Anda di halaman 1dari 23

GANGGUAN FONOLOGI BAHASA ANAK

STUDI KASUS PADA ALVIN

Maria Susanti

Abstrak

Objek penelitian ini dilatarbelakangi oleh kemampuan berbahasa anak


yang mengalami gangguan dalam pemerolehan bahasa. Tujuan dari penelitian ini
terdapat dalam dua bentuk yakni, khusus dan umum. Tujuan umum dilakukannya
penelitian ini adalah untuk menambah wawasan dan pengetahuan penulis serta
memperluas pengetahuan pembaca pada bidang psikolinguistik, terutama terhadap
gangguan berbahasa pada anak, sedangkan untuk tujuan khusus dalam penelitian
ini akan berkaitan dengan rumusan masalah, yakni: (1)Mendeskripsikan dan
menjelaskan kemampuan berbahasa yang diperoleh Alvin terhadap pemerolehan
fonologi, (2) Menjelaskan kesalahan yang sering muncul terhadap pengucapan
bahasa yang dituturkan oleh Alvin.
Teori yang digunakan dalam analisis data adalah teori pemerolehan bahasa
oleh Dardjowidjojo (2008), dan gangguan fonologis atau kesalahan bunyi yang
dikemukakan oleh Blumstein dan Kohn (dalam Sastra, 2011). Metode dan teknik
dalam penelitian ini terdiri atas tiga tahap yaitu, tahap penyediaan data, tahap
analisis data, dan tahap penyajian hasil analsis data. Pada tahap penyediaan data
digunakan metode simak dengan teknik sadap sebagai teknik dasarnya, kemudian
teknik lanjutannya terdiri dari teknik simak libat cakap (SLC), simak bebas libat
cakap (SBLC), teknik rekam, dan teknik catat. Pada tahap analisis data digunakan
metode padan artikulatoris dengan teknik dasar pilah unsur penentu (PUP), dan
teknik hubung banding membedakan (HBB) sebagai teknik lanjutannya. Pada
tahap penyajian hasil analisis data, digunakan metode formal dan informal.
Dari hasil analisis data dapat disimpulkan bahwa, (1) kemampuan dalam
pengucapan bunyi dan pemerolehan kosakata oleh anak sangat lemah. (2) dalam
mengucapkan bahasa, ditemukan beberapa kesalahan fonologi, yaitu penghilangan
fonem, pengubahan fonem, dan penambahan fonem pada suatu kata yang
diujarkan. (3) Kegagapan mengakibatkan adanya kesulitan pada saat mengujarkan
sebuah kata yang disebabkan oleh kekurangmampuan artikulator untuk berfungsi
secara normal, dan juga adanya masalah terhadap pengaturan pernafasan.

Kata kunci: gangguan, fonologi, bahasa anak

Pendahuluan

Dalam kehidupan sehari-hari, bahasa termasuk alat yang sangat penting


digunakan manusia untuk berkomunikasi. Bahasa itu dapat diperoleh manusia

1
melalui proses pemerolehan bahasa. Dalam proses pemerolehan bahasa harus ada
suatu usaha yang dilakukan hingga seseorang mampu berbahasa dengan baik.
Dardjowidjojo (2008: 225) menyatakan bahwa pemerolehan bahasa anak
(language acquistion) adalah proses penguasaan bahasa yang dialami oleh anak
secara natural pada waktu ia belajar bahasa ibunya (native language). Dalam
proses pemerolehan bahasa juga dikenal dengan suatu masa yang dinamakan
dengan critical period (periode kritis). Critical period adalah periode dimana
penguasaan bahasa terjadi secara alami dan dilakukan tanpa sengaja. Pada proses
ini anak akan menemukan suatu bunyi atau kalimat yang didengarnya tanpa ada
rasa takut salah (Purwosunarto, 2013).
Perkembangan bahasa dapat dikatakan sebagai salah satu mata rantai
pertumbuhan anak. Dalam proses pemerolehannya, masing-masing anak akan
mempunyai kemampuan yang berbeda-berbeda, yaitu ada yang mampu berbahasa
secara sempurna dan ada yang tidak.
Dardjowidjojo (2008: 197-198) mengungkapkan bahwa proses pemerolehan
bahasa berlangsung dalam beberapa tahap, yakni:
a. Umur 6-8 minggu, anak mulai mendekut (cooing), yaitu mengeluarkan bunyi-
bunyi yang mirip dengan bunyi konsonan atau vokal, akan tetapi bentuknya
belum dapat dipastikan karena belum terdengar dengan jelas.
b. Umur 6 bulan, anak sudah mulai mencampur konsonan dengan vokal, yang
dinamakan dengan babbling (celotehan).
c. Umur 1 tahun, munculnya ujaran satu kata.
d. Menjelang umur 2 tahun, mulai dengan ujaran dua kata.
e. Menjelang umur 4-5 tahun, anak telah dapat berkomunikasi dengan lancar.

Ada perbedaan antara satu anak dengan anak yang lain, bagi anak yang
normal perkembangan bahasanya begitu cepat sehingga dalam waktu singkat anak
dapat menguasai banyak kosa kata, ucapan, dan cara mengucapkannya.Barrett
(dalam Dardjowidjojo, 2008: 258) menyatakan bahwa pada umur 1;7 anak telah
memperoleh ±50 kata dan sekitar umur 1;8 anak makin cepat pemerolehan
katanya. Pada umur 2;0 anak diperkirakan telah menguasai 200-300 kata.

2
Kemampuan berbahasa anak yang mengalami gangguan dalam pemerolehan
bahasanya tentu akan berbeda dengan kemampuan yang diperoleh oleh anak-anak
yang normal. Bagi anak yang mengalami gangguan perkembangan bahasa, Iatidak
akan mampu memperoleh bahasa tersebut dengan sempurna seperti layaknya anak
yang normal. Menurut Chaer (2003: 148) penyebab gangguan berbahasa dibagi
dalam dua garis besar. Pertama, gangguan yang disebabkan oleh faktor medis,
yaitu gangguan karena kelainan fungsi otak maupun kelainan alat bicara. Kedua,
disebabkan oleh faktor lingkungan sosial, seperti tersisih atau terisolasi dari
lingkungan kehidupan masyarakat.
Anak-anak yang berbicaranya tidak jelas dan bahasanya sulit ditangkap oleh
orang lain, dalam istilah psikologi dinyatakan bahwa anak tersebut mengalami
gangguan terhadap artikulasi atau fonologisnya (Sastra, 2011: 162). Blumstein
dan Kohn (dalam Sastra, 2011: 85-88) mengemukakan bahwa kesalahan bunyi
atau gangguan fonologis pada penderita afasia motorik dibedakan atas bentuk
penggantian fonem (substitusi), penghilangan fonem (ommisi), penambahan
fonem, dan ketidakberaturan fonem.
Salah seorang anak yang mengalami gangguan dalam pemerolehan bahasa
dalam penelitian ini adalah Alvin Firmansyah, yang kesehariannya dipanggil
“Alvin/ Apin”. Dia dilahirkan pada tanggal 17 Februari 2006 di Puskesmas
Sungai Janiah dalam keadaan normal. Berat badan waktu lahir adalah 3,5 kg
dengan panjangnya 49 cm. Mengenai kedua orang tua Alvin, Ibunya Rita Siswarti
merupakan seorang ibu rumah tangga kelahiran tahun 1987, dan Ayahnya
Suparman sebagai seorang petani yang lahir pada tahun 1980. Kedua orang tua
Alvin merupakan penutur asli bahasa Minang. Maka bahasa pertama yang dikenal
oleh Alvin adalah bahasa Minang yang digunakan untuk berkomunikasi sehari-
hari, dan pemerolehan bahasa pertama tersebut dikenal dengan pemerolehan
bahasa ibu (native language) seperti yang telah dinyatakan oleh Dardjowidjojo.
Pada umur ±7;5 Alvin masuk ke Sekolah Dasar (SD) Negeri 24 Sungai
Janiah di Kecamatan Gunung Talang. Bagi anak-anak yang perkembangannya
termasuk normal, di usia Sekolah Dasar (SD) mereka sudah mampu berbicara
dengan baik dan jelas. Akan tetapi hal ini tidak terlihat pada Alvin. Saat ini Alvin

3
yang duduk dibangku kelas satu SD (yang seharusnya telah duduk dibangku kelas
dua SD) masih belum bisa berbicara dengan baik seperti anak-anak yang
seumuran dengannya. Contoh beberapa kosakata yang dituturkan oleh Alvin,
yaitu:
/olong/ /num/ /tutuah/
‘tolong ‘ ‘minum’ ‘tujuah’
‘tolong’ ‘minum’ ‘tujuh’

Dari contoh data yang dikemukakan di atas, terlihat bahwa Alvin


mengalami gangguan dalam mengucapkan kosakata yang dituturkannya. Pada
kata ‘tolong’ yang dituturkannya menjadi /olong/ ‘tolong’ merupakan suatu
penghilangan fonem,dan pada ujaran /num/ ‘minum’ ‘minum’ merupakan
penghilangan pada suku kata pertama. Pada ujaran /tutuah/ ‘tujuah’ ‘tujuh’
termasuk pada penggantian fonem. Dari uraian tersebut diketahui bahwa Alvin
masih belum mampu menuturkan bahasa yang telah diperolehnya dengan benar.
Oleh karena itu, pada tahap pemerolehan bahasa Alvin dapat dikatakan
mengalami gangguan berbahasa karena masih belum bisa berbicara layaknya anak
yang seusia dengannya.
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, terjadinya kesalahan atau
gangguan dalam berbahasa yang dituturkan oleh Alvin karena adanya gangguan
artikulasi yang dialaminya. Sehingga gangguan tersebut menyebabkan Alvin
bertutur dengan tidak benar dan tidak jelas. Oleh sebab itu juga Alvin jadi
kesulitan untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang-orang yang berada
disekitarnya.Berikut adalah contoh tuturan Alvin dengan Neneknya.

1. Percakapan 2
Amak : kelas bara Pin kini?
‘kelas berapa Alvin sekarang?
Alvin : tatu
‘satu’
‘kelas satu’

4
2. Percakapan 3

Amak : dima Pin sakola?


‘dimana Alvin sekolah?’
Alvin : anan
‘Pandan’
‘Pandan’

Berdasarkan data diatas, dapat dikatakan bahwa Alvin masih belum mampu
berbahasa sesuai dengan kaidah-kaidah kebahasaan yang telah ditentukan. Seperti
yang terdapat dalam percakapan 2 pada ujarantatu ‘satu’ ‘kelas satu’, hal tersebut
berarti Alvin tidak mampu mengucapkan fonem /s/ di awal kata pada ujaran ‘satu’
sehingga fonem tersebut diganti menjadi fonem /t/ yang terlihat pada kata tatu.
Kemudian pada percakapan 3, Alvin juga tidak mampu mengucapkan kata secara
keseluruhan, karena pada kata anan ‘Pandan’ ‘Pandan’ terjadinya penghilangan
fonem /p/ di awal kata dan fonem /d/ di tengah kata pada ujaran ‘Pandan’.
Dari contoh-contoh kosakata yang dituturkan oleh Alvin di atas, maka
bentuk gangguan bahasa yang dialami oleh Alvin termasuk pada gangguan bahasa
yang disebabkan oleh gangguan artikulasi atau fonologis. Hal ini terlihat pada
pengucapan bahasa Alvin yang terdapat kesalahan-kesalahan berupa penggantian
fonem, penghilangan fonem, dan penambahan fonem seperti yang telah
dinyatakan oleh Blumstein dan Kohn. Hal itu terjadi karena adanya penurunan
gerak dari otot-otot organ bicara pada Alvin. Sehingga dengan penyebab tersebut,
Alvin tidak mampu untuk memproduksi bunyi-bunyi tertentu.
Dari hasil keterangan Dokter, dinyatakan bahwa Alvin mengalami
kelumpuhan pada saraf otak yang dikenal dengan istilah cerebral palsy.
Kelumpuhan ini turut melibatkan secara langsung ketidaklancaran proses
penghasilan ujaran. Ketidaklancaran ini berkaitan dengan keadaan pernafasan
yang tidak normal yang berdampak pada aliran udara yang diperlukan ketika
menghasilkan bunyi bahasa, kenyaringan dan kejelasan suara, dan kemampuan
gerakan artikulator-artikulator pertuturan (Muslich, 2008: 13). Kemudian Pawestri
(2011) juga menyatakan bahwa bentuk gangguan berbicara yang meliputi
gangguan artikulasi karena penurunan gerak dari otot-otot organ bicara termasuk
ke dalam bentuk disartria.

5
Dari data-data di atas, memperlihatkan bahwa kesalahan terhadap bahasa
Alvin menarik untuk diteliti, hal ini disebabkan oleh karena Alvin juga merupakan
seorang penutur bahasa seperti anak-anak normal lainnya. Hanya saja
perbedaannya terletak pada alat bicara mereka masing-masing. Pada anak yang
normal, alat bicara yang dimilikinya tidak ada yang terganggu sehingga mampu
mengucapkan bahasa lisan dengan benar dan jelas. Sedangkan pada Alvin, adanya
gangguan terhadap alat artikulasinya, sehingga cara pengucapan bahasanya jadi
terganggu. Hal tersebut merupakan masalah terbesar terhadap Alvin, terutama
dalam situasi komunikasi. Oleh karena itu, menurut penulis penelitian terhadap
gangguan fonologi bahasa anak studi kasus pada Alvin ini layak untuk diteliti.
Kemudian pengetahuan mengenai gangguan berbahasa yang khususnya pada anak
lebih diketahui dan jelas.
Masalah dalam penelitian ini ada dua, yaitu:(1) Bagaimana kemampuan
berbahasa yang diperoleh Alvin terhadap pemerolehan fonologi?, (2) Kesalahan
apa yang sering muncul terhadap pengucapan bahasa yang dituturkan oleh Alvin?.
Oleh karena itu, maka tujuan dari penelitian ini terdapat dalam dua bentuk yakni,
khusus dan umum. Tujuan umum dilakukannya penelitian ini adalah untuk
menambah wawasan dan pengetahuan penulis serta memperluas pengetahuan
pembaca pada bidang psikolinguistik, terutama terhadap gangguan berbahasa pada
anak, sedangkan untuk tujuan khusus dalam penelitian ini akan berkaitan dengan
rumusan masalah, yakni: (1)Mendeskripsikan dan menjelaskan kemampuan
berbahasa yang diperoleh Alvin terhadap pemerolehan fonologi, (2) Menjelaskan
kesalahan yang sering muncul terhadap pengucapan bahasa yang dituturkan oleh
Alvin.
Teori yang digunakan dalam analisis data adalah teori pemerolehan bahasa
oleh Dardjowidjojo (2008), dan gangguan fonologis atau kesalahan bunyi yang
dikemukakan oleh Blumstein dan Kohn (dalam Sastra, 2011). Dardjowidjojo
(2008: 225) menyatakan bahwa pemerolehan bahasa anak (language acquistion)
adalah proses penguasaan bahasa yang dilakukan oleh anak secara natural pada
waktu ia belajar bahasa ibunya (native language). Keajaiban akan muncul ketika
anak mulai mengucapkan kata pertamanya. Setelah kata pertama, kemudian akan

6
muncul kata-kata yang lain, dan seterusnya. Jadi, bahasa sebagai alat komunikasi
akan diperoleh manusia sejak lahir sampai usia lima tahun, yang dikenal dengan
istilah pemerolehan bahasa.
Dalam proses pemerolehan bahasa dikenal dengan suatu masa yang
dinamakan critical period (periode kritis). Critical period adalah periode dimana
penguasaan bahasa terjadi secara alami dan dilakukan tanpa sengaja. Pada proses
ini anak menemukan bunyi atau kalimat yang di dengarnya tanpa ada rasa takut
salah (Purwosunarto, 2013).Pada masa kanak-kanak, bagi anak yang normal
perkembangan bahasanya begitu cepat sehingga dalam waktu singkat anak dapat
menguasai banyak kosakata, ucapan, dan cara mengucapkannya.Barrett (dalam
Dardjowidjojo, 2008: 258) menyatakan bahwa pada umur 1;7 anak telah
memperoleh ±50 kata dan sekitar umur 1;8 anak makin cepat pemerolehan
katanya. Pada umur 2;0 anak diperkirakan telah menguasai 200-300 kata.
Berbahasa berarti berkomunikasi dengan menggunakan suatu bahasa. Untuk
dapat berbahasa diperlukan kemampuan mengeluarkan kata-
kata.Seorangmanusiayangnormalfungsi otakdan alatbicaranya tidak
terganggu,sudah jelas merekadapat berbahasadenganbaik.Akan tetapi,
bagimereka yangmemiliki kelainanfungsi otakdan alat bicaranya terganggu,tentu
mereka mengalamikesulitandalamberbahasa atau kemampuanberbahasanyajuga
akan terganggu.Penyebabyangmenimbulkan kesulitan atau gangguandalam
berbahasasangatbanyak, salah satunya seperti yang disebabkan oleh kerusakan
pada alatartikulasi ataupunkerusakan padaotak.Gangguan dalam perkembangan
bahasa dan artikulasi, selain menyebabkan hambatan dalam bidang akademik,
juga akan menyebabkan hambatan dalam bidang hubungan sosial.
Cerebral palsy menurut pendapat Mysak (dalam Muslich, 2008: 12-13)
yaitu merujuk pada kecederaan pada bagian tengah sistem otak manusia, yang
mengakibatkan proses arahan dan perpindahan dari otak dan saraf penggerak yang
mendorong pergerakan anggota tubuh jadi sangat lemah bahkan tidak berfungsi.
Kelumpuhan ini secara langsung juga melibatkan ketidaklancaran terhadap proses
penghasilan ujaran yang berkaitan dengan keadaan pernafasan yang tidak normal,
dan berdampak pada aliran udara yang diperlukan ketika menghasilkan bunyi

7
bahasa, kenyaringan dan kejelasan suara, serta kemampuan gerakan artikulator
pertuturan (Muslich, 2008:13). Jadi kelumpuhan saraf otak (cerebral palsy) ini
sangat berpengaruh pada otot-otot gerak tubuh.
Anak yang bicaranya tidak jelas atau sulit ditangkap dalam istilah psikologi
disebut mengalami gangguan artikulasi atau fonologis. Namun hal ini wajar saja
terjadi karena gangguan ini merupakan tergolong ke dalam gangguan
perkembangan (Sastra, 2011: 162). Tedjasaputra (dalam Sastra, 2011: 163) juga
menyatakan bahwa gangguan artikulasi atau fonologis ini ada yang ringan dan ada
yang berat. Untuk gangguan ringan biasanya terdapat pada anak-anak yang
berusia sekitar tiga tahun, karena kebanyakan pada usia tersebut anak masih
banyak yang belum bisa menyebut bunyi /l/, /r/, atau /s/. Misalnya kata ‘lari’
disebut dengan /lali/. Meskipun demikian, gangguan tipe ringan ini akan hilang
dengan sendirinya seiring dengan bertambahnya usia anak. Sedangkan gangguan
yang tergolong berat, anak bisa saja menghilangkan huruf-huruf tertentu atau
dengan mengganti huruf serta suku kata. Misalnya kata ‘toko’ akan diucapkannya
menjadi /toto/. Gangguan tersebut berkembang ketika anak menghasilkan bunyi,
silabel, atau kata-kata secara tidak benar, dengan begitu orang lain tidak akan
mengerti dan akan sulit memahami terhadap apa yang sedang diucapkan.
Dari dua tipe gangguan artikulasi atau fonologis yang telah dikemukakan di
atas, maka pengucapan bahasa yang diperoleh Alvin termasuk ke dalam golongan
gangguan berat. Karena terlihat pada saat Alvin menuturkan kata ‘tigo’ ‘tiga’
yang diucapkannya menjadi /tiko/. Dengan hal itu orang akan sulit memahami
maksud dari tuturan Alvin tersebut. Gangguan artikulasi/ fonologis dapat
disebabkan oleh faktor usia yang mengakibatkan alat bicara atau otot-otot yang
digunakan untuk berbicara belum lengkap atau belum berkembang dengan
sempurna. Gangguan perkembangan artikulasi/ fonologis juga meliputi kegagalan
mengucapkan satu huruf sampai beberapa huruf. Sering terjadi penghilangan atau
penggantian bunyi huruf itu sehingga menimbulkan kesan bahwa bicaranya
seperti anak kecil.Dengan hilangnya kemampuan untuk membentuk kata-kata
danuntuk menangkap arti kata-kata,maka pembicaraan tidak akan berlangsung
dengan baik.

8
Bicara merupakan bentuk bahasa yang menggunakan artikulasi atau kata-
kata yang digunakan untuk menyampaikan maksud. Karena bicara merupakan
bentuk komunikasi yang paling efektif. Berbicara juga termasuk sebuah tahap
perkembangan seseorang yang sudah dimulai semenjak bayi. Adapun simpulan
yang dapat ditarik dari pendapat Tarigan (dalam Sastra, 2011: 150) bahwa
gangguan berbicara merupakan suatu masalah atau kelainan perkembangan
seseorang dalam berkomunikasi dengan bahasa lisannya. Dardjowidjojo (2008:
214) menyatakan bahwa pada umumnya, kerusakan pada hemisfer kiri
mengakibatkan munculnya gangguan wicara. Gangguan wicara yang disebabkan
oleh stroke disebut dengan afasia. Selain dari pada itu, salah satu bentuk gangguan
wicara lainnya yaitu disartria.
Menurut pendapat Dardjowidjojo (2008: 216) disartria adalah gangguan
berupa lafal yang tidak jelas, tetapi ujarannya utuh. Gangguan ini terjadi karena
bagian yang rusak pada otak korteks motor saja, sehingga hanya lidah, bibir, atau
rahangnya saja yang berubah. Sejalan dengan itu, Sastra (2011: 51) menyatakan
bahwa disartria adalah gangguan yang dialami oleh karena hilangnya perintah
motorik untuk bertutur dengan jelas. Sehingga keadaan tersebut menyebabkan
suatu pertuturan menjadi tidak fasih.
Salah satu jenis disartria yaitu hipokinetik disartria, yakni ketidakmampuan
dalam memproduksi bunyi bicara akibat penurunan gerak dari otot-otot organ
bicara terhadap rangsangan dari pusat atau cortex yang ditandai dengan tekanan
dan nada yang monoton atau datar (Pawestri: 2011). Hal ini terlihat pada saat
Alvin berkomunikasi dengan lawan tuturnya, karena akan terlihat bahwa ada
gangguan bahasa saat Alvin mengucapkan sebuah kata ketika ia berbicara.
Kekakuan pada lidahnya membuat bahasa yang dituturkannya menjadi terganggu.
Seperti yang telah dikemukakan pada bagian latar belakang.
Dalam pengucapan bahasa Alvin gangguan jenis gagap juga terdapat pada
Alvin. Sidharta (dalam Chaer, 2003:154) menyatakan kegagapan adalah disfasia
yang ringan. Kegagapan lebih sering terjadi pada kaum laki-laki daripada kaum
perempuan, dan lebih banyak pada golongan remaja daripada golongan dewasa
Chauchard (dalam Chaer, 2003:154).

9
Kemampuan berbahasa pada seorang penderita yang mengalami gangguan
bahasa akan berbeda dengan tuturan yang diperoleh oleh manusia yang normal.
Seperti yang dinyatakan oleh Sastra (2011: 84) bahwa terdapat beberapa bentuk
kesalahan yang terjadi, terutama dalam bentuk fonologi, baik jumlah maupun
istilah yang digunakan. Menurut Kridalaksana (2008:63) fonologi yaitu bidang
dalam linguistik yang menyelidiki bunyi-bunyi bahasa menurut fungsinya.
Fonologi terbagi atas dua cabang, yaitu fonetik dan fonemik. Fonetik
merupakan suatu bidang linguistik yang mempelajari bunyi bahasa tanpa
memperhatikan apakah bunyi tersebut mempunyai fungsi sebagai pembeda makna
atau tidak. Sedangkan fonemik adalah kebalikan dari fonetik, yakni suatu bidang
linguistik yang mempelajari bunyi bahasa yang dapat atau berfungsi membedakan
makna (Sagita: 2012).\
Fonetik terbagi atas tiga jenis, yaitu pertama, fonetik artikulatoris,
mempelajari mekanisme alat-alat bicara manusia yang bekerja untuk
menghasilkan bunyi bahasa, serta bagaimana bunyi-bunyi tersebut
diklasifikasikan. Kedua, fonetik akustik, yang mempelajari bunyi bahasa sebagai
peristiwa fisis atau fenomena alam.Ketiga, fonetik auditoris, yaitu yang
mempelajari mekanisme penerimaan bunyi bahasa oleh telinga kita (Sagita:
2012). Dari ketiga jenis fonetik tersebut, yang yang termasuk dalam penelitian ini
adalah fonetik artikulatoris, sebab fonetik inilah yang berkenaan dengan masalah
bagaimana bunyi-bunyi bahasa itu di hasilkan atau pun diucapkan oleh anak
(Alvin).Pada umumnya bunyi bahasa dapat dibedakan menjadi dua, yaitu vokal
dan konsonan. Menurut Kridalaksana (2008:256) vokal adalah (1) bunyi bahasa
yang dihasilkan dengan getaran pita suara, dan tanpa penyempitan dalam saluran
suara diatas glotis; dan (2) satuan fonologis yang diujudkan dalam lafal tanpa
pergeseran. Konsonan adalah (1) bunyi bahasa yang dihasilkan dengan
menghambat aliran udara pada salah satu tempat di saluran suara diatas glotis; (2)
bunyi bahasa yang dapat berada pada tepi suku kata dan tidak sebagai inti suku
kata; dan (3) fonem yang mewakili bunyi tersebut Kridalaksana (2008:132).
Manusia yang pertumbuhannya tidak normal, kesempatan dalam
memperoleh bunyi-bunyi maupun kata-kata yang digunakan relatif sama dengan

10
manusia yang normal. Tetapi, karena adanya kelainan atau gangguan yang
menjadikannya tidak mampu untuk mengucapkan bunyi-bunyi bahasa tertentu,
maka bunyi bahasa yang diucapkannya itu akan membuat orang lainmenjadi
kebingungan dan kesulitan untuk memahami maksud dari pengucapan bahasa
yang dituturkan.
Seiring dengan itu, Blumstein dan Kohn (dalam Sastra, 2011: 85-88)
mengemukakan bahwa kesalahan bunyi atau gangguan fonologis pada penderita
afasia motorik dibedakan atas bentuk penggantian fonem (substitusi),
penghilangan fonem (ommisi), penambahan fonem, dan ketidakberaturan fonem.
Misalnya pada penghilangan fonem (ommisi)adalah /ot/ untuk kata ‘hot’, /ecil/
untuk ‘kecil’. Untuk penggantian fonem (substitusi) yaitu penggunaan fonem /w/
untuk /r/ seperti ‘orang’menjadi/owang/. Kemudian pada penambahan fonem
seperti ‘pasar’ menjadi /pasyal/, dan untuk ketidakteraturan fonem seperti /nita/
untuk kata ‘tinta’.
Dari keempat bentuk gangguan yang dikemukakan tersebut juga terlihat
pada bahasa yang dituturkan oleh Alvin. Contoh untuk penghilangan fonem
(ommisi)adalah /lis/ untuk kata ‘alis’. Untuk penggantian fonem (substitusi) yaitu
penggunaan fonem /g/ menjadi /k/ seperti /tiko/ untuk kata ‘tigo’, kemudian pada
penambahan fonem yaitu pengucapan /atang/ untuk kata ‘antaan’, dan
ketidakteraturan fonem seperti /kuluang/ untuk kata ‘pungguang’. Pada Alvin,
gangguan produksi bunyi terlihat pada saat ia berbicara. Dimana ia berbicara
dengan satu tarikan nafas dan kata-kata yang diucapkannya kurang jelas. Sehingga
terjadinya ketidaklancaran dalam menghasilkan tuturan dengan pengucapan kata-
kata yang tidak sempurna yang disebabkan oleh kesalahan bunyi tersebut.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode dan teknik yang
dikemukakan oleh Sudaryanto (1993). Metode dan teknik dalam penelitian ini
terdiri atas tiga tahap yaitu, tahap penyediaan data, tahap analisis data, dan tahap
penyajian hasil analsis data. Pada tahap penyediaan data digunakan metode simak
dengan menggunakan teknik sadap sebagai teknik dasarnya, kemudian teknik
lanjutannya terdiri dari teknik simak libat cakap (SLC), simak bebas libat cakap
(SBLC), teknik rekam, dan teknik catat. Pada tahap analisis data digunakan

11
metode padan artikulatoris dengan teknik dasar pilah unsur penentu (PUP), dan
teknik hubung banding membedakan (HBB) sebagai teknik lanjutannya. Pada
tahap penyajian hasil analisis data, digunakan metode formal dan informal.

Pembahasan
Kasus pada seorang anak laki-laki yang bernama Alvin digolongkan pada
gangguan fonologi bahasa anak, karena untuk berkomunikasi sehari-hari Alvin
mengalami gangguan berbicara berupa disartria (gangguan bicara pada bagian
arikulasi akibat lemahnya pengontrol gerak) dan stutering (gagap). Pada
penganalisisan data yang berbentuk percakapan memungkinkan terjadinya
pengulangan data, karena dari satu data dapat mengalami gangguan-gangguan
berbicara tersebut.

o Kemampuan pemerolehan bahasa oleh Alvin


Dalam kasus ini, penulis mencoba membahas mengenai gangguan
fonologi bahasa anak yang berhubungan dengan adanya gangguan terhadap alat
artikulasinya. Sehingga dengan gangguan tersebut mengakibatkan anak
mempunyai masalah dalam pengucapannya.

a. Pengucapan bunyi

Manusia yang pertumbuhannya tidak normal, kesempatan dalam


memperoleh bunyi-bunyi maupun kata-kata yang digunakan relatif sama dengan
manusia yang normal. Tetapi, karena adanya kelainan atau gangguan yang
menjadikannya tidak mampu untuk mengucapkan bunyi-bunyi bahasa tertentu,
maka bunyi bahasa yang diucapkannya itu akan membuat orang lain menjadi
kebingungan dan kesulitan untuk memahami maksud dari pengucapan bahasa
yang dituturkan. Untuk membedakan leksikal dalam bahasa tersebut, Verhaar
(dalam Sukmayanti, 2006: 21) mengatakan bahwa sesuatu bunyi yang mempunyai
fungsi untuk membedakan kata dari kata yang lain itu disebut dengan fonem.
Dalam mengucapkan sebuah bahasa, hal yang sangat perlu diperhatikan
dalam berkomunikasi adalah bunyi. Pada umumnya bunyi bahasa dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu vokal dan konsonan. Bunyi vokal terdiri dari 5 huruf, yakni:

12
/a/, /i/, /u/, /e/, dan /o/. Sedangkan bunyi konsonan yaitu selain dari bunyi-bunyi
vokal, yaitu: /b/, /c/, /d/, /f/, /g/, /h/, /j/, /k/, /l/, /m/, /n/, /p/, /q/, /r/, /s/, /t/, /v/, /w/,
/x/, /y/, dan /z/. Seperti yang terdapat pada percakapan di bawah ini, akan terlihat
bagaimana pengucapan bunyi-bunyi tersebut oleh Alvin.

4. Percakapan 26
Penulis : Pin, cubo sabuik a, i, u, e, o Pin!
‘Vin coba sebutkan a, i, u, e, o Vin?
Alvin : a,i, u, e, o
‘a,i, u, e, o’
‘a,i, u, e, o’

Pada Alvin, bunyi vokal yang diperolehnya jelas dan tidak mengalami
gangguan ataupun perubahan bunyi yang dihasilkan apabila hanya mengucapkan
sebuah fonem saja. Akan tetapi jika dalam suatu kata, kadang-kadang juga
terdapat perubahan bunyi vokal tersebut yang berupa penggantian fonem, seperti
yang terdapat pada percakapan berikut.

5. Percakapan 28
Penulis : Pin, baju ama Pin tu warna a tu?
‘Alvin, Mama Alvin itu pakai baju warna apa?
Alvin :peng
‘ping’
‘warna ping’

Pengucapan peng ‘ping pada data tersebut terdapat penggantian fonem /i/
menjadi fonem /e/. Pada tabel bunyi vokal dikatakan bahwa fonem /i/ merupakan
vokal tinggi, depan, tak bulat dan pada fonem /e/ merupakan vokal tengah, depan
dan tak bulat. Maka perbedaan bunyi tersebut terletak pada tinggi dan tengah lidah
ketika bunyi tersebut diucapkan. Sedangkan pada pengucapan bunyi konsonannya
relatif lemah apabila dibandingkan dengan bunyi vokal, karena banyak lafal yang
diucapkannya yang kurang jelas, seperti yang terlihat pada percakapan di bawah
ini.

13
6. Percakapan 27

Penulis: Pin, cubo sabuikan huruf a nan Yang tunjuak ko deh!


‘Alvin coba sebutkan huruf yang Yang tunjuk ini!’
Alvin : deh
‘iya’
Penulis: ko huruf a namonyo ko? (sambil menunjuk huruf)
‘ini huruf apa namanya?’
Alvin : b, te, d, es, te, ah, te, ta, ul, m, n, p, tiu, ul, s, t, pe, w, x,
y, cet.
‘b, c, d, f, g, h, j, k, l, m, n, p, q, r, s, t, v, w, x, y, z’
‘b, c, d, f, g, h, j, k, l, m, n, p, q, r, s, t, v, w, x, y, z’

Pada percakapan tersebut, jelas terlihat bahwa Alvin sangat kesulitan ketika
mengucapkan bunyi-bunyi konsonan tersebut karena disebabkan oleh artikulator
yang tidak terkoordinir.

7. Percakapan 32

Abak : Pin, manga Pin du?


‘Alvin mengapa disana?’
Alvin :tutuak.
‘duduak’
‘duduk’

Pada percakapan 32 di atas,dapat diketahui bahwa pada pengucapan kata


tutuak ‘duduak’ ditemukan penggantian fonem, yaitu fonem /d/ diganti dengan
fonem /t/. Pada tabel bunyi konsonan dikatakan bahwa /d/ adalah konsonan plosif
dental bersuara dan /t/ adalah konsonan plosif dental tak bersuara. Perbedaan
bunyi /d/ dan /t/ terletak pada bersuara dan tak bersuara bunyi tersebut.

b. Pengucapan kosakata dalam pemerolehan bahasa


Dari data yang telah diperoleh, penulis menemukan beberapa kesalahan
yang sering terjadi dalam pengucapan bahasa oleh Alvin. Kesalahan-kesalahan
tersebut berupa penghilangan fonem, penggantian fonem, dan penambahan fonem.
Dari kesalahan bahasa yang terdapat pada pengucapan bahasa oleh Alvin, dapat
dikatakan bahwa Alvin tidak mampu mengucapkan kosakata ataupun bahasa
dengan sempurna.

14
Pengelompokan Pengucapan Turunan Glos
Aktifitas /andi/ mandi mandi
/atan/ makan makan
/alan/ jalan jalan
/ola/ sakola sekolah
/ain/ main main

/pipia/ bibia bibir


Anggota tubuh /titi/ gigi gigi
/itah/ lidah lidah
/taliah/ lihia leher
/atuak/ daguak dagu

/cang/ pisang pisang


/nimau/ limau jeruk
Buah-buahan
/alak/ salak salak
/iyan/ durian durian
/mpia/ karambia kelapa

Bilangan /tatu/ satu satu


/duo/ duo dua
/tiko/ tigo tiga
/ampek/ ampek empat
/nimo/ limo lima
/anam/ anam enam
/tutuah/ tujuah tujuh
/tapan/ lapan delapan
/mimilan/ sambilan sembilan
/pupuluah/ sapuluah sepuluh

/milah/ merah merah


Warna /itan/ itam hitam
/utiah/ putiah putih
/biu/ biru biru
/kuning/ kuniang kuning

/uciang/ kuciang kucing


Binatang /cici/ anjiang anjing
/itan/ ikan ikan
/yam/ ayam ayam
/cicak/ cacak cicak

/tapiak/ lapiak tikar


/meta/ meja meja

15
Peralatan rumah /uci/ karusi kursi
tangga /ndok/ sendok sendok
/tatua/ kasua kasur

/atu/ baju baju


/uwa/ sarawa celana
Pakaian, /lopi/ topi topi
peralatan sekolah /tas/ tas tas
dan perhiasan /butu/ buku buku

/apa/ apa ayah


/ama/ ama ibu
Kata sapa untuk /yek/ ayek kakek
anggota keluarga
/nenek/ amak nenek
/etek/ etek tante

/ci/ nasi nasi


Makanan /mpa/ samba sambal
/ue/ kue kue
/upuak karupuak kerupuk
/ipik/ ripik keripik

/nek/ angek panas


Lain-lain /ninin/ dingin dingin
/atuk/ takajuk terkejut
/api/ api api
/utan/ hujan hujan

Dari data yang diperoleh diatas, penulis menemukan beberapa fonem yang
dihilangkan dan diganti oleh Alvin dalam pengucapan bahasanya, yakni: terjadi
penghilangan fonem paduan /j/ pada kata ‘jalan’ yang diucapkan menjadi /alan/.
Akan tetapi pada kata ‘lidah’ terdapat dua kesalahan dalam pengucapannya, yaitu
penghilangan dan penggantian fonem. Untuk penghilangan, terdapat fonem /l/
yang dihilangkan pada kata ‘lidah’ tersebut dan penggantian fonem /d/ menjadi
fonem /t/ sehingga terjadinya pengucapan kata /itah/. Sedangkan kata ‘tujuh’ yang
diucapkan menjadi /tutuah/ hanya terjadi penggantian fonem saja, yaitu fonem /j/
diganti dengan fonem /t/.

16
o Kesalahan yang sering muncul terhadap pengucapan bahasa yang
dituturkan oleh Alvin
Kesalahan yang sering muncul dalam pengucapan bahasa oleh Alvin,
dapat diklasifikasikan berdasarkan gangguan pada ujaran Alvin berupa gangguan
fonologi atau artikulasi. Gangguan-gangguan tersebut berupa penghilangan fonem
dan suku kata, pengubahan fonem, dan penambahan fonem, kemudian juga
terdapat gangguan yang disebabkan oleh kegagapan.

 Penghilangan fonem dan suku kata


a. Penghilangan fonem /b/ dan /d/
8. Percakapan 31
Amak : dima Apin makan tadi tu?
‘Alvin tadi makan dimana?
Alvin : awuah
‘di baruah’
‘di rumah bawah’

9. Percakapan 3
Amak : dima Pin sakola?
‘Alvin sekolah dimana?’
Alvin : anan
‘di Pandan’
‘di Pandan’

Pada percakapan 31, Alvin mengalami kesulitan dalam mengujarkan


fonem hambat /b/ di awal kata pada ujaran awuah ‘baruah’ ‘bawah’ sebagai
simbol arah. Kesulitan fonem /b/ tersebut disebabkan oleh kekakuan pada
artikulator aktif yaitu bibir bawah. Pada percakapan 3, Alvin mengalami kesulitan
dalam mengujarkan fonem hambat /d/ di tengah kata pada ujaran anan ‘Pandan’
‘Pandan’ yang merupakan simbol nama suatu tempat. Kesulitan fonem /d/ yang
dialami tersebut disebabkan karena tidak adanya koordinasi antara artikulator aktif
(ujung lidah) dengan pasif (gigi atas).

17
b. Penghilangan suku kata
a) Penghilangan suku kata pertama /ba/, /bi/, dan /be/

28. Percakapan 33

Penulis : Pin, ambiak badak tu Pin a!


‘Alvin tolong ambilkan bedak!’
Alvin : ma tak o?
‘ma badak ko?
‘dimana bedaknya?’

29. Percakapan 23
Alvin : Ma, komma... kommm... ko lituak deh.
‘Ma, bali iko bisuak deh’
‘Ma, besokbeli ini ya’
Ama : deh.
‘iya’

30. Percakapan 30

Alvin : tak liak Yang Mak


‘latak dalam biliak Yang Mak’
‘dalam kamarTek Yang letakkannya Mak?’
Amak : bawah nin latakan a, bawah meja nin latakan a
‘letakkan di bawah meja itu!’
Alvin : tiko?
‘disiko?’
‘disini?’
Amak : yo
‘iyo’
‘iya’

31. Percakapan 12
Alvin : ko ko tok yan deh..
‘beko cigok ayam deh’
‘nanti kita lihat ayam ya’
Penulis: apo pin?
‘apa Vin?’
Alvin : ko ko tok yan deh, to ko..
‘beko cigok ayam deh, photo beko’
‘nanti kita lihat ayam ya dan berfhoto juga’

Penghilangan suku kata pertama pada percakapan 23 di atas terdapat pada


ujaran li ‘bali’ beli’ yang merupakan penghilangan suku kata /ba/ sebagai simbol
kegiatan untuk membeli, dan pada ujaran tak ‘badak’ ‘bedak’ pada percakapan 33

18
sebagai simbol kosmetik. Kemudian juga terdapat penghilangan suku kata /bi/
dalam percakapan 23 pada ujaran tuak ‘bisuak’ besok’ yang merupakan simbol
keterangan waktu, dan dalam percakapan 30 pada ujaran liak ‘biliak’ ‘kamar’
sebagai simbol ruangan untuk tempat istirahat/ tidur. Pada percakapan 12, terdapat
penghilangan suku kata /be/ pada ujaran ko ‘beko’ ‘nanti’ yang juga merupakan
simbol keterangan waktu. Penghilangan suku kata pertama /ba/, /bi/, dan /be/
tersebut disebabkan oleh kekakuan pada artikulator aktif dengan posisi lidah pada
bunyi depan dalam suatu kata yang diujarkan.

3.3.2. Pengubahan fonem


a. Pengubahan fonem /d/ menjadi /t/
40. Percakapan 19
Penulis : lai pandai Apin mandi sorang?
‘apa Alvin bisa mandi sendiri?
Alvin : tak
‘indak’
‘tidak’

41. Percakapan 33
Penulis : Pin, ambiak badak tu Pin a!
‘Alvin tolong ambilkan bedak!’
Alvin : ma tak o?
‘ma badak ko?
‘dimana bedaknya?’

Pada percakapan 19 di atas, terjadinya pengubahan fonem hambat /d/


menjadi /t/ karena Alvin mengalami kesulitan untuk mengucapkan fonem tersebut
di tengah kata. Pengucapan tersebut dapat dilihat pada ujaran tak ‘indak’ ‘tidak’
sebagai simbol untuk menyatakan penolakan. Pada percakapan 33, pengubahan
fonem hambat /d/ terjadi di awal suku kata kedua sehingga pengucapannya diubah
menjadi fonem /t/ pada ujaran tak ‘badak’ ‘bedak’ sebagai simbol kosmetik.
Kesulitan fonem /d/ yang dialami tersebut disebabkan karena tidak adanya
koordinasi antara artikulator aktif (ujung lidah) dengan pasif (gigi atas).

19
3.3.3. Penambahan fonem
a. Penambahan fonem /g/
58. Percakapan 11
Alvin : lah atang Ama lah
‘lah antaan tampek Ama lah’
‘mari antarkan ke tempat Mama’
Haidil : beko lah
‘nanti saja’

Penambahan fonem paduan /g/ yang terdapat pada percakapan 11 di atas,


terlihat pada ujaran atang ‘antaan’ ‘antarkan’ yang merupakan simbol tindakan
untuk mengantarkan sesuatu. Penambahan fonem /g/ terjadi karena Alvin
mengalami kesulitan untuk mengucapakan kata tersebut yang disebabkan oleh
kurangnya koordinasi lidah dan pengaruh fonem /n/ yang sama-sama sengau
dengan fonem /ng/ tersebut.

3.3.4. Kegagapan
a. Pengulangan suku kata
60. Percakapan 12
Alvin : ko ko tok yan deh..
‘beko cigok ayam deh’
‘nanti kita lihat ayam ya’
Penulis: apo Pin?
‘apa Vin?’
Alvin : ko ko tok yan deh, to ko..
‘beko cigok ayam deh, photo beko’
‘nanti kita lihat ayam ya dan berfhoto juga’

61. Percakapan 22
Alvin : Ma, kommo... kommm... ko a ko Ma?
‘Ma, iko a nyo ko Ma’
‘Ma, ini apa namanya Ma?’
Ama : coklat nyo.
‘coklatnya’

62. Percakapan 23
Alvin : Ma, komma... kommm... ko li tuak deh.
‘Ma, bali iko bisuak deh’
‘Ma, besok beli ini ya’
Ama : deh.
‘iya’

20
63. Percakapan 24
Alvin : Pa, ko tang... ko tang... ko ko la tuak deh.
‘Pa, antaan sakola bisuak deh’
‘Pa, besok antarkan ke sekolah ya’
Apa : deh, jo a antaan?
‘iya, antarkannya dengan apa?
Alvin : nda otu
‘jo onda Oncu’
‘dengan motor Oncu’

Terjadinya pengulangan suku kata yang terdapat pada percakapan-


percakapan di atas, karena Alvin ingin menyempurnakan kembali bentuk kata
yang telah diujarkannya. Pengulangan tersebut terdapat pada akhir suku kata yang
diujarkan, dapat dilihat pada ujaran ko ko ‘beko’, komma... kommm... ‘iko’,
kommo... kommm... ‘iko’, dan ko tang... ko tang... ‘antaan’ yang terdapatpada
percakapan 12, 22, 23 dan 24 di atas.

Simpulan
Berdasarkan penganalisisan data terhadap gangguan fonologi bahasa anak
studi kasus pada Alvin, dapat disimpulkan beberapa gangguan dalam bahasa
sebagai media komunikasinya, yakniadanya perbedaan antara bicara dan bahasa.
Bicara merupakan pengucapan yang menunjukkan keterampilan seseorang
mengucapkan suara dalam suatu kata. Sedangkan bahasa yaitu menyatakan dan
menerima informasi dalam suatu cara tertentu atau salah satu cara berkomunikasi.
Kemampuan dalam pengucapan bunyi yang diperoleh anak (Alvin) dalam
pemerolehan bahasanya yaitu antara bunyi vokal dengan bunyi konsonan berbeda.
Karena pada pengucapan bunyi vokal yang diperoleh Alvin jelas dan tidak
mengalami perubahan bunyi, kecuali vokal tersebut telah digabung dengan
beberapa fonem lain dalam bentuk kata. Sedangkan pada bunyi konsonan relatif
lemah dan mengalami perubahan bunyi, baik pada pengucapan konsonan saja
maupun telah digabung dengan fonem lainnya.
Gangguan fonologi/ artikulasi yang mengakibatkan adanya kesulitan
artikulator untuk menghasilkan artikulasi yang dominan terjadi pada fonem
konsonan /b/, /c/, /d/, /g/, /k/, /l/, /m/, /n/, /o/, /p/, /r/, /s/, /t/, /u/ sehingga

21
mengakibatkan terjadinya penghilangan fonem, pengubahan fonem, dan
penambahan fonem pada suatu kata yang diujarkan.
Kesalahan-kesalahan dalam pelafalan fonem oleh Alvin terjadi pada
pengucapan bunyi tinggi dengan posisi lidah berada pada bagian depan, yang
merupakan kesalahan dalam pengucapan bunyi vokal /i/ menjadi /e/ pada data 28.
Kemudian kesalahan pada bunyi konsonan, paling banyak terdapat pada cara
artikulasi membentuk bunyi paduan, geser, samping, dan getar. Karena pada
pengucapan fonem tertentu terjadinya kelemahan dan kekakuan pada alat
artikulator saat mengujarkan fonem-fonem yang membentuk bunyi-bunyi
tersebut.
Kegagapan mengakibatkan adanya kesulitan pada saat mengujarkan sebuah
kata yang disebabkan oleh kekurangmampuan artikulator untuk berfungsi secara
normal, dan juga adanya masalah terhadap pengaturan pernafasan. Sehingga
mengakibatkan anak (Alvin) mengalami pengulangan suku kata pada pengucapan
bahasanya untuk dapat menyelesaikan kalimat yang diucapkan.

DAFTAR PUSTAKA

Bahren. 2011. Lika-Liku Linguistik. Minangkabau Press.

Cahyono, Bambang Yudi. 1995. Kristal-Kristal Ilmu Bahasa. Surabaya:


Airlangga University Press.

Dardjowidjojo, Soenjono. 2008. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa


Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Dewi, Yoffie Kharisma. 2013. “Disfungsi Bahasa Anak Retardasi Mental: Studi
Kasus Pada Tuturan Yogi”. Proposal, Padang: Program Pascasarjana
Universitas Andalas.

Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka


Utama.

Marisa, Rika. 2010. “Gangguan Berbahasa Lisan Penderita Cerebral Palsy Jenis
Spasticity Di SDLBN No. 31 Kelurahan Pondok Duo Kecamatan
Pariaman Tengah”. Skripsi, Padang: Fakultas Sastra Universitas Andalas.

Muslich, Masnur. 2008. Fonologi Bahasa Indonesia: Tinjauan Deskriptif Sistem


Bunyi Bahasa Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.

22
N, Hendri. 1991. “Kemampuan Berbahasa Lisan Penderita Gagap”. Skripsi,
Padang: Fakultas Sastra Universitas Andalas.

Nadliroh, Khafidhotun. 2013. “Gangguan Bahasa Pada Anak” dalamVidha's


Words. diakses pada tanggal 06 April 2014.

Pawestri, Retno Dwi. 2011. “Gangguan Bahasa Dan Bicara Pada Anak
Tunagrahita” dalam Artikel dan Makalah. diakses pada tanggal 29
Agustus 2014.

Purwosunarto, Nodya. 2013. “Faktor Usia Dalam Pemerolehan Bahasa” dalam


Blogger. diakses pada tanggal 06 Januari 2015.

Sagita, Lara: 2012. “Peta Konsep Fonologi” dalam Fonologi. diakses pada tanggal
23 November 2014.

Sastra, Gusdi. 2011. Neurolinguistik: Suatu Pengantar. Bandung: Alfabeta.

Sihombing, Meji M. 2005. “Kemampuan Berbahasa Penderita Ekolalia: Suatu


Tinjauan Psikolinguistik”. Skripsi, Padang: Fakultas Sastra Universitas
Andalas.

Sudaryanto. 1993. Metode Linguistik: Metode & Aneka Teknik Analisis bahasa.
Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Sukmayanti. 2006. “Kemampuan Bahasa Lisan Penderita Disartria”. Skripsi,


Padang: Fakultas Sastra Universitas Andalas.

Sumarsono. 2007. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tarigan, Henry Guntur. 2009. Psikolinguistik. Bandung: Angkasa.

23

Anda mungkin juga menyukai