Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN PRAKTIKUM

MEKANIKA FLUIDA 1 – TL2101


MODUL 05
PENGUKURAN KECEPATAN
GAS DALAM CEROBONG

Nama Praktikan : Nasywa Dhiya Kamila


NIM : 15321115
Kelompok/Shift : 3B
Tanggal Praktikum : Kamis, 17 November 2022
Tanggal Pengumpulan : Kamis, 24 November 2022
PJ Modul : 1. Dian Anggrahini (15319028)
2. Clara Fortunata Wijaya (15320088)
Asisten yang Bertugas : 1. Shafiyah Qonita Ramadhina (15319069)
2. Ignatius Despranta Tarigan (15320062)

PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN


FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2022
I. Tujuan
I.1 Menentukan metode pengukuran gas, lokasi, dan titik pengambilan uji
dalam cerobong
I.2 Menentukan nilai koefisien kalibrasi pitot s terhadap pitot standar dan
menentukan kaki pitot s yang digunakan untuk mengukur kecepatan
aliran gas dalam cerobong
I.3 Menentukan nilai diameter ekuivalen (De) wind tunnel dan debit aliran
dalam gas cerobong
I.4 Menentukan profil persebaran dan faktor yang memengaruhi persebaran
kecepatan aliran gas dalam wind tunnel.

II. Data Awal


Data awal yang diperoleh saat praktikum modul 05 adalah sebagai berikut :
a. Koefisien Pitot Standar (Cpstd ) : 0.99
b. Tekanan Standar (Pstd ) : 760 mmHg
c. Temperatur Standar (Tstd ) : 298 K
d. Konstanta Kecepatan (Kp) : 34.97
e. Fraksi Mol Uap Air (BH2O) : 0.22
f. Mgas : 29 g/gmol
g. Koefisien Pitot S (Cpstd ) : 0.84

II.1 Data Pengukuran Kecepatan Gas Dalam Cerobong


Tabel II.1 Data Awal Pengukuran Kecepatan Gas Dalam Cerobong
Parameter Hasil Pengukuran Satuan
Tekanan Barometer
720 mmHg
(Pbar )
Tekanan Gas (Tgas ) 302.8 K
Panjang Sisi Cerobong
0.126 m
(L)
Lebar Sisi Cerobong
0.115 m
(W)
II.2 Hasil Pengukuran Tekanan Menggunakan Pitot Standar
Tabel II.2 Data Hasil Pengukuran Tekanan Menggunakan Pitot Standar
(mmH2 O)
Posisi ∆𝐏 (𝐦𝐦𝐇𝟐 𝐎)
4 12.5
5 13.8
6 13.3

II.3 Hasil Pengukuran Tekanan Menggunakan Pitot S Kaki A


Tabel II.3 Data Hasil Pengukuran Tekanan Menggunakan Pitot S Kaki A
(mmH2 O)
Posisi ∆𝐏 (𝐦𝐦𝐇𝟐 𝐎) Cp A
4 15.4 0.8919280881
5 16.9 0.8946051326
6 16.55 0.8874870324
Cp Aavg 0.8913400843

II.4 Hasil Pengukuran Tekanan Menggunakan Pitot S Kaki B


Tabel II.4 Data Hasil Pengukuran Tekanan Menggunakan Pitot S Kaki B
(mmH2 O)
Posisi ∆𝐏 (𝐦𝐦𝐇𝟐 𝐎) Cp B
4 16.5 0.861684397
5 19.05 0.8426112394
6 17.2 0.8705561574
Cp Bavg 0.8582839313

II.5 Hasil Pengukuran Kaki Terpilih Menggunakan Kaki Terpilih Pitot S


Kaki B
Tabel II.5 Hasil Pengukuran Kaki Terpilih Menggunakan Kaki
Terpilih Pitot S Kaki B
Posisi 𝐏𝐬𝐭𝐚𝐭𝐢𝐬 (𝐦𝐦𝐇𝟐 𝐎) 𝐏𝐭𝐨𝐭𝐚𝐥 (𝐦𝐦𝐇𝟐 𝐎)
1 50 60.4
2 50.4 60.3
3 50.42 59.06
4 50 59.84
5 49.4 61.2
6 50.97 60.56
7 52 57.7
8 51.72 60
9 51.89 59.1

II.6 Koordinat X dan Y Traverse Point


Tabel II.6 Koordinat X dan Y Traverse Point
Koordinat
Traverse Point
X Y
1 2.21 1.9
2 6.3 1.9
3 10.5 1.9
4 2.1 5.7
5 6.3 5.7
6 10.5 5.7
7 2.1 9.5
8 6.3 9.5
9 10.5 9.5

III. Pengolahan Data


III.1 Menentukan Diameter Ekivalen (De)
Untuk menentukan jumlah traverse point, dihitung terlebih dahulu besar
diameter ekivalen (De) pada cerobong yang digunakan yaitu cerobong atau
wind tunnel berpenampang segi-empat. Besarnya diameter ekivalen dapat
dihitung menggunaka persamaan beirkut.
2×L×W
De =
L+W
Dengan keterangan, De menyatakan diameter ekivalen (m), L menyatakan
panjanga penampang wind tunnel (m), dan W menyatakan lebar penampang
wind tunnel (m). Nilai L dan W diketahui pada Bab II Data Awal masing –
masing sebesar 0.126 m dan 0.115 m. Dengan demikian, besarnya diameter
ekivalen untuk wind tunnel diperoleh menggunakan persamaan berikut.
2×L×W
De =
L+W
2 × 0.126 m × 0.115 m
De =
0.216 m + 0.115 m
De = 0.1202489 m
III.2 Menentukan Luas Penampang Traverse Point
Diketahui ilustrasi penampang wind tunnel sebagai berikut.
7 8 9
6 5 4
1 2 3
Gambar III.1 Ilustrasi Traverse Point Pada Penampang
Wnd Tunnel
(Sumber : Modul Praktikum Mekanika Fluida I. 2022)
Dari Gambar III.1, dapat disimpulkan bahwa cerobong terbagi menjadi
Sembilan segiempat dengan luas yang ekivalen. Dengan demikian, luas
penampang untuk tiap traverse point dapat dihitung dengan persamaan sebagai
berikut.
L×W
A=
9
Dengan keterangan, A menyatakan luas penampang traverse point (m2 ), L
menyatakan Panjang gelombang wind tunnel (m), dan W menyatakan lebar
penampang wind tunnel (m). Nilai L dan W tertera pada Bab II Data Awal
sebesar 0.126 m dan 0.115 m. Dengan demikian, dapat dihitung luas
penampang tiap traverse point sebagai berikut.
L×W
A=
9
0.126 m × 0.115 m
A=
9
A = 0.00161 m2

Dari perhitungan di atas, didapatkan luas penampang untuk tiap traverse point
sebesar 0.00161 m2 .

III.3Menentukan ∆P (Pkecepatan )

III.3.1 Menentukan ∆P (Pkecepatan ) Pada Pitot Standar

Tekanan kecepatan pada pitot standar diperoleh dari selisih antara


tekanan total dengan tekanan statis gas. Nilai ∆P juga dapat diperoleh
dari pembacaan manometer pada pitot standar. Untuk langkah kerja
dalam pengukuran ∆P pada pitto standar dijelaskan lebih lanjut pada
Subbab V.1. Dari percobaan, diperoleh nilai ∆P untuk posisi 4, 5, dan 6
adalah 12.5 mmH2 O, 13.8 mmH2 O, dan 13.5 mmH2 O.

III.3.2 Menentukan ∆P (Pkecepatan ) Pada Kaki A Pitot S

Pada pengukuran ∆P pada kaki A pitot S, akan diperoleh dari selisih


antara tekanan total dengan tekanan statis gas sesuai persamaan berikut.
∆P = Ptotal − Pstatis
Nilai ∆P juga diperoleh dari nilai yang terbaca pada manometer yang
terhubung dengan pitot S. Untuk langkah kerja dalam pengukuran ∆P
pada kaki A pitot S dijelaskan lebih lanjut pada Subbab V.1. Dari
percobaan, diperoleh nilai ∆P pada kaki A untuk posisi 4, 5, dan 6 adalah
15.4 mmH2 O, 16.9 mmH2 O, dan 16.55 mmH2 O.

III.3.3 Menentukan ∆P (Pkecepatan ) Pada Kaki B Pitot S

Pada pengukuran ∆P pada kaki B pitot S, akan diperoleh dari selisih


antara tekanan total dengan tekanan statis gas sesuai persamaan berikut.
∆P = Ptotal − Pstatis
Nilai ∆P juga diperoleh dari nilai yang terbaca pada manometer yang
terhubung dengan pitot S. Untuk langkah kerja dalam pengukuran ∆P
pada kaki B pitot S dijelaskan lebih lanjut pada Subbab V.1. Dari
percobaan, diperoleh nilai ∆P pada kaki B untuk posisi 4, 5, dan 6 adalah
16.5 mmH2 O, 19.05 mmH2 O, dan 17.2 mmH2 O.

III.4Menentukan Koefisien Kalibrasi

III.4.1 Menentukan Koefisien Kalibrasi pada Kaki A Pitot S

Untuk menghitung koefisien kalibrasi (Cp) pada kaki A pitot S,


dapat menggunakan persamaan berikut.

∆Pstd
CpA = Cpstd × √
∆P

Dengan CpA menyatakan koefisien kalibrasi pada kaki A pitot S, Cpstd


menyatakan koefisien pitot standar, ∆Pstdmenyatakan tekanan pada pitot
standar (mmH2 O), dan ∆P menyatakan tekanan kecepatan pada kaki A
pitot S (mmH2 O). Besar CpA pada posisi 4 jika dihitung menggunakan
persamaan di atas adalah sebagai berikut.

∆Pstd
CpA = Cpstd × √
∆P

12.5 mmH2 O
CpA = 0.99 × √
15.4 mmH2 O

CpA = 0.8919280881 ≈ 0.89193


Dari perhitungan di atas, diperoleh data koefisien kalibrasi pada kaki A
pitot S untuk posisi 4 sebesar 0.89193. Untuk data posisi pengukuran
selanjutnya diperoleh dengan cara yang sama.

III.4.2 Menentukan Rata-Rata Koefisien Kalibrasi pada Kaki A Pitot S

Untuk menentukan kaki pitot S yang akan digunakan pada data


pengukuran, diperlukan besar rata-rata koefisien kalibrasi dari data tiga
posisi pengukuran yang dilakukan pada kaki A pitot S. Data koefisien
kalibrasi untuk tiga posisi pengukuran tertera pada Tabel II.3. Berikut
merupakan persamaan untuk menghitung rata-rata koefisien kalibrasi
pada kaki A pitot S.
CpA4 + CpA5 + CpA6
CpAavg =
3
Dengan CpAavg menyatakan rata-rata koefisien kalibrasi pada kaki
A pitot S, CpA4 menyatakan koefisien kalibrasi pada kaki A pitot S posisi
ke-4, CpA5 menyatakan koefisien kalibrasi pada kaki B pitot S posisi ke-
5, dan CpA6 menyatakan koefisien kalibrasi pada kaki A pitot S posisi
ke-6. Dengan mensubstitusikan data Cp, diperoleh rata-rata koefisien
kalibrasi kaki A pada pitot S sebagai berikut.
CpA4 + CpA5 + CpA6
CpAavg =
3
0.8919280881 + 0.8946051326 + 0.8874870324
CpAavg =
3
CpAavg = 0.8913400843
Dari perhitungan di atas diperoleh rata-rata koefisien kalibrasi pada kaki
A pitot S sebesar 0.8913400843.

III.4.3 Menentukan Koefisien Kalibrasi pada Kaki B Pitot S

Untuk menghitung koefisien kalibrasi (Cp) pada kaki B pitot S,


dapat menggunakan persamaan berikut.

∆Pstd
CpB = Cpstd × √
∆P

Dengan CpB menyatakan koefisien kalibrasi pada kaki B pitot S, Cpstd


menyatakan koefisien pitot standar, ∆Pstdmenyatakan tekanan pada pitot
standar (mmH2 O), dan ∆P menyatakan tekanan kecepatan pada kaki B
pitot S (mmH2 O). Besar CpB pada posisi 4 jika dihitung menggunakan
persamaan di atas adalah sebagai berikut.

∆Pstd
CpB = Cpstd × √
∆P

12.5 mmH2 O
CpB = 0.99 × √
16.5 mmH2 O
CpB = 0.861684397 ≈ 0.86168
Dari perhitungan di atas, diperoleh data koefisien kalibrasi pada kaki B
pitot S untuk posisi 4 sebesar 0.86168. Untuk data posisi pengukuran
selanjutnya diperoleh dengan cara yang sama.

III.4.4 Menentukan Rata-Rata Koefisien Kalibrasi pada Kaki B Pitot S

Untuk menentukan kaki pitot S yang akan digunakan pada data


pengukuran, diperlukan besar rata-rata koefisien kalibrasi dari data tiga
posisi pengukuran yang dilakukan pada kaki B pitot S. Data koefisien
kalibrasi untuk tiga posisi pengukuran tertera pada Tabel II.4. Berikut
merupakan persamaan untuk menghitung rata-rata koefisien kalibrasi
pada kaki B pitot S.
CpB4 + CpB5 + CpB6
CpBavg =
3
Dengan CpBavg menyatakan rata-rata koefisien kalibrasi pada kaki
B pitot S, CpB4 menyatakan koefisien kalibrasi pada kaki B pitot S posisi
ke-4, CpB5 menyatakan koefisien kalibrasi pada kaki B pitot S posisi ke-
5, dan CpB6 menyatakan koefisien kalibrasi pada kaki B pitot S posisi
ke-6. Dengan mensubstitusikan data Cp, diperoleh rata-rata koefisien
kalibrasi kaki B pada pitot S sebagai berikut.
CpB4 + CpB5 + CpB6
CpBavg =
3
0.861684397 + 0.8426112394 + 0.8705561574
CpBavg =
3
CpBavg = 0.8582839313
Dari perhitungan di atas diperoleh rata-rata koefisien kalibrasi pada kaki
B pitot S sebesar 0.8582839313.

III.4.5 Menentukan Kaki Pitot S yang Digunakan

Untuk menentukan kaki pitot S yang digunakan dalam pengukuran


kecepatan gas, akan dibandingkan nilai rata-rata koefisien kalibrasi pada
kaki A dan kaki B pitot S dengan koefisien kalibrasi pitot S yang ideal.
Koefisien kalibrasi pitot S ideal tertera pada Bab II Data Awal sebesar
0.84. Sementara itu CpAavg yang diperoleh adalah sebesar
0.8913400843 dan CpBavg yang diperoleh adalah sebesar
0.8582839313. Dengan demikian, dikarenakan nilai koefisien kalibrasi
kaki B lebih dekat dengan nilai koefisien ideal, akan digunakan kaki B
pada pitot S untuk pengukuran tekanan total maupun statis.

III.5Konversi Satuan Tekanan dari mmH2 O ke mmHg

Untuk menghitung kecepatan serta debit aliran gas, satuan ukur tekanan
yang akan digunakan adalah mmHg. Namun, data yang terukur masih berada
dalam satuan mmH2 O, sehingga satuan perlu dikonversi ke mmHg. Berikut
merupakan persamaan untuk mengonversi satuan.

1
mmHg = × mmH2 O
13.6

Misal, menggunakan data posisi pengukuran ke-1 yang tertera pada Tabel II.5,
diperoleh Ptotal sebesar 60.4 mmH2 O. Maka Ptotal dapat dikonversikan
menjadi tekanan dengan satuan mmHg dengan cara berikut.

1
Ptotal(mmHg) = × mmH2 O
13.6

1
Ptotal(mmHg) = × 60.4 mmH2 O
13.6

Ptotal(mmHg) = 4.441176471mmHg

Konversi ini akan dilakukan untuk seluruh data tekanan yang digunakan pada
praktikum dan tertera pada data akhir.

III.6Menentukan Kecepatan Alir Gas (𝑣𝑠 )

Untuk menentukan kecepatan alir gas pada cerobong, dapat dihitung


dengan persamaan berikut.

0.5
Tgas × ∆P
𝑣𝑠 = CpS × Kp × ( )
(Pbar + Pstat ) × Mgas
Dengan keterangan, 𝑣𝑆 adalah kecepatan alir gas (m/s), CpS menyatakan
koefisien kalibrasi pada kaki pitot S yang telah dipilih sebelumnya pada
Subbab III.4.5 sebesar 0.8582839313, Kp menyatakan konstanta kecepatan,
Tgas menyatakan temperature gas yang mengalis (K), ∆P emnyatakan tekanan
kecepatan (mmHg), Pbar menyatakan tekanan barometric (mmHg), Pstat
menyatakan tekanan statis (mmHg), dan Mgas menyatakan berat molekul gas.
Kp, Tgas, Pbar, dan Mgas tertera pada Bab II Data Awal, masing-masing
sebesar 34.97, 302.8 K, 720 mmHg, dan 29 g/gmol. Dengan menggunakan data
posisi pengukuran ke-1, diperoleh kecepatan alir gas sebagai berikut.

0.5
Tgas × ∆P
𝑣𝑠 = CpS × Kp × ( )
(Pbar + Pstat) × Mgas

0.5
302.8 K × 0.764706 mmHg
𝑣𝑠 = 0.8583 × 34.97 × ( )
(720 mmHg + 3.6764 mmHg) × 29 g/gmol

𝑣𝑠 = 3,27410796 m/s

Kemudian, besar kecepatan alir gas posisi selanjutnya diperoleh dengan cara
yang sama.

III.7Menentukan Debit Aliran Gas

Nilai debit aliran gas tiap traverse point dapat ditentukan dengan
persamaan sebagai berikut.

Tstd × (Pbar + Pstat)


Q = 3600 × (1 − BH2 O) × 𝑣𝑆 × A ×
Tgas × Pstd

Dengan keterangan, Q menyatakan debit aliran gas (m3 /s), BH2 O menyatakan
fraksi mol uap air, 𝑣𝑠 menyatakan kecepatan alir gas (m/s), A menyatakan luas
penampang (m2 ), Tstd menyatakan temperature standar (K), Pbar menyatakan
tekanan barometrik (mmHg), dan Pstat menyatakan tekanan standar (mmHg).

Untuk nilai 𝑣𝑠 , tiap traverse point dapat diperoleh dari pengolahan data
Subbab III.6, A diperoleh dari pengolahan data Subbab III.2, Pstat dari data
pada Tabel II.5 yang telah dikonversi ke mmHg melalui pengolahan data pada
Subbab III.5, dan tertera pada Tabel IV.1, serta Tgas , Pstd , Pbar, BH2 O diperoleh
pada Bab II Data Awal, masing-masing sebesar 302.8 K, 760 mmHg, 720
mmHg, dan 0.22. Dengan data yang sudah diketahui, dapat dihitung debit
aliran gas untuk posisi ke-1 adalah sebagai berikut.

Tstd × (Pbar + Pstat )


Q = 3600 × (1 − BH2 O) × 𝑣𝑆 × A ×
Tgas × Pstd

m
Q = 3600 × (1 − 0.22) × 3.27 × 0.00161m2
s
298 𝐾 × (720 mmHg + 3.6764 mmHg)
×
302.8 K × 760 mmHg

Q = 13.87098265 m3 /s

Debit aliran gas untuk posisi pengukuran lainnya dapat diperoleh


menggunakan persamaan yang sama. Debit aliran gas total yang mengalir pada
wind tunnel dapat dihitung dengan menjumlahkan seluruh nilai debit alir gas
pada tiap traverse point menggunakan persamaan berikut.

Q total = Q1 + Q 2 + Q 3 + Q 4 + Q 5 + Q6 + Q7 + Q 8 + Q 9

Q total = (13.871 + 13.533 + 13.697 + 13.492 + 14.775


+ 13.321 + 10.270 + 12.377 + 11.550) m3 /s

Q total = 116.8873845 m3 /s

Maka dari itu, besar debit aliran gas total yang mengalir pada wind tunnel
sebesar 116.8873845 m3 /s.
IV. Data Akhir
Tabel IV.1 Hasil Pengolahan Data Praktikum Modul 05 Mekanika Fluida I
𝐏𝐭𝐨𝐭𝐚𝐥 𝐏𝐬𝐭𝐚𝐭𝐢𝐬 ∆𝐏 𝒗𝑺 Q
Posisi
(mmHg) (mmHg) (mmHg) (m/s) (𝐦𝟑 /𝐬)
1 4.441176471 3.676470588 0.7647058824 3.27410796 13.87098265
2 4.433823529 3.705882353 0.7279411765 3.194369115 13.53371358
3 4.452941176 3.707352941 0.7455882353 3.232853593 13.69679017
4 4.5 3.676470588 0.7235294118 3.184739212 13.49236583
5 4.5 3.632352941 0.8676470588 3.487631311 14.77468819
6 4.452941176 3.747794118 0.7051470588 3.143867464 13.32052257
7 4.242647059 3.823529412 0.4191176471 2.423648483 10.27003938
8 4.411764706 3.802941176 0.6088235294 2.921147917 12.37780603
9 4.345588235 3.81544117 0.530147058 2.725851941 11.55047613
Q total(m3 /s) 116.8873845

V. Analisis A
V.1 Cara Kerja
V.1.1 Penentuan Jenis Fluida
Pada percobaan modul ini, alat yang digunakan bernama wind
tunnel atau cerobong asap yang ukurannya sesuai untuk penggunaan
skala laboratorium. Penentuan jenis fluida yang digunakan dilakukan
untuk mengetahui jenis fluida yang dianalisis melalui cerobong
(partikulat atau nonpartikulat). Partikulat merupakan partikel padatan
yang terbawa dalam gas buang atau emisi. Secara umum, ukuran partikel
ini bervariasi, partikulat yang berdiameter <10 𝜇m disebut sebagai
partikulat kasar (coarse), sedangkan partikulat berdiameter <2.5 𝜇m
disebut sebagai partikulat halus (fine). Non-partikulat merupakan
pencemar murni berfasa gas tanpa campuran padatan maupun cairan di
dalamnya. Umumnya, pencemar pada udara lebih mudah diasumsikan
pencemar dalam cerobong sebagai non-partikulat dengan kata lain
merupakan gas ideal. Udara yang mengalir pada wind tunnel dianggap
murni karena wind tunnel yang steril dari partikulat (particulat berjumlah
sangat kecil sehingga dapat diabaikan). Pada penentuan jenis fluid aini,
sumber literatur SNI 7117.13-2009 dijadikan acuan untuk mengetahui
metode yang akan digunakan dalam menentukan letak dan jumlah
traverse point.
V.1.2 Penentuan Traverse Point
Traverse Point adalah titik pengambilan contoh uji yang
dianggap mewakili aliran fluida pada lintang cerobong. Pada percobaan
kali ini, traverse point pada wind tunnel ditentukan berdasarkan data
diameter cerobong dan jarak lubang sampling dari belokan (EPA Method
1).
Sama seperti sebelumnya, SNI 7117.13-2009 dijadikan acuan
dalam menentukan traverse point ini. Di mana pemilihan lokasi
pengambilan contoh uji yang ideal dilaksanakan pada posisi minimal 8
kali diameter (8D) cerobong dari gangguan bawah (hulu) dan 2 kali
diameter (2D) dari gangguan atas (hilir). Apabila tidak bisa memenuhi
persyaratan di atas, maka lokasi pengambilan contoh uji dapat
dilaksaksanakan minimal 2 kali diameter dari gangguan bawah dan 0.5
kali diameter gangguan atas dengan jumlah titik lintas yang lebih banyak.
Bila kriteria 2D dan 8D dipenuhi, maka jumlah minimum titik
lintas memenuhi :
1. 12 titik unutk cerobong berbentuk bulat atau empat persegi
panjang dengan De>0.61 m
2. 8 titik untuk cerobong bulat dengan De = 0,30 – 0,61 m
3. 9 titik untuk cerobong empat persegi panjang dengan De =
0,30 – 0,61 m
Pada percobaan, wind tunnel dianggap cerobong dengan
penampang persegi dan dalam kondisi ideal sehingga memenuhi
persyaratan 2D dan 8D serta jarak lubang sampling dari belokan yang
ditentukan melalui EPA Method. Dengan demikian, didapat sembilan
titik lintas yang ditunjukkan pada gambar berikut.
7 8 9
6 5 4
1 2 3
Gambar V.1 Ilustrasi Traverse Point Pada Penampang
Wnd Tunnel
(Sumber : Modul Praktikum Mekanika Fluida I. 2022)
Dari sembilan titik lintas dipilih tiga titik yang digunakan untuk kalibrasi
pitot yaitu posisi 4, 5, dan 6. Hal ini dikarenakan letaknya berada di
tengah sehingga tidak ada headloss yang disebabkan oleh adanya
gesekan dengan dinding wind tunnel sehingga data yang didapat lebih
akurat.
V.1.3 Pengukuran Tekanan
Setelah traverse point didapat, percobaan diawali dengan
dinyalakannya wind tunnel dengan ditekannya tombol hijau dekat
blower. Setelah itu, temperatur gas pada awal percobaan diukur
menggunakan thermocouple, kemudian dicatat. Setelah itu, 𝛥𝑃 diukur
menggunakan manometer pada pitot standar. Untuk mengukur 𝛥𝑃,
selang disambungkan ke manometer dan pitot standar. Nilai tekanan
yang terbaca pada manometer menyatakan tekanan kecepatan (𝛥𝑃) atau
selisih antara tekanan total serta tekanan statis gas yang mengalir pada
wind tunnel. Apabila hasil yang didapatkan negatif, selang yang
menyambungkan pitot standar dan manometer harus ditukar terlebih
dahulu. Pengukuran 𝛥𝑃 dilakukan untuk posisi ke-4, 5, dan 6.
Kemudian, tekanan diukur kembali menggunakan kedua kaki
pada pitot S. Pada pitot S terdapat dua kaki, yaitu kaki A dan B sehingga
tekanan kecepatan (𝛥𝑃) diukur secara bergantian. Untuk mengukur 𝛥𝑃
pada posisi ke-4, 5, dan 6, selang yang menyambungkan pitot S pada
kedua kaki disambungkan ke manometer. Ketika 𝛥𝑃 pada kaki A diukur,
kaki A pitot S bagian hilir (bawah) diposisikan berlawanan dengan arah
gas yang ada di wind tunnel supaya gas dapat masuk ke inlet. Kemudian,
nilai yang diperoleh pada manometer dicatat. Apabila hasil yang
didapatkan negatif, selang pada manometer harus ditukar terlebih dahulu.
Untuk mengukur 𝛥𝑃 pada kaki B, diulangi langkah yang sama seperti
halnya mengukur 𝛥𝑃 pada kaki A. Namun, kaki B pitot S bagian hilir
(bawah) diposisikan berlawanan dengan arah gas yang ada di wind
tunnel. Dalam percobaan menggunakan pitot S, daerah wind tunnel
sekitar percobaan harus ditutupi dengan kain. Hal ini dilakukan untuk
mencegah kebocoran gas yang terjadi.
Kemudian, dilakukan perhitungan koefisien kalibrasi (Cp) pada
kaki A dan B pitot S berdasarkan tekanan kecepatan standar dan pitot S,
serta koefisien pitot standar yang telah diolah pada pengolahan data
Subbab III.4.1 untuk kaki A dan III.4.3 untuk kaki B. Nilai Cp yang
didapat dari pengukuran ketiga traverse point dirata-ratakan kemudian
dibandingkan terhadap nilai Cp pitot S ideal yang tertera pada Bab II
Data Awal sebesar 0.84. Pada praktikum, didapatkan nilai Cp rata-rata
untuk kaki B sebesar 0. 8582839313 dan untuk kaki A sebesar
0.8913400843. Maka dari itu, nilai Cp rata-rata untuk kaki B lebih dekat
ke nilai Cp ideal daripada Cp rata-rata untuk kaki A. Dengan demikian,
tekanan pada kaki B pitot S dijadikan data acuan atau besaran yang
digunakan untuk penghitungan kecepatan serta debit alir gas.
Setelah mendapatkan hasil kalibrasi, maka yang diukur ialah
Ptotal dan Pstatis dari kaki B pitot S. Ketika pengukuran dengan kaki B
dilakukan maka selang kaki A tidak dihubungkan dengan manometer
karena dapat menimbulkan kerancuan pada pengukuran. Dalam
percobaan dengan pitot S, daerah wind tunnel sekitar percobaan harus
ditutupi dengan kain. Hal ini dilakukan untuk mencegah kebocoran gas
yang terjadi.
Pada kaki B, tabung pitot S diputar sehingga kaki B bagian bawah
(hilir) membelakangi atau berlawanan arah dengan aliran gas untuk
mendapatkan nilai tekanan statis (Pstatis) pada manometer. Hal ini
dikarenakan tekanan statis memiliki tekanan yang sama atau tetap
sehingga aliran gas tidak perlu masuk ke dalam inlet. Pengukuran
dilakukan pada posisi pertama hingga kesembilan. Sebaliknya, tabung
pitot S diputar sehingga kaki B bagian bawah (hilir) searah dengan aliran
gas untuk mendapatkan nilai tekanan total (Ptotal) pada manometer. Hal
ini dikarenakan tekanan total memiliki tekanan keseluruhan yang
mengalir pada wind tunnel sehingga aliran gas perlu masuk ke dalam
inlet. Pengukuran dilakukan pada posisi pertama hingga kesembilan.
Kemudian, besar yang tertera pada manometer dicatat. Setelah
didapatkan semua data, percobaan diakhiri dengan diukurnya suhu gas
menggunakan thermocouple. Setelah itu, wind tunnel dimatikan dengan
ditekannya tombol merah yang berada dekat blower.
Setelah seluruh data dicatat, data akan diolah untuk memperoleh
kecepatan dan debit aliran gas dengan menggunakan persamaan yang
sudah dijabarkan pada pengolahan data sesuai dalam EPA Method 2.
Setelah itu, dari data yang sudah dioleh, akan dibuat profil kecepatan
aliran gas dalam cerobong (2D dan 3D) pada arah penampang saluran
dengan menggunakan aplikasi Surfer yang akan dijelaskan pada bagian
selanjutnya.

V.2 Profil Distribusi Kecepatan Gas

Setelah diperoleh data kecepatan untuk 9 titik lintas pada kaki


pitot S terpilih, dapat diplot pada 2D maupun permukaan 3D dengan
bantuan aplikasi Surfer. Grafik tersebut dibuat dengan plotting sumbu x
dan y yang merupakan koordinat letak pengukuran tekanan atau titik
lintas berdasarkan Tabel V.2.1, sedangkan sumbu z ialah kecepatan
aliran gas yang tertera pada Tabel IV.1.
Tabel V.1 Data Koordinasi Plot Grafik 2D dan 3D
Traverse Koordinat
Point X Y Z
1 2.21 1.9 3.27410796
2 6.3 1.9 3.194369115
3 10.5 1.9 3.232853593
4 2.1 5.7 3.184739212
5 6.3 5.7 3.487631311
6 10.5 5.7 3.143867464
7 2.1 9.5 2.423648483
8 6.3 9.5 2.921147917
9 10.5 9.5 2.725851941

Berdasarkan data pada tabel di atas, dihasilkan grafik sebagai berikut.

Gambar V.2 Ilustrasi Profil Kecepatan Dua Dimensi


(Sumber : Perangkat Lunak Surfer.2022)

Gambar V.3 Ilustrasi Profil Kecepatan Dua Dimensi


(Sumber : Perangkat Lunak Surfer.2022)
Keterangan:
Grafik merupakan grafik arah penampang terhadap kecepatan dengan
tinggi penampang sebagai sumbu z.
Persebaran warna menunjukkan perbedaan kecepatan pada tiap
titik ukur di penampang wind tunnel. Berdasarkan grafik pada Gambar
V.3, persebaran kecepatan alir gas seperti gunung. Terlihat bahwa warna
yang paling tua atau semakin orange berada pada daerah tengah-tengah.
Hal tersebut membuktikan bahwa bahan pencemar di tengah wind tunnel
atau cerobong memiliki kecepatan yang paling tinggi. Dapat dilihat pada
Tabel IV.1 bahwa kecepatan tertinggi berada pada posisi atau titik ke-5
sebesar 3.487631311 m/s. Selain itu, seiring dengan berubahnya warna,
kecepatan akan semakin menurun. Kecepatan paling rendah berada pada
posisi x dan y yang paling kecil. Pada Gambar V.3, kecepatan terendah
berwarna ungu ke biru-biruan. Dapat dilihat pada Tabel IV.1 bahwa
kecepatan terendah berada pada posisi atau titik ke-7 sebesar 2.4235 m/s.
Pada visualisasi 2D yang tertera pada Gambar V.2, terdapat garis-garis
batas tiap warna. Garis-garis tersebut merepresentasikan titik-titik yang
memiliki kecepatan alir gas yang sama besar, seperti garis 4.3, 4.05, dan
3.8. Garis tersebut menjelaskan bahwa pada titik-titik yang dilewati
garis-garis tersebut memiliki kecepatan aliran gas yang diperkirakan
masing-masing sebesar 4.3 m/s, 4.05 m/s, dan 3.8 m/s. Selain itu, dapat
dilihat pada Gambar V.2, daerah paling orange atau merah berada di
tengah-tengah grafik. Sama seperti halnya visualisasi 3D, artinya daerah
tersebut memiliki kecepatan alir gas yang paling tinggi. Selain itu, seiring
dengan berubahnya warna, kecepatan akan semakin menurun. Selain itu,
pada posisi x dan y yang paling kecil bewarna ungu kebiru-biruan. Sama
seperti halnya visualisasi 3D, daerah tersebut memiliki kecepatan alir gas
yang paling rendah. Berdasarkan teori aliran fluida pada pipa, idealnya
traverse point dengan pengukuran kecepatan tertinggi adalah titik dengan
nilai head loss terkecil, yaitu posisi ke-5. Kecepatan yang terukur di
tengah-tengah wind tunnel merupakan kecepatan yang paling tinggi
karena tidak adanya gesekan antara aliran gas dengan dinding wind
tunnel. Sebaliknya, teori aliran pada pipa juga menyatakan bahwa
semakin besar head loss, nilai kecepatan alir akan semakin kecil atau
tidak sebesar pada posisi 5 karena adanya gesekan dengan dinding wind
tunnel. Pada posisi 1,3,7, dan 9 mendapatkan pengaruh dari dua buah sisi
wind tunnel, posisi 2,4, 6, dan 8 mendapat pengaruh dari satu sisi wind
tunnel. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa data yang kami
peroleh artinya sudah cukup bagus karena sudah sesuai dengan teori. Hal
ini dibuktikan dengan kesesuaian antara grafik yang kami peroleh dengan
teori mengenai aliran fluida pada pipa.

V.3 Perbandingan Cara Kerja Dengan Metode SNI

Pada analisis cara kerja, telah dipaparkan metode penentuan titik


lintas sesuai dengan SNI 7117.13.2009. Namun, terdapat perbedaan
dalam metode yang digunakan pada percobaan ini, di mana wind tunnel
diasumsikan sebagai cerobong berpenampang eprsegi yang ideal
sehingga dianggap memenuhi 8D dan 2D. Penentuan titik-titik lintas
dengan metode SNI adalah sebagai berikut.

Gambar V.4 Diagram Cara Kerja Sampling Berdasarkan SNI

(Sumber : infolabling.com)

Menurut SNI 7117.13-2009, lokasi pengukuran dilakukan minimal


pada lokasi yang memenuhi syarat 8 kali diameter cerobong dari aliran
bawah (hulu) atau 2 kali diameter dari aliran atas (hilir). Cerobong juga
harus bebas dari gangguan aliran, seperti belokan, ekspansi, atau
pengecilan aliran gas dalam cerobong. SNI 7117.13-2009 juga mengatur
apabila syarat tersebut tidak dapat terpenuhi maka dipilih lokasi yang
minimal 2 kali diameter cerobong dari aliran bawah (hulu) atau 0,5 kali
diameter dari aliran atas (hilir) yang bebas dari sembarang gangguan,
tetapi dengan jumlah titik uji yang lebih banyak.

Pada praktikum modul ini, kondisi cerobong diasumsikan berada


dalam keadaan ideal dan digunakan 9 traverse point dalam pengukuran
tekanan. Maka, berdasarkan SNI, ketentuan tersebut digunakan untuk
cerobong berpenampang persegi dengan diameter ekivalen di antara nilai
0.3 m sampai dengan 0.61 m. Namun, berdasarkan praktikum, telah
diperoleh diameter ekivalen cerobong sebesar 0.1202489 m yang tertera
pada pengolahan data Subbab III.1. Dengan demikian, diameter
ekivalen cerobong yang digunakan pada praktikum berbeda dengan
ketentuan SNI karena tidak berada pada range 0.3 m sampai dengan 0.61
m. Hal ini disebabkan oleh wind tunnel yang digunakan bukanlah
prototype yang sesuai dengan kondisi sebenarnya. Selain itu, pada
praktikum, nilai-nilai 2D dari hilir maupun 8D dari hulu juga tidak
dilakukan, serta diasumsikan nilai 2D dan 8D untuk penentuan lokasi
traverse point terpenuhi tanpa dilakukan kalkulasi. Maka, dapat
disimpukan bahwa terdapat perbedaan cara kerja yang digunakan dalam
praktikum dengan cara kerja standar yang tertera pada SNI
7117.13:2009.

Dari dua cara kerja yang berbeda, terdapat perbedaan terutama


dalam menentukan jumlah titik lintas. Untuk mendapatkan suatu titik
pada cerobong ideal harus dilakukan pengukuran, sedangkan pada
cerobong tidak ideal, pengukuran dilakukan dari sebuah titik.
Berdasarkan SNI, terdapat cara kerja yang dapat digunakan pada
cerobong tidak ideal. Maka, dapat dikatakan bahwa cara kerja SNI
merupakan cara yang tepat dan dapat diaplikasikan pada berbagai
keadaan cerobong.

V.4 Plume Rise

Plume rise merupakan ketinggian kepulan asap/gas buang yang


terjadi karena peningkatan suhu sehingga molekul gas terekspansi dan
berakibat pada berkurangnya densitas gas. Terdapat perbedaan baku
mutu di cerobong dengan di udara bebas. Pada cerobong menggunakan
baku mutu emisi sedangkan pada udara bebas menggunakan baku mutu
ambien. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41
Tahun 1999, baku mutu adalah ukuran batas atau kadar zat, energi, atau
komponen yang ada atau yang seharusnya ada dan unsur pencemar yang
ditenggang keberadaannya dalam udara. Plume rise berkaitan dengan
asap buangan, seperti pada industri. Asap buangan industri mengandung
polutan yang dapat mencemari lingkungan. Polutan dari asap buangan
tersebut memiliki konsentrasi yang berbeda-beda. Maka dari itu,
diperlukan perhitungan dalam membuat cerobong yang tepat untuk
meminimalisir. Plume rise disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu
buoyancy dan momentum. Buoyancy atau biasa disebut gaya apung
adalah gaya keatas yang dikerjakan oleh fluida yang melawan berat dari
benda yang direndam. Pada percobaan ini, buoyancy pada aliran gas
terjadi karena pemuaian gas yang diakibatkan oleh perbedaan temperatur
di dalam dan di luar cerobong (Visscher, 2014). Faktor lainnya ialah
perubahan momentum pada pergerakan aliran gas yang disebabkan oleh
perubahan kecepatan gas yang tinggi antara dalam dan luar cerobong.
Berikut merupakan dua persamaan yang dapat digunakan untuk
menentukan tinggi plume rise (EPA, 1995).

Untuk memprediksi ketinggian plume rise dapat menggunakan


persamaan sebagai berikut.

g × ws × ds 3 × (TS − T∝ )
Fb =
4 × Ts
1 2
1.6 × ws × Fb 3 × (𝑥 )3
∆h =
u

Keterangan :

Fb = Bouyancy flux (m/s)


G = Percepatan gravitasi (m/s 2 )
ws = Kecepatan keluar gas dari cerobong (m/s)
ds = Diameter cerobong (m)
Ts = Temperatur udara emisi (K)
Ta = Temperatur udara ambien (K)
∆ℎ = Tinggi plume rise (m)
x = Jarak dimana turbulensi atmosfer mulai mendominasi (m)
u = Kecepatan angin rata-rata di ketinggian cerobong (m/s)

Gambar V.5 Ilustrasi Plume Rise


(Sumber : www.researchgate.net)
Tinggi efektif merupakan hasil pertambahan dari tinggi aktual
cerobong dengan tinggi plume rise. Hal ini akan memengaruhi cerobong
yang dirancang. Plume rise dilakukan dengan permodelan Gauss
(Gaussian Plume Model) berbentuk kerucut yang memiliki garis pusat
plume. Pada persamaan di atas, fluks buoyancy berbanding lurus dengan
kecepatan aliran gas yang keluar dari cerobong. Kemudian, tinggi plume
rise juga berbanding lurus dengan akar pangkat tiga dari fluks buoyancy.
Dengan demikian, persamaan tersebut menunjukkan korelasi berbanding
lurus yaitu semakin besar kecepatan aliran gas maka plume rise semakin
tinggi. Semakin tinggi cerobong maka semakin besar sebaran udaranya
dan semakin rendah konsentrasi polutan pada udara yang tersebar.
Semakin banyak konsentrasi polutan dalam suatu lokasi menaikan
tingkat pencemaran udara di lokasi tersebut. Sehingga, penentuan plume
rise perlu dilakukan untuk membantu masyarakat mengetahui lokasi
tersebarnya gas buangan industri yang kemudian menjadi bahan analisis
lebih lanjut mengenai pencegahan pencemaran udara oleh gas buangan.

V.5 Analisis Kesalahan

Dalam pelaksanaan percobaan kali ini, terdapat beberapa kesalahan


baik selama proses percobaan maupun pengolahan data praktikum. Hal
ini dijelaskan pada Subbab V.2 mengenaik hasil profil distribusi
kecepatan aliran gas kurang ideal terhadap teori headloss yang telah
dipelajari. Nilai koefisien kalibrasi pada kaki A pitot S juga kurang
mendekati nilai koefisien kalibrasi pitot S. Penjelasn-penjelasan tersebut
menjadi bukti bahwa terdapat ketidakakuratan data terhadap teori yang
disebabkan oleh kesalahan-kesalahan, di antaranya adalah sebagai
berikut :

1. Pada percoobaan digunakan asumsi dalam menentukan jumlah


serta lokasi traverse point pada wind tunnel yang tidak sesuai
dengan metode penentuan traverse point pada SNI
7117.13:2009. Hal ini memengaruhi nilai kecepatan aliran
udara yang kurang akurat sehingga kurang dapat
merepresentasikan hasil profil kecepatan aliran udara teoritis
atau seharusnya.
2. Ketidaktelilian praktikan dalam memosisikan kaki pitot S
dalam pengukuran tekanan menggunakan manometer. Hal ini
memengaruhi besar tekanan gas yang melalui wind tunnel.
3. Ketidakstablian praktikan dalam memegang pitot S ketika
pengukuran dilakukan. Hal ini sangat berpengaruh bagi
pengukuran tekanan total gas karena kaki pitot S diharuskan
searah dengan aliran gas agar gas dalam wind tunnel masuk ke
dalam kaki pitot. Jika praktikan tidak stabil dalam memegang
pitot, akan terjadi fluktuasi kemiringan pitot yang tentunya
memengaruhi besar tekanan total gas yang masuk melalui kaki
pitot dan memperbesar jarak kalibrasi alat dari kalibrasi
teoritis.
4. Kesalahan pada pembacaan tekanan dan suhu gas. Angka yang
ditunjukan pada manometer dan thermocouple cenderung
fluktuatif dan tidak berhenti pada angka tertentu, sehingga
menimbulkan kebingungan dalam pembacaan. Hal ini dapat
disebabkan oleh kebocoran pada wind tunnel maupun lubang
uji, atau disebabkan oleh faktor alat yakni manometer itu
sendiri. Akibatnya rawan terjadi kesalahan pembacaan
tekanan dan suhu oleh praktikan yang mengakibatkan
kesalahan pada data.
5. Berkaitan dengan poin sebelumnya, kurang rapatnya praktikan
dalam menutupi kebocoran pada daerah pengukuran tekanan
gas juga akan mempengaruhi besar tekanan yang terbaca.
Dalam pengukuran gas menggunakan pitot S digunakan kain
untuk menutupi kebocoran karena kurang sesuainya diameter
bolongan pada wind tunnel dengan pitot S yang digunakan.
Kurang rapatnya praktikan dalam menutupi kebocoran
tersebut dapat berdampak pada aliran gas yang masuk ke
dalam pitot S. Dengan demikian, besar dari tekanan total yang
terbaca pada manometer pun kurang akurat.

VI. Analisis B
Pada praktikum modul 5 dilakukan pengukuran kecepatan gas dalam
cerobong. Kecepatan gas dalam cerobong merupakan informasi penting
terkait dengan pencemaran udara. Semakin besar kecepatan gas dalam
cerobong, maka semakin besar juga bahan pencemar yang akan terdispersi,
sehingga konsentrasi yang dikeluarkan ke lingkungan akan semakin kecil.
Kecepatan alir gas dapat diaplikasikan dalam bidang Teknik Lingkungan, di
antaranya adalah sebagai berikut :
1. Pemantauan Kualitas Udara Emisi Isokinetik
Dalam kegiatan industri, salah satu limbah yang dihasilkan adalah limbah
udara yang dapat berupa partikulat maupun gas. Untuk memantau emisi
yang dikeluarkan, diperlukan cerobong yang dibuat dengan memenuhi
standar tertentu seperti memiliki lubang sampling, tangga, platform, alat
pengangkut peralatan, pagar pengamanan, serta sumber listrik.

Gambar VI.1 Komponen Cerobong Asap


(Sumber : freedigitalphotos.net)
2. Pengukuran Kapasitas Produksi Pembangkit Listrik
Pada PLTU, terdapat komponen boiler yang berfungsi mengubah air dari
fasa cair menjadi fasa uap. Uap dengan tekanan dan temperatur dikenal
dengan energi kinetic yang digunakan untuk menggerakan turbin
pembangkit. Maka dari itu, diperlukan data mengeai kecepatan alir uap
yang melalui turbin untuk mengetahui kapasitas produksi dari
pembangkit listrik yang dapat dikonversi menjadi energi listrik melalui
turbin.
Gambar VI.2 Ilustrasi Proses Produksi PLTU
(Sumber : https://kitadanenergi.blogspot.com)
3. Penentuan Ketinggian Cerobong Asap pada Industri

Gambar VI.3 Ilustrasi Plume Rise


(Sumber : researchgate.net)
Berdasarkan analisis menganaik plume rise yang telah dijelaskan pada
bab sebelumnya, ketinggian cerobong asap pada industri sangat
berpengaruh pada toksikologi yang dihasilkan bagi Kesehatan
masyarakat di sekitar industri tersebut. Pembuatan cerobong udara pada
industri ini harus dibuat dengan mempertimbangkan aspek pencemaran
udara yang didasarkan pada lokasi dan tinggi cerobong. Prinsip
perhitungan kecepatan aliran gas juga dapat membantu dalam
menentukan ketinggian cerobong asap pada sektor industri.
Pertimbangan kondisi meteorologis dan tata guna tanah merupakan salah
satu pertimbangan untuk mendapatkan lokasi dan tinggi cerobong yang
tepat, di mana dengan perhitungan modelling pencemaran udara akan
dapat menentukan dispersi udara, dari cerobong terhadap kondisi udara
sekitarnya sehingga dapat ditentukan tinggi cerobong asap yang sesuai.
Apabila bentuk plume rise yang dihasilkan makin tinggi, maka
konsentrasi pencemar udara yang dihasilkan akan lebih mudah
terdispersi atau tersebar sehingga dapat mengurangi pencemaran udara
yang dapat mengganggu kesehatan.
VII. Kesimpulan
VII.1 Metode pengukuran gas dalam cerobong mengikuti metode yang telah
ditetapkan pada SNI 19.7117.1:2005 dan SNI 7117.13.2009 yang
merujuk pada EPA Method 1 dan EPA Method 2, tetapi dengan anggapan
cerobong dalam kondisi ideal.
VII.2 Koefisien kalibrasi pada pitot s (Cp) telah dihitung pada bagian Subbab
III.4, didapat rata-rata koefisien kalibrasi untuk pitot S kaki A dari titik
4,5, dan 6 sebesar 0.8913400843. Sedangkan rata-rata untuk pitot S kaki
B sebesar 0.8582839313. Karena rata-rata koefisien kalibrasi pada kaki
B lebih mendekati nilai koefisien kalibrasi pitot S ideal yang sebesar
0.84, maka pitot S kaki B terpilih menjadi kaki Pitot S yang digunakan
untuk pengukuran kecepatan gas.
VII.3 Melalui pengolahan data 3.1 diperolah diameter ekivalen untuk tiap
traverse point sebesar 0.120249 m. Selain itu, diperoleh data nilai debit
untuk setiap traverse point yang tertera pada Tabel IV.1.
VII.4 Profil distribusi kecepatan gas dapat ditentukan menggunakan perangkat
lunak surfer, dimana titik koordinat x dan y tertera pada Tabel V.1, dan
titik z merupakan hasil perhitungan kecepatan gas di setiap titik yang
terdapat pada Tabel IV.1. Didapatkan grafik dua dimensi dan tiga
dimensi seperti berikut.
Gambar VII.1 Ilustrasi Profil Kecepatan Dua Dimensi
(Sumber: Perangkat Lunak Surfer.2022)

Gambar VII.2 Ilustrasi Profil Kecepatan Tiga Dimensi


(Sumber: Perangkat Lunak Surfer. 2022)
VIII. Daftar Pustaka
Ir. Bambang suharnadi, MT. (2013). Operasi, Perawatan dan Efisiensi Boiler
Pada PT PLN Pembangkitan Tanjung Jati B.
http://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/61168. Diakses pada 22
November 2022.
Asma, Adhita. (2019). Pemodelan Dispersi Polutan Debu (Model Gaussian
Plume) sebagai Acuan Pemantauan Kualitas Udara Ambien.
https://studikhusus1.wordpress.com/2020/05/13/pemodelan-
persebaran polutan-model-gaussian-plume-sebagai-acuan-
pemantauan-kualitas-udara ambien/. Diakses pada 22 November 2022.
Arya S.P. (1999). Air Pollution Meteorology and Dispersion. Department of
Marine Earth and Atmospheric. New York: North California State
University. Diakses pada 22 November 2022.
Ferdy, Irawan. (2015).Perancangan Prototype Robot Observasi Bawah Air dan
Kontrol Hovering Menggunakan Metode PID Control.
http://repository.uib.ac.id. Diakses pada 22 November 2022.
Hadi, A. (2014). Ringkasan SNI Penentuan Lokasi dan Titik-Titik Lintas.
https://www.infolabling.com/2014/09/ringkasan-sni-711713-2009.
Diakses pada 23 November 2022
Tim Praktikum Mekanika Fluida TL2101. (2022). Modul Praktikum Mekanika
Fluida I. Bandung: Program Studi Teknik Lingkungan ITB
researchgate.net Diakses pada 23 November 2022
IX. Lampiran
Platform : Google spreadsheet, Surfer, dan internet.

Lampiran IX.1 Data Awal


Lampiran IX.2 Pengolahan Data dan Data Akhir

Lampiran IX.3 Grafik pada Surfer

Anda mungkin juga menyukai