Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PRAKTIKUM

MEKANIKA FLUIDA I – TL 2101


MODUL 05
PENGUKURAN KECEPATAN GAS DALAM CEROBONG

Nama Praktikan : Aristina Marzaningrum


NIM : 15317021
Kelompok/Shift : 2A (09:30 – 11:00)
Tanggal Praktikum : 8 Oktober 2018
Tanggal Pengumpulan : 14 Oktober 2018
PJ Modul : Tsamara Luthfia Henviandini (15315016)
Givanny Maiherlia (15316100)
Asisten yang Bertugas : Daniel Juan Carlos Napitupulu (15316073)
Nurashila Dhiyani (15315006)

PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN


FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2018
I. Tujuan Praktikum
1. Menentukan metode pengukuran gas dalam cerobong
2. Menentukan koefisien kalibrasi Pitot S
3. Menentukan profil distribusi kecepatan gas dalam cerobong

II. Data Awal


Tabel 2.1 Data Awal
No Parameter Hasil Satuan
1 Tekanan Barometrik 720.1 mmHg
o
2 Suhu Gas (Tgas) 301.65 K
Panjang sisi
3 cerobong (L) 0.126 m
Lebar sisi cerobong
4 (w) 0.115 m

Tabel 2.2 Hasil Pengukuran P dengan Pitot std (mmH2O)


Posisi ∆Pstd
4 13.43
5 15.3
6 15.48

Tabel 2.3 Hasil pengukuran tekanan denganmenggunakan pitot S kaki A


(mmH2O)

Posisi Ptotal Pstatis ∆P CpA


4 54.4 33.7 20.7 0.79742166
5 56.63 33.6 23.03 0.806926431
6 56.66 33.7 22.96 0.812895522
Rata-rata CpA 0.805747871

Tabel 2.4 Hasil pengukuran tekanan dengan menggunakan pitot S kaki B


(mmH2O)
Posisi Ptotal Pstatis ∆P CpB
4 54.86 35.69 19.17 0.828632847
5 56.25 34.67 21.58 0.83359517
6 56.56 34.96 21.6 0.838096057
Rata-rata CpB 0.833441358

Tabel 2.5 Hasil pengukuran tekanan dengan menggunakan pitot S kaki


terpilih (mmH2O)
Titik Ptotal Pstatis
1 53.28 34.68
2 56.2 35.03
3 54.69 35.59
4 54.85 35.51
5 56.81 35.9
6 56.58 35.52
7 53.96 37.3
8 56.36 36.65
9 54.12 37.27

III. Pengolahan Data


a. Luas Penampang (A)
Karena bentuk cerobong yang digunakan berbentuk persegi panjang,
maka perhitungan luas penampang adalah perkalian antara panjang (L)
dengan lebar (W) yang jika ditulis persamaannya adalah sebagai berikut:
𝐴=𝐿𝑥𝑊
Dari rumus tersebut dimasukkan data yang ada dari tabel 2.1 yaitu:
𝐴 = 0.115 𝑥 0.126
𝑨 = 𝟎. 𝟎𝟏𝟒𝟒𝟗 m2
b. Tekanan Kecepatan (∆P)
Tekanan kecepatan diperoleh dari pengurangan nilai tekanan total dengan
tekanan statis dengan satuan mmH2O Yang jika ditulis persamaaannya
adalah sebagai berikut:
∆P = Ptotal − Pstatis
Dari rumus tersebut dimasukkan data yang ada pada tabel 2.3 berisika data
dari pitot S kaki A yaitu:
∆P = 54.4 − 33.7
∆𝐏 = 𝟐𝟎. 𝟕 mmH2O
Dengan perlakuan yang sama untuk posisi 5 dan 6 maka dihasilkan nilai
∆P masing-masing sebesar 23.03 mmH2O dan 22.96 mmH2O. Untuk
perhitungan ∆P pitot S kaki B juga dilakukan perhitungan seperti
persamaan di atas sehingga didapatkan untuk posisi 4,5, dan 6 adalah
sebesar 35.69 mmH2O, 34.67 mmH2O, dan 34.96 mmH2O.
c. Penentuan Diameter Ekivalen
Untuk mendapatkan jumlah traverse point yang diinginkan, maka harus
diketahui terlebih dahulu nilai diameter ekuivalen (De) cerobong yang
digunakan dalam praktikum. Dalam praktikum ini digunakan cerobong
yang berpenampang persegi, sehingga perhitungannya adalah
menggunakan persamaan berikut:

2𝐿𝑊
𝐷𝑒 =
(𝐿 + 𝑊)
Jika dimasukkan data yang diambil oleh praktikan yang ada dalam tabel 2.1
maka perhitungannya menjadi:

2𝑥 0.126 𝑥 0.115
𝐷𝑒 =
(0.126 + 0.115)
𝑫𝒆 = 𝟎. 𝟏𝟐𝟎𝟐𝟒𝟗 𝒎
𝑫𝒆 ~ 𝟎. 𝟏𝟐 𝒎

d. Koefisien Kalibrasi (Cp)


Untuk pemilihan kaki Pitot S, maka harus didapatkan nilai Cp
sehingga dapat ditentukan kaki yang dipakai dalam percobaan yang
dilakukan praktikan. Nilai Cp tersebut dapat dinyatakan dengan persamaan
berikut:
∆𝑃𝑆𝑡𝑑
𝐶𝑝(𝑠)= 𝐶𝑝(𝑆𝑡𝑑) √
∆𝑃

Nilai Cp std adalah 0.99. Jika dari data yang diambil dari tabel
2.3 dapat dimasukkan ke dalam persamaan di atas. Diambil data posisi 4
sehingga persamaannya menjadi sebagai berikut:

13.43
𝐶𝑝(𝑠)= 0.99√
20.7

𝑪𝒑(𝒔)= 𝟎. 𝟕𝟗𝟕𝟒𝟐𝟏𝟔𝟔

Metode perhitungan tersebut berlaku pada posisi 5 dan 6, yang


jika dimasukkan datanya didapatkan hasil pada posisi 5 dan 6 masing-
masing sebesar 0.806926431 dan 0.812895522. Setelah itu dihitung nilai
rata-ratanya agar dapat diambil kesimpulan nilai dari CpA, yang dinyatakan
dengan persamaan berikut:
𝐶𝑝(𝑠)= (0.806926431 + 0.812895522 + 0.79742166)/3
𝑪𝒑(𝒔) 𝑨 = 𝟎. 𝟖𝟎𝟓𝟕𝟒𝟕𝟖𝟕𝟏
Untuk mendapatkan nilai Koefisien Kalibrasi pada kaki B, juga
dilakukan dengan persamaan dean metode perhitungan yang sama.
Sehingga didapatkan nilai CpB pada masing-masing posisi adalah sebagai
berikut:
Cp(s)B Posisi 4: 0.828632847
Cp(s)B Posisi 5: 0.83359517
Cp(s)B Posisi 6: 0.838096057
Dan didapatkan nilai rata-rata Cp(s) B adalah sebesar 0.833441358.
e. Perhitungan pada Pitot S Kaki B
Berdasarkan hasil perolehan nilai Cp(s) rata-rata, kaki Pitot S yang dipilih
adalah Pitot S Kaki B. Sehingga perhitungan selanjutnya yang dipakai
praktikan adalah menurut data dari Pitot S Kaki B.
 Konversi perhitungan tekanan total (Ptotal) dan Pstatis+ tambahin
yang statis juga gini perlakuannya
Untuk memudahkan perhitungan, maka nilai Ptotal dan Pstatis harus
dikonversi dari mmH2O menjadi mmHg. Untuk dihasilkan nilai
konversi mmHg adalah dengan membagi nilai Ptotal dan Pstatis
dengan 13.6. Data mengenai Ptotal dan Pstatis didapatkan dari tabel
2.5 dan diambil sebagai sampel adalah data pada titik 1 untuk
Ptotal.
1
𝑚𝑚𝐻𝑔 = 𝑚𝑚𝐻2𝑂
13.6
1
𝑚𝑚𝐻𝑔 = 53.28
13.6
𝒎𝒎𝑯𝒈 = 𝟑. 𝟗𝟏𝟕𝟔𝟒𝟕𝟎𝟓𝟗
Sementara itu dilakukan pula perlakuan yang sama untuk Pstatis
titik 1 sehingga didapatkan nilai sebesar 2.55 mmHg. Perlakuan
yang sama juga dilakukan untuk titik 2 sampai 9 yang hasilnya
adalah dalam tabel berikut.

Tabel 3.1 Nilai Ptotal dan Pstatis yang sudah dikonversi


Titik Ptotal Pstatis
(mmHg) (mmHg)
1 3.917647059 2.55
2 4.132352941 2.575735294
3 4.021323529 2.616911765
4 4.033088235 2.611029412
5 4.177205882 2.639705882
6 4.160294118 2.611764706
7 3.967647059 2.742647059
8 4.144117647 2.694852941
9 3.979411765 2.740441176

 Nilai tekanan kecepatan (∆P)


Nilai tekanan kecepatan diperoleh dari pengurangan nilai tekanan
total dengan tekanan statis yang dihasilkan dari pengukuran yang
dilakukan pada Pitot S kaki B. Persamaannya dinyatakan sebagai
berikut.
∆P = Ptotal − Pstatis
Jika dimasukkan data pada tabel 3.1 dan diambil sebagai contoh
yaitu titik 1, maka perhitungannya sebagai berikut.
∆P = 3.917647059 − 2.55
∆P = 1.367647059
Persamaan dan metode perhitungan dilakukan pula untuk titik 2
sampai 9 yang jika dihitung akan didapatkan hasil yang dinyatakan
dalam tabel berikut.
Tabel 3.2 Nilai Ptotal dan Pstatis yang sudah dikonversi

Posisi ∆P (mmHg)
1 1.367647059
2 1.556617647
3 1.404411765
4 1.422058824
5 1.5375
6 1.548529412
7 1.225
8 1.449264706
9 1.238970588
f. Kecepatan aliran gas (vs)
Untuk mendapatkan nilai Vs digunakan persamaan berikut:
0.5
𝑇𝑔𝑎𝑠 𝑥 𝛥𝑃
vs = 𝐶𝑝𝑠 𝐵𝑥 𝐾𝑝 [ ]
(𝑃𝑏𝑎𝑟𝑜𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟 + 𝑃𝑠𝑡𝑎𝑡𝑖𝑠 )𝑀𝑔𝑎𝑠
Keterangan:
Cp(s)B = Koefisien pitot S pada kaki B (idealnya 0.84)
Kp = Konstanta kecepatan (34.97)
Tgas = Temperatur gas dalam cerobong (K)
𝛥P = Tekanan kecepatan (mmHg)
Pbarometer = Tekanan Barometer
Pstatis = Tekanan Statis
Mgas = Berat molekul gas (g/gmol) (29g/g mol)
Sebagai contoh maka dilakukan perhitungan untuk titik 1 dan sisa data
yang dibutuhkan didapatkan dari tabel 2.1.
301.65 𝑥 1.367647059 0.5
vs = 0.833441358 𝑥 34.97 [ ]
(720.1 + 34.68)29

vs = 4.089275403 m/s
Jika dilakukan hal yang sama seperti persamaan dan metode
perhitungan di atas, akan didapatkan hasil dalam tabel berikut.
Tabel 3.3 Hasil perhitungan nilai kecepatan aliran gas
Posisi vs (m/s)
1 4.089275403
2 4.362571764
3 4.143682456
4 4.16965176
5 4.335507589
6 4.351114509
7 3.869630579
8 4.209104209
9 3.891639682

g. Debit aliran gas (Q)


Untuk mendapatkan nilai Q digunakan persamaan berikut:
𝑇𝑠𝑡𝑑 (𝑃𝑏𝑎𝑟𝑜𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟 + 𝑃𝑠𝑡𝑎𝑡𝑖𝑠 )
𝑄 = 3600 (1 − 𝐵𝐻2 𝑂 ) 𝑉𝑠 𝑥 𝐴 ( )
(𝑇𝑔𝑎𝑠 + 𝑃𝑠𝑡𝑑 )
Keterangan:
BH2O = Fraksi volume uap air (0.22)
vs = kecepatan gas dalam cerobong (m/s)
Tstd = Temperatur standar (298 oK)
𝛥P = Tekanan kecepatan (mmHg)
Pbarometer = Tekanan Barometer (mmHg)
Pstatis = Tekanan Statis (mmHg)
Tgas = Temperatur gas (oK)
Pstd = Tekanan standar (760 mmHg)
Sebagai contoh maka dilakukan perhitungan untuk titik 1 dan sisa data
yang dibutuhkan didapatkan dari tabel 2.1 dan nilai vs dan luas penampang
yang sudah dihitung sebelumya.

298(720.1 + 2.55)
𝑄 = 3600 (1 − 0.22)4.089275403 x 0.1449 ( )
(301.65 + 760)

𝑄 = 17.36587573 m3 /jam
Jika dilakukan persamaan dan metode perhitungan yang sama, maka
akan didapatkan nilai Q pada masing-masing posisi seperti pada tabel
berikut.
Tabel 3.4 Hasil perhitungan nilai debit pada tiap posisi
Posisi Q (m3/jam)
1 17.36587573
2 18.52713981
3 17.59855483
4 17.70870443
5 18.41383245
6 18.47940395
7 16.43749356
8 17.87833419
9 16.53093381

IV. Data Akhir


Tabel 4.1 Tabel hasil perhitungan kecepatan dan debit aliran dalam cerobong
Pstatis
Posisi Ptotal (mmHg) ∆P (mmHg) vs (m/s) Q (m3/jam)
(mmHg)
1 3.917647059 2.55 1.367647059 4.089275403 17.36587573
2 4.132352941 2.575735294 1.556617647 4.362571764 18.52713981
3 4.021323529 2.616911765 1.404411765 4.143682456 17.59855483
4 4.033088235 2.611029412 1.422058824 4.16965176 17.70870443
5 4.177205882 2.639705882 1.5375 4.335507589 18.41383245
6 4.160294118 2.611764706 1.548529412 4.351114509 18.47940395
7 3.967647059 2.742647059 1.225 3.869630579 16.43749356
8 4.144117647 2.694852941 1.449264706 4.209104209 17.87833419
9 3.979411765 2.740441176 1.238970588 3.891639682 16.53093381
Qtotal 158.9402728

V. Analisis A
5.1.Cara Kerja
Pengerjaan dimulai dengan menyiapkan dan menyusun peralatan yang
dibutuhkan untuk praktikum yaitu Pitot Standar, Pitot S, Thermocouple,
Manometer, dan Selang Udara.
5.1.1. Penentuan Partikulat dan gas
Untuk memulai percobaan maka harus diidentifikasi terlebih dahulu
aliran fluida yang akan melewati cerobong. Identifikasi tersebut adalah
antara gas atau partikulat. Gas adalah zat yang tidak berbentuk dan gas ini
akan mengisi ruang yang ditempati pada suhu dan tekanan yang normal.
Apabila suhu dan tekanannya berubah, maka akan berubah wujudnya
menjadi padatan atau cair. Sementara itu, partikulat adalah bentuk dari
padatan atau cariran dengan ukuran molekul tunggal yang lebih besar adri
0.002 µm tetapi lebih kecil dari 500 µm yang tersuspensi dalam atmosfer
dengan keadaan normal. Bentuk dari partikulat dapat berupa asap, debu,
dan uap yang dapat tinggal di atmosfer dalam waktu yang lama. Dalam
praktikum ini, aliran fluida yang digunakan belum dilakukan proses
penyaringan, sehingga wujudnya tidak mungkis hanya dalam bentuk gas.
Karena demikian fluida yang digunakan dalam praktikum ini adalah
partikulat.
5.1.2. Penentuan Traverse Point (SNI 787 13 2009)
Setelah menentukan jenis aliran fluida dan diputuskan bahwa jenis
aliran fluida adalah partikulat, maka selanjutnya ditentukan lokasi dan titik-
titik lintas untuk pengambilan contoh uji partikulat dengan menggunakan
SNI 7117.13-2009. Pemilihan lokasi pengukuran kecepatan aliran yang
ideal, dilakukan pada posisi yang jaraknya minimal 8 kali diameter
cerobong dari gangguan bawah (hulu) dan 2 kali diameter dari gangguan
atas (hilir). Dengan catatan, kondisi cerobong terbebas dari gangguan
seperti bengkokan, ekspansi, atau pengecilan aliran. Jika kondisi cerobong
tidak dapat memenuhi kondisi tersebut, maka lokasi pengambilan contoh
uji dapat dilaksanakan 2 kali diameter dari gangguan bawah (hulu) dan 0,5
kali diameter dari gangguan atas (hilir) dengan jumlah titik-titik lintas yang
lebih banyak.
Untuk mendapatkan jumlah traverse point yang diinginkan, maka harus
diketahui terlebih dahulu nilai diameter ekuivalen (De) cerobong yang
digunakan dalam praktikum. Dalam praktikum ini digunakan cerobong
yang berpenampang persegi, sehingga perhitungannya adalah
menggunakan persamaan berikut:

2𝐿𝑊
𝐷𝑒 =
(𝐿 + 𝑊)
Jika dimasukkan data yang diambil oleh praktikan yang ada dalam tabel 2.1
maka perhitungannya menjadi:

2𝑥 0.126 𝑥 0.115
𝐷𝑒 =
(0.126 + 0.115)
𝑫𝒆 = 𝟎. 𝟏𝟐𝟎𝟐𝟒𝟗 𝒎
𝑫𝒆 ~ 𝟎. 𝟏𝟐 𝒎

Karena cerobong yang digunakan memenuhi kriteria 2D dan 8D, maka


setelah didapatkan nilai De, dilanjutkan dengan menentukan jumlah titik
berdasar grafik untuk partikulat. Grafik tersebut adalah sebagai berikut:
Gambar 5.1 Grafik penentuan jumlah titik (traverse point) untuk uji
partikulat
Sumber: http://www.infolabling.com/2014/09/ringkasan-sni-711713-
2009-penentuan.html#.W-uRDOgzZPY
Dari grafik di atas, dapat dilihat bahwa nilai De yang dapat memenuhi
grafik adalah sebesar 0.30 – 0.61 sementara nilai yang didapatkan praktikan
pada praktikum ini adalah sebesar 0.12. Maka seharusnya jumlah titikyang
digunakan tidak sebanyak 9 titik untuk cerobong empat sisi persegi panjang.
Tetapi, karena asumsi yang digunakan praktikan dalam praktikum ini
adalah ideal, maka banyaknya traverse pint yang digunakan adalah tetapi 9
titik.

Gambar 5.2 9 titik traverse point pada cerobong berpenampang persegi


panjang
5.1.3. Pengukuran ∆P pada cerobong di kaki A dan B
Setelah ditentukan jumlah dan posisi traverse point, selanjutnya adalah
menghitung tekanan kecepatan dengan menggunakan pitot S dan pitot
standar. Pitot standar ini berfungsi untuk mengukur tekanan standar untuk
dijadikan sebagai acuan. Pengukuran pitot standar dilakukan dengan
mengukur nilai tekanan total dan tekanan statis. Tekanan total didapatkan
dengan cara lubang pada pitot dihadapkan ke arah datangnya aliran fluida.
Untuk mengukur tekanan statis, lubang pitot diarahkan searah dengan aliran
fluida. Tetapi karena pitot standar memiliki dua lubang yang letaknya
berada di bagian bawah pitot dan arahnya berlawanan aliran fluida,
sehingga langsung dapat ditentukan nilai ∆P.
Untuk pitot S karena memiliki dua kaki yang berbeda yaitu kaki A dan
B, pengukurannya berbeda. Setiap kaki yang ada pada Pitot S pun berbeda
sehingga memiliki koefisien kalibrasi (Cp(s)) yang berbeda. Untuk
menghitung tekanan kecepatan sama halnya dengan pitot standar, yaitu
tekanan total dan tekanan statis diukur kemudia diselisihkan. Kemudian,
masing-masing hasil pengukuran harus diselisihkan sebab lubang dari pitot
S hanya satu dari masing-masing kaki.
5.2.Analisis Grafik Distribusi Kecepatan
Setelah dilakukan perhitungan nilai kecepatan, nilai kecepatan tersebut
direpresentasikan dalam bentuk grafik 2 dan 3 dimensi agar dapat terlihat profil
distribusi partikulat dengan menggunakan aplikasi di komputer yaitu Surfer.
Grafik profil kecepatan tersebut ditentukan dengan cara melakukan plotting
ukuran dari masing-masing koordinat traverse point dengan aliran gas yang
dapat direpresentasikan dengan tabel berikut:
Tabel 5.1 Koordinat plot grafik 2D dan 3D
Koordinat
Posisi
X Y Z
1 1.9 2.1 4.089275403
2 5.7 2.1 4.362571764
3 9.5 2.1 4.143682456
4 9.5 6.3 4.16965176
5 5.7 6.3 4.335507589
6 1.9 6.3 4.351114509
7 1.9 10.5 3.869630579
8 5.7 10.5 4.209104209
9 9.5 10.5 3.891639682

Gambar 5.3 Profil Distribusi 2 Dimensi


Sumber: Hasil perhitungan kelompok
Gambar 5.4 Profil Distribusi 3 Dimensi
Sumber: Hasil perhitungan kelompok
Dari Gambar 5.3 dan 5.4 dapat terlihat warna-warna. Warna-warna ini
merepresentasikan atau mewakili besar atau kecilnya kecepatan gas yang ada
pada data yang praktikan catat saat praktikum. Grafik tersebut adalah jika
warnanya semakin memerah maka akan semakin tinggi sementara jika semakin
jingga warnanya berarti nilai akan semakin kecil. Dari Gambar 5.4 dapat
terlihat puncak tertinggi dari grafik adalah pada data ke 6 yang nilai
kecepatannya adalah sebesar 4.351114509 m/s. Sementara itu, secara teori
seharusnya kecepatan gas tertinggi berada di tengah-tengah wind tunnel yaitu
pada titik posisi nomor 5 yang dapat dilihat pada gambar 5.2. Hal ini disebabkan
pada posisi tersebut tidak ada gesekan sisi cerobong. Sedangkan untuk
kecepatan gas terendah berada pada posisi 1,3, 7, dan 9. Hal ini disebabkan
pada titik-titik tersebut kecepatan gas dipengaruhi atau diganggu karena adanya
gesekan dengan sisi cerobong. Pada posisi 2,4,6, dan 8 juga dipengaruhi oleh
gesekan antara udara dengan sisi cerobong, tetapi besarnya tidak setinggi pada
titik 1,3, 7, dan 9. Pada grafik yang ada pada gamba 5.3 dan 5.4 juga terlihat
titik terendah adalah berada pada posisi ke 7 yaitu kecepatannya adalah sebesar
3.869630579 m/s.

5.3.Analisis Perbandingan Cara Kerja saat Praktikum dan SNI


Dalam penentuan titik lintasan, SNI memiliki cara yang tercantum
dalam SNI 7117.13.2009 yang ada dalam gambar berikut.

Gambar 5.5 Langkah-langkah yang ditentukan oleh SNI dalam menentukan


titik lintasan
Sumber: http://www.infolabling.com/2014/09/ringkasan-sni-711713-2009-
penentuan.html#.W-uRDOgzZPY

Pada dasarnya, seharusnya cara yang dilakukan saat keadaan aktual


dengan cara yang tertera pada SNI tidak terlalu jauh berbeda. Tetapi ada
beberapa hal yang tidak dilakukan oleh praktikan saat melakukan praktikum.
Seperti yang pertama adalah praktikan tidak memastikan perbandingan 2D dan
8D pada hulu dan hilir cerobong. Karena dalam praktikum ini, asumsi yang
digunakan adalah sudah ideal, sehingga tidak dilakukan pemastian
perbandingan 2D dan 8D. Dalam menentukan titik lintasan, praktikan hanya
menentukan berdasarkan nilai De cerobong saja memastikan adanya lubang
pengambilan contoh uji. Perbedaan selanjutnya adalah dalam pratikum,
penentuan titik lintasan hanya berdasarkannilai De cerobong, praktikan tidak
memastikan adanya lubang pengambilan contoh uji.
5.4.Analisis Kesalahan
Pada grafik yang terdapat pada gambar 5.3 dan 5.4 representasi dari
kecepatan tidak sepenuhnya terkumpul pada pusat cerobong. Hal ini dapat
terjadi karena adanya kesalahan yang terjadi selama praktikum. Yang pertama
adalah disebabkan karenga kurang tepatnya praktikan saat membaca
thermocouple. Hal ini dapat berpengaruh untuk perhitungan aliran debit aktual
(Q). Selain itu, ketidaktepatan praktan dalam menempatkan pitot pada titik-titik
yang ditentukan di cerobong yang digunakan selama percobaan. Selanjutnya,
ketidakkonsistenan praktikan saat memegang alat sehingga dapat
mengakibatkan kesalahan pengukuran.
5.5.Analisis Plume Rise
Baku mutu udara pada cerobong dengan baku mutu udara yang ada di
udara bebas berbeda. Yang ada pada cerobong adalah baku mutu emisi
sedangkan pada udara bebas adalah baku mutu udara ambien. Sehingga ketika
gas yang mengandung partikulat atau gas yang keluar dari cerobong,
konsentrasi dan jenis polutannya akan berbeda ketika gas tersebut berada di
udara ambien. Sehingga, dalam merancang cerobong perlu diperhatikan tinggi
efektifnya. Tinggi efektif ini adalah penjumlahan antara tinggi cerobong
dengan tinggi Plume Rise.
Pengertian dari Plume Rise itu sendiri adalah gerakan ke atas dari
kepulan gas dari ketinggian cerobong (stack) hingga asap mengalir secara
horizontal. Kenaikan tersebut disebabkan adanya momentum akibat kecepatan
vertikal gas dan juga perbedaan suhu flue gas dengan udara ambien.
Dikarenakan adanya Plume Rise, tinggi cerobong secara fisik tidak dapat
digunakan dalam persamaan gauss. Sehingga, tinggi cerobong perlu ditambah
dengan tinggi kenaikan kepulan asap yang dikenal dengan adanya tinggi
cerobong efektif.
Gambar 5.7 Contoh penampakan plum rise dalam persebaran gas dari dalam
cerobong
Jika diliat dalam persebaran gas dalam gambar 5.7, penyebarannya gas
dari dalam cerobong adalah mengikuti arah mata angin atau kemana arah angin
berhembus. Meskipun cerobong memiliki kerumitan model yang berbeda-beda,
persamaan disperse pencemar tetap digunakan persamaan yang sederhana yaitu
persamaan Gauss. Pada persamaan gauss, penyebaran pencemar yang
digunakan dalam persamaan Gauss adalah penyebarah pada arah vertikal dan
horizontal diasumsikan terjadi secara difusi yang sederhana di sepanjang arah
angin yang berhembus. Persamaannya dapat dinyatakan dalam persamaan
berikut:

Keterangan:
Q = Laju emisi pencemar (g/s)
u = Kecepatan angina pada ketinggian cerobong (m/s)
∂y = standar deviasi konsentrasi pencemar dalam arah y (m)
∂x = standar deviasi konsentrasi pencemar dalam arah x (m)
Y = Jarak horizontal reseptor dari sumber dalam arah-y
Z = Jarak vertikal reseptor dari sumber dalam arah-y
H = Tinggi efektif pencemar (hs + dH)
dH = Plum Rise
Dengan beberapa asumsi yaitu penyebaran kepulan memiliki distribusi
normal/gauss, laju emisi (Q) konstan dan berkesinambungan, kecepatan dana
rah angin uniform, kondisi pencemar steady state atau tidak akan berubah
terhadap waktu, dan reaksi yang melibatkan senyawa pencemar di udara
diabaikan.
VI. Analisis B
7.1. Aplikasi di Bidang Teknik Lingkungan
7.1.1. Cerobong Industri

Gambar 7.1. Contoh emisi berupa asap di Pabrik


Sumber: http://melanidifit.blogspot.com/2015/08/pentingnya-filtrasi-
pada-cerobong-asap.html
Cerobong merupakan struktur yang berfungsi sebagai ventilasi
pembungan gas buang atau asap dari bangunan yang menghasilkan emisi.
Cerobong biasanya tersusun secara vertikal atau mendekati vertikal. Hal
tersebut dimaksudkan untuk memastikan apakah aliran gas telah mengalir
dengan lancar atau belum. Biasanya kita sering mendapatkan cerobong asap
yang ukurannya sangat tinggi. Hal ini dimaksudkan untuk menarik setinggi-
tingginya udara yang ada dan selanjutnya melenyapkan polutan-polutan
yang trkandung dalam gas buiang menuju wilayah yang lebih luas sehingga
dapat mengurangi konsentrasi polutan yang telah disesuaikan dengan
batasan peraturanyang berlaku.
7.1.2. Estimasi Pola Dispersi Debu, SO2 dan NOx dari Industri Semen
Menggunakan Model Gauss yang Diintegrasi dengan Screen3

Gambar 7.2. Contoh Wilayah sebaran debu rata-rata dengan sumber


emisi cerobong N1 dan N2
Sumber: Dewi, Ni Wayan Srimani Puspa, Tania June, Mohammad Yani,
dan Mujito. 2018. Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Vol. 8 No. 1. Bogor.
Rahmawati (2003) menyatakan bahwa model Gauss dapat digunakan
untuk menduga disperse polutan dari satu sumber emisi atau beberapa sumber
dalam satu waktu dengan memerhitungkan faktor internal serta faktor
eksternal seperti kondisi meteorology, topografi, dan bangunan. Ruhiat
(2008) mengintegrasikan model disperse Gauss dengan program Screen3
(Model US-EPA dari Environmental Protection Agency di Amerika Serikat).
Hasil prediksi kondisi Plume Rise (kepulan) yang dapat dimanfaatkan
perusahaan untuk mengelola waktu produksi serta kapasitas produksi yang
tepat sehingga kualitas lingkungan tetap terjaga. Manfaat lain adalah
perusahaan dapat melakukan pemantauan kualitas udara yang efektif dan
representatif.

7.2. Fungsi Pengukuran v pada cerobong


Dengan meningkatnya teknologi, semakin meningkat pula industri yang
dibangun yang peningkatannya ini selaras pula dengan jumlah
pembangunan pabrik. Hal ini berkesinambungan juga dengan emisi gas
yang dikeluarkan dari tiap pabrik sehingga pencemaran udara pun
meningkat. Karena emisi yang dikeluarkan adalah berupa gas, yang
persebarannya adalah acak (tidak seperti fluida air yang persebarannya
adalah menurut wadahnya), maka dengan diketahuinya kecepatan aliran gas
dapat ditentukan pula persebarannya, sehingga dapat diketahui persebaran
hasil buangan dari industri.

VII. Kesimpulan
1. Metode pengukuran gas yang dipakai adalah Pitot S kaki B karena memili rata-
rata koefisien kalibrasi (Cp(s)) sebesar 0.833441358 dan paling mendekati Pitot
S Kaki yaitu sebesar 0.84.
2. Koefisien kalibrasi pitot S (Cp(s)) adalah seperti pada tabel berikut:
Tabel 7.1 Nilai CpA dan CpB

Posisi CpA CpB


4 0.79742166 0.828632847
5 0.806926431 0.83359517
6 0.812895522 0.838096057
Rata-Rata 0.805747871 0.833441358

3. Profil distribusi dapat dilihat pada Gambar 7.1 dan 7.2 yang didapatkan
menggunakan aplikasi Surfer.

Gambar 7.1 Profil Gambar 7.2 Profil


Distribusi 2 Dimensi Distribusi 3 Dimensi
DAFTAR PUSTAKA
http://melanidifit.blogspot.com/2015/08/pentingnya-filtrasi-pada-cerobong-asap.html.
Diunduh tanggal 13 November 2018.
https://pengen-tau.weebly.com/partikulat-tsp.html. Diunduh tanggal 13 November
2018.
http://www.infolabling.com/2014/09/ringkasan-sni-711713-2009-
penentuan.html#.W-uRDOgzZPY. Diunduh tanggal 13 November 2018.
https://arfianbella.wordpress.com/2014/10/18/evaluasi-mengenai-dampak-
lingkungan-pada-gas-dan-udara/. Diunduh tanggal 14 November 2018.
https://thrashmaniac.wordpress.com/2012/04/22/model-kualitas-udara-menggunakan-
persamaan-gauss/. Diunduh tanggal 14 November 2018.
http://libratama.com/mengenal-cerobong-asap-industri/.Diunduh tanggal 14
November 2018.
Dewi, Ni Wayan Srimani Puspa, Tania June, Mohammad Yani, dan Mujito. 2018.
Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Vol. 8 No. 1. Bogor.
LAMPIRAN

Sumber: http://melanidifit.blogspot.com/2015/08/pentingnya-filtrasi-pada-cerobong-
asap.html. Diunduh tanggal 13 November 2018.

Sumber: https://pengen-tau.weebly.com/partikulat-tsp.html
Sumber: http://www.infolabling.com/2014/09/ringkasan-sni-711713-2009-
penentuan.html#.W-uRDOgzZPY

Sumber: https://arfianbella.wordpress.com/2014/10/18/evaluasi-mengenai-
dampak-lingkungan-pada-gas-dan-udara/

Sumber: https://thrashmaniac.wordpress.com/2012/04/22/model-kualitas-
udara-menggunakan-persamaan-gauss/
Sumber: http://libratama.com/mengenal-cerobong-asap-industri/

Dewi, Ni Wayan Srimani Puspa, Tania June, Mohammad Yani, dan Mujito. 2018.
Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Vol. 8 No. 1. Bogor.

Anda mungkin juga menyukai