Anda di halaman 1dari 51

BAB I

PENDAHULUAN

Kelainan dalam letak alat-alat genital sudah dikenal sejak 2000 tahun SM.
Catatan-catatan yang ditemukan di Mesir mengenai Ratu Cleopatra menyatakan
prolapsus genitalis merupakan satu hal yang gaib pada wanita dan menganjurkan
pengobatannya dengan penyiraman larutan Adstringensia. Dalam hal ilmu
kedokteran Hindu kuno menurut Chakraberty, dijumpai keterangan-keterangan
mengenai kelainan dalam letak alat genital, dipakai istilah “Mahati” untuk wanita
yang lebar dengan sistokel, rektokel dan laserasi perineum.[1]

Juga di Indonesia sejak zaman dahulu telah lama dikenal istilah peranakan
turun dan peranakan terbalik.Prolapsus uteri adalah keadaan yang sangat jarang
terjadi. Frekuensi kejadian prolapsus uteri sendri di Indonesia hanya 1,5% saja.
Kebanyakan terjadi pada usia tua dan pada usia muda. Hal ini disebabkan oleh
kelemahan dari otot dan struktur fascia pada usia yang lebih lanjut. [1]

Menurut penelitian yang dilakukan WHO tentang pola formasi keluarga


dan kesehatan ditemukan kejadian prolapsus uteri lebih tinggi pada wanita yang
mempunyai anak lebih dari tujuh daripada wanita yang mempunyai satu atau dua
anak. Prolapsus uteri lebih berpengaruh pada perempuan di negara-negara
berkembang yang perkawinan dan kelahiran anaknya dimulai pada usia muda dan
saat fertilitasnya masih tinggi. Peneliti WHO menemukan bahwa laporan kasus
prolapsus uteri jumlahnya jauh lebih rendah daripada kasus-kasus yang dapat
dideteksi dalam pemeriksaan medik.[2] Penentuan letak uterus normal dan kelainan
dalam letak alat genital bertambah penting artinya karena diagnosis yang tepat
perlu sekali guna penatalaksanaan yang baik sehingga tidak timbul kembali
penyulit pasca operasi di kemudian hari.[3]

1
Frekuensi prolapsus uteri di beberapa Negara bagian berlainan, seperti
dilaporkan di klinik d’Gynecologie et Obstetrique Geneva insidensinya 5,7% pada
periode yang sama di Hamburg 5,4%, Roma 6,4%. Dilaporkan di Mesir, India,
dan Jepang kejadiannya tinggi sedangkan pada orang Negro Amerika dan
Indonesia kurang. Pada suku Bantu di Afrika Selatan jarang sekali terjadi.
Penyebabnya terutama adalah melahirkan dan pekerjaan yang menyebabkan
tekanan intraabdominal meningkat serta kelemahan ligamentum-ligamentum
karena hormonal pada usia lanjut. Trauma persalinan dan beratnya uterus
mungkin sebagai penyebab terjadinya kejadian prolapsus uteri.Di Indonesia
prolapsus uteri lebih sering dijumpai pada wanita yang telah melahirkan, wanita
tua dan wanita dengan pekerjaan berat. Djafar Siddik pada penyelidikan selam 2
tahun (1969-1970) memperoleh 63 kasus prolapsus uteri dari 5.372 kasus
ginekologik di Rumah Sakit Dr. Pirngadi di Medan, terbanyak grande multipara
dalam masa menopause dan 31,74% pada wanita petani. Dari 63 kasus tersebut,
69% berumur 40 tahun.Jarang sekali prolapsus uteri dapat ditemukan pada
seorang nullipara.[3]

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Prolapsus Uteri

1. Definisi

Penurunan atau herniasi uterus dari posisi normal di rongga pelvis


kedalam atau keluar vagina.[4] Posisi uterus normal ialah tengah-tengah
rongga panggul, antara kandung kemih dan rectum, dengan ostium uteri
eksternum setinggi spina iskhiadika pada wanita berdiri

Gambar posisi Uterus normal

3
2. Etiologi
Faktor penyebab prolapsus uteri adalah:[3]
 Kelemahan ligamen endopelvik, fasia dan otot-otot panggul.
Posisi serta letak uterus dan vagina dipertahankan oleh ligamen,
fasia dan otot-otot panggul. Te Linde membagi atas 4 golongan,
yaitu:
1. Ligamen-ligamen yang terletak dalam rongga perut dan
ditutupi pleh peritoneum, yaitu ligamentum rotundum,
ligamentum sakrouterina, ligamentum kardinale,
ligamentum latum, dan ligamentum infundibulopelvikum.
2. Jaringan-jaringan yang menunjang vagina yaitu fasia yang
terdapat antara dinding depan vagina dan dasar kandung
kemih (fasia puboservikalis) dan fasia yang terdapat antara
dinding belakang vagina dan rectum (fasia rektovaginalis).
3. Kantong Douglas
4. Otot-otot dasar panggul terutama otot levator ani

Gambar Anatomi Uterus beserta ligament, fasia dan otot dasar panggul[6]

4
 Proses melahirkan
1. Persalinan lama dan sulit
2. Meneran sebelum pembukaan lengkap
3. Laserasi dinding vagina bawah pada kala dua
4. Penatalaksanaan pengeluaran plasenta
5. Reparasi otot-otot dasar panggul yang tak baik
 Proses menopause
Hormon estrogen berkurang sehingga otot dasar panggul menjadi
atrofi dan melemah
 Asites dan tumor-tumor di daerah pelvis
 Bila prolapsus uteri dijumpai pada nullipara berarti faktor
penyebabnya berupa kelainan bawaan berupa kelemahan jaringan
penunjang uterus

3. Klasifikasi[3]
Menurut Friedmann dan Little derajat prolapsus uteri adalah:
I : Dimana serviks uteri turun sampai introitus vaginae
II : Dimana serviks menonjol keluar dari introitus vaginae
III : Dimana seluruh uterus keluar dari vagina

Gambar derajat prolapsus uteri[3]

5
Menurut pemeriksaan Baden-Walker POPQ (Pelvic Organ Prolaps
Quantification)[7]
0 : Tidak ada prolaps
1 : Ujung prolpas turun sampai ½ dari introitus vagina
2 : Ujung prolaps turun sampai introitus vagina
3 : Ujung prolaps turun sampai ½ diluar introitus vagina
4 : Ujung prolaps turun seluruhnya diluar introitus vagina

6
4. Patofisiologi[3]
Sebagaimana telah diterangkan prolapsus uteri terdapat dalam
berbagai tingkat dari yang paling ringan sampai prolapsus uteri totalis.
Terutama akibat persalinan khususnya persalinan pervaginam yang susah,
terdapatnya kelemahan ligamen-ligamen yang tergolong dalam fasia
endopelvik dan otot-otot dasa serta fasia panggul. Juga dalam keadaan
tekanan intraabdominal yang meningkat dan kronik akan memudahkan
penurunan uterus terutama apabila tonus otot-otot mengurang seperti pada
penderita menopause.

Persalinan Spontan Tekanan intraabdominal Tonus otot mengurang


Pervaginam susah meningkat dan kronik (menopause)

Beban kerja ligamen


meningkat

Ligamen melemah

Posisi uterus tidak dapat


dipertahankan

Prolapsus Uteri

5. Manifestasi Klinis[3]
Gejala sangat berbeda-beda dan bersifat individual. Kadangkala penderita
yang satu dengan prolaps cukup berat tidak mempunyai keluhan apapun,
sebaliknya penderita lain dengan prolaps ringan mempunyai banyak
keluhan. Keluhan-keluhan yang hampir selalu dijumpai:

7
1. Perasaan adanya suatu benda yang mengganjal atau menonjol di
genitalia eksterna
2. Rasa sakit di panggul dan pinggang, biasanya jika penderita
berbaring keluhan menghilang atau berkurang
3. Mengganggu penderita waktu berjalan dan bekerja
4. Gesekan porsio uteri dengan celana menimbulkan lecet sampai
luka dan dekubitus pada porsio uteri
5. Leukorea karena kongesti pembuluh darah di daerah serviks dan
karena infeksi serta luka pada porsio uteri

6. Diagnosis[3]
Keluhan-keluhan penderita dan pemeriksaan ginekologik
umumnya dengan mudah dapat menegakkan diagnosis prolapsus uteri.
Friedmann dan Little menganjurkan dengan cara pemeriksaan sebagai
berikut:
Penderita dalam posisi jongkok disuruh mengejan dan ditentukan dengan
pemeriksaan jari, apakah porsio uteri pada posisi normal atau porsio
sampai introitus vagina, atau apakah serviks uteri sudah keluar dari
vagina.Selanjutnya dengan penderita berbaring dalam posisi litotomi
ditentukan pula panjangnya serviks uteri.Serviks uteri yang lebih panjang
dari biasanya dinamakan elongasio kolli.

7. Komplikasi[3]
Komplikasi yang dapat menyertai prolapsus uteri:
 Keratinisasi mukosa vagina dan porsio uteri
Prosidensia uteri disertai dengan keluarnya dinding vagina
(inversio) oleh karena itu mukosa vagina dan serviks uteri menjadi
tebal serta berkerut dan berwarna keputih-putihan
 Dekubitus
Jika serviks uteri terus keluar dari vagina, ujungnya bergeser
dengan paha dan pakaian dalam, hal ini dapat menyebabkan luka

8
dan radang dan lambat laun terjadi ulkus dekubitus.Dalam keadaan
demikian perlu dipikirkan kemungkinan karsinoma, lebih-lebih
pada penderita berusia lanjut. Pemeriksaan sitologi/biopsy perlu
dilakukan untuk mendapat kepastian akan adanya karsinoma
 Hipertrofi serviks uteri dan elangasio kolli
Jika serviks uteri turun kedalam vagina sedangkan jaringan
penahan dan penyokong uterus masih kuat, maka karena tarikan
kebawah di bawah uterus yang turun serta pembendungan
pembuluh darah terjadi sehingga serviks uteri mengalami hipertrofi
dan menjadi panjang pula.Hal yang terakhir ini dinamakan
elangasio kolli.Hipertrofi ditentukan dengan periksa lihat dan
periksa raba.Pada elangasio kolli serviks uteri pada periksa raba
lebih panjang dari biasanya.
 Gangguan miksi dan stress inkontinensia
Turunnya uterus bisa juga menyempitkan ureter sehingga
menyebabkan hidroureter dan hidronefrosis.
 Infeksi saluran kemih
Adanya retensi air kencing mudah menimbulkan infeksi.Sistitis
yang terjadi dapat meluas keatas dan dapat menyebabkan pielitis
dan pielonefritis. Akhirnya hal itu dapat menyebabkan gagal ginjal
 Kemandulan
Karena serviks uteri turun sampai dekat pada introitus vaginae atau
sama sekali keluar dari vagina maka tidak mudah terjadi kehamilan
 Kesulitan waktu partus
Jika wanita dengan prolapsus uteri hamil, maka pada waktu
persalinan dapat timbul kesulitan di kala pembukaan sehingga
kemajuan persalinan terhalang
 Haemorrhoid
Faeses yang terkumpul dalam rektokel memudahkan adanya
obstipasi dan timbul haemorrhoid

9
 Inkarserasi usus halus
Usus halus yang masuk ke dalam enterokel dapat terjepit dengan
kemungkinan tidak dapat direposisi lagi. Dalam hal ini perlu
dilakukan laparatomi untuk membebaskan usus yang terjepit itu

8. Pencegahan
 Pemendekan waktu persalinan, terutama kala pengeluaran dan
kalau perlu dilakukan elektif (missal, ekstraksi forceps dengan
kepala sudah di dasar panggul)
 Membuat episiotomi
 Memperbaiki dan mereparasi luka atau kerusakan jalan lahir
dengan baik
 Memimpin persalinan dengan baik agar dihindarkan penderita
meneran sebelum pembukaan lengkap betul
 Menghindari paksaan dalam pengeluaran plasenta
 Mengawasi involusi uterus pasca persalinan tetap baik dan cepat
 Mencegah atau mengobati hal-hal yang dapat meningkatkan
tekanan intraabdominal seperti batuk-batuk yang kronik
 Menghindari mengangkat benda-benda berat atau melakukan
pekerjaan yang berat
 Menganjurkan penderita agar tidak terlalu banyak punya anak atau
sering melahirkan
 Salah satu cara yang efektif yang dapat yang dilakukan untuk
mencegah resiko adalah dengan melatih otot-otot panggul (senam
Kegel)

9. Penatalaksanaan[3]
 Pengobatan medis
Pengobatan cara ini tidak seberapa memuaskan tetapi cukup
menbantu. Cara ini dilakukan pada prolapsus ringan tanpa keluhan,

10
penderita yang masih ingin mempunyai anak lagi, penderita yang
menolak untuk dioperasi dan kondisinya tidak mengizinkan untuk
dilakukan operasi.

1. Latihan-latihan otot dasar panggul


Latihan ini sangat berguna pada prolapsus ringan terutama
yang terjadi pada pasca persalinan yang belum lewat 6
bulan.Tujuannya untuk menguatkan otot-otot dasar panggul
dan otot-otot yang mempengaruhi miksi.Laihan ini
dilakukan Selma beberapa bulan. Caranya ialah penderita
disuruh menguncupkan anus dan jaringan dasar panggul
seperti biasanya setelah selesai berhajat atau penderita
disuruh membayangkan seolah-olah sedang mengeluarkan
air kencing dan tiba-tiba menghentikannya. Latihan ini bisa
menjadi lebih efektif dengan menggunakan perineometer
menurut Kegel.Alat ini terdiri atas obturator yang
dimasukkan ke dalam vagina dan yang dengan suatu pipa
dihubungkan dengan suatu manometer.Dengan demikian
kontraksi otot-otot dasar panggul dapat diukur.
2. Stimulasi otot-otot dengan listrik
Kontraksi otot-otot dasar panggul dapat pula ditimbulkan
dengan alat listrik, elektrodanya dapat dipasang dalam
pessarium yang dimasukkan ke dalam vagina.
3. Pengobatan dengan pessarium
Pengobatan dengan pessarium sebenarnya hanya bersifat
paliatif, yakni menahan uterus di tempatnya selama
dipakai.Prinsip pemakaian pessarium ialah bahwa alat
tersebut mengadakan tekanan pada dinding vagina bagian
atas sehingga bagian dari vagina tersebut beserta uterus
tidak dapat tururn dan melewati vaginabagian
bawah.Pessarium yang paling baik untuk prolapsus uteri

11
ialah pessarium cincin yang terbuat dari plastik.Pessarium
terdiri dari atas suatu gagang (stem) dengan ujung atas
suatu mangkok (cup) dengan beberapa lobang dan diujung
bawah 4 tali.Sebagai pedoman untuk mencari ukuran yang
cocok, yaitu diukur dengan jari jarak antara forniks vaginae
dengan pinggir atas introitus vaginae. Ukuran tersebut
dikurangi dengan 1 cm untuk mendapat diameter dari
pessarium yang akan dipakai. Pessarium diberi zat pelican
dan dimasukkan miring sedikit ke dalam vagina.Setelah
bagian atas masuk ke dalam vagina, bagian tersebut
ditempatkan ke forniks posterior.Pessarium (karet) dapat
dikecilkan dengan menjepit pinggir kanan kiri antara 2 jari
dan dengan demikian lebih mudah dimasukkan kedalam
vagina.Untuk mengetahui setelah dipasang apakah
ukurannya cocok penderita disuruh batuk atau mengejan.
Jika pessarium tidak keluar, penderita disuruh jalan-jalan
apabila ia tidak merasa nyeri pessarium dapat dipakai terus.
Pessarium dapat dipakai selama beberap tahun asal
penderita periksa secara teratur.Periksa ulang sebaikanya 2-
3 bulan sekali.Kontraindikasi pemakaian pessarium adanya
radang pelvis akut atau subakut dan karsinoma. Indikasi
pemasangan pessarium antara lain, kehamilan, penderita
belum siap operasi, terapi tes, penderita menolak untuk
operasi, dan untuk menghilangkan symptom yang ada
sambil menunngu waktu operasi dilakukan.

12
Gambar contoh pessarium[8]
 Pengobatan operatif
Seperti yang telah diterangkan, indikasi untuk mealkukan operasi
pada prolapsus uteri tergantung dari beberapa faktor, seperti umur
penderita, keinginanya untuk masih mendapat anak atau untuk
mempertahankan uterus, tingkat prolapsus dan adanya keluhan.
Macam-macam operasinya:
1. Ventrofiksasi
Pada wanita yang tergolong masih muda dan masih
menginginkan anak dilakukan operasi ini untuk membuat
uterus ventofiksasi dengan cara memendekkan ligamentum
rotundum atau mengikatkan ligamentum rotundum ke
dinding perut atau dengan cara operasi Purandare.
2. Operasi Manchester
Pada operasi ini biasanya dilakukan amputasi serviks uteri
dan penjahitan ligamentum kardinale yang telah dipotong
di muka serviks.Tindakan ini dapat menyebabkan
infertilitas, abortus, partus prematurus, dan distosia
servikalis pada persalinan. Bagian yang penting pada

13
operasi ialah penjahitan ligamentum kardinale di depan
serviks karena dengan tindakan ini ligamentum kardinale
diperpendek sehingga uterus akan terletak dalam posisi
anteversifleksi dan tururnya uterus dapat dicegah.
3. Histerektomi vaginal
Operasi ini tepat dilakukan pada prolapsus uteri dalam
tingkat lanjut dan pada wanita yang telah menopause.
Setelah uterus diangkat, puncak vagina digantungkan pada
ligamentum rotundum kanan kiri, atas pada ligamentum
infundibulo pelvikum, kemudian operasi akan dilanjutkan
dengan kolporafi anterior dan kolpoperineorafi untuk
mencegah prolaps vagina di kemudian hari.
4. Kolplokleisis (operasi Neugebauer-Le Fort)
Pada waktu obat-obat serta pemberian anestesi dan
perawatan pra/pasca operasi belum baik untuk wanita tua
yang seksual tidak aktif lagi dapat dilakukan operasi
sederhana dengan menjahitkan dinding vagina depan
dengan dinding belakang sehingga lumen vagina tertutup
dan uterus terletak diatas vagina. Akan tetapi, operasi ini
tidak menghilangkan keluhan stress inkontinensia dan
obstipasi serta keluhan prolaps lainnya juga tidak hilang.

10. Prolapsus Uteri dalam Kehamilan[9]


Kalau uterus dengan prolapsus parsialis menjadi hamil maka
biasanya uterus yang membesar itu keluar dari rongga kecil dan terus
tumbuh dalam rongga perut.Kalau uterus naik maka serviks ikut tertarik
keatas sehingga prolaps tidak tampak lagi atau berkurang.
Jika ada prolaps dalam kehamilan maka baiknya uterus ditahan
dengan pessarium sampai bulan keempat, kalau dasar panggul terlalu
lemah sehingga pessarium terus jatuh maka pasien dianjurkan istirahat
tirah baring sampai bulan keempat.Istirahat dapat mengurangi penderitaan

14
wanita dan memungkinkan uterus tumbuh secara wajar sampai kehamilan
mencapai cukup bulan.

B. Dehissensi Comissura Posterior


1. Anatomi dan Fisilogi Kulit
a. Anatomi Kulit
Kulit merupakan organ tubuh paling besar yang melapisi seluruh
bagian tubuh, membungkus daging dan organ-organ yang ada di
dalamnya. Seluruh kulit beratnya sekitar 16 % berat tubuh. Pada orang
dewasa sekitar 2,7 – 3,6 kg dan luasnya sekitar 1,5 – 1,9 meter
persegi. Tebalnya kulit bervariasi mulai 0,5 mm sampai 6 mm
tergantung dari letak, umur dan jenis kelamin. Kulit tipis terletak pada
kelopak mata, penis, labium minus dan kulit bagian medial lengan
atas. Sedangkan kulit tebal terdapat pada telapak tangan, telapak kaki,
punggung, bahu (Branon, 2007).

Gambar 1. Anatomi Kulit (Branon, 2007)

15
1) Lapisan Kulit
Kulit terdiri dari tiga lapis yaitu epidermis sebagai lapisan yang
paling luar, dermis dan hypodermis atau subkutis yang merupakan
jaringan penyambung di bawah kulit(Branon, 2007).
a) Epidermis
Epidermis adalah lapisan luar kulit yang tipis dan avaskuler.
Terdiri dari epitel berlapis gepeng bertanduk, mengandung sel
melanosit,langerhans dan merkel. Tebal epidermis berbeda-beda
pada berbagai tempat di tubuh, paling tebal pada telapak tangan dan
kaki. Ketebalan epidermis hanya sekitar 5 % dari seluruh ketebalan
kulit. Pada epidermis terjadi regenerasi setiap 4-6 minggu(Branon,
2007; Amirlak, 2008).
Fungsi epidermis antara lain proteksi barier, organisasi sel,
sintesis vitamin D dan sitokin, pembelahan dan mobilisasi sel,
pigmentasi (melanosit) dan pengenalan alergen (sel langerhans).
Epidermis terdiri atas lima lapisan :1). Stratum korneum, terdiri dari
sel keratinosit yang bisa mengelupas dan berganti. (2). Stratum
lusidum, berupa garis translusen, biasanya terdapat pada kulit tebal
telapak kaki dan telapak tangan,tidak tampak pada kulit tipis (3).
Stratum granulosum, ditandai oleh 3-5 lapis sel polygonal gepeng
yang intinya ditengah dan sitoplasma terisi oleh granula basofilik
kasar yang dinamakan granula keratohialin yang mengandung
protein kaya akan histidin (4). Stratum spinosum, terdapat berkas-
berkas filamen yang dinamakan tonofibril, dianggap filamen-filamen
tersebut memegang peranan penting untuk mempertahankan kohesi
sel dan melindungi terhadap efek abrasi. Epidermis pada tempat
yang terus mengalami gesekan dan tekanan mempunyai stratum
spinosum dengan lebih banyak tonofibril. Stratum basale dan stratum
spinosum disebut sebagai lapisan malphigi (5). Stratum basale
(Stratum Germinativum) Terdapat aktifitas mitosis yang hebat dan

16
bertanggung jawab dalam pembaharuan sel epidermis secara
konstan. Epidermis diperbaharui setiap 28 hari untuk migrasi ke
permukaan, hal ini tergantung letak, usia dan faktor lain(Branon,
2007; Amirlak, 2008).

Gambar 2. Lapisan Epidermis (Amirlak, 2008)

b) Dermis
Dermis merupakan bagian yang paling penting di kulit yang
sering dianggap sebagai “True Skin”. Terdiri atas jaringan ikat yang
menyokong epidermis dan menghubungkannya dengan jaringan
subkutis. Tebalnya bervariasi, yang paling tebal terdapat pada
telapak kaki sekitar 3 mm. Dermis terdiri dari dua lapisan :(1)
Lapisan papiler, tipis mengandung jaringan ikat jarang. (2) Lapisan
retikuler, tebal terdiri dari jaringan ikat padat (Amirlak, 2008).
Pada dasarnya dermis terdiri atas sekumpulan serat-serat
elastis yang dapat membuat kulit berkerut akan kembali ke bentuk
semula dan serat protein ini yang disebut kolagen. Serat-serat
kolagen inidisebut juga jaringan penunjang, karena fungsinya dalam
membentuk jaringan-jaringan kulit yang menjaga kekeringan dan
kelenturan kulit. Serabut-serabut kolagen menebal dan sintesa
kolagen berkurang dengan bertambahnya usia. Serabut elastin
jumlahnya terus meningkat dan menebal, kandungan elastin kulit
manusia meningkat kira-kira 5 kali dari fetus sampai dewasa. Pada

17
usia lanjut kolagen saling bersilangan dalam jumlah besar dan
serabut elastin berkurang menyebabkan kulit terjadi kehilangan
kelemasannya dan tampak mempunyai banyak keriput(Branon, 2007;
Amirlak, 2008).
Dermis mempunyai banyak jaringan pembuluh darah. Dermis
juga mengandung beberapa derivat epidermis yaitu folikel rambut,
kelenjar sebasea dan kelenjar keringat. Kualitas kulit tergantung
banyak tidaknya derivat epidermis di dalam dermis (Branon, 2007).
Kelenjar keringat terdiri dari fundus (bagian yang melingkar)
dan duet yaitu saluran semacam pipa yang bermuara pada permukaan
kulit membentuk pori-pori keringat. Semua bagian tubuh dilengkapi
dengan kelenjar keringat dan lebih banyak terdapat dipermukaan
telapak tangan, telapak kaki, dahi dan di bawah ketiak. Kelenjar
keringat mengatur suhu badan dan membantu membuang sisa-sisa
pencernaan dari tubuh. Kegiatannya terutama dirangsang oleh panas,
latihan jasmani, emosi dan obat-obat tertentu. Ada dua jenis kelenjar
keringat yaitu Ekrindan Apokrin(Branon, 2007).
Kelenjar sebasea terletak pada bagian atas dermis berdekatan
dengan folikel rambut terdiri dari gelembung-gelembung kecil yang
bermuara ke dalam kandung rambut (folikel). Folikel rambut
mengeluarkan lemak yang meminyaki kulit dan menjaga kelunakan
rambut.

18
Gambar 3. Lapisan Dermis
Kelenjar sebasea membentuk sebum, terkecuali pada telapak
tangan dan telapak kaki, kelenjar sebasea terdapat di semua bagian
tubuh terutama pada bagian muka.Pada umumnya, satu batang
rambut hanya mempunyai satu kelenjar sebasea yang bermuara pada
saluran folikel rambut (Amirlak, 2008).
Fungsi dermis antara lain sebagai struktur penunjang,
mechanical strength, suplai nutrisi, menahan shearing forces dan
respon inflamasi (Amirlak, 2007).
c) Hypodermis atau Subkutis
Lapisan ini merupakan lapisan di bawah dermis atau
hipodermis yang terdiri dari lapisan lemak. Pada lapisan ini terdapat
jaringan ikat yang menghubungkan kulit secara longgar dengan
jaringan di bawahnya. Jumlah dan ukurannya berbeda-beda menurut
daerah di tubuh dan keadaan nutrisi individu. Subkutis berfungsi
menunjang suplai darah ke lapisan dermis untuk regenerasi.Fungsi
subkutis / hipodermis antara lain untuk melekatkan kulit ke struktur
dasar, isolasi panas, cadangan kalori, kontrol bentuk tubuh dan
mechanical shock absorber(Branon, 2007; Amirlak, 2008).
2) Vaskularisasi Kulit
Arteri yang memberi nutrisi pada kulit membentuk pleksus terletak
antara lapisan papiler dan retikuler dermis dan selain itu antara dermis dan
jaringan subkutis. Cabang kecil meninggalkan pleksus ini memperdarahi
papilla dermis, tiap papilla dermis punya satu arteri asenden dan satu
cabang vena. Pada epidermis tidak terdapat pembuluh darah tapi mendapat
nutrient dari dermis melalui membran epidermis. Vaskularisasi dikulit
diatur oleh 2 pleksus, yaitu pleksus superfisialis dan pleksus
profunda(Branon, 2007; Amirlak, 2008).

19
b. Fisiologi Kulit
Kulit merupakan organ yang berfungsi sangat penting bagi tubuh
diantaranya adalah memungkinkan bertahan dalam berbagai kondisi
lingkungan, sebagai barier infeksi, mengontrol suhu tubuh (termoregulasi),
sensasi, eskresi dan metabolisme (Branon, 2007).
1) Pelindung atau proteksi
Epidermis terutama lapisan tanduk berguna untuk menutupi jaringan
tubuh di sebelah dalam dan melindungi tubuh dari pengaruh-
pengaruh luar seperti luka dan serangan kuman (Branon, 2007).
Lapisan paling luar epidermis diselubungi lapisan tipis lemak yang
menjadikan kulit tahan air. Kulit dapat menahan suhu tubuh,
menahan luka-luka kecil, mencegah zat kimia dan bakteri masuk ke
dalam tubuh serta menghalau rangsang-rangsang fisik seperti sinar
ultraviolet dari matahari.
2) Penerima rangsang
Kulit sangat peka terhadap berbagai rangsang sensorik yang
berhubungan dengan nyeri, suhu panas atau dingin, tekanan, rabaan,
dan getaran. Kulit sebagai alat perasa dirasakan melalui ujung-ujung
saraf sensasi.
3) Pengatur panas atau thermoregulasi
Kulit mengatur suhu tubuh melalui dilatasi dan konstruksi pembuluh
kapiler serta melalui respirasi yang keduanya dipengaruhi saraf
otonom. Tubuh yang sehat memiliki suhu tetap sekitar 36,5ºC.
Ketika terjadi perubahan suhu luar, darah dan kelenjar keringat kulit
mengadakan penyesuaian seperlunya dalam fungsinya masing-
masing.
4) Pengeluaran (ekskresi)
Kulit mengeluarkan zat-zat tertentu yaitu keringat dari kelenjar
keringat yang dikeluarkan melalui pori-pori keringat dengan
membawa garam, yodium dan zat kimia lainnya. Air yang

20
dikeluarkan melalui kulit tidak saja disalurkan melalui keringat tetapi
juga melalui penguapan air transepidermis sebagai pembentukan
keringat yang tidak disadari.
5) Penyimpanan: Kulit menyimpan lemak di dalam kelenjar lemak.
6) Penyerapan terbatas
Kulit dapat menyerap zat-zat tertentu, terutama zat-zat yang larut
dalam lemak dapat diserap ke dalam kulit. Hormon yang terdapat
pada krim muka dapat masuk melalui kulit dan mempengaruhi
lapisan kulit pada tingkatan yang sangat tipis(Branon, 2007;
Amirlak, 2008). Penyerapan terjadi melalui muara kandung rambut
dan masuk ke dalam saluran kelenjar palit, merembes melalui
dinding pembuluh darah ke dalam peredaran darah kemudian ke
berbagai organ tubuh lainnya.

2. Luka dan Penyembuhan Luka


a. Luka
Luka adalah rusaknya struktur dan fungsi anatomis kulit normal akibat
proses patologis yang berasal dari internal maupun eksternal dan mengenai
organ tertentu. Keadaan ini dapat disebabkan oleh trauma tajam atau tumpul,
perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik atau animal bite(Sinaga,
2009).
Ada beberapa penggolongan klasifikasi luka. Namun yang umum
dipakaiadalah sebagai berikut :
1) Berdasarkan waktu terjadinya
(a) Luka Akut
Luka akut merupakan luka yang biasanya segera mendapat
penanganan dan biasanya dapat sembuh dengan baik bila tidak
terjadi komplikasi. Kriteria luka akut adalah luka baru, mendadak
dan penyembuhannya sesuai dengan waktu yang diperkirakan.
Sebagai contoh pada luka sayat, luka bakar, luka tusuk dan crush
injury. Luka operasi juga dapat dianggap sebagai luka akut yang

21
dibuat oleh ahli bedah. Contoh pada luka jahit danskin
grafting(Sinaga, 2009; Yadi, 2008).
(b) Luka Kronik
Luka kronik merupakan luka yang berlangsung lama atau sering
timbul kembali (recurrent), dimana terjadi gangguan pada proses
penyembuhan yang biasanya disebabkan oleh masalah multifaktor
dari penderita. Pada luka kronik terjadi luka yang gagal sembuh
pada waktu yang diperkirakan, tidak berespon baik terhadap terapi
dan mempunyai kemungkinan untuk timbul kembali. Contoh pada
ulkus dekubitus, ulkus diabetik, ulkus venosus, luka bakar dan lain
sebagainya (Sinaga, 2009; Yadi, 2008).
2) Berdasarkan kedalaman luka
(a) Stadium I : Luka Superfisial atau Non-Blanching Erithema :
yaitu luka yang terjadi pada lapisan epidermis kulit.
(b) Stadium II : Luka Partial Thickness : yaitu hilangnya lapisan kulit
pada lapisan epidermis dan bagian atas dari dermis. Merupakan
luka superficial ditambah dengan adanya tanda klinis seperti
abrasi, blister atau lubang yang dangkal.
(c) Stadium III : Luka Full Thickness : yaitu hilangnya kulit secara
keseluruhan meliputi kerusakan atau nekrosis jaringan subkutan
yang dapat meluas sampai bawah tetapi tidak melewati jaringan
yang mendasarinya. Luka yang terjadi mengenai lapisan epidermis,
dermis dan fasia tetapi tidak mengenai otot. Luka timbul secara
klinis sebagai suatu lubang yang dalam dengan atau tanpa merusak
jaringan sekitarnya.
(d) Stadium IV : Luka Full Thickness yang telah mencapai lapisan
otot, tendon dan tulang dengan adanya destruksi atau kerusakan
yang luas (Sinaga, 2009; Tawi, 2008).
3) Berdasarkan tingkat kontaminasi
Clean Wounds (Luka bersih), yaitu luka bedah tak terinfeksi yang
mana tidak terjadi proses peradangan dan infeksi pada sistem pernafasan,

22
pencernaan, genital dan urinari tidak terjadi (Hidayat, 2007). Luka bersih
biasanya menghasilkan luka yang tertutup; jika
(a) diperlukan dimasukkan drainase tertutup. Kemungkinan terjadinya
infeksi luka sekitar 1% – 5%.
(b) Clean-contamined Wounds (Luka bersih terkontaminasi), yaitu
luka pembedahan dimana saluran respirasi, pencernaan, genital
atau perkemihan dalam kondisi terkontrol, kontaminasi tidak selalu
terjadi, kemungkinan timbulnya infeksi luka adalah 3% – 11%.
(c) Contamined Wounds (luka terkontaminasi), termasuk luka terbuka,
fresh, luka akibat kecelakaan dan operasi dengan kerusakan besar
dengan teknik aseptik atau kontaminasi dari saluran cerna; pada
kategori ini juga termasuk insisi akut, inflamasi non-purulen.
Kemungkinan infeksi luka 10% – 17%.
(d) Dirty or Infected Wounds (Luka kotor atau infeksi), yaitu
terdapatnya mikroorganisme pada luka (Hidayat, 2007).
4) Berdasarkan Mekanisme terjadinya
(a) Luka insisi (Incised Wound), terjadi karena teriris oleh instrument
yang tajam,misal yang terjadi akibat pembedahan.
(b) Luka memar (Contusion Wound), terjadi akibat benturan oleh suatu
tekanan dan dikarakteristikkan oleh cedera pada jaringan lunak,
perdarahan dan bengkak.
(c) Luka lecet (Abraded Wound), terjadi akibat kulit bergesekan
dengan benda lain yang biasanya dengan benda yang tidak tajam.
(d) Luka tusuk (Punctured Wound), terjadi akibat adanya benda,
seperti pisau yang masuk ke dalam kulit dengan diameter yang
kecil.
(e) Luka gores (Lacerated Wound), terjadi akibat benda yang tajam
seperti oleh kaca atau oleh kawat.
(f) Luka tembus (Penetrating Wound), yaitu luka yang menembus
organ tubuh biasanya pada bagian awal luka masuk diameternya
kecil tetapi pada bagian ujung biasanya lukanya akan melebar.

23
(g) Luka bakar (Combustio), yaitu luka akibat terkena suhu panas
seperti api, matahari, listrik, maupun bahan kimia (Hidayat, 2007).

b. Penyembuhan Luka
Penyembuhan luka merupakan suatu proses yang kompleks karena
berbagai kegiatan bio-seluler, bio-kimia terjadi berkesinambungan.
Penggabungan respons vaskuler, aktivitas seluler dan terbentuknya bahan
kimia sebagai substansi mediator di daerah luka merupakan komponen yang
saling terkait pada proses penyembuhan luka. Proses ini berlangsung dinamis
melibatkan mediator cair, sel darah, matriks ekstraseluler, serta sel-sel
parenkim. Proses penyembuhan luka secara umum terdiri atas tiga fase yaitu
inflamasi, pembentukan jaringan atau proliferasi dan maturasi atau remodeling
(Tawi, 2008; Yadi, 2005).
1) Inflamasi
Inflamasi merupakan tahap pertama penyembuhan luka. Fase ini
dimulai sejak terjadinya luka dan berlangsung selama 3 sampai 7 hari.
Fase inflamasi secara klinis ditandai dengan cardinal sign: kemerahan
karena kapiler melebar (rubor), suhu hangat (kalor), rasa nyeri (dolor), dan
pembengkakan (tumor) serta function laesa(Anonim, 2008).
Setelah terjadinya luka jaringan pembuluh darah segera mengalami
vasokonstriksi disertai reaksi hemostasis karena agregasi trombosit yang
bersama jala fibrin membekukan darah. Komponen hemostasis ini akan
melepaskan dan mengaktifkan sitokin yang meliputi Epidermal Growth
Factor (EGF), Insulin-like Growth Factor (IGF), Plateled-derived Growth
Factor (PDGF) dan Transforming Growth Factor beta (TGF-β) yang
berperan untuk terjadinya kemotaksis neutrofil, makrofag, sel mast, sel
endotelial dan fibroblas. Pada fase ini kemudian terjadi vasodilatasi dan
akumulasi lekosit Polymorphonuclear (PMN). Agregat trombosit akan
mengeluarkan mediator inflamasi Transforming Growth Factor beta 1
(TGF-β1) yang juga dikeluarkan oleh makrofag. Adanya TGF-β1 akan

24
mengaktivasi fibroblas untuk mensintesis kolagen(Yadi, 2005; Braz, 2007;
Baxter, 2003).
Faktor apapun yang mengganggu proses ini akan memperlambat
penyembuhan luka. Selama fase inflamasi akut, jaringan tidak akan
memperoleh kekuatan regangan yang cukup tetapi tergantung pada
pendekatan tepi luka (Braz et al, 2007).

Gambar 4. Fase Inflamasi


(Ismail, 2008)

2) Proliferasi
Fase proliferasi penyembuhan luka dimulai kira-kira 2-3 hari setelah
terjadinya luka, ditandai dengan munculnya fibroblast. Proses kegiatan
seluler yang penting pada fase ini adalah memperbaiki dan
menyembuhkan luka dan ditandai dengan proliferasi sel. Tahap proliferasi
ini disebut juga fase fibroplasias karena yang menonjol adalah proses
proliferasi fibroblast. Peran fibroblas sangat besar pada proses perbaikan,
yaitu bertanggung jawab pada persiapan menghasilkan produk struktur
protein yang akan digunakan selama proses rekonstruksi jaringan
(Sjamsudidajat, 2005; Tawi, 2008).
Sesudah terjadi luka, fibroblas akan aktif bergerak dari jaringan
sekitar luka ke dalam daerah luka, kemudian akan berkembang serta
mengeluarkan beberapa substansi seperti kolagen, elastin, asam
hyaluronic, fibronectin dan proteoglycans yang berperan dalam
rekonstruksi jaringan baru (Tawi, 2008).

25
Kolagen yang merupakan substansi protein adalah konstituen utama
dari jaringan ikat. Pembentukan serat kolagen menentukan kekuatan
regangan dan kelenturan penyembuhan luka. Fungsi kolagen yang lebih
spesifik adalah membentuk cikal bakal jaringan baru (Tawi, 2008; Braz et
al, 2007).
Sejumlah sel dan pembuluh darah baru yang tertanam di dalam
jaringan baru tersebut disebut sebagai jaringan granulasi, sedangkan
proses proliferasi fibroblas dengan aktifitas sintetiknya disebut fibroblasia.
Respons yang dilakukan fibroblas terhadap proses fibroplasia adalah:
proliferasi, migrasi, deposit jaringan matriks dan kontraksi luka (Tawi,
2008).
Ketika serat kolagen terisi dengan pembuluh darah baru, jaringan
granulasi akan menjadi terang dan merah. Bantalan kapiler tebal yang
mengisi matriks akan memberikan suplai nutrien dan oksigen yang
dibutuhkan untuk penyembuhan luka. Fase ini terjadi setelah hari ketiga.
Kolagen ini kemudian akan berada diantara luka dan akan memberikan
tekanan normal. Lamanya fase ini bervariasi berdasarkan tipe jaringan
yang terlibat dan tekanan atau tegangan yang diberikan luka selama
periode ini (Sjamsudidajat, 2005; Braz et al, 2007).
Angiogenesis atau proses pembentukan pembuluh kapiler baru
didalam luka juga mempunyai arti penting pada tahap proliferasi proses
penyembuhan luka. Kegagalan vaskuler akibat penyakit misalnya diabetes,
radiasi atau penggunaan preparat steroid dalam jangka waktuyang lama
mengakibatkan lambatnya proses penyembuhan luka. Jaringan vaskuler
yang melakukan invasi kedalam luka merupakan suatu respons untuk
memberikan oksigen dan nutrisi yang cukup di daerah luka karena pada
daerah luka terdapat keadaan hipoksik dan turunnya tekanan oksigen. Pada
fase ini fibroplasia dan angiogenesis merupakan proses terintegrasi dan
dipengaruhi oleh substansi yang dikeluarkan oleh platelet dan makrofag
(Tawi, 2008; Braz et al, 2007).

26
Proses selanjutnya adalah epitelisasi, dimana fibroblas
mengeluarkan keratinocyte growth factor (KGF) yang berperan dalam
stimulasi mitosis sel epidermal. Keratinisasi akan dimulai dari pinggir luka
dan akhirnya membentuk barrier yang menutupi permukaan luka. Dengan
sintesa kolagen oleh fibroblas, pembentukan lapisan dermis ini akan
disempurnakan kualitasnya dengan mengatur keseimbangan jaringan
granulasi dan dermis. Untuk membantu jaringan baru tersebut menutup
luka, fibroblas akan merubah strukturnya menjadi myofibroblast yang
mempunyai kapasitas melakukan kontraksi pada jaringan. Fungsi
kontraksi akan lebih menonjol pada luka dengan defek luas dibandingkan
dengan defek luka minimal (Tawi, 2008; Braz et al, 2007).
Kontraksi luka adalah proses yang mendorong tepi luka bersama
untuk penutupan luka. Hal ini akan mengurangi area yang terbuka dan jika
berhasil akan menghasilkan luka yang kecil. Kontraksi luka akan sangat
menguntungkan pada penutupan luka pada area-area seperti glutea dan
trokanter, tetapi akan membahayakan pada area seperti tangan atau sekitar
leher dan wajah dimana hal ini akan menyebabkan kelainan bentuk dan
jaringan parut berlebihan. Luka operasi yang ditutup secara perprimum
memiliki respon kontraksi yang minimal. Graft kulit digunakan untuk
menurunkan kontraksi pada lokasi yang tidak diinginkan (Braz et al,
2007).
Fase proliferasi akan berakhir jika epitel dermis dan lapisan kolagen
telah terbentuk, terlihat proses kontraksi dan akan dipercepat oleh berbagai
growth factor yang dibentuk oleh makrofag dan platelet (Tawi, 2008).

27
Gambar 5. Fase Proliferasi (Ismail, 2008)
3) Remodelling
Pada fase ini terjadi proses pematangan yang terdiri atas penyerapan
kembali jaringan yang berlebih, pengerutan sesuai dengan gaya gravitasi
dan akhirnya kembali jaringan yang baru terbentuk. Fase ini dimulai pada
minggu ke-3 setelah perlukaan dan berakhir sampai kurang lebih 12 bulan.
Tujuan dari fase ini adalah menyempurnakan terbentuknya jaringan baru
menjadi jaringan penyembuhan yang kuat dan bermutu (Sjamsudidajat,
2005).
Ketika deposisi kolagen selesai, fibroblas sudah mulai
meninggalkan jaringan grunalasi, pembuluh darah pada luka akan
berangsur-angsur menurun dan kemerahan dari jaringan mulai berkurang
sehingga permukaannya akan menjadi lebih pucat dan serat fibrin dari
kolagen bertambah banyak untuk memperkuat jaringan parut. Jumlah
kolagen yang terbentuk bergantung pada volume awal jaringan granulasi
(Braz et al, 2007).
Kekuatan dari jaringan parut akan mencapai puncaknya pada
minggu ke-10 setelah perlukaan. Sintesa kolagen yang telah dimulai sejak
fase proliferasi akan dilanjutkan pada fase maturasi atau remodelling.
Selain pembentukan kolagen juga akan terjadi pemecahan kolagen oleh
enzim kolagenase. Kolagen muda (gelatinous collagen) yang terbentuk
pada fase proliferasi akan berubah menjadi kolagen yang lebih matang,
yaitu lebih kuat dan struktur yang lebih baik pada fase remodeling (Tawi,
2008).
Untuk mencapai penyembuhan yang optimal diperlukan
keseimbangan antara kolagen yang diproduksi dengan yang dipecahkan.
Kolagen yang berlebihan akan terjadi penebalan jaringan parut atau
hypertrophic scar, sebaliknya produksi yang berkurang akan menurunkan
kekuatan jaringan parut dan luka akan selalu terbuka. Luka dikatakan
sembuh jika terjadi kontinuitas lapisan kulit dan kekuatan jaringan kulit

28
mampu atau tidak mengganggu untuk melakukan aktivitas yang normal
(Tawi, 2008; Braz et al, 2007).

Gambar 6. Fase Remodelling (Ismail, 2008)

Gambar 7. penyembuhan luka (Braz et al, 2007)

Penyembuhan luka kulit tanpa pertolongan dari luar seperti yang telah
diterangkan tadi, berjalan secara alami. Penyembuhan ini disebut
penyembuhan sekunder. Cara ini biasanya membutuhkan waktu yang lama

29
dan meninggalkan parut yang kurang baik, terutama jika lukanya terbuka
lebar. Dalam penatalaksanaan bedah terdapat 3 bentuk penyembuhan luka,
yaitu penyembuhan melalui intensi pertama, kedua, atau ketiga (Sinaga,
2009).
(a) Penyembuhan melalui Intensi Pertama (Penyatuan Primer). Luka
dibuat secara aseptik, dengan kerusakan jaringan minimum, dan
penutupan dengan baik, seperti dengan suture atau proses penjahitan
untuk mentautkan luka, sembuh dengan sedikit reaksi jaringan melalui
intensi pertama. Ketika luka sembuh melalui intensi pertama, jaringan
granulasi tidak tampak dan pembentukan jaringan parut minimal.
(b) Penyembuhan melalui Intensi Kedua (Granulasi). Pada luka dimana
terjadi pembentukan pus (supurasi) atau dimana tepi luka tidak saling
merapat, proses perbaikannya kurang sederhana dan membutuhkan waktu
lebih lama.
(c) Penyembuhan melalui Intensi Ketiga (Suture Sekunder). Jika luka dalam,
baik yang belum dijahit atau terlepas dan kemudian dijahit kembali
nantinya, dua permukaan granulasi yang berlawanan disambungkan. Hal
ini mengakibatkan jaringan parut yang lebih dalam dan luas (Sinaga,
2009).

30
Gambar 8. Jenis Penyembuhan Luka (Sinaga, 2009)

Faktor – faktor yang berpengaruh terhadap proses penyembuhan luka


terbagi menjadi faktor eksternal dan faktor internal. Faktor – faktor eksternal
yang mempengaruhi penyembuhan luka antara lain :
(a) Lingkungan
Dukungan dari lingkungan keluarga, dimana pasien akan merasa
mendapatkan perlindungan dan dukungan serta nasihat – nasihat
khususnya untuk merawat kebersihan pasca terjadinya luka atau
pembedahan.
(b) Tradisi
Di Indonesia ramuan peninggalan nenek moyang untuk perawatan pasca
bedah atau penyembuhan luka masih banyak digunakan, meskipun oleh
kalangan masyarakat modern.
(c) Pengetahuan
Pengetahuan pasien dan keluarga tentang perawatan pasca bedah atau
perlukaan sangat menentukan lama penyembuhan luka. Apabila
pengetahuantentang masalah kebersihan kurang maka penyembuhan
lukapun akan berlangsung lama.
(d) Sosial ekonomi
Pengaruh dari kondisi sosial ekonomi dengan lama penyembuhan luka
adalah keadaan fisik dan mental pasien dalam melakukan aktifitas sehari-
hari pasca pembedahan. Jika tingkat sosial ekonomi rendah, bisa jadi
penyembuhan luka berlangsung lama karena timbulnya rasa malas dalam
merawat diri.
(e) Penanganan petugas
Pada terjadinya luka atau pasca pembedahan, pembersihannya harus
dilakukan dengan tepat oleh penangan petugas kesehatan, hal ini
merupakan salah satu penyebab yang dapat menentukan lama
penyembuhan luka.
(f) Gizi

31
Asupan gizi yang cukup dan baik,makanan yang bergizi dan sesuai porsi
akan mempercepat masa penyembuhan luka (Hidyat, 2007; Sinaga,
2009).

Sedangkan faktor – faktor internal yang berpengaruh terhadap proses


penyembuhan luka dapat digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu faktor
lokal, faktor sistemik dan faktor tekhnik (Yadi, 2005).
1. Faktor Lokal
a. Iskemia : kurangnya suplai darah ke jaringan luka dapat berupa tidak
adekuatnya aliran darah ke jaringan luka misalnya akibat ligasi,
peripheral vascular disease, atau hipotensi generalisata, dapat pula
karena sudah ada jaringan nekrotik pada tepi luka sebelumnya,
penutupan luka yang terlalu rapat sehingga merusak kapiler pada tepi
luka, atau regangan yang kuat sehingga mengganggu merapatnya
kontraksi luka.
b. Ketegangan luka : Ketegangan dalam penjahitan juga hendaknya
diperhatikan, terlalu tegang dapat menyebabkan iskemia. Jika terlalu
longgar juga dapat menyebabkan terjadinya dead space .
c. Infeksi : adanya dead space menyebabkan terkumpulnya darah dan
cairan serous lainnya menjadi media yang baik untuk bakteri sehingga
terjadi infeksi.
d. Trauma lokal : adanya trauma lokal misalnya benturan dapat
menyebakan kerusakan jaringan pada bekas operasi dan menyebabkan
iskemia lokal atau total.
e. Penyakit kronik jaringan : keadaan seperti limfadenopati kronik,
iskemia kronik, hipertensi dan jaringan parut yang luas dapat
menyebabkan penyembuhan luka yang buruk.
f. Radiasi : radiasi sebelum atau sesudah operasi dapat menyebaban
buruknya penyembuhan luka operasi karena terjadinya fibrosis dan
mikroangiopati (Anonim, 2008; Baxter, 2003; Yadi, 2005).
2. Faktor sistemik

32
Faktor-faktor sistemik seperti usia, diabetes, gagal ginjal, anemia,
hipoksia atau syok hipovolemia, kekurangan nutrisi, keganasan dan
penggunaan steroid jangka panjang dapat menyebabkan kegagalan sintesis
kolagen dan terganggunya fungsi imun sehingga menimbulkan gangguan
pada penyembuhan luka (Anonim, 2008).
3. Faktor teknik
Tindakan asepsis sebelum operasi dan pemberian antibiotic
profilaksis dapat berpengaruh pada penyembuhan luka pasca operasi.
Selain itu tekhnik operasi dan perawatan luka juga sangat berpengaruh
terhadap penyembuhan luka operasi (Yadi, 2005).
Sejumlah komplikasi dapat terjadi selama proses penyembuhan luka.
Komplikasi tersebut dapat disebabkan oleh proses yang mendasari, penyakit
yang diderita, kondisi gizi dan kesalahan teknik operasi atau terapi yang tidak
adekuat, antara lain:
1. Infeksi
Invasi bakteri pada luka dapat terjadi pada saat trauma, selama
pembedahan atau setelah pembedahan. Gejala muncul 2 – 7 hari setelah
pembedahan,antara lain adanya sekret purulent, peningkatan drainase,
nyeri, kemerahan dan bengkak di sekeliling luka, peningkatan suhu, dan
peningkatan jumlah sel darah putih (Anonim, 2008; Ismail, 2008).
2. Perdarahan
Perdarahan dapat menunjukkan adanya suatu pelepasan jahitan,
adanya gangguan faktor pembekuan pada daerah jahitan, infeksi, atau erosi
dari pembuluh darah oleh benda asing (seperti drain). Tanda-tanda
hipovolemia tidak langsung terlihat saat terjadi perdarahan. Jika
perdarahan terjadi terus menerus, penambahan tekanan balutan luka steril ,
pemberian cairan dan intervensi pembedahan mungkin diperlukan
(Anonim, 2008; Ismail, 2008).
3. Dehiscence dan Eviscerasi
Dehiscence dan eviscerasi adalah komplikasi operasi yang paling
serius. Dehisensi adalah terbukanya lapisan luka partial atau total.

33
Sedangkan eviscerasi adalah keluarnya isidi bawah jahitan luka melalui
daerah irisan. Biasanya didahului oleh infeksi, selain itu sejumlah faktor
meliputi kegemukan, kurang nutrisi, multiple trauma, batuk yang
berlebihan, muntah, dan dehidrasi mempertinggi resiko terjadinya
dehisensi luka. Dehisensi luka dapat terjadi 4 – 5 hari setelah operasi
sebelum kolagen meluas di daerah luka(Sjamsudidajat R, 2005).
B. Dehisensi Luka

1. Definisi
Dehisensi luka adalah salah satu komplikasi dari proses
penyembuhan luka yang didefinisikan sebagai keadaan dimana terbukanya
kembali sebagian atau seluruhnya luka operasi. Keadaan ini sebagai akibat
kegagalan proses penyembuhan luka operasi (Baxter, 2003; Spiolitis,
2009)
2. Klasifikasi
Berdasarkan waktu terjadinya dehisensi luka operasi dapat dibagi
menjadi dua:
a. Dehisensi luka operasi dini : terjadi kurang dari 3hari pasca operasi
yang biasanya disebabkan oleh teknik atau cara penutupan dinding
perut yang tidak baik.
b. Dehisensi luka operasi lambat : terjadi kurang lebih antara 7 hari
sampai 12 hari pasca operasi. Pada keadaan ini biasanya dihubungkan
dengan usia, adanya infeksi, status gizi dan faktor lainnya (Anonim,
2008; Sjamsudidajat R,2005).

3. Manifestasi Klinik
Dehisensi luka seringkaliterjadi tanpa gejala khas, biasanya
penderita sering merasa ada jaringan dari dalamrongga abdomen yang
bergerak keluar disertai keluarnya cairan serous berwarnamerah muda dari
luka operasi (85% kasus). Pada pemeriksaan didapatkan luka operasi yang
terbuka. Terdapat pula tanda-tanda infeksi umum seperti adanya rasa

34
nyeri, edema dan hiperemis pada daerah sekitar luka operasi, dapat pula
terjadi pus atau nanah yang keluar dari luka operasi (Anonim, 2008;
Sjamsudidajat R,2005).
Biasanya dehisensi luka operasi didahului oleh infeksi yang secara
klinis terjadi pada hari keempat hingga sembilan pascaoperasi. Penderita
datang dengan klinis febris, hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan
jumlah leukosit yang sangat tinggi dan pemeriksaan jaringan di sekitar
luka operasi didapatkan reaksi radang berupa kemerahan, hangat,
pembengkakan, nyeri, fluktuasi dan pus (Afzal,2008; Spioloitis et al,
2009).

4. Etiologi
Faktor penyebab dehisensi luka operasi berdasarkan mekanisme
kerjanya dibedakan atas tiga yaitu:
a. Faktor mekanik : Adanya tekanan dapat menyebabkan jahitan jaringan
semakin meregang dan mempengaruhi penyembuhan luka operasi.
Faktor mekanik tersebut antara lain batuk-batuk yang berlebihan, ileus
obstruktif dan hematom serta teknik operasi yang kurang.
b. Faktor metabolik : Hipoalbuminemia, diabetes mellitus, anemia,
gangguan keseimbangan elektrolit serta defisiensi vitamin dapat
mempengaruhi proses penyembuhan luka.
c. Faktor infeksi
Semua faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi luka
operasi akan meningkatkan terjadinya dehisensi luka operasi. Secara
klinis biasanya terjadi pada hari ke 6 - 9 pasca operasi dengan gejala
suhu badan yang meningkat disertai tanda peradangan disekitar luka.
Menurut National Nosocomial Infection Surveilance System,
luka operasi dibedakan menjadi luka bersih, bersih terkontaminasi,
terkontaminasi dan kotor. Infeksi luka jahitan yang terjadi dini ditandai
dengan peningkatan temperature dan terjadinya selulitis dalam waktu
48 jam setelah penjahitan. Dehisensi luka operasi akan segera terjadi

35
jika infeksi tidak diatasi. Infeksi dini seringkali disebabkan
olehStreptococcus β-haemolyticus. Sedangkan pada infeksi lanjut
seringkali tidak disertai peningkatan temperatur dan pembentukan pus,
dan terutama disebabkan oleh Staphilococcus aureus(Webster et al,
2003; Afzal,2008; Spioloitis et al, 2009).

5. Faktor Resiko
Faktor risiko terjadinya dehisensi luka dibedakan atas faktor
preoperasi yang berhubungan erat dengan kondisi dan karakteristik
penderita, faktor operasi yang berhubungan dengan jenis insisi dan tehnik
penjahitan, serta faktor pascaoperasi (Webster et al, 2003).
Faktor risiko pre-operasi meliputi jenis kelamin (laki-laki lebih
rentan dibandingkan wanita), usia lanjut (>50 tahun), operasi emergensi,
obesitas, diabetes mellitus, gagal ginjal, anemia, malnutrisi, terapi radiasi
dan kemoterapi, keganasan, sepsis, penyakit paru obstruktif serta
pemakaian preparat kortikosteroid jangka panjang (Afzal, 2008; Spiloitis
et al, 2009; Makela, 2005; Singh, 2009).
Faktor risiko operasi antara lain :
a. Jenis insisi : Tehnik insisi mediana lebih rentan untuk terbuka
daripada transversal dikarenakan arah insisinya yang non-anatomik,
sehingga arah kontraksi otot-otot dinding perut berlawanan dengan
arah insisi sehingga akan mereganggkan jahitan operasi.
b. Cara penjahitan : Pemilihan tehnik penutupan secara lapis demi lapis
juga berperan dalam terjadinya komplikasi ini. Tehnik ini di satu sisi
memiliki keuntungan yaitu mengurangi kemungkinan perlengketan
jaringan, namun di sisi lain mengurangi efektifitas dan kekuatannya
(Afzal, 2008; Spiloitis et al, 2009; Makela J, 2005).
c. Teknik penjahitan : teknik penjahitan terputus cenderung lebih aman
daripada teknik penjahitan kontinyu.
d. Jenis benang : Pemakaian benang chromic catgut juga dapat menjadi
suatu perhatian khusus, dikarenakan kecepatan penyerapannya oleh

36
tubuh sering kali tidak dapat diperkirakan (Afzal, 2008; Spiloitis et al,
2009; Makela J, 2005).

Sedangkan faktor-faktor pasca-operasi yang dapat meningkatkan


terjadinya dehisensi luka antara lain:
a. Peningkatan tekanan intraabdomen misalnya batuk, muntah, ileus dan
retensio urin. Tekanan intraabdominal yang tinggi akan menekan otot-
otot dinding abdomen sehingga akan teregang. Regangan otot dinding
abdomen inilah yang akan menyebabkan berkurangnya kekuatan
jahitan bahkan pada kasus yang berat akan menyebabkan putusnya
benang pada jahitan luka operasi dan keluarnya jaringan dalam rongga
abdomen.
b. Perawatan pascaoperasi yang tidak optimal
Perawatan luka pasca operasi yang tidak optimal memudahkan
terjadinya infeksi pada luka sehingga memudahkan pula terjadinya
dehisensi luka operasi.
c. Nutrisi pasca-operasi yang tidak adekuat. Asupan nutrisi yang tidak
adekuat terutama protein salah satunya akan menyebabkan
hipoalbuminemia, keadaan ini akan mengurangi sintesa kolagen yang
merupakan bahan dasar penyembuhan luka.Defisiensi tersebut akan
mempengaruhi proses fibroblasi dan kolagenisasi yangmerupakan
proses awal penyembuhan luka.
e. Terapi radiasi dan penggunaan obat anti-kanker: radiasi pasca operasi
dapat menyebaban buruknya penyembuhan luka operasi karena
terjadinya fibrosis dan mikroangiopati (Afzal, 2008; Spiloitis et al,
2009; Makela J, 2005).

6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dehisensi luka dibedakan menjadi penatalaksanaan
non operatif atau konservatif dan penatalaksanaan operatif tergantung atas
keadaan umum penderita.

37
1. Penanganan Non-operatif/ Konservatif
Penanganan non operatif diberikan kepada penderita yang sangat
tidak stabil dan tidak mengalami eviserasi. Hal ini dilakukan dengan
penderita berbaring di tempat tidur dan menutup luka operasi dengan kassa
steril atau pakaiankhusus steril. Penggunaan jahitan penguat abdominal
dapat dipertimbangkan untuk mengurangi perburukan luka operasi terbuka
(Anonim, 2008; Ismail, 2008).
Selain perawatan luka yang baik, diberikan nutrisi yang adekuat
untuk mempercepat penutupan kembali luka operasi. Diberikan pula
antibiotik yang memadai untuk mencegah perburukan dehisensi luka
(Singh, 2008; Ismail, 2008).
2. Penanganan Operatif
Penanganan operatif dilakukan pada sebagian besar penderita
dehisensi. Ada beberapa jenis operasi yang dilakukan pada dehisensi luka
yang dilakukan antara lain rehecting atau penjahitan ulang luka operasi
yang terbuka, mesh repair, vacuum pack, abdominal packing, dan Bogota
bag repair(Sukumar, 2004).
Jenis operasi rehecting atau penjahitan ulang paling sering
dilakukan hingga saat ini. Tindakan ini dilakukan pada pasien dengan
keadaan stabil, dan penyebab terbukanya luka operasi murni karena
kesalahan tekhnik penjahitan (Sukumar, 2004).
Pada luka yang sudah terkontaminasi dilakukan tindakan
debridement terlebih dahulu sebelum penutupan kembali luka operasi.
Dalam perencanaan jahitan ulangan perlu dilakukan pemeriksaan yang
baik seperti laboratorium lengkap dan foto throraks. Selain penjahitan
ulang dilakukan pula tindakan debridement pada luka (Spiloitis et al,
2009; Sjamsudidajat, 2005).
Tindakan awal yang dilakukan adalah eksplorasi melalui dehisensi
luka jahitan secara hati-hati dan memperlebar sayatan jahitan lalu
mengidentifikasi sumber terjadinya dehisensi jahitan. Tindakan eksplorasi
dilakukan dalam 48 ± 72 jam sejak diagnosis dehisensi luka operasi di

38
tegakan. Tehnik yang sering digunakan adalah dengan melepas jahitan
lama dan menjahit kembali luka operasi dengan cara satu lapisan
sekaligus. Pemberian antibiotik sebelum operasi dilakukan, membebaskan
omentum dan usus di sekitar luka. Penjahitan ulang luka operasi dilakukan
secara dalam, yaitu dengan menjahit seluruh lapisan abdomen menjadi
satu lapis. Pastikan mengambil jaringan cukup dalam dan hindari tekanan
berlebihan pada luka. Tutup kulit secara erat dan dapat dipertimbangkan
penggunaan drain luka intraabdominal. Jika terdapat tanda- tanda sepsis
akibat luka, buka kembali jahitan luka operasi dan lakukan perawatan luka
operasi secara terbuka dan pastikan kelembaban jaringan terjaga (Anonim,
2008; Ismail, 2008; Spiloitis, 2009).
Prinsip pemilihan benang untuk penjahitan ulang adalah benang
monofilament nonabsorbable yang besar. Penjahitan dengan tehnik
terputus sekurangnya 3 cm dari tepi luka dan jarak maksimal antar jahitan
3 cm, baik pada jahitan dalam ataupun pada kulit. Jahitan penguat dengan
karet atau tabung plastic lunak (5-6cm) dapat dipertimbangkan guna
mengurangi erosi pada kulit. Jangan mengikat terlalu erat,jahitan penguat
luar diangkat setidaknya setelah 3 minggu (Anonim, 2008; Ismail, 2008).
Selain rehecting, banyak tekhnik yang dilakukan untuk menutup
dehisensi luka secara sementara maupun permanen. Metode yang biasa
dilakukan antara lain mesh repair, yaitu penutupan luka dengan bahan
sintetis yaitu mesh yang berbentuk semacam kasa halus elastis yang
berfungsi sebagai pelapis pada jaringan yang terbuka tersebut dan bersifat
diserap oleh tubuh. Namun mesh repair menimbulkan angka komplikasi
yang cukup tinggi. Dilaporkan terdapat sekitar 80% pasien dengan mesh
repair mengalami komlplikasi dengan 23% mengalami enteric
fistulation(Sukumar, 2004).
Selain itu digunakan pula vacum pack. Teknik ini menggunakan
sponge steril untuk menutup luka operasi yang terbuka kembali setelah itu
ditutup dengan vacum bag dengan sambungan semacam suction di bagian
bawahnya. Teknik lain yang digunakan adalah Bogota bag. Tekhnik ini

39
dilakukan pada dehisensi yang telah mengalami eviserasi. Bogota bag
adalah kantung dengan bahan dasar plastik steril yang merupakan kantong
irigasi genitourin dengan daya tampung 3 liter yang digunakan untuk
menutup luka operasi yang terbuka kembali. Plastik ini dijahit ke kulit atau
fascia pada dinding abdomen anterior (Sukumar, 2004).

C. Klimakterium phase

Fase Klimakterium 1.Pra menopauseadalah kurun waktu 4-5 tahun


sebelum menopause.
Siklus haid yang tidak teratur, dengan perdarahan haid yang memanjang
dan jumlah darah haid yang relatif banyak dan kadang kadang disertai
nyeri haid (dismenorea).
Timbul keluhan vasomotorik dan keluhan sindrom pramenstrual (PMS).
Perubahan endokrinologik yang terjadi adalah berupa fase folikuler yang
memendek, kadar esterogen yang tinggi, kadar FSH juga biasanya tinggi,
tetepi juga dapat kadar FSH yang normal. Fase luteal tetap stabil. Akibat
kadar FSH yang tinggi ini dapat terjadi perangsangan ovarium yang
berlebihan (hiperstimulasi) sehingga kadang –kadang dijumpai kadar
estrogen yang sangat tinggi.
2.Menopauseadalah henti haid seorang wanita. Jumlah folikel
yangmengalami atresia makin meningkat, sampai suatu ketika tidak
tersedia lagi folikel yang cukup.
Produksi estrogenpun berkurang dan tidak terjadi haid lagi yang berakhir
dengan terjadinya menopause.
Menopause tidak terjadi pada wanita yang menggunakan kontrasepsi
hormonal. Perdarahan terus terjadi selama wanita masih menggunakan pil
kontrasepsi secara siklik.
Untuk menentukan diagnosa menopause, penggunaan pil kontrasepsi
harus segera dihentikan dan satu bulan kemudian dilakukan pemeriksaan
FSH dan estradiol.Pada awal menopause kadar estradiol rendah pada
sebagian wanita, sedangkanpada wanita gemuk, kadar estradiol dapat
tinggi. Hal ini terjadi akibat proses aromatisasi androgen menjadi estrogen
di dalam jaringan lemak. Diagnosis menopause merupakan diagnosis
retrospektif. Bila seorang wanita tidak haid selama 12 bulan, dan dijumpai
kadar FSH darah > 40 mIU/ml.
3.Pasca menopauseadalah kurun waktu 3-5 tahun setelah menopause
Pasca menopause adalah masa setelah menopause sampai senilis. Fase
ini terjadi pada usia di atas 60 –65 tahun. Biasanya wanita beradaptasi
dengan perubahan fisik dan psikologis. 1.1.4 Manifestasi Klinis

40
1.1.5Komplikasi
1.Osteoporosis.Estrogen berfungsi untuk pengaturan remodelling (keseimbangan
aktivitas osteoblas dan osteoklas), menyebabkan penggabungan awal dari epífisis
dengan batang dari tulang panjang (yang mengakibatkan pertumbuhan wanita
biasanya terhenti beberapa tahun lebih cepat dari pertumbuhan pria), dan
mempunyai efek anabolik terhadap tulang dan kartilago. Pada masa klimakterium
terjadi penurunan jumlah estrogen yang mengakibatkan fungsi-fungsi nya pun
akan menurun sehingga berdampak menurunnya aktivitas osteoblas dan
meningkatnya resorbsi tulang, katabolik terhadap tulang, yang di mana nantinya
akan mengakibatkan terjadinya osteoporosis. Sebagai tambahan, ada dua faktor
yang memengaruhi terjadinya osteoporosis yaitu massa puncak tulang yang telah
dicapai dan kecepatan resorbsi tulang.

2.Penyakit Cardiovascular.Estrogen berfungsi dalam memperbaiki fungsi vascular


dan meningkatkan metabolisme lemak (peningkatan kadar HDL dan penurunan
LDL). Penurunan jumlah estrogen berarti berdampak pada terjadinya penurunan
metabolisme lemak yang mengakibatkan meningkat dan menumpuknya LDL
dalam vascular, ini akan meningkatkan risiko terjadinya Atherosclerosis
(penyumbatan pembuluh darah oleh lemak). Sebagai tambahan, progesteron yang
menurun pada masa klimakterium ini juga dapat memperburukkondisi karena
progesteron berfungsi dalam penurunan agregasi platelet dalam vascular,
sedangkan progesteron sendiri tengah mengalami penurunan jumlah.

3.Alzheimer.Kekurangan estrogen mengakibatkan terjadinya gangguan fungsi sel-


sel saraf dan pengurangan aliran darah ke otak, kekurangan dalam jangka lama
dapat menyebabkan kerusakan pada otak, yang suatu saat akan menimbulkan
demensia atau penyakit Alzheimer.4.Kanker Kolon.Penelitian menunjukkan
bahwa estrogen memiliki efek protektif terhadap kanker kolon, bergantung pada
dosis dan lama pengobatan.1.1.6Pemeriksaan Diagnostik

1.1.7Penatalaksanaan TERAPI NON HORMONObat antihipertensi, obat


penenang, sudah luas penggunaannya pada perempuan dengan masalah
klimakterium.Sebagian perempuan mendapatkan manfaat relaksasi, berolahraga
atau aromaterapi atau konseling dengan perawat mungkin membantu mengatasi
gejala –gejala.

TERAPI SULIH HORMON (TSH)


Hormon yang digunakan pada terapi sulih hormon adalah estrogen dan
progesteron. Jumlah dan jenis sediaan semakin banyak sesuai dengan
adanya penemuan-penemuan terbaru. Untuk setiap hormon perlu diketahui
berbagai jenis sediaan yang tersedia, cara dan dosis penggunaan.
Estrogen Oral

41
Terdapat dua jenis estrogen yang tersedia yaitu sintetik dan alami.
Estrogen sintetik memiliki aktivitas estrogen yang poten tetapi secara
struktural memiliki perbedaan dengan estrogen yang dihasilkan oleh
ovarium. Beberapa diantaranya adalah etinilestradiol, mestranol dan
stilbestrol. Estrogen alami diantaranya termasuk estradiol, estron dan
estriol akan meningkatkan kadar estrogen dalam plasma di mana identik
dengan estrogen yang dihasilkan oleh ovarium pada masa premenopause.
Terapi pengganti estrogen (TSH) dapat mengatasi keluhan antara lain pada
menopausal flushing, atropi vaginal atau mencegah osteoporosis bila
terapi dimulai pada waktu dini. Dosis estrogen diberikan sekecil mungkin.
Untuk sediaan yang mengandung estrogen terkonjugasi dosis adalah 0,3–
1,25 mg atau 0,01–0,02 mg perhari untuk etinil estradiol. Terapi
hendaknya dilakukan secara siklik selama 21–25 hari setiap bulan di
bawah pengawasan. Penambahan progestin antara lain medroksi
progesteron asetat 10 mg/hari pada hari ke 10–14 dapat mengurangi resiko
karsinoma endometrium. Estradiol tablet diberikan 1–2 mg/hari.
Efek samping estrogen yang sering timbul adalah mual dan muntah.
Frekuensi timbulnya mual diduga sejajar dengan potensi estrogeniknya,
sehingga beberapa sediaan lebih jarang menimbulkan mual dibandingkan
lainnya. Dapat timbul rasa penuh pada payudara, sedangkan oedem yang
disebabkan oleh retensi air dan natrium lebih sering terjadi pada
penggunaan dosis besar.
Terapi dengan estrogen oral tidak boleh diberikan pada penderita dengan
tromboemboli, tromboflebitis, hipertensi berat, gangguan fungsi hati,
anemia hemolitik kronik, hiperlipidemia, kanker payudara atau genital,
varises, migren dan payah jantung.

Kombinasi Estrogen-Progesteron Oral

Estrogen diberikan bersama dengan progesteron secara sekuensial atau


kontinyu. Secara sekuensial yaitu estrogen saja diberikan pada hari
pertama sampai hari ke-28, sedangkan progesteron diberikan dari hari ke-
16 sampai hari ke-28. Sediaan kombinasi estrogen-progesteron
diantaranya adalah Diane® (mengandung siproteron asetat 2 mg +
etinilestradiol 0,035 mg) dan Yasmin® (mengandung drospirenone 3 mg +
etinilestradiol 0,03 mg).

Estrogen Topikal

Pada pertengahan abad 20, estrogen topikal telah banyak digunakan pada
berbagai kelainan kulit antara lain, keratoderma klimakterium, hidradenitis

42
supuratif, kebotakan pada wanita dan pria, urogenital atropi dan juga pada
keluhan vasomotor peri/paska menopause.22 Suatu penelitian
menunjukkan topikal estrogen dapat mempertahankan ketebalan kulit dan
meningkatkan kolagen dan kandungan GAG pada kulit seperti yang
dihasilkan oleh Terapi Sulih Hormon Oral. Beberapa estrogen topikal yang
tersedia antara lain:

A.Estradiol gel (Oestrogel) Dioleskan di daerah abdomen dan paha atas


dan dibiarkan beberapa menit sampai mengering sebelum menggunakan
pakaian. Sediaan ini dilaporkan efektif dalam mengobati gejala vasomotor
dan atropi vagina yang timbul pada wanita menopause.

B.Estrogen dalam bentuk krim (Estrace, Ogen) Pemakaiannya dioleskan


pada vagina. Telah terbukti efikasinya pada pengobatan atropi vagina.
Absorpsinya bervariasi tergantung dari tipe, dosis estrogendan vehikulum
yang digunakan

C.Cincin vaginal Cincin vaginal (Vaginal ring) diletakkan pada sepertiga


bagian atas dari vagina dan posisinya akan dipertahankan oleh tekanan
dari dinding vagina. Absorpsi secara sistemik melalui epitel vagina
tergantung luas permukaan dari ring vagina. Kadar estradiol dapat
menetap dan dipertahankan sampai kurang lebih 3 bulan.

D.Tablet vaginal estradiol (Vagifem, Premarin, Ovestin, Orthogynest)


Dimasukkan ke dalam vagina dan telah dibuktikan efektif dalam mengobati atropi
vagina. Dosis dua kali perminggu dilaporkan efektif dan tidak menimbulkan efek
sistemik dan efek pada endometrium.

E.Estradiol implan Ditanam secara subkutan pada daerah abdomen atau bokong.
Implan menimbulkan kadar estradiol yang beredar relatif stabil selama 4–12
bulan.

F.Transdermal estrogen patch (TTS) TTS terdiri dari reservoir patch (Estraderm
TTS 50) dan matrix patch (Climara) dengan dosis harian 50–100 mg 17b-
estradiol. Matrix patch ditempelkan pada dada atau perut sekali seminggu
sedangkan Estraderm patch ditempelkan 2 kali seminggu. Keuntungan
penggunaan patch ini adalah tidak melewati first pass metabolisme di hati dan

43
kadar estradiol yang beredar juga dipertahankan lebih konstan dibandingkan
dengan pemberian oral di mana terjadi fluktuasi kadar estradiol dan rasio
estradiol/estron setiap harinya. Efek samping yang dapat ditimbulkan adalah efek
samping sistemik seperti yang ditimbulkan oleh oral estrogen yaitu nyeri pada
payudara, sakit kepala, retensi cairan, peningkatan berat badan, mual. Efek
samping yang paling sering timbul adalah iritasi kulit, kemerahan,gatal, dan
perubahan warna kulit ditempat patch ditempelkan. Disarankan juga pemberian
progestin oral selama penggunaan. TTS untuk mencegah hiperplasia endometrium
dan perdarahan yang tidak teratur pada wanita dengan uterus yang intak.

Tabel 1. Sediaan dan komposisi estrogen alami secara oralNama dagangNama


generikKandunganPremarin ®Progynova ®Harmogen ®Hormonin ®Ovestin
®Estrogen equin konjugasiEstradiol valeratPiperazin estron
sulfatEstriol/estron/estradiolEstriol0,625 mg/1,25 mg1 mg2 mg0,05 mg1 mg/2 mg

NON FARMAKO

Phytoestrogen

Pengelolaan dengan non farmakologis diantaranya dengan pemberian itoestrogen.


Fito artinya tanaman sedangkan estrogen maksudnya memiliki struktur kimia dan
khasiat biologik seperti estrogen. Struktur kimia fitoestrogen sebagian besar
bukan steroid sedangkan estrogen umumnya adalah steroid.Fitoestrogen terdiri
dari: isoflavin, coumestan, lignan.

Isoflavin banyak ditemukan dalam legumes (tumbuhan polongan, terutama


kedelai dengan produk olahannya susu, tofu, temped dan miso). Lignan dalam
buah –buahan, sayuran,padi, biji-bijian (sereal). Comestan dalam redclover, daun
semanggi, dan tauge

Phytoestrogen atau disebut dengan phytosterols/phytochemical adalah bahan yang


terkandung dalam tananaman atau makanan yang mempunyai kemiripan dengan
estrogen dalam tubuh. Gejala seperti hot flushes, kecemasan dan iritabel
dilaporkan menghilang pada beberapa wanita dengan suplemen yang mengandung
phytoestrogen. Phytoestrogen bekerja sebagai agonis estrogen dengan cara
mengisi tempat reseptor estrogen ketika tidak tersedia natural estrogen dalam
tubuh. Kelemahan dari phytoestrogen adalah akan berfungsi setelah melewati
proses pencernaan dan mengalami metabolisme untuk diubah menjadi metabolit
yang dapat diserap oleh tubuh untuk dapat menimbulkan efek. Keadaan yang
dapat mempengaruhi keseimbangan dalam sistem pencernaan antara lain stres, diit
yang kurang, asupan lemak yang tinggi dan penggunaan antibiotik.

44
Disarankan untuk mengkonsumsi makanan yang berserat tinggi karena dapat
membantu metabolisme phytoestrogen. Beberapa jenis bahan yang mengandung
phytoestrogen antara lain kacang kedelai, tempe, tahu, susu kedelai, sawi putih,
tomat, bengkoang, anggur merah, apel, green tea dan asparagus. Belum ada
penemuan ilmiah yang melaporkan berapa kebutuhan dan jumlah kandungan yang
diperlukan dari phytoestrogen.

Nutrisi (diet)

Hal penting yang juga perlu diperhatikan adalah masalah makanan dan olahraga,
pola makanan yang baik, disesuaikan dengan kebutuhan gizi usia tersebut serta
aktivitas.

Kalsium

Kebutuhan 1200mg/hari.Dapat diperoleh pada: susu,keju,daun pepaya,bayam,


teri, tahu, singkong, daun melinjo,kedelai, apel, kangkung, kacang ijo dan
pepaya,kacang tanah kupas, ikan segar, beras giling, roti putih, ayam, dan daging
sapi.

Olahraga

Olahraga akan meningkatkan kebugaran dan kesehatan seseorang, biasanya ini


juga membawa dampak positif, seperti :-Menguatkan tulang-Meningkatkan
kebugaran-Menstabilkan berat badan-Mengurangi keluhan menopause-
Mengurangi stress akibat menopause Jenis olahraga:

a. Olahraga tanpa beban

b. Gerakan yang dilarang: -Melompat -Membungkuk dengan punggung ke depan


seperti gerakan mengambil sesuatu di lantai -Menggerakkan kaki ke samping atau
ke depan melawan beban

c. Gerakan yang dianjurkan:-Aerobik ringan -Jalan kaki-Berenang

Hal yang dapat dilakukan untuk mencegah /mengatasi kejengkelan fisik :

a.Untuk mengatasi gatal-gatal dan rasa terbakar pada vulva : bicarakan dengan
pemberi perawatan kesehatan untuk menyingkirkan abnormalitas dermatologis
untuk mendapatkan resep krim pelumas/hormonal

b.Untuk mencegah dispareunia (rasa sakit ketika berhubungan seksual) : gunakan


lubrikan yang larut dalam air, seperti jelly K-Y, krim hromon atau foam kontras
c.Memperbaiki otot tonus perineal dan kontrol kandung kemih dengan
mempraktikkan latihan Kegel’s setiap hari : mengkontraksikan otot-otot perineal

45
seperti ketika mnghentikan ketika berkemih, tahan 5-10 detik dan
bebaskan.d.Untuk mencegah kekeringan kulit : gunakan krim dan lotion kulit
e.Untuk mencegah osteoporosis : amati asupan kalsium dengan meminum
suplemen kalsium dan susu yang dapt membantuuntuk memperlambat proses
osteoporosis

f.Untuk mencegah infeksi saluran kemih : minum 6-8 gelas air setiap hari dan
vitamin C(500 mg) sebagai cara untuk mengurangi infeksi saluran kemih yang
berhubungan dengan atrofi uretra

g.Aktivitas seksual yang sering dapat membantu untuk mempertahankan


elastisitas vagina ( Brunner & Suddarth, 2001)

D. Tumor tumor jinan ginekologi

E. Kesehatan reproduksi

46
BAB III

PENUTUP

Kelainan dalam letak alat-alat genital sudah dikenal sejak 2000 tahun SM.
Catatan-catatan yang ditemukan di Mesir mengenai Ratu Cleopatra menyatakan
prolapsus genitalis merupakan satu hal yang gaib pada wanita dan menganjurkan
pengobatannya dengan penyiraman larutan Adstringensia. Dalam hal ilmu
kedokteran Hindu kuno menurut Chakraberty, dijumpai keterangan-keterangan
mengenai kelainan dalam letak alat genital, dipakai istilah “Mahati” untuk wanita
yang lebar dengan sistokel, rektokel dan laserasi perineum.

Juga di Indonesia sejak zaman dahulu telah lama dikenal istilah peranakan
turun dan peranakan terbalik.Prolapsus uteri adalah keadaan yang sangat jarang
terjadi. Frekuensi kejadian prolapsus uteri sendri di Indonesia hanya 1,5% saja.
Posisi uterus normal ialah tengah-tengah rongga panggul, antara kandung kemih
dan rektum, dengan ostium uteri eksternum setinggi spina iskhiadika pada wanita
berdiri.

Faktor penyebab prolapsus uteri adalah, kelemahan ligamen endopelvik,


fasia dan otot-otot panggul, proses melahirkan,asites dan tumor-tumor di daerah
pelvis, dan bila prolapsus uteri dijumpai pada nullipara berarti faktor penyebabnya
berupa kelainan bawaan berupa kelemahan jaringan penunjang uterus. Keluhan-
keluhan yang hampir selalu dijumpai:

1. Perasaan adanya suatu benda yang mengganjal atau menonjol di


genitalia eksterna

47
2. Rasa sakit di panggul dan pinggang, biasanya jika penderita
berbaring keluhan menghilang atau berkurang
3. Mengganggu penderita waktu berjalan dan bekerja
4. Gesekan porsio uteri dengan celana menimbulkan lecet sampai
luka dan dekubitus pada porsio uteri
5. Leukorea karena kongesti pembuluh darah di daerah serviks dan
karena infeksi serta luka pada porsio uteri

Friedmann dan Little menganjurkan dengan cara pemeriksaan sebagai


berikut, penderita dalam posisi jongkok disuruh mengejan dan ditentukan dengan
pemeriksaan jari, apakah porsio uteri pada posisi normal atau porsio sampai
introitus vagina, atau apakah serviks uteri sudah keluar dari vagina. Selanjutnya
dengan penderita berbaring dalam posisi litotomi ditentukan pula panjangnya
serviks uteri.Serviks uteri yang lebih panjang dari biasanya dinamakan elongasio
kolli.Komplikasi yang dapat menyertai prolapsus uteri, yaitu keratinisasi mukosa
vagina dan porsio uteri, dekubitus, hipertrofi serviks uteri dan elangasio kolli,
gangguan miksi dan stress inkontinensia, infeksi saluran kemih, kemandulan,
kesulitan waktu partus, haemorrhoid dan inkarserasi usus halus

Salah satu cara yang efektif yang dapat yang dilakukan untuk mencegah
resiko adalah dengan melatih otot-otot panggul (senam Kegel). Pengobatan medis
seperti latihan-latihan otot dasar panggul, stimulasi otot-otot dengan listrik dan
pengobatan dengan pessarium.Pengobatan operatif seperti, ventrofiksasi, operasi
Manchester, Histerektomi vaginal, kolplokleisis (operasi Neugebauer-Le
Fort).Jika ada prolaps dalam kehamilan maka baiknya uterus ditahan dengan
pessarium sampai bulan keempat, kalau dasar panggul terlalu lemah sehingga
pessarium terus jatuh maka pasien dianjurkan istirahat tirah baring sampai bulan
keempat.Istirahat dapat mengurangi penderitaan wanita dan memungkinkan uterus
tumbuh secara wajar sampai kehamilan mencapai cukup bulan.

48
DAFTARPUSTAKA

1. http://www.drdidispog.com/2008/11/prolapsus uteri.html, Diunduh pada hari

Rabu, 16 April 2014 pukul 19.15

2. Koblinsky, M, dkk, Kesehatan Wanita Sebuah Perspektif Global, Gajah Mada

University Press, Yogyakarta, 2001

3. Prawirohardjo, Sarwono, Ilmu Kandungan, Yayasan Bina Pustaka Sarwono

Prawirohardjo, Jakarta, , 2005

4. Saunders, W.B, Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29, EGC, Jakarta, 2002

5. Putz, R, dkk, Atlas Anatomi Manusia Edisi 22 Jilid 2 Batang Badan, Panggul,

Ekstremitas Bawah, EGC, Jakarta, 2005

6. http://www.google.com/kesehatanwanita/turunperanakantakmengancamjiwa,

Diunduh pada hari Rabu, 16 April 2014 pukul 19.25 WIB

7. http://www.obgynmag.com/prolaps uteri/pengukuran organ prolaps.html,

Diunduh pada hari Rabu, 5 Mei 2014 pukul 19.15 WIB

8. http://www.google.com/posted on Juni 17,2009/by dokter sehat, Diunduh pada

hari Rabu, 16 April 2014 pukul 20.10

9. Baradero, M, Klien Gangguan Sistem Reproduksi dan Seksualitas, EGC,

Jakarta, 2007

49
10. DAFTAR PUSTAKA
11.
12. Afzal S, Bashir M. 2008. Determinants of Wound Dehiscence in Abdominal
Surgery in Public Sector Hospital. Department of Community Medicine,
King Edward Medical University Lahore . Annals 14:3

13. Amirlak, Bardia. 2008. Skin Anatomy. diakses Desember 2011 dari: http://
emedicine. medscape. com/ article/ 1294744-overviewAnita, Cecilia. 2009.
Asuhan Keperawatan Laparotomy. FK UNAND: Padang

14. Anonim. 2008. Penyembuhan Luka dan Dehisensi. Diakses Desember 2011
dari: http://www.scribd.com/doc/56192741/DEHISENSI2

15. Barnard, B. 2003. Prevention of surgical site infection. Infection Control


Today Magazine, Virgo Publishing ; 1-6.
http://www.infectioncontroltoday.com

16. Baxter, H. 2003. Management of surgical wound. Nur Time 99(13) ;1-9

17. Brannon, Heather. 2007. Skin Anatomy. Diakses Desember 2011 dari: http://
dermatoloy. about.com/cs/skinanatomy/a/anatomy.html

18. Braz FSV, Loss AB, Japiassi AM. 2007. Wound healing and sacrring sutures.
The Federal University of Rio de Janeiro. 1-5. Diakses Desember 2011 dari :
http://www.medstudents.com.br/cirur/cirur.htm

19. Hidayat, Nucki. 2007. Pencegahan Infeksi Luka Operasi. FK-UNPAD:


Bandung. Diakses Desember 2011 dari :http://pustaka.unpad.ac.id/wp-
content/uploads/2009/04/pencegahan_infeksi_luka_operasi.pdf

20. Ismail. 2008. Luka dan Perawatannya. Diakses Desember 2011 dari :
http://umy.ac.id/topik/files/2011/12/Merawat-luka.pdf

21. Makela J, Kiviniemi H, Juvonen T, et al. 2005. Factors influencing wound


dehiscence after midline laparotomy. American journal of surgery. 170 (4):
387-390

22. Morison, MJ. 2003. Manajemen Luka. Jakarta: EGC

23. Sabiston, DC. 1995. Buku Ajar Ilmu Bedah Volume 1. Jakarta: EGC

50
24. Sinaga, Yusuf. 2009. Wound Healing. Diakses Desember 2011 dari :
http://ocw.usu.ac.id/course/download/128-KEBUTUHAN-DASAR-
MANUSIA/kdm_slide_kebutuhan_dasar_manusia_konsep_luka.pdf

25.

26. Singh, Abhijit. 2009. Case Report: Spontaneous scar dehiscence of a repaired
bladder rupture in a 5 yr old girl – a case study. Resident Medical Officer,
Max Heart and Vascular Institute, Saket, New Delhi, India. Cases Journal
1:363

27. Sjamsudidajat R, De Jong W. 2005. Luka Operasi. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Bedah Edisi 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta

28. Spiloitis J, Tsiveriotis K, Datsis A, et al. 2009. Wound dehiscence: is still a


problem in the 21th century: a retrospective study. World Journal of
Emergency Surgery 4:12

29. Sukumar N, Shaharin S, Razman J, et al.Bogota Bag in the Treatment of


Abdominal Wound Dehiscence.Medical Journal Malaysia. 59:2

30. Tawi, Mizral. 2008. Proses Penyembuhan Luka. Diakses Desember 2011
dari : http://syehaceh.wordpress.com/2008/05/13/proses-penyembuhan-luka/

31. Yadi, Muhammad. 2005. Tesis : Wound Dehiscence Pasca Bedah Sesar. FK
UNDIP : Semarang

51

Anda mungkin juga menyukai