Anda di halaman 1dari 44

Meet The Expert

Uroginekologi Rekonstruksi

Oleh:

Rahmat Nopriady 1110312141

Doni Andika Putra 1210312121

Denada Florencia L 1210312125

Mayang Maliani 1210312077

Preseptor :

dr. Bobby Indra Utama, Sp.OG (K)

BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

RSUP DR M DJAMIL PADANG

2017
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Prolaps Uteri

2.1.1 Definisi Prolaps Uteri

Prolapsus uteri adalah turunnya uterus dari tempat yang biasa oleh karena kelemahan

otot atau fascia yang dalam keadaan normal menyokongnya. Atau turunnya uterus melalui

dasar panggul atau hiatus genitalis. Prolapsus uteri lebih sering dijumpai pada wanita yang

telah melahirkan, wanita tua dan wanita yang bekerja berat, walaupun demikian dapat pula

kadang-kadang pada nullipara atau wanita belum menikah.5,6

2.1.2 Etiologi Prolaps Uteri

Partus yang berulang kali dan terjadi terlampau sering, partus

dengan penyulit, merupakan penyebab prolaps uteri. Faktor-faktor lain adalah tarikan pada

janin pada pembukaan belum lengkap. Asites dan tumor-tumor di daerah pelvis

mempermudah terjadinya prolapsus uteri. Bila prolapsus uteri dijumpai pada nulipara,

faktor penyebabnya adalah kelainan bawaan berupa kelemahan jaringan penunjang uterus.7

Peningkatan tekanan di dalam perut akibat batuk yang kronis, asites, berkali-kali

mengangkat beban yang berat atau kebiasaan mengejan akibat konstipasi dapat

menyebabkan predisposisi untuk prolaps. Atrofi pada jaringan pendukung dengan

penentuan usia, terutama setelah menopause, juga memainkan peran penting dalam

menginisiasi atau memperburuk relaksasi pelvis, serta paritas.8

2.1.3 Faktor Resiko

a. Multiparitas

Persalinan pervaginan adalah yang paling sering sebagai faktor resiko untuk prolaps

uteri. Penelitian menunjukkan bahwa peningkatan paritas dikaitkan dengan


peningkatan kejadian prolaps. Selain itu, risiko prolaps organ pelvis meningkat 1,2

kali pada persalinan pervaginam. Studi kohort yang dilakukan di Oxford pada

17.000 wanita untuk membandingkan wanita nulipara dengan wanita yang telah

mengalami dua kali melahirkan, mengalami peningkatan delapan kali lipat

berkunjung ke rumah sakit untuk prolaps organ pelvis.9

b. Usia

Seperti dijelaskan sebelumnya, usia lanjut juga terlibat

dalam pengembangan prolaps organ pelvis. Dalam studi POSST, ada 100% peningk

atan risiko prolaps untuk setiap dekade kehidupan. Pada wanita berusia 20 sampai

59 tahun, kejadian prolaps organ pelvis berlipat ganda dengan setiap dekade. Seperti

risiko prolaps organ pelvis lainnya, penuaan adalah proses yang kompleks.

Peningkatan insiden mungkin akibat dari penuaan fisiologis dan proses degeneratif

serta hipoestrogenisme.9

c. Penyakit Jaringan Ikat

Wanita dengan gangguan jaringan ikat lebih mungkin untuk mengembangkan

prolaps organ pelvis. Dalam sebuah studi seri kasus kecil, sepertiga dari wanita

dengan sindrom Marfan dan tiga perempat dari wanita dengan sindrom Ehlers-

Danlos melaporkan riwayat prolaps organ pevis.9

d. Peningkatan Tekanan Intraabdomen

2.1.4 Patogenesis

Prolapsus uteri terdapat dalam berbagai tingkatan, dari yang paling ringan sampai

prolapsus uteri totalis. Terutama akibat persalinan, khususnya persalinan pervaginam yang

susah dan terdapatnya kelemahan-kelemahan ligamentum-ligamentum yang tergolong

dalam fascia endopelvis dan otot-otot serta fascia-fascia dasar panggul. Juga dalam keadaan
tekanan intra abdominal yang meningkat dan kronis akan memudahkan terjadinya

penurunan uterus, terutama apabila tonus otot-otot mengurang seperti pada penderita dalam

menopause.4.6

Serviks uteri terletak di luar vagina, akan tergeser oleh pakaian wanita tersebut dan

lambat laun akan menimbulkan ulkus yang disebut dengan ulkus dekubitus. Jika fascia di

bagian depan dinding vagina kendor biasanya akibat trauma obstetrik maka akan terdorong

oleh kandungan kencing sehingga menyebabkan penonjolan dinding depan vagina ke

belakang yang di namakan sistokel. Sistokel yang pada mulanya hanya ringan saja, dapat

menjadi besar karena persalinan berikutnya yang kurang lancar sehingga akan

menyebabkan terjadinya uretrokel. Uretrokel harus dibedakan dari divertikulum uretra.

Pada divertikulum keadaan uretra dan kandung kencing normal, hanya di belakang uretra

ada lubang yang membuat kantong antara uretra dan vagina. 4,6

Kekendoran fascia di bagian belakang dinding vagina oleh trauma obstetrik atau

sebab-sebab lain dapat menyebabkan turunnya rectum ke depan dan menyebabkan dinding

belakang vagina menonjol ke lumen vagina yang dinamakan rektokel. Enterokel adalah

hernia dari kavum Douglas. Dinding vagina atas bagian belakang turun dan menonjol ke

depan. Kantong hernia ini dapat berisi usus dan omentum.4,6

2.1.5 Klasifikasi

Mengenai istilah dan klasifikasi prolapsus uteri terdapat perbedaan pendapat antara

para ahli ginekologi. Dianjurkan klasifikasi berikut :10

1. Desensus uteri, uterus turun tetapi serviks masih di dalam vagina.

2. Prolapsus uteri tingkat I, uterus turun, tetapi serviks masih di dalam vagina.

3. Prolapsus uteri tingkat II, uterus untuk sebagian keluar dari vagina.
4. Prolapsus uteri tingkat III, atau prosidensia uteri, uterus keluar seluruhnya dari

vagina, disertai dengan inversio vagina.

2.1.6 Manifestasi Klinis

Gejala sangat berbeda-beda dan bersifat individual. Kadangkala penderita yang satu

dengan prolaps yang cukup berat tidak mempunyai keluhan apapun, sebaliknya penderita

lain dengan prolaps ringan mempunyai banyak keluhan.

Keluhan-keluhan yang hampir selalu dijumpai:

Perasaan adanya suatu benda yang mengganjal atau menonjol di genialia eksterna.
Rasa sakit di panggul dan pinggang (backache). Biasanya jika penderita berbaring,

keluhan menghilang atau menjadi kurang.

Prolaps uteri dapat menyebabkan gejala sebagai berikut:

Pengeluaran serviks uteri dari vulva mengganggu penderita

waktu berjalan dan bekerja. Gesekan portio uteri oleh celana menimbulkan lecet

sampai luka dan dekubitus pada portio uteri.


Leukorea karena kongesti pembuluh darah di daerah serviks dan karena infeksi serta

luka pada portio uteri.2,11

2.1.7 Diagnosis

a. Anamnesis
Keluhan-keluhan penderita dan pemeriksaan ginekologi umumnya dengan mudah

dapat menegakkan diagnosis prolapsus uteri. Pasien dengan prolaps uteri biasanya

mengeluhkan adanya benjolan yang keluar dari alat kelaminnya.2

Pasien biasanya mengeluhkan:

Rasa berat pada atau rasa tertekan pada pelvis.


Pada saat duduk pasien meraskan ada benjolan seperti ada bola atau kadang-

kadang keluar dari vagina.


Nyeri pada pelvis, abdomen, atau pinggang.
Nyeri pada saat berhubungan
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan genikologi biasanya mudah dilakukan, Friedman dan Little

menganjurkan sebagai berikut: penderita dalam posisi jongkok disuruh mengejan

dan ditentukan dengan pemeriksaan dengan jari, apakah portio uteri pada posisi

normal atau portio telah sampai introitus vagina, atau apakah serviks uteri sudah

keluar dari vagina. Selanjutnya dengan penderita berbaring dalam posisi litotomi,

ditentukan pula panjang serviks uteri. Serviks uteri yang lebih panjang dari ukuran

normal dinamakan elongasio kolli.2 Berikut adalah stadium untuk prolapsuteri:


Stadium 0, tidak ada prolaps.
Stadium I, sebagian besar portio distal mengalami prolaps > 1 cm diatas himen.
Stadium II, sebagian besar portion distal mengalami prolaps 1 cm

di proksimal atau distal himen.


Stadium III, sebagian besar portio distal mengalami prolasp > 1 cm dibawah

himen tetapi benjolan tidak lebih 2 cm dari panjang vagina.


Stadium IV, prolaps komplet termasuk bagian dari vagina.
c. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak begitu banyak membantu. Tes Papanicolaou (Pap

smear sitologi) atau biopsi dapat diindikasikan pada kasus yang jarang terjadi yang

dicurigai karsinoma
d. Pemeriksaan USG
Pemeriksaan USG bisa digunakan untuk membedakan prolaps dari kelainan-

kelainan lain.2

2.1.8 Tatalaksana

a. Tanpa operasi

Pengobatan cara ini tidak seberapa memuaskan dan hanya memberikan hasil

sementara. Cara ini dilakukan pada prolapsus ringan tanpa keluhan, jika yang
bersangkutan masih ingin memperoleh anak lagi, jika penderita menolak untuk

dioperasi atau jika kondisinya tidak mengizinkan untuk dioperasi. Yang termasuk

pengobatan tanpa operasi ialah :

Latihan-latihan otot dasar panggul terutama berguna pada prolaps yang ringan.

Caranya ialah, penderita disuruh menguncupkan anus dan jaringan dasar

panggul seperti telah selesei berhajat, atau penderita disuruh membayangkan

seolah-olah sedang mengeluarkan kencing dan dnegan tiba-tiba

menghentikannya.

Stimulasi otot-otot dengan alat listrik. Kontraksi otot-otot dasar panggul dapat

pula ditimbulkan dengan alat listrik, elektroda dapat dipasang dalam pessarium

yang dimasukkan kedalam vagina.

Pengobatan dengan pessarium. Pengobatan dengan cara ini sebetulnya hanya

bersifat paliatif yakni menahan uterus ditempatnya selama dipakai. Akan tetapi,

jika pessarium diangkat akan timbul prolaps lagi.

b. Pengobatan operatif

Indikasi untuk melakukan operasi pada prolapsus uteri tergantung dari beberapa

faktor, seperti umur penderita, keinginan untuk masih memdapatkan anak atau

mempertahankan uterus, tingkat prolapsus, dan adanya keluhan. Prolaps uteri biasanya

disertai dengan prolapsus vagina. Maka, jika dilakukan pembedahan untuk prolaps

uteri, prolaps vagina perlu ditangani pula. Ada kemungkinan terdapat prolapsus vagina

yang membutuhkan pembedahan padahal tidak ada prolaps uteri, atau prolaps uteri

yang belum perlu dioperasi. Yang termasuk pengobatan tanpa operasi adalah:

Operasi Manchester/Manchester-Fothergill
Pada operasi ini biasanya dilakukan amputasi serviks uteri, dan penjahitan

ligamentum kardinale yang telah dipotong dimuka sisa serviks. Amputasi

serviks dilakukan untuk memperpendek serviks yang memanjang (elongasio

kolli). Bagian yang penting dari operasi Manchester ialah penjahitan

ligamentum kardinale didepan serviks karena dengan tindakan ini ligamentum

kardinale diperpendek, sehingga uterus akan terletak dalam posisi antefleksi,

dan turunnya uterus dapat dicegah

Histerektomi vagina

Operasi ini tepat untuk dilakukan pada prolapsus uteri dalam tingkat lanjut dan

pada wanita yang telah menopause.Setelah uterus diangkat, puncak vagina

digantungkan pada ligamentum rotundum kanan kiri. Kolporafi anterior dan

kolpopeniorafi perlu dilakukan untuk mencegah prolaps vagina dikemudian

hari.

Kolpoklesis (operasi Neugebauer-Le fort)

Pada wanita tua yang tidak aktif lagi dapat dilakukan operasi sederhana dengan

menghubungkan dinding vagina depan dengan dinding vagina belakang,

sehingga lumen vagina tidak ada dan uterus berada diatas vagina yang tertutup.

Akan tetapi operasi ini dapat mengakibatkan tarikan pada dasar kandung

kencing kebelakang, sehingga dapat menimbulkan inkontinensia urin, atau

menambah inkontinensia yang sudah ada.

Operasi-operasi lainnya : ventofiksasi / histeropeksi dan interposisi

Ventro fiksasi yaitu menjahit fundus uteri pada dinding perut dan interposisi

yaitu meletakkan uterus antara kandung kencing dan vagina.


2.2. Fistula Urogenital

2.2.1. Definisi

Fistula urogenital diartikan sebagai suatu hubungan abnormal antara dua atau

bahkan lebih organ internal urogenital atau terbentuknya hubungan antara saluran kemih

(uretra,kandung kemih, ureter) dan saluran genital (vagina, uterus, perineum)(Clement,

2001).

2.2.2. Etiologi

Fistula pada rektum dan vagina atau uretra dapat disebabkan oleh etiologi yang

berbeda. Hal ini dapat disebabka oleh kelainan kongenital maupun yang didapat seperti

inflamasi, infeksi, neoplasma atau trauma. Fistula iatrogenik dapat disebabkan oleh

pembedahan pevik (Zmora, 2006 ).

Obstetri
Penyakit Crohn
Pasca operasi
Infeksi
Keganasan / Pengobatan keganasan

2.2.3. Patofisiologi

Trauma pada kandung kemih saat melakukan tindakan histerektomi yang sulit atau

persalinan operatif section cesarean (SC) dapat menimbulakan fistula vesikovagina.

Kebanyakan terbentuk fistula vesiko-vagina saat melakukan diseksi tumpul yang luas pada

daerah kandung kemih saat melakukan pemisahan lapisan kandung kemih. Hal ini

menyebabkan devaskularisasi atau robekan yang tidak teridentivikasi pada dinding

posterior kandung kemih. Hal lain dalam tindakan pembedahan yang menyebabkan

terjadinya fistula adalah jahitan pada puncak vagina yang secara kebetulan melibatkan
kandung kemih, keadaan ini menjadikan jaringan sekitarnya iskemia, nekrosis dan

selanjutnya menjadi fistula (Elkin, 1994).

Fistula sebagai hasil dari suatu proses persalinan terjadi saat persalinan lama atau

dengan kesulitan. Bagian kepala janin akan menekan bagian trigonal dan leher kandung

kemih dengan menekan ke bagian tulang pubis pada simpisis. Keadaan demikian juga

menyebabkan iskemia dan nekrosis (Vasavada. 2006).

Fistula yang timbul sebagai komplikasi radiasi tidak tampak dalam kurun waktu

tahun setelah radiasi. Manifestasi lambat tersebut disebabkan oleh perubahan lanjutan efek

radiasi. Timbul fibrosis pada jaringan subepiteleal, hialinisasi jaringan ikat akan tampak

dengan pemeriksaan histology. Perubahan pada pembuluh darah tersebut akan

mengkasilkan atropi atau nekrosis pada epitel kandung kemih, kemudian terjadi ulserasi

atau terbentuk fistula (Vasavada, 2006).

2.2.4. Klasifikasi

Belum dijumpai kesepakatan yang menjadi standar untuk menentukan satu pembagian

ataupun tingkat keparahan fistula urogenital. Berbeda penulis nampaknya menentukan

klasifikasi yang berbeda pula. Hamlins menentukan klasifikasi berdasarkan penilaian

subjektif dari hasil penilaian kerusakan yang dijumpai. Arrowsmith menyarankan

pemakaian system scoring untuk dapat memprediksi luaran penderita fistula (Wall, 2006)

Klasifikasi terdahulu oleh Sims (1852) yang melakukan pembagian fistula berdasarkan

lokasinya pada vagina, klasifikasi tersebut adalah (Wall, 2006) :

1. Uretro-vaginal, yaitu kerusakan terjadi melibatkan uretra


2. Fistula yang melibatkan leher kandung kemih atau pangkal uretra
3. Fistula yang melibatkan dasar kandung kemih
4. Fistula utero-vesikal, dengan bagian terbuka pada uterus dan kanalis serviks
Klasifikasi umum dari fistula urogenital dapat dikelompokkan dalam 4 jenis, yaitu :

1. Vesikouterina
2. Urethrovaginal
3. Vesikovaginal
4. Ureterovaginal

Namun pada umumnya, terdapat dua faktor yang sangat penting yang harus dilibatkan

dalam setiap pembagian suatu fistula urogenital dengan maksud untuk mendapatkan

prediksi nilai luaran yang lebih akurat. Faktor tersebut adalah :

1. Besarnya kerusakan, yang diukur berdasarkan besarnya fistula, jaringan parut yang

ada pada vagina dan kandung kemih.


2. Keterlibatan dengan mekanisme aliran urin, yang berarti penentuan lokasi pada

uretra dan leher kandung kemih. Untuk menilai kerusakan objektif yang terjadi pada

bagian leher kandung kemih sangat sulit dilakukan, namun demikian pengukuran

panjang urethra yang sehat dapat menghasilkan suatu penilaian yang cukup

terpercaya (Tafesse, 2006)

Fistula vesikovaginal dapat dibagi lagi berdasarkan lokasi anatomi fistula tersebut.

Klasifikasi tersebut adalah (Tafesse, 2006) :

1. Juxtauretral, melibatkan leher kandung kemih dan proksimal uretra dengan

kerusakan mekanisme spingter dan terkadang disertai hilangnya uretra.


2. Midvaginal, tanpa melibatkan leher kandung kemih dan trigonum
3. Juxtaservikal, terbuka sampai forniks anterior dengan kemungkinan melibatkan

ureter bagian distal


4. Vesikoservikal atau vesikouterina
5. Masife, kombinasi 1 sampai 3 dengan bekas parut dan melibatkan tulang simfisis,

sering melibatkan ureter pada pinggir fistula dan prolapsus kandung kemih melalui

lubang fistula yang besar.


6. Compound, melibatkan rektovaginal atau ureterovaginal
Gambar 1. A. Fistula vesikosevikal, B. Juxtaservikalis, C. midvaginal vesikovaginal,

D. Suburethral vesikovaginal, E. Fistula urethrovaginal

Secara sedarhana dapat diklasifikasikan kedalam 2 jenis fistula, yaitu (Kohli,2007):

1. Fistula simple, panjang vagina normal, fistula diameter tidak lebih 2 cm dan tidak

dijumpai riwayat radiasi atau keganasan vaginal atau serviks.


2. Fistula complex, panjang vagina lebih pendek, terdapat riwayat penyakit keganasan

yang menjalani radiasi dan panjang fistula > 3 cm.

2.2.5. Faktor resiko

Kemiskinan

Penyebab langsung dari lamanya kehamilan dan kurangnya penanganan darurat

obstetri, Kemiskinan merupakan penyebab mendasar yang penting. Wanita yang mengalami

fistula vagina cenderung mengalami kemiskinan, kurang gizi, kurangnya pendidikan dan

tinggal di daerah terpencil atau pedesaan. Dua studi epidemiologi fistula telah menemukan
bahwa lebih dari 99% dari wanita dengan vistel vagina buta huruf. Di sub-Sahara Afrika

insiden OF telah diperkirakan sekitar 124 kasus per 100.000 yang dirujuk dari daerah

pedesaan. Seperti banyak perempuan lain di daerah terpencil negara-negara miskin,

sebagian besar wanita yang diobati fistula melahirkan di rumah, tanpa bantuan dari

penolong yaag terampil (WHO, 2006).

Menikah dan melahirkan pada usia muda

Menikah dan melahirkan pada usia muda beresiko menyebabkan lamanya persalinan

dan fistula vagina. Di Afrika dan Asia Selatan, perempuan umumnya menikah pada usia

remaja, dan banyak hamil segera setelah itu, sebelum panggul mereka sepenuhnya

berkembang untuk melahirkan. Di Ethiopia dan Nigeria, lebih dari 25% dari pasien fistula

telah hamil sebelum usia 15 dan lebih dari 50% telah hamil sebelum usia 18. Fistula juga

sering terbentuk pada persalinan pertama (WHO, 2006).

Tidak memadai keluarga berencana dan jarak kehamilan

Dalam banyak komunitas tradisional perkawinan dan melahirkan pada usia yang

sangat muda, dan keluarga besar adalah norma. Sehingga sangat kurang kesadaran untuk

menunda kehamilan dan menunggu ibu pulih dan memperoleh kekuatan umtuk kehamilan

berikutnya. Sistem keyakinan, dan nilai-nilai budaya dan sosial yang sangat tertanam

menjadi suatu penghalang yang mencegah wanita muda mampu mengelola hidup dan

tubuh mereka sendiri (WHO, 2006).

2.2.6. Diagnosa

2.2.6.1. Anamnesis

Adanya kebocoran urin melalui vagina tanpa rasa nyeri dan terjadi setelah

persalinan atau operasi dan radiasi. Pada fistula yang kecil urin dapat merembes atau terjadi
sekali sekali tergantung pada vesika yang terisi penuh atau posisi tubuh. Gejala yang paling

sering pada fistula vagina adalah inkonensia total involunter. Dijumpai iritasi pada daerah

vulva, paha dan infeksi saluran kemih. Dalam anamnesis harus diupayakan mengetahui

penyebab fistula dengan pertanyaan yang spesifik tentang etiologi. Juga diperoleh catatan

medis sebelumnya tentang penyakit, kondisi atau terapi yang bisa saja menyebabkan

berkembangnya fistula dan juga setiap prosedur yang mungkin pernah dilakukan untuk

penyembuhan fistula (Djokic. 1999).

Gejala yang paling umum dari fistula rektovaginal merupakan bagian dari gas,

feces, atau lendir keluar melalui vagina. Gejala ini bisa disalah artikan sebagai

inkontinensia tinja. Gejala tambahan termasuk dispareunia, keputihan kronis. Dengan

fistula kecil, satu-satunya gejala mungkin keputihan berbau busuk atau episode berulang

menjadi vaginitis. Di lain waktu, gejala yang berhubungan dengan penyakit yang mendasari

mungkin mendominasi. Tenesmus, diare, dan perdarahan rektum merupakan gejala

menonjol pada pasien dengan penyakit inflamasi usus. Kadang-kadang, fistula rektovaginal

mungkin tanpa gejala (Zmora, 2006).

Secara umum fistula vagina disebabkan oleh proses persalinan yang lama sehingga

kepala janin menekan vagina dan jaringan kandung kemih yang menyebabkan nekrosis dan

terbentuk fistula. Fistula vagina juga sering terjadi pada wanita yang mengalami

kekurangan gizi, bertubuh kecil, hamil pada usia yang sangat muda dan pasien pasien

dengan CPD (UNFPA, 2003).

2.2.6.2. Pemeriksaan Vagina

Vulva dan perineum biasanya basah dan disertai urin. Dengan menggunakan

speculum biasanya mudah mencari lokasi fistula urogenital yang melibatkan kandung
kemih atau uretra bila pasien diperiksa dengan posisi litotomi. Dipakai spekulum sims

untuk melihat dinding vagina dan bisa digunakan probe kecil untuk melihat fistula diantara

uretra dan kandung kemih dengan vagina. Adanya urin pada forniks posterior vagina

merupakan keadaan yang abnormal. Walaupun pemeriksaan vagina dapat menentukan

lokasi fistula dan kebocoran dapat diperlihatkan, namun penilaian lebih lanjut masih

dibutuhkan (Santoso, 2002)

2.2.6.3. Uji Diagnostik

Uji bahan warna (misalnya indigo carmine atau methylene blue dalam air steril atau

normal saline) atau susu (misalnya formula bayi steril) bisa digunakan untuk mengisi

kandung kemih melalui kateter transurethral. Bila ada fistula vagina maka cairan pewarna

atau caira susu akan tampak pada vagina. Bila fistula kecil, mungkin perlu menempatkan

sedikit bola kapas secara longgar melalui liang vagina dan pasien diinstruksikan bergerak-

gerak berganti posisi agar terjadi kebocoran dari kandung kemih ke dalam vagina. Bila

terjadi bola kapas akan basah dan berwarna biru. Namun bila metode ini gagal atau tampon

terlihat basah tetapi tidak terdapat pewarnaan dapat dilakukan cara pyridium oral atau

indigo carmine intravena kemudian dapat ditentukan adanya fistula ureterovaginal,

ureterouterin da ureteroservikal.

Double day tes digunakan untuk mendeteksi fistula uterovaginal. Pasien diberikan

phenazopyridine oral dan indigo carmine atau methilen blue dimasukkan ke dalam kandung

kemih melalui kateter urethra. Phenazopyridine membuat urin berwarna merah dan

methylene blue atau indigo carmine membuat urin berwarna biru. Adanya warna biru pada
tampon menunjukkan fistula vesikovagina atau urethrovagina dan jika merah menunjukkan

vistula ureterovagina (Pranata, 2007).

Uji air dan udara bisa digunakan untuk mendeteksi fitel vesikovagina. Pasien

dengan knee-chest position, vagina diisi dengan air steril atau saline normal dan udara atau

carbon dioksida dimasukkan ke kandung kemih melalui kateter transurethral kecil. Gas

yang keluar melalui fistula dibuktikan oleh gelembung-gelembung cairan di dalam vagina

(Pranata, 2007).

2.2.6.4. Endoskopi

Cystourethroscopy adalah bagian penting dari penilaian prabedah pasien dengan

vistula urogenital. Ini membantu memastikan lokasi anatomis yang pasti dari fistula dan

hubungan fistula vesikovagina dengan muara uretra. Yang penting, Cystourethroscopy juga

memungkinkan penilaian jaringan di sekitar fistula. Kondisi jaringan ini menentukan

ketepatan waktu perbaikan secara bedah. Ada kemungkinan bahwa Cystourethroscopy

harus diulang beberapa kali selama penanganan prabedah distula urogenital (Shobeiri,

2001).

2.2.6.5.Laboratorium

Dilakukan pemeriksaan kadar urea dari cairan yang keluar dari vagina. Jika

dicurigai suatu fistula hasil kadar urea yang tinggi menandakan cairan yang keluar

mengandung urin. Cairan urin sebaiknya dilakukan kultur dan uji sensitivitas, apa ada

infeksi maka diberikan terapi antibiotik yang sesuai (Riley, 2004).

2.2.7. Penatalaksanaan

2.2.7.1. Penatalaksaan konservatif


Jika fistula yang dijumpai beberapa hari setelah pembedahan ginekologi, kateter

suprapubis atau transurethral terpasang dan dipertahankan sampai 30 hari. Fistula vesiko-

vagina yang kecil < 1 cm akan hilang atau berkurang selama periode waktu tersebut. Fistula

vagina yang kecil dapat sembuh dengan pemasanngan kateter foley. Fistula yang terjadi

dapat menutup spontan kembali setelah 3 minggu pemasangan kateter untuk drainase urin.

Jika dalam kurun waktu 30 hari setelah pemasangan kateter tidak terdapat

perubahan,menandakan fistula tidak akan menutup secara spontan (Kohli.2007).

Pemberian kortikosteroid diharapkan dapat mempercepat penyembuhan dengan

mengurangi edema dan fibrosis pada fistula (Junizaf, 2002).

2.2.7.2. Perawatan Prabedah

Perlu dilakukan perbaikan keadaan umum. Penderita yang sudah menopause dan

sudah menjalani oophorectomy diberikan terapi estrogen dapat secara topical atau sistemik

yang berguna untuk memperbaiki jaringan vagina, diberikan suntikan IM 1mg

estradiobenzoat setiap hari selama 1-2 minggu dan dilanjutkan 2 minggu paska bedah.

Infeksi saluran kemih dan infeksi pada vagina harus segera dicegah sebelum tindakan

pembedahan. Penilaian keadaan umum dan kondisi jaringan di sekitar fistula menentukan

waktu pembedahan fistula urogenital (Riley, 2004).

2.2.8. Penanganan pembedahan

Prinsip dasar pembedahan untuk menutup fistula adalah sama yaitu mobilisasi

jaringan, vaskularisasi yang baik dan penyatuan jaringan yang baik. Keutamaan dalam

pelaksanaan tindakan bedah fistula adalah tampilan fistula yang adekuat, hemostasis yang

baik, mobilisasi yang luas dari vagina dan kandung kemih dan menghilangkan jaringan
yang mengalami devaskularisasi dan benda asing, jaringan bebas regangan, permukaan

jaringan sesuai jalur dan konfirmasi penutupan fistula dan drainase kandung kemih selama

10-14 hari (Sims, 1995).

Pendekatan operasi untuk fistula urogenital pada prinsipnya ada 3 pilihan yaitu:

a. Transvaginal
b. Transabdominal
c. Kombinasi transvaginal dan transabdominal

2.2.8.1 Pendekatan Transvaginal (Josoprawiro, 2002)

` Posisi penderita menjadi perhatian untuk tujuan pemaparan daerah fistula yang

adekuat, beberapa posisi dalam pendekatan transvaginal antara lain:

Posisi Lawson
Posisi ini ideal untuk fistula pada uretra proksimal dan leher kandung kemih. Pasien

di tempatkan dalam posisi prone dengan lutut diangkat melebar disangga dengan

penyangga kaki, dikombinasi dengan anti tredelenberg sehingga lapangan operasi

lebih jelas
Posisi Jackknife.
Posisi ini ideal untuk fistula pada uretra proksimal dan leher kandung kemih. Pasien

ditempatkan pada posisi prone dengan abduksi dan fleksi panggul.


Posisi dorsal litotomi
Posisi dorsal litotomi dengan tredelenberg merupakan posisi yang baik untuk

reparasi fistula vesikovagina yang tinggi.


Gambar 2. Posisi Lawson Gambar 3. Posisi Jackknife

2.2.8.2 Teknik Latzko (Josoprawiro, 2002)


Teknik ini diindikasikan untuk fistula vesikovagina kecil pada puncak vagina

sebagai komplikasi dari histerektomi transvagina atau transabdominal. Karena prosedur

biasanya tidak melibatkan pembedahan pada saluran fistula atau kandung kemih. Prosedur

ini biasa dilakukan segera setelah berkembangnya fistula vesikovaginal.


Pasien dengan posisi litotomi, empat jahitan penggantung ditempat di sekitar

puncak vagina pada posisi jam 12,3,6, an 9, sedikitnya 2 cm dari tepi fistula.
Dengan tarikan pada jahitan penggantung ini, dibuat gambaran lingkaran atau oval 2

cm ke segala arah dari tepi lubang fistula, dan ini secara kasar dibagi menjadi empat

kuadran.
Hidrodiseksi dengan saline atau bahan vasokontriksi encer bisa digunakan untuk

memisahkan epithelium vagina di dalam lingkaran dari lapisan otot di bawahnya.

Semua jaringan epithelium di daerah lingkaran tersebut dibuang. Penempatan

kateter balon kecil melalui fistula dapat membantu dalam mobilisasi dan

memaparkan puncak vagina.


Setelah seuruh epithelium vagina di angkat, vagina ditutup ke atas saluran fistula

dengan lapisan pertama jahitan terputus bahan yang dapat diserap dan kemudian

dua lapis jahitan terputus dengan benang absorbs lambat.


Dilakukan pengujian kedap air dengan menempatkan 250 sampai 300 ml larutan

steril ke dalam saluran kemih. Apabila terjadi kebocoran, pada tempat kebocoran

dilakukan jahitan secara terputus menutupi tepi kebocoran. Sesudah jahitan kedap

air, epithelium vaginal diaproksimasi dengan jahitan terputus dan benang absorbsi

lambat.

Gambar 4. Fistel plastik teknik Latzko

2.2.8.3 Teknik Fth (Josoprawiro, 2002)


Pesiapan operasi:
Penderita terlentang dimeja operasi dengan posisi litotomi dan sebelumnya telah

dilakukan klisma dengan baik.


Lampu penerangan yang baik, instrument yang halus dan panjang serta jarum

atraumatik.
Preparasi dan mobilisasi jaringan sekitas fistula dengan cara sangat berhati-hati

adalah sengat penting. Operator yang kurang hati-hati akan menyebabkan terjadinya

kegagalan sebab setiap keruskana jaringan karena tidah hati-hati akan menambah

luas defek jaringan yang ada.


Apabila vagina sempit dan mengkerut disarankan untuk melakukan episiotomy atau

insisi schuchardt untuk memperluas lapangan operasi sehingga memudahkan

tindakan
Pada fistula yang jaringan sikatrik terfiksasi erat dengan simfisis pubis atau tulang

penggul maka kandung kemih harus dimobilisasi dengan membuka rongga

paravesikal di sisi kanan dan kiri.

Teknik Operasi:

Dipasang empat jahitan penggantung 2 cm dari pinggir fistula secara simetris pada

dinding dengan vagina. Dengan penggantung ini fistula dapat ditampilkan lebih ke

depan dan dinding vagina dapat diregangkan untuk memudahkan sirkumsisi.


Dilakukan insisi sirkuler 1 cm di pinggir fistula, sayatan dimulai dari belakang dan

dilanjutkan ke depan.
Terpenting bahwa dinding vagina yang diinsisi melingkar dimobilisasi secukupnya

ke sagala arah dengan melakukan preparasi yang luas dari muara fistula dengan

sangat hati-hati.
Dengan cara menjepit dan menarik portio ke bawah dengan tenakulum maka pole

ke belakang kandung kemih dapat lebih mudah direparasi dari dinding depan servik

sehingga mendekati plika vesiko uterine. Dengan demikian di daerah belakang

sirkumsisi didapatkan permukaan kandung kemih yang bebas dan luas untuk

memudahkan melakukan fistula lapis demi lapis.


Rangkaian pertama adalah jahitan melintang satu-satu dengan jarum atraumatik dan

benang halus tetapi lama diabsorbsi untuk melipat mulut fistula ke arah kandung

kemih dan menutupnya. Tusuk jarum tidak boleh menembus dinding fistula. Segera

sesudah serangakaian jahitan pertama ini selesai harus dilakukan tes dengan larutan

methylen blue 100 ml dimasukkan ke dalam kandung kemih untuk menguji apakah

sudah kedap urin sehingga tidak bocor.


Rangkaian jahitan kedua juga melintang dengan cara dan benang yang sama seperti

rangkaian jahitan yang pertama. Jahitan kedua ini harus cukup jauh ke lateral dan
melewati jauhdari rangkaian jahitan partama dengan demikian diharapkan sudut-

sudut dari rangkaian jahitan pertama ditutupi dengan baik oleh jahitan ke dua.
Semua jahitan tersebut seperti juga pada rangkaian pertama dipasang dahulu

seluruhnya baru disimpulkan satu per satu.


Terakhir adalah rangkaian jahitan ketiga pada mukosa vegina yang dijahit

memanjang dengan jahitan satu-satu memakai benang yang lebih besar.

Gambar 5. Insisi Schuchardt

2.2.8.4 Teknik Martius (Josoprawiro, 2002)


Teknik ini cocok pada fistula dengan jaringan sekitar yang memiliki vaskularisasi minimal.
Teknik operasi:
Fistula vesikovagina dilipat ke dalam kandung kemih dan ditutup dengan 2

rangkaian jahitan pada fasia kandung kemih seperti cara Futh. Pole bawah buli-buli

dibebaskan hingga mendekati plika vesiko uterine. Untuk menutupi dan melindungi

jahitam pada kandung kemih tersebut ambil jaringan bulbokavernosus sebagai

bantalan.
Dilakukan insis memanjanga kira-kira 8 cm pada kulit labium mayor kiri dengan

ujung cranial insisi setinggi klitoris. Pinggir sayatan kulit tersebut dipegang dan

direntangkan satu sama lain dengan klem jaringan atau klem pean. Lapisan otot-

lemak bulbokavernosus tesebut 2/3 bagian cranial dilepaskan ke facia, pembuluh


darah yang terbuka dihematosis dengan ikatan. Pada ujung cranial yang bebas

tersebut dibuat 2 jahitan penggantung dengan benang chronic catgut.


Dengan klem yang ujungnya tumpul dan sedikit lebih besar dibuat terowongan dari

luka di labia kea rah vagina dan keluar di daerah operasi fistula sambil menjepit

membawa 2 benang penggantung yang dijahit pada ujung bulbokavernosus yang

bebas tadi. Dengan menarik kedua penggantung dengan hati-hati jaringan

bulbokavernosus tadi ditarik ke vagina.


Luka pada labium mayor ditutup dan diberi drain
Jaringan bulbokavernosus dibentangkan sehingga menutupi seluruh luka operasi

dan dijahit pada fasia kandung kemih dengan kedua benang penggantung tadi.
Kemudian dinding vagina dijahit satu-satu arah memanjang dengan benang yang

sedikit lebih lama diabsorbsi

Gambar 6. Fistel plastik teknik Martius (Bulbokavernosus Plastik)


2.2.8.5 Teknik Symonds-Knapstein (Myokutan-Bulbokavernosus-plastik) (Josoprawiro,

2002)

Cara ini dipakai pada kasus fistula vesikovaginal dengan defek dinding vagina yang

luas sehingga pinggir vagina tersebut tidak dapat bertemu karena jarak yang terlalu jauh.

Maka dilakukan penambahan defek dinding vagina tadi dengan mempengaruhi kulit

perivulva.

Teknik Operasi

a. Fistula vesiko-vagina direparasi seperti pada fistulaplastik cara futh sampai dengan

penutupan fistula dengan 2 rangkaian jahitan pada fescia kandung kemih.


b. Dibuat sayatan pada kulit perivulva dengan bentuk dan ukuran yang sesuai dengan

besarnya defek pada dinding vagina minimal 4 x 2 cm


c. Dimulai dengan insisi longitudinal lateral sepanjang 1/3 distal labium mayor

kemudian bulbokavernosus dibebaaskan ke kaudal sampai batas perineum. Untuk

menjaga vaskularisasi terhadap kulit yang dijadikan tambahan maka preparasi

bulbokavernosus tadi langsung dilapisan bawah kulit labium mayor jangan terlalu

dalam. Pada ujung cranial lempengan kulit tadi dipasang jahitan penggantung

benang monofil.
d. Dibuat terowongan subkutan dari luka labia ke vagina guna memindahkan

lempengan kulit tadi menutupi luka jahitan fistula untuk menambal dinding vagina

yang defek dengan menarik dengan benang penggantung tadi. Perdarahan harus

dirawat sebaik mungkin sebab transportasi lempeng kulit tadi melalui terowong

tersebut harus hati-hati sekali jika tidak akan menimbulkan perdarahan.


e. Kemudian lempengan pulau kulit tadi pinggirnya dijahit satu-satu pada dinding

vagina memakai benang monofil yang diabsorbsi yaitu no-3 atau 4-0.
f. Setelah dilakukan hemostasis yang cukup baik maka luka kulit perivulva ditutup

dengan jahitan satu-satu memakai benang monofil no 3-0 atau 4-0. Subkutis tidak

dijahit akan tetapi akan dipasang drain untuk selama 3-4 hari.
Gambar 7. Fistel plastik teknik Symonds-Knapstein (Myokutan-Bulbokavernosus- Plastik)

2.2.8.6 Teknik G. Doederlein (Gulungan-Plastik)

Indikasi:

Fistula plastik cara G Doederlein ini ditujukan untuk:

a. Penutupan lubang fistula yang besar


b. Reparasi fistula residif

Teknik Operasi

a. Mula-mula dilakukan sondase uretra ke kandung kemih


b. Dipasang balon katetr no 24 dalam kandung kemih untuk menarik fistula ke depan

dan menegangkan dinding vagina


c. Dibuat insisi setengah lingkaran di depan fistula sejauh 1,5 cm dari pinggirnya dan

dilanjutkan ke lateral kiri dan kanan. Dinding vagina di preparasi dan dibebaskan

dari fascia kandung kemih. Posisi balon kateter pada tahap ini ditarik ke depan dank

ke bawah.
d. Kemudian sayatan tidak dianjurkansirkuler pada dinding fistula bagian belakang

melainkan insisi tersebut dilanjutkan kebelakang dalam bentuk lidah sepatu

sepanjang 7 cm. Dilakukan preparasi dinding belakang vagina yang berbentuk lidah

sepatu ini dibebaskan sampai 0.5 cm dari pinggir belakang fistula.posisi balon

kateter pada tahap ini ditarik ke depan dank ke atas. Balon kateter ini dilepaskan

setelah selesai preparasi.


e. Dinding belakang vagina yang berbentuk lidah sepatu tadi digulung dan diikat agar

tetap dalam gulungan dan digunakan untuk menutupi lubang fistula.


f. Penutupan fistula dimulai dengan memasang jahitan-jahitan sudut, kemudian

dilanjutkan dengan pemasangan benang-benang jahitan pada facia kandung kemih

dari depan menembus gulungan polster dan dilanjutkan pada facia kandung kemih

dibelakang fistula. Setelah semua benang jahitan terpasang dengan baik barulah

satu-persatu disimpulkaan sehingga seluruh lubang fistula tertutup dengan

sempurna.
g. Dilakukan test dengan larutan methylen blue untuk mengui kekedapan jahitan.

Setelah terbukti tidak bocor maka dilanjutkan dengan jahitan lapisan kedua.
h. Tahap berikut terlebih dahulu dilakukan jahitan memanjang pada dinding vagina

bekas pengambilan gelungan polster tadi akan berakhir jahitan melintang terhadap

dinding vagina penutup fistula (Josoprawiro, 2002).

2.2.8.7 Pendekatan Transabdominal


a. Fistula vesiko-vaginal
Pendekatan abdominal diindikasikan untuk fistula urogenital yang kompleks

melibatkan ureter atau organ pelvis lainnya atau yang mungkin terkait dengan enyakit

keganansan atau akibat dari radioterapi. Operasi transabdominal juga dikerjakan apabila

fistula tinggi sehingga sulit di capat dari vgaina. Komponen vesiko-vagian dari fistula bisa

dicapai dengan cystostomy sagital untuk memberikan akses ke tempat fistula. Saluran

fistula dieksisi, dan ruang vesikovaginal disayat lebar. Lubang ke dalam vagina di tutup
dengan kedua lapisan menggunakan benang absorbs lambat dan lubung pada kandung

kemih ditutup dengan tiga lapisan menggunakan jahitan benang yang dapat diabsorbsi

untuk aproksimasi submukosa dan dua lapis jahitan dengan benang absorbs lambatuntuk

abrikasi otot yang berdekatan. Diajurkan agar omentum atau peritoneum diatur tempatnya

sedemikian rupa sehingga memisahkan vagina dan kandung kemih. Keterlibatan organ-

organ yang berdekatan harus ditangani satu persatu (Josoprawiro, 2002)

Gambar 8. Fistelplastik fistula vesikovagina transabdominal

b. Fistula ureterovaginal
Fistula uretrovaginal biasanya berlokasi 4-5 cm bagian distal ureter. Hal ini paling

tepat ditanggulangi dengan ureteroneocystostomy yang paling umum di laksanakan dengan

menggunakan pendekatan abdominal. Fiatula uterovaginal yang melibatkan ureter bagian

atas dan yang mengenai segmen distal yang bisa dipertahankan, ditanggulangi dengan

ureteroureterostomy.
c. Ureteroneocystostomy
Hal ini dilakukan dengan pendekatan abdominal. Segmen distal ureter di samping

kandung kemih diligasi atau dijahit atas dengan bahan jahitan permanen. Kandung kemih
dibuka dibagian apex dam fundus kandung kemih digeser ke arahujung proksimal ureter

yang akan diimplantasi ke kandung kemih. Anastomosis antara ujung ureter dan kandung

kemih harus bebas tegangan . Apabila ada keraguan akan hal ini, kandung kemih bisa

dimobilisasi dengan memotong ruang retropubik. Pergeseran kandung kemih kea rah ujung

ureter bisa dipertahankan dengan menjahit fundus kandung kemih ke otot psoas dengan

bahan jahitan permanen.


Kandung kemih wanita dianggap merupakan organ bertekanan rendah, karena itu

pelaksanaan implantasi langsung ujung ureter ke dalam kandung kemih biasanya

memuaskan. Ureter proksimal diimplantasi ke kandung kemih dengan jarak sekitar 0.5 cm

dari kedua muara ureter, dijahit dengan benang yang dapat di absorbs.
Kemudian peritoneal flap yang membungkus ureter dijahit ke kandung kemih pada

sisi luar dengan benang yang di absorbs lambat. Kandung kemih ditutup dengan dua lapis

jahitan absorbsi lambat.


Gambar 9.Ureteroneocystostomy

2.2.8 Kombinasi Fistula

Kombinasi fistula vesiko dan rekto vagina harus diperbaiki secara bersamaan. Biasanya

perbaikan dimulai dari fistula vesiko-vagina, tetapi pertimbangan sesuai dengan pendekatan

yang paling praktis (WHO, 2006)

2.2.9. Perawatan postoperasi

Penanganan postoperasi juga sangat menetukan keberhasilan pembedahan fistula

vagina, yang harus dipantau segera setelah operasi adalah:

Vital sign
Darah yang keluar dari vagina maupun kateter
Cairan intravena harus tetap diberikan sampai pasien dapat minum sendiri
Keseimbangan cairan harus dipantau secara teratur
Pasien harus tetap nyaman dengan obat analgesia yang adekuat
Pasien dengan repair yang simple harus mobilisasi sesegera mungkin

Yang perlu dipantau setelah 24 jam dan selama beberapa hari pasca operasi

Pasien harus minum banyak air dan memproduksi urin sebanyak 2-3 liter per 24 jam
Jika menggunakan vaginal pack harus dilepaskan dalam 24-72 jam
Kateter harus dipertahankan selama 10-14 hari
Memastikan bahwa selang kateter tidak terlilit dan urinbag berada lebih rendah dari

vesika urinaria.
Pasien di minta untuk mobilisasi sesegera mungkin, pada pasien dengan

pembedahan yang sederhana dapat imobilisasi pada hari yang sama dengan hari

pembedahan sedangkan pada pasien dengan pembedahan rumit dapat mobilisasi

tujuh hari setelah pembedahan


Jahitan non absorbable harus dibuka setelah jaringan sembuh
Pasien harus diperiksa apakah ada tanda-tanda anemia (WHO, 2006)
2.3. Inkontinesia Urine

Ketidakmampuan menahan urin/mengeluarkan urin tanpa disadari. Lebih sering terjadi

pada wanita yang pernah melahirkan akibat perubahan otot dan fascia dasar panggul,

M.Sphincter Urethrae tidak mampu menahan tekanan vesica urinaria

2.3.1 Jenis Inkontinensia Urine

Terdapat beberapa macam klasifikasi inkontinensia urine, di sini hanya dibahas beberapa

jenis yang paling sering ditemukan yaitu :

A. Inkontinensia stres (Stres Inkontinence)

B. Inkontinensia desakan (Urgency Inkontinence)

C. Inkontinensia luapan (Overflow Incontinence)

D. F

istul

urin

2.3.2. Inkontinensia Stres

Inkontinensia stres biasanya disebabkan oleh lemahnya mekanisme penutup.

Keluhan khas yaitu mengeluarkan urine sewaktu batuk, bersin, menaiki tangga atau

melakukan gerakan mendadak, berdiri sesudah berbaring atau duduk.

Gerakan semacam itu dapat meningkatkan tekanan dalam abdomen dan karena itu

juga di dalam kandung kemih. Otot uretra tidak dapat melawan tekanan ini dan keluarlah

urine. Kebanyakan keluhan ini progresif perlahan-lahan; kadang terjadi sesudah

melahirkan. Akibatnya penderita harus sering menganti pakaian dalam dan bila perlu juga
pembalut wanita. Frekuensi berganti pakaian, dan juga jumlah pembalut wanita yang

diperlukan setiap hari, merupakan ukuran kegawatan keluhan inkontinensia ini.1

Biasanya dalam pemeriksaan badan tidak dijumpai kelainan pada ginjal dan kandung

kemih. Pada pemeriksaan vulva ternyata bahwa sewaktu mengejan dapat dilihat dinding

depan vagina. Informasi yang penting bisa diperoleh dengan percobaan Marshall-

Marchetti. Penderita diminta untuk berkemih di WC sampai habis. Dalam posisi

ginekologis dimasukan kateter ke dalam kandung kemih. Ditentukan jumlah urine yang

tersisa. Kemudian diikuti oleh pengisian kandung kemih dengan air sampai penderita

merasa ingin berkemih. Dengan demikian ditentukan kapasitas kandung kemih. Normalnya

seharusnya 400-450 ml. Kemudian dicoba menirukan stres yang mengakibatkan

pengeluaran urine dengan meminta penderita batuk. Jika pada posisi berbaring tidak terjadi

pengeluaran urine, maka percobaan diulang pada posisi berdiri dengan tungkai dijauhkan

satu sama lain.

Pada inkontinensia stres sejati, harus terjadi pengeluaran urine pada saat ini.

Kemudian dicoba dengan korentang atau dengan dua jari menekan dinding depan vagina

kanan dan kiri sedemikian rupa ke arah kranial sehingga sisto-uretrokel hilang. Penderita

diminta batuk lagi. Bila sekarang pengeluaran urine terhenti maka ini menunjukkan

penderita akan dapat disembuhkan dengan operasi kelainan yang dideritanya. Pemeriksaan

ini dapat ditambah dengan sistometri, sistoskopi serta kalibrasi pada uretra untuk

menyingkirkan kemungkinan stenosis.1,5

Pada foto rontgen lateral atas sistogram miksi bisa tampak sudut terbelakang

vesikouretra membesar sampai 1800 atau lebih. Normalnya sudut ini sekitar 1200.

Gambaran ini menegaskan adanya sistokel pada pemeriksaan badan. 1


Gambar 4 : Anatomi Sudut Vesikouretra

a. Normal :Sudut vesikouretra 1200

1. simfisi, 2. Uretra, 3. Vesika, 4. Sudut 1200

b. Patologik : Sudut vesikouretra 1800 1. simfisi, 2.

Uretra, 3. Vesika, 4. Sudut 1800

Diagnosis dengan pengobatan inkontinensia pada wanita merupakan masalah

interdisipliner antara urologi dan ginekologi. Di sini pengambilan keputusan yang tepat

setidak-tidaknya sama penting seperti mutu pengobatan. Sering terdapat kelainan

ginekologis yang juga harus diobati. Kebanyakan diagnostik yang tepat ditegakkan dari

kerjasama yang baik antara urolog dan ginekolog.1

Pada inkontinensia stres yang ringan, misalnya yang menghabiskan 3-4 pembalut

sehari, penderita bisa memperoleh perbaikan dengan fisioterapi dan senam untuk otot-otot

dasar panggul. Pada prinsipnya pengobatan inkontinensia stres bersifat operatif. Dikenal

berbagai teknik bedah yang semuanya dapat memberikan perbaikan 80-90 kasus. Semua

bentuk operasi ini berlandaskan pada prinsip yang sama yaitu menarik dinding vagina ke
arah ventral untuk menghilangkan sistokel dan mengembalikan sudut vesiko-uretral

menjadi 1200 seperti semula. Ini dapat terlaksana dengan menjahitkan dinding vagina pada

periosteum tulang pubis (teknik Marshall-Marchetti); dengan mengikatkan dinding vagina

lebih lateral pada lig. Pouparti (teknik Burch); atau dengan bedah sling, menarik uretra ke

atas memakai selembar fasia atau bahan yang tidak dapat diresorpsi serta diikatkan pada

fasia abdominalis.1,5

Biasanya keluhan stres dan desakan bercampur aduk. Dalam keadaan seperti ini,

sangat penting diagnostik yang cermat yang juga meliputi sistometri dan pengukuran aliran.

Apabila inkontinensia desakan dengan atau tanpa pembentukan sisa urine diobati dengan

salah satu bedah plastik suspensi di atas, maka pola keluhan semula dapat lebih mengikat.1

Komplikasi terapi bedah inkontinensia stres terutama terdiri dari pembentukan sisa

urine segera dalam fase pascabedah. Biasanya masalah ini bersifat sementara dan dapat

diatasi dengan kateterisasi intermiten, dengan karakter yang ditinggalkan atau lebih baik

dengan drainase kandung kemih suprapubik. Hal ini memungkinkan pencarian

pembentukan sisa urine tanpa kateterisasi. Komplikasi lain biasanya berasal dari indikasi

yang salah. Perforasi kandung kemih dengan kebocoran urine, infeksi saluran kemih yang

berkepanjangan dan osteitis pubis pada operasi Marshall-Marchetti-Krantz merupakan

komplikasi yang jarang terjadi.11

2.3.3 Inkontinensia Desakan

Inkontinensia desakan adalah keluarnya urine secara involunter dihubungkan

dengan keinginan yang kuat untuk mengosongkannya (urgensi).11 Biasanya terjadi akibat

kandung kemih tak stabil. Sewaktu pengisian, otot detusor berkontraksi tanpa sadar secara

spontan maupun karena dirangsang (misalnya batuk). Kandung kemih dengan keadaan
semacam ini disebut kandung kemih tak stabil. Biasanya kontraksinya disertai dengan rasa

ingin miksi. Gejala gangguan ini yaitu urgensi, frekuensi, nokturia dan nokturnal

enuresis.3,4,9

Penyebab kandung kemih tak stabil adalah idiopatik, diperkirakan didapatkan pada

sekitar 10% wanita, akan tetapi hanya sebagian kecil yang menimbulkan inkontinensia

karena mekanisme distal masih dapat memelihara inkontinensia pada keadaan kontraksi

yang tidak stabil.9,10

Rasa ingin miksi biasanya terjadi, bukan hanya karena detrusor (urgensi motorik),

akan tetapi juga akibat fenomena sensorik (urgensi sensorik). Urgensi sensorik terjadi

karena adanya faktor iritasi lokal, yang sering dihubungkan dengan gangguan meatus

uretra, divertikula uretra, sistitis, uretritis dan infeksi pada vagina dan serviks. 4 Burnett3,

menyebutkan penyebabnya adalah tumor pada susunan saraf pusat, sklerosis multipel,

penyakit Parkinson, gangguan pada sumsum tulang, tumor/batu pada kandung kemih,

sistitis radiasi, sistitis interstisial. Pengobatan ditujukan pada penyebabnya. Sedang urgensi

motorik lebih sering dihubungkan dengan terapi suportif, termasuk pemberian sedativa dan

antikolinegrik.4 Pemeriksaan urodinamik yang diperlukan yaitu sistometrik.

2.3.4. Inkontinensia Luapan

Inkontinensia luapan yaitu keluarnya urine secara involunter ketika tekanan

intravesikal melebihi tekanan maksimal maksimal uretra akibat dari distensi kandung

kemih tanpa adanya aktifitas detrusor.17,19 Terjadi pada keadaan kandung kemih yang

lumpuh akut atau kronik yang terisi terlalu penuh, sehingga tekanan kandung kemih dapat

naik tinggi sekali tanpa disertai kontraksi sehingga akhirnya urine menetes lewat uretra

secara intermitten atau keluar tetes demi tetes.


Penyebab kelainan ini berasal dari penyakit neurogen, seperti akibat cedera

vertebra, sklerosis multipel, penyakit serebrovaskular, meningomyelokel, trauma kapitis,

serta tumor otak dan medula spinalis.19

Corak atau sifat gangguan fungsi kandung kemih neurogen dapat berbeda,

tergantung pada tempat dan luasnya luka, koordinasi normal antara kandung kemih dan

uretra berdasarkan refleks miksi, yang berjalan melalui pusat miksi pada segmen sakral

medula spinalis. Baik otot kandung kemih maupun otot polos dan otot lurik pada uretra

dihubungkan dengan pusat miksi.

Otot lurik periuretral di dasar panggul yang menjadi bagian penting mekanisme

penutupan uretra juga dihubungkan dengan pusat miksi sakral. Dari pusat yang lebih atas di

dalam otak diberikan koordinasi ke pusat miksi sakral. Di dalam pusat yang lebih atas ini,

sekaligus masuk isyarat mengenai keadaan kandung kemih dan uretra, sehingga rasa ingin

miksi disadari.1,311

2.3.5. Fistula urine

Fistula urine sebagian besar akibat persalinan, dapat terjadi langsung pada waktu

tindakan operatif seperti seksio sesar, perforasi dan kranioklasi, dekapitasi, atau ekstraksi

dengan cunam. Dapat juga timbul beberapa hari sesudah partus lama, yang disebabkan

karena tekanan kepala janin terlalu lama pada jaringan jalan lahir di tulang pubis dan

simfisis, sehingga menimbulkan iskemia dan kematian jaringan di jalan lahir.

Operasi ginekologis seperti histerektomi abdominal dan vaginal, operasi plastik

pervaginam, operasi radikal untuk karsinoma serviks uteri, semuanya dapat menimbulkan

fistula traumatik. Tes sederhana untuk membantu diagnosis ialah dengan memasukan
metilen biru 30 ml kedalam rongga vesika. Akan tampak metilen biru keluar dari fistula ke

dalam vagina.

Untuk memperbaiki fistula vesikovaginalis umumnya dilakukan operasi melalui

vagina (transvaginal), karena lebih mudah dan komplikasi kecil. Bila ditemukan fistula

yang terjadi pasca persalinan atau beberapa hari pascah bedah, maka penanganannya harus

ditunda tiga bulan. Bila jaringan sekitar fistula sudah tenang dan normal kembali operasi

baru dapat dilakukan. 22

2.3.6. Diagnosis

Hal yang penting dalam menilai wanita dengan inkontinensia urine adalah dengan

anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap.19 Pemeriksaan awal tidak selalu diagnostik,

tetapi informasi yang didapat akan menuntun klinisi dalm memilih test diagnostik yang

diperlukan. Pada umumnya keluhan penderita yaitu:

- Kencing keluar pada waktu batuk, tertawa, bersin dan latihan.

- Keluarnya kencing tidak dapat ditahan.

- Kencing keluar menetes pada keadaan kandung kencing penuh.

Pemeriksaan fisik yang lengkap meliputi pemeriksaan abdomen, vaginal, pelvis,

rektal dan penilaian neurologis. Pada pemeriksaan abdomen bisa didapatkan distensi

kandung kemih, yang menunjukkan suatu inkontinensia luapan, dan dikonfirmasi dengan

kateterisasi. Inspekulo bisa tampak prolaps genital, sistokel dan rektokel. Adanya urine

dalam vagina terutama pasca histerektomi mungkin mengetahui adanya massa pelvis.16

Test sederhana dapat dikerjakan setelah pemeriksaan fisik untuk membantu dalam

menentukan tindakan selanjutnya. Test Q-tip (the cotton swab test)16, merupakan test

sederhana untuk menunjukan adanya inkontinensia stres sejati. Penderita disuruh


mengosongkan kandung kemihnya, urine ditampung. Kemudian spesimen urine diambil

dengan kateterisasi. Jumlah urine dari kencing dan kateter merupakan volume kandung

kemih. Volume residual menguatkan diagnosis inkontinensia luapan. Spesimen urine

dikirim ke laboratorium.

Test diagnostik lanjut yaitu sistourethroskopi dan diagnostik imaging.

Sistourethroskopi dikerjakan dengan anestesi umum maupun tanpa anestesi, dapat dilihat

keadaan patologi seperti fistula, ureter ektopik maupun divertikulum. Test urodinamik

meliputi uroflowmetri dan sistometri. Sistometri merupakan test yang paling penting,

karena dapat menunjukan keadaan kandung kemih yang hiperaktif, normal maupun

hipoaktif. Diagnostik imaging meliputi USG, CT scan dan IVP yang digunakan untuk

mengidentifikasi kelainan patologi (seperti fistel/tumor) dan kelainan anatomi (ureter

ektopik).

Test tambahan yang diperlukan untuk evaluasi diagnostik yaitu Pessary Pad Test.

Penderita minum 500 ml air selama 15 menit untuk mengisi kandung kemih. Setelah

jam, penderita melakukan latihan selama 45 menit dengan cara : berdiri dari duduk (10

kali), batuk (10 kali), joging di tempat (11 kali), mengambil benda dari lantai (5 kali), dan

mencuci tangan dari air mengalir selama 1 menit. Test positif bila berat Pad sama atau lebih

besar dari 1g. Test ini dapat menunjukan adanya inkontinesia stres hanya bila tidak

didapatkan kandung kemih yang tidak stabil.23

2.3.7. Penanganan Konservatif

Pada umumnya terapi inkontinensia urine adalah dengan cara operasi. Akan tetapi

pada kasus ringan ataupun sedang, bisa dicoba dengan terapi konservatif. Latihan otot dasar
panggul adalah terapi non operatif yang paling populer, selain itu juga dipakai obat-obatan,

stimulasi dan pemakaian alat mekanis.11,15,16,17

1. Latihan Otot Dasar Pinggul (Pelvic Floor Exercises)

Kontinensia dipengaruhi oleh aktifitas otot lurik urethra dan dasar pelvis. Fisioterapi

meningkatkan efektifitas otot ini. Otot dasar panggul membantu penutupan urethra pada

keadaan yang membutuhkan ketahanan urethra misalnya pada waktu batuk. Juga dapat

mengangkat sambungan urethrovesikal kedalam daerah yang ditransmisi tekanan

abdomen dan berkontraksi secara reflek dengan peningkatan tekanan intraabdominal,

perubahan posisi dan pengisian kandug kemih.

Pada inkompeten sfingter uretra, terdapat hilangnya transmisi tekanan abdominal pada

uretra proksimal. Fisio terapi membantu meningkatkan tonus dan kekuatan otot lurik

uretra dan periuretra.

Pada kandung kemih neurogrik, latihan kandung kemih (bladder training) telah

menunjukan hasil yang efektif.11 Latihan kandung kemih adalah upaya melatih kandung

kemih dengan cara konservatif, sehingga secara fungsional kandung kemih tersebut

kembali normal dari keadaannya yang abnormal.

Langkah-langkah LKK(Latihan kandung kecing) :

- Tentukan tipe kandung kemih neurogenik

- Tiap waktu miksi dimulai dengan stimulasi :

Tipe UMN : Menepuk paha dalam, menarik rambut daerah pubis,

masukkan jari pada rektum.


Tipe LMN : Metode Crade atau manuver valsava.

- Kateterisasi : kateter menetap atau berkala.

2. Obat-obatan 11,15,16,17

a. Alfa Adrenergik Agonis

Otot leher vesika dan uretha proksimal megandung alfa adrenoseptor yang

menghasilkan kontraksi otot polos dan peningkatan tekanan penutupan urethra obat

aktif agonis alfa-reseptor bisa menghasilkan tipe stmulasi ini dengan efek samping

relatif ringan..

b. Efedrin

Efek langsung merangsang alfa sebaik beta-adrenoseptor dan juga melepaskan

noradrenalin dari saraf terminal obat ini juga dilaporkan efektif pada inkotinensia

stres.Efek samping menigkatkan tekanan darah, kecemasan dan insomnia oleh karena

stimulasi SSP

c. Phenylpropanololamine

PPA (Phenylpropanololamine) efek stimulasi perifer sebanding dengan efedrin, akan

tetapi dengan efek CNS yang terkecil. PPA adalah komponen utama obat influensa

dalam kombinasi dengan antihistamin dan anthikholinergik. Dosis 50 mg dua kali

sehari. Efek samping minimal. Didapatkan 59 % penderita inkontinensia stres

mengalami perbaikan.

d. Estrogen

Penggunaannya masih kontroversi. Beberapa penelitian menunjukkan efek

meningkatkan transmisi tekanan intra abdominal pada uretra dengan estrogen dosis

tinggi oral dan intravaginal. Estrogen biasanya diberikan setelah tindakan bedah pada

39
inkontinensia dengan tujuan untuk memperbaiki vaskularisasi dan penyembuhan

jaringan urogential, walaupun belum ada data yang akurat.

2.3.8. Penanganan Operatif

Penatalaksanaan stres inkontinensia urine secara operatif dapat dilakukan dengan

beberapa cara meliputi :

1. Kolporafi anterior

2. Uretropeksi retropubik

3. Prosedur jarum

4. Prosedur sling pubovaginal

5. Periuretral bulking agent

6. Tension vaginal tape (TVT)

Tindakan operatif sangat membutuhkan informed consent yang cermat dan baik pada

penderita dan keluarganya karena angka kegagalan maupun rekurensi tindakan ini tetap

ada.

2.3.8.1 Kolporaphy Anterior

Kolporaphy anterior apakah dilakukan sebagai prosedur yang terpisah atau bersamaan

dengan pembedahan ginekologi yang lain umumnya merupakan operasi ginekologi. Operasi

ini merupakan operasi definitif untuk mengkoreksi stes inkontinensia. Bagaimanapun selama

dua dekade teknik operasi ini telah teruji secara cermat dan terbukti lebih spesifik untuk

menangani kasus ini.

40
Gambaran klasik telah dipublikasikan oleh Kelly (1913). Teknik operasi termasuk

penjahitan pada robekan fascia dari uretra dan kandung kemih yang kemudian dimodifikasi

oleh Kennedy (1937). Selanjutnya sejumlah modifikasi minor telah dilakukan.

Melakukan kolporaphy anterior memerlukan pemahaman tepat tentang anatomi dan

fisiologi struktur dasar panggul. Beberapa hal yang harus diidentifikasi adalah :

1. Mukosa vagina

2. Peritoneum vesikouterina

3. Fascia pubovesikalis-servikalis

4. Uretrovesical junction

5. Uretra

6. Vena-vena pleksus uterovaginal

41
DAFTAR PUSTAKA

1. Faraj R, Broome J. Laparoscopic Sacrohysteropexy and Myomectomy for Uterine


Prolapse: A Case Report and Review of the Literature. Journal of Medical Case
Report 2009.

2. Barsoom RS, Dyne PL. Uterine Prolapse in Emergency Medicine.Medscape Article.


[database on the medscape] 2011.

3. Anhar, K & Fauzi, A 2003, Kasus prolaps uteri di rumah sakit dr.mohammad hoesin
palembang selama lima tahun (1999-2003).

4. Decherrney AH, Pelvic Organ Prolaps in Current Diagnosis and Treatment. Edit
Goodwin, TM, The McGraw hill :New York. Hal (315-328) edisi ke 4. 2006

5. Wiknjosastro, H. (2008). Ilmu Kebidanan. Yogyakarta: Yayasan Bina Pustaka.

6. Junizaf. Prolapsus Uteri dalam Kehamilan.Dalam Buku Ajar


Uroginekologi.Subbagian Uroginekologi-Rekonstruksi Bagian Obstetri dan
Ginekologi FKUI/RSPUN-CM. 2002. 77-80.

7. Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T. Ilmu Kandungan. EdisiKedua,


Cetakan Ketujuh. Jakarta: PT Bina Pustaka SarwonoPrawirohardjo. 2009. Hal: 9-
11,432,433,436,437

8. Wiknjosastro H. Prolapsus Genitalis. Ilmu Kandungan. Edisi pertama, Cetakan ke-5.


Yayasan Bina Pustaka. Sarwono Prawirohardjo. Jakarta. 1991. 360-375.

9. Schorge JO, Schaffer JI, Halvorson LM, Hoffman BL, Bradshaw KD,Cunningham
FG. Williams Gynecology. The McGraw-Hill Companies.2008.

10. Wiknjosastro H. Prolapsus Genitalis. Ilmu Kandungan. Edisi pertama, Cetakan ke-5.
Yayasan Bina Pustaka. Sarwono Prawirohardjo. Jakarta. 1991. 360-375.

11. Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T. Ilmu Kandungan. EdisiKedua,


Cetakan Ketujuh. Jakarta: PT Bina Pustaka SarwonoPrawirohardjo. 2009.

12. Josoprawiro M.J. 2002. Penanganan Fistula Urogenital dengan pendekatan


transvagina. urogeniklogi I. Rekonstruksi obstet dan genikol. FK-UI: Jakarta.
13. Junizaf. 2002. Fistula Vesiko Vagina, Urogenikologi I, Uroginikologi Rekontruksi
obstet dan genekol. FK-UI : Jakarta.
14. Kohli N, Miklos J.R. 2007. Managing Vesica-Vagina Fistula, Womens Healt and
Education Center- Urogynology : Boston

42
15. Pranata, A. 2007. Karakteristik Kasus Fistula Urogenital di Departemen Obstetri dan
Ginekologi RSUP H. Adam Malik dan RSUD dr. Pirngadi Medan. Tesis. FK-USU :
Medan
16. Riley V.J. 2004. Vesikovaginal Fistula, available at Emedicine.
17. Santoso BI. 2002. Fistula Urogenital, Urogenikologi I, Uroginikologi Rekonstruksi
Obstet dan ginekol FK-UI : Jakarta.
18. Shobeiri SA, Chesson RR, Echols KT. 2011. Cystoscopy Fistulography: A new
technique for the diagnosis of vesikocervical Fistula.
19. Tafesse B, Muleta M, Michael A.W, et al. 2006. Obstetric Fistula and its Physical,
Social and Psychological dimension : The Etiopian Scenario. Acta Urologica.
23;4:25-31.
20. Wall L.L, Arrowsmith S.D, Briggs N.D. 2006. Urinary Incotinence in the Developing
Word: the Obstetric Fistula, Comittee 12, available at fistulafoundation.org
21. WHO. 2006. Obstetric Fistula.
22. Zmora O, Tulchinsky H, Eyal G, Goldman G, Klauster JM, Rabau M. 2006. Gracilis
Muscle Transposition for Fistulas Between the Rectum and Urethra or Vagina.
Disease of the Colon and Rectum.
23. Andrianto P. Urologi Untuk Praktek Umum. EGC. Jakarta, 1991 : 175-186.
24. Prawirohardjo S. Ilmu kandungan. Edisi I. Yayasan Bina Pustaka. Jakarta, 1991 : 392-
404.
25. Burnnet LS. Relaxations, Malpositions, Fistulas, and Incontinence. In : Jones HW,
Wentz AC, Burnnet LS. Novaks Texbook of Gynecology. Eleventh Ed. William &
Wilkins, 1988 ; 467-478.
26. Marchant DJ. Urinary Incontinence. Obsterics and Gynecology Annual, 19809 ; 9 :
261-2
27. Richardson AC, Edmonds PB, Williams NL. Treatment of Stress Incontinence due
to Paravaginal Fascial Defect. Obstet Gynecol 1981 ; 57 : 357-362.
28. Fantl JA, Hurt WE, Bump RC, Dunn LJ, Choi SC. Urethral Axis and Sphincteric
Function. Am J Obstet Gynecol 1986 ; 155 : 554-558.
29. De Lancey JL. Correlative Study of Paraurehtral Anatomy. Obstet Gynecol 1986; 68 :
91-97
30. De Lancey JL. Structural Aspects of the Exrrinsic Continence Mechanism. Obstet
Gynecol 1988 ; 72

43
31. Low JA, Mauger GM, Dragovic J. Diagnosis of the Unstable Detrusor : Comparison
of an Incremental and Continuous Infusion Technique. Obstet Gynecol 1985 ; 65 : 99-
103.
32. Sand PK, Bowen LW, Ostegard DR, Brubaker L, Panganiban R. The Effect of
Retropubic Urethropexy on Detrusor Instability. Obstet Gynecol 1988 ; 71 : 818-822.
33. Purnomo, Dasar-dasar Urologi. FK>Brawijaya, Malang 2003; 106-119.
34. Bhatia NN, Bergman A. pessary Test in women With urinary Incontinence. Obstet
Gynecol 1985 ; 65 : 220-225.
35. Horbach NS, Blanco JS, Ostergard DR, Bent AE, Cornella JL. A Suburethral Sling
Procedure With Polytetrafluoroethylene for the Treatment of Genuine Stress
Incontinence in Patients With Low Urethral Closure Pressure. Obstet Gynecol 1988 ;
71 : 648-652.
36. Morgan JE, Farrow GA, Stewart FE. The Marlex Sling Operation for the Treatment of
Recurrent Stress Urinary Incontinence : A 16-years review. Am J Obstet Gynecol
1985 ; 151 : 224-226.
37. Junizaf. Buku Ajar Uroginekologi. FK.UI. Jakarta, 2002 ; 90-96.
38. Josoprawiro. Inkontinensia Urin dan Gejala Uroginetal Terkait Pada Wanita Usia
Lanjut. PIT X, Padang. 30Juni-3Juli 1997
39. Shawn.A.S. Incontinence, Prolapse, and Disorder of The Pelvis Floor.. In : Jonathan,
Rebecca, Paula Third. Ed. William % Wilkins, 2002 ; 654-680.

44

Anda mungkin juga menyukai