Anda di halaman 1dari 35

REFERAT

Dehisensi Luka

Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik


di Departemen Ilmu Bedah
RST Dr.Soedjono Magelang

Diajukan Kepada :

Pembimbing : dr. Ahmad Rusli, Sp. B

Disusun Oleh :

Verosa Siregar 1620221186

Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Bedah

FAKULTAS KEDOKTERAN UPN ”VETERAN” JAKARTA

RST DR.SOEDJONO MAGELANG

2018
LEMBAR PENGESAHAN KOORDINATOR KEPANITERAAN

KLINIK DEPARTEMEN ILMU BEDAH

Referat dengan judul :

DEHISENSI LUKA

Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik


di Departemen Ilmu Bedah
RST Dr.Soedjono Magelang

Disusun Oleh:

Verosa Siregar 1620221186

Telah disetujui oleh Pembimbing:

Nama pembimbing Tanda Tangan Tanggal

dr. Ahmad Rusli, Sp.B ....................... .............................

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya
sehingga Penulis dapat menyelesaikan penulisan referat yang berjudul Dehisensi
Luka. Penulisan referat ini merupakan salah satu syarat untuk mengikuti ujian
Kepaniteraan Klinik di Bagian IlmuBedah RST Dr. Soedjono Magelang. Penulis
berharap referat ini dapat bermanfaat untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan
pendidikan kedokteran.
Penyusunan referat ini tidak lepas dari dukungan dan bantuan berbagai
pihak. Penulis menyampaikan terima kasih dan rasa hormat kepada:
1. dr. Ahmad Rusli, Sp. B selaku Pembimbing yang telah memberikan
bimbingan dan arahan dalam penyusunan referat ini.
2. Teman-teman FK UPN dan FK Unisula serta semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan referat ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan referat ini masih memiliki
kekurangan. Oleh karena itu, Penulis mengharapkan kritik dan masukan yang
dapat menjadi perbaikan.

Magelang, Januari 2018

Penulis

3
DAFTAR ISI

I. Pendahuluan……………………………………………………………………..1
A. Latar Belakang……………………………………………………………. 1
B. Tujuan…………………………………………………………………….. 2
C. Manfaat…………………………………………………………………… 2
II. Tinjauan Pustaka………………………………………………………………. 3
A. Anatomi dan Fisiologi Kulit……………………………………………… 3
1. Anatomi Kulit………………………………………………………… 3
2. Fisiologi Kulit………………………………………………………… 7
B. Luka dan Penyembuhan Luka……………………………………………. 5
1. Luka…………………………………………………………………... 9
2. Penyembuhan Luka…………………………………………………..12
C. Laparatomi………………………………………………………………. 22
D. Wound Dehisensi ………………………………………………….......... 24
1. Definisi……………………………………………………………….24
2. Klasifikasi…………………………………………………………… 24
3. Manifestasi Klinis…………………………………………………… 25
4. Etiologi ………………………………………………………………25
5. Faktor Resiko…………………………………………....................... 26
6. Penatalaksanaan……………………………………………………... 27
III. Metode Penelitian…………………………………………………………… 31
IV. Hasil dan Pembahasan………………………………………………………. 33
V. Kesimpulan………………………………………………………………….. 38
Daftar Pustaka………………………………………………………………… 39

4
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Anatomi kulit………………………………………………………… 3


Gambar 2. Lapisan Epidermis …………………………………………………… 5
Gambar 3. Lapisan Dermis ………………………………………………………. 6
Gambar 4. Fase Inflamasi……………………………………………………….. 13
Gambar 5. Fase Proliferasi……………………………………………………….15
Gambar 6. Fase Remodelling…………………………………………………….17
Gambar 7. Penyembuhan Luka ………………………………………………….17
Gambar 8. Jenis Penyembuhan Luka…………………………………………… 18

5
DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Karakteristik responden berdasarkan usia……………………………. 33


Tabel 4.2 Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin………………….. 33
Tabel 4.3 Karakteristik responden berdasarkan kelas perawatan……………….. 34
Tabel 4.4 Karakteristik responden berdasarkan jenis operasi laparotomi………. 34
Tabel 4.5 Penatalaksanaan Dehisensi …………………………………………... 35

6
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dehisensi luka merupakan rusaknya sebagian atau keseluruhan luka dan
dapat berhubungan atau tidak berhubungan dengan infeksi luka. Faktor yang
dapat memperburuk seperti malnutrisi, anemia, penyakit keganasan yang
terjadi bersamaan, serta ikterik (Morison, 2003).
Dehisensi luka sering terjadi setelah bedah abdomen, khususnya pada
pasien lansia dengan obesitas yang menderita infeksi dada pasca operatif.
Dehisensi terjadi bila jahitan tidak mampu menahan penyatuan tepi tepi luka,
biasanya pada saat meningkatnya tekanan intraabdominal yang dalam hal ini
disebabkan oleh batuk atau muntah (Morison, 2003).
Insidens dehisensi luka abdomen satu tiap 500 operasi abdomen. Paling
sering timbul setelah luka abdomen bagian atas. Makin lama jarak antara
dehisensi dan operasi, makin besar kemungkinan terjadinya penyembuhan
yang buruk. Ketegangan abdomen, batuk menahun, kegemukan dan usia tua
menjadi predisposisi dehisensi luka. Infeksi luka dapat ditemukan pada
banyak pasien, faktor teknis juga mempredisposisi dehisensi luka seperti
jahitan yang terlalu kuat, terlalu dekat dengan tepi fascia dan bahan jahitan
yang buruk merupakan faktor penting pada kesalahan teknis. Kecepatan
penyerapan ‘catgut’ bervariasi dan benang mungkin sudah terabsorbsi
sebelum luka cukup kuat (Sabiston, 1995).
Terjadinya dehisensi luka berkaitan dengan berbagai kondisi seperti
anemia, hipoalbumin, malnutrisi, keganasan, obesitas dan diabetes, usia lanjut,
prosedur pembedahan spesifik seperti pembedahan pada kolon atau laparotomi
emergency (Afzal et al, 2008; Anonim, 2008).
Penanganan dehisensi luka secara umum dibedakan menjadi
penanganan operatif dan penanganan non operatif. Penanganan operatif
dilakukan pada sebagian besar penderita luka operasi terbuka. Sedangkan
penanganan non operatif dilakukan diberikan kepada penderita yang sangat
tidak stabil dan tidak mengalami eviserasi (Singh, 2009; Spiolitis et al, 2009).

7
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka penulis bermaksud untuk
menyusun referat dengan judul ‘Dehisensi Luka’.

B. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui materi mengenai dehisensi luka
2. Mengetahui penanganan dehisensi luka

C. Manfaat Penulisan
Manfaat yang diharapkan bisa diambil dari diadakannya penyusunan
referat ini yaitu:
1. Sebagai sarana pembelajaran bagi penulis dan pembaca khususnya
mengenai dehisensi luka
2. Sebagai sarana evaluasi mengenai penanganan pasca operasi di RST Dr.
Soedjono, Magelang.

8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi Kulit


1. Anatomi Kulit
Kulit merupakan organ tubuh paling besar yang melapisi seluruh
bagian tubuh, membungkus daging dan organ-organ yang ada di dalamnya.
Seluruh kulit beratnya sekitar 16 % berat tubuh. Pada orang dewasa sekitar
2,7 – 3,6 kg dan luasnya sekitar 1,5 – 1,9 meter persegi. Tebalnya kulit
bervariasi mulai 0,5 mm sampai 6 mm tergantung dari letak, umur dan jenis
kelamin. Kulit tipis terletak pada kelopak mata, penis, labium minus dan
kulit bagian medial lengan atas. Sedangkan kulit tebal terdapat pada telapak
tangan, telapak kaki, punggung, bahu (Branon, 2007).

Gambar 1. Anatomi Kulit (Branon, 2007)

9
a. Lapisan Kulit
Kulit terdiri dari tiga lapis yaitu epidermis sebagai lapisan yang
paling luar, dermis dan hypodermis atau subkutis yang merupakan
jaringan penyambung di bawah kulit(Branon, 2007).
1) Epidermis
Epidermis adalah lapisan luar kulit yang tipis dan avaskuler.
Terdiri dari epitel berlapis gepeng bertanduk, mengandung sel
melanosit,langerhans dan merkel. Tebal epidermis berbeda-beda
pada berbagai tempat di tubuh, paling tebal pada telapak tangan dan
kaki. Ketebalan epidermis hanya sekitar 5 % dari seluruh ketebalan
kulit. Pada epidermis terjadi regenerasi setiap 4-6 minggu(Branon,
2007; Amirlak, 2008).
Fungsi epidermis antara lain proteksi barier, organisasi sel,
sintesis vitamin D dan sitokin, pembelahan dan mobilisasi sel,
pigmentasi (melanosit) dan pengenalan alergen (sel langerhans).
Epidermis terdiri atas lima lapisan :1). Stratum korneum, terdiri dari
sel keratinosit yang bisa mengelupas dan berganti. (2). Stratum
lusidum, berupa garis translusen, biasanya terdapat pada kulit tebal
telapak kaki dan telapak tangan,tidak tampak pada kulit tipis (3).
Stratum granulosum, ditandai oleh 3-5 lapis sel polygonal gepeng
yang intinya ditengah dan sitoplasma terisi oleh granula basofilik
kasar yang dinamakan granula keratohialin yang mengandung
protein kaya akan histidin (4). Stratum spinosum, terdapat berkas-
berkas filamen yang dinamakan tonofibril, dianggap filamen-filamen
tersebut memegang peranan penting untuk mempertahankan kohesi
sel dan melindungi terhadap efek abrasi. Epidermis pada tempat
yang terus mengalami gesekan dan tekanan mempunyai stratum
spinosum dengan lebih banyak tonofibril. Stratum basale dan stratum
spinosum disebut sebagai lapisan malphigi (5). Stratum basale
(Stratum Germinativum) Terdapat aktifitas mitosis yang hebat dan
bertanggung jawab dalam pembaharuan sel epidermis secara
konstan. Epidermis diperbaharui setiap 28 hari untuk migrasi ke

10
permukaan, hal ini tergantung letak, usia dan faktor lain(Branon,
2007; Amirlak, 2008).

Gambar 2. Lapisan Epidermis (Amirlak, 2008)

2) Dermis
Dermis merupakan bagian yang paling penting di kulit yang
sering dianggap sebagai “True Skin”. Terdiri atas jaringan ikat yang
menyokong epidermis dan menghubungkannya dengan jaringan
subkutis. Tebalnya bervariasi, yang paling tebal terdapat pada
telapak kaki sekitar 3 mm. Dermis terdiri dari dua lapisan :(1)
Lapisan papiler, tipis mengandung jaringan ikat jarang. (2) Lapisan
retikuler, tebal terdiri dari jaringan ikat padat (Amirlak, 2008).
Pada dasarnya dermis terdiri atas sekumpulan serat-serat
elastis yang dapat membuat kulit berkerut akan kembali ke bentuk
semula dan serat protein ini yang disebut kolagen. Serat-serat
kolagen inidisebut juga jaringan penunjang, karena fungsinya dalam
membentuk jaringan-jaringan kulit yang menjaga kekeringan dan
kelenturan kulit. Serabut-serabut kolagen menebal dan sintesa
kolagen berkurang dengan bertambahnya usia. Serabut elastin
jumlahnya terus meningkat dan menebal, kandungan elastin kulit
manusia meningkat kira-kira 5 kali dari fetus sampai dewasa. Pada
usia lanjut kolagen saling bersilangan dalam jumlah besar dan
serabut elastin berkurang menyebabkan kulit terjadi kehilangan

11
kelemasannya dan tampak mempunyai banyak keriput(Branon, 2007;
Amirlak, 2008).
Dermis mempunyai banyak jaringan pembuluh darah. Dermis
juga mengandung beberapa derivat epidermis yaitu folikel rambut,
kelenjar sebasea dan kelenjar keringat. Kualitas kulit tergantung
banyak tidaknya derivat epidermis di dalam dermis (Branon, 2007).
Kelenjar keringat terdiri dari fundus (bagian yang melingkar)
dan duet yaitu saluran semacam pipa yang bermuara pada permukaan
kulit membentuk pori-pori keringat. Semua bagian tubuh dilengkapi
dengan kelenjar keringat dan lebih banyak terdapat dipermukaan
telapak tangan, telapak kaki, dahi dan di bawah ketiak. Kelenjar
keringat mengatur suhu badan dan membantu membuang sisa-sisa
pencernaan dari tubuh. Kegiatannya terutama dirangsang oleh panas,
latihan jasmani, emosi dan obat-obat tertentu. Ada dua jenis kelenjar
keringat yaitu Ekrindan Apokrin(Branon, 2007).
Kelenjar sebasea terletak pada bagian atas dermis berdekatan
dengan folikel rambut terdiri dari gelembung-gelembung kecil yang
bermuara ke dalam kandung rambut (folikel). Folikel rambut
mengeluarkan lemak yang meminyaki kulit dan menjaga kelunakan
rambut.

Gambar 3. Lapisan Dermis

12
Kelenjar sebasea membentuk sebum, terkecuali pada telapak
tangan dan telapak kaki, kelenjar sebasea terdapat di semua bagian
tubuh terutama pada bagian muka.Pada umumnya, satu batang
rambut hanya mempunyai satu kelenjar sebasea yang bermuara pada
saluran folikel rambut (Amirlak, 2008).
Fungsi dermis antara lain sebagai struktur penunjang,
mechanical strength, suplai nutrisi, menahan shearing forces dan
respon inflamasi (Amirlak, 2007).
3) Hypodermis atau Subkutis
Lapisan ini merupakan lapisan di bawah dermis atau
hipodermis yang terdiri dari lapisan lemak. Pada lapisan ini terdapat
jaringan ikat yang menghubungkan kulit secara longgar dengan
jaringan di bawahnya. Jumlah dan ukurannya berbeda-beda menurut
daerah di tubuh dan keadaan nutrisi individu. Subkutis berfungsi
menunjang suplai darah ke lapisan dermis untuk regenerasi.Fungsi
subkutis / hipodermis antara lain untuk melekatkan kulit ke struktur
dasar, isolasi panas, cadangan kalori, kontrol bentuk tubuh dan
mechanical shock absorber(Branon, 2007; Amirlak, 2008).
b. Vaskularisasi Kulit
Arteri yang memberi nutrisi pada kulit membentuk pleksus terletak
antara lapisan papiler dan retikuler dermis dan selain itu antara dermis dan
jaringan subkutis. Cabang kecil meninggalkan pleksus ini memperdarahi
papilla dermis, tiap papilla dermis punya satu arteri asenden dan satu
cabang vena. Pada epidermis tidak terdapat pembuluh darah tapi mendapat
nutrient dari dermis melalui membran epidermis. Vaskularisasi dikulit
diatur oleh 2 pleksus, yaitu pleksus superfisialis dan pleksus
profunda(Branon, 2007; Amirlak, 2008).

2. Fisiologi Kulit
Kulit merupakan organ yang berfungsi sangat penting bagi tubuh
diantaranya adalah memungkinkan bertahan dalam berbagai kondisi

13
lingkungan, sebagai barier infeksi, mengontrol suhu tubuh (termoregulasi),
sensasi, eskresi dan metabolisme (Branon, 2007).
a. Pelindung atau proteksi
Epidermis terutama lapisan tanduk berguna untuk menutupi jaringan
tubuh di sebelah dalam dan melindungi tubuh dari pengaruh-
pengaruh luar seperti luka dan serangan kuman (Branon, 2007).
Lapisan paling luar epidermis diselubungi lapisan tipis lemak yang
menjadikan kulit tahan air. Kulit dapat menahan suhu tubuh,
menahan luka-luka kecil, mencegah zat kimia dan bakteri masuk ke
dalam tubuh serta menghalau rangsang-rangsang fisik seperti sinar
ultraviolet dari matahari.
b. Penerima rangsang
Kulit sangat peka terhadap berbagai rangsang sensorik yang
berhubungan dengan nyeri, suhu panas atau dingin, tekanan, rabaan,
dan getaran. Kulit sebagai alat perasa dirasakan melalui ujung-ujung
saraf sensasi.
c. Pengatur panas atau thermoregulasi
Kulit mengatur suhu tubuh melalui dilatasi dan konstruksi pembuluh
kapiler serta melalui respirasi yang keduanya dipengaruhi saraf
otonom. Tubuh yang sehat memiliki suhu tetap sekitar 36,5ºC.
Ketika terjadi perubahan suhu luar, darah dan kelenjar keringat kulit
mengadakan penyesuaian seperlunya dalam fungsinya masing-
masing.
d. Pengeluaran (ekskresi)
Kulit mengeluarkan zat-zat tertentu yaitu keringat dari kelenjar
keringat yang dikeluarkan melalui pori-pori keringat dengan
membawa garam, yodium dan zat kimia lainnya. Air yang
dikeluarkan melalui kulit tidak saja disalurkan melalui keringat tetapi
juga melalui penguapan air transepidermis sebagai pembentukan
keringat yang tidak disadari.
e. Penyimpanan: Kulit menyimpan lemak di dalam kelenjar lemak.

14
f. Penyerapan terbatas
Kulit dapat menyerap zat-zat tertentu, terutama zat-zat yang larut
dalam lemak dapat diserap ke dalam kulit. Hormon yang terdapat
pada krim muka dapat masuk melalui kulit dan mempengaruhi
lapisan kulit pada tingkatan yang sangat tipis(Branon, 2007;
Amirlak, 2008). Penyerapan terjadi melalui muara kandung rambut
dan masuk ke dalam saluran kelenjar palit, merembes melalui
dinding pembuluh darah ke dalam peredaran darah kemudian ke
berbagai organ tubuh lainnya.

B. Luka dan Penyembuhan Luka


1. Luka
Luka adalah rusaknya struktur dan fungsi anatomis kulit normal akibat
proses patologis yang berasal dari internal maupun eksternal dan mengenai
organ tertentu. Keadaan ini dapat disebabkan oleh trauma tajam atau tumpul,
perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik atau animal bite(Sinaga,
2009).
Ada beberapa penggolongan klasifikasi luka. Namun yang umum
dipakaiadalah sebagai berikut :
a. Berdasarkan waktu terjadinya
1) Luka Akut
Luka akut merupakan luka yang biasanya segera mendapat
penanganan dan biasanya dapat sembuh dengan baik bila tidak
terjadi komplikasi. Kriteria luka akut adalah luka baru, mendadak
dan penyembuhannya sesuai dengan waktu yang diperkirakan.
Sebagai contoh pada luka sayat, luka bakar, luka tusuk dan crush
injury. Luka operasi juga dapat dianggap sebagai luka akut yang
dibuat oleh ahli bedah. Contoh pada luka jahit danskin
grafting(Sinaga, 2009; Yadi, 2008).

15
2) Luka Kronik
Luka kronik merupakan luka yang berlangsung lama atau sering
timbul kembali (recurrent), dimana terjadi gangguan pada proses
penyembuhan yang biasanya disebabkan oleh masalah multifaktor
dari penderita. Pada luka kronik terjadi luka yang gagal sembuh
pada waktu yang diperkirakan, tidak berespon baik terhadap terapi
dan mempunyai kemungkinan untuk timbul kembali. Contoh pada
ulkus dekubitus, ulkus diabetik, ulkus venosus, luka bakar dan lain
sebagainya (Sinaga, 2009; Yadi, 2008).
b. Berdasarkan kedalaman luka
1) Stadium I : Luka Superfisial atau Non-Blanching Erithema : yaitu
luka yang terjadi pada lapisan epidermis kulit.
2) Stadium II : Luka Partial Thickness : yaitu hilangnya lapisan kulit
pada lapisan epidermis dan bagian atas dari dermis. Merupakan
luka superficial ditambah dengan adanya tanda klinis seperti
abrasi, blister atau lubang yang dangkal.
3) Stadium III : Luka Full Thickness : yaitu hilangnya kulit secara
keseluruhan meliputi kerusakan atau nekrosis jaringan subkutan
yang dapat meluas sampai bawah tetapi tidak melewati jaringan
yang mendasarinya. Luka yang terjadi mengenai lapisan epidermis,
dermis dan fasia tetapi tidak mengenai otot. Luka timbul secara
klinis sebagai suatu lubang yang dalam dengan atau tanpa merusak
jaringan sekitarnya.
4) Stadium IV : Luka Full Thickness yang telah mencapai lapisan
otot, tendon dan tulang dengan adanya destruksi atau kerusakan
yang luas (Sinaga, 2009; Tawi, 2008).
c. Berdasarkan tingkat kontaminasi
1) Clean Wounds (Luka bersih), yaitu luka bedah tak terinfeksi yang
mana tidak terjadi proses peradangan dan infeksi pada sistem
pernafasan, pencernaan, genital dan urinari tidak terjadi (Hidayat,
2007). Luka bersih biasanya menghasilkan luka yang tertutup; jika

16
diperlukan dimasukkan drainase tertutup. Kemungkinan terjadinya
infeksi luka sekitar 1% – 5%.
2) Clean-contamined Wounds (Luka bersih terkontaminasi), yaitu
luka pembedahan dimana saluran respirasi, pencernaan, genital
atau perkemihan dalam kondisi terkontrol, kontaminasi tidak selalu
terjadi, kemungkinan timbulnya infeksi luka adalah 3% – 11%.
3) Contamined Wounds (luka terkontaminasi), termasuk luka terbuka,
fresh, luka akibat kecelakaan dan operasi dengan kerusakan besar
dengan teknik aseptik atau kontaminasi dari saluran cerna; pada
kategori ini juga termasuk insisi akut, inflamasi non-purulen.
Kemungkinan infeksi luka 10% – 17%.
4) Dirty or Infected Wounds (Luka kotor atau infeksi), yaitu
terdapatnya mikroorganisme pada luka (Hidayat, 2007).
d. Berdasarkan Mekanisme terjadinya
1) Luka insisi (Incised Wound), terjadi karena teriris oleh instrument
yang tajam,misal yang terjadi akibat pembedahan.
2) Luka memar (Contusion Wound), terjadi akibat benturan oleh suatu
tekanan dan dikarakteristikkan oleh cedera pada jaringan lunak,
perdarahan dan bengkak.
3) Luka lecet (Abraded Wound), terjadi akibat kulit bergesekan
dengan benda lain yang biasanya dengan benda yang tidak tajam.
4) Luka tusuk (Punctured Wound), terjadi akibat adanya benda,
seperti pisau yang masuk ke dalam kulit dengan diameter yang
kecil.
5) Luka gores (Lacerated Wound), terjadi akibat benda yang tajam
seperti oleh kaca atau oleh kawat.
6) Luka tembus (Penetrating Wound), yaitu luka yang menembus
organ tubuh biasanya pada bagian awal luka masuk diameternya
kecil tetapi pada bagian ujung biasanya lukanya akan melebar.
7) Luka bakar (Combustio), yaitu luka akibat terkena suhu panas
seperti api, matahari, listrik, maupun bahan kimia (Hidayat, 2007).

17
2. Penyembuhan Luka
Penyembuhan luka merupakan suatu proses yang kompleks karena
berbagai kegiatan bio-seluler, bio-kimia terjadi berkesinambungan.
Penggabungan respons vaskuler, aktivitas seluler dan terbentuknya bahan
kimia sebagai substansi mediator di daerah luka merupakan komponen yang
saling terkait pada proses penyembuhan luka. Proses ini berlangsung dinamis
melibatkan mediator cair, sel darah, matriks ekstraseluler, serta sel-sel
parenkim. Proses penyembuhan luka secara umum terdiri atas tiga fase yaitu
inflamasi, pembentukan jaringan atau proliferasi dan maturasi atau remodeling
(Tawi, 2008; Yadi, 2005).
a. Inflamasi
Inflamasi merupakan tahap pertama penyembuhan luka. Fase ini
dimulai sejak terjadinya luka dan berlangsung selama 3 sampai 7 hari.
Fase inflamasi secara klinis ditandai dengan cardinal sign: kemerahan
karena kapiler melebar (rubor), suhu hangat (kalor), rasa nyeri (dolor), dan
pembengkakan (tumor) serta function laesa(Anonim, 2008).
Setelah terjadinya luka jaringan pembuluh darah segera mengalami
vasokonstriksi disertai reaksi hemostasis karena agregasi trombosit yang
bersama jala fibrin membekukan darah. Komponen hemostasis ini akan
melepaskan dan mengaktifkan sitokin yang meliputi Epidermal Growth
Factor (EGF), Insulin-like Growth Factor (IGF), Plateled-derived Growth
Factor (PDGF) dan Transforming Growth Factor beta (TGF-β) yang
berperan untuk terjadinya kemotaksis neutrofil, makrofag, sel mast, sel
endotelial dan fibroblas. Pada fase ini kemudian terjadi vasodilatasi dan
akumulasi lekosit Polymorphonuclear (PMN). Agregat trombosit akan
mengeluarkan mediator inflamasi Transforming Growth Factor beta 1
(TGF-β1) yang juga dikeluarkan oleh makrofag. Adanya TGF-β1 akan
mengaktivasi fibroblas untuk mensintesis kolagen(Yadi, 2005; Braz, 2007;
Baxter, 2003).

18
Faktor apapun yang mengganggu proses ini akan memperlambat
penyembuhan luka. Selama fase inflamasi akut, jaringan tidak akan
memperoleh kekuatan regangan yang cukup tetapi tergantung pada
pendekatan tepi luka (Braz et al, 2007).

Gambar 4. Fase Inflamasi


(Ismail, 2008)

b. Proliferasi
Fase proliferasi penyembuhan luka dimulai kira-kira 2-3 hari setelah
terjadinya luka, ditandai dengan munculnya fibroblast. Proses kegiatan
seluler yang penting pada fase ini adalah memperbaiki dan
menyembuhkan luka dan ditandai dengan proliferasi sel. Tahap proliferasi
ini disebut juga fase fibroplasias karena yang menonjol adalah proses
proliferasi fibroblast. Peran fibroblas sangat besar pada proses perbaikan,
yaitu bertanggung jawab pada persiapan menghasilkan produk struktur
protein yang akan digunakan selama proses rekonstruksi jaringan
(Sjamsudidajat, 2005; Tawi, 2008).
Sesudah terjadi luka, fibroblas akan aktif bergerak dari jaringan
sekitar luka ke dalam daerah luka, kemudian akan berkembang serta
mengeluarkan beberapa substansi seperti kolagen, elastin, asam
hyaluronic, fibronectin dan proteoglycans yang berperan dalam
rekonstruksi jaringan baru (Tawi, 2008).
Kolagen yang merupakan substansi protein adalah konstituen utama
dari jaringan ikat. Pembentukan serat kolagen menentukan kekuatan
regangan dan kelenturan penyembuhan luka. Fungsi kolagen yang lebih

19
spesifik adalah membentuk cikal bakal jaringan baru (Tawi, 2008; Braz et
al, 2007).
Sejumlah sel dan pembuluh darah baru yang tertanam di dalam
jaringan baru tersebut disebut sebagai jaringan granulasi, sedangkan
proses proliferasi fibroblas dengan aktifitas sintetiknya disebut fibroblasia.
Respons yang dilakukan fibroblas terhadap proses fibroplasia adalah:
proliferasi, migrasi, deposit jaringan matriks dan kontraksi luka (Tawi,
2008).
Ketika serat kolagen terisi dengan pembuluh darah baru, jaringan
granulasi akan menjadi terang dan merah. Bantalan kapiler tebal yang
mengisi matriks akan memberikan suplai nutrien dan oksigen yang
dibutuhkan untuk penyembuhan luka. Fase ini terjadi setelah hari ketiga.
Kolagen ini kemudian akan berada diantara luka dan akan memberikan
tekanan normal. Lamanya fase ini bervariasi berdasarkan tipe jaringan
yang terlibat dan tekanan atau tegangan yang diberikan luka selama
periode ini (Sjamsudidajat, 2005; Braz et al, 2007).
Angiogenesis atau proses pembentukan pembuluh kapiler baru
didalam luka juga mempunyai arti penting pada tahap proliferasi proses
penyembuhan luka. Kegagalan vaskuler akibat penyakit misalnya diabetes,
radiasi atau penggunaan preparat steroid dalam jangka waktuyang lama
mengakibatkan lambatnya proses penyembuhan luka. Jaringan vaskuler
yang melakukan invasi kedalam luka merupakan suatu respons untuk
memberikan oksigen dan nutrisi yang cukup di daerah luka karena pada
daerah luka terdapat keadaan hipoksik dan turunnya tekanan oksigen. Pada
fase ini fibroplasia dan angiogenesis merupakan proses terintegrasi dan
dipengaruhi oleh substansi yang dikeluarkan oleh platelet dan makrofag
(Tawi, 2008; Braz et al, 2007).

Proses selanjutnya adalah epitelisasi, dimana fibroblas


mengeluarkan keratinocyte growth factor (KGF) yang berperan dalam
stimulasi mitosis sel epidermal. Keratinisasi akan dimulai dari pinggir luka
dan akhirnya membentuk barrier yang menutupi permukaan luka. Dengan

20
sintesa kolagen oleh fibroblas, pembentukan lapisan dermis ini akan
disempurnakan kualitasnya dengan mengatur keseimbangan jaringan
granulasi dan dermis. Untuk membantu jaringan baru tersebut menutup
luka, fibroblas akan merubah strukturnya menjadi myofibroblast yang
mempunyai kapasitas melakukan kontraksi pada jaringan. Fungsi
kontraksi akan lebih menonjol pada luka dengan defek luas dibandingkan
dengan defek luka minimal (Tawi, 2008; Braz et al, 2007).
Kontraksi luka adalah proses yang mendorong tepi luka bersama
untuk penutupan luka. Hal ini akan mengurangi area yang terbuka dan jika
berhasil akan menghasilkan luka yang kecil. Kontraksi luka akan sangat
menguntungkan pada penutupan luka pada area-area seperti glutea dan
trokanter, tetapi akan membahayakan pada area seperti tangan atau sekitar
leher dan wajah dimana hal ini akan menyebabkan kelainan bentuk dan
jaringan parut berlebihan. Luka operasi yang ditutup secara perprimum
memiliki respon kontraksi yang minimal. Graft kulit digunakan untuk
menurunkan kontraksi pada lokasi yang tidak diinginkan (Braz et al,
2007).
Fase proliferasi akan berakhir jika epitel dermis dan lapisan kolagen
telah terbentuk, terlihat proses kontraksi dan akan dipercepat oleh berbagai
growth factor yang dibentuk oleh makrofag dan platelet (Tawi, 2008).

Gambar 5. Fase Proliferasi


(Ismail, 2008)
c. Remodelling
Pada fase ini terjadi proses pematangan yang terdiri atas penyerapan
kembali jaringan yang berlebih, pengerutan sesuai dengan gaya gravitasi

21
dan akhirnya kembali jaringan yang baru terbentuk. Fase ini dimulai pada
minggu ke-3 setelah perlukaan dan berakhir sampai kurang lebih 12 bulan.
Tujuan dari fase ini adalah menyempurnakan terbentuknya jaringan baru
menjadi jaringan penyembuhan yang kuat dan bermutu (Sjamsudidajat,
2005).
Ketika deposisi kolagen selesai, fibroblas sudah mulai
meninggalkan jaringan grunalasi, pembuluh darah pada luka akan
berangsur-angsur menurun dan kemerahan dari jaringan mulai berkurang
sehingga permukaannya akan menjadi lebih pucat dan serat fibrin dari
kolagen bertambah banyak untuk memperkuat jaringan parut. Jumlah
kolagen yang terbentuk bergantung pada volume awal jaringan granulasi
(Braz et al, 2007).
Kekuatan dari jaringan parut akan mencapai puncaknya pada
minggu ke-10 setelah perlukaan. Sintesa kolagen yang telah dimulai sejak
fase proliferasi akan dilanjutkan pada fase maturasi atau remodelling.
Selain pembentukan kolagen juga akan terjadi pemecahan kolagen oleh
enzim kolagenase. Kolagen muda (gelatinous collagen) yang terbentuk
pada fase proliferasi akan berubah menjadi kolagen yang lebih matang,
yaitu lebih kuat dan struktur yang lebih baik pada fase remodeling (Tawi,
2008).
Untuk mencapai penyembuhan yang optimal diperlukan
keseimbangan antara kolagen yang diproduksi dengan yang dipecahkan.
Kolagen yang berlebihan akan terjadi penebalan jaringan parut atau
hypertrophic scar, sebaliknya produksi yang berkurang akan menurunkan
kekuatan jaringan parut dan luka akan selalu terbuka. Luka dikatakan
sembuh jika terjadi kontinuitas lapisan kulit dan kekuatan jaringan kulit
mampu atau tidak mengganggu untuk melakukan aktivitas yang normal
(Tawi, 2008; Braz et al, 2007).

22
Gambar 6. Fase Remodelling (Ismail, 2008)

23
Gambar 7. penyembuhan luka (Braz et al, 2007)

Penyembuhan luka kulit tanpa pertolongan dari luar seperti yang telah
diterangkan tadi, berjalan secara alami. Penyembuhan ini disebut
penyembuhan sekunder. Cara ini biasanya membutuhkan waktu yang lama
dan meninggalkan parut yang kurang baik, terutama jika lukanya terbuka
lebar. Dalam penatalaksanaan bedah terdapat 3 bentuk penyembuhan luka,
yaitu penyembuhan melalui intensi pertama, kedua, atau ketiga (Sinaga,
2009).
a. Penyembuhan melalui Intensi Pertama (Penyatuan Primer). Luka dibuat
secara aseptik, dengan kerusakan jaringan minimum, dan penutupan
dengan baik, seperti dengan suture atau proses penjahitan untuk
mentautkan luka, sembuh dengan sedikit reaksi jaringan melalui intensi
pertama. Ketika luka sembuh melalui intensi pertama, jaringan granulasi
tidak tampak dan pembentukan jaringan parut minimal.
b. Penyembuhan melalui Intensi Kedua (Granulasi). Pada luka dimana
terjadi pembentukan pus (supurasi) atau dimana tepi luka tidak saling
merapat, proses perbaikannya kurang sederhana dan membutuhkan waktu
lebih lama.
c. Penyembuhan melalui Intensi Ketiga (Suture Sekunder). Jika luka dalam,
baik yang belum dijahit atau terlepas dan kemudian dijahit kembali
nantinya, dua permukaan granulasi yang berlawanan disambungkan. Hal
ini mengakibatkan jaringan parut yang lebih dalam dan luas (Sinaga,
2009).

24
Gambar 8. Jenis Penyembuhan Luka (Sinaga, 2009)
Faktor – faktor yang berpengaruh terhadap proses penyembuhan luka
terbagi menjadi faktor eksternal dan faktor internal. Faktor – faktor eksternal
yang mempengaruhi penyembuhan luka antara lain :
a. Lingkungan
Dukungan dari lingkungan keluarga, dimana pasien akan merasa
mendapatkan perlindungan dan dukungan serta nasihat – nasihat
khususnya untuk merawat kebersihan pasca terjadinya luka atau
pembedahan.
b. Tradisi
Di Indonesia ramuan peninggalan nenek moyang untuk perawatan pasca
bedah atau penyembuhan luka masih banyak digunakan, meskipun oleh
kalangan masyarakat modern.
c. Pengetahuan
Pengetahuan pasien dan keluarga tentang perawatan pasca bedah atau
perlukaan sangat menentukan lama penyembuhan luka. Apabila
pengetahuantentang masalah kebersihan kurang maka penyembuhan
lukapun akan berlangsung lama.
d. Sosial ekonomi
Pengaruh dari kondisi sosial ekonomi dengan lama penyembuhan luka
adalah keadaan fisik dan mental pasien dalam melakukan aktifitas sehari-
hari pasca pembedahan. Jika tingkat sosial ekonomi rendah, bisa jadi
penyembuhan luka berlangsung lama karena timbulnya rasa malas dalam
merawat diri.
e. Penanganan petugas
Pada terjadinya luka atau pasca pembedahan, pembersihannya harus
dilakukan dengan tepat oleh penangan petugas kesehatan, hal ini

25
merupakan salah satu penyebab yang dapat menentukan lama
penyembuhan luka.
f. Gizi
Asupan gizi yang cukup dan baik,makanan yang bergizi dan sesuai porsi
akan mempercepat masa penyembuhan luka (Hidyat, 2007; Sinaga,
2009).
Sedangkan faktor – faktor internal yang berpengaruh terhadap proses
penyembuhan luka dapat digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu faktor
lokal, faktor sistemik dan faktor tekhnik (Yadi, 2005).
1. Faktor Lokal
a. Iskemia : kurangnya suplai darah ke jaringan luka dapat berupa tidak
adekuatnya aliran darah ke jaringan luka misalnya akibat ligasi,
peripheral vascular disease, atau hipotensi generalisata, dapat pula
karena sudah ada jaringan nekrotik pada tepi luka sebelumnya,
penutupan luka yang terlalu rapat sehingga merusak kapiler pada tepi
luka, atau regangan yang kuat sehingga mengganggu merapatnya
kontraksi luka.
b. Ketegangan luka : Ketegangan dalam penjahitan juga hendaknya
diperhatikan, terlalu tegang dapat menyebabkan iskemia. Jika terlalu
longgar juga dapat menyebabkan terjadinya dead space .
c. Infeksi : adanya dead space menyebabkan terkumpulnya darah dan
cairan serous lainnya menjadi media yang baik untuk bakteri sehingga
terjadi infeksi.
d. Trauma lokal : adanya trauma lokal misalnya benturan dapat
menyebakan kerusakan jaringan pada bekas operasi dan menyebabkan
iskemia lokal atau total.
e. Penyakit kronik jaringan : keadaan seperti limfadenopati kronik,
iskemia kronik, hipertensi dan jaringan parut yang luas dapat
menyebabkan penyembuhan luka yang buruk.
f. Radiasi : radiasi sebelum atau sesudah operasi dapat menyebaban
buruknya penyembuhan luka operasi karena terjadinya fibrosis dan
mikroangiopati (Anonim, 2008; Baxter, 2003; Yadi, 2005).

26
2. Faktor sistemik
Faktor-faktor sistemik seperti usia, diabetes, gagal ginjal, anemia,
hipoksia atau syok hipovolemia, kekurangan nutrisi, keganasan dan
penggunaan steroid jangka panjang dapat menyebabkan kegagalan sintesis
kolagen dan terganggunya fungsi imun sehingga menimbulkan gangguan
pada penyembuhan luka (Anonim, 2008).
3. Faktor teknik
Tindakan asepsis sebelum operasi dan pemberian antibiotic
profilaksis dapat berpengaruh pada penyembuhan luka pasca operasi.
Selain itu tekhnik operasi dan perawatan luka juga sangat berpengaruh
terhadap penyembuhan luka operasi (Yadi, 2005).
Sejumlah komplikasi dapat terjadi selama proses penyembuhan luka.
Komplikasi tersebut dapat disebabkan oleh proses yang mendasari, penyakit
yang diderita, kondisi gizi dan kesalahan teknik operasi atau terapi yang tidak
adekuat, antara lain:
1. Infeksi
Invasi bakteri pada luka dapat terjadi pada saat trauma, selama
pembedahan atau setelah pembedahan. Gejala muncul 2 – 7 hari setelah
pembedahan,antara lain adanya sekret purulent, peningkatan drainase,
nyeri, kemerahan dan bengkak di sekeliling luka, peningkatan suhu, dan
peningkatan jumlah sel darah putih (Anonim, 2008; Ismail, 2008).
2. Perdarahan
Perdarahan dapat menunjukkan adanya suatu pelepasan jahitan,
adanya gangguan faktor pembekuan pada daerah jahitan, infeksi, atau erosi
dari pembuluh darah oleh benda asing (seperti drain). Tanda-tanda
hipovolemia tidak langsung terlihat saat terjadi perdarahan. Jika
perdarahan terjadi terus menerus, penambahan tekanan balutan luka steril ,
pemberian cairan dan intervensi pembedahan mungkin diperlukan
(Anonim, 2008; Ismail, 2008).
3. Dehiscence dan Eviscerasi
Dehiscence dan eviscerasi adalah komplikasi operasi yang paling
serius. Dehisensi adalah terbukanya lapisan luka partial atau total.

27
Sedangkan eviscerasi adalah keluarnya isidi bawah jahitan luka melalui
daerah irisan. Biasanya didahului oleh infeksi, selain itu sejumlah faktor
meliputi kegemukan, kurang nutrisi, multiple trauma, batuk yang
berlebihan, muntah, dan dehidrasi mempertinggi resiko terjadinya
dehisensi luka. Dehisensi luka dapat terjadi 4 – 5 hari setelah operasi
sebelum kolagen meluas di daerah luka(Sjamsudidajat R, 2005).
C. Dehisensi Luka

1. Definisi
Dehisensi luka adalah salah satu komplikasi dari proses
penyembuhan luka yang didefinisikan sebagai keadaan dimana terbukanya
kembali sebagian atau seluruhnya luka operasi. Keadaan ini sebagai akibat
kegagalan proses penyembuhan luka operasi (Baxter, 2003; Spiolitis,
2009)
2. Klasifikasi
Berdasarkan waktu terjadinya dehisensi luka operasi dapat dibagi
menjadi dua:
a. Dehisensi luka operasi dini : terjadi kurang dari 3hari pasca operasi
yang biasanya disebabkan oleh teknik atau cara penutupan dinding
perut yang tidak baik.
b. Dehisensi luka operasi lambat : terjadi kurang lebih antara 7 hari
sampai 12 hari pasca operasi. Pada keadaan ini biasanya dihubungkan
dengan usia, adanya infeksi, status gizi dan faktor lainnya (Anonim,
2008; Sjamsudidajat R,2005).

3. Manifestasi Klinik
Dehisensi luka seringkaliterjadi tanpa gejala khas, biasanya
penderita sering merasa ada jaringan dari dalamrongga abdomen yang
bergerak keluar disertai keluarnya cairan serous berwarnamerah muda dari
luka operasi (85% kasus). Pada pemeriksaan didapatkan luka operasi yang
terbuka. Terdapat pula tanda-tanda infeksi umum seperti adanya rasa
nyeri, edema dan hiperemis pada daerah sekitar luka operasi, dapat pula

28
terjadi pus atau nanah yang keluar dari luka operasi (Anonim, 2008;
Sjamsudidajat R,2005).
Biasanya dehisensi luka operasi didahului oleh infeksi yang secara
klinis terjadi pada hari keempat hingga sembilan pascaoperasi. Penderita
datang dengan klinis febris, hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan
jumlah leukosit yang sangat tinggi dan pemeriksaan jaringan di sekitar
luka operasi didapatkan reaksi radang berupa kemerahan, hangat,
pembengkakan, nyeri, fluktuasi dan pus (Afzal,2008; Spioloitis et al,
2009).

4. Etiologi
Faktor penyebab dehisensi luka operasi berdasarkan mekanisme
kerjanya dibedakan atas tiga yaitu:
a. Faktor mekanik : Adanya tekanan dapat menyebabkan jahitan jaringan
semakin meregang dan mempengaruhi penyembuhan luka operasi.
Faktor mekanik tersebut antara lain batuk-batuk yang berlebihan, ileus
obstruktif dan hematom serta teknik operasi yang kurang.
b. Faktor metabolik : Hipoalbuminemia, diabetes mellitus, anemia,
gangguan keseimbangan elektrolit serta defisiensi vitamin dapat
mempengaruhi proses penyembuhan luka.
c. Faktor infeksi
Semua faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi luka
operasi akan meningkatkan terjadinya dehisensi luka operasi. Secara
klinis biasanya terjadi pada hari ke 6 - 9 pasca operasi dengan gejala
suhu badan yang meningkat disertai tanda peradangan disekitar luka.
Menurut National Nosocomial Infection Surveilance System,
luka operasi dibedakan menjadi luka bersih, bersih terkontaminasi,
terkontaminasi dan kotor. Infeksi luka jahitan yang terjadi dini ditandai
dengan peningkatan temperature dan terjadinya selulitis dalam waktu
48 jam setelah penjahitan. Dehisensi luka operasi akan segera terjadi
jika infeksi tidak diatasi. Infeksi dini seringkali disebabkan
olehStreptococcus β-haemolyticus. Sedangkan pada infeksi lanjut
seringkali tidak disertai peningkatan temperatur dan pembentukan pus,

29
dan terutama disebabkan oleh Staphilococcus aureus(Webster et al,
2003; Afzal,2008; Spioloitis et al, 2009).

5. Faktor Resiko
Faktor risiko terjadinya dehisensi luka dibedakan atas faktor
preoperasi yang berhubungan erat dengan kondisi dan karakteristik
penderita, faktor operasi yang berhubungan dengan jenis insisi dan tehnik
penjahitan, serta faktor pascaoperasi (Webster et al, 2003).
Faktor risiko pre-operasi meliputi jenis kelamin (laki-laki lebih
rentan dibandingkan wanita), usia lanjut (>50 tahun), operasi emergensi,
obesitas, diabetes mellitus, gagal ginjal, anemia, malnutrisi, terapi radiasi
dan kemoterapi, keganasan, sepsis, penyakit paru obstruktif serta
pemakaian preparat kortikosteroid jangka panjang (Afzal, 2008; Spiloitis
et al, 2009; Makela, 2005; Singh, 2009).
Faktor risiko operasi antara lain :
a. Jenis insisi : Tehnik insisi mediana lebih rentan untuk terbuka
daripada transversal dikarenakan arah insisinya yang non-anatomik,
sehingga arah kontraksi otot-otot dinding perut berlawanan dengan
arah insisi sehingga akan mereganggkan jahitan operasi.
b. Cara penjahitan : Pemilihan tehnik penutupan secara lapis demi lapis
juga berperan dalam terjadinya komplikasi ini. Tehnik ini di satu sisi
memiliki keuntungan yaitu mengurangi kemungkinan perlengketan
jaringan, namun di sisi lain mengurangi efektifitas dan kekuatannya
(Afzal, 2008; Spiloitis et al, 2009; Makela J, 2005).
c. Teknik penjahitan : teknik penjahitan terputus cenderung lebih aman
daripada teknik penjahitan kontinyu.
d. Jenis benang : Pemakaian benang chromic catgut juga dapat menjadi
suatu perhatian khusus, dikarenakan kecepatan penyerapannya oleh
tubuh sering kali tidak dapat diperkirakan (Afzal, 2008; Spiloitis et al,
2009; Makela J, 2005).

30
Sedangkan faktor-faktor pasca-operasi yang dapat meningkatkan
terjadinya dehisensi luka antara lain:
a. Peningkatan tekanan intraabdomen misalnya batuk, muntah, ileus dan
retensio urin. Tekanan intraabdominal yang tinggi akan menekan otot-
otot dinding abdomen sehingga akan teregang. Regangan otot dinding
abdomen inilah yang akan menyebabkan berkurangnya kekuatan
jahitan bahkan pada kasus yang berat akan menyebabkan putusnya
benang pada jahitan luka operasi dan keluarnya jaringan dalam rongga
abdomen.
b. Perawatan pascaoperasi yang tidak optimal
Perawatan luka pasca operasi yang tidak optimal memudahkan
terjadinya infeksi pada luka sehingga memudahkan pula terjadinya
dehisensi luka operasi.
c. Nutrisi pasca-operasi yang tidak adekuat. Asupan nutrisi yang tidak
adekuat terutama protein salah satunya akan menyebabkan
hipoalbuminemia, keadaan ini akan mengurangi sintesa kolagen yang
merupakan bahan dasar penyembuhan luka.Defisiensi tersebut akan
mempengaruhi proses fibroblasi dan kolagenisasi yangmerupakan
proses awal penyembuhan luka.
e. Terapi radiasi dan penggunaan obat anti-kanker: radiasi pasca operasi
dapat menyebaban buruknya penyembuhan luka operasi karena
terjadinya fibrosis dan mikroangiopati (Afzal, 2008; Spiloitis et al,
2009; Makela J, 2005).

6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dehisensi luka dibedakan menjadi penatalaksanaan
non operatif atau konservatif dan penatalaksanaan operatif tergantung atas
keadaan umum penderita.
1. Penanganan Non-operatif/ Konservatif
Penanganan non operatif diberikan kepada penderita yang sangat
tidak stabil dan tidak mengalami eviserasi. Hal ini dilakukan dengan
penderita berbaring di tempat tidur dan menutup luka operasi dengan kassa
steril atau pakaiankhusus steril. Penggunaan jahitan penguat abdominal

31
dapat dipertimbangkan untuk mengurangi perburukan luka operasi terbuka
(Anonim, 2008; Ismail, 2008).
Selain perawatan luka yang baik, diberikan nutrisi yang adekuat
untuk mempercepat penutupan kembali luka operasi. Diberikan pula
antibiotik yang memadai untuk mencegah perburukan dehisensi luka
(Singh, 2008; Ismail, 2008).
2. Penanganan Operatif
Penanganan operatif dilakukan pada sebagian besar penderita
dehisensi. Ada beberapa jenis operasi yang dilakukan pada dehisensi luka
yang dilakukan antara lain rehecting atau penjahitan ulang luka operasi
yang terbuka, mesh repair, vacuum pack, abdominal packing, dan Bogota
bag repair(Sukumar, 2004).
Jenis operasi rehecting atau penjahitan ulang paling sering
dilakukan hingga saat ini. Tindakan ini dilakukan pada pasien dengan
keadaan stabil, dan penyebab terbukanya luka operasi murni karena
kesalahan tekhnik penjahitan (Sukumar, 2004).
Pada luka yang sudah terkontaminasi dilakukan tindakan
debridement terlebih dahulu sebelum penutupan kembali luka operasi.
Dalam perencanaan jahitan ulangan perlu dilakukan pemeriksaan yang
baik seperti laboratorium lengkap dan foto throraks. Selain penjahitan
ulang dilakukan pula tindakan debridement pada luka (Spiloitis et al,
2009; Sjamsudidajat, 2005).
Tindakan awal yang dilakukan adalah eksplorasi melalui dehisensi
luka jahitan secara hati-hati dan memperlebar sayatan jahitan lalu
mengidentifikasi sumber terjadinya dehisensi jahitan. Tindakan eksplorasi
dilakukan dalam 48 ± 72 jam sejak diagnosis dehisensi luka operasi di
tegakan. Tehnik yang sering digunakan adalah dengan melepas jahitan
lama dan menjahit kembali luka operasi dengan cara satu lapisan
sekaligus. Pemberian antibiotik sebelum operasi dilakukan, membebaskan
omentum dan usus di sekitar luka. Penjahitan ulang luka operasi dilakukan
secara dalam, yaitu dengan menjahit seluruh lapisan abdomen menjadi
satu lapis. Pastikan mengambil jaringan cukup dalam dan hindari tekanan

32
berlebihan pada luka. Tutup kulit secara erat dan dapat dipertimbangkan
penggunaan drain luka intraabdominal. Jika terdapat tanda- tanda sepsis
akibat luka, buka kembali jahitan luka operasi dan lakukan perawatan luka
operasi secara terbuka dan pastikan kelembaban jaringan terjaga (Anonim,
2008; Ismail, 2008; Spiloitis, 2009).
Prinsip pemilihan benang untuk penjahitan ulang adalah benang
monofilament nonabsorbable yang besar. Penjahitan dengan tehnik
terputus sekurangnya 3 cm dari tepi luka dan jarak maksimal antar jahitan
3 cm, baik pada jahitan dalam ataupun pada kulit. Jahitan penguat dengan
karet atau tabung plastic lunak (5-6cm) dapat dipertimbangkan guna
mengurangi erosi pada kulit. Jangan mengikat terlalu erat,jahitan penguat
luar diangkat setidaknya setelah 3 minggu (Anonim, 2008; Ismail, 2008).
Selain rehecting, banyak tekhnik yang dilakukan untuk menutup
dehisensi luka secara sementara maupun permanen. Metode yang biasa
dilakukan antara lain mesh repair, yaitu penutupan luka dengan bahan
sintetis yaitu mesh yang berbentuk semacam kasa halus elastis yang
berfungsi sebagai pelapis pada jaringan yang terbuka tersebut dan bersifat
diserap oleh tubuh. Namun mesh repair menimbulkan angka komplikasi
yang cukup tinggi. Dilaporkan terdapat sekitar 80% pasien dengan mesh
repair mengalami komlplikasi dengan 23% mengalami enteric
fistulation(Sukumar, 2004).
Selain itu digunakan pula vacum pack. Teknik ini menggunakan
sponge steril untuk menutup luka operasi yang terbuka kembali setelah itu
ditutup dengan vacum bag dengan sambungan semacam suction di bagian
bawahnya. Teknik lain yang digunakan adalah Bogota bag. Tekhnik ini
dilakukan pada dehisensi yang telah mengalami eviserasi. Bogota bag
adalah kantung dengan bahan dasar plastik steril yang merupakan kantong
irigasi genitourin dengan daya tampung 3 liter yang digunakan untuk
menutup luka operasi yang terbuka kembali. Plastik ini dijahit ke kulit atau
fascia pada dinding abdomen anterior (Sukumar, 2004).

33
DAFTAR PUSTAKA

Afzal S, Bashir M. 2008. Determinants of Wound Dehiscence in Abdominal


Surgery in Public Sector Hospital. Department of Community Medicine,
King Edward Medical University Lahore . Annals 14:3

Amirlak, Bardia. 2008. Skin Anatomy. diakses Desember 2011 dari: http://
emedicine. medscape. com/ article/ 1294744-overviewAnita, Cecilia. 2009.
Asuhan Keperawatan Laparotomy. FK UNAND: Padang

Anonim. 2008. Penyembuhan Luka dan Dehisensi. Diakses Desember 2011 dari:
http://www.scribd.com/doc/56192741/DEHISENSI2

Barnard, B. 2003. Prevention of surgical site infection. Infection Control Today


Magazine, Virgo Publishing ; 1-6. http://www.infectioncontroltoday.com

Baxter, H. 2003. Management of surgical wound. Nur Time 99(13) ;1-9

Brannon, Heather. 2007. Skin Anatomy. Diakses Desember 2011 dari: http://
dermatoloy. about.com/cs/skinanatomy/a/anatomy.html

Braz FSV, Loss AB, Japiassi AM. 2007. Wound healing and sacrring sutures.
The Federal University of Rio de Janeiro. 1-5. Diakses Desember 2011 dari :
http://www.medstudents.com.br/cirur/cirur.htm

Hidayat, Nucki. 2007. Pencegahan Infeksi Luka Operasi. FK-UNPAD: Bandung.


Diakses Desember 2011 dari
:http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/04/pencegahan_infeksi
_luka_operasi.pdf

Ismail. 2008. Luka dan Perawatannya. Diakses Desember 2011 dari :


http://umy.ac.id/topik/files/2011/12/Merawat-luka.pdf

Makela J, Kiviniemi H, Juvonen T, et al. 2005. Factors influencing wound


dehiscence after midline laparotomy. American journal of surgery. 170 (4):
387-390

Morison, MJ. 2003. Manajemen Luka. Jakarta: EGC

Sabiston, DC. 1995. Buku Ajar Ilmu Bedah Volume 1. Jakarta: EGC

34
Sinaga, Yusuf. 2009. Wound Healing. Diakses Desember 2011 dari :
http://ocw.usu.ac.id/course/download/128-KEBUTUHAN-DASAR-
MANUSIA/kdm_slide_kebutuhan_dasar_manusia_konsep_luka.pdf

Singh, Abhijit. 2009. Case Report: Spontaneous scar dehiscence of a repaired


bladder rupture in a 5 yr old girl – a case study. Resident Medical Officer,
Max Heart and Vascular Institute, Saket, New Delhi, India. Cases Journal
1:363

Sjamsudidajat R, De Jong W. 2005. Luka Operasi. Dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah
Edisi 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta

Spiloitis J, Tsiveriotis K, Datsis A, et al. 2009. Wound dehiscence: is still a


problem in the 21th century: a retrospective study. World Journal of
Emergency Surgery 4:12

Sukumar N, Shaharin S, Razman J, et al.Bogota Bag in the Treatment of


Abdominal Wound Dehiscence.Medical Journal Malaysia. 59:2

Tawi, Mizral. 2008. Proses Penyembuhan Luka. Diakses Desember 2011 dari :
http://syehaceh.wordpress.com/2008/05/13/proses-penyembuhan-luka/

Yadi, Muhammad. 2005. Tesis : Wound Dehiscence Pasca Bedah Sesar. FK


UNDIP : Semarang

35

Anda mungkin juga menyukai