 60 ribu kilometer jalan tol dan setiap tahun
dapat membangun 4.000 – 5.000 kilometer. Sementara Indonesia secara nasional, baru
memiliki 840 kilometer jalan tol. Dan seperti diketahui, secara kasat mata di Indonesia,
keberadaan jalan tol lebih didominasi di perkotaan, dan angka tersebut jelas menunjukkan
kondisi infrastruktur perdesaan di Indonesia yang jauh tertinggal dengan perkotaan.
Istilah desa disesuaikan dengan asal-usul, adat istiadat, dan nilai-nilai budaya
masyarakat di setiap daerah otonom di Indonesia. Setelah UUD 1945 diamandemen, istilah
desa tidak lagi disebut secara eksplisit. Jika dirunut dari asal kata, desa yaitu “dhesi” (bahasa
Sansekerta) yang mempunyai arti Tanah Kelahiran. Bahkan penggunaan istilah desa di
Indonesia cukup beragam menurut bahasa daerah masing-masing. Sebagai contoh di Aceh
menggunakan istilah Gampong, di Padang menggunakan istilah Nagari, dan di Sulawesi
Utara namanya Wanus. Desa memiliki hak otonomi asli berdasarkan hukum adat, dapat
menentukan susunan pemerintahan, mengatur dan mengurus rumah tangga, serta memiliki
kekayaan dan aset. oleh karena itu, eksistensi desa perlu ditegaskan untuk mewujudkan
kesejahteraan masyarakat desa. Namun, deregulasi dan penataan desa pasca beberapa kali
-3-

5
Wisnu Wage. 2015. Desa Termiskin Se-Jawa Barat Ada Di Kabupaten Bandung Barat. Dikutip dari:
http://bandung.bisnis.com/read/20150619/82444/535958/desa-termiskin-se-jawa-barat-ada-di-kabupaten-
bandung-barat

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


amandemen terhadap konstitusi negara serta peraturan perundangannya menimbulkan
perspektif baru tentang pengaturan desa di Indonesia.
Dengan di undangkannya Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa, desa
adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, dan/atau hak tradisional yang diakui dan
dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurut
Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, dalam Pasal 18 menyebutkan bahwa
kewenangan desa meliputi kewenangan di bidang penyelenggaraan pemerintahan desa,
pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan
masyarakat desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat
desa.Dengan diberlakukannya UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang memberikan
arahan bagi Pemerintah Desa untuk menerapkan pembangunan desa berbasis kawasan,
sehingga diharapkan setiap kawasan perdesaan di Indonesia dapat memberikan potensi untuk
dikembangkan menjadi kawasan perdesaan yang mempunyai konsep dan mengembangkan
potensi lokal.
Arah kebijakan nasional pembangunan desa dan kawasan perdesaan dalam RPJMN
2015 – 2019 dan Nawacita diarahkan membangun Indonesia dari pinggiran dengan
memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka NKRI. Sasaran pembangunan desa
dalam RPJMN 2015 – 2019 yaitu penurunan desa tertinggal hingga tahun 2019 mencapai
5000 desa dan peningkatan desa mandiri hingga tahun 2019 mencapai 2000 desa6.Sejak
diberlakukannya Undang-Undang Otonomi Daerah, hingga kini Undang-Undang tentang
Desa (UU Nomor 6 Tahun 2014), bahwa pembangunan akan lebih difokuskan di daerah
perdesaan, sehingga akan terjadi perubahan sosial kemasyarakatan dari urbanisasi ke
ruralisasi (orang-orang kota senang dan akan pergi ke desa untuk berekreasi).
Namun, berdasarkan studi Tim dari Departemen Sains Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, IPB, menyusun suatu metode
pengukuran pembangunan desa dalam bentuk indeks kemandirian desa (IKD). Dalam hal ini
terdapat tiga dimensi yang diukur, yaitu kemampuan sendiri, tanggung jawab bersama, dan
keberlanjutan. Berdasarkan hasil pengukuran IKD nasional tahun 2014, terdapat
kecenderungan positif dalam kemandirian desa-desa di Indonesia, tetapi indeksnya masih -4-
6
Arah Kebijakan Nasional Pembangunan Desa dan Kawasan Perdesaan dalam RPJMN 2015 – 2019
disampaikan oleh Deputi Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah, Kementerian PPN/Bappenas dalam
acara sosialisasi pelaksanaan UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa pada 28 April 2015. Diunduh dari:
https://www.kemenkopmk.go.id/sites/default/files/field/file_pendukung/

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


tergolong rendah, hanya0,54 (rentang IKD 0,00-1,00). Ini mengindikasikan
hasil pembangunan masih kurang melibatkan partisipasi masyarakat, kurang memberikan
manfaat, serta kurang menghasilkan dampak yang diinginkan, khususnya di wilayah Papua
dan Aceh. Pemetaan IKD diharapkan bisa digunakan untuk merumuskan
model pembangunan yang sesuai dengan tipologi atau kondisi lokal desa7.
Apakah pariwisata dapat menjadi model pembangunan yang sesuai dengan tipologi
desa di Indonesia guna mewujudkan kemandirian desa? Jika ditilik dalam Pasal 12 UU
Nomor 23 Tahun 2014 (tentang Pemerintahan Daerah) menyebutkan bahwa pariwisata
menjadi salah satu urusan Pemerintahan Pilihan, di luar dari urusan pemerintahan wajib yang
berkaitan dengan pelayanan dasar (seperti pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum/tata ruang,
perumahan rakyat, dan lain sebagainya). Sehingga, perlunya pembangunan desa yang
dikemas dengan pariwisata agar dapat mendorongbanyaknya orang yang pergi ke desa untuk
berekreasi. Dengan demikian, diharapkan dapatmeningkatkan aktivitas perekonomian desa
agar tercipta pemerataan pembangunan.
Kemiskinan yang terjadi di perdesaan bukan disebabkan karena kurangnya
pendapatan, namun hal utama yang menjadi penyebab adalah keterbatasan akses bagi
masyarakat perdesaan. Dengan dikembangkannya pariwisata di desa tersebut setidaknya
dapat membuka akses baik akses dengan kawasan sekitar, akses informasi, akses transportasi,
akses pendanaan, dan lain sebagainya. Sehingga, pada akhirnya dapat memperluas
kesempatan kerja dan usaha, serta meningkatkan nilai ekonomis sumber daya perdesaan.
Masyarakat desa umumnya memiliki kemandirian memanfaatkan lingkungannya guna
memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara menjaga nilai kekerabatan, sosial dan budaya
untuk mengembangkan potensi diri dan keluarganya serta membangun sarana dan prasarana
yang dibutuhkan. Namun demikian, tanpa adanya perhatian serta stimulan dari berbagai
pihak khususnya pemerintah, proses pembangunan di perdesaan akan menjadi lamban dan
dapat memperlebar kesenjangan dengan daerah perkotaan.
Motivasi orang untuk ke desa bisa disebabkan karena nostalgia atau “escapism” dari
globalisasi. Sebagai contoh Pemerintah Kanada, memanfaatkan daya tarik nostalgia dengan
memperkenalkan kampanye “Come Back Home” yang ditargetkan untuk orang-orang yang
tinggal di kota atau metropolitan. Terdapat empat tipe nostalgia, yakni merindukan surga -5-
(longing for paradise), kehidupan sederhana (the simple life), masa lalu (past times), dan
7
Ivanovich Agusta & Fujiartanto. (2015). Indeks Kemandirian Desa: Metode, Hasil, dan Alokasi Program
Pembangunan. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


kembali ke masa kecil (the return to childhood). Demikian pula Schouten (1996)
mengemukakan tipe nostalgia sama dengan melarikan diri dari stresnya kehidupan sehari-
hari. Hal inilah yang disebut sebagai “escapism from globalization”8.
Adanya motivasi dan alasan yang melatarbelakangi seseorang mengunjungi perdesaan
setidaknya menjadi market tersendiri bagi pengembangan wisata berbasis perdesaan. Di
Indonesia, sebagian besar keanekaragaman atraksi wisata baik alam dan budaya yang ada
terletak dan tersebar di daerah perdesaan. Sebagai contoh Desa Wae Rebo di Flores yang
terletak di barat daya Kota Ruteng, Kabupaten Manggarai, NTT dari sisi pariwisata sangat
dikelola dengan baik, karena desa ini didampingi dan diberikan bimbingan tentang pariwisata
oleh Indonesia Ecotourism Network. Tujuannya memajukan desa-desa yang tadinya kurang
diperhatikan menjadi sebuah desa wisata yang banyak orang ingin kunjungi. Selain
pemandangan yang indah, keramahan penduduk lokal, dan perpaduan keunikan kearifan
budaya lokal dengan keunikan rumah adat Mbaru Niang (arsitektur tradisional yang sangat
unik) menjadi suatu daya tarik tersendiri bagi Desa Wae Rebo. Sehingga, Desa Wae Rebo
merupakan sebuah tempat yang bersejarah dan menjadi situs warisan budaya dunia oleh
UNESCO pada tahun 2012.
Berdasarkan uraian di atas, ditinjau dari sudut kepariwisataan, desa merupakan asset
yang tak ternilai harganya. Desa yang penduduknya masih berupaya mempertahankan adat
istiadat, akar budaya, dan tradisi kearifan lokal dengan lansekap lingkungan budaya,
seharusnya menjadi potensi strategis untuk dikembangkan sebagai daya tarik wisata yang
indah, unik, otentik/asli, langka, alami, dan utuh yang mencerminkan karakter ke-
Indonesiaan.
Menurut Ahimsa-Putra (2004: 38), lingkungan baik perkotaan maupun perdesaan
secara garis besar dapat dipilah menjadi:
1. Lingkungan fisik, berupa benda-benda yang ada di sekitar kita, makhluk hidup,
dan segala unsur-unsur alam;
2. Lingkungan sosial, meliputi perilaku-perilaku manusia atau pelbagai aktivitas
sosial yang berupa interaksi antarindividu serta berbagai aktivitas individu; dan

-6-
8
E. Wanda George, Heather Mair, Donald G.Reid. 2009. Rural Tourism Development: Localism and Cultural
Change. Canada: Channel View Publications.hal.7

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


3. Lingkungan budaya, mencakup pandangan-pandangan, pengetahuan, norma-
norma serta aturan-aturan yang berlaku dalam suatu masyarakat.
Desa yang penduduknya masih berupaya mempertahankan adat istiadat, akar budaya,
dan tradisi kearifan lokal dengan lansekap lingkungan budaya, seharusnya menjadi potensi
strategis untuk dikembangkan sebagai daya tarik wisata yang indah, unik, otentik/asli, langka,
alami, dan utuh yang mencerminkan karakter ke-Indonesiaan.

1.2. Perumusan Masalah


Fakta bahwa ada atau tidak adanya program pemerintah terhadap pembangunan di
desa, memperlihatkan bahwa kehidupan dan proses pembangunan di desa tetap berjalan. Oleh
karena itu dalam mendukung pemerintahan akan datang seperti yang diamanatkan dalam
“Nawacita”, keanekaragaman daya tarik aset bangsa yang sebagian besar berada di kawasan
terpencil dan perdesaan menjadi penting untuk dijadikan dasar menentukan kebijakan
pembangunan pariwisata ke depan.
Namun fakta lapangan menunjukkan permasalahan utama bahwa pariwisata belum
ditempatkan sebagai alat atau pendekatan pembangunan, yang dilakukan secara sistematis,
terencana, terpadu, berkelanjutan, dan bertanggung jawab dengan tetap memberikan
perlindungan terhadap nilai-nilai agama, budaya yang hidup dalam masyarakat, kelestarian
dan mutu lingkungan hidup, serta kepentingan nasional, sesuai dengan tuntutan Undang-
Undang Kepariwisataan Nomor 10 tahun 2009. Permasalahan dimaksud terbukti bahwa
pembangunan pariwisata di lapangan saat ini:
1. Masih diposisikan sebatas mesin ekonomi untuk meningkatkan pendapatan
masyarakat, daerah dan negara, melalui exploitasi massif sumberdaya alam dan
khususnya budaya sebagai ruh dari keunikan dan keaslian atraksi yang
mencerminkan ke-Indonesiaan.
2. Belum sepenuhnya memperhatikan manfaat nilai tambah terkait aspek
lingkungan, sosial budaya, pendidikan dan estetika di berbagai daerah tujuan
wisata
3. Pembangunan pariwisata belum merata di kawasan Timur Indonesiadan terutama
di kawasan perdesaan, serta tidak berbasis pada akar budaya masyarakat -7-
setempat.

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


4. Meningkatnya degradasi lingkungan yang disebabkan oleh orientasi
pembangunan yang bertumpu hanya pada manfaat ekonomi sumber daya alam
dan budaya di kawasan perdesaan (rural area).
5. Sering terjadi konflik kewenangan dan kepentingan lintas sektor dan lintas
disiplin ilmu dalam penyelenggaraan perlindungan, pengembangan dan
pemanfaatan sumber daya di kawasan tujuan wisata yang tidak terpadu dan
berkelanjutan.
6. Belum adanya konsep jelas terkait arah pembangunan pariwisata Indonesia ke
depan yang mampu mencerminkan keunikan dan keaslian daya tarik pariwisata
Indonesia.

Dalam membangun konsep wisata perdesaan juga perlu memperhatikan konteks


pariwisata berkelanjutan yang mengandung makna semangat konservatif, bukan eksploitatif
(mencegah komersialisasi alam dan budaya). Pariwisata berkelanjutan diarahkan agar
berkembang dengan adil bersama masyarakat, dimana mereka diperankan sebagai pelaku
utama dalam kegiatan kepariwisataan. Dengan memperhatikan pembangunan pariwisata yang
berbasis masyarakat, lingkungan alam dan sosial-budaya, maka masyarakat harus menjadi
bagian integral dari kegiatan pariwisata dan tidak menjadikan masyarakat hanya sebagai
objek pariwisata atau hanya sebagai penonton. Perlunya menjadikan inti kegiatan pariwisata
perdesaan adalah masyarakat itu sendiri.
Sehubungan dengan urgensinya pembangunan pariwisata Indonesia, maka kegiatan
ini akan berupaya untuk merumuskan secara mendalam pokok-pokok permasalahan dan
peluang pengembangan pariwisata perdesaan sebagai satu konsep strategi pembangunan
pariwisata Indonesia ke depan yang Socially accepted, Culturally appropriate,
Undiscriminative, people centered (pro poor, job, growth), dan Environmentally sound.
Penelitian ini akan berupaya memperoleh gambaran bagaimana kawasan perdesaan dapat
menjadi daya tarik wisata yang unik ke Indonesiaan melalui beberapa pertanyaan penelitian
terfokus mencakup:
1. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi pelestarian asset budaya dan penentuan
prioritas pelestarian asset budaya dalam pengembangan kawasan perdesaan -8-
sebagai daya tarik wisata ke Indonesiaan?

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


2. Bagaimana (alternatif) strategi mengembangkan kawasan perdesaan sebagai daya
tarik ke Indonesiaan dapat menjadi landasan dalam mendukung percepatan
pembangunan pariwisata nasional?

1.3. Tujuan Penelitian


Adapun tujuan dari kajian ilmiah ini adalah
1. Menggali gambaran/potret (social mapping) tentang potensi desa, menentukan
faktor-faktor yang mempengaruhi pelestarian asset budaya, dan penentuan
prioritas pelestarian asset budaya dalam wisata perdesaan sebagai sumber daya
tarik lingkungan fisik, sosial dan lingkungan budaya di kawasan perdesaan untuk
mampu dikembangkan menjadi tujuan wisata yang unik dan otentik ke-
Indonesiaan, sekaligus mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat
perdesaan serta memperkuat identitas dan jati diri bangsa.
2. Menghasilkan (alternatif) strategi guna mewujudkan pariwisata perdesaan sebagai
alat yang dapat mendukung sekaligus menjadi acuan pemerintah dalam
memecahkan masalah dan pengambilan keputusan guna mendukung perumusan
kebijakan percepatan pembangunan nasional yang terpadu dan berkelanjutan di
bidang pariwisata.

1.4. Ruang Lingkup/Batasan Masalah Penelitian


Wisata perdesaan bisa diartikan sebagai suatu bentuk wisata yang berada di daerah
perdesaan, tapi kondisi seperti ini bisa menjadi sedikit masalah ketika membuat batasan
misalnya antara akomodasi yang bersifat ke-kotaan yang terletak di wilayah perdesaan
(misalnya hotel, golf, spa resort, villa, dll) dan pengalaman otentik dari desa (OECD, 1994).
Sementara UNWTO mendefinisikan wisata perdesaan dengan istilah “Rural tourism”.
Rural tourism is a term used when rural culture is a key component of the
product” (UNWTO, 2004, 9).
Konsep ini mengasumsikan bahwa adanya hubungan personal wisatawan dengan
pengalaman spesifik dari desa. Selain itu, kesempatan untuk berpartisipasi secara aktif
dalam kegiatan tertentu seperti pertanian dan kegiatan lainnya, tradisi dan gaya hidup -9-
warga setempat juga menjadi daya tarik wisata perdesaan. Pendekatan ini dapat

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


memberikan pengalaman yang sama sekali baru yang hampir mustahil diperoleh pada
jenis pariwisata massal.
Mengingat luasnya ruang lingkup wisata perdesaan, maka penelitian ini dibatasi
dengan analisis gambaran permasalahan dan peluang keanekaragaman sumber daya tarik
lingkungan budaya di kawasan perdesaan terkait lingkungan budaya fisik/materi, pola
hidup dan tradisi yang dimungkinkan dikembangkan menjadi daya tarik wisata yang unik
dan otentik karakteristik ke-Indonesiaan.
Studi ini akan di assess pula kesiapan destinasi wisata perdesaan berdasarkan potensi
yang dimiliki desa, sehingga dengan menggabungkan potensi dan tingkat kesiapan destinasi
diharapkan dapat menghasilkan strategi yang tepat untuk mengembangkan wisata perdesaan
berdasarkan karakteristik daerah. Yang menjadi lokus dalam studi ini adalah perdesaan yang
ada di wilayah Kalimantan Timur, Flores, Yogyakarta, dan Jawa Barat. Sehingga dapat
dilihat bagaimana kondisi wisata perdesaan di daerah timur Indonesia dengan Pulau Jawa.

1.5. Keluaran/Output Penelitian


Diharapkan dari hasil riset ini dapat memberikan manfaat kepada unit kerja teknis
Asdep Pemasaran Pariwisata Nusantara dan Asdep Pengembangan Destinasi Pariwisata,
pemerintah daerah, pemangku kepentingan lainnya di bidang kepariwisataan seperti pihak
masyarakat dan industri daerah, serta stakeholder terkait, antara lain:
1. Sebagai sumber mewujudkan pemahaman dan kesamaan pandang terkait dengan
pembangunan kepariwisataan di kawasan perdesaan secara terpadu dan berkelanjutan
2. Sebagai acuan pemerintah ke depan (RPJMN 2015 – 2019) dalam memecahkan
masalah dan pengambilan keputusan yang diperlukan dalam merumuskan kebijakan
percepatan pembangunan nasional di bidang pariwisata berbasis kawasan perdesaan.
3. Sebagai alternatif strategi kebijakan bagi pemerintah ke depan dalam meraih sasaran
kunjungan wisatawan melalui penguatan citra kawasan perdesaan sebagai destinasi
wisata yang unik dan otentik ke-Indonesiaan, sekaligus mampu dikembangkan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan serta memperkuat identitas dan jati
diri bangsa.
- 10 -

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


1.6. Strategi Pencapaian Keluaran
1.6.1. Kebutuhan Keahlian
Pariwisata sebagai suatu ilmu yang bersifat lintas studi serta luasnya ruang lingkup
wisata perdesaan memerlukan suatu kebutuhan keahlian dalam mengeksplor dan
menganalisis kebutuhan pengembangan wisata perdesaan. Dalam studi ini, beberapa keahlian
yang diperlukan sebagai berikut:
a) Komunitas/Masyarakat:
a. Komunitas/masyarakat lokal
b. Native and cultural group
c. Kepala adat/kepala suku/kepala desa
b) Sektor publik:
a. Pemerintah pusat (Kementerian Pariwisata pada Asdep Destinasi Pariwisata,
Asdep Litbangjak Kepariwisataan)
b. Pemerintah Daerah terkait Pariwisata, Perencanaan Daerah, Tata Ruang
Wilayah, Konservasi alam/tinggalan budaya
c. Sektor publik lainnya: Pembangunan Desa Tertinggal, Sosiologi, Sejarah,
Kebudayaan/Antropologi, Transportasi, Museum, kebijakan pariwisata, dll
c) Sektor Swasta (Private sector):
a. Tour Operator
b. Travel Agent/Biro Perjalanan Wisata
c. Akomodasi, Restoran, dan pengelola atraksi wisata
d. Pramuwisata, interpreter, dll
d) Lembaga Non Pemerintah (NGOs) yang terkait dengan pariwisata, konservasi,
dan pembangunan perdesaan.

- 11 -

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pariwisata
Pariwisata pada hakekatnya adalah fenomena perjalanan manusia secara perorangan
atau kelompok dengan berbagai macam tujuan asalkan bukan untuk mencari nafkah atau
menetap. Manusia mengadakan perjalanan secara bebas untuk memenuhi kebutuhan
hakikinya untuk mengetahui, belajar, menemukenali dan mengalami secara langsung segala
sesuatu yang tidak ada di tempat tinggalnya atau mencari suatu keunikan atau kekhasan
budaya atau alam yang unik yang khas dan yang berbeda-beda itu haruslah diakui, dihargai,
dan dilestarikan sebagai obyek dan daya tarik wisata. Pariwisata pada dasarnya sangat
mengandalkan sumber daya alam dan budaya. Artinya bahwa sumber daya yang
dimanfaatkan sebagai daya tarik atau atraksi pariwisata adalah sumber daya alam yang antara
lain dapat berupa pantai, laut, hutan, bentang alam dan pegunungan, serta sumber daya
budaya yang berupa norma, nilai-nilai kehidupan sosial, tinggalan budaya, museum dan
sebagainya.
Sebagai suatu fenomena yang sangat kompleks, pariwisata perlu dilihat dalam
persfektif kesisteman. Menurut Cooper dan kawan-kawan (1996), pariwisata sebagai suatu
sistem, mencakup berbagai faktor di dalam dan di luar sistem yang saling mempengaruhi
beserta komponen di dalamnya yaitu daerah asal wisatawan (generating area), rute antara
(transit area) dan daerah tujuan wisata (tourist destination area)9. Sedangkan Gunn
(1998)10menjelaskan bahwa, hubungan ketiga sub sistem tersebut di atas, pada dasarnya
subsistem yang ada dalam sistem kepariwisataan tidak terlepas dari adanya keterkaitan
dengan pelaku (pemerintah, swasta/industri, masyarakat), komponen yaitu pasar, perjalanan,
destinasi, dan pemasaran, penyelenggaraan (perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan) serta
dari kelembagaan (organisasi dan kebijakan). Dalam kerangka kesisteman tersebut,
pendekatan supply dan demand sangat mempengaruhi. Namun demikian tidak dalam

9
Chris Cooper, John Fletcher, David Gilbert and Stephen Wanhill, 1996. Tourism Principles and Practice. - 12 -
Longman Group Limited, Malaysia,
10
Gunn, Clare, 2nd ed, 1998. Tourism Planning, Taylor and Francis, New York, USA.

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


pengertian yang sempit hanya pada suatu kegiatan usaha dan jasa, akan tetapi lebih jauh lagi
memberikan pengertian terhadap fungsi dan peran pelaku, dampak lingkungan, peningkatan
pengetahuan dan kesejahtraan masyarakat, serta kesetaraan dalam proses
penyelenggaraannya.
Pariwisata sebagai salah satu sektor pembangunan tidak dapat dilepaskan kaitannya
dengan pembangunan berkelanjutan. Dalam konteks itu, pariwisata yang berkelanjutan harus
dapat mengakomodasikan konsep pembangunan berkelanjutan sesuai dengan tujuan
pembangunan nasional. Beberapa konsep, terminology atau pengertian sebagai landasan
pemahaman terhadap kepariwisataan berdasarkan cara atau pendekatan memposisikan
pariwisata:
1. Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta
layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah
Daerah11
2. ‘’Tourism is the temporary moment of people to destinations outside their normal place
of work and residence, the activities undertaken during their stay in those destinations
and the facilities created to cater to their needs’’12 (Gunn, 1998 : 5)
3. Goeldner dan Ritchie melihat tourism sebagai industri yang harus dilihat dari 4
perspektif 13yaitu, dari segi:
a. wisatawan yang mencari pengalaman dan kepuasan psikis dan fisik;
b. usaha/pengusaha yang menyediakan barang dan jasa untuk konsumsi wisatawan;
c. pemerintah yang biasanya melihat sebagai unsur/faktor kekayaan dalam
wilayahnya;
d. masyarakat tuan rumah yang melihatnya sebagai faktor budaya dan lapangan
kerja.
4. Pariwisata sebagai sistem yang dinamik dengan komponen-komponen sistemnya adalah
pasar/wisatawan/permintaan dan tujuan wisata (destinasi) yang dapat dipertemukan oleh

11
UU Kepariwisataan No. 10 Tahun 2009 pasal1 ayat 3
12
Gunn, Clare, 2nd ed, 1998. Tourism Planning, Taylor and Francis, New York, USA. - 13 -
13
Goeldner, C. R. dan J. R. B. Ritchie. 2009. Tourism: Principles, practices, philosophies. Eleventh edition. John
Wiley & Sons, Inc., Hoboken. New Jersey. Published simultaneously in Canada.

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


adanya perjalanan dari tempat asal ke tujuan dan kegiatan pemasaran yang sifatnya
menginformasikan tujuan wisata kepada calon wisatawan14(Christie dan Morrison, 1985).
5. Menurut Cooper dan kawan-kawan, sifat alamiah dari pariwisata adalah mencakup
pergerakan manusia dari tempat tinggalnya ke tempat lain dan kembali lagi ke tempat
tinggalnya, perjalanan bersifat sementara dan dilakukan untuk berbagai tujuan kecuali
menetap dan bekerja15.
6. Wisata, adalah kegiatan perjalanan oleh seseorang atau sekelompok orang secara sukarela
dan bersifat sementara mengunjungi tempat tertentu untuk menikmati atraksi dan daya
tarik wisata16 (UU No. 10 tahun 2009)
7. Wisatawan, terdapat beberapa pengertian yang secara umum17 mencakup
a. Wisatawan adalah orang yang melakukan kegiatan wisata
b. Wisatawan adalah orang yang bepergian ke luar dari tempat tinggalnya menuju
suatu tempat dengan tujuan tertentu dan bersifat sementara kecuali untuk menetap
dan mencari nafkah (WTO, 1984)
Dari konsep-konsep tersebut dapat digambarkan bahwa seseorang dalam kehidupan
sehari-harinya selalu dipengaruhi antara lain oleh lingkungan rutinitasnya secara terus
menerus yang akan berdampak kepada turunnya keseimbangan tubuh, pikiran dan jiwanya.
Kemudian motivasi untuk mendapatkan kembali keseimbangan tersebut diupayakan dengan
melakukan suatu perjalanan yang bersifat sementara mengunjungi suatu tempat (destinasi) di
luar aktivitas rutinitasnya, dengan berbagai tujuan kecuali menetap dan mencari nafkah.
Destinasi pariwisata merupakan salah satu penentu utama kepuasan wisatawan dalam
melakukan perjalanannya. Seringkali wisatawan kecewa karena produk yang ditawarkan oleh
destinasi yang mencakup antara lain layanan, jasa dan daya tarik tidak sesuai (mismatch)
dengan kebutuhan dan ekspektasi wisatawan yang diharapkan.
Pariwisata dalam penyelenggaraannya tergantug pada pemanfaatan dua sumberdaya
utama yaitu sumber daya alam dan sumber daya budaya.
1. Sumber daya alam (SDA), adalah sesuatu yang ada di sekitar alam lingkungan hidup
kita yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan dan kebutuhan hidup

14
Frochot.2005.A benefit segmentation of tourist in rural areas : a schottish perspectives, tourism management
vol.26, Grasindo. - 14 -
15
Chris Cooper, John Fletcher, David Gilbert and Stephen Wanhill. Tourism Principles and Practice. Longman
Group Limited, Malaysia, 1996
16
UU Kepariwisataan No. 10 Tahun 2009 pasal1 ayat 1
17
WTO, International Tourism, UNWTO World Tourism Barometer, V0l. 4, Jan 2006

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


manusia agar hidup lebih sejahtera. Pada dasarnya sumber daya alam (SDA) dapat
dipilah berdasarkan sifatnya menjadi dua jenis.
a. Pertama SDA yang tidak dapat diperbaharui (unrenewable) dan SDA yang
dapat diperbaharui (renewable). SDA yang dapat diperbaharui yaitu sumber
daya alam yang dapat digunakan berulang-ulang kali dan dapat dilestarikan,
seperti air, keanekaragaman hayati mencakup tumbuhan, hewan, hasil hutan,
dan lain-lain.
b. Sedangkan SDA yang tidak dapat diperbaharui (non renewable) ialah sumber
daya alam yang tidak dapat di daur ulang atau bersifat hanya dapat digunakan
sekali saja atau tidak dapat dilestarikan serta dapat punah. SDA jenis ini
jumlahnya sangat terbatas dan umumnya terdapat di dalam bumi sehingga
disebut dengan barang tambang atau bahan galian.
Di dalam pelaksanaannya terutama pada pulau-pulau kecil, banyak pihak dalam
memanfaatkan sumberdayanya tidak bersungguh-sungguh menerapkan konsep
keberlanjutan. Dalam banyak kasus, eksploitasi dan eksplorasi sumberdaya yang ada
malah menunjukkan bentuk-bentuk aktivitas perusakan dan tidak berorientasi jangka
panjang.
2. Sumber daya budaya (SDB). Kebudayaan merupakan hasil karya manusia dalam
mempertahankan dan meningkatkan taraf hidup dan sebagai proses adaptasi dengan
lingkungan. Sebagai sebuah sistem, kebudayaan perlu dilihat dari perwujudan
kehidupan manusia yang terkait dengan ide, perilaku dan material18.
a. Budaya manusia pada dasarnya memiliki ciri-ciri bawaan yang dapat
dikelompokkan secara terstruktur, meliputi komponen living culture (sosial,
ekonomi, politik, bahasa, religi, estetika dan mata pencaharian), wisdom and
technology (mata pencaharian, kedamaian, kesenangan, bahasa, pendidikan,
pengetahuan,dan teknologi), serta culture heritage (artifak, monumen,
manuskrip, tradisi, dan seni). SDB pada dasarnya mengacu pada beberapa ciri
khas suatu masyarakat dan ini mengarah pada bentuk-bentuk:
b. Pola hidup (peradaban/civilization). SDB bentuk ini akan menyangkut
lingkungan alam, sosial dan binaan, yang terintegrasi secara menyeluruh - 15 -

18
Rudito, Bambang (1999) Masyarakat dan Kebudayaan Suku Bangsa Mentawai, Padang: Lab.
Antrop.”Mentawai” Unand

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


sebagai satuan pola hidup beserta isinya. Gambaran ini akan diperoleh pada
pola hidup masyarakat pesisir, pedalaman (kubu, mentawai, sakai, dani,
memberamo), atau bentuk masyarakat yang spesifik (badui, naga, samin,
tengger, toraja).
c. Benda-benda budaya (artifact). Pada SDB bentuk ini, adalah peninggalan
sejarah (bangunan kuno, kompleks bangunan kuno, kota tua, candi yang sudah
tidak dimanfaatkan untuk ibadah, kereta api, museum dsb.) yang ada pada
masyarakat. Termasuk juga obyek yang masih menjadi tertentu pada kompleks
keyakinan (makam yang dikeramatkan, candi, gereja, mesjid, wihara, klenteng
dsb.), serta barang kerajinan pada art shop (pasar seni, pusat kerajinan,
miniatur kompleks bangunan budaya, pasar tradisional, industri tradisional,
dan sebagainya)
d. Kesukubangsaan dan tradisi (custom and ethnic group). Pada bentuk SDB ini,
adalah kebudayaan masyarakat yang pada dasarnya sudah menjadi bagian dari
pranata seni. Seperti Upacara berkaitan dengan keagamaan tertentu (patrol,
rangda, penguburan, melabuh, khitanan, tabut, perkawinan, peresean, dsb).
Pementasan (tari-tarian, pantun, rebana, didong, rebana ketimpring, sambrah,
sandiwara dsb.). Dan adanya atraksi permainan anak

2.2 Pariwisata Berkelanjutan


Kecenderungan new global of tourism tersebut telah menjadi bahan pertimbangan
negara-negara anggota WTO (World Tourism Organization) dalam merumuskan ketentuan-
ketentuan umum ‘pariwisata
berkelanjutan’ (sustainable tourism).
Pengelolaan pariwisata sangat
mengandalkan sumberdaya alam dan
budaya yang terpelihara dengan baik
agar dapat menciptakan nilai tambah
yang bermanfaat bagi masyarakat.
Salah satu kritik atas konsep pariwisata - 16 -
konvensional telah diajukan Cherem
(1988) dengan mengajukan konsep

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


“pariwisata yang tepat”. Menurutnya “pariwisata yang tepat adalah pariwisata yang secara
aktif membantu dalam menjaga keberlangsungan suatu daerah kebudayaan, sejarah dan alam.
Dalam beberapa tahun terakhir, pengaruh globalisasi telah membawa perubahan besar
termasuk juga melanda dunia kepariwisataan. Beberapa faktor dominan dapat dicatat antara
lain pariwisata sebagai sektor penting dalam kontribusi perolehan devisa negara maupun
sebagai stimulan perluasan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat. Secara
bertahap sektor pariwisata telah mereposisikan status dan fungsinya ke dalam mainstream
kepariwisataan dunia yang tengah mengalami perubahan mendasar baik dalam kebijakan,
perencanaan maupun pelaksanaannya dari mass tourism (yang mengandalkan kegiatan
massal, terstandar, dan terorganisir) menuju new global of tourism. Paradigma pariwisata
sekarang ini lebih mementingkan fleksibilitas, segmentasi, dan integrasi diagonal sebagai
bentuk inovasi dari kecenderungan special interest dan ecotourism yang menghendaki
pengendalian motif ekonomi ke arah konservasi sumberdaya alam dan pelestarian social
budaya.
Selain itu pendekatan new tourism telah melengkapinya melalui deklarasi Piagam
Pariwisata berkelanjutan yang berbunyi: “Pengembangan pariwisata didasarkan pada kriteria
keberlanjutan yang secara ekologis harus dikelola dalam jangka panjang, dengan tetap
memperhatikan aspek ekonomi, etika dan sosial masyarakat”19. Definisi dari Asia-Pasific
Ministers’ Conference on Tourism and Environment di Maldives kemudian dipertajam oleh
keputusan bersama anggota WTO yang menetapkan bahwa pariwisata berkelanjutan:
"meets the needs of the present tourists and host regions while protecting and
enhancing the opportunity for the future. It is envisaged as leading to management of
all resources in such a way that economic, social and aesthetic needs can be fulfilled,
while maintaining cultural integrity, essential ecological processes, biological
diversity and life support systems" 20
Dengan kelemahan konsep sebelumnya, dirumuskan pendekatan new tourism yaitu
melalui deklarasi Piagam Pariwisata berkelanjutan yang berbunyi: “Pengembangan
pariwisata didasarkan pada kriteria keberlanjutan yang secara ekologis harus dikelola dalam

19
Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 2000; Agenda 21 Se/dora!: Agenda Pariwisata Untuk - 17 -
Pengembangan Kualit as Hidup Secara Berkelanjutan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup Bekerjasama
dengan UNDP
20
WTO, 2002. Contribution of the World Tourism Organization to the, World Summit on Sustainable
Development. Johannesburg

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


jangka panjang, dengan tetap memperhatikan aspek ekonomi, etika dan sosial masyarakat.”21
Pemahaman yang menempatkan pariwisata sebagai alat eksploitasi harus berubah pada
tindakan yang didasarkan pada nilai-nilai keberlanjutan. Pemahaman nilai keberlanjutan
merupakan langkah pertama yang menentukan konsistensi pelaksanaan. Dengan sifatnya
yang multisektoral dan multi disiplin, pariwisata berkelanjutan merupakan wadah yang
memberikan kesempatan besar untuk mendorong usaha-usaha peletarian ke tingkat global.
Hal ini menyebabkan peluang pariwisata menjadi terbuka lebar, sebagai jembatan untuk
menciptakan bisnis, peluang kerja bagi masyarakat dan sekaligus upaya pelestarian sumber
daya alam. Menurut Hartanto, beberapa pemahaman yang perlu diinternalisasikan kepada
semua stakeholder22 antara lain:
1. pariwisata berkelanjutan mengandung semangat konservatif, bukan eksploitatif
(mencegah komersialisasi alam dan budaya);
2. kegiatan pariwisata adalah suatu proses ekonomisasi pengalaman, dimana terkait dengan
pemuasan kebutuhan manusia yang mampu memberi melebihi ekspektasi;
3. pariwisata berkelanjutan diarahkan agar berkembang dengan adil bersama masyarakat,
dimana mereka diperankan sebagai pelaku utama dalam kegiatan kepariwisataan;
4. Pariwisata berkelanjutan tumbuh secara alamiah yang berbasis masyarakat, lingkungan
alam dan sosial-budaya; masyarakat harus menjadi bagian integral dari kegiatan
pariwisata, karena inti kegiatan pariwisata adalah masyarakat itu sendiri;

2.3 Desa
Undang-Undang No. 22 tahun 1948 menjelaskan bahwa desa adalah bentuk daerah
otonom yang terendah sesudah kota. Kemudian melalui Undang-Undang No. 5 tahun 1975
dijelaskan mengenai tipologi desa sebagai permukiman. Tipologi desa menurut Undang-
Undang tersebut dimulai dengan bentuk yang paling sederhana sampai bentuk permukiman
yang paling kompleks. Terkini adalah undang undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa yang
menjelaskan tentang hak asal usul dan hak tradisional Desa mengatur dan mengurus

21
Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 2000; Agenda 21 Se/dora!: Agenda Pariwisata Untuk - 18 -
Pengembangan Kualitas Hidup Secara Berkelanjutan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup Bekerjasama
dengan UNDP
22
Hartanto, Frans Mardi, “Pariwisata Berkelanjutan: Paradigma dan Prakteknya”, Makalah pada Diskusi Panel
Kajian Pariwisata Berkelanjutan, Gedung Sapta Pesona 23-28 Agustus 2003.

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


kepentingan masyarakat setempat dalam mewujudkan Desa yang kuat, maju, mandiri, dan
demokratis sebagai landasan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera.
Dalam Undang undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, disebutkan bawa desa
adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan
prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam
sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Definisi lain tentang perdesaan tercantum dalam Peraturan Menteri Pertanian
no.16/Permentan/OT.140/2/ 2008 tanggal 11 Februari 2008, yang disebut perdesaan yaitu
kawasan yang secara komparatif memiliki keunggulan sumber daya alam dan kearifan lokal,
khususnya pertanian dan keanekaragaman hayati.
Menurut Koentjaraningrat (1977), desa dipilah berdasarkan bentuk komunitasnya
yang besar seperti kota dan negara, serta bentuk komunitas yang kecil seperti desa dan rukun
tetangga. Dalam hal ini definisi yang disampaikan Koentjaraningrat tentang desa adalah
“komunitas kecil yang menetap tetap di suatu tempat”23.
Menurut Cloke (1992 dalam Page& Getz 1997:3), daerah perdesaan secara tradisional
dihubungkan dengan fungsi-fungsi khusus perdesaan-pertanian, daerah yang jarang
penduduknya, pola perkampungan yang secara geografis tidak teratur. Perdesaan
dikonsepkan dalam istilah pinggiran, terpencil dan bergantung pada kegiatan ekonomi
perdesaan24. Frochot (2005: 335) mendefinisikan 'perdesaan' sebagai wilayah yang berada di
luar atau jauh dari wilayah perkotaan yang oleh karenanya mempunyai karakteristik
berbeda25. Karakteristik tersebut seperti hamparan lahan pertanian, daerah penyerapan air,
kanal, hutan, dan termasuk di dalamnya semua kegiatan sosial dan ekonomi yang berada di
luar pengaruh ekonomi langsung dari daerah perkotaan. Beberapa mendefinisikan perdesaan
berdasarkan jumlah populasi penduduknya, tetapi belum ada kesepakatan tentang ambang
populasi yang membedakan wilayah perkotaan dengan perdesaan. Kriteria kepadatan

23
Koentjaraningrat (ed.). Masyarakat Desa di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia. Rahardjo. 1999. Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Sosiologi Pertanian. Yogyakarta:
UGM Press. - 19 -
24
Page dan Getz. 1997. Bisnis Pariwisata Perdesaan, Perspektif Internasional (terjemahan oleh Bagian Proyek
Pengembangan Literatur Pariwisata Jakarta),UK.
25
Frochot.2005.A benefit segmentation of tourist in rural areas : a schottish perspectives, tourism management
vol.26, Grasindo.

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


penduduk juga umum dipakai patokan untuk membedakan daerah perdesaan dengan
perkotaan.
Dari beberapa ahli secara umum dapat disimpulkan bahwa desa adalah kesatuan
hukum pemerintahan sendiri suatu kelompok masyarakat kecil. Masyarakat desa sebagai
sebuah komunitas kecil, yang memiliki ciri-ciri aktivitas ekonomi yang beragam namun lebih
banyak bergerak disektor pertanian, perkebunan, peternakan dan nelayan, memiliki hubungan
yang akrab dan serba informal di antara sesama warganya.
Menurut Egon E Bergel istilah desa dapat diterapkan untuk pengertian desa sebagai
pemukiman para petani terlepas dari ukuran besar-kecilnya, serta pengertian desa sebagai
tempat sebagian penduduk desa terlibat dalam kegiatan perdagangan. Kemudian istilah
kotakecil (town) yang didefinisikan Bergel sebagai suatu pemukiman perkotaan yang
mendominasi lingkungan perdesaan dalam pelbagai segi. Sebuah desa hanya melayani orang-
orang perdesaan. Masyarakat desa memiliki ciri-ciri umumnya sebagai berikut:
1. Mempunyai pergaulan hidup yang saling kenal mengenal antara ribuan jiwa
melalui pertalian perasaan yang samatentang kebiasaan.
2. Cara berusaha (ekonomi) adalah agraris yang paling umum yang sangat
dipengaruhi alam seperti: iklim, keadaan, alam, kekayaan alam, sedangkan
pekerjaan yang bukan agraris adalah bersifat sambilan.
3. Sistem kehidupannya berkelompok yang magis religius dengan ikatan sosial dan
kontrol sosial yang ketat
4. Termasuk kedalam masyarakat homogen dalam hal Gotong-royong mata
pencaharian, agama, adat-istiadat
Berbeda dengan daerah perkotaan sebagai pusat kegiatan perdagangan dan
perindustrian pada umumnya, daerah pedesaan pada umumnya adalah tempat kegiatan mata
pencaharian pertanian, perkebunan, peternakan, nelayan dan industri perdagangan skala kecil.
Masyarakat desa dalam kehidupan sehari-hari masih memegang teguh tradisi, nilai-nilai dan
adat istiadat secara turun temurun. Bukan berarti tradisi dan adat istiadat yang dianut tidak
menunjang usaha pembangunan, sebagian justru dibutuhkan untuk memelihara kelangsungan
hidup dan lingkungan. Tetapi harus diakui sebagian tradisi dan adat istiadat yang dianut
- 20 -

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


26
menghambat dan menghalangi usaha pembangunan itu sendiri (Siagian, 1983). Adapun
keunggulan desa antara lain mencakup:
1. Desa adalah unit administrasi terkecil yang memiliki kewenangan mengatur dan
mengelola potensi sumber dayanya untuk kepentingan masyarakatnya sesuai
dengan tradisi dan hukum adat yang berlaku.
2. Desa sebagian besar merupakan kawasan yang dikelola berdasarkan akar budaya
pertanian, perkebunan, peternakan dan nelayan.
3. Masyarakat desa memiliki hubungan kekerabatan yang erat, tercermin dari
adanya paguyuban/komunitas yang didasari kebersamaan dan gotong royong.
4. Masyarakat desa merupakan garda terakhir yang masih mempertahankan tradisi
dan adat istiadat yang mencerminkan keanekaragaman budaya ke Indonesiaan.
Masyarakat desa yang umumnya masih mempertahankan tradisi dan budayanya
dengan baik, memberikan lagi satu potensi keunikan dan keaslian kehidupan sosial budaya
masyarakat desa yang meliputi:
1. Pola hidup masyarakat desa. Sumber daya budaya bentuk ini menyangkut
lingkungan alam, sosial dan binaan, yang terintegrasi secara menyeluruh sebagai
27
satuan pola hidup masyarakat desa dengan lingkungannya (Frans. 1998).
Gambaran ini akan diperoleh pada pola hidup masyarakat desa di pesisir,
pedalaman dan pegunungan.
2. Benda warisan budaya. Sumber daya budaya bentuk ini, adalah benda yang
masih berfungsi atau benda peninggalan sejarah, baik itu dalam bentuk peralatan,
bangunan maupun benda lainnya.
3. Tradisi. Sumber daya budaya bentuk ini, adalah kebudayaan masyarakat yang
pada dasarnya sudah menjadi bagian dari pranata seni seperti upacara berkaitan
dengan keagamaan tertentu, pementasan ataupun perayaan.
Kawasan perdesaan dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, adalah kawasan
yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan
susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa

26
Frochot.2005.A benefit segmentation of tourist in rural areas : a schottish perspectives, tourism management - 21 -
vol.26, Grasindo.
27
Frochot.2005.A benefit segmentation of tourist in rural areas : a schottish perspectives, tourism management
vol.26, Grasindo.

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Sedangkan, salah satu pengaturan
desa bertujuan melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat desa, serta
memperkuat masyarakat desa sebagai subjek pembangunan (Pasal 4). Sehingga, Desa yang
berkedudukan di wilayah Kabupaten/Kota (Pasal 5), dibedakan menjadi Desa dan Desa
Adat, yang disesuaikan dengan penyebutan yang berlaku di daerah setempat (Pasal 6).

2.4 Pariwisata Perdesaan


Dalam Peraturan Menteri Pertanian no. 16/Permentan/OT.140/2/ 2008 tgl 11 Februari
2008, yang disebut perdesaan yaitu kawasan yang secara komparatif memiliki keunggulan
sumber daya alam dan kearifan lokal, khususnya pertanian dan keanekaragaman hayati.
Inskeep dalam “Tourism Planning: An Integrated & Sustainable Development Approach”
memberikan definisi bahwa desa wisata atau village tourism adalah suatu fasilitas wisata
yang memungkinkan pengunjung tinggal di dalam atau di dekat desa, umumnya merupakan
desa tradisional. Kegiatan wisata yang dilakukan adalah belajar tentang kehidupan perdesaan,
tata cara lokal, dan berpartisipasi dalam aktivitas penduduk 28(Inskeep, 1991). Frochot (2005:
335) mendefinisikan 'perdesaan' sebagai wilayah yang berada di luar atau jauh dari wilayah
perkotaan dan memiliki karakteristik berbeda seperti budaya kehidupan keseharian bertani,
hutan, serta kehidupan kekerabatan yang sangat erat. Menurut Cloke (1992 dalam Page&
Getz 1997:3), daerah perdesaan secara tradisional dihubungkan dengan fungsi-fungsi khusus
perdesaan-pertanian, daerah yang jarang penduduknya, pola perkampungan yang secara
geografis tidak teratur. Perdesaan dikonsepkan dalam istilah pinggiran, terpencil dan
bergantung pada kegiatan ekonomi perdesaan.
Beberapa mendefinisikan perdesaan berdasarkan jumlah populasi penduduknya, tetapi
belum ada kesepakatan tentang hitungan populasi yang membedakan wilayah perkotaan
dengan perdesaan. Kriteria kepadatan penduduk juga umum dipakai patokan untuk
membedakan daerah perdesaan dengan perkotaan.
Sebagian besar pariwisata perdesaan berkembang di kawasan perdesaan dengan
mengandalkan kegiatan pertanian perkebunan, perikanan maupun kehutanan sebagai basis
utama aktifitas perekonomian. Keragaman budaya, tradisi, kebiasaan, sistem masyarakat
yang ada menjadikan satu kawasan perdesaan memiliki keunikan yang berbeda dengan - 22 -

28
Inskeep. Edward, 1991.Tourism Planning: An Integrated and Sustainable Development Approach, Van
Nostrand Reinhold, New York, USA..

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


kawasan perdesaan lainnya. Wisata Desa dikembangkan dengan basis keunikan masyarakat,
sehingga memunculkan variasi, diantaranya desa yang menitikberatkan pada keindahan
panorama alam, keunikan flora-fauna, kegiatan pertanian/perikanan, seni budaya dan
keterampilan, dan daya tarik lainnya. Lane dalam bukunya “Pariwisata perdesaan and
Sustainable Rural Development” yang telah diedit oleh Bramwell & Lane (1994) menyatakan
karakteristik pariwisata perdesaan yang baik29, yaitu :
1. Terletak di wilayah perdesaan
2. Lahan yang difungsikan sebagai wilayah perdesaan, yang dibangun di atas lahan
perdesaan yang memiliki fungsi desa sebagaimana seharusnya.
3. Luas lahan desa (biasanya memiliki skala yang kecil, hal ini memudahkan di
dalam menyusun kebijakan pembangunan desa)
4. Memiliki karakter yang tradisional, yang tumbuh secara perlahan dan teroganisir,
serta memiliki kekerabatan yang masih erat.
5. Terdiri dari berbagai macam aktifitas, yang memperlihatkan keanekaragaman
lingkungan perdesaan, ekonomi, lokasi dan sejarah.
Karakteristik pariwisata perdesaan lainnya yang memperkuat pernyataan di atas,
bahwa pariwisata perdesaan dibangun di atas kekhususan alam perdesaan berupa ruang
terbuka dan tradisi khas perdesaan tersebut, juga menyatakan bahwa pariwisata perdesaan
dikembangkan dalam ‘skala perdesaan’ yang mengacu pada usaha wisata skala kecil serta
merepresentasikan kompleksitas dunia perdesaan (lingkungan, ekonomi, sejarah, dan lokasi).
Menurut beberapa ahli bahwa motivasi utama dari wisatawan yang ingin menikmati
pariwisata perdesaan adalah kontak atau berinteraksi dengan cara hidup masyarakat dan alam
perdesaan. Mereka pun mempunyai pendapat yang sama bahwa kegiatan yang dilakukan
berlokasi di kawasan perdesaan. Secara konseptual, lingkup pariwisata perdesaan dapat
dijabarkan sebagai berikut:
. . .tourism in the countryside that embraces the rural environment as pivotal to the
product offered. Its appeal lies with ordinary and everyday happenings of local
community, a feel for local identity, closeness to nature, and contact with the
heritage and resident of the rural destination.Small, grass-roots enterprises that
- 23 -

29
Bramwell, W, Henry, I, Jackson, G, Prat, A G, Richards, G, and J van der Straiten (1996) Sustainable
Tourism Management: Principles and Practice Tilburg University Press, Tilburg.

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


are locally owned and managed are intrinsic to the rural produc.(Clarke et al.
2001: 196).
Dari pernyataan di atas, jelas terlihat karakteristik yang khas dari kegiatan pariwisata
perdesaan meliputi:
1. Lingkungan perdesaan sebagai produk utama yang ditawarkan
2. Kebiasaan dan keseharian dari masyarakat perdesaan
3. Identitas lokal (keunikan)
4. Berkaitan erat dengan alam yang berupa lansekap budaya
5. Berhubungan dan berinteraksi dengan warisan kebudayaan dan penduduk asli
6. Pengelolaan dan kepemilikan oleh penduduk lokal terhadap sumber daya yang ada
di perdesaan
Desa wisata berbeda dengan wisata desa (Ahimsa-Putra, 2000)30. Desa wisata adalah
kawasan pemukiman yang ada di daerah pedesaan, baik secara sengaja ataupun tidak, telah
menjadi sebuah kawasan yang menjadi tujuan kunjungan wisatawan karena daya tarik/objek
wisata yang ada, dan di desa ini wisatawan dapat menginap. Sedangkan wisata desa yang
hanya kunjungan yang berlangsung di daerah pedesaan, namun tidak menginap di daerah
tujuan tersebut. Wisatawan tetap tinggal di hotel, di kota sebab masih minimnya fasilitas
untuk wisatawan di pedesaan. Persoalan “menginap di desa” inilah yang menjadikan adanya
perbedaan antara wisata desa dengan desa wisata.
Lebih lanjut dijelaskan bila “menginap di desa” menjadi penting sebab kenyataannya
length of stay atau lama tinggal adalah ukuran yang selalu dijadikan untuk mengukur kualitas
suatu kawasan atau objek wisata (Ahimsa-Putra, 2000). Sebagai suatu bentuk struktur dari
kegiatan pariwisata, desa wisata erat kaitannya dengan kegiatan tinggal,menetap di dalam
atau dekat dengan kehidupan masyarakat pedesaan, belajar mengenai desa dan budaya lokal
serta cara hidup masyarakat serta seringkali turut berpartisipasi dalam aktivitas pedesaan.
pada beberapa wilayah pedesaan yang telah menjadi bagian dari kegiatan wisata desa perlu
diupayakan peningkatan beberapa aspek, yakni aspek fisik, sosial dan budaya serta
kelembagaannya agar dapat menjadi desa-desa wisata (Ahimsa-Putra, 2000).

- 24 -

30
Ahimsa-Putra, Heddy Shri; Ari Sujito, Wiwied Trisnadi., 2000., Pengembangan Model Pariwisata Pedesaan
Sebagai Alternatif Pembangunan Berkelanjutan. Puspar-UGM Yogyakarta. Tidak dipublikasikandalam
https://jttcugm.wordpress.com/2009/01/23/identifikasi-potensi-kawasan-pedesaan-sebagai-kawasan-wisata/

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


2.5 Penelitian Terdahulu
No Nama Peneliti/Tahun/ Judul Tujuan Metodologi Hasil Penelitian
Publikasi/Sumber
1. Chafid Fandell, Destha T Potensi dan Peluang Tujuan dari penelitian ini Metode survei dan wawancara Tunggularum, Kabupaten Wonokerto Turi
Raharjana. Kawasan Perdesaan Sebagai adalah untuk menemukan mendalam, penelitian dasar Sleman memiliki sumber daya alam yang dapat
Tahun 2002. Daya Tarik Wisata ( Studi potensi dan peluang untuk untuk mengetahui distribusi dikembangkan sebagai desa wisata. Kegiatan seni
Jurnal Nasional Pariwisata Kasus di Pedusunan mengembangkan desa wisata di objek potensial dan persepsi - budaya pertanian dan lokal di daerah ini
2002, II (2) Tunggularum, Tunggularum dan menyerap masyarakat setempat memberikan kontribusi nilai tambah bagi daerah
Wonokerto,Turi Sleman) persepsi masyarakat lokal ini sebagai wisata alternatif .
dengan kegiatan pariwisata.
2. Puslitbang Kepariwisataan, Studi Pengembangan Model Model pariwisata perdesaan Kualitatif: wawancara dan Menghasilkan model wisata perdesaan,
Kementerian Kebudayaan Pariwisata Perdesaan yang berkarakter ke- observasi berdasarkan:
dan Pariwisata & PT. LAPI Indonesiaan yang pro-growth, Lokasi studi: 1) Karakteristik produk pariwisata melalui
ITB. pro-poor, dan pro-job, yang 1. Desa Wisata Sendangsari, interaksi masyarakat dan wisatawan(interaksi
Tahun 2008 merupakan pengembangan dari Jawa Tengah penuh, semi penuh, tanpa interaksi),
model pariwisata perdesaan 2. Desa Wisata Soran, keunggulan dan kelemahan
yang sudah ada Provinsi Jawa Tengah 2) Karakteristik proses pengembangan/inisiator
3. Desa Wisata Penglipuran, pengembangan (pemerintah atau swasta)
Provinsi Bali 3) Karakteristik pengelola utama (pemerintah
4. Desa Wisata Senaru, atau masyarakat)
Provinsi NTB 4) Indikator pembangunan berkelanjutan, dilihat
dari: kekuatan daya tarik wisata, proses
5. Desa Wisata Sade,
perencanaan, keterlibatan masyarakat,
Provinsi NTB
tingkat kepuasan masyarakat, tingkat
6. Desa Wisata Bena, kepuasan wisatawan, tingkat perkembangan
Provinsi NTT
pariwisata
7. “Strawberry Petik 5) Strategi umum pelibatan masyarakat
Sendiri”, Desa Alam
Endah, Provinsi Jabar
3. Dodi Widiyanto, Joni Purwo Pengembangan Pariwisata Mengetahui kondisi dari desa- Menggunakan data sekunder, 1) Melakukan analisis spesialisasi lokasi
Handoyo, Alia Fajarwati. Perdesaan (Suatu Usulan desa wisata yang digunakan hasil survei lapangan, dan berdasarkan atraksi yang ditawarkan dan
Program Studi Pembangunan Strategi Bagi Desa Wisata sebagai daerah penelitian FGD berdasarkan analisis fasilitas pendukung wisata
Wilayah Fakultas Geografi Ketingan) berdasarkan identifikasi SWOT 2) Analisis SWOT digunakan untuk
UGM. potensi, serta memberikan memperjelas kekuatan dan kelemahan yang
Tahun 2008. arahan strategi berdasarkan telah diidentifikasikan, kemudian diberikan
Jurnal Bumi Lestari, Vol.8 potensi yang ada di desa-desa bobot, rating, dan skor. Strategi yang
No.2, Agustus 2008, hal. 205 wisata tersebut. sebaiknya dikembangkan secara umum
– 210 untuk Desa Wisata Ketingan, yaitu
meningkatkan pemasaran, kualitas SDM, 25
kualitas pelayanan, memelihara mutu dari
apa yang menarik dan ditawarkan oleh
obyek wisata, perlunya dukungan

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


masyarakat sekitar tempat tinggal, serta
optimalisasi peranan organisasi dan
dukungan modal usaha.
4. Ana Isabel Polo, Dolores Collective Strategies for Menyediakan pemahaman In-depth study of a case, Studi in-depth tentang jaringan menunjukkan
Frias. Journal of Tourism Rural Tourism: The mengenai efek dari jaringan analisis deskriptif bahwa gabungan/konsolidasi destinasi wisata
Consumption and Practice Experience of Networks in (networks) sebagai strategi perdesaan merupakan tindakan yang
Volume 2 No. 1, 2010 Spain untuk meningkatkan menggunakan jaringan memiliki kontribusi untuk
pembangunan di sektor meningkatkan destinasi wisata perdesaan dalam 3
pariwisata perdesaan sektor: 1) meningkatkan performa wirausaha, 2)
memiliki kontribusi pada ekonomi dan sosial
wisata perdesaan, dan 3) membantu menciptakan
image wisata perdesaan. Temuan penelitian ini
mempunyai implikasi baik pada perilaku
wirausahawan dan agen publik yang bekerja di
sektor pariwisata.
5. Roselyn Okech, Morteza Rural Tourism As A Mengidentifikasi ketersediaan Studi kasus di Luanda Tantangan yang dihadapi oleh masyarakat lokal
Haghiri, Babu P. George. Sustainable Development atraksi wisata yang ada di melalui studi eksploratori dan yang harus diperhatika adalah: kurangnya modal,
Tahun 2012 Alternative: An Analysis kawasan perdesaan Luanda, mereview strategi lemahnya legislasi pemerintah, rendahnya
Jurnal, Cultur, ano 06 – no With Special Reference to Kenya Barat dan diarahkan perencanaan pembangunan keahlian, kurangnya keterhubungan antara
03 – Ago/2012 Luanda, Kenya bagaimana masyarakat lokal terkait pariwisata. Data wirausaha wisata skala UMKM, kurangnya
www.ues.br/revistas/cultu dapat berpartisipasi secara primer menggunakan kesadaran peluang bisnis dan dukungan institusi
raeturismo langsung dalam kewirausahaan pendekatan partisipatori keuangan, kurangnya komitmen sektor publik,
pariwisata dan manajemennya. (PRA/Participatory Rural korupsi dan mismanagement institusi
Appraisal), FGD, pembangunan.
Salah satu cara untuk mendukung pembangunan
desa di Kenya adalah melalui pembangunan
pariwisata

26

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


Banyak sumber literatur terkait wisata perdesaan baik yang telah dipublikasikan
maupun yang belum dipublikasikan. Berdasarkan matriks studi literatur dari hasil penelitian
sebelumnya, yang membedakannya dengan penelitian ini adalah melakukan mapping potensi
desa yang berbasis kekayaan budaya yang tetap lestari hingga saat ini. Setelah melakukan
mapping, setidaknya dapat diperoleh cara/etika mengelola atau memanfaatkan unsur-unsur
budaya yang ada di Indonesia. Dengan demikian, basis pelestarian budaya dalam wisata
perdesaan yang menggunakan 3 pilar (perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan) dapat
dijadikan sebagai atraksi wisata.

27

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Rerangka Konseptual

Posisi pariwisata hingga saat ini masih sering ditempatkan sebagai tujuan akhir dalam
meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Peningkatan pendapat menjadi fokus utama dalam
pembangunan pariwisata baik dalam skala nasional maupun daerah, terlebih lagi di era
otonomi sekarang ini. Setiap daerah berlomba-lomba meningkatkan pendapatan asli daerah
(PAD) dengan berbagai cara, yang salah satunya dengan memposisikan pariwisata sebagai
tujuan akhir pembangunan daerah. Kondisi gencarnya pembangunan pariwisata tersebut
menciptakan upaya meningkatnya eksploitasi sumber daya yang berdampak langsung
manfaatnya pada pertumbuhan ekonomi, tetapi sebaliknya memperparah kerusakan
lingkungan dan bahkan budaya hingga ke kawasan perdesaan, dikarenakan minimnya
pemahaman serta kurang mengindahkan kebijakan yang berlaku.

Akhir-akhir ini, kehidupan dan lingkungan sosial budaya masyarakat di suatu


destinasi telah menjadi pusat perhatian untuk dipertahankan sebagai identitas masyarakatnya
dan juga dikembangkan sebagai atraksi wisata. Antusiasme pihak yang berkepentingan mulai
dari pemerintah, swasta hingga masyarakat cukup besar untuk memanfaatkan kehidupan dan
lingkungan sosial budaya masyarakat khususnya di perdesaan yang dipandang memiliki daya
tarik terhadap kehidupan harmonis dengan alam serta memiliki kearifan yang terkandung
dalam tradisi dan pengetahuan kehidupan kesehariannya. Namun kenyataannya
pemanfaatannya daya tarik ini seringkali lebih berorientasi ekonomi dengan memposisikan
tradisi dan pengetahuan lokal tersebut sebagai komiditi. Disadari atau tidak, kondisi
pemanfaatan unsur budaya dan lingkungan melalui kekinian ini di satu sisi akan memberikan
manfaat bagi masyarakat, tetapi di sisi lain berdampak pada degradasi dan bahkan kepunahan
unsur budaya dan lingkungannya.

28

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


Menurut Ahimsa31 dalam Suhartini, bahwa suatu lingkungan yang di dalamnya
terdapat masyarakat seperti perdesaan, secara garis besar dapat dilihat dari:

1. Lingkungan fisik, berupa benda-benda yang ada di sekitar kita, makhluk hidup,
dan segala unsur-unsur alam;
2. Lingkungan sosial, meliputi perilaku-perilaku manusia atau pelbagai aktivitas
sosial yang berupa interaksi antarindividu serta berbagai aktivitas individu; dan
3. Lingkungan budaya, mencakup pandangan-pandangan, pengetahuan, norma-
norma serta aturan-aturan yang berlaku dalam suatu masyarakat.

Indonesia dengan karakter perdesaan yang masih kental dan umumnya dikategorikan
miskin dengan alternatif lapangan kerja yang terbatas, seharusnya didukung oleh kebijakan
pariwisata yang dapat mengantisipasi pengaruh-pengaruh baik internal maupun eksternal
terhadap keberlanjutan perdesaan untuk dikembangkan sebagai daerah tujuan wisata yang
tetap mempertahankan keunikan dan keasliannya. Kebijakan pariwisata perdesaan
seyogyanya dapat dikelompokkan dalam aspek akademismelalui pendekatan konsep ataupun
referensi baru yang berkembang sebagai suatu ilmu pengetahuan, sosiologis melalui
pendekatan kebutuhan dan kepentingan yang timbul di masyarakat baik pemerintah, pelaku
industri maupun masyarakat biasa, serta yuridisdengan melihat dari sisi adanya ketidak
sesuaian serta timbulnya pelanggaran.

Permasalahan dalam pembangunan pariwisata tersebut seharusnya menjadi tanggung


jawab semua pihak yang terlibat (stakeholder) baik pemerintah, pengusaha, maupun
masyarakat, LSM, dan akademisi, sesuai dengan peran dan fungsinya. Masing-masing pihak
berperan aktif terlebih lagi masyarakat lokal (desa) yang harus diposisikan sebagai tokoh
utama dalam setiap pembangunan termasuk pembangunan pariwisata berbasis perdesaan
sebagai daya tarik ke Indonesiaan. Oleh karenanya keterlibatan stakeholder dalam kegiatan
pembangunan pariwisata harus memiliki pemahaman yang sama, bahwa pembangunan
pariwisata berbasis perdesaan bukan bertujuan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi semata
namun juga memperhatikan aspek sosial budaya dan lingkungan agar pembangunan
pariwisata dapat berkelanjutan.

29
31
Kajian kearifan lokal masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan, Suhartini. Diunduh
tanggal 11 April 2016 dari http://eprints.uny.ac.id/12149/1/Bio_Suhartini2%20UNY.pdf Tourism
Management: Principles and Practice Tilburg University Press, Tilburg.

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


3.2. Pendekatan

Riset bersifat exploratory research yang dilakukan melalui pendekatan kualitatif dan
kuantitatif (mix method), akan memfokuskan pada upaya menginvestigasi dan menggali
pokok-pokok permasalahan dan peluang, serta kemungkinan pengembangan perdesaan
sebagai strategi percepatan pembangunan pariwisata nasional ke depan. Metode penelitian
yang dipakai adalah kualitatif yang dilengkapi data kuantitif. Metode kualitatif digunakan
untuk mengungkapkan di 3 lingkungan (fisik, tradisi dan pola hidup) masyarakat di
perdesaan yang menekankan pada makna, pemahaman dari dalam, penalaran, dan lebih
banyak meneliti hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan dan keseharian masyarakat
perdesaan. Pendekatan kualitatif, lebih mementingkan pada proses dibandingkan dengan hasil
akhir oleh karena itu urutan kegiatan dalam penelitian dapat berubah-ubah tergantung pada
kondisi dan banyaknya gejala-gejala yang ditemukan. Sedangkan metode kuantitatif
dilakukan sebagai pelengkap melalui kajian pustaka terkait data kuantitatif dalam bentuk data
sekunder tentang kebijakan pembangunan pariwisata, pariwisata budaya dan pariwisata yang
berbasis perdesaan.
30

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


Alur penelitian dilakukan secara bertahap antara lainmenentukan informan,
32
wawancara informan, pencatatan lapangan, analisis, serta pelaporan (Spradley, 1987: 56).
Adapun Informan yang akan diwawancarai merupakan individu yang memahami betul ke 3
lingkungan (fisik, tradisil dan pola hidup) yang hendak diteliti dan terlibat secara langsung
dalam pengelolaan di masing-masing lingkungan (Spradley, 1987: 62-64). Dengan demikian,
keterangan-keterangan yang mereka sampaikan dapat dipercaya dan bisa dikonfirmasi
melalui pengamatan langsung di lapangan (observasi). Di samping itu, pemilihan informan
juga dilakukan dengan teknik snowballingterarah, di mana satu informan merekomendasikan
informan yang lain yang dianggap memiliki informasi yang sepadan atau lebih luas.

SWOT

31

32
Spradley, James. P (ed), 1972. Culture and Cognition: Rules, Maps, and Plans, Chandler Publishing Company

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


3.3. Metode Pengumpulan Data
1. Sumber tertulis
a. Pemilihan sumber
1). Publikasi atau penerbitan yang berkaitan dengan kebijakan pariwisata
perdesaan baik dalam buku atau artikel berisi deskripsi, analsis, dan
sintesis bersifat teoretis dan aplikasi, serta proceeding hasil seminar atau
konferensi kepariwisataan
2). Manuskrip atau naskah yang belum atau tidak diterbitkan antara lain
dalam bentuk naskah peraturan perundangan, artikel diseminarkan
mengandung kajian kepariwisataan dan executive summary konferensi
nasional dan internasional di bidang pariwisata perdesaan
b. Keluaran
Adapun dari kegiatan ini adalah tersedianya data primer dan sekunder
tentang:
1). definisi, konsepsi dan paradigma pariwisata perdesaan
2). principal aims dan basic elements pariwisata perdesaan
3). kondisi obyektif, argumentasi, solusi dan aplikasi pariwisata perdesaan
4). peluang dan tantangan pariwisata perdesaan di masa kini dan masa depan
2. Sumber Lisan
a. Asal informasi
1) informasi lisan dari tiga kategori sumber (birokrat, akademisi, dan
swasta / masyarakat)
2) informasi lisan dari forum diskusi (FGD) antara nara sumber dan
kelompok kerja
b. Cara perolehan informasi
1) wawancara terstruktur dan / atau tidak terstruktur
2) dialog interaktif dalam forum diskusi terfokus (FGD)
c. Keluaran dari kegiatan ini adalah data dan informasi lisan tentang:
1) pemahaman (parsial, holistik, komprehensif) konsep pariwisata
perdesaan 32
2) Potensi sumber daya tarik lingkungan (fisik, tradisil dan pola hidup)
perdesaan

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


3) kebijakan strategis dan operasional pariwisata perdesaan
4) reposisi pengelolaan pariwisata perdesaan berdasarkan nilai-nilai
kepariwisataan nasional yang terkandung dalam kebijakan nasional
3. Penetuan Informan
Dalam penelitian kualitatif tidak dikenal adanya istilah populasi dan sampel
karena penelitian kualitatif tidak dimaksudkan untuk membuat generalisasi dari
hasil penelitiannya. Subyek penelitian yang telah tercermin dalam fokus
penelitian ditentukan secara terarah. Subyek penelitian ini menjadi informan yang
akan memberikan berbagai informasi yang diperlukan selama proses penelitian
meliputi:
i. Informan kunci, yaitu mereka yang mengetahui dan memiliki berbagai
informasi pokok yang diperlukan dalam penelitian. Informan kunci ini terdiri
dari:
1) Kepala Desa/dusun
2) Komunitas
3) Tokoh pemuda Desa
ii. Informan utama, yaitu mereka yang terlibat langsung dalam interaksi sosial
yang diteliti. Informan utama ini terdiri dari:
1) Tokoh masyarakat/adat Desa
2) Tokoh agama Desa
3) LSM
4) Tokoh pengusaha jasa pariwisata
iii. Informan tambahan, yaitu mereka yang dapat memberikan informasi
walaupun tidak langsung terlibat dalam interaksi yang diteliti. Informan
tambahan ini terdiri dari:
1) Kepala/Perwakilan Dinas Pariwisata
2) Kepala/Perwakilan Dinas Perhubungan
3) Kepala BPCB
4) Kepala/Perwakilan BPSNT
5) Kepala/Perwakilan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) 33
6) Akademisi
4. Pengamatan lapangan

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


Dilakukan melalui observasi lapangan, quick assessment, dan wawancara dengan
informan guna memperoleh data dan pemahaman tentang pengelolaan dan
pemanfaatan potensi sumberdaya di kawasan perdesaan sebagai tujuan wisata.
Pengumpulan data ini dilaksanakan dengan mengacu pada berbagai kepentingan
mencakup penataan ruang, potensi, sosial budaya serta analisis pasar.

3.4. Metode Analisis


Analisis data dilakukan dengan cara induktif, di mana data yang ada disusun untuk
membentuk proposisi-proposisi umum sehingga melahirkan sebuah kesimpulan yang lebih
utuh. Analisis data yang diperoleh dari hasil wawancara mendalam dengan para informan
akan dianalisis dengan menggunakan Analisis Miles dan Huberman. Miles dan Huberman
(1984), mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara
interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya jenuh.
Ukuran kejenuhan data ditandai dengan tidak diperolehnya lagi data atau informasi baru.
Aktivitas dalam analisis meliputi reduksi data (data reduction), penyajian data (data display)
serta penarikan kesimpulan dan verifikasi (conclusion drawing/verification).

Analisis SWOT
Rumusan arahan strategi pengembangan kawasan perdesaan layak menjadi daya tarik
wisata yang unik ke Indonesiaanmenggunakan pendekatan analisis SWOT. Analisis
ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strenghts) dan
peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan
(weaknesses) dan ancaman (threats). Analisis SWOT membandingkan antara faktor
eksternal peluang dan ancaman dengan faktor internal kekuatan dan kelemahan
sehingga dari analisis tersebut dapat diambil suatu keputusan strategi (Rangkuti,
1997).
Analisis ini adalah suatu strategi kelayakan kawasan perdesaan menjadi daya tarik
wisata yang unik ke Indonesiaan dalam pembangunan pariwisata yang sesuai dengan
harapan untuk mendukung kesejahteraan masyarakat lokal dan identitas nasional
secara berkelanjutan. 34
Matriks SWOT yang akan digunakan untuk analisis ini, disajikan pada berikut.

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


Tabel Matrik Analisis SWOT(sumber: LPEM FE UI, 2008)

Analisis Internal
Analisis SWOT Kekuatan Kelemahan
(strengths) (weakness)

S-O-Strategies: W-O-Strategies:
Peluang Bagaimana membangun Bagaimana menghilangkan
(opportunities) metodologi yang baru yang sesuai kelemahan untuk mendapatkan
dengan kekuatan institusi. peluang-peluang baru
Analisis
Eksternal W-T-Strategies:
S-T-Strategies:
Bagaimana membuat strategi
Ancaman Bagaimana menggunakan
untuk menghindari kelemahan
(threats) kekuatan-kekuatan internal yang
yang mungkin menjadi sasaran
ada untuk bertahan dari ancaman
ancaman dari luar

Formulasi strategi ini disusun berdasarkan analisis yang diperoleh dari penerapan
model SWOT dengan tahap-tahap yang dilakukan untuk menyusun strategi sebagai
berikut:
a. Penentuan faktor-faktor internal (kekuatan dan kelemahan) di dalam menyusun
strategi kelayakan kawasan perdesaan menjadi daya tarik wisata yang unik ke
Indonesiaan dalam pembangunan pariwisata berkelanjutan.
b. Penentuan faktor-faktor eksternal (peluang dan ancaman) di dalam menyusun
strategi kelayakan kawasan perdesaan menjadi daya tarik wisata yang unik ke
Indonesiaan dalam pembangunan pariwisata berkelanjutan.
c. Perumusan alternatif strategi kelayakan kawasan perdesaan menjadi daya tarik
wisata yang unik ke Indonesiaan dalam pembangunan pariwisata berkelanjutan.

3.5. Sintesis
Hasil analisis kualitatif dalam bentuk ulasan sintetik berupaya menjawab
permasalahan penelitian sesuai dengan tujuan penelitian ini.
1. Pemahaman tentang konsep pariwisata perdesaan
a. latar belakang, masalah berkaitan dengan munculnya konsep pariwisata
perdesaan
b. konsep pariwisata perdesaan dari berbagai perspektif
35
c. implementasi pariwisata perdesaan dilihat dari kepentingan nasional, dan
d. solusi alternatif berdasarkan prinsip-prinsip akademis dan social impact

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


2. Keterpaduan peraturan perundangan pariwisata perdesaan
a. identifikasi masalah krusial (spesifitas, legalitas, dan efektivitas peraturan
perundangan)
b. keterkaitan antar peraturan perundang-undangan dalam pengembangan
pariwisata perdesaan
c. hubungan hierarkis antara peraturan perundangan dan kebijakan operasional
d. solusi alternatif berdasarkan prinsip-prinsip ideologi politik, juridis dan
legalitas.
3. Sistem pengelolaan pariwisata perdesaan
a. kecenderungan pengelolaan pariwisata perdesaan di Indonesia
b. kesimpangsiuran pengelolaan pariwisata perdesaan di Indonesia
c. peran para stakeholder dalam pengelolaan potensi kawasan perdesaan
menurut kapasitas dan kompetensi
4. solusi alternatif berdasarkan tingkat efektivitas, efisiensi, sinergisitas, dan asas
manfaat dengan tetap mengutamakan kesejahteraan masyarakat, peluang kerja
dan berusaha, serta pelestarian sumberdaya budaya.

36

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


BAB 4

PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

4.1. DESKRIPSI 3 (TIGA) DESA DI FLORES


4.1.1. Kampung Tololela
Sekilas gambaran umum pariwisata Kabupaten Ngada
Sejak tahun 2011 pemerintah memokuskan Indonesia Timur sebagai tujuan wisata
nasional dan internasional selain Bali. Salah satu provinsi yang memiliki banyak destinasi
wisata adalah Flores Nusa Tenggara Timur, yaitu Kabupaten Ngada. Bajawa adalah ibukota
Kabupaten Ngada, banyak orang yang mengatakan Ngada adalah Bajawa, padahal Bajawa
adalah kecamatan yang sekaligus sebagai pusat ibukota Kabupaten Ngada. Bajawa, terletak
di jantung Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Menurut penduduk setempat, Bajawa
merupakan kota yang berada didalam mangkok atau memiliki bentuk seperti mangkok,
dikarenakan, kota ini dikelilingi oleh gunung dan bukit-bukitdan banyak penduduknya
berasal dari Pulau Jawa. Nama Bajawa berasal dari kata Ba yang berarti mangkok, dan Jawa
yang artinya Pulau Jawa.
Secara geografi Pemerintah Kabupaten Ngada terletak di pulau Flores bagian barat,
Provinsi Nusa Tenggara Timur, pada koordinat 8020’24”LS – 8057’29”LS dan
120048’29,26”BT – 121011,8’57”BT. Luas wilayah kabupaten Ngada adalah 1.620,92 Km2

37
Gambar 4.1. Peta Administrasi Kabupaten Ngada
Sumber: http://www.ngadakab.go.id/kondisi-geografis-ngada

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


Sesuai dengan Peraturan Daerah Kabupaten Ngada nomor 3 tahun 2012 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Ngada tahun 2012 – 2032, tujuan dari penataan
ruang daerah adalah untuk mewujudkan ruang wilayah yang berdaya saing berbasis
pariwisata didukung kawasan agropolitan yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.
Pemantapan sistem agropolitan, agroindustri dan minapolitan untuk peningkatan komoditi
pertanian unggulan disertai pengelolaan hasil dan peningkatan peran dalam ekowisata.
Dengan adanya Perda tersebut secara tersurat telah jelas bahwa pembangunan di Kabupaten
Ngada memang salah satunya dititikberatkan pada sektor pariwisata.
Kabupaten Ngada memiliki 112 potensi obyek wisata yang sudah terdaftar dalam
Rencana Induk Pembangunan Pariwisata Daerah (RIPPARDA) Ngada. Jumlah potensi obyek
itu digolongkan menjadi lima bagian yaitu, obyek wisata alam, budaya, bahari, minat khusus
dan wisata rohani. Salah satu sasaran yang ingin dicapai dalam penyusunan RIPPARDA
Kabupaten Ngada adalah peningkatan jumlah wisatawan mancanegara dan pergerakan
wisatawan nusantara. Berikut ini banyaknya jumlah kunjungan wisatawan menurut jenis
wisatawan dan obyek wisata pada tahun 2015.

Tabel 4.1. Banyaknya Kunjungan Wisatawan Menurut Jenis Wisatawan dan Obyek
Wisata di Kabupaten Ngada

Lokasi/ 2013 2014 2015


Nama Obyek Wisata Kecamatan Nusant Manca Jumlah Nusan- Manca Jumlah Nusan- Manca Jumlah
ara Negara tara Negara tara Negara
1 TWAL 17 Pulau Riung Riung 4.558 2.683 7.241 5.194 4.331 9.525 4.492 2.729 7.221
2 Kampung Tradisional Bena Jerebu’u 1.438 4.257 5.695 2.032 6.826 8.858 449 44.909 45.358
3 Kampung Tradisional Nage Jerebu’u 0 0 0 0 0 0 0 0 0
4 Sumber Air Panas Alam Jerebu’u 1 516 517 12 824 836 583 3.862 4.444
Malanage
5 Kampung Tradisional Wogo Golewa 83 807 890 31 655 686 53 546 599
6 TWA Air Panas Mengeruda Soa 42.416 3.573 45.989 34.343 3.198 37.541 39.955 3.410 43.365
7 Boloji Bajawa 0 0 0 0 0 0 0 0 0
8 Kampung Tradisional Bela Bajawa 32 771 803 15 560 575 0 0 0
9 Danau Wawo Mudha Bajawa 5 216 221 0 0 0 24 142 156
10 Kepurbakalaan Mata Menge Soa 0 0 0 0 0 0 0 0 0
11 Kampung Tradisional Jerebu’u 8 245 253 40 340 380 347 4.185 4.532
Gurusina
12 Kampung Tradisional Inerie 14 1.188 1.202 29 1.156 1.185 137 1.322 1.459
Tololela
13 Bheto Padhi Golewa 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Barat
14 Lekolodo Bajawa 0 0 0 0 0 0 0 0 0
15 Pantai Pasir Putih Waebele Inerie 0 0 0 0 0 0 0 0 0
16 Kampung Tradisional Watu Inerie 0 0 0 0 0 0 0 0 0
17 Kampung Tradisional Inerie 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Maghilewa 38
18 Naru Bajawa 0 0 0 0 0 0 0 0 0
19 Kampung Tradisional Aimere 13 112 125 8 232 240 3 34 37
Belaraghi
20 Arak Process Gemo Aimere 80 1.290 1.370 0 0 0 0 0 0
21 Luba Jerebu’u 59 1.674 1.733 28 1.529 1.557 185 3.346 3.531

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


22 Kampung Tradisional Be’a Golewa 0 0 0 7 147 154 0 0 0
Barat
Jumlah Total 48.707 17.332 66.038 41.731 19.798 61.529 46.227 64.485 110.712
Sumber: Dinas Perhubungan, Pariwisata, Komunikasi dan Informatika dalam BPS Kabupaten Ngada,
Kabupaten Ngada Dalam Angka Tahun 2014-2016

Berdasarkan tabel di atas, tercatat bahwa jumlah kunjungan wisatawan di Kabupaten


Ngada berdasarkan obyek wisata yang dikunjungi pada tahun 2015 sebesar 110.712
kunjungan. Jumlah kunjungan di Kampung Tradisional/Kampung Adat Tololela sebesar
1.459 kunjungan atau sebesar (1,32 persen) dengan jumlah wisnus sebesar 137 kunjungan
dan wisman sebesar 1.322 kunjungan. Dan terlihat di Tololela kunjungan terbesar adalah
kunjungan wisatawan manca negara.
Target pengembangan pariwisata bukan hanya dalam banyaknya jumlah kunjungan
wisatawan, namun juga terkait dengan pengembangan sektor lain semisal amenitas. Dari segi
amenitas, ketersediaan hotel dan restoran di Kabupaten Ngada berdasarkan data dari BPS
Kabupaten Ngada sebagai berikut:

Tabel 4.2. Banyaknya Hotel Menurut Kelas, Fasilitas, dan Kecamatan Tahun 2013 – 2014
di Kab. Ngada

2013 2014
Kecamatan
Hotel Kamar Tempat Tidur Hotel Kamar Tempat Tidur
1 Aimere 4 26 44 4 30 54
2 Jerebuu 0 0 0 0 0 0
3 Inerie 0 0 0 0 0 0
4 Bajawa 13 201 327 13 179 331
5 Golewa 0 0 0 0 0 0
6 Golewa Selatan 0 0 0 0 0 0
7 Golewa Barat 0 0 0 0 0 0
8 Bajawa Utara 0 0 0 0 0 0
9 Soa 0 0 0 0 0 0
10 Riung 7 68 118 7 52 107
11 Riung Barat 0 0 0 0 0 0
12 Wolomeze 0 0 0 0 0 0
Jumlah/Total 24 295 489 24 261 492
Sumber: Hasil Survei Perusahaan/Usaha Jasa Akomodasi 2013-2014 dalam BPS Kab Ngada, Ngada
Dalam Angka 2016

Berdasarkan tabel 4.2. di atas, tempat penginapan lebih banyak tersedia di Kecamatan
Aimere, Bajawa dan Riung, dikarenakan ketiga kecamatan tersebut memiliki beberapa tempat
wisata yang sering dikunjungi wisatawan sehingga kebutuhan penginapan terus meningkat
setiap tahunnya. Sebagai contoh di Kecamatan Riung, terdapat Kawasan 17 Pulau Riung
yang merupakan firdausnya pulau-pulau yang berjejar di Pulau Flores. Satu-satunya di Pulau 39

Flores berjejer pulau-pulau kecil dengan 17 Pulau yang luasnya 9.900 hektar yang terdiri dari
laut dan darat termasuk dalam kawasan konservasi dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


Alam Kupang. Lain halnya di Kecamatan Aimere, terdapat Pantai Enalewa yang sangat
cocok untuk dijadikan tempat berekreasi dan memancing. Masyarakat setempat sering
berkunjung ke pantai ini di hari-hari libur atau akhir pekan untuk melepas penat. Juga dapat
melihat dan membeli hasil kerajinan berupa anyaman dengan berbagai bentuk yang terbuat
dari daun lontar. Tersedia beberapa penginanapan di Aimere seperti Penginapan Aimere,
penginapan Agogo, penginapan Bata Bahari menjadi pilihan anda dengan harga mulai dari
Rp.75.000. Tersedia pula tempat makan di Aimere. Disana tersedia tempat makan seperti
Rumah Makan Agogo, Rumah Makan Singgalang, Bakso Solo dan Samudra.
Demikian pula di Kecamatan Bajawa, adanya penginapan bagi wisatawan di sekitar
Bajawa juga dikarenakan adanya atraksi atau obyek wisata yang menarik kunjungan
wisatawan. Diantaranya, terdapat air terjun Ogi yang memiliki ketinggian kira-kira 30 meter
ini dikelilingi oleh pepohonan rindang, dan udara yang sejuk. Ada pula Kawah Wawomuda,
yang terletak di dusun Ngoranale, Kelurahan Susu, Kecamatan Bajawa, Kabupaten Ngada.
Untuk mencapainya, harus berkendara selama kurang lebih 15 menit dan mendaki gunung
dengan berjalan kaki sekitar 30 menit (setengah jam). Kawah Wawomuda terbentuk pada
tahun 2001 setelah gunung Wawomuda meletus. Setelah meletusnya gunung tersebut,
terbentuklah tiga kawah kecil dengan warna yang berbeda, yaitu kuning, coklat, dan merah
kecoklatan. Kawah ini sering pula disebut Mini Kelimutu, karena perubahan warna pada
kawah ini terjadi dari hasil reaksi vulkanis serta mikroorganisme yang ada di air kawah.
Selain itu, di Kecamatan Bajawa juga terdapat Kampung Bela yang terletak di Desa
Beja, Kecamatan Bajawa. Jaraknya ± 7km dari Kota Bajawa, Ibukota Kabupaten Ngada.
Potensi yang dimiliki oleh desa ini adalah potensi alam dan budaya. Di kampung ini seperti
umumnya kampung-kampung di Bajawa terdapat rumah adat dan megalith dengan latar
belakang pemandangan bukit yang indah. Di kampung ini pula terdapat kerajinan tenun ikat
khas Ngada. Desa ini adalah primadona peninggalan budaya di Kecamatan Bajawa. Letaknya
yang tidak jauh dari Kota Bajawa membuat desa ini dapat dengan mudah dijangkau oleh
wisatawan. Dengan adanya kepastian waktu pelaksanaan upacara adat Reba yaitu setiap
tanggal 15 Januari, Kampung Bela bisa menjadi salah satu tujuan utama bagi wisatawan di
Kecamatan Bajawa.
Kampung adat atau desa adat menjadi daya tarik tersendiri bagi Kabupaten Ngada, 40
melalui budaya, pola kehidupan sehari-hari masyarakat, adat, tradisi, dan kearifan lokal
setidaknya menjadi pendorong dikembangkannya desa wisata atau wisata berbasis perdesaan.

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


Dari beberapa desa wisata yang ada di Kabupaten Ngada, nama Kampung adat Tololela
belum banyak dikenal wisatawan. Pada umumnya, wisatawan lebih banyak mengenal Bajawa
dengan ikon wisatanya yaitu Desa Bena. Padahal di Bajawa masih banyak daya tarik wisata
lainnya berupa kampung adat atau desa wisata, salah satu diantaranya adalah Kampung Adat
Tololela. Tololela masih terbilang dekat jaraknya dengan Desa Bena. Kampung Adat
Tololela secara kawasan administratif berada di Desa Manubhara, Kecamatan Inerie,
Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur. Namun, secara kawasan pariwisata termasuk ke
dalam Kecamatan Jerebu’u, bersamaan dengan Bena dan Gurusina.Lokus dalam penelitian
ini adalah Kampung adat Tololela.

Gambaran umum pariwisata Kampung Adat Tololela


1. Daya Tarik dan Atraksi wisata
Lembah Jerebu’u menjadi museum budaya di bagian Flores Tengah di mana lembah ini
merupakan lembah pariwisata Kabupaten Ngada. Secara geografis, topografi Kampung
Tololela Bajawa Flores sebagian besar lahan perbukitan, termasuk dalam wilayah yang
beriklim tropis. Memiliki jenis tanah yang subur sehingga banyak penduduk yang
memanfaatkannya untuk bercocok tanam, terutama jenis tanaman rempah-rempah
(cengkeh, lada, kemiri), vanili, kakao, umbi, jagung dan kacang-kacangan. Sehingga
wisatawan juga dapat menikmati potensi agrowisata yang ada di Tololela.
Kampung Tololela dihuni oleh 7 klan (woe), yaitu Siga Dala, Siga Daku, Siga Lalu Bila,
Metu, Be’a, Raba, dan Siga Pedhu Raga. Keberadaan tujuh klan ini terlihat dari tujuh
pasang Ngadhu dan Bhaga di halaman kampung. Di kampung ini, terdapat 31 rumah
adat yang seluruhnya menghadap ke halaman kampung. Secara spasial, Kampung adat
Tololela terletak pada dua bagian, dimana bagian atas dihuni oleh empat klan (Siga
Dhala, Siga Daku, Siga Lalu Bila, dan Siga Pedhu Raga) dan bagian bawah dihuni oleh
tiga klan (Be’a, Metu, dan Raba).
Berikut atraksi yang menarik di Kampung Adat Tololela:
- Tradisi adat budaya
Di Kampung Adat Tololela masih mempertahankan tradisi adat budaya yang kental
dan masih terjaga dalam lingkungan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari bangunan 41
rumah yang terdapat di kampung ini, serta kebiasaan dan perilaku masyarakat yang
masih memegang erat adat istiadat. Bangunan rumah adat tradisional yang ada di

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


Kampung Tololela disebut juga sa’o, yang merupakan sebuah ruang multiguna yang
disebut juga one. Rumah adat sa’o sebagai perwujudan dari identitas kelompok
keturunan.

Gambar 4.2. Kampung Adat Tololela (bagian bawah kampung)


Sumber: hasil observasi penelitian, 2016

- Arsitektur tradisional
Saat memasuki perkampungan, kita akan disuguhkan pemandangan rumah-rumah
tradisional yang berbentuk unik, terbuat dari kayu dengan menggunakan ilalang
sebagai atap.Rumah ini dihuni oleh suku asli Kampung Tololela. Uniknya formasi
rumah ini tersusun rapi membentuk pola segi empat, di mana bagian tengahnya
terdapat lapangan berundak yang digunakan sebagai tampat Ngadu dan Bhaga.Selain
itu juga ada kuburan batu tua yang diletakkan di tengah lapangan. Di setiap rumah-
rumah Kampung Tololela selalu ada tanduk kerbau yang dulunya dijadikan kurban
untuk upacara adat penduduk setempat.

42

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


Gambar 4.3. Tanduk Kerbau di Depan Rumah Adat Tradisional Kampung Tololela
Sumber: hasil observasi penelitian, 2016

- Alat musik tradisional


Alat musik tradisional yang ada di Kampung Tololela adalah alat musik
Bombardom. Alat musik Bombardom terdiri dari dua elemen yaitu bambu besar dan
bambu kecil untuk meniupkan udara ke bambu besar dan bambu kecil untuk
meniupkan udara ke bambu besar.Alat musik ini ditiup secara bergantian antara dua
nada yang berbeda. Bombardom biasanya mengiringi alat musik bambu lainnya
seperti seruling dari Foi Doa (seruling ganda) khas Ngadha dan dimainkan untuk
pesta adat atau penerimaan tamu. Pada 19 September 2015 dilaksanakan pemecahan
rekor konser musik Bombardom oleh masyarakat Kampung Tolalela sebagai salah
satu cara melestarikan alat musik tradisional mereka yang terancam punah serta
untuk menarik minat wisatawan. Penciptaan Rekor-Dunia MURI ini juga didukung
oleh program INFEST (Innovative Indigenous Flores Ecotourism for Sustainable
Trade) yang didukung oleh Uni Eropa dan dilaksanakan oleh Yayasan Indecon.

43

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


Gambar 4.4.
Ketua Lembaga Pengembangan Pariwisata Tololela (LPPT), Falentinus Pedhu, sedang
memainkan alat musik Bombardom
Sumber: hasil observasi penelitian, 2016

- Tenun ikat tradisional


Selain bertani, pekerjaan sebagian masyarakat kampung Tolalela adalah menenun.
Kegiatan ini biasanya dilakukan oleh para wanita. Pembuatan tenun masih dilakukan
secara tradisional sehingga setiap pengunjung yang datang dapat menyaksikan
langsung proses pembuatannya.Saat pagi atau sore hari merupakan waktu yang pas
mengunjungi para wanita yang sedang menenun. Wisatawan juga bisa belajar cara
pembuatan tenun dan bisa membelinya.

44

Gambar 4.5. Kerajinan tenun ikat tradisional di Kampung Tololela


Sumber: hasil observasi penelitian, 2016

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


2. Aksesibilitas
- Prasarana jalan dan transportasi
Pintu masuk Kabupaten Ngada melalui Bandar Udara Turalelo Soa yang terletak di
Desa Piga, Kecamatan Soa, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur. Bandar udara ini
merupakan jenis bandara sipil yang hanya melayani rute domestik dan memiliki ukuran
landasan pacu 1.400 x 23 m. Panjang landasan pacu (run way) berukuran 2,800 by 40
meter (9,186 × 131 ft)33. Jarak dari Bandara Soa ke Kota Bajawa sekitar 1 jam atau 24
km. Maskapai yang beroperasi adalah Trans Nusa dan Merpati Nusantara Air Lines,
dengan pemberangkatan dari dan menuju Kupang.
Untuk mencapai Kampung Tololela perlu waktu sekitar 45 menit dengan jarak tempuh
kurang lebih 30 km dari ibukota Bajawa. Pengunjung dapat menggunakan jasa angkutan
umum, travel atau ojek sampai di Kampung Bena atau Gurusina. Jadi, dari ibu kota
Bajawa menuju Kampung Bena terlebih dahulu, setelah itu dilanjutkan dengan berjalan
kaki (trekking) menuju Kampung Tololela selama 1 jam atau dapat menempuh sekitar 10
– 15 menit perjalanan dengan menggunakan kendaraan sampai di Kampung Bena.

Gambar 4.6. kondisi jalan menuju Kampung Adat Tololela


Sumber: hasil observasi penelitian 2016

3. Amenitas
45
- Penginapan

33
https://id.wikipedia.org/wiki/Bandar_Udara_Soa

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


Di sekitar Kampung Adat Tololela tidak tersedia penginapan berupa hotel (bintang
maupun non bintang), namun wisatawan dapat menginap di rumah penduduk
setempat dengan suasana kekeluargaan dengan biaya kurang lebih Rp.150.000,-
/orang/malam.
- Rumah makan/restoran
Tidak tersedia rumah makan dan restoran di Kampung Adat Tololela, namun jika
wisatawan menginap di rumah penduduk dapat menikmati makanan lokal yang
disediakan oleh pemilik rumah.
- Layanan Kesehatan
Fasilitas layanan kesehatan yang ada di Kampung Tololela untuk jenis rumah sakit
yang terdekat hanya ada di Rumah Sakit Umum Daerah Bajawa dengan alamat di Jl.
Diponegoro, No. 5 Bajawa34. RSUD Bajawa tersedia 17 dokter, 1 lebih
banyak daripada rumah sakit tipikal di Nusa Tenggara Timur, tapi 13 lebih
sedikitdaripada rata-rata Kepulauan Nusa Tenggara.Dari 17 dokter di rumah sakit ini,
10 adalah dokter umum, spesialis 5 orang, Dokter Gigi 2 orang.Yang tidak ada di
RSUD ini adalah dokter bedah dan Spesialis Gigi35 . Dibandingkan dengan rata-rata
rumah sakit di wilayah, ini:
2 lebih banyak daripada rumah sakit tipikal di Nusa Tenggara Timur
1 lebih sedikit daripada rumah sakit tipikal di Kepulauan Nusa Tenggara
- Layanan Perbankan dan ATM
Layanan perbankan dan ATM yang terdekat dengan Kampung Tololela pun harus ke
Bajawa terlebih dahulu. Yakni BRI, BPD NTT, Bank Danamon, BTN.
- Fasilitas penunjang lainnya
Fasilitas penunjang lainnya seperti toilet bersih, tempat sampah, dan lahan parkir
belum banyak tersedia di setiap tempat wisata di sekitar Kampung Adat Tololela.
Fasilitas listrik sudah tersedia sejak tiga tahun yang lalu (tahun 2013), hanya saja
fasilitas air minum bersih belum merata. Ketersediaan air di Kampung Tololela
masih mengandalkan dari sumber mata air pegunungan. Fasilitas dan layanan khusus
untuk disabilitas dan lansia juga belum tersedia.
46

34
Sumber: http://www.datarumahsakit.com/kota/ngada.html atau http://asgar.or.id/health/layanan-
kesehatan/daftar-rumah-sakit/daftar-rumah-sakit-di-kabupaten-ngada-provinsi-nusa-tenggara-timur
35
Sumber: http://rumah-sakit.findthebest.co.id/l/811/RSU-Bajawa

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


Jaringan telekomunikasi yang masuk saat ini hanya operator GSM Simpati dari
Telkomsel, sementara operator lainnya belum ada, termasuk Telkom.

4. Masyarakat dan Lingkungan, Kelembagaan dan Pemasaran


Kampung Tololela menyimpan keindahan alam serta budaya yang sangat menarik
dijadikan objek wisata. Masyarakat di Kampung Tololela masih memegang teguh
keyakinan serta adat tradisi leluhur. Meskipun agama Kristen sudah masuk ke daerah ini,
namun mereka masih mengenal tokoh dewa tertinggi yang disebut nitu, deva, atau
leluhur dan masih meyakini akan kekuatan gaib pada mahluk seperti burung, anjing dan
benda tertentu. Mereka juga percaya pada roh nenek moyang, mahluk halus yang baik
dan jahat. Sehubungan dengan adanya keyakinan itu, mereka sering melakukan upacara
adat dalam rangka daur hidup, membuka hutan, masa tanam, masa panen, membangun
dan memperbaiki rumah adat, dan lain-lain. Upacara adat ini juga dapat berfungsi
memperkuat rasa solidaritas sosial antar sesama.
Di Kabupaten Ngada, termasuk di Kampung Tololela juga masih ditemukan kearifan
lokal yang sangat kental dalam menjaga lingkungannya. Melalui upacara adat Reba
yakni adanya sanksi adat bagi para pelaku perusak hutan di Kabupaten Ngada, Nusa
Tenggara Timur, mulai berlaku efektif. Pelaku diharuskan berikrar sumpah tidak
mengulangi perbuatan dengan menyumbang hewan kurban sebagai pemulihan
keharmonisan alam sekitar yang dirusak di hadapan tetua adat, wakil pemerintah, dan
masyarakat umum. Mayoritas kasus terkait pembakaran hutan adat, hutan lindung,
kawasan cagar alam, dan hutan masyarakat.36 Adanya ketergantungan dengan bahanbaku
alam, menuntun masyarakat untuk secara sadar melestarikan kawasan hutan di sekitar
kampung adat.
Sistem kekerabatan dalam masyarakat Kampung Tololela menganut sistem
matrilineal, dimana perempuan lebih diutamakan sebagai pelanjut garis keturunan, hak
atas tanah, tempat tinggal, warisan dan sifat yang melekat pada leluhur. Namun, dalam
kehidupan sehari-hari peran laki-laki sangat mendominasi seperti bekerja di kebun,
membangun rumah adat, pertemuan atau rapat, ritual adat, dan lain-lain.
Masuknya teknologi dan telekomunikasi, serta pariwisata, mendorong masyarakatnya 47
untuk beradaptasi namun tidak memaksa masyarakat dan tata ruang kampung untuk

36
Sumber: http://tataruangpertanahan.com/artikel-284-ngada-berlakukan-sanksi-adat-bagi-perusak-hutan.html

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


berubah total. Misalnya, keberadaan kamar mandi yang sebelumnya bukan bagian dari
rumah adat dan masyarakat hanya mencari mata air untuk kebutuhan sanitasinya, tetapi
sekarang sudah berubah.
Dalam mengembangkan pariwisata di Kampung Tololela, masyarakat bekerjasama
dengan Indecon. Ary Suhandi, Direktur dari Yayasan Ekowisata Indonesia Indecon,
mengungkapkan bahwa proyek pengembangan desa-desa di Flores dengan
menggunakan ecotourism sebagai salah satu cara meningkatkan kesejahteraan, sudah
dimulai sejak 2013. Program yang rencananya akan berlangsung selama 5 tahun ini,
dijalankan dengan cara live in atau tinggal bersama dengan penduduk setempat37.
Program ini menunjukkan pentingnya keterlibatan penduduk lokal dalam menyusun dan
mengatur pertunjukan dan paket wisata untuk menjamin keberlangsungan aktivitas
pariwisata di daerah mereka. Didalam kelompok masyarakat sendiri telah dibentuk
Lembaga Pengembangan Pariwisata Tololela (LPPT) sejak tahun 2014.
Selain itu, salahsatunya dalam rangka memperkenalkan Kampung Adat Tololela juga
telah dilakukan pembuatan film dengan judul “Inerie” oleh artis nasional. Meskipun film
tersebut berceritera tentang misi kesehatan ibu dan anak pada masa kehamilan, namun
nuansa lokal budaya masyarakat dan alam masih terlihat menonjol.

Gambar 4.7. Sekretariat Lembaga Pengembangan Pariwisata Tololela (LPPT)


Sumber: hasil observasi penelitian 2016

48

37
Sumber: http://www.media-release.info/uni-eropa-indecon-berkolaborasi-publikasikan-flores/

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


4.1.2. Desa Waturaka
Sekilas gambaran umum pariwisata Kabupaten Ende
Desa Waturaka terletak di Kecamatan Kelimutu, Kabupaten Ende, Provinsi Nusa
Tenggara Timur. Kabupaten Ende yang terkenal dengan salah satu daya tarik wisatanya yaitu
Danau Kelimutu, secara administratif terdiri dari 21 kecamatan, 255 desa, 23 kelurahan, dan
893 dusun/lingkungan (RKPD Kab. Ende, 2016). Sebelum menjelaskan gambaran umum
tentang Desa Waturaka, sebaiknya melihat terlebih dahulu sekilas gambaran umum
pariwisata di Kabupaten Ende.Kabupaten Ende berada pada lintasan tujuan wisata utama Bali
– Lombok – Flores, dengan focal point keberadaan Danau Tiga Warna Kelimutu sebagai
salah satu destinasi pariwisata Flores. Berdasarkan PP Nomor 50 Tahun 2011 tentang
RIPPARNAS, Kabupaten Ende, Flores masuk sebagai Kawasan Strategis Pariwisata
Nasional (KSPN) Ende – Kelimutu dan sekitarnya, sehingga menjadikan Ende sebagai
destinasi penting setelah Bali, Lombok, dan Pulau Komodo dari arah barat. Kebijakan
pengembangan pariwisata Ende juga dituangkan dalam Rencana Induk Pengembangan
Kepariwisataan Daerah (RIPPDA) Kabupaten Ende Tahun 2014 – 2034.
Arah pengembangan wilayah kepariwisataan Kabupaten Ende menggunakan
pendekatan sistem klaster untuk menggali, memantapkan, dan mengoptimalkan potensi serta
mengatasi permasalahan secara spesifik terkait pariwisata. Maka, Rencana Pengembangan
Wilayah di KSPN Ende – Kelimutu dan sekitarnya dibagi menjadi 10 klaster yang terdiri dari
21 kelurahan dan 55 desa. Sementara Desa Waturaka yang menjadi salah satu lokus dalam
penelitian ini masuk kedalam Klaster I yaitu klaster Kecamatan Kelimutu bersama dengan
beberapa desa lainnya seperti Desa Nduaria, Nuamuri, Nuamuri Barat, Wolokelo, Koanara,
Woloara, Pemo, dan Detuena. Klaster I ini dikembangkan berdasarkan karakteristik
wilayahnya yang meliputi daya tarik wisata alam (danau kawah berwarna, air terjun, sumber
air panas, dan gas alam), daya tarik wisata budaya (kampung adat, sanggar seni, tarian, musik
tradisional, seremoni adat), dan daya tarik wisata buatan (pasar tradisional, seremoni wisata
agro, kuliner lokal, trekking, kolam pemancingan ikan, proses pembuatan tenun ikat
tradisional, kerajinan souvenir). Ditambah pula dengan fasilitas akomodasi (homestay dan
rumah makan), perdagangan dan jasa penunjang atraksi wisata, konservasi persawahan dan
perladangan tradisional, dan ekowisata. 49
Dalam Peraturan Bupati Ende Nomor 19 Tahun 2015 tentang Rencana Kerja
Pembangunan Daerah (RKPD) Kabupaten Ende Tahun 2016 yang merupakan penjabaran

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


dari RPJMD Kabupaten Ende 2014 – 2019 dan RPJP Kabupaten Ende 2005 – 2025
menetapkan arah pembangunan yang berprinsip dengan menitikberatkan pembangunan dari
desa dan kelurahan berdasarkan karakteristik wilayah setempat menuju masyarakat yang
mandiri, sejahtera, dan berkeadilan. Percepatan pembangunan perekonomian dan pariwisata
juga menjadi salah satu visi misi Kabupaten Ende. Kecamatan Kelimutu (dimana Desa
Waturaka masuk di dalam wilayah administratif) menurut rencana pengembangan wilayah
(WP) masuk ke dalam Wilayah Pengembangan III dengan potensi spesifik kawasan Taman
Nasional Kelimutu, potensi perkampungan adat dan industri tenun ikat khas dan
pengembangan agrowisata sekitar TN Kelimutu, serta pasar tradisional. Kopi dan kakao
menjadi potensi perkebunan di kawasan WP III ini. Dengan memperhatikan RPJP Kabupaten
Ende, RPJMD Kabupaten Ende, RKPD Kabupaten Ende, dan RIPPDA serta beberapa
kebijakan lain pemerintah daerah Kabupaten Ende, maka pengembangan wisata berbasis
perdesaan menjadi hal yang sangat potensial.

Gambar 4.8. Wilayah Pengembangan RTRW Kabupaten Ende Tahun 2011 – 2031
Sumber: BAPPEDA Kab. Ende 2016

Salah satu sasaran yang ingin dicapai dalam penyusunan RIPPDA Kabupaten Ende
adalah peningkatan jumlah wisatawan mancanegara dan pergerakan wisatawan nusantara.
Berikut ini data perkembangan pengunjung Kabupaten Ende selama 6 (enam) tahun terakhir.

50

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


Tabel 4.3. Jumlah Kunjungan Wisatawan Mancanegara (Wisman) dan Pergerakan Wisatawan
Nusantara (Wisnus) Kabupaten Ende, Tahun 2010 s.d. 2015

Tahun Wisman Wisnus Total Wisatawan Pertumbuhan (%)


2010 7.111 17.704 24.815 -
2011 7.771 20.397 28.168 13,5
2012 8.027 26.171 34.198 21,4
2013 8.150 18.246 26.396 -22,8
2014 13.184 41.517 54.701 107,2
2015 12.633 50.324 62.957 15,1
Sumber: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ende, NTT
Pada tabel 4.3. di atas menunjukkan bahwa jumlah kunjungan wisatawan baik wisman
dan wisnus mengalami kenaikan setiap tahunnya. Hanya saja pada tahun 2013, sempat
mengalami penurunan sekitar 22,8 Persen yaitu dari 34.198 (21,4 persen) wisatawan pada
tahun 2012 menjadi 26.396 wisatawan pada tahun 2013. Hal tersebut disebabkan pada tahun
2013 di Kota Ende sempat mengalami konflik 20 izin usaha pertambangan (IUP) yang sudah
dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Banyak pihak terutama dari masyarakat yang menolak
pertambangan tersebut karena dapat merusak Flores dan bertentangan dengan UU Nomor
4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, serta Perda Kabupaten Ende tentang
RTRW.38 Namun, pada tahun 2014, jumlah kunjungan wisatawan kembali beranjak naik
(107,2 persen) menjadi 54.701 orang.
Dari segi amenitas, ketersediaan hotel dan restoran di Kabupaten Ende berdasarkan
data dari BPS Kabupaten Ende sebagai berikut:
Tabel 4.4. Banyaknya Unit Penginapan, Kamar Dan Tempat Tidur Dirinci Per Kecamatan
Di Kabupaten Ende 2015
Kecamatan dan Jumlah Banyaknya Unit Penginapan, Kamar Dan Tempat Tidur
Unit Kamar Tempat Tidur
2015 2015 2015
Nangapanda - - -
Pulau Ende - - -
Maukaro - - -
Ende - - -
Ende Selatan 5 58 110
Ende Timur 4 52 78
Ende Tengah 7 224 393
Ende Utara 3 64 119
Ndona - - -
Ndona Timur - - - 51

38
Sumber: googleweblight.com/?lite_url=http://www.insist.or.id/drupal/news/rakyat-ende-tolak-tambang-
sejarah-yang-terus-berulang.html&ei=O_OXUL50&lc=en-ID&s=1&m=692&host=www.google.co.id

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


Wolowaru 1 8 16
Wolojita - - -
Lio Timur - - -
Kelimutu 20 111 164
Ndori - - -
Maurole - - -
Kotabaru - - -
Detukeli - - -
Lepembusu Kelisoke - - -
Detusoko - - -
Wewaria - - -
Jumlah 40 517 880
Sumber: BPS Kabupaten Ende, 2016, https://endekab.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/79

Berdasarkan tabel 4.4. di atas terlihat bahwa di Kecamatan Kelimutu memiliki jumlah
penginapan terbesar (20 unit penginapan) dengan jumlah 111 kamar dari seluruh kecamatan
(40 unit penginapan) yang ada di Kabupaten Ende. Meskipun belum ada hotel bintang,
jumlah sarana akomodasi (hotel non bintang, homestay, bungalow, lodge/inn) di Kecamatan
Kelimutu bertambah dari tahun ke tahun, pada tahun 2015 jumlah sarana akomodasi
sebanyak 20 unit dengan jumlah kamar sebanyak 107 kamar dan jumlah tempat tidur
sebanyak 157 buah. Dari 20 unit sarana akomodasi tersebut, 19 unit berada di Desa Koanara
dan 1 unit berada di Desa Woloara. Sementara data akomodasi yang ada di Desa Waturaka
belum tercatat secara resmi di BPS, padahal di Waturaka sudah terdapat 15 buah homestay.
Dengan mulai bergeraknya desa wisata di sekitar Kecamatan Kelimutu sebagai
penyangga ikon wisata Danau Kelimutu, maka banyak pula tamu yang menginap mengalami
peningkatan. Tercatat pada tahun 2014 sebesar 7.372 orang (6.635 tamu asing, 737 tamu
domestik), menjadi sebesar 8.233 orang pada tahun 2015 dimana 7.029 tamu asing dan 1.204
tamu domestik (BPS Ende, 2015-2016).
Potensi daya tarik wisata yang ada di Kabupaten Ende terdata sebanyak 108 buah
dengan rincian 64 buah wisata alam, 31 buah wisata budaya, dan 13 buah wisata buatan
manusia (Ende, 2015). Kekuatan utama pariwisata Kabupaten Ende terletak pada keunikan
alam dan budaya. Keunikan alam yang dianugerahi panorama Danau Kelimutu beserta
keunikannnya, sedangkan budaya adalah semua yang terkait dengan kehidupan orang Ende -
Lio termasuk cara hidup, karya dan interaksinya dengan sesama dan alam. Meskipun berada
dalam wilayah Kabupaten Ende, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Ende tidak berwenang 52

mengelola Danau Kelimutu, karena hal itu menjadi tugas dan tanggung jawab Balai Taman
Nasional Kelimutu (TNK).Meski demikian, bukan berarti Pemkab Ende lepas tangan

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


terhadap keberadaan Danau Kelimutu. Sebagai bentuk tanggung jawab Pemkab Ende atas
keberadaan Danau Kelimutu, Dinas Pariwisata Ende melakukan upaya intervensi terhadap
desa-desa yang merupakan kawasan penyangga Danau Kelimutu. Bentuk konkritnya adalah
dengan membentuk desa wisata.
Ada enam desa wisata yang dibentuk, yakni Desa Pemo, Desa Waturaka, Desa
Koanara, Desa Woloara, Desa Nuamuri dan Desa Nduaria. Keenam desa tersebut merupakan
desa penyangga kawasan Kelimutu yang semuanya berada di dalam wilayah Kecamatan
Kelimutu. Yang menjadi lokus dalam penelitian ini adalah Desa Waturaka.

Gambaran Umum Desa Waturaka

Gambar 4.9.
Profil Desa Waturaka di Pintu Gerbang Masuk Desa
Sumber: Hasil Observasi Penelitian, 2016

Komponen pariwisata di Desa Waturaka, dapat dikelompokkan antara lain:


1. Daya tarik dan atraksi wisata
Luas wilayah Desa Waturaka sebesar 7,50 Km2 atau sebesar 12,72 persen dari
keseluruhan luas desa (58,94 Km2) di Kecamatan Kelimutu (Kecamatan Kelimutu dalam
Angka, 2016).Desa Waturaka merupakan sebuah daerah yang padat dengan potensi alam,
kondisi tanah yang subur karena terletak dibawah kaki gunung vulkanik Kelimutu. Penduduk
Desa Waturaka merupakan salah satu dari 24 komunitas adat Suku Lio.
- Agrowisata 53
Aneka ragam tumbuhan dan tanaman pertanian mewarnai seluruh areal
perkampungan. Kondisi iklim dan alam yang sejuk serta tanah yang subur, menjadi peluang

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


bagi masyarakat lokal Waturaka untuk bertani dan mengembangkan agrowisata. Jenis
tanaman yang sudah dikembangkan diantaranya padi, tomat, lombok/cabai, wortel, sayur-
sayuran, kentang, dan stroberi. Aktivitas agrowisata yang ditawarkan bagi wisatawan bukan
hanya sekedar menikmati tanaman, tetapi juga sudah mengarah pada pelibatan langsung
wisatawan dalam menanam dan memetik/panen. Berdasarkan hasil wawancara dengan
Blasius Oja (Wakil Ketua Pokdarwis Waturaka/petani), jenis stroberi sendiri baru mulai
dikembangkan sejak tahun 2012, beberapa orang petani didampingi oleh Swisscontact dan
memperoleh pelatihan agro serta bibit stroberi di Bedugul, Bali.

Gambar 4.10. Agrowisata milik salah satu warga di Desa Waturaka


Sumber: hasil observasi penelitian, 2016

Dengan dikembangkannya perkebunan berbasis agrowisata dapat memiliki dampak


ekonomi yang sangat positif bagi masyarakatnya, karena selain sebagai sumber penghasilan
masyarakat dapat juga menjadi salah satu faktor dalam memperkuat image dan daya tarik
wisata alam Kelimutu.
- Air terjun dan air panas
Desa Waturaka juga memiliki potensi wisata air terjun dan air panas. Murukeba yang
berarti air terjun di tengah Hutan Keba, memiliki ketinggian ±55m dapat dicapai dengan
berjalan kaki selama 25 menit dari pusat desa dengan kondisi soft track dan tidak terjal.

54

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


Gambar 4.11. Air Terjun Murukeba
Sumber: Hasil observasi penelitian, 2016

Dalam perjalanan menuju ke air terjun Murukeba juga akan ditemukan uap panas
alami bernama Mutulo’o Hot Steam, yang berjarak ±20 menit berjalan kaki dari air terjun.
Tempat ini memiliki beberapa kolam kecil yang berisi air mendidih dan bambu yang dialiri
air panas. Waktu terbaik untuk menyaksikan uap panas tebal adalah saat pagi atau sore hari.
Selain itu, di Desa Waturaka juga memiliki air panas alami yang bernama Kolorongo Hot
Spring yang terletak tepat di depan Kantor Desa Waturaka dan bisa dinikmati hangatnya saat
pagi dan sore hari dengan dikelilingi hamparan sawah.
- Atraksi budaya
Bukan hanya keindahan alam dan keramahtamahan warga, wisatawan juga dapat menikmati
Cultural performance bernuansa daerah Lio yang unik dan otentik yang dimiliki masyarakat
Waturaka, misalnya tarian tradisional Wanda Pala dalam menyambut kedatangan tamu yang
diiringi dengan alat musik tradisional Sato (sejenis ukulele), gambus, juk, gendang, dan
suling. Sato dimainkan oleh 6 orang. Alat musik khas terbuat dari buah Maja yang berbentuk
bulat, bambu dan ijuk, tali untuk meggosok senar. Tali senar mempergunakan tali senar
pancing ikan atau senar gitar nomor 4. Supaya bisa mengeluarkan bunyi, tali senar digosok
dengan buah kenari. Bermain Sato menggunakan perasaan tidak ada kuncinya sehingga sulit
untuk dimainkan.
Pementasan yang dilakukan sanggar Mutulo’o selain di desa karena ada permintaan
dari wisatawan juga di penginapan atau hotel yanga ada di Moni serta diundang pemerintah 55

kabupaten Ende untuk disuguhkan bagi tamu dari luar daerah dan masyarakat. Jika tamu
ingin menonton maka akan dipentaskan selama 2 jam dengan biaya Rp. 600.000,-. Jika

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


pentas di penginapan atau hotel di Moni dan sekitarnya tarif yang dikenakan sebesar 1 juta
rupiah untuk 2 jam pementasan. Saat pementasan mereka membawakan lagu-lagu daerah dan
juga lagu-lagu dengan pesan lingkungan seperti menjaga kebersihan dan sampah. Sanggar ini
membuat membuat lagu tentang sampah supaya pemerintah bisa buka mata dan menggerakan
aparatnya untuk membersihkan sampah karena turis asing sangat alergi dengan sampah
plastik.
Sanggar Mutulo’o terbentuk lewat keinginan luhur melestarikan adat budaya
khususnya menampilkan kekhasan desa Waturaka lewat lagu,alat musik, tari dan kain tenun
yang dikenakan. Pemain musik yang terdiri dari kaum lelaki mengenakan sarung, selendang
dan ikat kepala dari tenun ikat motif khas Waturaka. Sementara para perempuan selaku
penyanyi dan penari juga mengenakan sarung kain tenun, baju merah bersulam dan rambut
disanggul.
Para pengunjung juga dapat belajar menari dan memainkan alat musik tradisional
langsung dari para anggota Sanggar Budaya Desa Waturaka yaitu Sanggar Mutu Lo’o.
Sanggar Mutu Lo’o memiliki anggota yang direkrut dari warga setempat. Sanggar Mutulo’o
beranggotakan 20 orang tapi saat ini hanya 16 orang yang aktif. Mutu Lo’o merupakan nama
uap panas dekat dengan batu besar yang dinamakan Waturaka, batu berbentuk seperti mobil.
Sekalipun padat dengan berbagai aktivitas harian sebagai petani, keikhlasan warga untuk
tetap menjaga dan melestarikan kekayaan lokal dengan menciptakan lagu-lagu lokal yang
diiringi beberapa alat musik lokal. Kendala dalam melestarikan budaya lokal yakni perlu
adanya regenerasi musik, karena sebagian besar anggota sanggar adalah orang dewasa.
Upaya yang dilakukan sanggar tersebut diantaranya memberikan pengajaran secara gratis ke
anak-anak SD.

2. Aksesibilitas
- Prasarana jalan dan transportasi
Terdapat tiga pilihan dalam menjangkau Kota Ende, Flores yakni pesawat terbang,
bus, dan kapal. Pintu masuk Kota Ende melalui Bandara H. Hasan Aroeboesman dengan
kategori Domestic Airport dan jam operasi mulai jam 07.00 – 16.00 WITA. Bandara
Udara H. Hasan Aroeboesman memiliki runway sepanjang 1650 meter dengan lebar 30 56
meter mampu melayani penerbangan dengan frekuensi 6 – 12 penerbangan per harinya
dengan rute penerbangan dari Makassar – Ende, Ende – Labuan Bajo, Ende – Jember,

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


Ende – Palembang, Ende – Kendari, Denpasar – Ende, serta Ende – Kupang yang
dilayani oleh Maskapai Garuda Airlines, Merpati Airlines, Wings Air, dan Transnusa
serta didarati oleh pesawat jenis ATR 72 dengan biaya bervariasi. Penerbangan dari
Jakarta – Ende rata-rata memakan waktu 5 jam 15 menit.
Kapal laut PELNI juga berlayar secara regular dari Surabaya. Jika melakukan
perjalanan dengan menggunakan bus dari Jakarta, ada bus langsung ke Bima (Sumbawa)
yakni Safari Dharma Raya, Rasa Sayang, dan Dunia Mas. Harga tiket bus sudah termasuk
naik kapal ferry dengan menempuh perjalanan selama empat hari. Ada beberapa rute
kapal menuju Kota di Flores, salah satunya Sape (Sumbawa) menuju Labuan Bajo.
Kondisi Panjang jalan di Kecamatan Kelimutu secara keseluruhan sebesar 44,44 km
terdiri dari status jalan negara sebesar 11 km, jalan provinsi sebesar 13,14 km dan jalan
kabupaten 20,30 km (Dinas Kimpraswil Kabupaten Ende dalam BPS Kab Ende, 2016)
dan sebagian besar sudah beraspal. Berikut ini kondisi jalan menuju Desa Waturaka:

Gambar 4.12. Kondisi jalan menuju (dekat) Desa Waturaka dari Kantor Desa Waturaka
Sumber: hasil observasi penelitian, 2016

Aksebilitas yang dekat dengan jalur wisata utama Kelimutu membuat waturaka menjadi
sebuah destinasi persinggahan. Sebagai daerah penyangga Kawasan Taman Nasional
Kelimutu, Desa Waturaka memiliki jarak kurang lebih 54 km dari Kota Ende yang dapat
ditempuh kurang lebih 2 jam perjalanan.
Jarak dari desa menuju gerbang utama Taman Nasional Kelimutu adalah ± 3 km,
sedangkan jarak menuju pintu gerbang Danau Tiga Warna Kelimutu adalah ± 9 km. Dari 57

Desa Moni, dapat menempuh perjalanan selama lima menit dengan menggunakan ojek
maupun angkutan umum, atau berjalan kaki selama 30 menit.Akses angkutan umum

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


khusus ke Desa Waturaka belum ada, karena hanya baru ada di daerah Moni. Demikian
pula fasilitas terminal bus juga belum tersedia
Sebagian besar kondisi fasilitas yang ada di Desa Waturaka belum ditata dan
dikelola dengan baik. Jalan utama dari Kota Ende menuju Desa Waturaka hingga saat ini
masih ada beberapa titik dalam proses perbaikan (meskipun sebagian besar jalan raya
sudah beraspal). Adanya proses perbaikan jalan di Trans-Flores yang harus melalui jalan
berbukit, masih ditemukan tanah dan bebatuan longsor pada saat proses perbaikan jalan
sehingga sering ditemukan penutupan jalan sementara (sekitar ±1 jam).

Gambar 4.13. Kondisi jalan trans-Flores dari Kota Ende Menuju Desa Waturaka
Sumber: Hasil observasi penelitian 2016

- Kondisi Utilitas (air, listrik, telekomunikasi) di Desa Waturaka


Kondisi utilitas menjadi faktor penunjang bagi keberlanjutan pariwisata, karenanya aspek
komunikasi dan informasi juga perlu diperhatikan. Jaringan telekomunikasi yang
mendominasi adalah GSM Simpati dari operator Telkomsel. Sementara untuk jaringan
kabel (fix phone) dari Telkom dan jaringan internet (wifi) belum tersedia di Desa
Waturaka.

3. Amenitas:
Akomodasi dan restoran
Data akomodasi dan restoran yang ada di Desa Waturaka belum tercatat secara resmi di
BPS, padahal di Waturaka sudah terdapat 15 buah homestay.

58
Fasilitas perbankan dan ATM
Fasilitas umum seperti Bank dan ATM belum ada di Desa Waturaka. Fasilitas perbankan
dan ATM lebih banyak tersedia di Kecamatan Kelimutu dan Kota Ende.

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


Fasilitas kesehatan
Tidak ada fasilitas kesehatan di Desa Waturaka, yang terdekat hanya ada di Kecamatan
Kelimutu dimana fasilitas kesehatan seperti puskesmas, pustu, polindes dan poliklinik
telah tersedia. Pada tahun 2015 di Kecamatan Kelimutu tercatat sebanyak 7 fasilitas
kesehatan yang ada, 7 fasilitas kesehatan tersebut terdiri dari : 1 puskesmas,2 pustu, 3
polindes dan 1 poliklinik. Untuk posyandu, di Kecamatan Kelimutu fasilitasnya belum
tersedia.Selain fasilitas fisik kesehatan, hal lain yang juga sangat penting adalah
ketersediaan tenaga kesehatan. Untuk tahun 2015 tenaga kesehatan yang tercatat di
Kecamatan Kelimutu adalah sebanyak 14 orang yaitu dokter 2 orang, mantri
kesehatan/perawat 5 orang dan bidan 7 orang (BPS, 2016).

Fasilitas penunjang lainnya


Fasilitas penunjang lainnya seperti toilet bersih, tempat sampah, dan lahan parkir belum
banyak tersedia di setiap tempat wisata di sekitar Desa Waturaka. Fasilitas listrik sudah
tersedia, hanya saja fasilitas air minum bersih belum merata. Ketersediaan air di Desa
Waturaka masih mengandalkan dari sumber mata air pegunungan. Fasilitas dan layanan
khusus untuk disabilitas dan lansia juga belum tersedia.

4. Masyarakat dan Lingkungan, Kelembagaan dan Pemasaran


Desa Waturaka juga mengedepankan nilai-nilai budaya, lewat membangun relasi
bersama masyarakat setempat untuk pengunjung. Termasuk di dalamnya, pengembangan
homestay milik masyarakat. CBT atau pariwisata berbasis masyarakat adalah konsep
pembangunan pariwisata dengan mengedepankan partisipasi dan peran aktif masyarakat,
yang berbasis konsep pariwisata ramah lingkungan. Suatu hal yang menarik dari
pariwisata berbasis masyarakat adalah kita menyuguhkan sebuah pengalaman interaksi
secara langusng antara pengunjung atau visitors dengan host atau tuan rumah, dengan
demikian akan mengutamakan pengalaman, memberikan kesempatan seluasnya kepada
wisatawan untuk mengalami hidup yang natural, original dengan masyarakat lokal.
Dengan CBT segenap potensi wisata dapat dimaksimalkan dan dikelola oleh 59
masyarakat. Masyarakat pun akan turut memelihara, menjaga, dan melestarikan apa yang
menjadi potensi mereka. Dengan demikian konsep CBT, dimulai dari bawah, dimana

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


masyarakat ikut merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi kegiatan. Bentuk CBT
tersebut melalui Pokdarwis (kelompok sadar wisata) desa wisata Waturaka.
Robertus Lele adalah salah satu warga masyarakat yang ikut dalam program ini. Sejak
Agustus 2015, juga membuka homestay. Menurutnya daripada tamu hanya datang
berkunjung sehari dan langsung pulang, lebih baik diajak sekalian berbaur dengan
masyarakat Waturaka. Misalnya melalui aktivitasmasak makanan lokal, diajak ke sawah
dan bermain dengan anak-anak dan ikut bekerja membangun rumah. Aktivitas yang tidak
ada di negara mereka menjadikan mereka senang dan terkesan.
Aloysius Jira Loi, Kepala Desa Waturaka pun mendukung program CBT ini.
Menurutnya, pertanian dan aktivitas keseharian masyarakat keduanya tidak dapat
dipisahkan dan dapat disandingkan dengan konsep pengembangan pariwisata.Dari pihak
turis yang berkunjung mereka pun turut menikmati wisata berbasis lingkungan dan
masyarakat.
Lewat Pokdarwis pula, Swisscontact membantu untuk penguatan kelembagaan dan
mendorong promosi pariwisata yang sebelumnya tidak bisa dilakukan oleh warga lokal.
Pokdarwis juga sudah melakukan finalisasi peraturan desa Waturaka tentang pengelolaan
wisata. Adapun Perdes ini merupakan yang pertamakalinya dibuat di desa Flores. Desa
Waturaka sendiri berturut-turut terpilih sebagai juara pertama Desa Wisata sekabupaten
Ende pada tahun 2014 dan 2015. Terdapat 15 homestay warga yang diperuntukkan sejak
desa ini dideklarasikan sebagai desa wisata. Di masing-masing homestay umumnya
terdapat dua kamar yang tersedia bagi wisatawan.
Partisipasi masyarakat juga terlihat dengan adanya kesukarelaan warga dalam
membebaskan tanah mereka dengan membuka jalan untuk dilalui pengunjung menuju
atraksi wisata seperti air terjun dan uap air panas.
Pada tahun 2016, promosi yang sudah dilakukan oleh Pokdarwis dalam
memperkenalkan Desa Waturaka dengan cara keliling wilayah Flores dengan
menyebarkan 1000 brosur mulai dari Sikka, Ende, hingga ke Labuan Bajo. Brosur
dititipkan di hotel-hotel, guide/travel agent, dan rental mobil.39 Selain itu, pemasaran hasil
agro bukan hanya dengan system langsung petik yang dilakukan oleh pengunjung, namun
petani stroberi juga sudah mulai memperkenalkan hasil panen stroberi mereka dengan 60
menyuplai ke 15 hotel di wilayah Kabupaten Sikka sebanyak 15kg/hari.

39
Hasil diskusi dengan Pokdarwis Waturaka di Kantor Desa Waturaka, pada tanggal 1 September 2016

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


Pemasaran melalui internet belum banyak dilakukan, karena para warga belum
banyak yang memahami cara kerja website resmi. Hingga saat ini, informasi mengenai
Desa Waturaka baru berupa blog yang dikelola oleh Pokdarwis sejak tahun 2015, dan
dapat diakses melalui: http://pokdarwiswaturaka.blogspot.co.id/. Namun, blog tersebut
belum banyak menampilkan atraksi wisata yang bisa dijual dan dinikmati oleh wisatawan.
Kendala dalam pengembangan pariwisata di Desa Waturaka yakni masih minimnya
pemahaman masyarakat sehingga pelu didampingi. Perlunya peran serta aktif dari
pemerintah daerah dalam mengembangkan desa-desa penyangga pariwisata di sekitar
kawasan Kelimutu, terutama Desa Waturaka.

4.1.3. Desa Umauya, Doka


Sekilas gambaran umum pariwisata Kabupaten Sikka, Maumere
Desa Umauya, Doka adalah sebuah desa di Kelurahan Bola, Kabupaten Sikka, NTT.
Kabupaten Sikka lebih dikenal dengan ibukotanya Maumere, yang memiliki kekayaan alam
belum terjamah. Kota ini dapat diraih dengan penerbangan dari Denpasar selama 2 jam
atau dari Kupang selama 1 jam melalui Bandara Frans Seda. Selain itu juga terdapat
Pelabuhan Maumere sebagai penunjang aktivitas ekonomi lainnya. Kota Maumere memiliki
wilayah yang cukup besar dan bisa disejajarkan dengan ibukota kabupaten yang cukup maju
di pulau Jawa.
Kabupaten Sikka sebagai salah satu Destinasi Pariwisata Nasional (DPN) dalam 2
Kawasan Strategis Pariwisata Nasional(KSPN) di Flores yaitu Komodo dan sekitarnya dan
Kelimutu dan sekitarnya. Dalam KSPN Kelimutu dan sekitarnya terdapat 2 Kawasan
Pengembangan Pariwisata Nasional (KPPN) yaitu Maumere-Sikka dan sekitarnya, Bajawa
dan sekitarnya.
Penataan Ruang bagi Kabupaten Sikka yang tercantum dalam PERDA Nomor 2
Tahun 2012 tentang RTRW Kabupaten Sikka Tahun 2012 – 2032 bertujuan untuk
mewujudkan ruang daerah sebagai pusat pertumbuhan berbasis perdagangan dan jasa,
industri pengolahan hasil pertanian dan pariwisata yang terintegrasi dan berkelanjutan.
Kecamatan Bola sebagai salah satu wilayah administratif dimana Desa Umauya, Doka
termasuk di dalamnya, dalam RTRW Kabupaten Sikka diperuntukkan sebagai kawasan 61
peruntukan pariwisata budaya dan kawasan permukiman perdesaan. Meskipun dalam RTRW
tersebut, Desa Umauya, Doka tidak disebutkan secara eksplisit, namun dari karakteristik

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


wilayah dan sosial dapat dikategorikan sebagai kawasan peruntukan pariwisata budaya dan
permukiman perdesaan.
Kabupaten Sikka masih dalam proses penyusunan Rancangan Perda tentang RIPPDA
Kabupaten Sikka. Dalam pengembangan pariwisata, peta perwilayahan pembangunan
kepariwisataan terdiri dari:
I. Kawasan Pariwisata Daerah
a. Kawasan kepulauan
b. Kawasan daratan
c. Kawasan pesisir utara
d. Kawasan pesisir selatan
II. Kawasan Strategis Pariwisata Kabupaten Sikka
1. Taman Laut Gugus Pulau Teluk Maumere
2. Kajowair-Umauta, Nelle-Nita, Egon-Blidit, Murusobe
3. Kawasan Alok, Kajuwulu dan sekitarnya, Waigete, Darat Pantai-Wailamung
4. Kawasan Koka, Sikka-Hokor
Dalam Rancangan RIPPARDA, tercantum sasaran Pembangunan Kepariwisataan Kabupaten
Sikka Tahun 2016 – 2030, sebagai berikut:
INDIKATOR KONDISI SAMPAI DENGAN 2030
TAHUN 2014 MODERAT OPTIMIS
Kunjungan Wisatawan Manca Negara ( Ribu ) 5.035 14.307 16.000
Kunjungan Wisatawan Nusantara ( Ribu ) 26.341 74.850 82.000
Rata-Rata Belanja Wisatawan Mancanegara ( Juta ) 3.500.000 15.004.000 16.504.000
Rata-Rata Belanja Wisatwan Nusantara ( Juta ) 2.800.000 7.113.000 7.824.000
PDRB sektor Jasa ( % ) 5,14 32,08 35,28
PDRB sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran (%) 4,86 13,99 15,37
Sumber: Rancangan Perda tentang RIPPARDA Kabupaten Sikka 2016 – 2030
Seiring dengan berkembangnya aktivitas wisata di Kabupaten Sikka, maka perkembangan
jumlah penginapan juga turut mengalami peningkatan. Berikut ini jumlah penginapan dan
hotel di Kabupaten Sikka hingga tahun 2015:
Tabel 4.4. Statistik Hotel dan Pariwisata Kabupaten Sikka, Tahun 2015
Uraian 2015
Jumlah rumah makan/restoran 55
Jumlah akomodasi hotel
Hotel 31
Kamar 530
Tempat Tidur 877 62
Tingkat penghunian kamar (persen)
Hotel bintang 16,12
Hotel non bintang 32,93
Sumber: situs web BPS Provinsi NTT dalam Statistik Daerah Kabupaten Sikka 2016

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


Berdasarkan tabel di atas jumlah di Kabupaten Sikka pada tahun 2015 sebanyak 31
hotel, dari jumlah tersebut jumlah kamar seluruhnya adalah 530 kamar. Sementara, jumlah
tempat tidur seluruhnya mencapai 877 tempat tidur.
Daya tarik wisata yang ada di Kabupaten Sikka terdiri dari wisata bawah laut (Pulau
Pemana, Pulau Pangabatang, Situs Selam Wairterang), wisata budaya (Tour de Flores,
Taruan Bebing-Hokor, Tari Hegong, Tenun ikat tradisional), wisata religi (Maria Bunda
Segala Bangsa-Nilo, Gereja Tua Sikka, Patung Kristus Raja, Wisug Fatima Lela), wisata
alam (Pantai Koka, Watukrus Bola, Pantai Kajuwulu), dan diving centre.
Maumere juga memiliki kuliner nusantara yang lezat, diantaranya Mage Wair,
merupakan sajian yang hampir sama dengan kuah asam. Selain itu, ada pula Wogi yang
berbahan dasar ikan teri merah yang hanya muncul di perairan daerah Paga dan sekitarnya
pada bulan Oktober hingga Desember. Ikan teri merah ini diawetkan dengan cara dicampur
garam. Kuliner ini paling nikmat bila dimakan dengan ubi atau pisang bakar.Bahkan
Maumere masih memiliki kuliner lainnya, seperti Uho Ai Pungan yang terbuat dari ubi kayu
kering, Lekun yang terbuat dari tepung beras ketan hitam, Lawar yang terbuat dari kelapa
parut, Filuyang terbuat dari tepung beras, dan masih banyak lagi lainnya.

Gambaran Umum Pariwisata di Desa Umauya, Doka


1. Daya tarik dan atraksi wisata
Desa Umauya, Doka menjadi salah satu contoh pembinaan desa wisata di Flores.
Awalnya atas bantuan penggagas pariwisata yaitu Kornelis Djawa, tahun 1997 Desa
Umauya, Doka mulai menggeliat. Kini sejak tahun 2010, Cletus Lopez, putra dari
Kornelis Djawa, terus menampilkan atraksi desa dan kearifan lokal dari sebuah kampung
di balik gunung ini. Tamu yang telah datang ke sini dari berbagai negara dan
menyaksikan sendiri kecantikan kain tenunannya. Kunjungan wisman lebih banyak
didominasi dari Eropa (Belanda, Jerman), Asia (Jepang), dan USA. Namun, jumlah
kunjungan wisatawan belum tercatat dengan baik.
Pengembangan wisata di Desa Umauya, Doka lebih banyak didominasi swadaya dari
masyarakat lokal. Pada tahun 2011, Cletus Lopez memiliki komitmen lisan dengan kapal 63
pesiar Orion dari Australia, bahwa mereka akan mendatangkan wisatawan karena jalur
yang ditempuh oleh kapal pesiar tersebut adalah destinasi Asia dan Bali sehingga akan

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


melalui Sumba, Alor, Kupang. Kapal Pesiar Orion dating 1 tahun sekali pada bulan Mei
atau Juni dengan membawa tamu sekitar 150 orang. Bukan hanya kapal pesiar, kapal
dalam bentuk ukuran yang lebih kecil seperti yacht sebanyak 7 kapal yang berlabuh di
Maumere dengan kendaraan sewa juga melakukan perjalanan ke Desa Umauya, Doka
pada sekitar Bulan Juli sebanyak 20 – 24 pengunjung.
Pada tahun 2012, LSM dari Swisscontact mendatangkan wisatawan dalam bentuk famtrip
travel-travel dari luar Flores untuk menjual atraksi wisata yang ada di Desa Umauya,
Doka. Namun belum ada bentuk pendampingan yang dilakukan oleh LSM termasuk
Swisscontact.

Gambar 4.14.
Cletus Lopez (Tokoh masyarakat/Penggiat Pariwisata Desa Umauya, Doka)
Sumber: Hasil observasi penelitian, 2016

Dengan rumah berjajar menghadap sebuah jalan penghubung antardesa, Desa Umauya,
Doka tidak begitu terlihat seperti perkampungan tradisional lainnya. Dahulu rumah-
rumah yang ada di Desa Umauya, Doka menggunakan atap yang terbuat dari alang-alang
dan bilik bambu, namun sejak 25 tahun yang lalu karena ada peristiwa gempa bumi
(tahun 1992) banyak rumah yang mengalami perubahan. Sekarang rumah lebih banyak
yang menggunakan atap dari seng karena biaya yang lebih murah. Beberapa rumah sudah
terbaur dengan modernitas kehidupan di Maumere, namun demikian masyarakatnya
masih gigih untuk hidup dengan mempertahankan tradisi leluhur. Berikut ini atraksi
wisata yang dapat dinikmati di Desa Umauya, Doka:
- Tenun ikat tradisional 64

Meskipun sudah sedikit bercampur dengan modernitas namun dalam hal tradisi,
masyarakat Desa Umauya, Doka masih mempertahankannya. Tenun ikat tradisional

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


yang dibuat warga setempat khususnya para perempuan dengan menggunakan warna
alami dan corak yang khas. Setiap proses pembuatan dapat menjadi atraksi wisata,
mulai dari pemintalan benang, pewarnaan, hingga menenun. Semua dilakukan
dengan cara tradisional. Kain ikat yang diproduksi masyarakat Desa Umauya, Doka
termasuk yang terbaik karena memiliki ciri khas desainnya. Semua yang tertenun di
antara lintangan benang menjadi perlambang penghormatan kepada alam dan Tuhan
yang di sembah. Jenismotif yang dibuat terdiri dari dua macam, yaitu motif tua
(seperti motif naga, cicak, tokek, burung) dan motif baru (biasanya melihat atau
mencontoh dari motif luar). Pewarnaan juga dilakukan dengan menggunakan bahan
dasar pewarna dari saripati tumbuhan alami. Pewarnaan alami untuk kain
menggunakan bahan alam seperti mengkudu, asam, loba, indigo, dan lain-lain, semua
bahan ini berasal dari hutan yang ada diperbukitan sekitar Desa Umauya, Doka.
Tenun ikat yang telah selesai akan dipajang disebuah batang bambu yang memanjang
sehingga para wisatawan dapat melihat dan memilih langsung jika berminat untuk
membeli. Harga yang ditawarkan bervariasi sesuai jenis kain dan ukurannya, kisaran
harga antara 250 ribu – 2 juta, harga yang cukup sesuai, melihat bagaimana rumit
serta panjangnya proses pembuatan dari benang hingga menjadi kain.

Gambar 4.15. Proses Tenun Ikat Tradisional Desa Umauya, Doka


Sumber: Hasil observasi penelitian, tahun 2016

- Tarian tradisional
Setiap pengunjung yang datang ke Desa Umauya, Doka dapat merasakan kehangatan
dan keramahan masyarakatnya, hal ini tercermin dari setiap penyambutan warga
untuk wisatawan berupa tarian penyambutan, hidangan makanan dan minuman khas
65
dan juga pertunjukan pembuatan kain ikat yang menjadi andalan Desa Umauya,
Doka. Sudah menjadi kebiasaan warga Desa Umauya, Doka untuk menyambut tamu
yang datang dengan tarian penyambutan. Tarian Tuare Tala’u adalah tarian yang

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


biasanya dilakukan sebagai bentuk penyambutan. Awalnya, zaman dulu tarian Tuare
Tala’u hanya dilaksanakan untuk menyambut prajurit yang pulang dari peperangan
dalam keadaan menang, namun kini tarian tersebut dilaksanakan untuk menyambut
kedatangan tamu.
Tarian ini dilakukan oleh beberapa orang, lima orang memegang sebatang bambu
kemudian beberapa wanita mengelilinginya sambil menari sambil mengepit pisau
kayu yang diikat dengan bulu ekor kuda serta kain warna-warni, pada jemari mereka
terdapat rangkaian bunga dan sapu tangan yang diayunkan sesuai musik tradisional
dan tabuhan gendang yang dimainkan. Pada saat bambu ditegakkan, seorang prajurit
akan menaiki bambu tersebut, ia kemudian berputar-putar menari. Sementara yang
lainnya, menyangga bambu agar tetap kokoh. Setiap penari menggunakan kain tenun
ikat yang berwarna hitam.
Tenun ikat yang digunakan oleh penari perempuan ini mempunyai makna bahwa jika
pinggir kain hitam yang digunakan lebih besar berarti perempuan tersebut sudah
tidak produktif (menopause), lain halnya dengan perempuan yang mengenakan kain
hitam dengan pinggir hitam yang lebih kecil berarti masih produktif.

Gambar 4.16. Tarian Tradisioanal Masyarakat Desa Umauya, Doka


Sumber: Hasil Observasi Penelitian, tahun 2016
- Kuliner
Seperti tradisi di berbagai kampung lainnya di Flores, tamu yang datang ke sebuah
desa biasanya disuguhi sajian simbolis pertanda selamat datang berupa sirih dan
tembakau ataupun pinang. Selain itu, persembahan berupa penyajian kue yang
terbuat dari umbi-umbian (leku) juga lazim diberikan kepada tamu dipadu tuak atau
arak dari pohon aren atau lontar yang disebut sopi.
Pinang yang masih berupa buah berukuran kecil diambil serabutnya di bawah kulit 66
luar yang akan terus dikunyah sehingga lembut. Caranya, kupas bagian terluar buah
pinang yang hijau dengan gigi seri atau gigi depan sedikit demi sedikit karena bila

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


menggigitnya terlalu dalam maka pastilah sulit dikupas. Setelah agak dalam dan
menemukan serabutnya lalu kumpulkan serabut itu di mulut dan kunyah hingga
lembut.
Selagi mengunyah serabut pinang, makanlah pula batang sirih muda yang sudah
diberi kapur barus berwarna putih. Simpan sirih dan kapur di bagian gigi geraham.
Mengunyah semua ramuan ini lama kelamaan akan memberikan rasa segar dan
menghasilkan warna merah dari percampuran zat kimia alami yang berasal dari sirih
dan kapur. Ludahkan air liur yang berlebih dan berwarna merah bila sudah terasa
kurang nyaman. Tentunya ini bukan gigitan termanis di dunia namun pengalamannya
mungkin adalah hal termanis patut dirasakan.
Tuak atau sopi dibuat dari bahan alami yaitu pohon lontar atau aren. Berbeda dengan
arak (juga disebut moke dalam bahasa lokal), tuak tidak begitu banyak mengandung
alkohol walau keduanya dapat membuat mabuk bila dikonsumsi berlebih. Dalam
penyambutan tamu, tuak ditawarkan ke hadapan tamu dalam cangkir yang terbuat
dari tempurung kelapa atau tanah liat.

Gambar 4.17. Kuliner Tradisional Masyarakat Desa Umauya, Doka


Sumber: Hasil observasi penelitian, tahun 2016

Dari ketiga atraksi wisata yang ada di Desa Umauya, Doka, dijual dengan berupa paket.
Paket yang ditawarkan tergantung dari jumlah orang yang berkunjung. Misalnya paket 1
– 5 orang seharga Rp. 1.500.000,-, paket 6 – 10 orang seharga Rp. 2.000.000,- dan paket
≥25 orang dapat nego (harga sesuai kelipatan Rp. 500.000,-).

67
2. Aksesibilitas
Dari Maumere, kota di tepi utara Pulau Flores yang terpisah hanya 20 kilometer saja dari
tepi selatannya, perjalanan di atas kendaraan roda empat menuju Desa Umauya, Doka

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


menyajikan pemandangan celah bukit menghijau sangat menawan. Perjalanan penuh
kelokan harus ditempuh menyusuri jalan menaiki bukit yang menjadi ranah pepohonan
seperti petai cina, kakao, kopra, kemiri, dan jambu mete. Kondisi jalan antara utara dan
selatan di Kabupaten Sikka yang dikenal sebagai Kabupaten Seribu Nyiur terhitung baik
sekali. Akan tetapi,karena lebar jalan yang sempit dan berkelok maka laju kendaraan
tidak bisa berkecepatan lebih dari 40 km per jam.
Transportasi
Desa Umauya, Doka dapat ditempuh dengan kendaraan roda dua atau roda empat, baik
dengan sewa kendaraan, jasa travel ataupun sewa ojek motor. Menyusuri jalan utama dari
Maumere menuju Waiara maka perlu bertanya kepada penduduk sekitar arah jalan ke
selatan menuju Desa Umauya, Doka.Bila berpetualang dengan bantuan seorang pemandu
maka akan lebih mudah menemukannya. Bila berpetualang sendiri tak usah khawatir
karena setiap orang di siniumumnya mengerti Bahasa Indonesia dengan baik. Angkot
berwarna oranye akan menandai perjalanan menuju Desa Umauya, Doka yang
mengesankan.

3. Amenitas
- Hotel dan Restoran
Karena lokasi Desa Umauya, Doka tidak terlalu jauh dari Kota Maumere maka
wisatawan lebih banyak memilih menginap di Maumere yang lebih lengkap dengan
berbagai fasilitas dan akomodasi. Belum tersedia homestay maupun guest house di
Desa Umauya, Doka. Demikian pula untuk restoran belum tersedia.
- Fasilitas perbankan dan ATM
Fasilitas umum seperti Bank dan ATM belum ada di Desa Umauya, Doka. Fasilitas
perbankan dan ATM lebih banyak tersedia di Kota Maumere.
- Fasilitas kesehatan
Tidak ada fasilitas kesehatan di Desa Umauya, Doka, yang terdekat hanya ada di
Kecamatan Bola dimana Jumlah fasilitas kesehatan sebanyak 13 fasilitas, yaitu 1
puskesmas di Desa Bola, 5 pustu di hampir semua desa kecuali Desa Bola 1 KIA di
Desa Bola,4 poskesdes masingmasing di Desa Wolonwalu, Wolokoli , umauta dan 68
Ipir dan 2 polindes di Desa Hokor dan Bola. Sedangkan jumlah posyandu sebanyak
21 unit. Posyandu ada di setiap desa, sekitar 3 sampai 4 posyandu tiap desa. Jumlah

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


tenaga kesehatan di Kecamatan Bola Tahun 2015 sebanyak 50 orang, yaitu 2 dokter
, 27 mantri /bidan / perawat, 3 tenaga kesehatan lainnya, 6 Tenaga Non Kesehatan
serta 12 Dukun Terlatih40.
- Fasilitas penunjang lainnya
Fasilitas penunjang lainnya seperti toilet bersih, tempat sampah, dan lahan parkir
belum banyak tersedia di setiap tempat wisata di sekitar Desa Umauya, Doka.
Fasilitas listrik sudah tersedia, hanya saja fasilitas air minum bersih belum merata.
Ketersediaan air bersih masyarakat Desa Umauya, Doka masih mengandalkan air
tadah hujan atau tanki air bersih dari Hotel Seaworld. Setiap pengiriman air bersih
sekitar 1 tanki = 5000 liter air seharga Rp. 250.000,- .
Jaringan telekomunikasi yang ada di Desa Umauya, Doka hanya jaringan selular dari
Telkmosel yaitu Simpati. Sementara jaringan telekomunikasi lainnya belum ada.
Demikian pula untuk jaringan televisi, masyarakat menggunakan jaringan parabola.
Fasilitas dan layanan khusus untuk disabilitas dan lansia juga belum tersedia di Desa
Umauya, Doka.

4. Masyarakat dan Lingkungan, Kelembagaan dan Pemasaran


Desa Umauya, Doka menyimpan keindahan alam serta budaya yang sangat menarik
dijadikan objek wisata. Masyarakat di Desa Umauya, Doka masih memegang teguh
keyakinan serta adat tradisi leluhur. Di Kabupaten Sikka, termasuk di Desa Umauya,
Doka juga masih ditemukan kearifan lokal yang sangat kental dalam menjaga
lingkungannya. Sistem kekerabatan dalam masyarakat Desa Umauya, Doka sangat kuat.
Terdapat beberapa kendala dalam pengembangan wisata berbasis perdesaan di Desa
Umauya, Doka, yaitu:
a) Kondisi jalan dari Maumere yang sempit sehingga tidak memungkinkann bagi
bus besar masuk ke Desa Umauya, Doka.
b) Pembinaan bagi masyarakat terkait pariwisata dari pemerintah daerah masih
minim.
c) Kurangnya fasilitas penunjang lainnya seperti: sentra sanggar seni (tari dan
tenun) untuk sarana belajar dan regenerasi. 69

40
Sumber: BPS Kabupaten Sikka, Statistik Daerah Kecamatan Bola, Kabupaten Sikka Tahun 2016

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


d) Kurangnya sarana promosi dari pemerintah desa, sehingga masyarakat Desa
Umauya, Doka hanya mengandalkan sms atau telepon dalam melakukan
promosi. Bahkan dalam kebijakan/program yang ada di Pemda setempat, Desa
Umauya, Doka belum dikategorikan sebagai desa wisata.

4.2. PEMETAAN STAKEHOLDER DI 3 (TIGA) DESA WISATA: PERAN DAN


RELASI

Pengembangan wisata perdesaan sejalan dengan semangat otonomi daerah yang


memberikan keluasan bagi pemerintah daerah untuk mengatur sendiri kepentingan
daerahnya. Namun, tidak semua wisata perdesaan yang dibentuk dapat maju dan berkembang
dengan baik. Banyak pula aktivitas wisata perdesaan, seperti desa wisata belum mampu
mengembangkan masyarakatnya. Kegagalan tersebut dapat disebabkan oleh banyak faktor,
seperti identifikasi potensi yang kurang tepat, keterbatasan sumber daya, kendala promosi,
serta yang akan menjadi perhatian pada sub ini adalah hubungan yang kurang baik antara
stakeholder dalam proses pengembangan wisata perdesaan.
Kajian yang memfokuskan pada tiga lokasi desa wisata, yaitu desa Dokar, Waturaka,
dan Tololela. Stakeholder yang berperan dalam pengembangan wisata di tiga daerah tersebut
cukup beragam, namun ada kecenderungan menonjolnya NGO dibandingkan dengan
stakeholder lainnya. Di sisi lanin, masyarakat akan berperan lebih apabila ada sosialiasi
terhadap kesadaran pengembangan desa wisata itu sendiri. Dimana peran masyarakat sangat
dibutuhkan sebagai pelaku utama dalam seluruh tahapan perencanaan, pelaksanaan,
monitoring dan evaluasi kegiatan. Walaupun demikian, dukungan pemerintah daerah tetap
diperlukan terutama dari sisi finansial dan regulasi.
NGO, pemerintah daerah, dan masyarakat merupakan stakeholder utama atau primer.
Peran dari mereka akan menentukan pengembangan aktivitas wisata di desa tertentu. Apa
saja dan bagaimana peran yang dilakukan oleh stakeholder utama ini akan dijelaskan lebih
lanjut dalam pembahasan. Selain stakeholder utama, ada juga stakeholder pendukung yang
juga turut mendukung aktivitas wisata perdesaan. Dalam pembahasan juga akan dijelaskan
apakah tiap stakeholder utama sudah menjalankan perannya sesuai dengan kapasitasnya
70
masing-masing serta untuk mendeskripsikan relasi antar stakeholder kunci.

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


4.2.1. Kampung Tololela, Desa Manubhara, Kecamatan Inerie, Kabupaten Ngada

Dinas Pariwisata memperkenalkan Tololela sebagai salah satu desa wisata di kawasan
Jerebuu, bersama Kampung adat Bena dan Gurusina. Tahun 2014, NGO bernama Indonesian
Ecotourism Network (Indecon) masuk ke Tololea. Indecon membantu masyarakat Tololela
dalam menjadikan kampung adat mereka sebagai destinasi wisata. Indecon melakukan
pelatihan-pelathian tentang pariwisata berkelanjutan, kelembagaan, guide, fasilitas untuk
homestay, dan juga dana teknis. Untuk saat ini, pengelolaan wisata di Tololela dilakukan oleh
Lembaga Pengembangan Pariwisata Tololela (LPPT). Potensi yang terdapat di Tololela
selain rumah adatnya adalah seni musik bamberdoom yang dikelola oleh sanggar, tenun, dan
anyaman.

Identifikasi dan Peran Stakeholder

NO STAKEHOLDER PERAN
1 Pemerintah Desa - Membantu kegiatan festival
- Membuat Perdes tentang pengembanagn wisata,
misalnya pungutan 20 persen
2 Dinas Perhubungan, Pariwisata, dan - Pak Markus (kelapa desa), ketua lembaga,
Komunikasi Informatika Kabupaten Ngada anggota pemain musik bombardom, ke Jakarta
untuk mengikuti acara budaya Ngada dan
sarasehan di TMII.
- Membuat brosur dengan swisscontact
- Membiayai event-event di Desa Wisata, etc
3 Masyarakat - Membuat sanggar kesenian
- Membuat alat musin bamberdom dibagi
keseluruh desa (gotong royong, partisipasi)
- Membuat tenun untuk digunakan sendiri dan
dijual
- Membuat souvenir (anyaman)
4 Indecon/Indonesian Ecotourism Network - Pelatihan yang dilakukan di Kampung adat,
(NGO), kantor nya di Kota Bajawa kecamatan, kota, memberikan Ilmu tentang
(alamatnya berdekatan dengan Hotel pariwisata, pariwisata keberlanjutan,
Nusantara 1), kalau di jakarta di daerah kelembagaan, pemanduan, dana (untuk
Tebet. pengembangan lembaga, festival),
Pak Ari (Indecon) memberikan buku tamu,
- Studi banding, yang diwakili oleh
kelembagaan (ke bogor, manggarai)
- Memberikan fasilitas untuk peralatan
homestay (bantal, sleeping bag, karpet,
kasur dll), peralatan masak juga
- Melakukan evaluasi dengn tidak ada jadwal
tertentu
- Adanya AD/ART
5 Swisscontact - Membuat brosur 71
6 Pemda Ngada (Bupati) - Dana dan beras untuk kegiatan festival
bombardom
7 Kementerian Pariwisata - Transportasi ketika ada festival Ngada di
TMII (21 orang dari Tololela: pemain

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


suling, 4 dari lembaga, total ada 30 lebih)
8 Aktor (kepala lembaga merelakan -
rumahnya untuk tempat pertemuan), anak2
Tololela di luar juga membantu,

Relasi Stakeholder
Relasi stakeholder di Tololela dapat dikatakan cukup baik, namun fenomana relasi antar desa
yang berdekatan menunjukkan kurangnya kerjasama dalam pengembangan desa wisata.

4.2.2. Desa Waturaka, Kecamatan Kelimutu Kabupaten Ende, NTT


Potensi besar yang dimiliki oleh Waturaka sebagai destinasi wisata, menjadi alasan
bagi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ende untuk memperkenalkan konsep
sadar wisata kepada masayarakat di daerah tersebut pada tahun 2009. Saat itu memang,
Waturaka masih setingkat Dusun dan tergabung secara administratif dengan Desa Konara.
Pada tahun 2010, Pemerintah daerah Ende memberikan status Waturaka sebagai desa
persiapan. Potensi alam yang ada di desa Waturaka, mendorong wisatawan untuk datang
berkunjung. Bahkan hampir tiap malam ada tamu yang menginap di desa, walaupun kamar
72
seadanya dan belum dikatakan layak, namun banyak tamu yang menginap.
Potensi alam Desa Waturaka yang dapat dijadikan sebagai tempat wisata, antara lain:
agro, air terjun, dan pemandian air panas. Desa yang secara definitif terbentuk pada tanggal 8

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


Agustus 2011 ini, memiliki potensi alam yang besar sehingga ini menjadi faktor pendorong
sebuah NGO bernama Swisscontact terlibat dalam pengembangan desa pada tahun 2012.
Melihat potensi yang ada, Swisscontact memfokuskan pada pengembangan agrowisata di
Waturaka. NGO tersebut banyak membantu dalam membenahi fasilitas desa dan dukungan
berupa pelatihan-pelatihan dalam mempersiapkan Waturaka sebagai desa agrowisata. Salah
satu program yang diadakan oleh Swisscontact adalah Community Based Tourism (CBT).
Menurut Garrod (2001:4), terdapat dua pendekatan berkaitan dengan penerapan
prinsip-prinsip perencanaan dalam konteks pariwisata. Pendekatan pertama yang cenderung
dikaitkan dengan sistem perencanaan formal sangat menekankan pada keuntungan potensial
dari ekowisata. Pendekatan ke dua, cenderung dikaitkan dengan istilah perencanaan yang
partisipatif yang lebih concern dengan ketentuan dan pengaturan yang lebih seimbang antara
pembangunanan dan perencanaan terkendali. Pendekatan ini lebih menekankan pada
kepekaan terhadap lingkungan alam dalam dampak pembangunan ekowisata.
Salah satu bentuk perencanaan yang partisipatif dalam pembangunan pariwisata
adalah dengan menerapkan Community Based Tourism (CBT) sebagai pendekatan
pembangunan. Definisi CBT, yaitu: 1) bentuk pariwisata yang memberikan kesempatan
kepada masyarakat lokal untuk mengontrol dan terlibat dalam manajemen dan
pembangunan pariwisata, 2) masyarakat yang tidak terlibat langsung dalam usaha-usaha
pariwisata juga mendapat keuntungan, 3) menuntut pemberdayaan secara politis dan
demokratisasi dan distribusi keuntungan kepada komunitas yang kurang beruntung di
pedesaan. Dengan demikian dalam pandangan Hausler, CBT merupakan suatu pendekatan
pembangunan pariwisata yang menekankan pada masyarakat lokal (baik yang terlibat
langsung dalam industri pariwisata maupun tidak) dalam bentuk memberikan kesempatan
(akses) dalam manajemen dan pembangunan pariwista yang berujung pada pemberdayaan
politis melalui kehidupan yang lebih demokratis, termasuk dalam pembagian keuntungan dari
kegiatan pariwisata yang lebih adil bagi masyarakat lokal. Hauler menyampaikan gagasan
tersebut sebagai wujud perhatian yang kritis pada pembangunan pariwisata yang seringkali
mengabaikan hak masyarakat lokal di daerah tujuan wisata. Suansri (2003:14)
mendefinisikan CBT sebagai pariwisata yang memperhitungkan aspek keberlanjutan
lingkungan, sosial dan budaya. CBT merupakan alat pembangunan komunitas dan 73
konservasi lingkungan. Atau dengan kata lain CBT merupakan alat untuk mewujudkan
pembangunan pariwisata yang berkelanjutan (Nurhidayati, 1987).

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


Pada tahun 2012, kelompok sanggar mengikuti festival di Mataram atas dukungan
Swisscontact. Juga NGO tesebut membangu sebagian masyarakat untuk mengikuti studi
banding tentang tanaman strawbery di Bedugul Bali. Tidak hanya itu, pelatihan-pelatihan
juga dilakukan seperti pelatihan bahasa Inggris, pengelolaan homestay, pelatihan masakan
lokal, dan lain-lain. Banyak perubahan yang terjadi setelah Swisscontact masuk ke Wataruka,
diantaranya kemampuan masyarakat dalam pengelolaan tanaman padi dan strawberry yang
semakin meningkat.
Pada tahun 2013, saran-saran pengembangan wisata dalam bentuk sosialisasi dari
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dan dukungan Program CBT dari Swisscontact,
mendorong masyarakat desa untuk membentuk Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis).
Peleburan antara program Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dengan program CBT
Swisscontact karena tujuan dari keduanya memiliki kesamaan. Pokdarwis menjadi lembaga
satu-satunya yang mengatur pengelolaan wisata di Desa Waturaka. Dengan adanya
Pokdarwis, maka pengelolaan wisata tidak dilakukan secara perorangan atau keluarga.
Namun, menjadi satu kelembagaan dimana didalamnya terdapat unsur masyarakat, ketua
adat, dan pemerintah desa. Keberadaan Pokdarwis secara tidak langsung mampu
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dari aktivitas misalnya dari aktivitas sanggar,
homestay, dan air terjun. Ada pembagian presentasi yang telah diatur dalam pelaksanaan
aktivitas wisata dibawah pengawasan Pokdarwis, sehingga masyarakat tidak ada yang merasa
dirugikan.
Pada tahun 2014 dan 2015, Dinas kebudayaan dan pariwisata Kabupaten mengadakan
kompetisi desa pariwisata, dan Waturaka selalu keluar menjadi pemenang. Untuk tahun 2016,
Dinas kabupaten memberikan rekomendasi waturaka untuk mewakili kabupaten dalam
kompetisi desa pariwisata di tingkat provinsi.
Pokdarwis melakukan promosi hasil tanaman desa mereka salah satunya melalui
brosur-brosur yang didanai oleh Swisscontact. Mereka saat ini, sedang fokus
mempromosikan tanaman sayuran dan strawberry yang mereka hasilkan ke hotel-hotel.
Dalam pelaksanaannya, mereka mengalami banyak kendala, misalnya saja petani Waturaka
harus mampu menyediakan buah strawberry sebanyak 5 kg per hari untuk 15 hotel yang
berada di Kabupaten Sikka. Selain melalui, brosur, mereka juga mempromosikan desa 74
melalui media sosial, seperti blog dan web. Di bawah ini, akan ditampilkan identifikasi

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


stakholder dan peran mereka dalam pengembangan desa wisata di Waturaka dalam bentuk
matrik.

Identifikasi dan Peran Stekeholder Desa Waturaka


NO STAKEHOLDER PERAN
1 Dinas Kebudayaan dan Pariwisata - Membuat kejuaraan desa wisata terbaik, dimana
Kabupaten Ende Waturaka menjadi pemenangnya
- Memberikan pendampingan dan sosialisasi sadar wisata
kepada masyarakat Waturaka
- Memberikan bantuan alat musik (waktu bergabung
dengan Desa Koanara)
2 Swisscontact - Membenahi objek-objek wisata di Waturaka
- Memberikan fasilitas berupa studi banding penanaman
strawbery di Bedugul Bali
- Mengadakan pelatihan bahasa Inggris untuk masyarakat,
khususnya bagi pemandu,
- Mengadakan pelatihan pengelolaan homestay,
- Mengadakan pelatihan masakan lokal
- Mengadakan studi banding untuk sanggar ke Kabupaten
Sikka
- Mendatangkan pelatih musik
3 Masyarakat (Kelompok Sadar - Membuat sanggar kesenian
Wisata/Pokdarwis) - Membuat alat musin bamberdom dibagi keseluruh desa
(gotong royong, partisipasi)
- Membuat tenun untuk digunakan sendiri dan dijual
- Membuat souvenir (anyaman)
4 Kementerian Pariwisata - PNPM Mandiri

75

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


Relasi Stakeholder di Desa Waturaka
Relasi antarstakeholder dalam pengembangan desa Waturaka secara umum hanya dilakukan
antara Swisscontact, Pokdarwis, dan pemerintah daerah terutama Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Kabupaten Ende. Pokdarwis sendiri merupakan hasil dari relasi antara masyarakat,
pemerintah daerah, dan Swisscontact, yang sama-sama ingin bertujuan memajukan wisata di
Waturaka. Dalam perjalanannya, pengelolaan lebih banyak dilakukan pada tingkat
Pokdarwis. Pada tingkat masyarakat, relasi yang terjalin dapat dikatakan saling mendukung
dalam pengembangan wisata, namun kendala dalam bidang persamaan hak pendapatan
kadang muncul di tingkat keluarga. Kendala-kendala tersebut menjadi pembahasan rutin
dalam pertemuan-pertemuan Pokdarwis.

4.2.3. Desa Umauya, Doka


Cletus adalah tokoh masyarakat Dokar yang memiliki peran penting dalam pengelolaan
wisata di dusun tersebut. Cletus membentuk sanggar tari tradisi dan tenun ikat sebagai bentuk
pengembangan potensi wisata di Dokar. Pada tahun 2011, Dokar dikunjungi Kapal Pesiar
Orion yang berkomiten untuk mendatangi Dokar tiap tahun. Wisatawan yang berkunjung
lebih banyak berasal dari mancanegara. Potensi yang terdapat di Dokar adalah keunikan tari
tradisinya dan pembuatan tenun yang masih terbuat dari bahan alami.
Identifikasi dan Peran Stakeholder
NO STAKEHOLDER PERAN
1 Tokoh desa (Cletus) - Mengembangkan sanggar tari
- Mengembangkan tenun ikat
2 Swisscontact - Mengkoordinasi turis datang ke Dokar

3 Pemda - Sosialisasi
- Mengajak pameran (namun belum
maksimal)
4 Penginapan, travel - Sosialisasi
- Mengajak tampil dalam event-event
76

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


Relasi Stakeholder
Relasi stakeholder di Dokar berlangsung dalam tataran yang kurang baik, terutama antara
tokoh Cletus dan Pemda. Pemda belum cukup serius untuk mengembangkan desa wisata
Dokar. Pihak yang banyak membantu dalam pengembangan masyarakat di desa wisata Dokar
lebih mengarah pada Cletus itu sendiri yang bekerja sama dengan agen travel dan penginapan
dalam hal sosialisasi dan ajakan untuk mengikuti event-event.

ANALISIS PERAN STAKEHOLDER


NGO
Dari tiga lokasi desa wisata yang menjadi sampel penelitian, nampaknya peran NGO begitu
besar dibandingkan dengan stakeholder yang lain. Di waturaka dan Tololela, NGO yang
notabene berasal dari negara lain, begitu concern dalam pengembangan desa wisata termasuk
pada pengembangan SDM nya.
Dominannya peran NGO secara tidak langsung menunjukkan lemahnya peran pemda dalam
mengembangkan wisata perdesaaan. Persoalan klasik terkait anggaran selalu muncul sebagai
alasan dalam tiap pertemuan. Padahal paradigma wisata perdesaan adalah memanfaatkan
potensi desa daripada hanya berfokus pada pembangunan infrastruktur. Dengan kata lain
alasan anggaran bukanlah menjadi alasan penting sehingga wisata perdesaan di desa-desa
potensial menjadi terbengkalai. Contoh:

Pemda
Pengembangan sdm merupakan hal penting dalam konsep pariwisata perdesaan, karena
masyarakat desa lah yang nantinya akan menjadi stakeholder utama dalam penataan dan
pengembangan potensi desa. Dalam hal ini pemda bisa memberikan pelatihan-pelatihan yang
berhubungan dengan kebutuhan desa sebagai destinasi wisata. Misalnya pelatihan pemandu
(guide) termasuk di dalamnya pelatihan bahasa inggris, karena pengunjung yang menjalankan
konsep rural tourism banyak berasal dari luar negeri (data). Pelatihan homestay, bagaimana
masyarakat menata tempat tinggal mereka untuk dijadikan sebagai tempat menginap
pengunjung.
Namun memang kita perlu melakukan social mapping, apa potensi yang ada di desa tersebut 77
dan bagaimana mengembangkannya. Ketiga lokasi yang dikunjungi bisa juga dijadikan best
practices apabila sudah menjalankan konsep rural tourism dengan baik atau dapat kita

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


evaluasi apabila masih ada kekurangan dan kendala. Jangan sampai memetakan potensi yang
salah, sehingga proses wisata tidak dapat berjalan dengan baik, misalnya di waturaka identik
dengan agro nya, maka pelatihan terhadap masyarakat bagaimana membudidayakan jenis
buah, sayuran, dengan baik menjadi prioritas dari pengembangan potensi daerah tersebut.
Atau di Dokar yang identik dengan tari tradisional dan tenun ikatnya, maka pelatihan untuk
peningkatan keahlian di dua mata budaya itu yang harus dikembangkan. Mencoba fokus akan
menuntun pada arah kepada one village one product, sehingga masing-masing desa memiliki
perbedaannya dan menonjolkan potensi wisata yang unik.

Masyarakat
Peningkatan terhadap pemahaman masyarakat dalam mengembangkan desa wisata tentu
sudah menjadi bagian dari banyak pembahasan pelaku wisata, termasuk wisata perdesaan ini.
Namun membangun kesadaran masyarakat tentunya tidak mudah, karena banyak faktor-
faktor di lapangan yang menghambat kesadaran itu sendiri. Misalnya dalam studi kasus yang
kami pelajari, dimana ditemukan desa wisata yang berdekatan menampilkan relasi antar desa
yang kurang mendukung dalam mendukung konsep wisata perdesaan. Pemahaman terhadap
pentingnya integritas dan kerjasama antar desa dalam suatu kawasan terkait dengan
pengembangan wisata merupakan prioritas penting. Ini terkait dalam hubungannya dengan
penyerataan kesejahteraan masyarakat diantara desa-desa tersebut, sehingga tidak ada desa
yang merasakan bahwa masyarakatnya tidak mendapatkan dampak dari pengembangan
wisata di kawasan mereka.
Sebagai contoh, dalam suatu desa wisata yang sudah cukup dikenal oleh wisatawan biasanya
akan menjadi prioritas dalam aspek promosi dan bantuan, daripada desa-desa pendukungnya
yang berada di sekitarnya yang hanya berperan sebagai “pintu masuk” para pengunjung.
Apabila pemerintah atau swasta tidak memikirkan desa pendukung tersebut, maka bisa saja
masyarakatnya akan “menutup” pintu masuk, sehingga akan menghambat pengembangan
desa wisata yang utama. Atau bukan hanya relasi antara desa pendukung dan desa utama,
namun juga antara desa utama yang sama-sama cukup dikenal oleh pengunjung. Secara tidak
langsung, lokasi yang berdekatan mendukung persaingan diantara desa tersebut. Sehingga
dalam menciptakan satu kawasan wisata perdesaan yang terdiri dari beberapa desa akan 78
mengalami kendala dari persaingan antar masyarakatnya sendiri.

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


KELEMBAGAAN
Atas bantuan Pemda, -termasuk Dinas Pariwisata- dan NGO, masyarakat terbangun atas
kesadaran potensi desa mereka sebagai destinasi wisata. Kesadaran tersebut memiliki tingkat
yang berbeda-beda, salah satu bentuk kesadaran yang cukup tinggi adalah terbentuknya
lembaga yang khusus mengurusi pengelolaan wisata di desa tempat mereka tinggal.
Kelembagaan yang ditemui dari kajian ini adalah Pokdarwis (Kelompok Sadar wisata) di
Waturaka dan LPPT (Lembaga Pengembangan Pariwisata Tololela), sedangkan di Dokar,
masih dipromotori oleh aktor masyarakat yang concern di bidang pengembangan wisata.
Lembaga dimaksud pada akhirnya menjadi stakeholder yang berperan penting sebagai corong
pengelolaan rural tourism.

PEMANFAATAN TEKNOLOGI DAN INFORMASI


Salah satu kendala yang dihadapi dalam pengembangan wisata perdesaan adalah
pengembangan promosi, apalagi ditambah dengan kondisi lokasi desa wisata yang cukup jauh
dari pusat kota. Di salah satu lokasi desa yang kami kunjungi, lembaga pengelolaan desa
wisata nya telah memanfaatkan sarana internet untuk memperkenalkan desa mereka kepada
masyarakat dengan membuat web dan blog. Kemampuan terhadap pembuatan promosi
melalui internet dilakukan oleh mereka generasi muda yang lebih familiar. Artinya dalam
suatu kelembagaan pengelola desa wisata perlu membentuk suatu divisi promosi melalui
akses internet yang dikelola oleh mereka yang familiar terhadao teknologi tersebut.
Penggunaan brosur dan pamflet nampaknya sudah kurang efektif di zaman ini. Pemda
maupun swasta juga dapat memfasilitasi dengan bantuan komputer kepada desa-desa
potensial yang dapat mengembangan wisata perdesaan.

KUNCINYA ADALAH KOORDINASI DAN KERJA SAMA


Dari semua aspek penting dalam pengembangan wisata perdesaan, aspek koordinasi dan kerja
sama menjadi paling penting, bukan hanya antara pemda dengan masyarakat, swasta dengan
masyarakat, pemda dengan swasta, tapi juga antar pemda dan antar masyarakat. Dinas
pariwisata daerah tidak akan bisa mampu mengembangkan wisata perdesaan di daerahnya
tanpa kerjasama dengan dinas-dinas lainnya. Begitu juga antar masyarakat, apabila yang 79
dikedepankan adalah konflik maka yang rugi adalah desa-desa mereka sendiri. Kesadaran

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


atas konsep kawasan menjadi penting dalam wisata perdesaan, bukan hanya terfokus pada
satu desa wisata saja.

4.3. ANALISIS FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL


Dari hasil survei yang telah dilakukan di Flores ini ada dua potensi yang menjadi daya
tarik wisatawan yaitu budaya masyarakat dan alam (agrowisata). Potensi budaya yang
ditemukan di pulau ini yaitu adat istiadat seperti: kehidupan sehari-hari, upacara adat, rumah
adat, budaya dan kesenian asli daerah, makanan minuman tradisional, kekayaan alam, dan
lain-lain. Sementara potensi alam berupa agrowisata berupa tanaman buah stroberi, sayur
mayur dan peternakan ikan air tawar dimana wisatawan dapat ikut dalam aktivitas
masyarakat mulai dari pembenihan sampai pada panen. Di Pulau ini juga ditemukan air
terjun dan Danau Kalimutu yang dapat menambah diversifikasi atraksi wisata perdesaan.
Pulau Flores memiliki faktor lingkungan Internal yang terdiri dari kekuatan dan
kelemahan yang dapat dikembangkan dalam pembangunan pariwisata nasional berbasis
perdesaan sebagai pariwisata perdesaan dan destinasi wisata keIndonesiaan. Pulau Flores
juga mempunyai faktor eksternal berupa peluang dan ancaman yang perlu mendapatkan
perhatian dalam strategi pengembangannya.
1. Identifikasi Potensi Lingkungan Internal
Faktor internal di Pulau Flores yaitu:
A. Kekuatan meliputi: (1) Keaslian rumah-rumah adat. (2) tradisi budaya megalitik
berlanjut. (3) warisan budaya tangible (tinggalan arkeologi). (4) memiliki kesenian
tradisional. (5) keunikan adat istiadat masyarakat. (6) aktivitas masyarakat sehari-hari
yang masih tradisional. (7) pelestarian budaya. (8) Penyajian kuliner tradisional. (9).
Sikap dan prilaku masyarakat yang ramah tamah. (10). Diadakannya event-event
budaya secara berkala. (11) Keindahan sumber daya alam. (12) Keunikan dan
kelestarian sumber daya alam. (13) Tumbuhnya kegiatan ekonomi kreatif masyarakat
setempat. (14) Kegiatan pariwisata menciptakan peluang munculnya sumber-sumber
pendapatan baru bagi masyarakat setempat. (15). Terbentuknya organisasi
kelembagaan pariwisata, misalnya sudah mempunyai pokdarwis. (16) kesadaran
masyarakat untuk menyediakan home stay. (17). Adanya tradisi menenun tradisional. 80
Keterlibatan semua masyarakat secara langsung dalam pengelolaan desa sebagai
destinasi wisata. (18) pemandu wisata adalah masyarakat lokal

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


B. Kelemahan meliputi: (1) Sarana dan prasarana yang kurang memadai. (2) kurangnya
layanan informasi kepariwisataan. (3) aksesibilitas yang sulit. (4) kemampuan
berbahasa asing masyarakat belum memadai. (5) Pengelolaan atraksi wisata yang
belum maksimal. (6) kerjasama dengan destinasi lain belum maksimal. (7) Moda
transportasi masih terbatas. (8) Ketertarikan investor dalam menunjang
pengembangan desa sebagai daya tarik wisata belum ada. (6) Kualitas kebersihan
lingkungan belum mencerminkan siap menerima kunjungan wisatawan. (7) Kualitas
SDM lokal belum optimal untuk mengelola sebagai pelaku wisata. (8) Penataan
Lingkungan sebagai tempat wisata masih tidak teratur.

2. Identifikasi Potensi Lingkungan Eksternal


Faktor eksternal sangat mempengaruhi keberlanjutan dalam pengembangan suatu desa
atau pedesaan sebagai destinasi wisata keIndonesiaan baik sebagai wisata budaya
maupun wisata alam. Faktor eksternal ini ada dua yaitu:
A. Peluang meliputi, (1) Adanya kunjungan wisatawan mancanegara dan nusantara. (2)
Letak strategis terhadap objek wisata lain disekitarnya. (3) Adanya kepastian hukum
karena adanya peraturan desa yang menetapkannya sebagai desa budaya. (4) Adanya
kebijakan pemerintah kabupaten dan provinsi dengan menjadikan beberapa desa sebagai
nominasi dalam pemilihan desa wisata tingkat nasional. (5). Wisatawan membutuhkan
destinasi wisata alternatif (minat khusus). (7) Pulau Flores masih menjadi primadona
kunjungan wisatawan mancanegara. (8) Terjalinnya kerjasama pemerintah pusat, daerah,
masyarakat, dan pelaku bisnis. (9) Dukungan pelaku wisata/biro perjalanan. (10)
Dukungan dari berbagai LSM (swisscontact, dll). (11) Nilai budaya masyarakat setempat
telah mengakar di masyarakat seperti gotong royong, kepercayaan, bahasa, adat istiadat,
dan lain sebagainya. (12). Biro perjalanan proaktif dalam mempromosikan daerah
wisata. (13). Pemerintah dan masyarakat bersama-sama ikut melestarikan warisan
budaya warisan budaya di daerah ini. (14). Pemerintah ikut memfasilitasi perkembangan
ekonomi kreatif di daerah ini sebagai souvenir. (16). Swasta dan masyarakat
berpartisipasi aktif dalam pengelolaan desa.
81
B. Ancaman meliputi: (1) Persaingan dengan daerah lain dalam pengembangan desa
wisata. (2) Berubahnya pola pikir dan perilaku masyarakat. (4) Adanya penduduk

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


pendatang. (5) Tercemarnya lingkungan. (5). Beralihnya mata pencaharian masyarakat.
(6). Pola hidup masyarakat yang berubah. (7) Masyarakat banyak yang pindah keluar
dari desa adat. (8). Regenerasi dalam tradisi dan budaya sangat kurang. (9). pemahaman
masyarakat akan pentingnya pelestarian budaya berkurang. (10).Kurangnya dukungan
lembaga adat disekitarnya.

82

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


BAB 5

SIMPULAN DAN SARAN

Di Pulau Flores meskipun mempunyai fasilitas yang terbatas, karena keunikan budaya
dan keindahan alamnya membuat wisatawan banyak yang berkunjung ke kawasan ini.
Keunikan budaya dan alam dapat mengalahkan rasa kenyamanan wisatawan karena
kurangnya fasilitas, karena wisatawan menikmati keunikan dan kondisi yang ada di daerah
ini. Kearifan lokal masyarakat setempat menjadi ciri khas keIndonesiaan yang menjadi daya
tarik wisata, karena masih mempunyai otentisias dan sulit ditemukan di daerah lain. Daya
tarik terbesar destinasi wisata perdesaan di daerah ini adalah atraksi wisata budaya berupa
rumah-rumah adat, kesenian tradisional, bangunan megalitik, dan upacara-upacara adat serta
aktivitas masyarakt sehari-hari. Sementara itu, atraksi wisata alam lebih banyak pada
agrowisata dengan berbagai aktivitas masyarakat dalam pengolahan pertanian yaitu dari
pengolahan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan sampai melaksanakan panen.
Wisatawan ikut serta dalam aktivitas ini dan mereka sebagian besar tinggal di homestay yang
disediakan oleh masyarakat desa dan dikelola oleh masyarakat desa juga dengan sistem
pengelolaan yang sudah mereka sepakati bersama.
Pulau Flores meskipun mempunyai potensi atraksi wisata yang kuat karena keunikan
budaya dan aktivitas di agrowisata, dalam pengembangannya sebagai destinasi wisata yang
berkelanjutan dan mencirikan keIndonesiaannya juga harus didukung oleh beberapa faktor
seperti:
1. Menyediakan rute perjalanan yang mengelilingi kawasan desa yang menjadi daya
tarik wisata, sehingga mereka tidak berdiri sendiri dan memperlihatkan satu kesatuan
budaya lokal dan kekayaan alam di kawasan ini.
2. Ketersediaan moda transportasi khusus menuju destinasi, mengingat letak geografis
daerah perdesaan yang menjadi daya tarik wisata belum terjangkau oleh moda
transportasi umum.
3. Penyediaan fasilitas pendukung dan penunjang wisata di setiap obyek wisata yang
belumterdapat fasilitas yang mendukung dalam pengembangan obyek wisata yang 83

belumberkembang seperti listrik, air bersih, dll.

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


4. Menyediakan fasilitas penginapan yang mempunyai ciri khas atau konsep budaya
masyarakat setempat seperti yang ada di Desa Tolela.
5. Menyediakan toko souvenir yang menjual produk masyarakat lokal, baik produk
budaya maupun hasil-hasil pertanian dan olahannya sebagai cendramata atau oleh-
oleh wisatawan setelah berkunjung.
6. Menyediakan fasilitas rumah makan yang memberikan suasana perdesaan yang
mencirikan kuliner khas desa dan memanfaatkan sumber daya yang ada disekitarnya.
Sementara itu, pembangunan pariwisata nasional berbasis perdesaan sebagai daya tarik ke-
Indonesiaan di pulau Flores juga harus menggunakan konsep yang non spasial seperti:
1. Menyiapkan beberapa peraturan kepada wisatawan yang berkunjung dan melakukan
aktivitas wisata di kawasan perdesaan terutama terkait pelestarian budaya dan
konservasi alam.
2. Mengembangkan kawasan perdesaan yang berbasis agrowisata, tetapi juga memiliki
atraksi lain dalam pengolahan hasil pertanian maupun atraksi lain seperti memelihara
ikan maupun pembibitan, dan peternakan lainnya.
3. Mengembangkan produk budaya seperti dari proses sampai siap ke konsumen seperti
proses menenun tradisional dari penyiapan bahan sampai menjadi kain tenun yang
sudah siap untuk di pakai konsumen.
4. Peningkatan kualitas sumber daya manusia dengan cara mengikuti pelatihan,
menambah wawasan tentang pariwisata, cara memperlakukan wisatawan dan juga
lancar berbahasa asing agar masyarakat dapat merasakan secara langsung dampak dari
pengembangan wisata perdesaan di wilayahnya.
5. Menyediakan media promosi dengan cara membuat web tentang kawasan perdesaan
yang mudah di akses secara global,nasional dan internasional.
6. Melibatkan masyarakat lokal sebagai pelaku utama wisata dari perencanaan sampai
pada evaluasi.
7. Memperkuat peraturan atau kebijakan yang mengatur tentang proses pengembangan
wisata perdesaan yang mencirikan ke-Indonesiaan.
Pariwisata perdesaan merupakan wisata minat khusus sehingga dalam perlakuan dan
pengembangannya sangat berbeda dengan mass toursm, sehingga harus memperhatikan 84
beberapa hal dalam pengembangannya yaitu:
1. Jumlah pengunjung harus dibatasi atau diatur supaya sesuai dengan daya dukung

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


lingkungan dan sosial-budaya masyarakat,serta menjaga pelestarian warisan budaya
tangible dalam bentuk tinggalan arkeologi yang masih banyak ditemukan di
lingkungan desa.
2. Mengembangkan pola wisata yang mengutamakan nilai konservasi, baik ramah
terhadap lingkungan pertanian (alam) maupun ramah lingkungan budaya (edukasi,
jatidiri dan ekonomik/wisata).
3. Menumbuhkan perekonomian masyarakat lokal, karena berkembangnya usaha-usaha
wisata dan peluang kerja bagi masyarakat lokal
4. Mengutamakan partisipasi masyarakat dalam pembangunan infrastruktur dengan cara
swadaya masyarakat seperti yang dilakukan oleh masyarakat perdesaan di Flores.

POIN PENTING DALAM KAJIAN


1. Cara pandang yang mengutamakan pembangunan infrastruktur dalam pengembangan
wisata perdesaan harus diubah karena pemahaman masyarakat terhadap konsep wisata
perdesaan jauh lebih penting. Cara pandang akan memengaruhi intervensi kebijakan
dan program yang dilakukan oleh pemerintah (pemda), yang pada akhirnya tidak
berjalan optimal di lapangan. Sebagai contoh: pemda yang memiliki cara pandang
infrastruktur sebagai solusi akan menanti anggaran yang besar sehingga apabila dana
tidak memadai (potongan anggaran banyak terjadi), pemda tidak akan optimal dalam
mengembangan wisata perdesaan dengan alasan klasik bahwa mereka tidak cukup
memilikii anggaran. Namun apabila pemda memiliki cara pandang bahwa
pemahaman masyarakat jauh lebih penting, maka intervensi pemda dalam bentuk
pelatihan-pelatihan yang tidak membutuhkan anggaran besar akan lebih efektif dalam
mengembangan wisata perdesaan.
2. Wisata perdesaan yang baik adalah ketika masyarakat dalam suatu desa wisata
mampu menyeimbangkan antara aktivitas wisata dengan pelestarian budaya dan
lingkungan. Hubungan itu harus berjalan, jadi wisata tidak akan merusak tatanan
kehidupan sosial budaya masyarakat yang banyak terjadi selama ini.
3. Walaupun pemahaman masyarakat atas pentingnya wisata perdesaan merupakan
aspek penting, namun koordinasi dan kerja sama antar pihak terkait juga harus terus 85
berjalan. Wisata perdesaan tidak akan berjalan optimal jika tidak didukung oleh

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


adanya keselarasan dalam program-program di lapangan, khususnya antara pemda
dan swasta, sehingga tidak tumpang tindih.

86

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


DAFTAR PUSTAKA

Ahimsa-Putra, Heddy Shri; Ari Sujito, Wiwied Trisnadi., 2000., Pengembangan Model
Pariwisata Pedesaan Sebagai Alternatif Pembangunan Berkelanjutan. Puspar-UGM
Yogyakarta. Tidak dipublikasikandalam
https://jttcugm.wordpress.com/2009/01/23/identifikasi-potensi-kawasan-pedesaan-
sebagai-kawasan-wisata/

BPS, 2015, Jumlah Penduduk Miskin Menurut Provinsi Tahun 2013 – 2015, dikutip dari
http://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/1119 pada tanggal 28 Januari 2016

BPS. (2016). Kecamatan Kelimutu dalam Angka. Ende: BPS Kabupaten Ende.

BPS. (2016). Statistik Kecamatan Kelimutu 2016. Ende: BPS Kabupaten Ende, NTT.

BPS, K. E. (2015-2016). Kelimutu dalam Angka. Ende: BPS Kabupaten Ende, NTT.

Bramwell, W, Henry, I, Jackson, G, Prat, A G, Richards, G, and J van der Straiten (1996)
Sustainable Tourism Management: Principles and Practice Tilburg University Press,
Tilburg.

Chris Cooper, John Fletcher, David Gilbert and Stephen Wanhill, 1996. Tourism Principles
and Practice. Longman Group Limited, Malaysia,

Ditjen Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri per semester I Bulan Juni Tahun 2014,
dikutip dari: http://www.kemendagri.go.id/media/documents/2015/02/25/l/a/lampiran_i.pdf, pada
tanggal 28 Januari 2016

Ende, D. (2015). Profil Pariwisata Kabupaten Ende. Ende: Pemerintah Kabupaten Ende
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata.

Frochot.2005.A benefit segmentation of tourist in rural areas : a schottish perspectives,


tourism management vol.26, Grasindo.

Goeldner, C. R. dan J. R. B. Ritchie. 2009. Tourism: Principles, practices, philosophies.


Eleventh edition. John Wiley & Sons, Inc., Hoboken. New Jersey. Published
simultaneously in Canada.

Gunn, Clare, 2nd ed, 1998. Tourism Planning, Taylor and Francis, New York, USA

Hall, M., Gossling, S., & Scott, D. (2015). The Routledge Handbook of Tourism and
Sustainability. London & New York: Routledge Taylor & Francis Group. 87

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


Hartanto, Frans Mardi, “Pariwisata Berkelanjutan: Paradigma dan Prakteknya”, Makalah
pada Diskusi Panel Kajian Pariwisata Berkelanjutan, Gedung Sapta Pesona 23-28
Agustus 2003.

Ivanovich Agusta & Fujiartanto. (2015). Indeks Kemandirian Desa: Metode, Hasil, dan
Alokasi Program Pembangunan. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia

Koentjaraningrat (ed.). Masyarakat Desa di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas


Ekonomi Universitas Indonesia. Rahardjo. 1999. Pengantar Sosiologi Pedesaan dan
Sosiologi Pertanian. Yogyakarta: UGM Press.

Koentjaraningrat (ed.). Masyarakat Desa di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas


Ekonomi Universitas Indonesia. Rahardjo. 1999. Pengantar Sosiologi Pedesaan dan
Sosiologi Pertanian. Yogyakarta: UGM Press.

Laksono Hari Wiwoho. 10 Februari 2015. Terbanyak di Indonesia, 4.000-an Desa di Papua
Berstatus Sangat Tertinggal. Dikutip dari:
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/02/10/185512226/Terbanyak.di.Indonesia.4.000-
an.Desa.di.Papua.Berstatus.Sangat.Tertinggal

Mesti Sinaga. 20 Oktober 2015. Sebanyak 27,22% desa di Indonesia masih tertinggal.
Dikutip pada tanggal 22 Februari 2016, dari: http://nasional.kontan.co.id/news/sebanyak-2722-desa-di-
indonesia-masih-tertinggal,

Nations, U. (2016, Maret 7). Sustainable Development Goals. Diambil kembali dari
www.sustainabledevelopment.un.org: https://sustainabledevelopment.un.org/sdgs

Page dan Getz. 1997. Bisnis Pariwisata Perdesaan, Perspektif Internasional (terjemahan oleh
Bagian Proyek Pengembangan Literatur Pariwisata Jakarta),UK.

Rudito, Bambang (1999) Masyarakat dan Kebudayaan Suku Bangsa Mentawai, Padang: Lab.
Antrop.”Mentawai” Unand

Smith, V., & Eadington, W. (1992). The Emergence of Alternative Form of Tourism. In V.
Smith, & W. Eadington, Tourism Altenative : Potencial and Problem in the Tourism
Development. Philadelphia.

Spradley, James. P (ed), 1972. Culture and Cognition: Rules, Maps, and Plans, Chandler
Publishing Company

Suhartini. 2016. Kajian kearifan lokal masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam dan
lingkungan,. Diunduh tanggal 11 April 2016 dari
http://eprints.uny.ac.id/12149/1/Bio_Suhartini2%20UNY.pdf Tourism Management:
Principles and Practice Tilburg University Press, Tilburg.
88
Unesco. (2001). What is Intangible Cultural Heritage. Diambil kembali dari
www.unesco.org: http://www.unesco.org/culture/ich/en/what-is-intangible-heritage-
00003

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


UU Kepariwisataan No. 10 Tahun 2009 pasal1 ayat 1

Wisnu Wage. 2015. Desa Termiskin Se-Jawa Barat Ada Di Kabupaten Bandung Barat.
Dikutip dari: http://bandung.bisnis.com/read/20150619/82444/535958/desa-termiskin-
se-jawa-barat-ada-di-kabupaten-bandung-barat

WTO, International Tourism, UNWTO World Tourism Barometer, V0l. 4, Jan 2006

WTTC. (2016). Travel & Tourism Economic Impact 2016 World. In WTTC, The Economic
Impact of Travel & Tourism Mastch 2016 (p. 1). London, UK: WORLD TRAVEL &
TOURISM COUNCIL (WTTC), THE HARLEQUIN BUILDING, 65 Southwark
Street.

89

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


LAMPIRAN

I. MATERI ALAT KUMPUL DATA

PELIBATAN BERBAGAI PIHAK SEBAGAI INFORMAN


DALAM PENGUMPULAN DATA (PRIMER) LAPANGAN

Pengumpulan data
1. Sumber tertulis, Pemilihan sumber publikasi atau penerbitan yang berkaitan dengan kebijakan
pariwisata, daerah dalam angka, kumpulan hasil seminar atau konferensi kepariwisataan,
Manuskrip atau naskah yang belum atau tidak diterbitkan antara lain dalam bentuk naskah
90
peraturan perundangan, artikel diseminarkan mengandung kajian kepariwisataan di bidang
pariwisata

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


2. Sumber Lisan, Asal informasi dari tiga kategori sumber (birokrat, akademisi, dan swasta /
informasi dari forum diskusi antara narasumber dan kelompok kerja
3. Observasi lapangan, pemilihan data dan informasi terkait fakta phisik unsur-unsur
kepariwisataan yang mencakup atraksi alam dan budaya masyarakat, amenitas, aksesibilitas,
utilitas, fasilitas pendukung lainnya

II. POKOK-POKOK MATERI OBSERVASI

DESTINASI
PARIWISATA

SDM

91

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


PENJELASAN

KOMPONEN PRODUK PARIWISATA


Komponen pariwisata dapat dikelompokkan antara lain meliputi:
1. Daya tarik dan atraksi:
Potensi sumber daya alam dan potensi sumber daya budaya dengan memperhatikan:
 Faktor keunikan dan kekhasan yang menunjukkan perbedaan pada kawasan/destinasi/objek seperti
iklim, bentangan alam, ketersediaan dan kapasitas atraksi seperti pantai, sungai, danau, sumber mata
air, dan lain sebagainya;
 Faktor keterpaduan bentang alam dan budaya beserta lingkungan sekitarnya sebagai penggambaran
menyeluruh suatu potensi sumber daya pariwisata.
 Faktor daya dukung (Carrying Capacity) sebagai gambaran kemampuan dalam meningkatkan
potensinya sebagai destinasi yang unggu, termasuk kemampuan terhadap daya dukung pengembangan
kawasan/destinasi/objek secara fisik maupun sosial dan budaya.
2. Aksesibilitas:
Prasarana jalan dan transportasi, Utilitas (air, listrik, telekomunikasi) Pembuangan limbah dengan
memperhatikan:
 Faktor fasilitas, kondisi dan ketersediaan fasilitas termasuk sarana dan prasarana seperti air bersih,
jaringan telekomunikasi, listrik yang mendukung aktivitas kepariwisataan di suatu daerah.
 Faktor kemudahan pencapian (akses) dan kemudahan pelayanan pintu masuk (entry gate) bagi
wisatawan dalam skala domestik dan Internasional.
 Faktor jaringan dan transportasi darat, laut dan udara yang memudahkan perputaran dan pergerakan
wisatawan ke dan di destinasi.
3. Amenitas:
Akomodasi dan restoran, Sarana dan fasilitas pendukung (pos, bank, internet, RS, Polisi) dengan
memperhatikan:
 Faktor kondisi dan ketersediaan sarana dan fasilitas pariwisata, serta kualitas pelayanan kepariwisataan
yang dilihat sebagai totalitas mata rantai keperluan wisatawan terhadap jasa dan usaha yang dibutuhkan
selama melakukan kunjungan ke destinasi.

4. Masyarakat dan Lingkungan:


RUTR, Profil masyarakat, Sikap Masyarakat dan pandangan terhadap pariwisata yang memperhatikan:
 Faktor dimensi masyarakat yang menggambarkan kondisi sikap dan perilaku masyarakat, kesiapan
masyarakat, opini dan partisipasi masyarakat terkait kegiatan kepariwisataan

5. Kelembagaan:
Hubungan Stakeholder, kompetensi SDM, kebijakan pengelolaan dan kualitas pelayanan dengan
92
memperhatikan:
 Faktor kelembagaan pemangku kepentingan (pemerintah, swasta dan masyarakat), kualitas dan
kuantitas sumberdaya manusia, serta pengaturan kerjasama antar lembaga khususnya di masyarakat,
terkait penyelenggaraan kepariwisataan di daerah.

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


 Faktor lingkungan dan sosial budaya, kesejahteraan (pro poor, job, growth) melalui penerapan kode
etik kepariwisataan, prinsip Sustainable Development dan Sustainable Tourism serta penerapan prinsip
Community Based Tourism, sebagai landasan dasar bagi stakeholder dalam melakukan kegiatan
pengembangan kepariwisataan di daerah.
 Faktor stabilitas sosial politik dan keamanan dengan menciptakan kondisi keamanan dan kenyamanan
bagi wisatawan termasuk proteksi terhadap wisatawan maupun investor serta masyarakat setempat di
destinasi.

6. Pemasaran:
Pangsa Pasar (Nusantara & Mancanegara), paket wisata, Investasi Pariwisata dan promosi dengan
memperhatikan:
 Faktor tersedianya informasi berkualitas bagi wisatawan dan investor yang terkait dengan profil dan
peluang investasi kepariwisataan di daerah.
 Faktor potensi pasar (Market Share) wisatawan nusantara dan mancanegara sebagai peluang
mengembangkan kepariwisataan di daerah dengan menawarkan berbagai pilihan dan alternatif kegiatan
kepariwisataan dan kualitas pengalaman wisata
 Faktor persepsi dan citra destinasi oleh wisatawan nusatara dan mancanegara.

93

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


III. BAHAN WAWANCARA

Masyarakat Indus Lintas


MATERI PERTANYAAN
Masy PT NGO tri sektor
Umum
Pandangan terhadap Pariwisata? √ √ √ √ √
Pandangan terhadap lingkungan alam dan Budaya? √ √ √ √ √
Pandangan terhadap Pariwisata? (ekonomi vs pelestarian) √ √ √ √ √
Acuan yang dipakai untuk menjelaskan tentang pariwisata? √ √ √ √
Pandangan mengenai Pembangunan Berkelanjutan? √ √ √ √
Hubungannya antara pembangunan berkelanjutan dan pariwisata. Dimana √ √ √ √
hubungannya?
Unsur-unsur yang harus diperhatikan dalam pariwisata? (contoh, kebijakan, √ √ √ √
Sapta Pesona) dan alasannya
Konsep pariwisata yang ideal di perdesaan (alam atau budaya)? Mengapa? √ √ √ √
Pengelolaan dan pengembangan pariwisata yang selama ini diketahui? √ √ √ √
Acuan dari pengelolaan dan pengembangan tersebut? √ √
Kebijakan pemerintah yang diperlukandalam pengelolaan dan √ √ √ √
pengembangan pariwisata.?
Proses penyusunan kebijakan pariwisata? (apakah seluruh stakeholders √ √
terlibat?)
Proses penyusunan rencana, pelaksanaan dan monev? (apakah seluruh √ √ √ √
stakeholders terlibat?)
Unsur-unsur yang harus diperhatikan dalam pengelolaan dan √ √ √ √
pengembangan pariwisata untuk sebuah kawasan? (mis AMDAL)
Pelaksana pariwisata? √ √ √ √ √
Pengaturan perizinan pelaksanaan pariwasata? √ √ √ √
Cara melakukan pengemasan ,pemasaran, kemitraan? √ √
Permasalahan yang seringkali muncul dalam pengelolaan dan √ √ √ √ √
pengembangan pariwisata?
Cara mengatasi permasalahan? √ √ √ √ √
Bentuk pengelolaan dan pengembangan pariwisata yang ideal itu seperti √ √ √ √
apa? (ditujukan kepada ketiga pihak)

Dampak keuntungan dan kerugian Pariwisata


Kehidupan Sosial masyarakat desa (pola hidup-kekerabtan, konsumerisme) √ √ √ √ √
Nilai dan keberadaan budaya masyarakat desa (degradasi – menguat) √ √ √ √ √
Ideologi dan Identitas masyarakat desa (degradasi – menguat) √ √ √ √ √
Ekonomi (akar budaya kehidupan mata pencaharian) √ √ √ √ √
Lingkungan perdesaan √ √ √ √ √
Nilai religi √ √ √ √ √
Peran Gender √ √ √ √ √
Estetika perdasaan √ √ √ √ √
Peran lembaga agama dan adat √ √ √ √ √
Penataan dan kepemilikan ruang √ √ √ √ √ 94
Pemahaman Sapta pesona √ √ √ √ √
Pendidikan √ √ √ √ √

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


Infrastruktur dan layanan umum:
Pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan bagi masyarakat agar daerah √ √ √ √ √
tersebut nyaman untuk tempat tinggal dan juga bagi pengunjung?
Adanya petugas keamanan dan spesialis bantuan darurat di kelola √ √
masyarakat?
Keamanan dan kenyamanan pengunjung beraktivitas di tengah-tengah √ √ √ √
masyarakat? mengapa?
Mengatasi dan memperbaiki bila tidak aman dan nyaman? √ √ √ √
Kemungkinan fasilitas umum yang ada digunakan juga oleh pengunjung? √ √ √ √
Dimungkinkan pengunjung untuk memperoleh fasilitas akomodasi dirumah √ √
masyarakat desa?
Dimungkinkan masyarakat desa memberikan layanan makan minum, dan √ √ √
cender mata khas masyarakat desa?
Kemungkinan tersedianya sarana prasarana dan layanan lainnya bagi √ √ √ √ √
pengunjung yang ramah lingkungan dan diterima secara adat? Apa saja?

Isu yang berhubungan dengan Potensi Alam:


Pemahaman potensi SDA yang dimiliki? Untuk atraksi wisata? √ √ √ √ √
Hubungan antara pariwisata dan perlindungan (konservasi) sumber daya √ √ √ √
alam?
Sumber daya alam yang dikelola saat ini? oleh siapa? √ √ √ √
Keterlibatan dan peran masyarakat dalam pengaturan sumber daya alam √ √ √ √ √
tersebut?
Jenis SDA yang rusak? Penyebabnya? Cara memperbaikinya? Oleh Siapa? √ √ √
Ada tidaknya masyarakat memperoleh manfaat dalam perlindungan SDA √ √ √ √ √
tersebut? Dalam bentuk apa?
Kemungkinan pariwisata dapat memberi keuntungan kepada masyarakat √ √ √ √
dalam perlindungan SDA?

Isu berhubungan dengan Potensi budaya


Pemahaman potensi SDB (cagar budaya, pola hidup dan tradisi) yang √ √ √ √ √
dimiliki?
Hubungan antara pariwisata dan pelestarian (perlindungan , pengembangan √ √ √ √
dan pemanfaatan) budaya (cagar budaya, pola hidup dan tradisi)?
Sumber daya budaya (akar budaya) yang dikelola dan dipertahankan saat √ √ √ √
ini? oleh siapa?
Keterlibatan dan peran masyarakat dalam pengaturan sumber daya budaya √ √ √ √ √
tersebut?
Ada tidaknya masyarakat memperoleh manfaat dalam pelestaraian SDB √ √ √ √ √
tersebut? Dalam bentuk apa?? 95

Budaya (cagar budaya, pola hidup dan tradisi) yang dapat dimanfaatkan √ √ √
sebagai daya tarik (atraksi) wisata?
Budaya (tradisi, seni, kearifan lokal) yang tidak untuk √ √

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


dipertontonkan(taboo)
Budaya (tradisi, seni, kearifan lokal) yang sudah tidak dijalankan lagi? √ √
Kemungkinan untuk di terapkan lagi?
Hal yang diperlukan masyarakat dalam memperkuat budaya (tradisi, seni, √ √ √ √ √
kearifan lokal) yang ada?
Apakah ada wadah (paguyuban/lembaga adat) dari masyarakat setempat? √ √
Harapan dalam mengembangkan pariwisata perdesaan terkait dengan √ √
budaya di sini?
Tindakan yang diperlukan masyarakat dari pihak industri dan pemerintah √ √ √
dalam pengembangan pariwisata perdesaan di sini?
Keterlibatan pengunjung dalam kehidupan keseharian dan budaya √ √ √
setempat?

Rekomendasi pengembangan pariwisata perdesaan:


Perlu tidaknya pengembangan pariwisata di desa ini? Bila tidak mengapa? √ √ √ √
Bila ya, yang menjadi prioritas pengembangan?
Lokasi tempat kegiatan, pelayanan atau produk-produk yang ditawarkan? √ √
Siapa pengelolanya?
Bentuk pengembangan yang lebih menguntungan untuk desa setempat √ √ √ √
selain pariwisata? apa saja?
Kehadiran kepariwisataan benar-benar dirasakan oleh masyarakat desa? √ √ √ √
Keuntungan dan kerugian (budaya, lingkungan, ekonomi, ideologi) yang √ √ √ √
perlu diketahui masyarakat desa dalam mengembangkan pariwisata?

Kunjungan Wisatawan
Jumlah kunjungan wisatawan domestic, nusantara dan mancanegara? √ √
Jumlah kunjungan wisatawan dari tahun lalu bertambah atau berkurang? √ √ √ √
Puas adanya wisatawan berkunjung? √ √
Mendokumentasikan Kehidupan masyarakat oleh wisatawan di tempat √ √ √
wisata?
Peraturan-peraturan atau budaya setempat yang harus dipatuhi oleh √
wisatawan?
Ketertarikan wisatawan pada daerah ini? √ √ √
Atraksi unik yang paling menarik di daerah ini?
Atraksi unik yang harus dikembangkan untuk pengunjung? √ √ √ √ √

96

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


KEBUTUHAN DATA DAN INFORMASI
MATERI KEPERLUAN PEROLEHAN
1. Geografis Kelengkapan perencanaan, 1. Field Study
2. Iklim pemahaman atribut lingkungan fisik 2. Pertemuan komunitas
3. Topografi yang akan terkait dengan atraksi dan 3. FGD
aktivitas wisata 4. Map Topographi, Community,
5. Pemda Dalam Angka
6. Internet
7. Buku Travel guide
8. R & D Report
1. Sosial budaya Mengetahui keinginan dan 1. Interview masyarakat setempat,
2. Ekonomi kemampuan komunitas sebagai tuan pemda dan industri
3. political, rumah (host) dari wisatawan yang 2. Pertemuan komunitas dan FGD
berkunjung ke lokasi 3. Data investasi dan promosi pemda
4. Asosiasi wisata, budaya, LSM
lingkungan

Lingkungan Pemahaman terhadap issue 1. Pemetaan komunitas dan FGD


Biodiversitas konservasi lingkungan dan 2. interviews,
Penggunaan Lahan pelestarian warisan budaya, tata 3. konsultasi dengan nara sumber dari
ruang, air, penggunaan sumberdaya scientists / naturalists
4. publikasi conservation local,
internet
5. International conservation NGOs
6. Pemerintah pusat terkait
lingkungan, budaya, pariwisata dan
pendidikan
Struktur Pasar Pemahaman umum terkait pasar 1. World Tourism Organization
wisatawan actual, pasarunggulan statistic
wisatawan, produk wisata yang 2. tour operators (meetings,
ditawarkan, kompetisi dan Trend consultations, surveys)
3. interviews
4. websites
5. Travel guide books
6. Publikasi wisata dan budaya
7. Asosiasi local
Dukungan Lembaga Asistensi dari lembaga yang terlibat 1. websites
langsung di kawasan 2. Lembaga pusat informasi
pariwisata
3. Layanan areal sensitive
4. International NGOs (e.g.
Conservation International, Nature
Conservancy)
5. websites

97

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata


VI. TOWS ANALYSIS

KEKUATAN PELUANG

1. Adakah 3 A Unggulan? 1. Apa ada peluang untuk mempromosikan daya


2. Aspek lingkungan dan warisan budaya apa tarik kawasan perdesaan kepada wisatawan?
yang telah dikelola dengan baik? 2. Apa ada SDM dalam komunitas masyarakat
3. Apakah terdapat SDM yang mampu mengelola yang tertarik bekerja mengelola pariwisata
pariwisata perdesaan dan potensi budaya? perdesaan sumber daya budaya?
4. Keahlian apa dimiliki oleh SDM yang terlibat? 3. Apa memungkinkan pariwisata memanfaatkan
penggunaan fungsi infrastruktur yang ada?
4. Peluang seperti apa yang memungkinkan untuk
melaksanakan kemiteraan dan kolaborasi?

KELEMAHAN TANTANGAN

1. Apakah pendekatan yang diterapkan untuk 1. Tantangan apa yang ada terhadap nilai budaya
interpretasi tidak memadai atau perlu di desa?
diperbaiki? 2. Tantangan phisik apa yang ada pada warisan
2. Apakah terdapat masalah phisik yang budaya?
menyebabkan sulit melakukan pengaturan 3. Tantangan apa yang ada terhadap kehidupan
wisatawan? sosial, budaya dan ekonomi masyarakat desa?
3. Apa ada masalah yang menyebabkan 4. Tantangan apa yang ada terhadap kegiatan
pemasaran sulit dilaksanakan? usaha di desa?
4. Evaluasi dan masukan apa yang dapat ditindak 5. Resiko apa yang selalu muncul dalam
lanjuti untuk lebih baik? pengembangan pariwisata perdesaan?
5. Apakah pelatihan dan peningkatan kemampuan
sangat tidak memadai?

98

Asdep Litbangjakpar | Kementerian Pariwisata

Anda mungkin juga menyukai