Anda di halaman 1dari 82

B.

Pengertian Media

Kata media berasal dari bahasa Latin medius yang secara harfiah berarti 'tengah', 'perantara' atau
'pengantar'. Dalam bahasa Arab, media adalah perantara (J) atau pengantar pesan dari pengirim
kepada penerima pesan. Gerlach & Ely (1971) mengatakan bahwa media apabila dipahami
secara garis besar adalah manusia, materi, atau kejadian yang membangun kondisi yang
membuat siswa mampu memperoleh pengetahuan, keterampilan, atau sikap. Dalam pengertian
ini, guru, buku teks, dan lingkungan sekolah merupakan media. Secara lebih khusus, pengertian
media dalam proses belajar mengajar cenderung diartikan sebagai alat-alat grafis, photografis,
atau elektronis untuk menangkap, memproses, dan menyusun kembali informasi visual atau
verbal.

Batasan lain telah pula dikemukakan oleh para ahli yang sebagian di antaranya akan diberikan
berikut ini. AECT (Association of Education and Communication Technology, 1977) memberi
batasan tentang media sebagai segala bentuk dan saluran yang digunakan untuk menyampaikan
pesan atau informasi. Di samping sebagai sistem penyampai atau pengantar, media yang sering
diganti dengan kata mediator menurut Fleming (1987: 234) adalah penyebab atau alat yang turut
campur tangan dalam dua pihak dan mendamaikannya. Dengan istilah mediator media
menunjukkan fungsi atau perannya, yaitu mengatur hubungan yang efektif antara dua pihak
utama dalam proses belajar-siswa dan isi pelajaran. Di samping itu, mediator dapat pula
mencerminkan pengertian bahwa setiap sistem pembelajaran yang melakukan peran mediasi,
mulai dari guru sampai kepada peralatan paling canggih, dapat disebut media. Ringkasnya,
media adalah alat yang menyampaikan atau mengantarkan pesan-pesan pembelajaran.

Heinich, dan kawan-kawan (1982) mengemukakan istilah medium sebagai perantara yang
mengantar informasi antara

4
Media Pembelajaran

sumber dan penerima. Jadi, televisi, film, foto, radio, rekaman audio, gambar yang
diproyeksikan, bahan-bahan cetakan, dan sejenisnya adalah media komunikasi. Apabila media
itu membawa pesan-pesan atau informasi yang bertujuan instruksional atau mengandung
maksud-maksud pengajaran maka media itu disebut media pembelajaran. Sejalan dengan batasan
ini, Hamidjojo dalam Latuheru (1993) memberi batasan media sebagai semua bentuk perantara
yang digunakan oleh manusia untuk menyampaikan atau menyebar ide, gagasan, atau pendapat
sehingga ide, gagasan atau pendapat yang dikemukakan itu sampai kepada penerima yang dituju.

Acapkali kata media pendidikan digunakan secara bergantian dengan istilah alat bantu atau
media komunikasi seperti yang dikemukakan oleh Hamalik (1986) di mana ia melihat bahwa
hubungan komunikasi akan berjalan lancar dengan hasil yang maksimal apabila menggunakan
alat bantu yang disebut media komunikasi. Sementara itu, Gagne' dan Briggs (1975) secara
implisit mengatakan bahwa media pembelajaran meliputi alat yang secara fisik digunakan untuk
menyampaikan isi materi pengajaran, yang terdiri dari antara lain buku, tape recorder, kaset,
video camera, video recorder, film, slide (gambar bingkai), foto, gambar, grafik, televisi, dan
komputer. Dengan kata lain, media adalah komponen sumber belajar atau wahana fisik yang
mengandung materi instruksional di lingkungan siswa yang dapat merangsang siswa untuk
belajar. Di lain pihak, National Education Association memberikan definisi media sebagai
bentuk-bentuk komunikasi baik tercetak maupun audio-visual dan peralatannya; dengan
demikian, media dapat dimanipulasi, dilihat, didengar, atau dibaca.

Istilah "media" bahkan sering dikaitkan atau dipergantikan dengan kata "teknologi" yang berasal
dari kata latin tekne (bahasa Inggris art) dan logos (bahasa Indonesia "ilmu").

6
Media Pembelajaran

Dalam kegiatan belajar mengajar, sering pula pemakaian digantikan ( ‫ ) الوسائل التعليمية‬kata media
pembelajaran atau dengan istilah-istilah seperti alat pandang dengar, bahan pengajaran
(instructional material), komunikasi pandang-dengar (audio-visual communication), pendidikan
alat peraga pandang (visual education), teknologi pendidikan (educational technology), alat
peraga

.(‫ ) الرسائل التوضيحية‬dan media penjelas (‫ )وسائل االيضاح‬Berdasarkan uraian beberapa batasan
tentang media di atas, berikut dikemukakan ciri-ciri umum yang terkandung pada setiap batasan
itu.

1. Media pendidikan memiliki pengertian fisik yang dewasa ini dikenal sebagai hardware
(perangkat keras), yaitu sesuatu benda yang dapat dilihat, didengar, atau diraba dengan
pancaindera.

2. Media pendidikan memiliki pengertian nonfisik yang dikenal sebagai software (perangkat
lunak), yaitu kandungan pesan yang terdapat dalam perangkat keras yang merupakan isi yang
ingin disampaikan kepada siswa.

3. Penekanan media pendidikan terdapat pada visual dan audio. 4. Media pendidikan memiliki
pengertian alat bantu pada proses belajar baik di dalam maupun di luar kelas.

5. Media pendidikan digunakan dalam rangka komunikasi dan interaksi guru dan siswa dalam
proses pembelajaran.

6. Media pendidikan dapat digunakan secara massal (misalnya: radio, televisi), kelompok besar
dan kelompok kecil (misalnya film, slide, video, OHP), atau perorangan (misalnya: modul,
komputer, radio tape/kaset, video recorder).
7. Sikap, perbuatan, organisasi, strategi, dan manajemen yang berhubungan dengan penerapan
suatu ilmu.

C. Landasan Teoretis Penggunaan Media Pendidikan

Pemerolehan pengetahuan dan keterampilan, perubahan perubahan sikap dan perilaku dapat
terjadi karena interaksi antara pengalaman baru dengan pengalaman yang pernah dialami
sebelumnya. Menurut Bruner (1966: 10-11) ada tiga tingkatan utama modus belajar, yaitu
pengalaman langsung (enactive). pengalaman piktorial/gambar (iconic), dan pengalaman abstrak
(symbolic). Pengalaman langsung adalah mengerjakan, misalnya arti kata 'simpul' dipahami
dengan langsung membuat 'simpul'. Pada tingkatan kedua yang diberi label iconic (artinya
gambar atau image), kata 'simpul' dipelajari dari gambar, lukisan, foto, atau film. Meskipun
siswa belum pernah mengikat tali untuk

membuat 'simpul' mereka dapat mempelajari dan memahaminya dari gambar, lukisan, foto, atau
film. Selanjutnya, pada tingkatan simbol, siswa membaca (atau mendengar) kata 'simpul' dan
mencoba mencocokkannya dengan 'simpul' pada image mental atau mencocokkannya dengan
pengalamannya membuat 'simpul'. Ketiga tingkat pengalaman ini saling berinteraksi dalam
upaya memperoleh 'pengalaman' (pengetahuan, keterampilan, atau sikap) yang baru.

Tingkatan pengalaman pemerolehan hasil belajar seperti itu digambarkan oleh Dale (1969)
sebagai suatu proses komunikasi. Materi yang ingin disampaikan dan diinginkan siswa dapat
menguasainya disebut sebagai pesan. Guru sebagai sumber pesan menuangkan pesan ke dalam
simbol-simbol tertentu (encoding) dan siswa sebagai penerima menafsirkan simbol-simbol
tersebut sehingga dipahami sebagai pesan (decoding). Cara pengolahan pesan oleh guru dan
murid dapat digambarkan pada Gambar 1.1.

Uraian di bawah memberikan petunjuk bahwa agar proses belajar mengajar dapat berhasil
dengan baik, siswa sebaiknya diajak untuk memanfaatkan semua alat inderanya. Guru berupaya
untuk menampilkan rangsangan (stimulus) yang dapat diproses dengan berbagai indera. Semakin
banyak alat indera yang digunakan untuk menerima dan mengolah informasi semakin besar
kemungkinan informasi tersebut dimengerti dan dapat dipertahankan dalam ingatan. Dengan
demikian, siswa diharapkan akan dapat menerima dan menyerap dengan mudah dan baik pesan-
pesan dalam materi yang disajikan.

Levie & Levie (1975) yang membaca kembali hasil-hasil penelitian tentang belajar melalui
stimulus gambar dan stimulus kata atau visual dan verbal menyimpulkan bahwa stimulus visual
membuahkan hasil belajar yang lebih baik untuk tugas-tugas seperti mengingat, mengenali,
mengingat kembali, dan menghubung-hubungkan fakta dan konsep. Di lain pihak, stimulus
verbal memberi hasil belajar yang lebih apabila pembelajaran itu melibatkan ingatan yang
berurut-urutan (sekuensial). Hal ini merupakan salah satu bukti dukungan atas konsep dual
coding hypothesis (hipotesis koding ganda) dari Palvio (1971). Konsep itu mengatakan bahwa
ada dua sistem ingatan manusia, satu untuk mengolah simbol-simbol verbal kemudian
menyimpannya dalam bentuk proposisi image, dan yang lainnya untuk mengolah image
nonverbal yang kemudian disimpan dalam bentuk proposisi verbal.

Belajar dengan menggunakan indera ganda -pandang dan dengar-berdasarkan konsep di atas
akan memberikan keuntungan bagi siswa. Siswa akan belajar lebih banyak daripada jika materi
pelajaran disajikan hanya dengan stimulus pandang atau hanya dengan stimulus dengar. Para ahli
memiliki pandangan yang searah mengenai hal itu. Perbandingan pemerolehan hasil belajar
melalui indera pandang dan indera dengar sangat menonjol

13

Pengertian Media

perbedaannya. Kurang lebih 90% hasil belajar seseorang diperoleh melalui indera pandang, dan
hanya sekitar 5% diperoleh melalui indera dengar dan 5% lagi dengan indera lainnya (Baugh
dalam Achsin, 1986). Sementara itu, Dale (1969) memperkirakan bahwa pemerolehan hasil
belajar melalui indera pandang berkisar 75%, melalui indera dengar sekitar 13%, dan melalui
indera lainnya sekitar 12%.

Salah satu gambaran yang paling banyak dijadikan acuan sebagai landasan teori penggunaan
media dalam proses belajar adalah Dale's Cone of Experience (Kerucut Pengalaman Dale) (Dale,
1969). Kerucut ini (Gambar 1.2) merupakan elaborasi yang rinci dari konsep tiga tingkatan
pengalaman yang dikemukakan oleh Bruner sebagaimana diuraikan sebelumnya. Hasil belajar
seseorang diperoleh mulai dari pengalaman langsung (konkret), kenyataan yang ada di
lingkungan kehidupan seseorang kemudian melalui benda tiruan, sampai kepada lambang verbal
(abstrak). Semakin ke atas di puncak kerucut semakin abstrak media penyampai pesan itu. Perlu
dicatat bahwa urut-urutan ini tidak berarti proses belajar dan interaksi mengajar belajar harus
selalu dimulai dari pengalaman langsung, tetapi dimulai dengan jenis pengalaman yang paling
sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan kelompok siswa yang dihadapi dengan
mempertimbangkan situasi belajarnya.

Dasar pengembangan kerucut di bawah bukanlah tingkat kesulitan, melainkan tingkat


keabstrakan-jumlah jenis indera yang turut serta selama penerimaan isi pengajaran atau pesan.
Pengalaman langsung akan memberikan kesan paling utuh dan paling bermakna mengenai
informasi dan gagasan yang terkandung dalam pengalaman itu, oleh karena ia melibatkan indera
penglihatan, pendengaran, perasaan, penciuman, dan peraba. Ini dikenal dengan learning by
doing misalnya keikutsertaan dalam menyiapkan makanan, membuat perabot rumah tangga,

D. Ciri-ciri Media Pendidikan

Gerlach & Ely (1971) mengemukakan tiga ciri media yang merupakan petunjuk mengapa media
digunakan dan apa-apa saja yang dapat dilakukan oleh media yang mungkin guru tidak mampu
(atau kurang efisien) melakukannya.
1. Ciri Fiksatif (Fixative Property)

Ciri ini menggambarkan kemampuan media merekam, menyimpan, melestarikan, dan


merekonstruksi suatu peristiwa atau objek. Suatu peristiwa atau objek dapat diurut dan disusun
kembali dengan media seperti fotografi, video tape, audio tape, disket komputer, dan film. Suatu
objek yang telah diambil gambarnya (direkam) dengan kamera atau video kamera dengan mudah
dapat direproduksi dengan mudah kapan saja diperlukan. Dengan ciri fiksatif ini, media
memungkinkan suatu rekaman kejadian atau objek yang terjadi pada satu waktu tertentu
ditransportasikan tanpa mengenal waktu.

Ciri ini amat penting bagi guru karena kejadian-kejadian atau objek yang telah direkam atau
disimpan dengan format media yang ada dapat digunakan setiap saat. Peristiwa yang kejadiannya
hanya sekali (dalam satu dekade atau satu abad) dapat diabadikan dan disusun kembali untuk
keperluan pembelajaran. Prosedur laboratorium yang rumit dapat direkam dan diatur untuk kemu
dian direproduksi berapa kali pun pada saat diperlukan. Demikian pula kegiatan siswa dapat
direkam untuk kemudian dianalisis dan dikritik oleh siswa sejawat baik secara perorangan
maupun secara kelompok.

2. Ciri Manipulatif (Manipulative Property)

Transformasi suatu kejadian atau objek dimungkinkan karena media memiliki ciri manipulatif.
Kejadian yang memakan waktu berhari-hari dapat disajikan kepada siswa dalam waktu dua atau
tiga menit dengan teknik pengambilan gambar time-lapse recording. Misalnya, bagaimana proses
larva menjadi kepompong kemudian menjadi kupu-kupu dapat dipercepat dengan teknik
rekaman fotografi tersebut. Di samping dapat dipercepat, suatu kejadian dapat pula diperlambat
pada saat menayangkan kembali hasil suatu rekaman video. Misalnya, proses loncat galah atau
reaksi kimia dapat diamati melalui bantuan kemampuan manipulatif dari media. Demikian pula,
suatu aksi gerakan dapat direkam dengan foto kamera untuk foto. Pada rekaman gambar hidup
(video, motion film) kejadian dapat diputar mundur. Media (rekaman video atau audio) dapat
diedit sehingga guru hanya menampilkan bagian-bagian penting/utama dari ceramah, pidato, atau
urutan suatu kejadian dengan memotong bagian-bagian yang tidak diperlukan. Kemampuan
media dari ciri manipulatif memerlukan perhatian sungguh-sungguh karena apabila terjadi
kesalahan dalam pengaturan kembali urutan kejadian atau pemotongan bagian-bagian yang
salah, maka akan terjadi pula kesalahan penafsiran yang tentu saja akan membingungkan dan
bahkan menyesatkan sehingga dapat mengubah sikap mereka ke arah yang tidak diinginkan.

Manipulasi kejadian atau objek dengan jalan mengedit hasil rekaman dapat menghemat waktu.
Proses penanaman dan panen gandum, pengolahan gandum menjadi tepung, dan penggunaan
tepung untuk membuat roti dapat dipersingkat waktunya dalam suatu urutan rekaman video atau
film yang mampu menyajikan informasi yang cukup bagi siswa untuk mengetahui asal usul dan
proses dari penanaman bahan baku tepung hingga menjadi roti.

3. Ciri Distributif (Distributive Property)

Ciri distributif dari media memungkinkan suatu objek atau kejadian ditransportasikan melalui
ruang, dan secara bersamaan kejadian tersebut disajikan kepada sejumlah besar siswa dengan
stimulus pengalaman yang relatif sama mengenai kejadian itu. Dewasa ini, distri busi media
tidak hanya terbatas pada satu kelas atau beberapa kelas pada sekolah-sekolah di dalam suatu
wilayah tertentu, tetapi juga media itu misalnya rekaman video, audio, disket komputer dapat
disebar ke seluruh penjuru tempat yang diinginkan kapan saja.

Sekali informasi direkam dalam format media apa saja, ia dapat direproduksi seberapa kali pun
dan siap digunakan secara bersamaan di berbagai tempat atau digunakan secara berulang-ulang
di suatu tempat. Konsistensi informasi yang telah direkam akan terjamin sama atau hampir sama
dengan aslinya.
FUNGSI DAN MANFAAT MEDIA PENDIDIKAN

Dalam suatu proses belajar mengajar, dua unsur yang amat penting adalah metode mengajar dan
media pembelajaran. Kedua aspek ini saling berkaitan. Pemilihan salah satu metode mengajar
tertentu akan memengaruhi jenis media pembelajaran yang sesuai, meskipun masih ada berbagai
aspek lain yang harus diperhatikan dalam memilih media, antara lain tujuan pembelajaran, jenis
tugas dan respon yang diharapkan siswa kuasai setelah pembelajaran berlangsung, dan konteks
pembelajaran termasuk karakteristik siswa. Meskipun demikian, dapat dikatakan bahwa salah
satu fungsi utama media pembelajaran adalah sebagai alat bantu mengajar yang turut
mempengaruhi iklim, kondisi, dan lingkungan belajar yang ditata dan diciptakan oleh guru.

Hamalik (1986) mengemukakan bahwa pemakaian media pembelajaran dalam proses belajar
mengajar dapat membangkitkan keinginan dan minat yang baru, membangkitkan motivasi dan
rangsangan kegiatan belajar, dan bahkan membawa pengaruh-pengaruh psikologis terhadap
siswa. Penggunaan media pembelajaran pada tahap orientasi pembelajaran akan sangat
membantu keefektifan proses pembelajaran dan penyampaian

pesan dan isi pelajaran pada saat itu. Selain membangkitkan motivasi dan minat siswa, media
pembelajaran juga dapat membantu siswa meningkatkan pemahaman, menyajikan data dengan
menarik dan terpercaya, memudahkan penafsiran data, dan memadatkan informasi. Sejalan
dengan uraian ini, Yunus (1942:78) dalam bukunya Attarbiyatu watta'liim mengungkapkan
sebagai berikut:

‫ نماراء كمن سمع‬.. ‫انها أعظم تاثیرافى الحواس واضمن الفهم‬

maksudnya: bahwasanya media pembelajaran paling besar pengaruhnya bagi indera dan lebih
dapat menjamin pemahaman... orang yang mendengarkan saja tidaklah sama tingkat
pemahamannya dan lamanya bertahan apa yang dipahaminya dibandingkan dengan mereka yang
melihat, atau melihat dan mendengarnya. Selanjutnya, Ibrahim (196:432) menjelaskan betapa
pentingnya media pembelajaran karena:

‫انها تحيي الدرس‬... ‫ انها تساعد على تثبيت الحقائق في اذهان التال ميذ‬. ‫تجلب السرور للتالميذ} و تجدد نشاطهم‬

maksudnya: media pembelajaran membawa dan membangkitkan rasa senang dan gembira bagi
murid-murid dan memperbarui semangat mereka... membantu memantapkan pengetahuan pada
benak para siswa serta menghidupkan pelajaran.

atau menyertai teks materi pelajaran. Seringkali pada awal pelajaran siswa tidak tertarik dengan
materi pelajaran atau mata pelajaran itu merupakan salah satu pelajaran yang tidak disenangi
oleh mereka sehingga mereka tidak memperhatikan. Media gambar (lihat contoh Gambar 2.1),
khususnya gambar yang diproyeksikan melalui overhead projector dapat menenangkan dan
mengarahkan perhatian mereka kepada pelajaran yang akan mereka terima. Dengan demikian,
kemungkinan untuk memperoleh dan meng ingat isi pelajaran semakin besar.

Fungsi afektif media visual dapat terlihat dari tingkat kenikmatan siswa ketika belajar (atau
membaca) teks yang bergambar. Gambar atau lambang visual dapat menggugah emosi dan sikap
siswa, misalnya informasi yang menyangkut masalah. sosial atau ras.

Fungsi kognitif media visual terlihat dari temuan-temuan

penelitian yang mengungkapkan bahwa lambang visual atau

gambar memperlancar pencapaian tujuan untuk memahami dan


mengingat informasi atau pesan yang terkandung dalam gambar.

Fungsi kompensatoris media pembelajaran terlihat dari hasil penelitian bahwa media visual yang
memberikan konteks untuk memahami teks membantu siswa yang lemah dalam membaca untuk
mengorganisasikan informasi dalam teks dan mengingatnya kembali. Dengan kata lain, media
pembelajaran berfungsi untuk mengakomodasikan siswa yang lemah dan lambat menerima dan
memahami isi pelajaran yang disajikan dengan teks atau disajikan secara verbal.

Media visual

C. Media Berbasis Visual

Media berbasis visual (image atau perumpamaan) memegang peran yang sangat penting dalam
proses belajar. Media visual dapat memperlancar pemahaman (misalnya melalui elaborasi
struktur dan organisasi) dan memperkuat ingatan. Visual dapat pula menumbuhkan minat siswa
dan dapat memberikan hubungan antara isi materi pelajaran dengan dunia nyata. Agar menjadi
efektif, visual sebaiknya ditempatkan pada konteks yang bermakna dan siswa harus berinteraksi
dengan visual (image) itu untuk meyakinkan terjadinya proses informasi.

Bentuk visual bisa berupa: (a) gambar representasi seperti gambar, lukisan atau foto yang
menunjukkan bagaimana tampaknya sesuatu benda; (b) diagram yang melukiskan hubungan-
hubungan konsep, organisasi, dan struktur isi materia; (c) peta yang menunjukkan hubungan-
hubungan ruang antara unsur-unsur dalam isi materi; (d) grafik seperti tabel, grafik, dan chart
(bagan) yang menyajikan gambaran/kecenderungan data atau antarhubungan seperangkat gambar
atau angka-angka. Ada beberapa prinsip umum yang perlu diketahui untuk penggunaan efektif
media berbasis visual sebagai berikut.
1. Usahakan visual itu sesederhana mungkin dengan meng gunakan gambar garis, karton, bagan,
dan diagram. Gambar realistis harus digunakan secara hati-hati karena gambar yang amat rinci
dengan realisme sulit diproses dan dipelajari bahkan seringkali mengganggu perhatian siswa
untuk mengamati apa yang seharusnya diperhatikan.

2. Visual digunakan untuk menekankan informasi sasaran (yang terdapat teks) sehingga
pembelajaran dapat terlaksana dengan baik.

3. Gunakan grafik untuk menggambarkan ikhtisar keseluruhan materi sebelum menyajikan unit
demi unit pelajaran untuk digunakan oleh siswa mengorganisasikan informasi.

4. Ulangi sajian visual dan libatkan siswa untuk meningkatkan daya ingat. Meskipun sebagian
visual dapat dengan mudah diperoleh informasinya, sebagian lagi memerlukan pengamatan
dengan hati-hati. Untuk visual yang kompleks siswa perlu diminta untuk mengamatinya,
kemudian mengungkapkan sesuatu mengenai visual tersebut setelah menganalisis dan
memikirkan informasi yang terkandung dalam visual itu. Jika perlu, siswa diarahkan kepada
informasi penting secara rinci.

5. Gunakan gambar untuk melukiskan perbedaan konsep-konsep, misalnya dengan menampilkan


konsep-konsep yang divisualkan itu secara berdampingan.

6. Hindari visual yang tak-berimbang.

7. Tekankan kejelasan dan ketepatan dalam semua visual.

8. Visual yang diproyeksikan harus dapat terbaca dan mudah


dibaca. 9. Visual, khususnya diagram, amat membantu untuk mem pelajari materi yang agak
kompleks.

10. Visual yang dimaksudkan untuk mengkomunikasikan gagasan khusus akan efektif apabila:
(a) jumlah objek dalam visual yang akan ditafsirkan dengan benar dijaga agar terbatas, (b)
jumlah aksi terpisah yang penting yang pesan-pesannya harus ditafsirkan dengan benar
sebaiknya terbatas, dan (c) semua objek dan aksi yang dimaksudkan dilukiskan secara realistik
sehingga tidak terjadi penafsiran ganda.

11. Unsur-unsur pesan dalam visual itu harus ditonjolkan dan dengan mudah dibedakan dari
unsur-unsur latar belakang untuk mempermudah pengolahan informasi.

12. Caption (keterangan gambar) harus disiapkan terutama untuk: (a) menambah informasi yang
sulit dilukiskan secara visual, seperti lumpur, kemiskinan, dan lain-lain, (b) memberi nama

orang, tempat, atau objek, (c) menghubungkan kejadian atau aksi dalam lukisan dengan visual
sebelum atau sesudahnya, dan (d) menyatakan apa yang orang dalam gambar itu sedang
kerjakan, pikirkan, atau katakan.

13. Warna harus digunakan secara realistik.

14. Warna dan pemberian bayangan digunakan untuk mengarahkan perhatian dan membedakan
komponen-komponen.

E. Media Berbasis Komputer


Dewasa ini komputer memiliki fungsi yang berbeda-beda dalam bidang pendidikan dan latihan.
Komputer berperan sebagai manajer dalam proses pembelajaran yang dikenal dengan nama
Computer-Managed Instruction (CMI). Ada pula peran komputer sebagai pembantu tambahan
dalam belajar; pemanfaatannya meliputi penyajian informasi isi materi pelajaran, latihan, atau
kedua-duanya. Modus ini dikenal sebagai Computer-Assisted Instruction (CAI). CAI
mendukung pembelajaran dan pelatihan akan tetapi ia bukanlah penyampai utama materi
pelajaran. Komputer dapat menyajikan informasi dan tahapan pembelajaran lainnya disampaikan
bukan dengan media komputer.

Penggunaan komputer sebagai media pembelajaran secara umum mengikuti proses instruksional
sebagai berikut:

1. merencanakan, mengatur dan mengorganisasikan, dan menjadwalkan pengajaran;

2. mengevaluasi siswa (tes);

3. mengumpulkan data mengenai siswa;

4. melakukan analisis statistik mengenai data pembelajaran;

5. membuat catatan perkembangan pembelajaran (kelompok atau perseorangan). Format


penyajian pesan dan informasi dalam CAI terdiri atas
tutorial terprogram, tutorial intelijen, drill and practice, dan simula Tutorial terprogram adalah
seperangkat tayangan baik statis maupun dinamis yang telah lebih dahulu diprogramkan. Secar
berurut, seperangkat kecil informasi ditayangkan yang diikuti dengan pertanyaan. Jawaban siswa
dianalisis oleh komputer (dibandingkan dengan kemungkinan-kemungkinan jawaban yang telah
diprogram oleh guru/perancang), dan berdasarkan hasil analisis itu umpan balik yang sesuai.
Urutan linear dan urutan bercabang digunakan. Penetapan kapan bercabang dimaksudkan untuk
penyajian materi pelajaran tambahan berdasarkan hasil analisis perkembangan siswa setelah
menyelesaikan beberapa latihan dan tugas. Semakin banyak alternatif cabang yang tersedia,
semakin luwes program tersebut menyesuaikan dengan perbedaan individual siswa. Media
tambahan lain biasanya digabungkan untuk format tutorial terprogram, seperti tugas-tugas
bacaan berbasis cetak, kegiatan kelompok, percobaan laboratorium, kegiatan latihan, simulasi,
dan interaktif dengan videodisc. Manfaat tutorial terprogram akan tampak jika menggunakan
kemampuan teknologi komputer untuk bercabang dan interaktif.

Tutorial intelijen berbeda dari tutorial terprogram karena jawaban komputer terhadap pertanyaan
siswa dihasilkan oleh intelegensia artifisial, bukan jawaban-jawaban yang terprogram yang
terlebih dahulu disiapkan oleh perancang pelajaran. Dengan demikian, ada dialog dari waktu ke
waktu antara siswa dan komputer. Baik siswa maupun komputer dapat bertanya atau memberi
jawaban.

Drill and practice digunakan dengan asumsi bahwa suatu konsep, aturan atau kaidah, atau
prosedur telah diajarkan kepada siswa. Program ini menuntun siswa dengan serangkaian contoh

untuk meningkatkan kemahiran menggunakan keterampilan. Hal terpenting adalah memberikan


penguatan secara konstan terhadap jawaban yang benar. Komputer dengan sabar memberi latihan
sampai suatu konsep benar-benar dikuasai sebelum pindah kepada konsep yang lainnya. Ini
merupakan salah kegiatan yang amat efektif apabila pembelajaran itu memerlukan pengulangan
untuk mengembangkan keterampilan atau mengingat dan menghafal fakta atau informasi.
Meskipun pernah mendapat kritikan tajam, format drill and practice kini memperoleh kembali
tempat dalam pembelajaran. Tugas/perilaku kompleks seringkali memerlukan keterampilan yang
harus secara otomatis dilakukan, terutama keterampilan yang dikerjakan dengan kecepatan dan
ketepatan. Keterampilan seperti ini hanya dapat dikuasai dengan mempelajarinya melalui latihan
yang ekstensif. Latihan ekstensif yang dapat memberikan hasil penguasaan otomatis adalah
melalui format kegiatan drill and practice pada komputer.

Simulasi pada komputer memberikan kesempatan untuk belajar secara dinamis, interaktif, dan
perorangan. Dengan simulasi, lingkungan pekerjaan yang kompleks dapat ditata hingga
menyerupai dunia nyata. Simulasi yang menyangkut hidup-mati seperti pada bidang kedokteran
atau penerbangan dan pelayaran sangat bermanfaat jika tidak dikatakan merupakan cara terbaik
untuk memperoleh pengalaman "nyata". Keberhasilan simulasi dipengaruhi oleh tiga faktor,
yaitu skenario, model dasar, dan lapisan pengajaran. Skenario harus mencerminkan kehidupan
nyata. la menentukan apa yang terjadi dan bagaimana hal itu terjadi, siapa karakternya, objek apa
yang ikut terlibat, apa peran siswa, dan bagaimana siswa berhadapan dengan simulasi itu. Untuk
mensimulasikan suatu situasi, komputer harus menanggapi tindakan siswa seperti halnya yang
terjadi dalam situasi kehidupan sesungguhnya. Model dasar merupakan faktor kedua yang turut
mempengaruhi keberhasilan simulasi. Model adalah

96

Media Pembelajaran

formula matematis atau aturan "jika-maka" yang mencerminkan hubungan sebab dan akibat
dalam pengalaman hidup nyata. Lapisan pembelajaran adalah taktik dan strategi pembelajaran y
digunakan untuk mengoptimalkan pembelajaran dan motivasi

Di samping prinsip-prinsip media berbasis cetak, prinsip rancangan layar perlu mendapat
perhatian untuk pengembanga media berbasis komputer. Berikut adalah beberapa petunjuk untuk
perwajahan teks media berbasis komputer.
1. Layar/monitor komputer bukanlah halaman, tetapi pe nayangan yang dinamis yang bergerak
berubah dengan perlahan-lahan.

2. Layar tidak boleh terlalu padat-bagi ke dalam beberapa tayangan, atau mulailah dengan
sederhana dan pelan-pelan, dan tambahkan hingga mencapai tahapan kompleksitas yang
diinginkan.

3. Pilihlah jenis huruf normal, tak-berhias-gunakan huruf

kapital dan huruf kecil, tidak menggunakan huruf kapital

semua.

4. Gunakan antara tujuh sampai sepuluh kata per baris karena lebih mudah membaca kalimat
pendek daripada kalimat panjang.

5. tidak memenggal kata pada akhir baris; tidak memulai paragraf pada baris terakhir dalam satu
layar tayangan;

tidak mengakhiri paragraf pada baris pertama layar

tayangan;
meluruskan baris kalimat pada sebelah kiri; namun, di sebelah kanan lebih baik tidak lurus
karena lebih mudah membacanya.

6. Jarak dua spasi disarankan untuk tingkat keterbacaan yang lebih baik.

7. Pilih karakter huruf tertentu untuk judul dan kata-kata kunci, misalnya:

cetak tebal

garis bawah

cetak miring (Gaya cetak ini tidak digunakan secara berlebihan untuk menjaga perhatian siswa
terhadap pentingnya karakter dengan gaya cetak tertentu itu)

8. Teks diberi kotak apabila teks itu berada bersama-sama dengan grafik atau representasi visual
lainnya pada layar tayangan yang sama. 9. Konsisten dengan gaya dan format yang dipilih.

Konsep interaktif dalam pembelajaran paling erat kaitannya dengan media berbasis komputer.
Interaksi dalam lingkungan pembelajaran berbasis komputer pada umumnya mengikuti tiga
unsur, yaitu: (1) urut-urutan instruksional yang dapat disesuaikan, (2) jawaban/respons atau
pekerjaan siswa, dan (3) umpan balik yang dapat disesuaikan. Untuk melibatkan keterampilan
berpikir tingkat yang lebih tinggi, tugas-tugas yang disajikan melalui media ini harus mampu
memperkenankan dan memperhitungkan jawaban benar yang lebih dari satu, kreativitas, dan
perbedaan pemecahan yang disebabkan oleh pengetahuan awal siswa yang tidak homogen.
Untuk meningkatkan kemampuan interaksi media berbasis komputer, saran-saran berikut perlu
dipertimbangkan dalam pengembangan media tersebut.

1. Pertimbangkan untuk menggunakan rancangan yang berpusat pada masalah, studi kasus, atau
simulasi di mana siswa secara mental terlibat dengan penyajian itu. Program seperti ini dimulai
dengan menggugah dan melibatkan pikiran siswa secara aktif.

2. Buatlah penyajian instruksional singkat, kemudian minta supaya siswa mengolah atau
memikirkan informasi yang disajikan itu.

3. Berikan kesempatan untuk berinteraksi sekurang-kurangnya setiap 3 atau 4 layar tayangan,


atau setiap satu atau dua menit. 4. Pertimbangkan desain di mana siswa tidak diberi informasi
dalam bentuk linear, tetapi mencoba menemukan informasi melalui eksplorasi aktif dalam
lingkungan elektronis.

5. Pertimbangkan untuk membolehkan siswa berhubungan dengan pemakai komputer lain


melalui model atau papan informasi elektronik. Siswa bisa diminta untuk berbagi tulisan kreatif,
pemecahan masalah, atau pengambilan keputusan dengan siswa lain di lokasi yang jauh. 6.
Jangan memaksakan interaksi, misalnya hindari pertanyaan

yang semata-mata hanya ingin memperoleh jawaban siswa.

Salah satu kriteria yang sebaiknya digunakan dalam pemilihan media adalah dukungan terhadap
isi bahan pelajaran dan kemudahan memperolehnya. Apabila media yang sesuai belum tersedia
maka guru berupaya untuk mengembangkannya sendiri. Oleh karena itu, pada bagian ini akan
diuraikan teknik pengembangan media sederhana yang dapat dikerjakan sendiri oleh guru. Media
tersebut meliputi media berbasis visual (yang meliputi gambar, chart, grafik, transparansi, dan
slide), media berbasis audio-visual (video dan audio-tape), dan media berbasis komputer
(komputer dan video interaktif).

Sebelum membahas satu per satu tentang pengembangan media pembelajaran tersebut perlu
dikemukakan prinsip umum yang perlu diperhatikan pada saat mencari dan menentukan jenis
media yang akan digunakan dalam proses belajar mengajar. Prinsip-prinsip itu disajikan dalam
bentuk pertanyaan sebagai berikut.

1. Sudahkah anda mengidentifikasi dan mengungkapkan dengan

jelas gagasan anda dan membatasi topik bahasan? 2. Apakah program yang dikembangkan
memiliki tujuan untuk menginformasikan, memotivasi, atau instruksional?

3. Apakah anda sudah merumuskan tujuan yang a melalui program ini? 4. Sudahkah anda
mengevaluasi karakteristik siswa yang akan menggunakan program ini? akan dicapai

5. Sudahkah anda siapkan kerangka (outline) isi pelajaran?

6. Sudahkah dipertimbangkan bahwa media apa saja yang paling sesuai untuk mencapai tujuan?
7. Sudahkah anda membuat storyboard untuk paket pelajaran ini, jika diperlukan?

8. Apakah anda telah menyiapkan naskah untuk frame per frame untuk dijadikan penuntun pada
saat mengambil gambar. 9. Jika perlu, sudahkah anda menentukan orang tertentu yang ahli di
bidang masing-masing untuk membantu anda dalam mempersiapkan materi pelajaran.
A. Media Berbasis Visual

Visualisasi pesan, informasi, atau konsep yang ingin disampaikan kepada siswa dapat
dikembangkan dalam berbagai bentuk, seperti foto, gambar/llustrasi, sketsa/gambar garis, grafik,
bagan, chart, dan gabungan dari dua bentuk atau lebih. Foto menghadirkan ilustrasi melalui
gambar yang hampir menyamai kenyataan dari sesuatu objek atau situasi. Sementara itu, grafik
merupakan representasi simbolis dan artistik sesuatu objek atau situasi.

Keberhasilan penggunaan media berbasis visual ditentukan oleh kualitas dan efektivitas bahan-
bahan visual dan grafik itu. Hal ini hanya dapat dicapai dengan mengatur dan mengorganisasikan
gagasan-gagasan yang timbul, merencanakannya dengan seksama, dan menggunakan teknik-
teknik dasar visualisasi objek, konsep, informasi, atau situasi. Meskipun perancang media
pembelajaran

bukan seorang pelukis dengan latar belakang profesional, ia sebaiknya mengetahui beberapa
prinsip dasar dan penuntun dalam rangka memenuhi kebutuhan penggunaan media berbasis
visual.

Jika mengamati bahan-bahan grafis, gambar, dan lain lain. yang ada di sekitar kita, seperti
majalah, iklan-iklan, papan informasi, kita akan menemukan banyak gagasan untuk merancang
bahan visual yang menyangkut penataan elemen elemen visual yang akan ditampilkan. Tataan
elemen-elemen itu harus dapat menampilkan visual yang dapat dimengerti, terang/ dapat dibaca,
dan dapat menarik perhatian sehingga ia mampu menyampaikan pesan yang diinginkan oleh
penggunaannya.

Dalam proses penataan itu harus diperhatikan prin sip-prinsip desain tertentu, antara lain prinsip
kesederhanaan, keterpaduan, penekanan, dan keseimbangan. Unsur-unsur visual yang
selanjutnya perlu dipertimbangkan adalah bentuk, garis, ruang, tekstur, dan warna.
Kesederhanaan

Secara umum kesederhanaan itu mengacu kepada jumlah elemen yang terkandung dalam suatu
visual. Jumlah elemen yang lebih sedikit memudahkan siswa menangkap dan memahami pesan
yang disajikan visual itu. Pesan atau informasi yang panjang atau rumit harus dibagi-bagi ke
dalam beberapa bahan visual yang mudah dibaca dan mudah dipahami, demikian pula teks yang
menyertai bahan visual harus dibatasi (misalnya antara 15 sampai dengan 20 kata). Kata-kata
harus memakai huruf yang sederhana dengan gaya huruf yang mudah terbaca dan tidak terlalu
beragam dalam satu tampilan ataupun serangkaian tampilan visual. Kalimat-kalimatnya juga
harus ringkas tetapi padat, dan mudah dimengerti.

Keterpaduan

Keterpaduan mengacu kepada hubungan yang terdapat di antara elemen-elemen visual yang
ketika diamati akan berfungsi secara bersama-sama. Elemen-elemen itu harus saling terkait dan
menyatu sebagai suatu keseluruhan sehingga visual itu merupakan suatu bentuk menyeluruh
yang dapat dikenal yang dapat membantu pemahaman pesan dan informasi yang di kandungnya.

Penekanan

Meskipun penyajian visual dirancang sesederhana mungkin, seringkali konsep yang ingin
disajikan memerlukan penekanan terhadap salah satu unsur yang akan menjadi pusat perhatian
siswa. Dengan menggunakan ukuran, hubungan-hubungan, perspektif, warna, atau ruang
penekanan dapat diberikan kepada unsur terpenting.

Keseimbangan
Bentuk atau pola yang dipilih sebaiknya menempati ruang penayangan yang memberikan
persepsi keseimbangan meskipun tidak seluruhnya simetris. Keseimbangan yang keseluruhannya
simetris disebut keseimbangan formal. Keseimbangan seperti ini

menampakkan dua bayangan visual yang sama dan sebangun. Oleh karena itu, keseimbangan
formal cenderung tampak statis. Sebaliknya, keseimbangan informal-tidak keseluruhannya
simetris-memberikan kesan dinamis dan dapat menarik perhatian.

Pengembangan visual dengan keseimbangan informal memerlukan daya imajinasi yang lebih
tinggi dan keinginan bereksperimen dari perancang visual.

Bentuk

Bentuk yang aneh dan asing bagi siswa dapat membangkitkan minat dan perhatian. Oleh karena
itu, pemilihan bentuk sebagai unsur visual dalam penyajian pesan, informasi atau isi pelajaran
perlu diperhatikan.

Garis

Garis digunakan untuk menghubungkan unsur-unsur sehingga dapat menuntun perhatian siswa
untuk mempelajari suatu urutan-urutan khusus.

Tekstur
Tekstur adalah unsur visual yang dapat menimbulkan kesan kasar atau halus. Tekstur dapat
digunakan untuk penekanan suatu unsur seperti halnya warna.

Warna

Warna merupakan unsur visual yang penting, tetapi ia harus digunakan dengan hati-hati untuk
memperoleh dampak yang baik. Warna digunakan untuk memberi kesan pemisahan atau
penekanan, atau untuk membangun keterpaduan. Di samping itu, warna dapat mempertinggi
tingkat realisme objek atau situasi yang digambarkan, menunjukkan persamaan dan perbedaan,
dan menciptakan respons emosional tertentu. Ada tiga hal penting yang harus diperhatikan ketika
menggunakan warna, yaitu: (1)

pemilihan warna khusus (merah, biru, kuning, dan sebagainya), (2) nilai warna (tingkat ketebalan
dan ketipisan warna itu dibandingkan dengan unsur lain dalam visual tersebut), dan (3) intensitas
atau kekuatan warna itu untuk memberikan dampak yang diinginkan.

a.

Gambar

Gambar yang dimaksudkan di sini termasuk foto, lukisan/ gambar, dan sketsa (gambar garis).
Tujuan utama penampilan berbagai jenis gambar ini adalah untuk memvisualisasikan konsep
yang ingin disampaikan kepada siswa.

Gambar Jadi
Materi pelajaran yang memerlukan visualisasi dalam bentuk ilustrasi yang dapat diperoleh dari
sumber yang ada. Gambar-gambar dari majalah, booklet, brosur, selebaran, dan lain-lain
mungkin dapat memenuhi kebutuhan kita. Jika pada saat ini belum memiliki clipping gambar,
sebaiknya kita mulai mengumpulkan gambar dari berbagai disiplin ilmu. Dari berbagai sumber
tersebut di atas, diharapkan tersedia gambar yang sesuai dengan isi pelajaran. Dengan gabungan
dari potongan dua gambar atau lebih, kebutuhan terhadap gambar yang sesuai dengan tujuan
pembelajaran akan dapat terpenuhi. Hal penting yang harus selalu

diperhatikan adalah hak cipta atas gambar yang akan digunakan. Jika gambar-gambar yang akan
digunakan itu memiliki hak cipta, kita perlu meminta izin kepada pemegang hak cipta itu.

Gambar yang dikumpulkan dan dipilih untuk digunakan dalam penyampaian materi pelajaran
sebaiknya difotokopi. Gambar-gambar itu kemudian digabung dengan label judul dengan huruf-
huruf lekat (misalnya, rugos). Hasilnya dapat difotokopi atau difoto kemudian dicetak di atas
kertas fotografi yang baik dengan ukuran yang diinginkan.

Gambar Garis (sketsa atau stick figure)

Meskipun tidak memiliki latar belakang pendidikan kesenian atau melukis, kita dapat membuat
gambar sederhana yang merupakan sketsa atau gambar garis (stick figure). Gambar garis,
kendatipun amat sederhana, dapat menunjukkan aksi atau sikap dengan dampak yang cukup
baik. Dengan gambar garis kita dapat menyampaikan cerita atau pesan-pesan penting. Di
samping gambar garis dapat dibuat langsung pada papan tulis ketika berada di kelas, gambar
juga dapat dipersiapkan lebih dahulu pada lembaran karton atau kertas yang sesuai.

Dalam membuat gambar garis ciri utama objek, aksi, atau situasi yang ingin dilukiskan harus
tetap ada. Wajah yang ceria dapat dibedakan dari wajah yang cemberut dengan garis-garis
lengkung pada wajah (misalnya mulut dan alis).
Aksi atau kegiatan yang sedang berlangsung dapat dilukiskan dengan baik dengan gambar garis.
Misalnya orang yang sedang berlari atau sedang menarik seekor anjing.

Bentuk sesuatu objek yang sederhana dapat dilukiskan dengan gambar garis tanpa
mengkhawatirkan penafsiran yang keliru dari siswa. Misalnya gambar rumah atau tas, seperti
dalam gambar berikut dapat digunakan untuk pengajaran bahasa atau bahasa Inggris, khususnya
untuk pengenalan kosa kata.

Pengenalan kosa kata awal seperti di atas merupakan pendukung untuk pelajaran selanjutnya,
misalnya pelajaran mengenai kata sifat "ukuran" disusul dengan bentuk-bentuk perbandingan.
Jadi, sesuatu gambar garis dapat dibuat dalam beberapa ukuran besar, panjang, tinggi, dan lain-
lain. (rumah besar, rumah kecil, lebih tinggi, lebih pendek, dan seterusnya). Tentu saja gerakan
yang mudah dilakukan dalam kelas tidak perlu digambarkan, apabila tersedia ruang yang cukup.
Sementara itu, gerakan-gerakan seperti "berlari, memanjat tebing, bersepeda, bermain voli, dan
lain-lain. Akan lebih menyenangkan bila dipertontonkan dengan gambar-gambar garis. Di
samping itu, dengan alat bantu gambar, siswa-siswa akan lebih mudah dan leluasa untuk
memperbincangkannya daripada mereka harus melakukannya.

Media pembelajaran, prof.Dr.Azhar Arsyad, M.A. PT RajaGrafindo Persada,Depok 2019

Elemen Dasar Mengajar

perbincangan, wacana, dan pergeseran Pa paradigma yang terjadi akibat perubahan filosofi
behaviorisme yang lebih berorientasi kepada pengajaran menjadi filosofi
kognitivisme/konstruktivisme yang menekankan pembelajaran bahkan sampai kepada elemen
dasar pembelajaran. Namun demikian, karena muncul lebih belakangan dapat dipahami jika apa
yang dikemukakan oleh konstruktivisme lebih lengkap dibandingkan behaviorisme. Contohya
jika para penganut konstruktivisme juga mengungkap tentang tahap-tahap belajar, penganut
behaviorisme belum sempat membicarakan hal ini.
Dalam bab ini, di samping dibahas tentang elemen-elemen belajar yang menjadi semacam
faktor-faktor kunci (key factors) untuk memahami apa yang dimaksud dengan belajar, juga
dicoba diungkap sejumlah isu yang relatif baru, terkait pembelajaran seperti modalitas belajar
yang bersumber kepada konsep pembelajaran kuantum (quantum learning), dan kecakapan hidup
(life skill) yang bersumber dari implementasi pendidikan berbasis luas (broad-based education).

Elemen Dasar Mengajar

erbincangan, wacana, dan pergeseran Pa paradigma yang terjadi akibat perubahan filosofi
behaviorisme yang lebih berorientasi kepada pengajaran menjadi filosofi
kognitivisme/konstruktivisme yang menekankan pembelajaran bahkan sampai kepada elemen
dasar pembelajaran. Namun demikian, karena muncul lebih belakangan dapat dipahami jika apa
yang dikemukakan oleh konstruktivisme lebih lengkap dibandingkan behaviorisme. Contohya
jika para penganut konstruktivisme juga mengungkap tentang tahap-tahap belajar, penganut
behaviorisme belum sempat membicarakan hal ini.

Dalam bab ini, di samping dibahas tentang elemen-elemen belajar yang menjadi semacam
faktor-faktor kunci (key factors) untuk memahami apa yang dimaksud dengan belajar, juga
dicoba diungkap sejumlah isu yang relatif baru, terkait pembelajaran seperti modalitas belajar
yang bersumber kepada konsep pembelajaran kuantum (quantum learning), dan kecakapan hidup
(life skill) yang bersumber dari implementasi pendidikan berbasis luas (broad-based education).

Sementara itu para konstruktivis memaknal unsur-unsur belajar sebagai berikut. Tujuan belajar
yaitu membentuk makna. Makna diciptakan para Tujuan Belajar. pembelajar dari apa yang
mereka lihat, dengar, rasakan, dan alami. Konstruksi makna dipengaruhi oleh pengertian
terdahulu yang telah dimiliki siswa.

b. Proses Belajar adalah proses konstruksi makna yang berlangsung terus menerus, setiap kali
berhadapan dengan fenomena atau pengalaman baru diadakan rekonstruksi, baik secara kuat atau
lemah. Proses belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, melainkan lebih sebagai
pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian yang baru. Belajar bukanlah hasil
perkembangan, melainkan perkembangan itu sendiri.

Proses belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skema seseorang dalam keraguan (disonansi
kognitif) yang merangsang pemikiran lebih lanjut. Situasi tidak keseimbangan (disekuilibrium)
adalah situasi yang baik untuk memacu belajar. Hasil Belajar dipengaruhi oleh pengalaman
pelajar sebagai hasil

interaksi dengan dunia fisik dan lingkungannya. Hasil belajar

seseorang tergantung kepada apa yang telah diketahui pembelajar.

konsep-konsep, tujuan dan motivasi yang mempengaruhi interaksi

dengan bahan yang dipelajari.

Dalam kaitan dengan implementasi empat pilar pembelajaran UNESCO pada praktik pendidikan,
Zhou Nanzhao (2007) menyarankan penguasaan sejumlah kompetensi oleh siswa sebagai unsur-
unsur belajar. Kompetensi-kompetensi yang harus dikuasai siswa dalam belajar, baik tentang apa
saja, di mana saja, dengan siapa saja antara lain adalah:

(1) kompetensi dalam mengumpulkan, memilih, mengolah, dan


mengelola informasi; (2) kompetensi dalam menguasai peralatan sebagai sarana untuk

mengetahui dan memahami;

(3) kompetensi dalam berkomunikasi dengan orang lain secara

efektif; (4) kompetensi untuk beradaptasi diri menghadapi perubahan kehidupan;

Belajar dan Pembelajaran

/ 127

(5) kompetensi untuk bekerja sama dengan orang lain dalam suatu tim: (6) kompetensi dalam
menyelesaikan konflik melalui dialog dan

negosiasi yang damai.


B. Prinsip Umum Belajar

Sebagai simpulannya terhadap berbagai prinsip belajar bak menurut konsep behaviorisme,
kognitivisme maupun konstruktivism Sukmadinata (2004: 165-166) menyampaikan prinsip
umum belajar (sedikit dikembangkan) sebagai berikut.

(1) Belajar merupakan bagian dari perkembangan.

Belajar dan berkembang merupakan dua hal yang berbeda, tetapi erat hubungannya.

Dalam perkembangan dituntut belajar, sedangkan melalui belajar terjadi perkembangan individu
yang pesat. (2) Belajar berlangsung seumur hidup. Hal ini sesuai dengan prinsip

pembelajaran sepanjang hayat (lifelong learning).

(3) Keberhasilan belajar dipengaruhi oleh faktor-faktor bawaan,

lingkungan, kematangan, serta usaha dari individu secara aktif. (4) Belajar mencakup semua
aspek kehidupan. Oleh sebab itu belajar harus mengembangkan aspek kognitif, afektif dan
psikomotor dan keterampilan hidup (life skill). Menurut Ki Hajar Dewantara belajar harus
mengembangkan cipta (kognitif), rasa (afektif),
karsa (motivasi), dan karya (psikomotor).

(5) Kegiatan belajar berlangsung di sembarang tempat dan waktu. Berlangsung di sekolah (kelas
dan halaman sekolah), di rumah, di masyarakat, di tempat rekreasi, di alam sekitar, dalam
bengkel kerja, di dunia industri, dan sebagainya.

(6) Belajar berlangsung baik dengan guru maupun tanpa guru.

Berlangsung dalam situasi formal, informal, dan nonformal. (7) Belajar yang terencana dan
disengaja menuntut motivasi yang tinggi. Biasanya terkait dengan pemenuhan tujuan yang
kompleks, diarahkan kepada penguasaan, pemecahan masalah atau pencapaian sesuatu yang
bernilai tinggi. Ini harus terencana, memerlukan waktu dan dengan upaya yang sungguh-
sungguh.

(8) Perbuatan belajar bervariasi dari yang paling sederhana sampal dengan yang amat kompleks.
(9) Dalam belajar dapat terjadi hambatan-hambatan. Hambatan dapat terjadi karena belum
adanya penyesuaian individu dengan tugasnya, , adanya hambatan dari lingkungan, kurangnya
motivasi,

kelelahan atau kejenuhan belajar. (10)Dalam hal tertentu belajar memerlukan adanya bantuan
dan bimbingan dari orang lain. Orang lain itu dapat guru, orang tua, teman sebaya yang
kompeten dan lainnya. Ingat prinsip scaffolding dan ZPD.

Pendahuluan

B erbicara tentang belajar dan pembelajaran adalah berbicara tentang sesuatu yang tidak pernah
berakhir sejak manusia ada dan berkembang di muka bumi sampai akhir zaman nanti. Belajar
adalah suatu proses dan aktivitas yang selalu dilakukan dan dialami manusia sejak manusia di
dalam kandungan, buaian, tumbuh berkembang dari anak-anak, remaja sehingga menjadi
dewasa, sampai ke liang lahat, sesuai dengan prinsip pembelajaran sepanjang hayat. Teori sains
terakhir mengungkapkan bahwa calon manusia telah mulai belajar saat jutaan sperma berjuang
mencapai ovum dalam uterus. Jutaaan sperma itu seolah saling berebut, berlomba mencapai
ovum, banyak di antaranya yang gugur di tengah jalan. Uniknya, satu atau dua sperma (pada
kasus kembar tidak identik) mencapai ovum dan terjadi konsepsi, sisa ribuan sperma yang lain
mati dan menjadi nutrisi bagi ovum yang telah dibuahi. Demikianlah, calon manusia ini telah
belajar berjuang, beradaptasi, bersaing, tetapi juga bekerja sama dan berkurban untuk
kepentingan sesama.

Paul Engrand pada tahun 1970 mengemukakan konsep pendidikan sepanjang hayat, lifelong
education, sebagai laporan kepada UNESCO, yang berimplikasi berupa terselenggaranya belajar
sepanjang hayat, lifelong learning. Sebenarnya jauh sekitar 15 abad yang lalu, Muhammad SAW,
pernah menyampaikan bahwa belajar memang seharusnya sejak dalam buaian sampai ke liang
lahat, minaal mahdi ilaal lahdi, from cradle to the grave. Kata bijak dari Cina juga menyatakan
"jika engkau ingin berinvestasi sepanjang hayat "tanamlah" manusia (didiklah manusia). Dengan
demikian, bagi kemaslahatan dan kebermaknaan eksistensinya, orang harus senantiasa belajar,
kapan saja dan di mana saja, baik disadari maupun tidak disadari. Bahkan, menimbang
pentingnya belajar ini, Seneca (6 SM-65 M), ahli filsafat Yunani, menyatakan bahwa waktu
luang yang tidak digunakan untuk belajar sama kematian, leasure without study is death. dengan

Oleh sebab itu, tidaklah heran jika konsep belajar dan pembelajaran yang dahulu lebih
ditekankan kepada istilah mengajar atau pengajaran, selalu berubah dan berkembang. Perubahan
paradigma dari pengajaran (teaching), atau instruksi yang berfokus kepada aktivitas guru
(teacher-centered) menuju pembelajaran, yang berfokus kepada aktivitas siswa (student-
centered) diawali dengan penelitian dan perbincangan yang cukup panjang, sesuai dengan
perkembangan konsep psikologi dan filsafat pendidikan yang sedang berkembang. Catatan:
Paradigma, dalam konteks ini dimaknai sebagai model berpikir yang berlangsung pada masa dan
kondisi tertentu. Dalam sejumlah sumber, istilah pembelajaran lebih cenderung identik dengan
learning, 'belajar' tetapi menurut Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas Ditjen
Mandikdasmen Depdiknas (2008) pembelajaran diidentikkan dengan instruction, walau ternyata
dalam buku sumber yang sama mastery learning diterjemahkan menjadi pembelajaran tuntas.
Dengan kata lain, istilah learning identik dengan pembelajaran.

Pada akhir-akhir ini, misalnya sebagai hasil penelitian Jeanne Chall yang kemudian
dikembangkan oleh Project Follow Through, justru kembali dipertanyakan, apa salahnya dengan
konsep mengajar (reaching) Betapapun, tingkat kedewasaan, kompetensi serta pengalaman
seorang guru tetap diperlukan dalam situasi yang lebih menekankan kepada penerapan konsep
pembelajaran (learning). Dalam kaitan

Pendahuluan

Belajar dan pembelajaran

A. Belajar dan Pembelajaran (Learn and Learning)

Belajar adalah suatu aktivitas atau suatu proses untuk memperoleh pengetahuan, meningkatkan
keterampilan, memperbaiki perilaku, sikap, dan mengokohkan kepribadian. Dalam konteks
menjadi tahu atau proses memperoleh pengetahuan, menurut pemahaman sains konvensional,
kontak manusia dengan alam diistilahkan dengan pengalaman (experience). Pengalaman yang
terjadi berulang kali melahirkan pengetahuan, (knowledge), atau a body of knowledge. Definisi
ini merupakan definisi umum dalam pembelajaran sains secara konvensional, dan beranggapan
bahwa pengetahuan sudah terserak di alam, tinggal bagaimana siswa atau pembelajar
bereksplorasi, menggali dan menemukan kemudian memungutnya, untuk memperoleh
pengetahuan.
Setelah lahir teori kognitivisme, definisi pengetahuan atau menjadi tahu semacam ini mengalami
perubahan. Oleh karena itu, di dalam pengalamannya manusia selalu menghadapi sejumlah
fenomena atau fakta alami tertentu, maka pengetahuan pada hakikatnya juga terbangun dari
sekumpulan fakta-fakta, a bundle of facts. Oleh sebab itu tidak berlebihan jika dalam dunia
pendidikan berkembang moto: "pengalaman adalah guru yang paling baik", experience is the
best teacher, alam berkembang menjadi guru. Konsep ini tentunya tidak harus dimaknai seolah-
olah belajar sekadar penjenjalan pengetahuan kepada siswa, seperti halnya yang dipikirkan dan
dipraktikkan oleh mereka yang berparadigma

menjadi kaum elite sosial yang kemudian sering memegang peranan penting dalam menentukan
kebijakan kepemerintahan (governance) dan politik, akibatnya terjadi monopoli oleh masyarakat
bersekolah (the schooling society) terhadap berbagai kepentingan politik dan ekonomi dari
mereka yang terpinggirkan dan tidak berdaya, karena tidak mampu mengenyam pendidikan
formal atau hanya mampu. meraih pendidikan tingkat rendah. Menyindir kondisi seperti itu, Ivan
Illich kemudian menyarankan dibangunnya masyarakat tanpa sekolah, (deschooling society).

Dalam hubungan ini, Ronald Gross dalam bukunya berjudul Peak Learning (1991), sebagai
akibat praktik belajar yang kurang kondusif, tidak demokratis, tidak memberikan kesempatan
untuk berkreasi dan belum mengembangkan seluruh potensi anak didik secara optimal, telah
mengidentifikasi enam mitos tentang belajar. Keenam mitos itu adalah sebagai berikut:

(1) belajar itu membosankan, merupakan kegiatan yang tidak menyenangkang (2) belajar hanya
terkait dengan materi dan keterampilan yang

diberikan sekolah; (3) pembelajar harus pasif, menerima dan mengikuti apa yang diberikan guru;
(4) di dalam belajar, si pembelajar di bawah perintah dan aturan

guru;

(5) belajar harus sistematis, logis dan terencana;

(6) belajar harus mengikuti seluruh program yang telah ditentukan.

Mitos semacam itu timbul karena dilandasi oleh fakta, banyak praktik pembelajaran di sekolah
yang menunjukkan pelaksanaan hal-hal tersebut. Oleh sebab itu, harus diciptakan suasana agar
belajar di sekolah berlangsung secara aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan.

Kembali kepada konsep belajar, setiap ahli psikologi memberi definisi dan batasan yang
berbeda-beda, akibatnya terdapat keragaman di dalam menjelaskan dan mendefinisikan makna
belajar. Witherington (1952) seperti yang dikutip oleh Sukmadinata (2004:155) menyatakan
bahwa belajar merupakan perubahan dalam kepribadian, yang dimanifestasikan sebagai pola-
pola respon yang baru yang berbentuk keterampilan, sikap, kebiasaan, pengetahuan

Belajar dan Pembelajaran

11
BElajar dan pembelajaran

Teori dasar konsep prof.Dr. Suyono. m.Pd. dan Drs. Hariyanto,M.S. PT remaja Rosdakarya
Bandung 2017

B. Dasar-Dasar Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam di


sekolah mempunyai

dasar yang kuat. Dasar tersebut menurut Zuhairini dkk. (1983:21)

dapat ditinjau dari berbagai segi, yaitu sebagai berikut.

1. Dasar Yuridis/Hukum Dasar yuridis, yakni dasar pelaksanaan pendidikan agama yang berasal
dari perundang-undangan yang secara tidak langsung dapat menjadi pegangan dalam
melaksanakan pendidikan agama di sekolah secara formal. Dasar yuridis formal tersebut terdiri
dari tiga macam.

Dasar ideal, yaitu dasar falsafah negara Pancasila, sila

pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa b. Dasar struktural/konstitusional, yaitu UUD'45 dalam Bab
XI pasal 29 ayat 1 dan 2, yang berbunyi: 1) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa;
2) Negara

2.

menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan beribadah
menurut agama dan kepercayaannya itu.
c. Dasar operasional, yaitu terdapat dalam Tap MPR No IV MPR/1973/ yang kemudian
dikukuhkan dalam Tap MPR No. IV/MPR 1978 jo. Ketetapan MPR Np. II/MPR/1983, diperkuat
oleh Tap. MPR No. II/MPR/1988 dan Tap. MPR No. II/MPR 1993 tentang Garis-garis Besar
Haluan Negara yang pada pokoknya menyatakan bahwa pelaksanaan pendidikan agama secara
langsung dimaksudkan dalam kurikulum sekolah-sekolah formal, mulai dari sekolah dasar
hingga perguruan tinggi. Dasar Religius

Dasar religius adalah dasar yang bersumber dari ajaran Islam.

3. Aspek Psikologis

Psikologis, yaitu dasar yang berhubungan dengan aspek kejiwaan kehidupan bermasyarakat. Hal
ini didasarkan bahwa dalam hidupnya, manusia baik sebagai individu maupun sebagai anggota
masyarakat dihadapkan pada hal-hal yang membuat hatinya tidak tenang dan tidak tenteram
sehingga memerlukan adanya pegangan hidup. Sebagaimana dikemukakan oleh Zuhairini dkk
(1983:25) bahwa: Semua manusia di dunia ini selalu membutuhkan adanya pegangan hidup yang
disebut agama. Mereka merasakan bahwa dalam jiwanya ada suatu perasaan yang mengakui
adanya Zat Yang Maha Kuasa, tempat mereka berlindung dan tempat mereka memohon
pertolongan.

14
Belajar dan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam

Hal semacam ini terjadi pada masyarakat yang masih primitif maupun masyarakat yang sudah
modern. Mereka merasa tenang dan tenteram hatinya kalau mereka dapat mendekat dan
mengabdi kepada Zat Yang Maha Kuasa.

Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa untuk membuat hati tenang dan tenteram adalah
dengan jalan mendekatkan diri kepada Tuhan. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat
Ar-Ra'd ayat 28, yaitu: "... Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram."

C. Fungsi Pendidikan Agama Islam Pendidikan Agama Islam untuk sekolah/madrasah berfungsi

sebagai berikut.

1. Pengembangan, yaitu meningkatkan keimanan dan ketakwaan peserta didik kepada Allah Swt.
yang telah ditanamkan dalam lingkungan keluarga. Pada dasarnya dan pertama-tama kewajiban
menanamkan keimanan dan ketakwaan dilakukan oleh setiap orang tua dalam keluarga. Sekolah
berfungsi untuk menumbuhkembangkan lebih lanjut dalam diri anak melalui bimbingan,
pengajaran, dan pelatihan agar keimanan dan ketakwaan tersebut dapat berkembang secara
optimal sesuai

dengan tingkat perkembangannya. Penanaman nilai sebagai pedoman hidup untuk mencari 2.

kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. 3. Penyesuaian mental, yaitu untuk menyesuaikan diri
dengan lingkungannya baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial dan dapat mengubah
lingkungannya sesuai dengan ajaran agama Islam.
4. Perbalkan, yaitu untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan, kekurangan-kekurangan, dan
kelemahan-kelemahan peserta didik dalam keyakinan, pemahaman, dan pengalaman ajaran
dalam kehidupan sehari-hari.

5. Pencegahan, yaitu untuk menangkal hal-hal negatif dari lingkungannya atau dari budaya lain
yang dapat membahayakan dirinya dan menghambat perkembangannya menuju manusia
Indonesia seutuhnya.

6.

Pengajaran tentang ilmu pengetahuan keagamaan secara umum

7. (alam nyata dan nirnyata), sistem dan fungsionalnya. Penyaluran, yaitu untuk menyalurkan
anak-anak yang memiliki bakat khusus di bidang Agama Islam agar bakat tersebut dapat
berkembang secara optimal sehingga dapat dimanfaatkan untuk dirinya sendiri dan bagi orang
lain.

Feisal (1999) berpendapat bahwa terdapat beberapa pendekatan yang digunakan dalam
memainkan fungsi agama Islam di sekolah. Pendekatan nilai universal (makro), yaitu suatu
program yang

dijabarkan dalam kurikulum.

2. Pendekatan Meso, artinya pendekatan program pendidikan yang memiliki kurikulum,


sehingga dapat memberikan informasi dan kompetisi pada anak. Pendekatan Ekso, artinya
pendekatan program pendidikan 3.
yang memberikan kemampuan kebijakan pada anak untuk

membudidayakan nilai agama Islam. Pendekatan makro, artinya pendekatan program pendidikan
yang memberikan kemampuan kecukupan keterampilan seseorang sebagai profesional yang
mampu mengemukakan ilmu teori, informasi, yang diperoleh dalam kehidupan sehari-hari
(Puskur 2002).

D. Tujuan Pendidikan Agama Islam

Pendidikan Agama Islam di sekolah/madrasah bertujuan untuk menumbuhkan dan meningkatkan


keimanan melalui pemberian dan pemupukan pengetahuan, penghayatan, pengamalan serta
pengalaman peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus
berkembang dalam hal keimanan, ketakwaannya, berbangsa dan bernegara, serta untuk dapat
melanjutkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi (Kurikulum PAI: 2002).

Tujuan pendidikan agama Islam di atas merupakan turunan dari tujuan pendidikan nasional,
suatu rumusan dalam UUSPN (UU No. 20 tahun 2003), berbunyi: "Pendidikan nasional
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak

mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.

Kalau tujuan pendidikan nasional sudah terumuskan dengan baik, maka fokus berikutnya adalah
cara menyampaikan atau bahkan menanamkan nilai, pengetahuan, dan keterampilan. Cara seperti
ini meliputi penyampaian atau guru, penerima atau peserta didik, berbagai macam sarana dan
prasarana, kelembagaan dan faktor lainnya, termasuk kepala sekolah/madrasah, masyarakat
terlebih orang tua dan sebagainya.

Tujuan pendidikan merupakan hal yang dominan dalam pendidikan, rasanya penulis perlu
mengutip ungkapan Breiter, sebagai berikut.

"Education is matter of purpose and focus. To educate a child to act with the purpose of
influencing the child's development as a whole person. What you do may vary. You may teach
him, you may play with him, you may structure his environment, you may censor his television
viewing, or you may pass laws to keep him out of bars" (Dikutip dari James MacLellan,
Philosophy of Education, 1976:18).

(Pendidikan adalah persoalan tujuan dan fokus. Mendidik anak berarti bertindak dengan tujuan
agar memengaruhi perkembangan anak sebagai seseorang secara utuh. Apa yang dapat Anda
lakukan ada bermacam-macam cara, Anda kemungkinan dapat dengan cara mengajar dia, Anda
dapat bermain dengannya, Anda dapat mengatur lingkungannya, Anda dapat menyensor saluran
televisi yang Anda tonton, dan Anda dapat memberlakukan hukuman agar dia jauh dari penjara).

Apa yang kita saksikan selama ini, entah karena kegagalan pembentukan individu atau karena
yang lain, nilai-nilai yang mempunyai implikasi sosial dalam istilah Qodry Azizy disebut dengan
moralitas sosial atau etika sosial atau AA. Gym menyebutnya dengan krisis akhlak hampir tidak
pernah mendapat perhatian serius. Padahal penekanan terpenting dari ajaran Islam pada dasarnya
adalah hubungan antarsesama manusia (mu'amalah bayina al-nas) yang sarat dengan nilai-nilai
yang berkaitan dengan moralitas sosial itu. Bahkan filsafat Barat pun mengarah pada
pembentukan kepribadian itu sangat serius. Tampaknya ungkapan Theodore Roosevelt menarik
Peran Pendidikan Agama Islam pada Era Globalisasi

117

untuk direnungkan: to educate a person in mind and not in morals is to educate a menace to
society" (mendidik seseorang [menekankan] pada otak/pikiran tidak pada moral adalah sama
artinya dengan mendidik atau menebarkan ancaman kepada masyarakat). Sejalan dengan hal itu,
arah pelajaran etika di dalam Al-Quran dan secara tegas di dalam Hadis Nabi mengenai
diutusnya Nabi adalah untuk memperbaiki moralitas bangsa Arab waktu itu.

Oleh karena itu, berbicara pendidikan agama Islam, baik makna maupun tujuannya haruslah
mengacu pada penanaman nilai-nilai Islam dan tidak dibenarkan melupakan etika sosial atau
moralitas sosial. Penanaman nilai-nilai ini juga dalam rangka menuai keberhasilan hidup
(hasanah) di dunia bagi anak didik yang kemudian akan mampu membuahkan kebaikan
(hasanah) di akhirat kelak.

E. Karakteristik Pendidikan Agama Islam

Menurut PUSKUR Depdiknas, tujuan PAI adalah untuk menumbuhkan dan meningkatkan
keimanan peserta didik melalui pemberian dan pemupukan pengetahuan, penghayatan,
pengamalan, serta pengalaman peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia
muslim yang terus berkembang dalam hal keimanan, ketakwaannya kepada Allah Swt. serta
berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (Munjin,
2009: 9). Visi PAI di sekolah umum adalah terbentuknya sosok anak didik yang memiliki
karakter, watak, dan kepribadian dengan landasan iman dan ketakwaan serta nilai-nilai akhlak
atau budi pekerti yang kukuh, yang tecermin dalam keseluruhan sikap dan perilaku sehari-hari,
untuk selanjutnya memberi corak bagi pembentukan watak bangsa. Sedangkan misi PAI, Djamas
(2000; 7) menyebutkan sebagai berikut.
1. Melaksanakan pendidikan agama sebagai bagian integral dari keseluruhan proses pendidikan
di sekolah.

2. Menyelenggarakan pendidikan agama di sekolah dengan mengintegrasikan aspek pengajaran,


pengamalan serta aspek

pengalaman bahwa kegiatan belajar mengajar di depan kelas diikuti dengan pembiasaan
pengamalan ibadah bersama di sekolah, kunjungan dan memperhatikan lingkungan sekitar serta
penerapan nilai dan norma akhlak dalam perilaku sehari-hari. Melakukan upaya bersama antara
guru agama dan kepala sekolah serta seluruh unsur pendukung pendidikan di sekolah untuk
mewujudkan budaya sekolah (school culture) yang dijiwai oleh suasana dan disiplin keagamaan
yang tinggi yang tecermin dari aktualisasi nilai dan norma keagamaan dalam keseluruhan
interaksi antarunsur pendidikan di sekolah dan 3.

di luar sekolah. Melakukan penguatan posisi dan peran guru agama di sekolah secara terus-
menerus baik sebagai pendidik maupun sebagai pembimbing dan penasihat, komunikator, serta
penggerak bagi terciptanya suasana dan disiplin keagamaan di sekolah. 4.

Ditilik dari tujuan, visi, dan misi PAI tersebut di atas, tampak bahwa secara implisit PAI
memang lebih diarahkan ke "dalam" yakni peningkatan pengetahuan dan keterampilan dalam
melaksanakan praktik atau ritual ajaran agama, sedangkan yang berkaitan dengan penyiapan
peserta didik memasuki kehidupan sosial, terutama dalam kaitan dengan realitas kemajemukan
beragama kurang mendapat perhatian. Hal tersebut makin tampak jelas dari beberapa indikator
yang menjadi karakteristik PAI, sebagaimana disebut Nasih (2006,15) sebagai berikut.

1. PAI mempunyai dua sisi kandungan, yakni sisi keyakinan dan sisi pengetahuan.
2. PAI bersifat doktrinal, memihak, dan tidak netral. PAI merupakan pembentukan akhlak yang
menekankan pada

pembentukan hati nurani dan penanaman sifat-sifat ilahiah

yang jelas dan pasti. 4. PAI bersifat fungsional.

5. PAI diarahkan untuk menyempurnakan bekal keagamaan peserta didik. 6. PAI diberikan
secara komprehensif.

Demikian pula, meskipun harus mempertimbangkan relevansinya dengan lingkungan sosial


peserta didik, penerapan metode pembelajaran PAI menghubungkan metode pembelajaran PAI
dengan realitas

kemajemukan yang pada umumnya mendapat porsi yang kecil. Pokok bahasan tentang toleransi
beragama hanya diarahkan pada penanaman sikap di antara sesama "agar tidak terjadi
ketegangan dan permusuhan (Nasution, 2000; 57), dan belum diarahkan pada upaya untuk
memahami perbedaan agama secara mendalam. Itulah sebabnya, masalah kerukunan agama
masih miskin wacana karena pertama, kerukunan hanya berhenti pada pemahaman yang
verbalistik tentang banyaknya agama, tanpa didasari oleh kerangka teologi yang jelas bahwa
pada tiap-tiap agama yang secara formal berbeda, pada dasarnya disatukan oleh komitmen
spiritual dan moral sama. Akibatnya, kerukunan terkesan abstrak karena sementara secara verbal
mengakui perbedaan, tetapi dalam hati pemeluk agama menyimpan benih-benih pertentangan.
Kedua, kerukunan didekati secara satu garis hanya melihat variabel agama sebagai satu-satunya
pembentuk kerukunan, sementara variabel sosial-budaya kurang begitu diperhatikan (Fadjar,
2001: 8). yang
F. Pentingnya Pendidikan Agama Islam bagi Anak (Peserta Didik)

Seorang bayi yang baru lahir adalah makhluk Allah Swt. yang tidak berdaya dan senantiasa
memerlukan pertolongan untuk dapat melangsungkan hidupnya di dunia ini. Sungguh Maha
Bijaksana Allah Swt. yang telah menganugerahkan rasa kasih sayang kepada semua Ibu dan
Bapak untuk memelihara anaknya dengan baik tanpa mengharapkan imbalan.

Manusia lahir tidak mengetahui apa pun, tetapi ia dianugerahi oleh Allah Swt. pancaindra,
pikiran, dan rasa sebagai modal untuk menerima ilmu pengetahuan, memiliki keterampilan dan
mendapatkan sikap tertentu melalui proses kematangan dan belajar terlebih dahulu. Mengenai
pentingnya belajar menurut A.R. Shaleh & Soependi Soeryadinata (1971: 9): "Anak manusia
tumbuh dan berkembang baik pikiran, rasa, kemauan, sikap, dan tingkah lakunya. Dengin
demikian, sangat vital adanya faktor belajar".

Setiap orang tua berkeinginan mempunyai anak yang berkepribadian baik, atau setiap orang tua
bercita-cita mempunyai

anak yang saleh, yang senantiasa membawa harum nama orang tuanya, karena anak yang baik
merupakan kebanggaan orang tua, baik buruknya kelakuan akan memengaruhi nama baik orang
tuanya. Juga anak saleh yang senantiasa mendoakan orang tuanya merupakan amal baik bagi
orang tua yang akan mengalir terus menerus pahalanya walaupun orang itu sudah meninggal
dunia, sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw:

Artinya: "Jikalau manusia itu sudah meninggal dunia, maka putuslah semua amalnya, kecuali
tiga macam: yaitu Shadaqah jariyah (yang mengalir kemanfaatannya), ilmu yang dimanfaatkan,
dan anak yang saleh (yang baik kelakuannya) yang senantiasa mendoakan orang tuanya (untuk
keselamatan dan kebahagiaan orang tuanya)."
Untuk mencapai hal yang diinginkan itu dapat diusahakan

melalui pendidikan, baik pendidikan dalam keluarga, pendidikan

di sekolah, maupun pendidikan di masyarakat. Menurut A.D. Marimba, "Pendidikan adalah


bimbingan dan pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan
rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian utama."

Arti pendidikan agama Islam adalah "Usaha berupa bimbingan dan asuhan terhadap anak didik
agar kelak setelah selesai pendidikannya dapat memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam
serta menjadikannya sebagai way of life (jalan hidupnya)". (Depag RI, 1980:2)

Jadi, pendidikan agama Islam adalah ikhtiar manusia dengan jalan bimbingan dan pimpinan
untuk membantu dan mengarahkan fitrah agama si anak didik menuju terbentuknya kepribadian
utama sesuai dengan ajaran agama.

Lapangan pendidikan agama Islam menurut Hasbi Ash-Shidiqi meliputi hal-hal berikut ini. 1.
Tarbiyah jismiyah, yaitu segala rupa pendidikan yang wujudnya

menyuburkan dan menyehatkan tubuh serta menegakkannya, supaya dapat merintangi kesukaran
yang dihadapi dalam pengalamannya. 2. Tarbiyah aqliyah, yaitu sebagaimana rupa pendidikan
dan
pelajaran yang akibatnya mencerdaskan akal menajamkan otak

semisal ilmu berhitung.

3. Tarbiah adabiyah, yaitu segala rupa praktik maupun berupa teor yang wujudnya meningkatkan
budi dan meningkatkan perangai 4. Tarbiyah adabiyah atau pendidikan budi pekerti/akhlak
dalam ajaran Islam merupakan salah satu ajaran pokok yang harus diajarkan agar umatnya
memiliki/melaksanakan akhlak mulia yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Bahkan tugas
utama Rasulullah Muhammad Saw. diutus ke dunia ini adalah untuk menyempurnakan akhlak
sebagaimana sabdanya: Artinya: "Aku diutus (oleh Tuhan) untuk menyempurnakan akhlak budi
pekerti yang mulia" (Hadis Ahmad).

Demikian pula dalam ajaran Islam, akhlak merupakan ukuran/ barometer yang dapat dijadikan
ukuran untuk menilai kadar iman seseorang sebagaimana sabdanya:

Artinya: "Sesempurna-sempurna orang mukmin imannya adalah

yang lebih baik akhlaknya" (Hadis Turmudzi) Seseorang baru bisa dikatakan memiliki
kesempurnaan iman apabila dia memiliki budi pekerti/akhlak yang mulia. Oleh karena itu,
masalah akhlak/budi pekerti merupakan salah satu pokok ajaran Islam yang harus diutamakan
dalam pendidikan agama Islam untuk ditanamkan/diajarkan kepada anak didik. Dengan melihat
arti pendidikan Islam dan ruang lingkupnya itu, jelaslah bahwa dengan Pendidikan Islam kita
berusaha untuk membentuk manusia yang berkepribadian kuat dan baik (berakhlak alkarimah)
berdasar pada ajaran agama Islam.
Pendidikan Islam sangat penting sebab dengan pendidikan Islam, orang tua atau guru berusaha
secara sadar memimpin dan mendidik anak diarahkan pada perkembangan jasmani dan rohani
sehingga mampu membentuk kepribadian yang utama sesuai dengan ajaran agama Islam.

Pendidikan agama Islam hendaknya ditanamkan sejak kecil sebab pendidikan pada masa kanak-
kanak merupakan dasar yang menentukan untuk pendidikan selanjutnya. Sebagaimana menurut
pendapat Zakiyah Daradjat (1:48) bahwa: "Pada umumnya agama seseorang ditentukan oleh
pendidikan, pengalaman, dan latihan yang dilaluinya sejak kecil".

Jadi, perkembangan agama pada seseorang sangat ditentukan oleh pendidikan dan pengalaman
hidup sejak kecil; baik dalam keluarga, sekolah, maupun dalam lingkungan masyarakat terutama
pada masa pertumbuhan. Perkembangan agama pada anak terjadi melalui pengalaman hidupnya
sejak kecil dalam keluarga, di sekolah, dan lingkungan masyarakat".

Oleh sebab itu, seyogianyalah pendidikan agama Islam ditanamkan dalam pribadi anak sejak ia
lahir bahkan sejak dalam kandungan dan kemudian hendaklah dilanjutkan pembinaan pendidikan
ini di sekolah, mulai dari Taman Kanak-kanak sampai dengan Perguruan Tinggi.

Pendidikan agama Islam perlu diajarkan sebaik-baiknya dengan memakai metode dan alat yang
tepat serta manajemen yang baik. Bila pendidikan agama Islam di sekolah dilaksanakan dengan
sebaik baiknya, maka insya Allah akan banyak membantu mewujudkan harapan setiap orang tua,
yaitu memiliki anak yang beriman, bertakwa kepada Allah Swt., berbudi luhur, cerdas, dan
terampil, berguna untuk nusa, bangsa, dan agama (anak yang saleh).

Bagi umat Islam tentunya pendidikan agama yang wajib diikutinya itu adalah pendidikan agama
Islam. Dalam hal ini pendidikan agama Islam mempunyai tujuan kurikuler yang merupakan
penjabaran dari tujuan pendidikan nasional sebagaimana yang termaktub dalam Undang-Undang
Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, yaitu:
Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Mengingat betapa pentingnya pendidikan agama Islam dalam mewujudkan harapan setiap orang
tua dan masyarakat, serta untuk membantu terwujudnya tujuan pendidikan nasional, maka
pendidikan agama Islam harus diberikan dan dilaksanakan di sekolah dengan sebaik-baiknya.

Belajar dan pembelajaran pendidikan agama Islam, Abdul Majid, S.Ag,l., M.Pd PT REMAJA
Rosdakarya bandung 2012

A. Pengertian Penelitian Tindakan Kelas

Sebelum pengertian tentang penelitian tindakan kelas, ada baiknya disampaikan terlebih dahulu
pengertian penelitian tindakan. Penelitian tin dakan adalah pelitian tentang, untuk, dan oleh
masyarakat/kelompok sasaran. dengan memanfaatkan interaksi, pertisipasi, dan kolaborasi antara
peneliti dengan kelompok sasaran. Penelitian tindakan merupakan salah satu strategi pemecahan
masalah yang memanfaatkan tindakan nyata dan proses pengem bangan kemampuan dalam
mendetaksi dan memacahkan masalah. Dalam prosetnya pihak-pihak yang terlibat saling
mendukung satu sama lain. dilengkapi dengan fakta-fakta dan mengembangkan kemampuan
analisis. Dalam praktiknya penelitian tindakan menggabungkan tindakan bermakna dengan
prosedur penelitian. Ini adalah suatu upaya untuk memecahkan masalah sekaligus mencari
ukungan ilmiahnya. Pihak yang terlibat (guru. widyaiswara, instruktur, kepala sekolah dan warga
masyarakat) mencoba dengan sadar merumuskan suatu tindakan atau intervensi yang diperhitung
kan dapat memecahkan masalah atau memperbaiki situasi dan kemudian secara cermat
mengamati pelaksanaannya untuk memahami tingkat keber hasilannya (Departemen Pendidikan
Nasional, 1999: 1).
tindakan kelas merupakan suatu penelitian yang meng angkat masalah-masalah aktual yang
dihadapi oleh guru di lapangan (Wibawa, 2004: 3). Arikunto (2007: 3) mengartikan bahwa
penelitian tindakan kelas merupakan suatu pencermatan terhadap kegiatan belajar

berupa sebuah tindakan, yang sengaja dimunculkan dan terjadi dalam sebuah kelas secara
bersama. Tindakan tersebut diberikan oleh guru atau dengan arahan dari guru yang dilakukan
oleh siswa. Dalam buku Prosedur Penelitian dalam pendekatan Praktik, Arikunto (2006: 91)
mendefinisikan penelitian tindakan kelas yang cukup sederhana, yakni merupakan suatu
pencermatan terhadap kegiatan yang sengaja dimunculkan, dan terjadi dalam sebuah kelas.

Menurut Wiriaatmadja (2006: 13), penelitian tindakan adalah bagaimana sekelompok guru dapat
mengorganisasikan kondisi praktik pembelajaran mereka, dan belajar dari pengalaman mereka
sendiri. Mereka dapat mencobakan suatu gagasan perbaikan dalam praktik pembelajaran mereka,
dan melihat pengaruh nyata dari upaya itu.

Penelitian tindakan kelas sebagai suatu bentuk penelaahan pene litian yang bersifat reflektif
dengan melakukan tindakan-tindakan tertentu agar dapat memperbaiki dan/atau meningkatkan
praktik-praktik pembel ajaran di kelas secara lebih profesional (Sukidin, Basrowi dan Suranto,
2002: 16)

Rapoport dalam Hopkins (1993: 44) menyatakan bahwa action

research:

aims to contribute both to the practical concerns of people in an immediate problematic situation
and to the goals of sosial science by joint collaboratiob within a mutually acceptable ethical
framework.
Kemmis dalam Hopkins (1993: 44) juga menyatakan:

Action research is a form of self-reflective enquiry undertaken by participants in sosial


(including educational) situations in order to improve the rationality and justice of (a) their own
sosial or educational practicd of (b) their understanding of these practices and (c) the situations
in which the practices are carried out.

Menurut Sanford, PTK merupakan suatu kegiatan siklis yang bersifat menyeluruh yang terdiri
atas analisis, penemuan fakta, konsep tualisasi, perencanaan, pelaksanaan, penemuan fakta
tambahan, dan evaluasi. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa

penelitian tindakan kelas yang selanjutnya disebut PTK adalah penelitian

16

Penelitian Tindakan Kelas

yang mengangkat masalah-masalah yang aktual yang dilakukan oleh para guru yang merupakan
pencermatan kegiatan belajar yang berupa tindakan untuk memperbaiki dan meningkatkan
praktik pembelajaran di kelas secara lebih profesional.

B. Prinsip Penelitian Tindakan Kelas


Ada beberapa prinsip dasar yang melandasi PTK. Menurut Hopkins (1993) prinsip yang
dimaksud antara lain: 1. Tugas pendidik dan tenaga kependidikan yang utama adalah menye

lenggarakan pembelajaran yang baik dan berkualitas. 2. Meneliti merupakan bagian integral dari
pembelajaran yang tidak menuntut kekhususan waktu maupun metode pengumpulan data.

3. Kegiatan peneliti yang merupakan bagian integral dari pembelajaran harus diselenggarakan
dengan tetap bersandar pada alur dan kaidah ilmiah. 4. Masalah yang ditangani adalah masalah-
masalah pembelajaran yang riil

merisaukan tanggung jawab profesional dan komitmen terhadap diag

nosis masalah bersandar pada kejadian nyata yang berlangsung dalam

konteks pembelajaran yang sesungguhnya.

5. Konsistensi sikap dan kepedulian dalam memperbaiki dan meningkatkan kualitas


pembelajaran sangat diperlukan.

6. Cakupan permasalahan penelitian tindakan tidak seharusnya dibatasi pada

masalah pembelajaran di kelas, tetapi dapat diperluas pada tataran di luar


kelas.

Sukidin, Basrowi dan Suranto (2002: 19-21) menguraikan bahwa PTK dapat berjalan dengan
baik apabila dalam perencanaan dan pelaksana annya menggunakan enam prinsip:

1. Tugas pertama dan utama guru di sekolah adalah mengajar siswa sehingga apapun metode
PTK yang akan diterapkan tidak akan meng ganggu komitmennya sebagai pengajar.

2. Metode pengumpulan data yang digunakan tidak menuntut waktu yang berlebihan dari guru
sehingga berpeluang mengganggu proses pembel ajaran.

yang mengangkat masalah-masalah yang aktual yang dilakukan oleh para guru yang merupakan
pencermatan kegiatan belajar yang berupa tindakan untuk memperbaiki dan meningkatkan
praktik pembelajaran di kelas secara lebih profesional.

B. Prinsip Penelitian Tindakan Kelas

Ada beberapa prinsip dasar yang melandasi PTK. Menurut Hopkins (1993) prinsip yang
dimaksud antara lain: 1. Tugas pendidik dan tenaga kependidikan yang utama adalah menye

lenggarakan pembelajaran yang baik dan berkualitas. 2. Meneliti merupakan bagian integral dari
pembelajaran yang tidak menuntut kekhususan waktu maupun metode pengumpulan data.
3. Kegiatan peneliti yang merupakan bagian integral dari pembelajaran harus diselenggarakan
dengan tetap bersandar pada alur dan kaidah ilmiah. 4. Masalah yang ditangani adalah masalah-
masalah pembelajaran yang riil

merisaukan tanggung jawab profesional dan komitmen terhadap diag

nosis masalah bersandar pada kejadian nyata yang berlangsung dalam

konteks pembelajaran yang sesungguhnya.

5. Konsistensi sikap dan kepedulian dalam memperbaiki dan meningkatkan kualitas


pembelajaran sangat diperlukan.

6. Cakupan permasalahan penelitian tindakan tidak seharusnya dibatasi pada

masalah pembelajaran di kelas, tetapi dapat diperluas pada tataran di luar

kelas.

Sukidin, Basrowi dan Suranto (2002: 19-21) menguraikan bahwa PTK dapat berjalan dengan
baik apabila dalam perencanaan dan pelaksana annya menggunakan enam prinsip:
1. Tugas pertama dan utama guru di sekolah adalah mengajar siswa sehingga apapun metode
PTK yang akan diterapkan tidak akan meng ganggu komitmennya sebagai pengajar.

2. Metode pengumpulan data yang digunakan tidak menuntut waktu yang berlebihan dari guru
sehingga berpeluang mengganggu proses pembel ajaran.

BAB 2-Hakikat Penelitian Tindakan Kelas

17

10. Dilaksanakan dalam rangkaian langkah dengan beberapa siklus, dalam satu siklus terdiri dari
tahapan perencanaan (planning), tindakan (action), pengamatan (observation), dan refleksi
(reflection) dan selanjutnya diulang kembali dalam beberapa siklus.

PTK memiliki karakteristik khusus yang tidak ada pada penelitian lain. Sukidin, Basrowi, dan
Suranto (2002: 22-23) menguraikan bahwa karakteristik PTK anatara lain. (1) problema yang
diangkat untuk dipecah kan melalui PTK harus selalu berangkat dari persoalan praktik
pembelajaran sehari-hari yang dihadapi oleh guru, ada kalanya dapat dilakukan secara
kolaboratif dengan peneliti lain; (2) adanya tindakan-tindakan atau aksi tertentu untuk
memperbaiki untuk memperbaiki proses belajar mengajar di kelas.

Arikunto, Suhardjono, dan Supardi (2007, 108-109) menyebutkan beberapa prinsip PTK antara
lain: (1) problema yang diangkat adalah adalah problema yang dihadapi oleh guru kelas; (2)
pendidik sejak awal menyadari adanya persoalan yang terkait dengan proses dan produk
pembelajaran yang dihadapi di kelas; (3) dapat dilakukan secara kolaboratif; (4) adanya tindakan
(aksi) tertentu untuk memperbaiki proses belajar mengajar di kelas; (5) adanya perubahan ke
arah perbaikan dan peningkatan secara positif; (6) inkuiri reflektif, bahwa kegiatan penelitian
berdasarkan pada pelaksanaan tugas (practice driven) dan pengambilan tindakan untuk
memecahkan masalah yang dihadapi (action driven): dan (7) reflektif yang berkelanjutan, artinya
lebih menekankan pada proses refleksi terhadap proses dan hasil penelitian.

Priyono pada makalah yang berjudul "action research" sebagai Strategi pengembangan Profesi
Guru (1999) dalam Sukidin, Basrowi, dan Suranto (2002: 23-24) karakter PTK meliputi: (1)
masalah yang dijadikan objek penelitian muncul dari dunia kerja peneliti; (2) bertujuan
memecahkan masalah guna meningkatkan kualitas; (3) mengutamakan data yang beragam, (4)
langkah-langkahnya merupakan siklus; dan (5) mengutamakan kerja kelompok.

Wiriaatmadja (2006: 25) juga mengemukan bahwa karakteristik. PTK adalah emansipatoris dan
membebaskan (liberating), karena penelitian ini mendorong kebebasan berpikir dan berargumen
pada pihak siswa, dan

mendorong guru untuk bereksperimen, meneliti, dan menggunakan kearifan dalam mengambil
keputusan. Karakteristik PTK yang lain dikemukanakan oleh Wardani

Wihardit, dan Nasoetion. (2002: 1.4-1.6), yang meliputi: (1) adanya masalah dalam PTK dipicu
oleh munculnya kesadaran pada diri guru bahwa praktik yang dilakukan selama ini di kelas
mempunyai masalah yang perlu disele saikan; (2) self-reflective inquiry, artinya peneliti melalui
refleksi diri: (3) dilakukan di dalam kelas; dan (4) bertujuan untuk memperbaiki pembelajaran

D. Tujuan Penelitian Tindakan Kelas

Dapat dikatakan bahwa semua penelitian bertujuan untuk memecah kan suatu masalah, namun
khusus PTK di samping tujuan tersebut tujuan PTK yang utama adalah untuk perbaikan dan
peningkatan layanan profesional guru dalam menangani proses belajar mengajar.
Menurut Mulyasa (2009: 89-90) secara umum tujuan Penelitian Tindakan Kelas adalah: 1.
Memperbaiki dan meningkatkan kondisi-kondisi belajar serta kualitas

pembelajaran.

2. Meningkatkan layanan profesional dalam konteks pembelajaran,

khususnya khususnya layanan kepada peserta didik sehingga tercipta

layanan prima.

3. Memberikan kesempatan kepada guru berimprovisasi dalam melakukan tindakan


pembelajaran yang direncanakan secara tepat waktu dan sasarannya.

4. Memberikan kesempatan kepada guru mengadakan pengkajian secara bertahap terhadap


kegiatan pembelajaran yang dilakukannya sehingga tercipta perbaikan yang berkesinambungan.

5. Membiasakan guru mengembangkan sikap ilmiah, terbuka, dan jujur dalam pembelajaran.

Borg (1986) dalam Sohidin, Basrowi, dan Suranto (1992: 37) secara eksplisit menyebutkan
bahwa tujuan utama PTK adalah pengembangan keterampilan guru yang bertolak dari kebutuhan
untuk menanggulangi berbagai permasalahan pembelajaran aktual yang dihadapi di kelasnya
atau

20

Penelitian Tindakan Kelas

di sekolahnya sendiri dengan atau tanpa masukan khusus berupa berbagai program pelatihan
yang lebih eksplisit. Tujuan lain PTK adalah untuk meningkatkan dan/atau perbaikan. praktik
pembelajaran yang seharusnya dilakukan oleh guru. Di samping itu dengan PTK
tertumbuhkannya budaya meneliti di kalangan guru.

E. Manfaat Penelitian Tindakan Kelas

Manfaat PTK sangat banyak. Manfaat yang dapat dipetik jika guru mau melaksanakan PTK
terkait dengan komponen pembelajaran antara lain: (1) inovasi pembelajaran; (2) pengembangan
kurikulum di tingkat sekolah dan pada tingkat kelas; dan (3) peningkatan profesionalisme guru
(Sukidin, basrowi dan Suranto, 2002: 40).

Arikunto, Suhardjono, dan Supardi (2007: 107) menyebutkan bahwa manfaat PTK antara lain
dapat dilihat dan dikaji dalam beberapa komponen pendidikan dan/atau pembelajaran di kelas,
antara alain mencakup: (1) inovasi pembelajaran; (2) pengembangan kurikulum di tingkat
regional/ nasional; dan (3) peningkatan profesionalisme pendidikan.

Manfaat PTK menurut Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan
Perguruan Tinggi (2005: 2) meliputi:
1. Peningkatan kompetensi guru dalam mengatasi masalah pembelajaran dan pendidikan di
dalam dan di luar kelas.

2. Peningkatan sikap profesional guru dan dosen. 3. Perbaikan dan/atau peningkatan kinerja
belajar dan kompetensi siswa.

4. Perbaikan dan/atau peningkatan kualitas proses pembelajaran di kelas. 5. Perbaikan dan/atau


peningkatan kualitas penggunaan media, alat bantu belajar, dan sumber belajar lainnya. 6.
Perbaikan dan/atau peningkatan kualitas prosedur dan alat evaluasi yang

digunakan untuk mengukur proses dan hasil belajar siswa.

7. Perbaikan dan/atau peningkatan masalah-masalah pendidikan anak di

sekolah.

8. Perbaikan dan/atau peningkatan kualitas penerapan kurikulum.

Penelitian tindakan kelas , prof. dr. H. Tukiran Taniredja, Irma Pujiati, M.Pd

nyata, S.Pd , 2012, Bandung , Alfabeta

Pengantar Penulis
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik aktif mengembangkan potensi dirinya , 1(1) Undang-undang
Sisdiknas No. 20/2003). Inilah misi pendidikan yang lahir dari reformasi 1998, yang
mengukuhkan secara ideologis prinsip demokrasi, otonomi dan keadilan serta menjunjung tinggi
hak asasi manusia. Ideologi tersebut menjadi dasar hukum bagi perubahan paradigma
pendidikan, dari pengajaran ke pembelajaran.

Menurut sosiolog Peter L. Berger (1966), pada hakikatnya manusia memproduksi dirinya sendiri
melalui pengalaman dalam realitas sosial. Satu bagian hakiki dari potensi manusia adalah hasrat,
sebagai tanda bahwa manusia merasakan kekurangan yang menuntut untuk dipenuhi. Watak
manusia inilah yang menjadi dasar ide pelibatan peserta didik pada proses pembelajaran aktif.
Buku ini diharapkan memberi kekuatan intelektual dalam kemampuan mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran aktif menurut pengertian pendidikan yang baru.

Kontradiksi antara paradigma pengajaran dengan paradigma pembelajaran merupakan


pengalaman saya sepanjang hidup sebagai guru. Beruntunglah saya mengalami pelatihan di PII,
bekerja di LP3ES dan berkegiatan di LSM yang memberikan pengalaman sebagai pemandu
latihan, kontak dengan pikiran Paulo Freire, David McClelland, John Dewey dan lain-lain yang
memperkaya intelektual. Reformati pendidikan bagi saya, merupakan pemenuhan obsesi saya
untuk mengakhiri kontradiksi, menegakkan prinsip pembelajaran siswa aktif. Tetapi visi baru ini
tidak serentak menjadi aksi. Ritual "Guru Mengajar Murid Mendengar tak tergoyahkan dan
masih terus dipraktikan. Hasrat mewujudkan visi menjadi aksi ingin diwujudkan dengan buku
ini.

Buku ini merupakan pengembangan dari buku pertama Belajar dari Pengalaman yang ditulis
bersama-sama Mansour Fakih, Roem Topatimasang, Jimly Asshiddiqie, Russ Dilts (kepada
mereka saya ucapkan terimakasih). Buku ini memuat 35 model pembelajaran, tetapi tidak
dimaksudkan sebagai buku manual tindakan kelas bagi guru, tetapi lebih diharapkan memberi
inspirasi untuk kreatif. Guru bukan sebagai operator, tetapi diharapkan menjadi kreator yang
memotivasi peserta didik di dalam kelas.
Dalam perjalanan lebih lanjut, saya bertemu dengan guru-guru kreatif: Retno Listyarti, S.Pd.,
M.Si. (SMAN 13 Jakarta), Basyarudin M.Pd. dan Agus Rahim, S.Pd. (SMA Plus PGRI
Cibinong), Lendo Novo (Sekolah Alam), Baharudin (Qoriyah Toyibah, Salatiga), Ir. Ridwan
Hasan Saputra, M.Si. (Klinik Pendidikan MIPA), Wismiarti (Al-Falah), J. Jasmine Jasin (SD
Gemala Ananda) dan orang-orang yang melengkapi kekayaan pengalaman saya sekaligus
menunjukkan bahwa perubahan paradigma pengajaran ke paradigma pembelajaran bukan
sesuatu yang mustahil untuk dilaksanakan, tetapi mudah untuk dilakukan.

Sadarakan tanggungjawab mewujudkan pendidikan bermutu,yakin akan kebenaran ideologi


pendidikan yang membebaskan, memahami teori pendidikan dari pengalaman demokrasi dan
penghargaan hak asasi peserta didik menjadi kepercayaan saya untuk mengunduhnya menjadi
buku ini. Pada semua yang saya sebut namanya di atas dan kepada mahasiswa Universitas
Paramadina, mahasiswa Universitas Islam As-Syafiiyah atau siapapun yang pernah bersentuhan
dalam training dimana saya pernah menjadi pemandu, saya sampaikan terima kasih atas
sambutannya yang positif, menjadi pendorong bagi saya, semangat berbeda. Dalam keadaan
sakit, buku ini terwujud berkat dukungan Istri, Anak-anak serta Cucu-cucu tercinta. Juga bantuan
Zaitun, dengan kesabaran dan kesadaran kritis Sarjana Filsafat, menuliskan pikiran saya.
Terimakasih, semoga Allah Swt melimpahkan kemahamurahan-Nya. Amin.

Buku ini dan cinta saya pada dunia pendidikan saya persembah kan.

Pendahuluan

Bab
Fondasi Pendidikan

1. Tinjauan Umum

Perjalanan panjang perkembangan pendidikan di Indonesia sebelum kemerdekaan dapat


ditelusuri sejak zaman kedatangan ajaran agama Hindu dan Budha pada abad ke-6. Di Kerajaan
Sriwijaya terkenal semacam pendidikan tinggi agama Budha yang didatangi oleh peserta dari
daratan Asia Tenggara dan Asia Selatan, juga didatangi para pelaut Cina dan pedagang dari
Gujarat. Di kerajaan Hindu-Budha juga telah berdiri padepokan-padepokan yang dipimpin oleh
Empu.

Kedatangan agama Islam [di Indonesia] menyurutkan pengaruh agama Hindu dan Budha,
melahirkan kesultanan Islam. Pendidikan pun berubah menjadi pesantren yang dipimpin oleh
para ulama Islam yang dilindungi oleh kesultanan. Lembaga pendidikan ini terbuka untuk semua
anggota masyarakat sehingga memperkuat dukungan pada kesultanan dan dengan cepat
menyebarkan agama Islam. Pesantren mengakar dan menyebar membangun sub-kulturnya
sendiri.

Pendidikan modern model Eropa barat-masuk ke Indonesia dibawa pen jajah Belanda. Di
Indonesia timur seperti Ternate, Am bon, Flores, dan Manado, kaum misionaris dan zending
mendirikan se kolah agama. Setelah VOC hengkang, peme rintah Belanda men dirikan sekolah
umum untuk pribumi. Sejak saat itu mulailah dikenal sebuah sistem pendidikan sekolah
rakyat'kelas dua'selama tiga tahun dan sekolah rakyat'kelas satu'selama lima tahun. Sekolah
rakyat kelas dua' diperuntukkan bagi pribumi biasa, dan sekolah rakyat 'kelas satu' untuk anak
kaum bangsawan dan anak orang kaya. Hal tersebut dibuat sebagai wujud dari politik etis
pemerintah jajahan. Tujuannya untuk memperoleh tenaga kerja sederhana untuk kebutuhan
perkebunan atau perusahaan Belanda dan tenagarendahan administrasi pemerintah.
Penyelenggaraan pendidikan ini sekaligus mencerminkan perbedaan hak bagi dua golongan
pribumi yang berbeda atau pendidikan dilaksanakan dengan diskriminatif.
Praktik mahasiswa Stovia (sekolah dokter Jawa).

Selanjutnya untuk memenuhi kebutuhan yang lebih luas dan tinggi, pemerintah membuka
Sekolah Raja untuk memenuhi kebutuhan birokrasi, sekolah teknik, sekolah pengairan, sekolah
pertanian untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja, bahkan sekolah dokter Jawa untuk
melahirkan tenaga medis guna melindungi tenaga Belanda di Indonesia dari penyakit menular
(cacar dan malaria). Pendidikan yang pada umumnya dianggap sebagai kegiatan mulia oleh
pemerintah

Belanda direduksi sebagai alat merendahkan pribumi dan membatasi kesempatan memperoleh
ganjaran.

Di antara pribumi yang beruntung mendapat kesempatan

pendidikan Belanda, sebagian kecil dari mereka menyadari kekeliruan pendidikan tersebut, maka
lahirlah semangat kebangsaan, perjuangan kemerdekaan yang dipimpin oleh para terpelajar yang
mengakui dirinya sebagai bangsawan pikiran. Mendampingi perjuangan politik, sebagian dari
mereka menyelenggarakan pendidikan yang bersemangat nasional yang bertujuan bukan hanya
melayani kebutuhan tenaga kerja untuk perusahaan dan birokrasi pemerintahan, tetapi
menciptakan manusia yang menyadari kemanusiaannya dan semangat kebangsaan.

Selain sekolah-sekolah pemerintah yang membela kepentingan penjajahan dan pesantren yang
mengakar dan tersebar pada masyarakat Islam, lahir sekolah-sekolah swasta seperti
Muhamadiyah, Ma'arif, Taman Siswa, INS (Indonesische Nationaal School), dan lain-lain yang
menyemai semangat perlawanan dan mewujudkan semangat kebangsaan. Walaupun mempunyai
perbedaan tujuan, tetapi karena sistem pendidikan meniru pendidikan modern yang dibawa dari
Eropa, terdapat persamaan-persamaan sistem. Misalnya peran/posisi guru, guru sebagai sumber
belajar utama dan bersifat dominan. Hal lain adalah anggapan terhadap anak, anak dianggap
sebagai penerima kearifan yang telah dipilih guru untuk taat dan menerima saja. Hubungan guru
dan murid sebagai "guru bicara murid mendengar", murid diperlakukan sebagai obyek,
mendengar apa yang dikatakan guru, harus menerima pelajaran yang dipilih oleh guru, dihukum
jika tidak berkenan pada guru. Mata pelajaran baca, tulis, hitung dan ilmu pengetahuan umum
yang menimbulkan kesan bahwa pengetahuan umum telah disampaikan seluas-luasnya dan
segala bidangnya, padahal terbatas pada pengetahuan umum tentang Belanda yang bertujuan

memberikan kesan "kebesaran Belanda". Evaluasi hasil belajar menjadi saringan memperkecil
kesempatan mobilitas sosial kaum pribumi sehingga evaluasi dijadikan sebagai 'ujian.

Dari perkembangannya sejak masa itu, diperoleh gambaran bahwa pen didikan sebagai sarana
sosialisasi telah berlangsung sesuai dengan tuntutan setiap zaman yang berbeda-beda dan sesuai
dengan ideologi, tujuan serta sistem penyampaiannya,"

Pendidikan oleh Pemerintah Belanda menjadi alat memelihara kekuasaan. Di dalam sekolah,
posisi guru dominan, sedangkan posisi anak sebagai obyek, dan fungsi sekolah untuk
menghasilkan tenaga kerja untuk kepentingan penjajahan. Timbul upaya dari masyarakat dengan
semangat untuk memperluas kesempatan pendidikan bagi rakyat menjadi bagian dari perjuangan
kemerdekaan, mengubah posisi guru dan kedudukan anak menjadi bagian dari perjuangan
demokrasi, sedangkan usaha memperluas hasil pendidikan bukan terbatas memenuhi kebutuhan
tenaga kerja tetapi membangun manusia Indonesia yang berbudaya. Semangat untuk memperluas
kesempatan memperoleh pendidikan bagi rakyat menjadi bagian dari perjuangan. kemerdekaan.
Mengubah posisi guru dan kedudukan anak menjadi bagian daripada perjuangan demokrasi.
Semangat memperluas hasil pendidikan bukan sekadar tenaga kerja tetapi manusia Indonesia
yang berbudaya.
Setelah proklamasi kemerdekaan, "mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai visi pendidikan
tercantum dalam pembukaan Undang Undang Dasar 1945. Sedangkan dalam hal memperluas
kesempatan memperoleh pendidikan tertuang dalam pasal 31 UUD 45, "semua warga negara
berhak memperoleh pengajaran: Segala daya upaya meningkatkan kecerdasan dan memperluas
kesempatan belajar mengubah secara prinsipil sistem pendidikan Belanda. Akan tetapi

pengaruh sistem pendidikan Belanda di dalam praktik pengajaran begitu kuat mencengkram
sehingga jejak pengaruh itu masih terbawa sampai sekarang. Ki Hadjar Dewantara
memperkenalkan semboyan Tut Wuri Handayani sebagai kredo pendidikan nasional, ini pun
tidak berpengaruh untuk melakukan perubahan pada praktik kelas. Tut Wuri Handayani hanya
abadi sebagai semboyan dalam logo pendidikan nasional tetapi tidak menjadi semangat dalam
memperlakukan peserta didik.

Pada masa Orde Baru, upaya memperluas kesempatan pendidikan terkenal dengan pembangunan
SD Inpres (Instruksi Presiden). Kualitas guru ditingkatkan dengan proyek penyetaraan Diploma
dan Sarjana. Wajib belajar enam tahun dicanangkan tahun 1984 yang diperluas menjadi wajib
belajar 9 tahun dicanangkan tahun 1994. Pendidikan Kewarganegaraan dan Pendidikan Moral
Pancasila digalakkan. Segala upaya ini hanya berhasil meningkatkan angka partisipasi kasar,
tetapi mutu pendidikan tetap rendah. Menurut Bank Dunia, ranking HDI (Human Development
Indeks) Indonesia menduduki posisi di atas angka 100. Mainstream praktik guru di kelas masih
"guru bicara murid mendengar. Menghapal tetap dianggap lebih penting daripada pemahaman
dan kemampuan memecahkan masalah. Lomba cerdas cermat, cepat-tepat, menjadi gejala
pendidikan yang tidak memekarkan potensi anak didik, sebaliknya malah memasung.

Kapasitas pemerintah dan kompetensi masyarakat yang dapat di mobilisasi untuk membangun
pendidikan tidak seimbang dengan aspirasi meningkatkan mutu pendidikan yang menggebu-
gebu di tengah masyarakat, salah satu akibatnya adalah secara perlahan-lahan masyarakat
terbiasa (dibiasakan) dengan pendidikan "serba asal": asal berjalan, asal ada guru, asal ada
sekolah tanpa disertai komitmen yang kuatterhadapmutu. Demikian disimpulkan oleh Dr. Dedi
Supriyadi dalam Guru Indonesia (2003). Selanjutnya Dedi Supriyadi
Prestasi pembangunan pendidikan yang dicapai pada masa itu secara kuantitatif memang luar
biasa. Akan tetapi tidak berarti era ini tidak meninggalkan masalah Program program pendidikan
terlalu menitikberatkan pada pertum buhan kuantitatif dan mengabaikan aspek kualitatif.

Reformasi tahun 1998 menghidupkan gagasan-gagasan kebebasan di segala aspek, supremasi


hukum dan pemerintahan yang bersih Gagasan reformasi pendidikan dimulai dengan evaluasi
kurikulum 1994 oleh Litbang Departemen Pendidikan yang menghasilkan buku Potret
Kurikulum. Salah satu isi dari kesimpulan itu adalah bahwa kurikulum 1994 mengutamakan
materi (materio sentro) yang dianggap tidak cocok lagi dengan tuntutan reformasi. Hal tersebut
kemudian menjadi dasar mengubah paradigma pendidikan menjadi berbasis kompetensi (basic
competencies). Perubahan diniatkan bukan sekadar memperbaiki atau menyempurnakan, tetapi
mengubah paradigma pendidikan.

Langkah pertama adalah amandemen Undang-Undang Dasar pasal 31 tentang pendidikan.


Perubahan pasal ini memperjelas amanat Undang-Undang Dasar untuk perluasan dan pemerataan
pendidikan, dengan kewajiban rakyat mengikuti pendidikan dasar dan kewajiban pemerintah
untuk membiayainya; memperbaharui Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional untuk
memperbaiki mutu; dan negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20%
dari APBN; serta pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk memajukan peradaban
dan kesejahteraan bangsa.

Langkah kedua, menyusun Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003
menggantikan Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 yang dianggap tidak memadai lagi. Penerapan
semua ketentuan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan ini diharapkan menjadi pedoman
untuk menyusun kebijakan pemecahan masalah pendidikan. Undang-undang ini memberikan
dasar hukum untu membangun pendidikan nasional dengan menerapkan prinsip de

mokrasi, desentralisasi, otonomi, keadilan dan menjunjung tinggi hak


asasi manusia. Menurut Penjelasan Peraturan Pemerintah No. 19/2005 tentang Standar
Pendidikan Nasional, reformasi pendidikan meliputi:

a. Reformasi penyelenggaraan pendidikan, berubah dari paradigma

pengajaran menjadi paradigma pembelajaran.

b. Reformasi pandangan tentang peran manusia dari paradigma manusia sebagai sumber daya
pembangunan menjadi paradigma manusia sebagai subyek pembangunan secara utuh.

c. Reformasi pandangan terhadap peserta didik yang terintegrasi dengan lingkungan sosialnya
dan menumbuhkan individu sebagai anggota masyarakat mandiri dan berbudaya.

d. Perubahan acuan dasar penyelenggaraan dan satuan pendidikan.

Prinsip-prinsip penyelenggaraan pendidikan meliputi: pengertian pendidikan fungsi dan tujuan


pendidikan; prinsip penyelenggaraan pendidikan dan hak anak telah diatur dalam Undang-
Undang Sistem Pendidikan. Standar proses pembelajaran sebagai acuan praktik pada satuan
pendidikan diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 19/2005 pasal 19 sebagai berikut: "Satuan
pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang,
memotivasai peserta didik untuk berpartisipasi aktif serta memberikan ruang yang cukup bagi
prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai bakat, minat dan perkembangan fisik dan
psikologis peserta didik".
Keberadaan peraturan pendidikan tersebut di atas tidak serta merta mengubah perilaku guru
dalam praktik di kelas. Upaya pemerintah merumuskan standar pendidikan yang paling terasa
oleh peserta didik dan masyarakat adalah UJIAN NASIONAL yang ternyata secara eksplisit
tidak ada dalam Peraturan Pemerintah No. 19/2005 dan

penyelenggaraannya melanggar hak asasi manusia menurut putusan Mahkamah Agung. Upaya
meningkatkan mutu pendidikan dan kesejahteraan guru yang berpedoman pada Undang-Undang
Gury dan Dosen menyimpang menjadi sertifikasi guru tanpa pendidikan kompetensi.

Standardisasi pendidikan dalam Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 memuat 8 standar
Pendidikan Nasional yang menuai kritik dari ahli pendidikan. Pendidikan yang distandardisasi
menuntut pendidikan mengarahkan potensi anak sejalan dengan tujuan pihak yang mendirikan
sekolah. Standardisasi menuntut keseragaman yang ditentukan oleh sekolah. Padahal Undang-
Undang Sistem Pendidikan Nasional mengembangkan potensi peserta didik sesuai minat dan
bakat serta perkembangan psikis peserta didik.

Undang-Undang Sistem Pendidikan (UU Sisdiknas) No. 20 Tahun 2003 mengusung perubahan
yang sifatnya prinsipil. Ini artinya perubahan tersebut didasarkan pada Ideologi pendidikan yang
mengutamakan peserta didik sebagai manusia bebas yang berpotensi menjadi manusia
berkemampuan dan berwatak menciptakan tatanan sosialnya sendiri.

Marilah kita telusuri berbagai ideologi pendidikan berdasarkan buku Ideologi-Ideologi


Pendidikan karya William F. O'Neil (2001).

Media pembelajaran aktif

Prof.Dr.H.A.R. Tilaar, M.Sc.Ed


1. Tinjauan Umum

Perjalanan panjang perkembangan pendidikan di Indonesia sebelum kemerdekaan dapat


ditelusuri sejak zaman kedatangan ajaran agama Hindu dan Budha pada abad ke-6. Di Kerajaan
Sriwijaya terkenal semacam pendidikan tinggi agama Budha yang didatangi oleh peserta dari
daratan Asia Tenggara dan Asia Selatan, juga didatangi para pelaut Cina dan pedagang dari
Gujarat. Di kerajaan Hindu-Budha juga telah berdiri padepokan-padepokan yang dipimpin oleh
Empu.

Kedatangan agama Islam [di Indonesia] menyurutkan pengaruh agama Hindu dan Budha,
melahirkan kesultanan Islam. Pendidikan pun berubah menjadi pesantren yang dipimpin oleh
para ulama Islam yang dilindungi oleh kesultanan. Lembaga pendidikan ini terbuka untuk semua
anggota masyarakat sehingga memperkuat dukungan pada kesultanan dan dengan cepat
menyebarkan agama Islam. Pesantren mengakar dan menyebar membangun sub-kulturnya
sendiri.

Buku Media pembelajaran interaktif.

C. Teknik Analisis Kualitatif

Terhadap data kualitatif, sebagaimana diuraikan di muka pengolahan data dilakukan dengan
teknik analisis kualitatif; yakni dengan menggunakan proses berpikir induktif, untuk menguji
hipotesis yang dirumuskan sebagai jawaban sementara terhadap masalah yang diteliti. Induksi
dalam hal ini dibuat bertolak dari berbagai data yang terhimpun, dengan selalu memperhatikan
berbagai fakta yang teridentifikasi munculnya maupun yang tidak. Sebab semua itu sangat
penting dalam membuat kesimpulan yang sah (valid).
D. Teknik Analisis Kuantitatif

Teknik analisis kuantitatif disebut juga dengan "Teknik Statistik", dan digunakan untuk
mengolah data yang berbentuk angka, baik hasil pengukuran hasil mengubah data kualitatif.
Teknik ini sangat banyak digunakan dalam berbagai kegiatan

penelitian, oleh sebab dianggap lebih mudah namun dapat meng

hasilkan kesimpulan yang lebih tepat dibandingkan dengan analisis

kualitatif.

1. Pengujian Hipotesis

Penelitian yang berhubungan dengan data kuantitatif menggunakan rumusan hipotesis nol atau
hipotesis statistik. Dalam metode statistika cara pengujian hipotesis dilakukan menggunakan
berbagai teknik dengan berbagai macam rumus, sesuai dengan masalah dan metode yang
digunakan. Menerima dan menolak hipotesis sebagai hasil dari pengujian berdasarkan data dapat
menghasilkan kesimpulan penelitian. Dalam membuat kesimpulan melalui pengujian hipotesis
terdapat kemungkinan terjadi kesalahan, baik dalam menerima hipotesis yang seharusnya ditolak
ataupun dalam menolak hipotesis

yang seharusnya diterima. Secara garis besar bentuk kesalahan dalam membuat kesimpulan
melalui pengujian hipotesis ada dua macam, yaitu:
1. Kesalahan bentuk pertama, yaitu kesalahan dalam menolak hipotesis yang seharusnya
diterima.

2. Kesalahan bentuk kedua, yaitu kesalahan dalam menerima hipotesis yang seharusnya ditolak.

Untuk mengendalikan atau memperkecil kesalahan yang diperbuat, yakni dalam menolak
hipotesis yang seharusnya diteri ma, digunakan tes alpha (a) taraf signifikansi yang merupakan
probabilitas membuat kesalahan dalam menarik kesimpulan. Taraf signifikansi yang sering
digunakan adalah α = 0.05 dan α = 0.01.

1. Jika diharapkan probabilitas membuat kesalahan atau meno lak hipotesis yang seharusnya
diterima sebanyak 5%, maka digunakan taraf signifikansi 0.05. Dalam hal ini kita bahwa
kesimpulan yang dibuat adalah benar. percaya 95%

2. Jika diharapkan probabilitas membuat kesalahan dalam menarik kesimpulan adalah 1%,
digunakanlah taraf signifikansi 0.01. Berarti kita percaya 99% kesimpulan yang dibuat adalah
benar. *).

2. Teknik yang digunakan

Dalam metode statistika teknik menganalisis data mempunyai rumus tertentu. Operasi
penggunaan rumus-rumus itu dapat dibaca contohnya sebagian pada lampiran. Dalam penelitian
kependidikan teknik pengolahan data statistik yang dapat digunakan adalah:
1. Rumus-rumus dalam statistik deskriptif, baik ukuran tendensi sentral, ukuran penyimpangan,
angka baku, tabel persentase analisis korelasi.

2. Rumus-rumus dalam statistik inferensial atau induktif, seperti tes dua buah rata-rata atau lebih,
analisis varians dan varians faktorial, analisis chi kuadrat, analisis signifikansi korelasi dan
regresi, standard eror estimasi, dan analisis rangkaian waktu.

Dalam mengaplikasikan rumus-rumus tersebut, setiap peneliti harus benar-benar memahami,


bukan hanya operasi rumus statis tik, tetapi juga perlu memahami tentang guna setiap rumus
untuk mengolah data dalam kegiatan penelitian, sehingga setiap rumus yang digunakan benar-
benar relevan dengan metode penelitiannya.

Penelitian pendidikan

Prosedur dan strategi

Penerbit angkasa Bandung

2013

Mohamad Ali

SAMBUTAN

DIREKTUR PENDIDIKAN TINGGI ISLAM DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN


ISLAM KEMENTERIAN AGAMA RI

Urgensi Media untuk Sukses Proses Pembelajaran Reformasi pendidikan yang diawali dengan
kebijakan
otonomisasi pada satuan pendidikan, dan berujung pada perluasan kewenangan guru dalam
mengembangkan pembelajaran yang digerakkan sejak akhir abad ke-20 telah berpenetrasi pada
semua aspek pendidikan, bahkan PP No. 19 tahun 2005, tentang Standar Nasional Pendidikan
(SNP), mengamanahkan untuk dilakukan standarisasi delapan aspek pendidikan, yakni isi
kurikulum, rumusan kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, proses
pembelajaran, sarana dan prasarana pendidikan, pembiayaan, penilaian dan pengelolaan.

Reformasi komprehensif dan holistic tersebut telah membawa perubahan paradigmatic dalam
semua aspek, termasuk dalam proses pembelajaran, yang semula pedagogi Indonesia sangat
kokoh dengan paradigm transformative learning berbasis teori behaviorism, kini secara radikal
beralih pada active learning berbasis teori constructivism yang ditawarkan oleh Jeng Piaget dan
Vigotsky. Teori ini menawarkan proses pedagogi yang lebih mengandalkan pada perluasan dan
pengayaan sumber belajar untuk memfasilitasi

kegiatan belajar siswa, karena dalam teori constructivism, g harus memberi kesempatan pada
para siswa untuk melakukan guru eksplorasi, elaborasi, baru terakhir melakukan konfirmasi pada
guru sebagai senior learner yang telah lebih berpengalaman dalam melakukan eksplorasi
terhadap bahan-bahan yang mereka pelajari.

Konsep belajar sejak era reformasi pendidikan ini lebih didominasi oleh siswa. Mereka yang
lebih banyak melakukan proses interaksi dalam kelas, baik dengan bahan ajar maupun dengan
sejawat mereka. Mereka melakukan pencarian informasi keilmuan dari berbagai literatur,
membahas temuan-temuannya, melatih kemahiran mengoperasikan ilmunya, melakukan analisis,
sintesis dan penyimpulan akhir. Guru mendampingi mereka belajar, membimbing para siswa
melakukan latihan mengoperasikan teori-teorinya dalam kelas, membimbing para siswa
melakukan peer review sesama sejawatnya, dan bahkan membimbing mereka melakukan uji
coba di laboratorium. Demikianlah konsep belajar di era reformasi sampai sekarang ini. Kelas
benar-benar milik siswa untuk mereka mengembangkan aktivitas belajar melalui interaksi
dengan sumber belajar, alat-alat dan sarana pembelajaran serta dengan sejawat mereka.

Belajar aktif tidak akan berjalan dengan baik tanpa pengayaan sumber-sumber belajar, yakni
meliputi pesan, orang, bahan, alat, teknik dan lingkungan yang dapat memengaruhi proses dan
hasil belajar siswa. Dengan demikian, belajar aktif memerlukan dukungan sarana di luar manusia
yang dapat membantu proses aktivitas belajar siswa. Di antara sarana tersebut adalah bahan
bahan yang harus disiapkan dan disediakan oleh guru dalam bentuk bahan cetakan atau bahan
digital yang disediakan dalam komputer. Dengan demikian, belajar aktif yang kini
dikembangkan dalam paradigma constructivism memerlukan dukungan sumber belajar yang
lebih lengkap, tidak saja buku-buku teks yang mereka baca, tapi juga berbagai bahan yang
disediakan oleh guru

Sebagai sumber belajar mereka. Dengan kata lain, bahwa belajar aktif memerlukan dukungan
media yang dapat menghantarkan percepatan siswa terhadap bahan ajar yang mereka pelajari.

Kemudian, proses belajar aktif sebagaimana diatur dalam peraturan Menteri Pendidikan Nasional
(sekarang Pendidikan dan Kebudayaan), dikembangkan dalam tiga proses yang eskalatif, yakni
eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi. Proses eksplorasi adalah proses penjelajahan siswa
terhadap informasi yang terdapat pada buku teks, serta bahan-bahan yang disediakan guru baik
cetak maupun digital, serta bahan-bahan lain yang bisa diakses dari perpustakaan kelas atau
perpustakaan virtual yang tersedia dalam informasi di dunia maya. Kemudian, informasi
informasi tersebut diolah oleh siswa secara lebih analitis, diurai dan disintesiskan kembali,
sehingga mereka mampu mengambil inti dari informasi yang mereka baca sebagai pengetahuan
baru yang akan memengaruhi perubahan perilaku mereka. Akan tetapi, mereka tidak boleh
dibiarkan menyimpulkan sendiri pengetahuannya. Para siswa harus ditemani oleh guru dalam
menyusun kesimpulan akhir, baik dengan cara membenarkan kesimpulan siswa tersebut maupun
mengkritik kesimpulan siswa tersebut dan merumuskan kesimpulan yang sebaiknya dianut
bersama antara siswa dan guru.
Dengan demikian, dalam proses belajar aktif, guru memiliki kewajiban untuk menyampaikan
pengetahuan, pengalaman dan pandangannya terhadap bahan yang mereka pelajari. Waktu untuk
menyampaikan pesan tersebut sangat terbatas, karena sebagian besar waktu belajar telah
digunakan oleh para siswa untuk melakukan eksplorasi dan elaborasi. Oleh sebab itu, para guru
diharapkan mampu menyajikan bahan-bahan yang akan disampaikannya itu secara efisien, dalam
waktu yang pendek tapi banyak informasi tersajikan. Kemudian, sajian guru mutlak di akhir sesi
pembelajaran, karena memberikan justifikasi terhadap

hasil belajar siswa. Posisi waktu tersebut akan menyebabkan kesiapan psikologis dan energi,
siswa untuk menyerap informasi dari guru yaitu sudah tersedot oleh proses eksplorasi dan
elabora yang memerlukan proses dinamis dengan belajar mandiri, diskusi, peer review, latihan,
dan lain-lain. Berdasarkan pertimbangan. pertimbangan tersebut, maka proses penyampaian
bahan ajar dari guru di akhir sesi pembelajaran tersebut, mutlak memerlukan bantuan media,
agar lebih efektif menyampaikan bahan dan informasi pengetahuan, serta memiliki daya tarik
bagi para siswa untuk memperhatikannya.

Media pembelajaran itu sangat banyak ragamnya, dari media yang berbentuk audio, media
visual, dan media audio visual, dan lainnya yang semuanya itu telah dijelaskan sangat detail
dalam buku Media Pembelajaran karya Prof. Dr. Azhar Arsyad, MA... Buku tersebut, merupakan
salah satu buku daras yang terus dikembangkan oleh penulisnya dan sangat populer di kalangan
mahasiswa yang mempelajari ilmu pendidikan, sehingga kini akan memasuki cetakan ke-12,
sejak diterbitkan pertama kali pada tahun 1996. Kami dari Direktorat Pendidikan Tinggi Islam,
menghaturkan banyak terima kasih dan ucapan selamat pada penulis atas dedikasi dan karyanya
yang akan menambah kekuatan ilmu pendidikan di Indonesia, dan akan memperkuat proses
pembinaan profesionalisme guru di kalangan pendidikan tinggi Islam.

Media pembelajaran 2019

8. Fungsi Media
Media sebagai suatu komponen sistem pembelajaran, mempunyai fungsi dan peran yang sangat
vital bagi kelangsunga pembelajaran. Itu berarti bahwa media memiliki posisi yang strategis
sebagai bagian integral dari pembelajaran. Integral dalam konteks ini mengandung pengertian
bahwa media itu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembelajaran. Tanpa adanya
media, maka pembelajaran tidak akan pernah terjadi.

Sebagai komponen sistem pembelajaran, media memiliki fungsi yang berbeda dengan fungsi
komponen-komponen lainnya, yaitu sebagai komponen yang dimuati pesan pembelajaran untuk
disampaikan kepada pebelajar. Pada proses penyampaian pesan ini sering kali terjadi gangguan
yang mengakibatkan pesan pembelajaran tidak diterima oleh pebelajar seperti apa yang
dimaksudkan oleh penyampai pesan. Gangguan-gangguan komunikasi antara penyampai pesan
dengan pebelajar ini kemungkinan besar disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: verbalisme, salah
tafsir, perhatian ganda, pembentukan persepsi tak bermakna, dan kondisi lingkungan yang tak
menunjang.

Kunci pemecahan masalah-masalah yang berkaitan dengan gangguan proses penyampaian pesan
pembelajaran ini terletak pada media yang dipakai dalam proses itu. Menurut Degeng (2001)
secara garis besar fungsi media adalah: (1) menghindari terjadinya verbalisme, (2)
membangkitkan minat/motivasi, (3) menarik perhatian mahapeserta didik, (4) mengatasi
keterbatasan: ruang, waktu, dan ukuran, (5) mengaktifkan mahapeserta didik dalam kegiatan
belajar, dan (6) mengefektifkan pemberian rangsangan untuk belajar.

Media yang dirancang dengan baik dalam batas-batas tertentu dapat merangsang timbulnya
semacam "dialog internal" dalam diri peserta didik. Dengan perkataan lain terjadi komunikasi
antara peserta peserta didik dengan media atau secara tidak langsung antara didik dengan sumber
pesan atau guru (Miarso, 1986).

Ibrahim, dkk (2004) menjelaskan fungsi media pembelajaran atinjau dari dua hal, yaitu: proses
pembelajaran sebagai proses komunikasi dan kegiatan interaksi antara peserta didik dan
lingkungannya. Ditinjau dari proses pembelajaran sebagai proses komunikasi, maka fungsi
media adalah sebagai pembawa informasi dari sumber (guru) ke penerima (peserta didik).
Ditinjau dari proses pembelajaran sebagai kegiatan interaksi antara peserta didik dan
lingkungannya, maka fungsi dapat diketahui berdasarkan adanya kelebihan media dan hambatan
komunikasi yang mungkin timbul dalam proses pembelajaran.

1. Tiga Kelebihan Kemampuan Media menurut Gerlach dan Ely (dalam Ibrahim, dkk., 2004):

a. Kemampuan fiksatif, artinya memiliki kemampuan untuk menangkap, menyimpan dan


kemudian menampilkan kembali suatu objek atau kejadian. Dengan kemampuan ini suatu objek
atau kejadian dapat digambar, dipotret, direkam, difilmkan, kemudian dapat disimpan dan pada
saat diperlukan dapat ditunjukkan dan diamati kembali seperti keadaan aslinya.

Kemampuan manipulatif, artinya media dapat menampilkan kembali objek atau kejadian dengan
berbagai macam perubahan (manipulasi) sesuai keperluan, misalnya diubah: ukurannya,
kecepatannya, warnanya, serta dapat juga diulang-ulang penyajiannya.

Bab 5| Metode Pembelajaran dan Pemajangan 129

c. Kemampuan distributif, artinya media mampu men jangkau audien yang besar jumlahnya
dalam satu kali penyajian secara serempak. Misalnya siaran televisi atau radio. 2. Hambatan
Komunikasi dalam Proses Pembelajaran:

a. Verbalisme, artinya peserta didik dapat menyebutkan kata, tetapi tidak mengetahul artinya.
Hal ini terjadi karena biasanya guru mengajar hanya dengan cara memberi penjelasan secara
lisan (ceramah), peserta didik cenderung hanya menirukan apa yang dikatakan guru.
b. Salah tafsir, artinya dengan istilah atau kata yang sama diartikan berbeda oleh peserta didik.
Hal ini terjadi karena biasanya guru hanya menjelaskan secara lisan dengan tanpa menggunakan
media pembelajaran yang lain misalnya gambar, bagan, model, dan sebagainya.

c. Perhatian tidak terpusat, hal ini dapat terjadi karena beberapa hal antara lain: karena gangguan
fisik (peserta didik sakit), ada hal lain yang lebih menarik perhatian peserta didik daripada
pelajaran, peserta didik melamun, cara mengajar guru membosankan, cara menyajikan bahan
pelajaran tanpa variasi (monoton), kurang adanya pengawasan dan bimbingan guru.

d. Tidak terjadi pembentukan tanggapan atau pemahaman yang utuh dan berarti, kurang
memiliki kebermaknaan logis dan psikologis. Apa yang diamati atau dilihat, dialami secara
terpisah. Tidak terjadi proses berpikir yang logis mulai dari kesadaran hingga timbulnya konsep.

Berdasarkan kelebihan atau keistimewaan yang dimiliki serta terjadinya hambatan komunikasi
dalam proses pembelajaran,

maka dapat disimpulkan media juga berfungsi untuk menghindari hambatan proses pembelajaran
antara lain: menghindari terjadinya verbalisme, membangkitkan minat atau motivasi, menarik
perhatian peserta didik, mengatasi keterbatasan ruang, waktu dan ukuran, mengaktifkan peserta
didik, mengefektifkan pemberian rangsangan untuk belajar.

Selanjutnya Malapu (1998) mengemukakan bahwa penggunaan media dalam pembelajaran


memiliki keunggulan karena dapat memberi rangsangan kepada pebelajar untuk mempelajari
hal-hal baru dan mengaktifkan respons belajar karena dapat memberikan balikan hasil belajar
dengan segera.
Sadiman, dkk. (2002) mengemukakan kegunaan media pendidikan sebagai berikut: a)
memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbalistis, b) mengatasi keterbatasan
ruang. waktu, dan daya indra, seperti: objek yang terlalu besar, objek yang kecil, gerak yang
terlalu lambat atau terlalu cepat, kejadian di masa lampau, objek yang terlalu kompleks, dan
konsep yang terlalu luas, c) mengatasi sikap pasif peserta didik, dalam hal ini menimbulkan
gairah belajar, interaksi yang lebih langsung antara anak didik dengan lingkungan dan kenyataan,
kemungkinan anak didik belajar sendiri-sendiri, d) memberikan perangsang yang sama,
mempersamakan pengalaman, dan menimbulkan persepsi yang sama.

Miarso (1986) mengemukakan bahwa media memiliki kemampuan atau keterampilan untuk: a)
membuat konkret konsep yang abstrak, b) membawa objek yang berbahaya atau sukar didapat ke
dalam lingkungan belajar, c) menampilkan objek yang terlalu besar, d) menampilkan objek yang
tidak dapat diamati dengan mata telanjang, e) mengamati gerakan yang terlalu cepat, f)
memungkinkan peserta didik berinteraksi langsung dengan lingkungan, g) memungkinkan
keseragaman pengamatan dan

persepsi bagi pengalaman belajar peserta didik, h) membangkitk motivasi belajar, i) memberi
kesan perhatian individual untuk seluruh anggota kelompok belajar, j) menyajikan informa
belajar secara konsisten dan dapat diulang maupun disimpan menurut kebutuhan, k) menyajikan
pesan atau informasi belajar secara serempak, mengatasi batasan waktu maupun ruang, dan!)
mengontrol arah maupun kecepatan belajar peserta didik.

Rowntree (dalam Rohani, 1997) berpendapat bahwa fungsi media pembelajaran adalah: 1)
membangkitkan motivasi belaja 2) mengulang apa yang telah dipelajari, 3) menyediakan
stimulus belajar, 4) mengaktifkan respons pebelajar, 5) memberikan balikan dengan segera, dan
6) menggalakkan latihan yang serasi.

Sedangkan McKnown (dalam Rohani, 1997) mengemukakan empat fungsi media pembelajaran,
yaitu: 1) mengubah titik berat pendidikan formal, yaitu dari pendidikan yang menekankan pada
instruksional akademis menjadi pendidikan yang mementingkan kebutuhan kehidupan pebelajar,
2) membangkitkan motivasi belajar, 3) memberikan kejelasan, dan 4) memberikan rangsangan.

Miarso (2004) mengemukakan dua belas kegunaan media, yakni: 1) memberikan rangsangan
yang bervariasi kepada otak, sehingga otak dapat berfungsi secara optimal, 2) mengatasi
keterbatasan pengalaman yang dimiliki oleh pebelajar, 3) dapat melampaui batas ruang kelas, 4)
memungkinkan adanya interaksi langsung antara pebelajar dan lingkungannya, 5) menghasilkan
keseragaman pengamatan, 6) membangkitkan keinginan dan minat baru, 7) membangkitkan
motivasi dan merangsang untuk belajar, 8) memberikan pengalaman yang integral/menyeluruh
dari sesuatu yang konkret maupun abstrak, 9) memberikan kesempatan kepada pebelajar untuk
belajar mandiri, 10) meningkatkan kemampuan keterbacaan baru (new literacy), yaitu
kemampuan untuk menafsirkan objek, tindakan, dan lambang

yang tampak, baik yang alami maupun buatan manusia, yang terdapat dalam lingkungan, 11)
mampu meningkatkan efek sosialisasi, yaitu dengan meningkatkan kesadaran akan dunia sekitar,
dan 12) dapat meningkatkan kemampuan ekspresi diri pembelajar maupun pebelajar.

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa media pembelajaran memiliki fungsi yang sangat
penting yaitu sebagai pembawa informasi dan pencegah terjadinya hambatan proses
pembelajaran, sehingga informasi atau pesan dari komunikator dapat sampai kepada komunikan
secara efektif dan efisien.

C. Peranan Media Pembelajaran dalam Konteks Belajar

Proses pembelajaran pada hakikatnya adalah proses komunikasi, yaitu proses penyampaian
pesan dari sumber pesan ke penerima pesan. Pesan tersebut berupa isi atau materi ajar yang ada
dalam kurikulum yang dituangkan oleh guru atau sumber lain ke dalam simbol-simbol
komunikasi. Simbol-simbol komunikasi berupa simbol-simbol verbal (kata-kata lisan ataupun
tertulis) dan/atau simbol-simbol non-verbal atau visual.

Proses penuangan pesan ke dalam simbol-simbol komunikasi itu dinamakan encoding.


Selanjutnya penerima pesan menafsirkan simbol-simbol komunikasi tersebut, sehingga penerima
pesan memperoleh pesan. Proses penafsiran simbol-simbol komunikasi yang mengandung pesan-
pesan tersebut dinamakan decoding.

Ada kalanya penafsiran yang dilakukan oleh penerima pesan berhasil, ada kalanya sebaliknya.
Penafsiran yang gagal atau karang berhasil berarti kegagalan atau kekurangberhasilan dalam
nemahami apa-apa yang didengar, dilihat, dan dibacanya.

Media proyektor

MEDIA OHP DAN OHT. OHT adalah media visual yang diproyeksikan melaluialat proyeksi
yang disebut OHP. Kelebihan: 1) Dapat digunakan pada smua ukuran ruangan kelas 2) Menarik
jika diberi warna 3) Menjaga tatap muka dengan siswa 4) Tak perlu operator khusus
Kekurangan: 1) Perencanaan pembuatan dan penyajian harus matang 2) OHT dan OHP adakah
bagian yang tak terpisahkan 3) Urutan OHT mudah kacau karena merupakan urutan lepas b.
MEDIA OPAQUE PROJEKTOR adalah media yang digunakan untuk memproyeksikan benda
yang tak tembus pandang seperti buku, bola, dll. Kelebihan dan kekurangan media ini hampir
mirip OHT dan OHP. c. MEDIA SLIDE adalah media visual yang diproyeksikan dengan alat
yang disebut proyektor slide. Kelebihan: 1) Membantu menimbulkan ingatan yang kuat pada
pesan yang disampaikan 2) Merangsang minat dan perhatian siswa 3) Mudah direvisi 4)
Penyimpanannya mudah Kekurangan: 1) Perlu penggelapan ruangan untuk memproyeksikannya 2)
Pembuatannya memerlukan waktu cukup lama 3) Perlu biaya yang besar 4) Hanya menyajikan gambar
diam.

Anda mungkin juga menyukai